Anda di halaman 1dari 15

ARTIKEL 1 :

Amir Hamzah lahir pada 28 Februari 1911, ayahnya bernama Tengku Muhammad adil dan
ibunya bernama Tengku mahjiwa. Pada tahun 1918-1924 Amir Hamzah masuk sekolah
Langkatsche School, Sekolah Dasar di zaman Belanda yang dikelola langsung oleh Sultan
Langkat, berbasis dana pada keuangan Kesultanan Langkat. Saat kelas V, Ryna Neynhoff
(putri seorang ambtenaar Belanda) jatuh hati pada TAH. Akhirnya keluarga Belanda ini
pindah ke Medan. Beliau terkenal akan jiwa sosialnya dan menyebut dirinya dengan istilah
panggilan Abang [mengabangkan diri] pada rekan-rekan sebayanya. Ini adalah bentuk
kepemimpinan dan jiwa humanisme universalnya. Pada tahun 1918-1924 ia masuk menjadi
murid pendidikan agama Islam di sore hari di Maktab Putih sebelah Mesjid Azizi, Guru
agamanya ini antara lain: Tuan Haji Muhammad Ziadah yang juga pemimpin pondok, Bilal
Kudin, Bilal Habib. TAH belajar bahasa Arab kepada gurunya Tuan Syekh Haji Abdul Kairm
dan Tuan Kadhi Haji Muhammad Nur di Binjai. Pada Agustus 1925 Amir Hamzah Masuk ke
MULO di Medan, Masuk pada voor klas (kelas pendahuluan) dan sampai kelas dua. Awalnya
in de kost (menumpang dengan cara membayar segala keperluan) di rumah Raja Kocik asal
Melayu Asahan di Kampung Keling. Kemudian pindah ke rumah pakciknya Tengku
Kamaruddin di Kampung Glugur. Karena masih jauh pindah lagi di rumah Tengku Elok di
Amaliaastraat dan pada tahun 1927 Amir Hamzah menamatkan studinya di MULO Batavia
ini sesuai dengan cita-citanya yang haus akan ilmu kebudayaan, Pada Juli 1926 Amir
Hamzah Pindah ke Christelijk MULO di Batavia, Amir Hamzah mendesak ayahandanya
agar ia pindah sekolah ke Jawa, yang dipandang sebagai pusat ilmu kebudayaan kala itu.
Permintaan dikabulkan dan ia diantar oleh ayahnya ke pelabuhan Belawan dan menaiki Kapal
Plancius, menuju Batavia tetapi singgah dahulu di Singapura. Saat di perjalanan dia mencipta
puisi yang bertajuk “Tinggallah.”
Masuk di kelas tiga. Ia masuk ke sekolah Katolik dan tetap belajar agama Katolik dengan
tujuan menambah wawasan dan perbandingan ilmu agama. Pada 1927-1929 ia melanjutkan
studi di AMS Solo Bahagian Sastra Timur. Beliau mondok di perumahan KRT
Wreksodiningrat, kemudian pindah ke rumah RT Sutijo Hadinegoro di Nggabelen. Ia aktif
dalam pergerakan Indonesia merdeka. Ia menjadi Ketua Muda Indonesia cabang Solo dan
juga membentuk Kepanduan Bangsa Indonesia yang kelak menjadi Pramuka. Sambil belajar
ia pun mengajar di beberapa sekolah di Surakarta ini untuk mengabdikan ilmunya kepada
Nusa dan Bangsa Indonesia dan pada tahun 1930 Amir Hamzah Melanjutkan studi di Recht
Hoge School (RHS) atau Fakultas Ilmu Hukum sekarang ia ingin menjadi seorang sarjana
hukum (Mesteer in the Rechten) dalam gaya pendiudikan Belanda.

Amir Hamzah adalah seorang Wira Melayu yang lingkup perjuangannya meluas secara
nasional bahkan secara internasional, khususnya di dunia Melayu. Amir Hamzah adalah
sosok yang sangat mendukung kontinuitas dan perubahan kebudayaan dan menjaga harmoni
serta konsistensi internal kebudayaan. Baginya sistem-sistem sosial dan budaya yang berlaku
di tengah masyarakat, merupakan hasil kearifan masyarakat pendukungnya yang telah teruji
oleh ruang dan waktu.

