Anda di halaman 1dari 21

Kwee Tek Hoay

Kwee Tek Hoay (lahir di Bogor, Jawa Barat, 31 Juli 1886 – meninggal di Cicurug, Sukabumi,
Jawa Barat, 4 Juli 1951 pada umur 64 tahun) adalah sastrawan Melayu Tionghoa dan tokoh
ajaran Tridharma (Sam Kauw Hwee). Ia banyak menulis karya sastra terutama novel dan
drama, kehidupan sosial, dan agama masyarakat Tionghoa peranakan. Karyanya yang terkenal
di antaranya adalah Drama di Boven Digoel, Boenga Roos dari Tjikembang, Atsal Moelahnja
Timboel Pergerakan Tionghoa jang

Kwee Tek Hoay adalah anak bungsu dari pasangan Kwee Tjiam Hong dan Tan Ay Nio. Sejak
usia 8 tahun, Kwee Tek Hoay masuk sekolah Tionghoa yang menggunakan bahasa pengantar
Hokkian. Namun dia sering membolos karena tidak mengerti bahasa pengantar yang digunakan
itu. Pendidikan formal terakhir yang ditekuninya setara dengan sekolah dasar masa kini.
Setelah itu ia belajar dibawah bimbingan oleh seorang guru. Pada masa itu, keturunan
Tionghoa tidak diperkenankan masuk sekolah Belanda, jika bukan anak seorang bangsawan
atau berpangkat [1]

Kwee Tek Hoay belajar tata buku dan akuntansi dari seorang guru sekolah Belanda. Dia juga
giat mempelajari bahasa Melayu, Belanda dan Inggris yang kemudian membuatnya sangat
gemar membaca buku-buku dalam ketiga bahasa tersebut.

Kwee Tek Hoay menikah dengan Oeij Hiang Nio pada bulan Februari 1906. Mereka dikaruniai
tiga anak, yakni seorang perempuan dan dua anak lelaki. Putri sulungnya yang bernama Kwee
Yat Nio mengikuti jejak Kwee Tek Hoay menekuni bidang jurnalistik. Sedangkan kedua adiknya,
Kwee Tjoen Gin dan Kwee Tjoen Kouw lebih tertarik dalam perdagangan.

Pada 4 Juli 1952 Kwee Tek Hoay wafat di Cicurug Sukabumi akibat dianiaya perampok yang
menyatroni rumahnya. Dia merupakan orang pertama yang minta jenasahnya diperabukan dan
sejak saat itu banyak orang Tionghoa mengikuti jejaknya.
Kwee Tek Hoay adalah penganut Budha Tridharma yang taat. Ia menerbitkan majalah
berbahasa Indonesia pertama yang berisikan ajaran Agama Buddha dengan nama Moestika
Dharma (1932-1934). Dari majalah ini diketahui bahwa telah berdiri sebuah organisasi Buddhis
bernama Java Buddhist Association di bawah kepemimpinan E. Power dan Josias van Dienst.
Organisasi ini merupakan anggota International Buddhist Mission yang berpusat di Thaton
Birma dan mengacu pada aliran Buddha Theravada.[3]

Perkembangan zaman yang mempengaruhi peranakan Tionghoa membuat mereka mengalami


krisis identitas kebudayaan dan agama. Kwee Tek Hoay kemudian berusaha mengembalikan
kebudayaan leluhurnya dengan menulis tentang "Agama Tionghoa" yang merupakan gabungan
dari tiga agama, yakni Konfusionisme, Buddhisme dan Daoisme (Taoisme). Pemikirannya
tentang tiga agama itu kemudian dimuat dalam majalah Sam Kauw Gwat Po.
Sebagai wartawan Sunting
Kwee Tek Hoay adalah seorang wartawan dan tulisannya telah dimuat di mingguan Li Po, surat
kabar Bintang Betawi, dan Ho Po. Salah satu tulisannya yang terkenal dan mendapat sorotan
masyarakat pada masa Perang Dunia I adalah Pemandangan Perang Dunia I Tahun 1914 -
1918 dimuat di surat kabar Sin Po.Sebagai sastrawan Sunting
Sebagai sastrawan Kwee Tek Hoay mulai menulis tahun 1905 ketika novelnya yang pertama
berjudul Yoshuko Ochida atawa Pembalesannja Satoe Prampoean Japan diterbitkan secara
bersambung di majalah Ho Po di Bogor.
Drama Sunting
Allah yang Palsoe (1919)
Korbannja Kong Ek (1926)
Plesiran hari Minggoe (1927)
Korbannya Yi Yung Toan (1928)
The ordeal of general Chiang Kai Shek (1929)
Mati Hidoep (1931)
Pentjoeri (1935)
Bingkisan taoen baroe (1935)
Barang perhiasan jang paling berharga (1936)
Bidji Lada (1936)
Novel Sunting
Boenga Roos dari Tjikembang (1927) Pernah dibuatkan film dua kali pada tahun 1931 oleh
Wong Brothers, dan 1976 oleh Fred Young.
Drama dari Krakatau (1928)
Drama di Boven Digoel (1938).
Nonton Capgome (1930)
Zonder Lentera (1930)
Penghidoepannja satoe sri panggung (1931)
Drama dari Merapi (1931)
Soemangetnja boenga tjempaka (1932)
Pendekar dari Chapei (1932)
Bajangan dari Kehidoepan jang laloe (1932) diterbitkan dalam majalah Moestika Romans,
belum dibukukan.
Pengalamannja satoe boenga anjelir (1938)
Asepnja Hio dan kajoe garoe (1940)
Lelakonnja boekoe (1940)
Itoe nona jang bertopeng biroe (1942)
Keagamaan Sunting
Buddha Gautama (1931-1933)
Sembahjang dan meditatie (1932)
Omong-omong tentang agama Budha (1935)
Sosial Politik Sunting
Atsal Moelahnja Timboel Pergerakan Tionghoa yang Modern di Indonesia (1936-1937)
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Lea Williams, The Origins of the Modern Chinese
Movement in Indonesia (Southeast Asia Program, Cornell University, 1969)

Marah Roesli

Marah Roesli atau sering kali dieja Marah Rusli (lahir di Padang, Sumatra Barat, 7 Agustus
1889 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 17 Januari 1968 pada umur 78 tahun) adalah
sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka[1]. Keterkenalannya karena karyanya Siti Nurbaya
(roman) yang diterbitkan pada tahun 1920 sangat banyak dibicarakan orang, bahkan sampai
kini. Siti Nurbaya telah melegenda, wanita yang terpaksa kawin karena keadaan ekonomi orang
tuanya, dengan lelaki yang tidak diinginkannya

Marah Rusli, sang sastrawan itu, bernama lengkap Marah Rusli bin Abu Bakar. Ia dilahirkan di
Padang pada tanggal 7 Agustus 1889. Ayahnya, Sultan Abu Bakar, adalah seorang bangsawan
Pagaruyung dengan gelar Sultan Pangeran, sedangkan ibunya berdarah Jawa, keturunan
Sentot Alibasyah, seorang panglima perang Pangeran Diponegoro[2] yang ditugaskan oleh
Belanda ke Minangkabau untuk menghadapi perang Padri, namun kemudian ia membelot
dengan membantu perjuangan rakyat Minangkabau melawan kolonialis Belanda.

Ayahnya bekerja sebagai demang. Marah Rusli mengawini gadis Sunda kelahiran Buitenzorg
(kini Bogor) pada tahun 1911. Mereka dikaruniai tiga orang anak, dua orang laki-laki dan
seorang perempuan. Perkawinan Marah Rusli dengan gadis Sunda bukanlah perkawinan yang
diinginkan oleh orang tua Marah Rusli, tetapi Marah Rusli kokoh pada sikapnya, dan ia tetap
mempertahankan perkawinannya.