Bahasa Indonesia merupakan bahasa utama TAH dalam mengekspresikan gagasan-gagasan


kebudayaan dan berbagai puisinya yang memiliki nilai-nilai kultural dan estetik yang khas.
Kelembutan hatinya tercermin dari wajahnya. Pilihan bahasa ekspresi kebudayaan kepada
bahasa Indonesia merupakan cerminan jiwa yang nasionalisme tersebut. Bahasa Indonesia
bagi Amir adalah simbol dari kemelayuan, kepahlawanan, dan juga keislaman. Karya-karya
sastra TAH adalah refleksi dari relijiusitas, kecintaan pada ibu pertiwi dan kegelisahan
sebagai seorang pemuda Melayu. Selaras dengan gagasan dan perjuangan bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional, maka TAH pun berjuang menggunakan bahasa Indonesia ini dalam
bidang yang intens digeluti dan menjadi nafas menyatu dalam kehidupannya, yaitu sastra dan
budaya. Sejak tahun 1920 sudah ada majalah yang memuat karangan berupa cerita saja atau
memuat sastra, seperti majalah Sri Poestaka (1919-1941), Pandji Poestaka (1919-1942),
Yong Sumatra (1920-1926), dan lain-lain. Namun sampai awal dasawarsa 1930-an niat para
pengarang dan sastrawan untuk menerbitkan sebuah majalah yang khusus berisi kebudayaan
belum terlaksana. Tahun 1930 terbit majalah Timboel (1930-1933) yang awal penerbitannya
menggunakan bahasa Belanda namun dua tahun kemudian 1932 terbit juga dalam edisi
bahasa Indonesia dengan redakturnya Sanusi Pane. Sementara itu, tahu 1932 STA yang saat
itu bekerja di Balai Pustaka menerbitkan rubrik “Menuju Kesusastraan Baru” dalam Majalah
Pandji Poestaka, Armijn Pane dan STA berhasil menerbitkan majalah Poedjangga Baroe
(1933-1942) dan (1949-1953).

Dalam edisi yang ditandatangai oleh Armijn Pane, TAH, dan Sutan Takdir Alisyahbana
menjelang penerbitan perdana majalah Poedjangga Baroe ini dijelaskan bahwa: “Dalam
zaman kebangunan sekarang ini pun kesusastraan bangsa kita mempunyai tanggungan dan
kewajiban yang luhur. Ia menjelmakan semangat baru memenuhi masyarakat kita, ia haruis
menyampaikan berita kebenaran yang terbayang-bayang dalam hati segala bangsa Indonesia,
yang yakin akan tibanya masa kebesaran itu.” Jikalau TAH tidak mati muda, mungkin akan
lebih banyak lagi syair yang dihasilkannya. Namun itulah, takdir seringkali tak bisa ditebak,
dan sejarah seringkali menjemput orang-orag terbaiknya lebih awal. Mati muda bukanlah
pilihan hidup Amir, tapi lebih merupakan takdir dari Allah, dan dalam konteks tertentu
dipandang sebagai “kecelakaan sejarah.” Walaupun hidupnya sangat singkat, Amir telah
menghasilkan 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris asli, 1 prosa liris terjemahan,
13 prosa asli, dan 1 prosa terjemahan. Secara keseluruhan ada sekitar 160 karya Amir yang
berhasil dicatat. Dengan melihat data-data tersebut, maka konsentrasi karya TAH adalah pada
sajak, kemudian disusul pada prosa. Baginya menulis sajak dan prosa ini adalah bagian dari
latihan-latihan estetika dan kerohanian beliau. Namun sebagai penyair yang mempunyai
karakter dan cita-cita kebudayaan yang universal, luas, dan holistik, ia tidak hanya
mengeksplorasi unsur-unsur Melayu saja, tertapi Nusantara, dan dunia. Dalam konteks ini ia
pun bertindak sebagai penerjemah atau pengalihbahasa karya-karya sastra asing. Ini
membuktikan bahwa beliau sebagaimana diajarkan dalam adat Melayu, bertindak secara
kultural sebagai bahagian dari globalisasi, yang kemudian menjadi begitu menggejala di
paruh kedua abad ke-20 sampai abad ke-21 ini. Karya-karya TAH tersebut terkumpul dalam
kumpulan sajak Buah Rindu, Nyanyi Sunyi, Setanggi Timur, dan terjemah Baghawat Gita.
Dari karya-karya tersebutlah, Amir meneguhkan posisinya sebagai penyair hebat. Sutan
Takdir Alisjahbana menyebut karya-karya Amir dalam Nyanyi Sunyi sebagai berkualitas
internasional; para pengamat lain menyebut karya tersebut sebagai salah satu puncak
kepenyairan Indonesia. Berkaitan dengan pribadi Amir, Anthony H. Johns menyebutnya
sebagai a distinctive and uncompromising individual. H.B. Jassin dan Zuber Usman
menyebutnya sebagai Raja Penyair Pujangga Baru. Sedangkan A. Teeuw menyebutnya
sebagai, the only pre-war poet in Indonesia whose works reaches international level and is of
lasting literary interest.