Meski lebih terkenal sebagai sastrawan, Marah Rusli sebenarnya adalah dokter hewan.
Berbeda dengan Taufiq Ismail dan Asrul Sani yang memang benar-benar meninggalkan
profesinya sebagai dokter hewan karena memilih menjadi penyair, Marah Rusli tetap menekuni
profesinya sebagai dokter hewan hingga pensiun pada tahun 1952 dengan jabatan terakhir
Dokter Hewan Kepala. Kesukaan Marah Rusli terhadap kesusastraan sudah tumbuh sejak ia
masih kecil. Ia sangat senang mendengarkan cerita-cerita dari tukang kaba, tukang dongeng di
Sumatra Barat yang berkeliling kampung menjual ceritanya, dan membaca buku-buku sastra.
Marah Rusli meninggal dunia pada tanggal 17 Januari 1968 di Bandung dan dimakamkan di
Bogor, Jawa Barat.Dalam sejarah sastra Indonesia, Marah Rusli tercatat sebagai pengarang
roman yang pertama dan diberi gelar oleh H.B. Jassin sebagai Bapak Roman Modern
Indonesia. Sebelum muncul bentuk roman di Indonesia, bentuk prosa yang biasanya digunakan
adalah hikayat.

Marah Rusli berpendidikan tinggi dan buku-buku bacaannya banyak yang berasal dari Barat
yang menggambarkan kemajuan zaman. Ia kemudian melihat bahwa adat yang melingkupinya
tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Hal itu melahirkan pemberontakan dalam
hatinya yang dituangkannya ke dalam karyanya, Siti Nurbaya. Ia ingin melepaskan
masyarakatnya dari belenggu adat yang tidak memberi kesempatan bagi yang muda untuk
menyatakan pendapat atau keinginannya.

Dalam Siti Nurbaya, telah diletakkan landasan pemikiran yang mengarah pada emansipasi
wanita. Cerita itu membuat wanita mulai memikirkan akan hak-haknya, apakah ia hanya
menyerah karena tuntutan adat (dan tekanan orang tua) ataukah ia harus mempertahankan
yang diinginkannya. Ceritanya menggugah dan meninggalkan kesan yang mendalam kepada
pembacanya. Kesan itulah yang terus melekat hingga sampai kini. Setelah lebih delapan puluh
tahun novel itu dilahirkan, Siti Nurbaya tetap diingat dan dibicarakan.

Selain Siti Nurbaya, Marah Rusli juga menulis beberapa roman lainnya. Akan tetapi, Siti
Nurbaya itulah yang terbaik. Roman itu mendapat hadiah tahunan dalam bidang sastra dari
Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1969 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia.

Mohammad Yamin
Prof. Mr. Mohammad Yamin, S.H. (lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatra Barat, 24 Agustus
1903 – meninggal di Jakarta, 17 Oktober 1962 pada umur 59 tahun) adalah sastrawan,
sejarawan, budayawan, politikus, dan ahli hukum yang telah dihormati sebagai pahlawan
nasional Indonesia. Ia merupakan salah satu perintis puisi modern Indonesia dan pelopor
Sumpah Pemuda sekaligus "pencipta imaji keindonesiaan" yang mempengaruhi sejarah
persatuan Indonesia
Mohammad Yamin dilahirkan di Talawi, Sawahlunto pada 23 Agustus 1903. Ia merupakan putra
dari pasangan Usman Baginda Khatib dan Siti Saadah yang masing-masing berasal dari
Sawahlunto dan Padang Panjang. Ayahnya memiliki enam belas anak dari lima istri, yang
hampir keseluruhannya kelak menjadi intelektual yang berpengaruh. Saudara-saudara Yamin
antara lain: Muhammad Yaman, seorang pendidik; Djamaluddin Adinegoro, seorang wartawan
terkemuka; dan Ramana Usman, pelopor korps diplomatik Indonesia. Selain itu sepupunya,
Mohammad Amir, juga merupakan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Yamin mendapatkan pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Palembang,


kemudian melanjutkannya ke Algemeene Middelbare School (AMS) Yogyakarta. Di AMS
Yogyakarta, ia mulai mempelajari sejarah purbakala dan berbagai bahasa seperti Yunani, Latin,
dan Kaei. Namun setelah tamat, niat untuk melanjutkan pendidikan ke Leiden, Belanda harus
diurungnya dikarenakan ayahnya meninggal dunia. Ia kemudian menjalani kuliah di
Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta, yang kelak menjadi Fakultas
Hukum Universitas Indonesia), dan berhasil memperoleh gelar Meester in de Rechten (Sarjana
Hukum) pada tahun 1932.Mohammad Yamin memulai karier sebagai seorang penulis pada
dekade 1920-an semasa dunia sastra Indonesia mengalami perkembangan. Karya-karya
pertamanya ditulis menggunakan bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumatra, sebuah jurnal
berbahasa Belanda pada tahun 1920. Karya-karya terawalnya masih terikat kepada bentuk-
bentuk bahasa Melayu Klasik.

Pada tahun 1922, Yamin muncul untuk pertama kali sebagai penyair dengan puisinya, Tanah
Air; yang dimaksud tanah airnya yaitu Minangkabau di Sumatra. Tanah Air merupakan
himpunan puisi modern Melayu pertama yang pernah diterbitkan.

Himpunan Yamin yang kedua, Tumpah Darahku, muncul pada 28 Oktober 1928. Karya ini
sangat penting dari segi sejarah, karena pada waktu itulah Yamin dan beberapa orang pejuang
kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa
Indonesia yang tunggal. Dramanya, Ken Arok dan Ken Dedes yang berdasarkan sejarah Jawa,
muncul juga pada tahun yang sama.

Dalam puisinya, Yamin banyak menggunakan bentuk soneta yang dipinjamnya dari literatur
Belanda. Walaupun Yamin melakukan banyak eksperimen bahasa dalam puisi-puisinya, ia
masih lebih menepati norma-norma klasik Bahasa Melayu, berbanding dengan generasi-
generasi penulis yang lebih muda. Ia juga menerbitkan banyak drama, esei, novel sejarah, dan
puisi. Ia juga menterjemahkan karya-karya William Shakespeare (drama Julius Caesar) dan
Rabindranath Tagore.Karier politik Yamin dimulai ketika ia masih menjadi mahasiswa di
Jakarta. Ketika itu ia bergabung dalam organisasi Jong Sumatranen Bond[3] dan menyusun
ikrah Sumpah Pemuda yang dibacakan pada Kongres Pemuda II. Dalam ikrar tersebut, ia
menetapkan Bahasa Indonesia, yang berasal dari Bahasa Melayu, sebagai bahasa nasional
Indonesia. Melalui organisasi Indonesia Muda, Yamin mendesak supaya Bahasa Indonesia
dijadikan sebagai alat persatuan. Kemudian setelah kemerdekaan, Bahasa Indonesia menjadi
bahasa resmi serta bahasa utama dalam kesusasteraan Indonesia.Pada tahun 1937,
Mohammad Yamin menikah dengan Siti Sundari, putri seorang bangsawan dari Kadilangu,
Demak, Jawa Tengah.[6] Mereka dikaruniai satu orang putra, Dang Rahadian Sinayangsih
Yamin. Pada tahun 1969, Dian melangsungkan pernikahan dengan Raden Ajeng Sundari Merto
Amodjo, putri tertua dari Mangkunegoro VIII.Tanah Air (puisi), 1922
Indonesia, Tumpah Darahku, 1928
Kalau Dewa Tara Sudah Berkata (drama), 1932
Ken Arok dan Ken Dedes (drama), 1934
Sedjarah Peperangan Dipanegara, 1945
Tan Malaka, 1945
Gadjah Mada (novel), 1948
Sapta Dharma, 1950
Revolusi Amerika, 1951
Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, 1951
Bumi Siliwangi (Soneta), 1954
Kebudayaan Asia-Afrika, 1955
Konstitusi Indonesia dalam Gelanggang Demokrasi, 1956
6000 Tahun Sang Merah Putih, 1958
Naskah Persiapan Undang-undang Dasar, 1960, 3 jilid
Ketatanegaraan Madjapahit, 7 jilid.Bintang Mahaputra RI, tanda penghargaan tertinggi dari
Presiden RI atas jasa-jasanya pada nusa dan bangsa
Tanda penghargaan dari Corps Polisi Militer sebagai pencipta lambang Gajah Mada dan Panca
Darma Corps
Tanda penghargaan Panglima Kostrad atas jasanya menciptakan Pataka Komando Cadangan
Strategis Angkatan Darat.