Di dalam sajak-sajaknya, jelas tampak kekuatan kemampunnya terutama dalam menyusun


suara dan perbendaharaan kata-kata (diksi)nya yang kaya. Susunan kata-katanya yang
merupakan rangkaian suara hati kepenyairannya itu merupakan prosodi verbal dan nonverbal
yang sangat merdu. Dalam sajak-sajak TAH ini sering pula dijumpai kata-kata yang
mempergunakan bahasa Jawa, Kawi, maupun Sanskerta. Hal itu disebabkan pengaruh serta
pengalamannya sewaktu bersekolah di Solo, yaitu AMS bagian Sastra Timur. TAH pun
tergolong sebagai penulis yang produktif yaitu selama 14 tahun (1932-1946) menghasilkan
sebanyak 160 karya. Tema dan nilai-nilai yang terkandung di dalam karya-karya sastra TAH,
adalah berakar dari kebudayaan Melayu (khususnya Sumatera Timur), dipadukan dengan
budaya-budaya seluruh Nusantara yang dipelajarinya, kebudayaan Timur, dan Kebudayaan
Barat. Di dalam karya-larya sastra beliau ini, terkandung curahan isi hatinya sebagai musafir
lata dengan pengalaman kehidupan yang sedih, baik di bidang pendidikan, asmara, kenyataan
politis, dan lain-lainnya. Namun demikian, kesemua takdirnya itu ia jalani dengan ikhlas
sebagai bahagian dari meningkatkan derajat atau maqam hidupnya, sesuai dengan ajaran
dalam adat Melayu. Dalam karya-karya sastranya juga tampak bahwa ia selalu berkomunikasi
dengan Sang Khalik, yaitu Allah SWT. Dalam hal ini ia pun menggunakan ide-ide sufisme
yang memang telah dipelajarinya bersama semua warga Melayu Langkat yang akrab dengan
tarekat yang berpusat di Besilam.

Artikel 2 :

Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putra (1911 - 1946) adalah seorang penyair
Angkatan Pujangga Baru sekaligus tokoh aktivis gerakan kepemudaan Indonesia, yang lahir
di Kota Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Timur pada tanggal 28 Februari 1911. Ia merupakan
putra bungsu dari Wakil Sultan Langkat Hulu, Tengku Muhammad Adil Rahmad Shah ( ? –
1932) dan Tengku Mahjiwa ( ? –1931), yang dikenal santun, rendah hati, idealis, disiplin
serta dekat dengan agama. Sepeninggalan kedua orangtuanya, biaya hidup Tengku Amir
Hamzah ditanggung oleh pamannya, Sultan Mahmud Abdul Djalil Rahmat Syah (1893 –
1947), yang menjabat sebagai Sultan Langkat ke-X. Pada masa berikutnya, penyair diketahui
telah merantau ke Pulau Jawa untuk melanjutkan studi formal, sekaligus terlibat dalam
organisasi-organisasi kepemudaan nasionalis (Husny, 1978: 17). Sebagai penulis, Tengku
Amir Hamzah telah menghasilkan setidaknya 160 karya yang terbagi dalam kategori fiksi dan
non fiksi. Adapun karya-karya fiksi tersebut terbit dalam bentuk terjemahan dan antologi,
antara lain: (a) buku terjemahan Bhagawad-Gita (1933 – 1935) dan (b) buku antologi puisi
orisinal Njanji Soenji (1937), Buah Rindu (1941) dan Setanggi Timoer (1939). Sementara itu,
karya-karya non fiksi penyair kerap terbit dalam bentuk esai dan buku, yakni: (a) esai
Abdullah (1933), Pembitjaraan Kesoesastraan Adjam (1934), Pembitjaraan Kesoesastraan
Arab (1934), Pembitjaraan Kesoesastraan India(1934), Pembitjaraan Kesoesastraan Indonesia
(1934), Pembitjaraan Kesoesastraan Tionghoa (1934) dan Kesoesastraan Indonesia Baroe
(1941); (b) tinjauan buku Inleiding Tot de Studie van den Heiligen Qoer-an (1934), Modern
Maleisch Zakelijk Proza (1934), Rindoe Dendam (1935); (c) studi syair tradisional Pantoen
(1935); dan buku Sastera Melajoe Lama dan Radja-Radja'nja (1942).Dari segi pendidikan,
Tengku Amir Hamzah diketahui telah menempuh studi formal di sekolah-sekolah yang
didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Lebih lanjut, penyair tercatat pernah menempuh
pendidikan di HIS Tanjung Pura (1917 – 1924), MULO Medan (1925), Christelijk MULO
Menjangan, Batavia (1926 – 1927), AMS (Algemene Middelbare School), Surakarta (1927),
Sekolah Hakim Tinggi (Rechtschogeschool), Batavia (1932 – 1937). Meskipun demikian, ia
diketahui senantiasa menjunjung tinggi adat serta identitas bangsa Melayu, yang tercermin
dalam sebagian besar karyanya (Mahmud, 2012: 79).

Semasa hidupnya, Tengku Amir Hamzah diketahui sangat aktif dalam berbagai bidang
profesi, antara lain meliputi bidang pendidikan, politik, pemerintahan, dan kesusatraan. Ia
tercatat pernah menjadi anggota organisasi sosial Jong Sumatranen Bond (Husny, 1978: 29),
anggota Kongres Pemuda (Husin, 2013b: 8), menjadi kepala cabang Indonesia Moeda, editor
majalah Garoeda Merapi (Dini, 1981: 74), penyair majalah Timboel dan Pandji
Poestaka(Teeuw, 1980: 126 – 127 dan Jassin, 1962: 211 – 219), salah satu pendiri Madjalah
Poedjangga Baroe (Teeuw, 1980: 50), komentator radio, petugas badan

sensor di Kota Medan (Husny, 1978: 84 – 89). Selain itu, ia juga sempat menduduki jabatan
sebagai asisten residen (bupati) Langkat (Husny, 1978: 90 –91).

Pada tahun 1929, Tengku Amir Hamzah mulai menjalin hubungan asmara dengan seorang
gadis jawa yang bernama Ilik Sundari, yaitu teman seangatannya ketika menempuh
pendidikan di AMS Surakarta. Seperti yang diketahui, Ilik Sundari merupakan cinta sejati
sekaligus sumber inspirasi dari sebagian besar karya Tengku Amir Hamzah (Dini, 1981: 47).
Meskipun demikian, keduanya berpisah pada tahun 1934 sebagai akibat dari kepulangannya
ke Tanjung Pura demi mematuhi perintah Sultan Langkat, yang mengalami tekanan dari
pihak Kolonial Belanda. Selanjutnya, Tengku Amir Hamzah dinikahkan