Hamka👍🏻
Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah gelar Datuk Indomo, populer dengan nama penanya
Hamka (bahasa Arab: ‫ ;عبد الملك كريم أمر هللا‬lahir di Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam, Sumatra
Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah
seorang ulama dan sastrawan Indonesia. Ia berkarier sebagai wartawan, penulis, dan pengajar.
Ia terjun dalam politik melalui Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan, menjabat Ketua
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan aktif dalam Muhammadiyah hingga akhir
hayatnya. Universitas al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia menganugerahkannya gelar
doktor kehormatan, sementara Universitas Moestopo, Jakarta mengukuhkan Hamka sebagai
guru besar. Namanya disematkan untuk Universitas Hamka milik Muhammadiyah dan masuk
dalam daftar Pahlawan Nasional Indonesia.

Dibayangi nama besar ayahnya Abdul Karim Amrullah, Hamka remaja sering melakukan
perjalanan jauh sendirian. Ia meninggalkan pendidikannya di Thawalib, menempuh perjalanan
ke Jawa pada tahun 1924. Setelah setahun melewatkan perantauannya, Hamka kembali ke
Padang Panjang membesarkan Muhammadiyah. Pengalamannya ditolak sebagai guru di
sekolah milik Muhammadiyah karena tak memiliki diploma dan kritik atas kemampuannya
berbahasa Arab melecut keinginan Hamka pergi ke Mekkah. Dengan bahasa Arab yang
dipelajarinya, Hamka mendalami sejarah Islam dan sastra secara otodidak. Kembali ke Tanah
Air, Hamka merintis karier sebagai wartawan sambil bekerja sebagai guru agama di Deli. Dalam
pertemuan memenuhi kerinduan ayahnya, Hamka mengukuhkan tekadnya untuk meneruskan
cita-cita ayahnya dan dirinya sebagai ulama dan sastrawan. Kembali ke Medan pada 1936
setelah pernikahannya, ia menerbitkan majalah Pedoman Masyarakat. Lewat karyanya Di
Bawah Lindungan Ka'bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, nama Hamka melambung
sebagai sastrawan.

Selama revolusi fisik Indonesia, Hamka bergerilya bersama Barisan Pengawal Nagari dan Kota
(BPNK) menyusuri hutan pengunungan di Sumatra Barat untuk menggalang persatuan
menentang kembalinya Belanda. Pada 1950, Hamka membawa keluarga kecilnya ke Jakarta.
Meski mendapat pekerjaan di Departemen Agama, Hamka mengundurkan diri karena terjun di
jalur politik. Dalam pemilihan umum 1955, Hamka terpilih duduk di Konstituante mewakili
Masyumi. Ia terlibat dalam perumusan kembali dasar negara. Sikap politik Masyumi menentang
komunisme dan gagasan Demokrasi Terpimpin memengaruhi hubungan Hamka dengan
Presiden Soekarno. Usai Masyumi dibubarkan sesuai Dekret Presiden 5 Juli 1959, Hamka
menerbitkan majalah Panji Masyarakat yang berumur pendek, dibredel oleh Soekarno setelah
menurunkan tulisan Hatta—yang telah mengundurkan diri sebagai wakil presiden—berjudul
"Demokrasi Kita". Seiring meluasnya pengaruh komunis, Hamka dan karya-karyanya diserang
oleh organisasi kebudayaan Lekra. Tuduhan melakukan gerakan subversif membuat Hamka
diciduk dari rumahnya ke tahanan Sukabumi pada 1964. Ia merampungkan Tafsir Al-Azhar
dalam keadaan sakit sebagai tahanan.

Menjelang berakhirnya kekuasaan Soekarno, Hamka dibebaskan pada Mei 1966.[1] Pada masa
Orde Baru Soeharto, ia mencurahkan waktunya membangun kegiatan dakwah di Masjid Agung
Al-Azhar serta berceramah di RRI dan TVRI. Ketika pemerintah menjajaki pembentukan Majelis
Ulama Indonesia pada 1975, peserta musyawarah memilih dirinya secara aklamasi sebagai
ketua. Namun, Hamka memilih meletakkan jabatannya pada 19 Mei 1981, menanggapi tekanan
Menteri Agama untuk menarik fatwa haram MUI atas perayaan Natal bersama bagi umat
Muslim. Ia meninggal pada 24 Juli 1981 dan jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir,
Jakarta.Malik sering menempuh perjalanan jauh sendirian, berkelana ke sejumlah tempat di
Minangkabau. Ayahnya memberinya julukan "Si Bujang Jauh" karena ia selalu menjauh dari
orang tuanya sendiri. Dalam usia baru menginjak 15 tahun, Malik telah berniat pergi ke pulau
Jawa. Ia melarikan diri dari rumah, tanpa diketahui ayahnya dan hanya pamit kepada
anduangnya di Maninjau. Dari Maninjau, Malik memulai perjalanan dengan bekal ongkos
pemberian andungnya. Ia menempuh perjalanan melalui darat dengan singgah terlebih dahulu
di Bengkulu, berencana menemui kerabat satu suku dari ibunya untuk meminta tambahan
ongkos. Namun, dalam perjalananya, Malik didera penyakit beruntun. Ia ditimpa penyakit
malaria saat sampai di Bengkulu. Dalam kondisi sakit dan tubuhnya mulai diserang cacar, Malik
meneruskan perjalanan ke Napal Putih dan bertemu kerabatnya. Setelah dua bulan meringkuk
menunggu kesehatannya pulih, kerabatnya memulangkan Malik ke Maninjau. Meskipun
disambut baik saat kepulangannya, Malik dianggap hanya sebagai tukang pidato daripada ahli
agama di kampung halamannya. Dalam membacakan ayat atau kalimat bahasa Arab, Malik
dinilai tidak fasih karena tidak memahami tata letak bahasa, nahwu, dan sharaf. Kekurangannya
dikait-kaitkan karena ia tidak pernah menyelesaikan pendidikannya di Thawalib. Menurut
kesaksian Hamka, ia memang kerapkali salah dalam melafalkan bahasa Arab, walaupun ketika
menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia hasil terjemahannya jauh lebih bagus daripada
teman-temannya. Malik berasa kecil hati dengan dirinya karena tidak ada pendidikan yang
diselesaikannya. Ayahnya menasihatkan agar ia mengisi dirinya dengan ilmu pengetahuan
karena "pidato-pidato saja adalah percuma". Saat Muhammadiyah membuka sekolah di
Padang Panjang, ia bersama banyak teman-temannya yang pulang dari Jawa ikut melamar
sebagai guru. Para pelamar diharuskan mengisi formulir yang menerangkan nama, alamat, dan
pendidikan disertai lampiran bukti kelulusan seperti diploma atau ijazah. Pada hari
pengumuman pelamar yang lolos sebagai guru, Malik tidak lolos karena tidak memiliki diploma.
Hal ini menambah kekecewaan Malik sejak kepulangannya.Menulis dan mengarang
Sunting
Malik kembali ke Tanah Air setelah tujuh bulan bermukim di Mekkah. Namun, bukannya pulang
ke Padang Panjang, ia memilih turun di Medan, kota tempat berlabuhnya kapal yang
membawanya pulang.Dari pengalamannya di Padang Panjang dan Makassar, Hamka merasa
bakatnya sebagai pengarang lebih baik ia manfaatkan ketimbang menjadi guru. Pada Januari
1936, Hamka berangkat ke Medan, memelopori jurnalistik Islam dan menekuni karang-
mengarang. Ia memenuhi permintaan Muhammad Rasami, tokoh Muhammadiyah Bengkalis
untuk memimpin Pedoman Masyarakat di bawah Yayasan Al-Busyra pimpinan Asbiran
Yakub.Kedudukan Hamka sebagai tokoh Muhammadiyah menjadi perhatian Jepang. Pada
1944, Jepang mengangkatnya menjadi anggota Chuo Sangi-in untuk Sumatra, yaitu menjadi
penasehat dari Chuokan Sumatra Timur Letnan Jendral T. Nakashima. Pada bulan Desember
1949, Hamka pindah bersama keluarganya ke Jakarta. Ia semula menyewa rumah milik
keluarga Arab di Jalan Toa Hong II, Kebun Jeruk.[38] Untuk memulai hidup, Hamka
mengandalkan honorarium buku-bukunya yang diterbitkan di Medan sambil mengirim tulisan
untuk surat kabar Merdeka dan majalah Pemandangan.Pada tahun 1956, Hamka membangun
sebuah rumah kediaman untuk anak dan istrinya di Jalan Raden Patah, Kebayoran Baru,
Jakarta Selatan. Di depan rumahnya direncanakan akan dibangun sebuah masjid yang digagas
oleh tokoh-tokoh Masyumi, tetapi panitia pembangunan belum mendapatkan tokoh yang tepat
untuk menjadi penanggung jawab dan imam masjid tersebut. Kedekatan Hamka terhadap partai
Masyumi menyebabkan Hamka ikut menjadi bulan-bulanan dari pihak PKI. Pada 30 November
1967, Pemerintah Indonesia menggagas diadakannya Musyawarah Antar Agama. Dalam
musyawarah yang dihadiri pemuka agama yang diakui secara resmi di Indonesia, pemerintah
mengusulkan pembentukan Badan Konsultasi Antar Agama dan pernyataan bersama dalam
piagam yang isinya antara lain, ”Menerima anjuran Presiden agar tidak menjadikan umat yang
sudah beragama sebagai sasaran penyebaran agama lain.” Kesehatan Hamka menurun
setelah mengundurkan diri dari jabatan ketua MUI. Mengikuti anjuran dokter Karnen
Bratawijaya, dokter keluarga Hamka, Hamka diopname di Rumah Sakit Pusat Pertamina pada
18 Juli 1981, bertepatan dengan awal Ramadan.Hamka diakui secara luas sebagai seorang
pemikir Islam Asia Tenggara. Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak, ketika menghadiri
penganugerahan gelar kehormatan Honoris Causa oleh Universitas Kebangsaan Malaysia
kepada Hamka, menyebut Hamka sebagai "kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara".

Armijn pane👍🏻
Armijn Pane (lahir di Muara Sipongi, Mandailing Natal, Sumatra Utara, 18 Agustus 1908 –
meninggal di Jakarta, 16 Februari 1970 pada umur 61 tahun[1]), adalah seorang Sastrawan
Indonesia. Pada tahun 1933 bersama Sutan Takdir Alisjahbana dan Amir Hamzah mendirikan
majalah Pujangga Baru yang mampu mengumpulkan penulis-penulis dan pendukung lainnya
dari seluruh penjuru Hindia Belanda untuk memulai sebuah pergerakan modernisme sastra.[2]
Salah satu karya sastranya yang paling terkenal ialah novel Belenggu (1940)
Setelah lulus ELS di Bukittinggi, Armijn Pane melanjutkan pendidikannya di STOVIA, Jakarta
(1923) dan NIAS, Surabaya (1927) (STOVIA dan NIAS adalah sekolah dokter), kemudian
pindah ke AMS-A di Solo (lulus pada 1931).[3] Di AMS A-1 (Algemene Middelbare School), ia
belajar tentang kesusastraan dan menulis, lulus dari jurusan sastra barat.

Sebagai pelajar di Solo, ia bergabung dengan organisasi pemuda nasional yakni Indonesia
Muda, namun politik tampaknya kurang menarik minatnya daripada kesusasteraan. Saat itu ia
memulai kariernya sebagai penulis dengan menerbitkan beberapa puisi nasionalis, dan dua
tahun kemudian menjadi salah seorang pendiri majalah Pujangga Baru.[4]

Armijn Pane pernah menjadi wartawan surat kabar Soeara Oemoem di Surabaya (1932),
mingguan Penindjauan (1934), surat kabar Bintang Timoer (1953), dan menjadi wartawan
lepas. Ia pun pernah menjadi guru di Taman Siswa di berbagai kota di Jawa Timur. Menjelang
kedatangan tentara Jepang, ia duduk sebagai redaktur Balai Pustaka. Pada zaman Jepang,
Armijn bersama kakaknya Sanusi Pane, bekerja di Kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka
Shidosho) dan menjadi kepala bagian Kesusasteraan Indonesia Modern. Sesudah
kemerdekaan, ia aktif dalam bidang organisasi kebudayaan. Ia pun aktif dalam kongres-kongres
kebudayaan dan pernah menjadi anggota pengurus harian Badan Musyawarah Kebudayaan
Nasional (BMKN) (1950-1955). Ia juga duduk sebagai pegawai tinggi Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan (Bagian Bahasa) hingga pensiun.

Tahun 1969 Armijn Pane menerima Anugerah Seni dari pemerintah RI karena karya dan
jasanya dalam bidang sastra. Pada bulan Februari 1970, beberapa bulan setelah menerima
penghargaan tersebut, ia meninggal.Selain menulis puisi dan novel, Armijn Pane juga menulis
kritik sastra. Tulisan-tulisannya yang terbit pada Pujangga Baru, terutama di edisi-edisi awal
menunjukkan wawasannya yang sangat luas dan, dibandingkan dengan beberapa kontributor
lainnya seperti Sutan Takdir Alisjahbana dan saudara laki-laki Armijn, Sanusi Pane,
kemampuan menilai dan menimbang yang adil dan tidak terlalu terpengaruhi suasana
pergerakan nasionalisme yang terutama di perioda akhir Pujangga Baru menjadi sangat politis
dan dikotomisPuisi Sunting
Gamelan Djiwa. Jakarta: Bagian Bahasa Djawa. Kebudayaan Departemen Pendidikan,
Pengajaran, dan Kebudayaan. 1960
Djiwa Berdjiwa, Jakarta: Balai Pustaka. 1939.
Cerpen Sunting
Kisah Antara Manusia. 1952
Novel Sunting
Belenggu, Jakarta: Dian Rakyat. Cet. I 1940, IV 1954, Cet. IX 1977, Cet. XIV 1991
Kumpulan Cerpen Sunting
Djinak-Djinak Merpati. Jakarta: Balai Pustaka, Cet. I 1940
Kisah Antara Manusia. Jakarta; Balai Pustaka, Cet I 1953, II 1979
Drama Sunting
Ratna. 1943 (menyadur naskah Hendrik Ibsen, Nora)
Antara Bumi dan Langit”. 1951. Dalam Pedoman, 27 Februari 1951.
Karya lainnya Sunting
(Belanda) Kort Oversicht van de Moderne Indonesische Literatuur (1949). Sebuah tinjauan
tentang sastra Indonesia modern
Sandjak-sandjak Muda Mr Muhammad Yamin. 1954. sebuah bahasan tentang sajak-sajak
Muhammad Yamin
Mencari Sendi Baru Tatabahasa Indonesia. 1950. Studinya tentang gramatika bahasa
Indonesia
Jalan Sejarah Dunia. 1952
Tiongkok Jaman Baru, Sejarahnya: Abad ke-19 - sekarang. 1953. sebuah terjemahan
Membangun Hari Kedua. 1956. Terjemahan novel Ilya Ehrenburg.
Habis Gelap Terbitlah Terang. 1968. Menerjemahkan surat-surat Raden Ajeng Kartini.