dengan Tengku Kamaliah (? – 1961), yakni putri tertua dari Sultan Mahmud Abdul Djalil
Rahmat Syah (Takari dkk., 2016: 6). Dari segi politik, Tengku Amir Hamzah diketahui
sebagai tokoh konseptor utama Sumpah Pemuda. Adapun kontribusi terbesar penyair tersebut
terletak pada pengusulan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, yang sebagian besar
bersumber dari Bahasa Melayu (Husin, 2013b: 9). Lebih lanjut, Tengku Amir Hamzah
diketahui sebagai orang pertama yang mengumumkan
tentang berita kemerdekaan Indonesia di Kota Tanjung Pura, Langkat tepatnya tanggal 19
September 1945. Dalam realisasinya, penyair mengendarai Jeep ke seluruh penjuru kota
sambil mengibarkan bendera merah putih dan bersorak ”Indonesia sudah merdeka!” kepada
masyarakat sekitar. Meskipun demikian, fakta tersebut jarang sekali diketahui publik
mengingat media-media pada masa

tersebut masih dikuasai oleh kelompok komunis/sosialis (Husin, Ibid: 26 – 27).

Tengku Amir Hamzah meninggal pada usia 35 tahun sebagai korban dari peristiwa Revolusi
Sosial, yang berlangsung di Kabupaten Langkat sejak tanggal 20 Maret 1946 (Dini, 1981:
151). Menanggapi kejadian tragis tersebut, jasa-jasanya dikenang oleh negara melalui
sejumlah penghargaan, antara lain seperti pemberian Satya Lencana Kebudayaan dari
Presiden RI (Mei, 1969), Piagam Anugerah Seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI
(Agustus 1969) dan dua buah piagam penghargaan dari Panglima Komando Wilayah
Pertahanan Sumatera (Husin, 2013b: 61). Pada tanggal 3 November 1975, Tengku Amir
Hamzah secara resmi dikukuhkan pemerintah sebagai pahlawan nasional. Tengku Amir
Hamzah termasuk salah satu tokoh pejuang nasional. Adapun argumen tersebut dilandasi oleh
wawasan serta pengetahuan sejarah, terutama terkait aktivitas politik yang pernah dijalani
penyair semasa hidup. Di sisi lain, karya-karya Tengku Amir Hamzah diyakini turut
mempertegas identitas bangsa Indonesia melalui bahasa yang digunakannya. Tengku Amir
Hamzah terlibat dalam gerakan-gerakan nasionalis seperti Indonesia Moeda dan Pandu.
Sehubungan dengan itu, penyair diketahui telah bertindak sebagai tokoh konseptor Sumpah
Pemuda. Tengku Amir Hamzah sejatinya telah melakukan terobosan dalam hal sosialisasi
bahasa nasional. Dalam praktiknya, Tengku Amir Hamzah diketahui telah memfungsikan
Bahasa Indonesia sebagai usaha pelunturan pengaruh Bahasa Belanda dari karya-karya
penulis era penjajahan (1930-an). Tengku Amir Hamzah secara jelas

telah melakukan upaya modernisasi terhadap jenis puisi Indonesia. Adapun kontribusi
tersebut ditandai dengan diperkenalkannya Puisi Liris dalam tulisan-tulisan penyair, yakni
sejenis sajak ekspresif, berdiksi indah, tidak vulgar dan bersenandung menyerupai Pantun
Melayu, yang diketahui bersifat mengabaikan aturan pola persajakan tradisional.

Tengku Amir Hamzah diketahui kerap menghasilkan karya-karya sastra tematik (mewakili
tema-tema tertentu), terutama yang mengangkat tentang cinta, kemenduaan, kemelayuan dan
sufisme. Adapun
hal tersebut disampaikan masing-masing subjek. karya-karya Tengku Amir Hamzah penuh
akan pesan-pesan tersirat (hidden messages). Pada umumnya, terdapat kata-kata bermakna
polisemi dan ambigu di setiap karya yang dihasilkan oleh penyair. Sehubungan dengan itu,
para informan menafsirkan konten karya-karya penyair sebagai amanat untuk berbakti kepada
orangtua, negara dan cinta serta,

kritik terhadap Balai Bahasa. Tengku Amir Hamzah cenderung menghasilkan karya-karya
yang berorientasi pada aliran Romantik Barat, terutama Inggris.