Sutan takdir Alisjahbana👍🏻


Sutan Takdir Alisjahbana (STA), (lahir di Natal, Mandailing Natal, Sumatra Utara, 11 Februari
1908 – meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 pada umur 86 tahun) adalah seorang budayawan,
sastrawan dan ahli tata bahasa Indonesia. Ia juga salah seorang pendiri Universitas Nasional,

Jakarta.
Ibunya, Puti Samiah adalah seorang Minangkabau yang telah turun temurun menetap di Natal,
Sumatra Utara. Puti Samiah merupakan keturunan Rajo Putih, salah seorang raja Kesultanan
Indrapura yang mendirikan kerajaan Lingga Pura di Natal. Dari ibunya, STA berkerabat dengan
Sutan Sjahrir, perdana menteri pertama Indonesia.[1] Ayahnya, Raden Alisyahbana gelar Sutan
Arbi, ialah seorang guru.[2] Kakek STA dari garis ayah, Sutan Mohamad Zahab, dikenal
sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan agama dan hukum yang luas. Di atas
makamnya tertumpuk buku-buku yang sering disaksikan terbuang begitu saja oleh STA ketika
dia masih kecil. Kabarnya, ketika kecil STA bukan seorang kutu buku, dan lebih senang
bermain-main di luar. Setelah lulus dari sekolah dasar pada waktu itu, STA pergi ke Bandung,
dan sering kali menempuh perjalanan tujuh hari tujuh malam dari Jawa ke Sumatra setiap kali
dia mendapat liburan. Pengalaman ini bisa terlihat dari cara dia menuliskan karakter Yusuf di
dalam salah satu bukunya yang paling terkenal: Layar Terkembang.

STA menikah dengan tiga orang istri serta dikaruniai sembilan orang putra dan putri. Istri
pertamanya adalah Raden Ajeng Rohani Daha (menikah tahun 1929 dan wafat pada tahun
1935) yang masih berkerabat dengan STA. Dari R.A Rohani Daha, STA dikaruniai tiga orang
anak yaitu Samiati Alisjahbana, Iskandar Alisjahbana, dan Sofyan Alisjahbana. Tahun 1941,
STA menikah dengan Raden Roro Sugiarti (wafat tahun 1952) dan dikaruniai dua orang anak
yaitu Mirta Alisjahbana dan Sri Artaria Alisjahbana. Dengan istri terakhirnya, Dr. Margaret Axer
(menikah 1953 dan wafat 1994), STA dikaruniai empat orang anak, yaitu Tamalia Alisjahbana,
Marita Alisjahbana, Marga Alisjahbana, dan Mario Alisjahbana.

Putra sulungnya, Iskandar Alisjahbana pernah menjabat sebagai Rektor ITB, serta mertua dari
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas pada Kabinet
Indonesia Bersatu II, Armida Alisjahbana. Iskandar juga dikenal sebagai "Bapak Sistem
Komunikasi Satelit Domestik Palapa." Sofjan dan Mirta Alisjahbana merupakan pendiri majalah
Femina Group.Setelah menamatkan sekolah HIS di Bengkulu (1921), STA melanjutkan
pendidikannya ke Kweekschool, Bukittinggi. Kemudian dia meneruskan HKS di Bandung
(1928), meraih Mr. dari Sekolah Tinggi di Jakarta (1942), dan menerima Dr. Honoris Causa dari
Universitas Indonesia (1979) dan Universitas Sains Malaysia, Penang, Malaysia (1987).

Kariernya beraneka ragam dari bidang sastra, bahasa, dan kesenian. STA pernah menjadi
redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933). Kemudian mendirikan dan memimpin
majalah Poedjangga Baroe (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-
1952), dan Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-1929),
dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di Universitas Indonesia (1946-1948), guru
besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional,
Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-
1958), guru besar dan Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur
(1963-1968).

Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia, STA pernah menjadi anggota parlemen (1945-
1949), anggota Komite Nasional Indonesia, dan anggota Konstituante (1950-1960). Selain itu,
ia menjadi anggota Société de linguistique de Paris (sejak 1951), anggota Commite of Directors
of the International Federation of Philosophical Sociaties (1954-1959), anggota Board of
Directors of the Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota World Futures Studies Federation,
Roma (sejak 1974), dan anggota kehormatan Koninklijk Institute voor Taal, Land en
Volkenkunde, Belanda (sejak 1976). Dia juga pernah menjadi Rektor Universitas Nasional,
Jakarta, Ketua Akademi Jakarta (1970-1994), dan pemimpin umum majalah Ilmu dan Budaya
(1979-1994), dan Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali (1994).
STA merupakan salah satu tokoh pembaharu Indonesia yang berpandangan liberal. Berkat
pemikirannya yang cenderung pro-modernisasi sekaligus pro-Barat, STA sempat berpolemik
dengan cendekiawan Indonesia lainnya. STA sangat gelisah dengan pemikiran cendekiawan
Indonesia yang anti-materialisme, anti-modernisasi, dan anti-Barat. Menurutnya, bangsa
Indonesia haruslah mengejar ketertinggalannya dengan mencari materi, memodernisasi
pemikiran, dan belajar ilmu-ilmu Barat.Setelah lulus dari Hogere Kweekschool di Bandung, STA
melanjutkan ke Hoofdacte Cursus di Jakarta (Batavia), yang merupakan sumber kualifikasi
tertinggi bagi guru di Hindia Belanda pada saat itu. Di Jakarta, STA melihat iklan lowongan
pekerjaan untuk Balai Pustaka, yang merupakan biro penerbitan pemerintah administrasi
Belanda. Dia diterima setelah melamar, dan di dalam biro itulah STA bertemu dengan banyak
intelektual-intelektual Hindia Belanda pada saat itu, baik intelektual pribumi maupun yang
berasal dari Belanda. Salah satunya ialah rekan intelektualnya yang terdekat, Armijn
Pane.Sebagai penulisSunting
Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929)
Dian Tak Kunjung Padam (novel, 1932)
Tebaran Mega (kumpulan sajak, 1935)
Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936)
Layar Terkembang (novel, 1936)
Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel, 1940)
Puisi Lama (bunga rampai, 1941)
Puisi Baru (bunga rampai, 1946)
Pelangi (bunga rampai, 1946)
Pembimbing ke Filsafat (1946)
Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957)
The Indonesian language and literature (1962)
Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (1966)
Tahun 1970 STA menerima Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah RI.
STA adalah pelopor dan tokoh sastrawan "Pujangga Baru".
Honorary Member of Koninklijk Instituut voor Taal-, Land en Volkenkunde, Netherlands (1976).
The Order of the Sacred Treasure, Gold and Silver from The Emperor of Japan (1987).
Doktor Kehormatan dari School For Oriental And African Studies London 2 Mei 1990
DR.HC dari Universitas Indonesia
DR.HC dari Universitas Sains Malaysia.

Achdiat Karta Miharja👍🏻

Achdiat Karta Mihardja (Sunda: ᮃᮮ᮪ᮓᮤᮃᮒ᮪ ᮊᮁᮒ ᮙᮤᮠᮁᮏ, Latin: Akhdiat Karta Miharja; lahir
di Cibatu, Garut, Jawa Barat, 6 Maret 1911 – meninggal di Canberra, Australia, 8 Juli 2010
pada umur 99 tahun[1]), yang lebih dikenal dengan nama pena singkatnya Achdiat K. Mihardja,
adalah adalah seorang penulis, novelis, dan penulis drama Indonesia. Ia terkenal karena
novelnya, Atheis, yang diterbitkan pada tahun 1949. Atheis dianggap sebagai salah satu karya
sastra terpenting Indonesia setelah Perang Dunia II.
Achdiat lahir pada tanggal 6 Maret 1911 di Garut, Jawa Barat. Ayahnya, seorang manajer bank,
memiliki koleksi buku yang dianggap Achdiat sebagai pemicu minatnya pada sastra.[2] Dia
bekerja sebagai jurnalis di awal kariernya. Pada tahun 1949, ia menerbitkan karyanya yang
paling penting, Atheis, yang berpusat pada seorang pria Muslim dari Jawa Barat, Hasan, dan
hubungannya dengan teman-temannya, yang telah dipengaruhi oleh ide-ide asing, seperti
Marxisme.[3] Buku ini dianggap sebagai salah satu karya sastra modern terpenting di
Indonesia.[4] Atheis kemudian diadaptasi menjadi film tahun 1974, yang disutradarai oleh
Sjumandjaja dan dibintangi oleh Christine Hakim dan Deddy Sutomo. Achdiat adalah penerima
penghargaan sastra nasional Indonesia pada tahun 1956 untuk karyanya.[2]

Pada 1950, ia membantu mendirikan Lekra, organisasi penulis Indonesia yang terkait dengan
Partai Komunis Indonesia. Ia juga seorang tokoh utama di PEN Club Indonesia selama
pertengahan 1950-an, mencari hubungan internasional dengan tokoh-tokoh seperti penyair
Inggris Stephen Spender dan membantu menjadi tuan rumah novelis Afrika-Amerika Richard
Wright selama kunjungannya ke Indonesia untuk Konferensi Bandung 1955.[5] Meskipun rumor
terus berlanjut, dia menyangkal bahwa dia sendiri adalah seorang ateis. Dia adalah anggota
Partai Sosialis Indonesia, yang dilarang pada tahun 1960 oleh temannya, Presiden Sukarno.
Dia kemudian berbicara tentang hubungannya dengan Sukarno: "Kami berteman baik tetapi
tidak dalam hal ideologi...Lebih buruk, tiba-tiba dia melarang partai saya."[2]

Pada tahun 1961, ia menjadi guru besar sastra dan bahasa Indonesia di Universitas Nasional
Australia atas undangan universitas tersebut. Dia akhirnya memilih untuk menetap di Canberra
di Australia pada 1960-an di mana dia tinggal selama lebih dari 40 tahun. Namun, ia terus
mendapat pengakuan atas karyanya di Indonesia. Ia dianugerahi penghargaan seni Indonesia
pada tahun 1971.[2]
Kunjungan terakhirnya ke Indonesia adalah pada bulan Juni 2005. Kunjungan tersebut untuk
mempromosikan rilis Manifesto Khalifatullah, sebuah novel lanjutan dari Atheis yang mulai dijual
pada tanggal 7 Juni 2005. Ia menggambarkan novel tersebut sebagai jawaban atas isu-isu yang
diangkat dalam Atheis dan pesan utamanya adalah bahwa "Tuhan menjadikan manusia
sebagai wakil-Nya di bumi, bukan wakil Setan." Pada tahun 2009 ia menyatakan minatnya
untuk menulis otobiografinya, tetapi ia tidak dapat menyelesaikan pekerjaan ini.Kumpulan
cerpennya, Keretakan dan Ketegangan (1956) mendapat Penghargaan Sastra BMKN tahun
1957 dan novelnya, Atheis (1949) memperoleh Penghargaan Tahunan Pemerintah RI tahun
1969 (R.J. Maguire menerjemahkan novel ini ke bahasa Inggris tahun 1972) dan Sjumandjaja
mengangkatnya pula ke layar lebar pada tahun 1974 dengan judul yang sama, yaitu
Atheis.Polemik Kebudayaan (editor, 1948)
Atheis (novel, 1949) - diangkat ke film layar lebar dengan judul yang sama tahun 1974
Bentrokan Dalam Asrama (drama, 1952)
Keretakan dan Ketegangan (kumpulan cerpen, 1956)
Kesan dan Kenangan (1960)
Debu Cinta Beterbangan (novel, Singapura, 1973)[8]
Belitan Nasib (kumpulan cerpen, 1975)
Pembunuhan dan Anjing Hitam (kumpulan cerpen, 1975)
Pak Dullah in Extrimis (drama, 1977)
Si Kabayan, Manusia Lucu (1997).
Si Kabayan Nongol di Zaman Jepang
Manifesto Khalifatullah (novel, 2006).Beberapa buku studi mengenai karya Achdiat juga telah
diterbitkan, antara lain oleh Boen S. Oemarjati yang menerbitkan Roman Atheis: Sebuah
Pembicaraan (1962) dan Subagio Sastrowardoyo yang menulis artikel "Pendekatan kepada
Roman Atheis" dalam Sastra Hindia Belanda dan Kita (1983).

Amir Hamzah👍🏻

Tengkoe Amir Hamzah yang bernama lengkap Tengkoe Amir Hamzah Pangeran Indra Poetera,
atau lebih dikenal hanya dengan nama pena Amir Hamzah (lahir di Tanjung Pura, Langkat,
Sumatra Timur, Hindia Belanda, 28 Februari 1911 – meninggal di Kwala Begumit, Binjai,
Langkat, Indonesia, 20 Maret 1946 pada umur 35 tahun) [a] adalah sastrawan Indonesia
angkatan Poedjangga Baroe dan Pahlawan Nasional Indonesia. Lahir dari keluarga bangsawan
Melayu Kesultanan Langkat di Sumatra Utara, ia dididik di Sumatra dan Jawa. Saat berguru di
SMA di Surakarta sekitar 1930, Amir muda terlibat dengan gerakan nasionalis dan jatuh cinta
dengan seorang teman sekolahnya, Ilik Soendari. Bahkan setelah Amir melanjutkan studinya di
sekolah hukum di Batavia (sekarang Jakarta) keduanya tetap dekat, hanya berpisah pada tahun
1937 ketika Amir dipanggil kembali ke Sumatra untuk menikahi putri sultan dan mengambil
tanggung jawab di lingkungan keraton. Meskipun tidak bahagia dengan pernikahannya, dia
memenuhi tugas kekeratonannya. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya
pada tahun 1945, ia menjabat sebagai wakil pemerintah di Langkat. Namun siapa nyana, pada
tahun pertama negara Indonesia yang baru lahir, ia meninggal dalam peristiwa konflik sosial
berdarah di Sumatra yang disulut oleh faksi dari Partai Komunis Indonesia dan dimakamkan di
sebuah kuburan massal.
Amir mulai menulis puisi saat masih remaja: meskipun karya-karyanya tidak bertanggal, yang
paling awal diperkirakan telah ditulis ketika ia pertama kali melakukan perjalanan ke Jawa.
Menggambarkan pengaruh dari budaya Melayu aslinya, Islam, Kekristenan, dan Sastra Timur,
Amir menulis 50 puisi, 18 buah puisi prosa, dan berbagai karya lainnya, termasuk beberapa
terjemahan. Pada tahun 1932 ia turut mendirikan majalah sastra Poedjangga Baroe. Setelah
kembali ke Sumatra, ia berhenti menulis. Sebagian besar puisi-puisinya diterbitkan dalam dua
koleksi, Njanji Soenji (EYD: "Nyanyi Sunyi", 1937) dan Boeah Rindoe (EYD: "Buah Rindu",
1941), awalnya dalam Poedjangga Baroe, kemudian sebagai buku yang diterbitkan.

Puisi-puisi Amir sarat dengan tema cinta dan agama, dan puisinya sering mencerminkan konflik
batin yang mendalam. Diksi pilihannya yang menggunakan kata-kata bahasa Melayu dan
bahasa Jawa dan memperluas struktur tradisional, dipengaruhi oleh kebutuhan untuk ritme dan
metrum, serta simbolisme yang berhubungan dengan istilah-istilah tertentu. Karya-karya
awalnya berhubungan dengan rasa rindu dan cinta, baik erotis dan ideal, sedangkan karya-
karyanya selanjutnya mempunyai makna yang lebih religius. Dari dua koleksinya, Nyanyi Sunyi
umumnya dianggap lebih maju. Untuk puisi-puisinya, Amir telah disebut sebagai "Raja Penyair
Zaman Poedjangga Baroe" (EYD:"Raja Penyair Zaman Pujangga Baru") dan satu-satunya
penyair Indonesia berkelas internasional dari era pra-Revolusi Nasional Indonesia.

Amir dibesarkan dalam lingkungan keraton Langkat, di mana ia selalu bercakap dalam bahasa
Melayu, sehingga bahasa tersebut telah "... mendjadi darah daging baginja." (EYD:"menjadi
darah dan daging baginya").[69] Sejak usia muda ia telah diperkenalkan pada sastra lisan,
pantun tertulis dan syair, baik mendengarkan maupun menciptakannya sendiri dengan
improvisasi.[70] Seperti ayahnya sebelum dia, Amir menggemari tulisan Melayu tradisional,
seperti Hikayat Hang Tuah, Syair Siti Zubaidah Perang Cina, dan Hikayat Panca Tanderan. Dia
akan mendengarkan tulisan-tulisan tersebut ketika dibacakan dalam upacara umum, [69] dan
setelah dewasa ia menyimpan koleksi besar tulisan tersebut, meskipun koleksinya tersebut
hancur saat revolusi komunis Sumatra Timur yang merenggut nyawanya.[Diksi Amir
dipengaruhi oleh kebutuhan untuk ritme dan metrum, serta simbolisme yang berhubungan
dengan istilah-istilah tertentu.[116] Diksi yang berhati-hati ini menekankan kata-kata sederhana
sebagai unit dasar dan sesekali menggunakan aliterasi dan asonansi.[117] Pada akhirnya dia
lebih bebas dalam penggunaan bahasanya ketimbang penyair tradisional:[107] Jennifer Lindsay
dan Ying Ying Tan menyororti "daya cipta lisan"-nya, menyuntikkan "kemewahan ekspresi,
kemerduan suara dan makna" ke dalam puisinya.[118] Siregar menulis bahwa hasilnya adalah
"... permainan kata jang indah."[119] Teeuw menulis bahwa Amir memiliki pemahaman lengkap
tentang kekuatan dan kelemahan dari Bahasa Melayu, mencampurkan pengaruh sastra timur
dan barat,[117] sementara Johns menulis bahwa "kejeniusannya sebagai seorang penyair
terletak dalam kemampuannya yang luar biasa untuk menghidupkan kembali bara puisi Melayu
yang kala itu telah terbakar habis, dan untuk menanamkan ke dalam bentuk dan kosakata
Melayu tradisional yang kaya, sebuah kesegaran yang tak terduga dan jelas dan
kehidupan."Amir telah menerima pengakuan yang luas dari pemerintah Indonesia, dimulai
dengan pengakuan dari pemerintah Sumatra Utara segera setelah kematiannya.[130] Pada
tahun 1969 ia secara anumerta dianugerahi Satya Lencana Kebudayaan dan Piagam Anugerah
Seni.[131] Pada tahun 1975 ia dinyatakan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.
[132] Sebuah taman dinamakan untuknya, Taman Amir Hamzah, yang berlokasi di Jakarta di
dekat Monumen Nasional.[71] Sebuah masjid di Taman Ismail Marzuki yang dibuka untuk
umum pada tahun 1977, juga dinamakan untuknya.[133] Beberapa jalan diberi nama untuk
Amir, termasuk di Medan,[134] Mataram,[135] dan Surabaya.[136]

Teeuw menganggap Amir sebagai satu-satunya penyair Indonesia berkelas internasional dari
era sebelum Revolusi Nasional Indonesia.[1] Anwar menulis bahwa penyair ini adalah "puncak
gerakan Pudjangga Baru", mengingat Nyanyi Sunyi telah menjadi "cahaya terang yang
disinarkan dia [Amir] di atas bahasa baru";[129] namun, Anwar tidak menyukai Buah Rindu,
menganggapnya terlalu klasik.[137] Balfas menggambarkan karya Amir sebagai "karya sastra
terbaik yang mengungguli era mereka".[138] Karya Hamzah, khususnya "Padamu Jua",
diajarkan di sekolah-sekolah Indonesia. Karyanya juga salah satu inspirasi untuk drama
panggung posmodern 1992 Afrizal Malna, Biografi Yanti setelah 12 Menit.

Trisno Soemardjo👍🏻

Trisno Sumardjo (lahir di Surabaya, 6 Desember 1916 – meninggal di Jakarta, 21 April 1969
pada umur 52 tahun) adalah seorang sastrawan, penerjemah, dan pelukis Indonesia. Sebagai
penerjemah, ia banyak menerjemahkan drama William Shakespeare. Ia adalah ketua Dewan
Kesenian Jakarta yang pertama dan salah satu penandatangan Manifes Kebudayaan.Trisno
tamat SMS-II Barat Klasik Yogyakarta pada 1937.

Ia pernah bekerja sebagai guru swasta (1938-1942) dan pegawai jawatan Kereta Api (1942-
1946).
Sebagai redaktur, ia pernah bekerja di majalah Seniman (1947-1948), Indonesia (1950-1952),
Seni (1954), dan Gaya (1968).

Di bidang keroganisasian ia pernah menjadi sekretaris umum BMKN (1956), menjadi ketua
pertama Dewan Kesenian Jakarta (1968-1969).

Ia adalah ketua Delegasi Pengarang Indonesia ke RRC (1957). Tahun 1952 ia mengunjungi
Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa Barat, dan tahun 1961 sekali lagi mengunjungi
Amerika Serikat.

Ia adalah salah satu penandatangan Manifes Kebudayaan.

Selain di bidang penulisan, ia juga aktif di bidang seni rupa.

Bersama S. Sudjojono, ia mengawali sejarah kritik seni di Indonesia. Tulisan-tulisan kritik yang
ia buat sangat cair, komprehensif, dan jujur. membahas baik negatif dan positif dari suatu
karya.Pada tahun 1950-an Trisno pernah berdebat dengan Sudjojono tentang haluan seni rupa
Indonesia. Dalam polemik tersebut, Trisno menanggapi anjuran Sudjojono pada seniman
Indonesia untuk kembali pada realisme. Tanggapannya, "Rakyat kita tidak hanya mengerti
realisme, melainkan juga cara-cara lain. Sebab, umumnya rakyat dari dahulu kala telah
mengenal deformasi, baik dalam bentuk maupun warna. Perhatikan wayang-wayang kulit,
relief-relief Borobudur, patung-patung serta lukisan Bali, dan sebagainya. Bukankah hal-hal
yang ekspresif, stylistis, dan dekoratif di dalamnya itu jauh dari realisme?"

Pandangannya tentang seni rupa juga dituangkan dalam tulisan berjudul "Kedudukan Seni
Rupa Kita" yang dimuat dalam Almanak Seni 1957 terbitan Badan Musyawarah Kebudayaan
Nasional. Di dalamnya ia menganjurkan agar perkembangan kreativitas serta perjuangan seni
rupa tidak hanya terbatas pada kain kanvas. Fatwa ini menjadi ancang-ancang sikapnya untuk
tidak mengutamakan satu bentuk seni rupa tertentu. Dia menyebut lapangan baru yang tidak
semata kanvas itu antara lain membangkitkan karya cukilan kayu, etsa, ex-libris, fresco, patung,
relief, monumen, keramik, arsitektur, tata kota dan sebagainya.Puisi Sunting
Silhuet. Jakarta: Yayasan UNIK 1965.
Kata Hati dan Perbuatan. Jakarta: Balai Pustaka, 1952.
Suling Patah, 1988.
Cerpen Sunting
Katahati dan Perbuatan, kumpulan cerpen, drama, dan sajak, Balai Pustaka, 1952.
Rumah Raja. Jakarta: Pembangunan, 1957.
Daun Kering. Jakarta: Balai Pustaka, 1962.
Penghuni Pohon. Jakarta: Balai Pustaka 1963.
Keranda Ibu. Jakarta: Balai Pustaka, 1963.
Wajah-wajah yang Berubah. Jakarta: Balai Pustaka, 1968.
Pak Iman Intelek Istmewa.
Drama Sunting
Tjita Teruna. Jakarta: Balai Pustaka, 1953
Terjemahan Sunting
Saudagar Venezia. Jakarta: Pembangunan, 1950. (karya William Shakespeare).
Hamlet, Pangeran Denmark. Jakarta: Pembangunan; 1950. (karya William Shakespeare).
Macbeth (karya William Shakespeare). Jakarta: Pembangunan 1952.
Manasuka (karya William Shakespeare). Jakarta: Balai Pustaka, 1952.
Prahara (karya William Shakespeare). Jakarta: Bahai Pustaka, 1952.
Impian di Tengah Musim (karya William Shakespeare). Jakarta: Balai Pustaka, 1953.
Dongeng-Dongeng Perumpamaan (karya Jean De La Foutaine). Jakarta: Balal Pustaka, 1959.
Dokter Zhivago (karya Boris Pasternak, Rusia). Jakarta: Djambatan, 1960.
Romeo dan Julia (karya William Shakespeare). Jakarta: Badan Musyawarah dan Kebudayaan
Nasional, 1955, Cetakan II, Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1960.
Maut dan Misteri (karya Edgar Allan Poe). Jakarta: Djambatan, 1969.
Terjemahan yang Belum Diterbitkan Sunting
Antonius dan Cleopatra (karya William Shakespeare). 1963.
Raja Lear (karya William Shakespeare).
Othelo (karya William Shakespeare).
Venus dan Adonis (epos bersajak).
Cerpen "Narcissus" dimuat dalam antologi berbahasa Jerman, Kurs erzahlt: DIe schonsten
Geschichten der Weltliteratur (1949). Sementara itu, cerpen "Topeng" dimuat dalam antologi
berbahasa Belanda, Modern Indoneische Berhalen (1967). Esai-esai karya dan tentang Trisno
Sumardjo dikumpulkan dalam Trisno Sumardjo: Pejuang Kesenian Indonesia (ed. Korrie Layun
Rampan; 1985).

H.b. jassin👍🏻
Hans Bague Jassin, atau lebih sering disingkat menjadi H.B. Jassin (lahir di Gorontalo , 13 Juli
1917 – meninggal di Jakarta, 11 Maret 2000 pada umur 82 tahun) adalah seorang pengarang,
penyunting, dan kritikus sastra berkebangsaan Indonesia. Tulisan-tulisannya digunakan
sebagai sumber referensi bagi pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di kalangan sekolah dan
perguruan tinggi dengan menggolongkan angkatan sastra.[1][2]. Dia mendirikan Pusat
Dokumentasi Sastra H.B. Jassin yang kemudian mendapat bantuan gedung dari Pemerintah
Daerah DKI Jakarta di Taman Ismail Marzuki. Karena kiprahnya di bidang kritik dan
dokumentasi sastra, dia dijuluki Paus Sastra Indonesia.
H.B. Jassin dilahirkan tanggal 31 Juli 1917 di Gorontalo, Sulawesi Utara, dari keluarga Islam.
Ayahnya bernama Bague Mantu Jassin, seorang kerani Bataafsche Petroleum Maatschappij
(BPM), dan ibunya bernama Habiba Jau. Setelah menamatkan Gouverments HIS Gorontalo
pada tahun 1932, Jassin melanjutkan ke HBS-B 5 tahun di Medan, dan tamat akhir 1938.
Tanggal 15 Agustus 1957, Jassin meraih gelar kesarjanaannya di Fakultas Sastra UI, dan
kemudian memperdalam pengetahuan mengenai ilmu perbandingan sastra Universitas Yale,
Amerika Serikat (1958-59).Atas jasa-jasanya di bidang kebudayaan, Jassin menerima
Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 20 Mei 1969.

Tanggal 26 Januari 1973 Jassin menerima Hadiah Martinus Nijhoff dari Prins Bernhard Fonds
di Den Haag, Belanda. Hadiah ini diberikan untuk jasa Jassin menerjemahkan karya Multatuli,
Max Havelaar (Jakarta: Djambatan 1972).
Untuk menghormati jasanya di bidang sastra Indonesia, tanggal 14 Juni 1975 Universitas
Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa kepada Jassin.

Atas jasa-jasanya di bidang kesenian dan kesusastraan, Jassin menerima Hadiah Seni dari
Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1983.

Pada tahun 1987 dia mendapatkan hadiah Magsaysay dari Yayasan Magsaysay, Filipina.

Pada tahun 1994 dia dianugerahi Bintang Mahaputera Nararaya oleh Pemerintah RI.H.B.
Jassin meninggal dunia pada hari Sabtu, 11 Maret 2000 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
dalam usia 83 tahun. Ia meninggalkan empat anaknya yaitu Hannibal Jassin, Mastinah Jassin,
Julius Firdaus Jassin, Helena Magdalena Jassin 10 orang cucu dan 1 orang cicit. Ia
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, Jakarta.

Idrus
Abdullah Idrus (lahir di Padang, Sumatra Barat, 21 September 1921 – meninggal di Padang,
Sumatra Barat, 18 Mei 1979 pada umur 57 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia.

Ia pernah sekolah di HIS, MULO, AMS, dan Sekolah Menengah Tinggi (tamat 1943). Ia meraih
gelar Master of Arts dari Universitas Monash, Australia (1974). Ketika meninggal, ia adalah
kandidat Ph.D di universitas tersebut.

Ia pernah menjadi redaktur Balai Pustaka (1943-1949), kepala bagian pendidikan GIA (1950-
1952), dan dosen Universitas Monash (1965-1979). Ia juga pernah menjadi redaktur majalah
Indonesia dan Kisah.

Dalam bidang penulisan, ia menulis cerpen, novel, dan drama. Selain itu, ia menerjemahkan
karya sastra.[1]
Karena tekanan politik dan sikap permusuhan yang dilancarkan oleh Lembaga Kebudayaan
Rakyat terhadap penulis-penulis yang tidak sepaham dengan mereka, Idrus terpaksa
meninggalkan tanah air dan pindah ke Malaysia. Ia tinggal di Malaysia dari 1960 sampai
1964.Karya-karya idrus ditulis dengan bahasa sehari-hari yang ringkas, sederhana, dan tanpa
hiasan kata-kata. Persoalan yang sering menjadi tema utama karyanya adalah masalah-
masalah sosial yang terjadi pada zamannya. Ia membongkar habis keadaan buruk dan kacau
pada masa revolusi dan zaman Jepang.

Dalam karyanya ia menonjolkan berbagai kelemahan manusia. Konsep penceritaan semacam


ini dipelajarinya dari sastrawan ekspresionis Belanda, Willem Elsschot. Gaya sastra ini
memfokuskan pada ketepatan dalam bentuk seharusnya.[1]

Kekhasan gayanya dalam menulis pada masa itu membuatnya memperoleh tempat terhormat
dalam dunia sastra, sebagai Pelopor Angkatan ’45 di bidang prosa, yang dikukuhkan H.B.
Jassin dalam bukunya, walaupun Idrus menolak digolongkan ke dalam Angkatan '45.

Idrus juga menulis karya-karya ilmiah yang berkenaan dengan sastra, seperti Teknik
Mengarang Cerpen dan International Understanding Through the Study of Foreign Literature.
Ia menikah dengan Ratna Suri pada tahun 1946. Mereka dikaruniai enam orang anak, empat
putra dan dua putri, yaitu Prof. Dr. Ir. Nirwan Idrus, Slamet Riyadi Idrus, Rizal Idrus, Damayanti
Idrus, Lanita Idrus, dan Taufik Idrus.

Anda mungkin juga menyukai