Adapun hal tersebut ditandai dengan penulisan puisi-puisi berstruktur soneta, yang dibangun
penyair melalui permainan kata-kata indah dan unsur-unsur ”keakuannya” (self expression).
karya-karya Tengku Amir Hamzah dilandasi oleh konteks Kajian Budaya (Cultural Studies)
dan paradigma Teori

Sosial Kritis. Secara praktis, karya sastra tersebut diyakini telah menyuarakan tanggapan
penyair atas berlangsungnya aksi feodalisme, kolonialisme, diskriminasi dan pertentangan
kelas di kehidupan masyarakat era Kolonial Belanda (1930-an).Proyeksi data puisi-puisi
Amir Hamzah, tentang cinta (62,5%), mengenai kritik sosial (25%) dan mengenai sufisme
(12,5%). Tengku Amir Hamzah merupakan salah satu penyair yang telah memberikan
kontribusi terbesar bagi perkembangan Bahasa Indonesia (Bachri, 2007: 297). Melalui puisi-
puisinya, ia telah memasukkan berbagai diksi yang terdiri dari penggabungan dialek-dialek
khas etnis nusantara sehingga pada akhirnya membentuk cikal bakal Bahasa Indonesia
modern. Sebagai akibatnya,

Tengku Amir Hamzah sering juga dianggap sebagai tokoh penting yang mempelopori
kelahiran Sastra Indonesia (K.S., 2010: 33). Lebih lanjut mengenai pernyataan tersebut,
diterangkan oleh Faruk H.T. (dalam K.S., Yudiono, 2010: 87), Apabila diamati, dapat
dikatakan bahwa hampir seluruh karya yang

dihasilkan oleh Tengku Amir Hamzah adalah menggunakan Bahasa Indonesia. Hal tersebut
dianggap sebagai kebiasaan yang tidak lazim mengingat sebagian besar karya sastra penyair
Indonesia era 1930-an lainnya yang masih menggunakan Bahasa Belanda ataupun bahasa
daerahnya masing-masing (Mihardja dalam Yusra, 1996: 38). Tengku Amir Hamzah
diketahui secara konsisten telah membangun Bahasa Indonesia dengan cara memodifikasi
Bahasa Melayu (Raffel, 1962: 2) yang merupakan lingua franca (bahasa perantara) bagi
masyarakat Hindia Belanda sejak zaman Kerajaan Majapahit (Ricklefs, 2007: 77), yakni
dengan cara memasukkan berbagai kosa kata yang merupakan hasil kolaborasi dari berbagai
bahasa daerah nusantara dan beberapa bahasa asing. Adapun tujuan dari upaya modifikasi
tersebut disebabkan oleh keinginan penyair untuk menyuarakan suatu bentuk ekspresi
kemerdekaan kreatif khas zaman peralihan. hampir dalam seluruh karya sastra Tengku Amir
Hamzah menggunakan diksi yang halus dan santun. Jika dibandingkan dengan seluruh karya
dari rekan-rekan penyair Romantik Indonesia seangkatannya seperti Sutan Takdir
Alisjahbana, Armijn Pane dan Sanusi Pane

yang sangat lugas dan berani dalam hal penggunaan diksi, Tengku Amir Hamzah justru
memilih untuk menghindari ungkapan-ungkapan yang bernada kasar ataupun kontroversial
pada seluruh puisi dan prosa yang pernah diciptakannya. Sebagai akibatnya, puisi-puisi karya
Tengku Amir Hamzah tersebut memperoleh predikat sebagai satu-satunya karya penyair
Indonesia Pra-Perang Dunia II dengan rangkaian diksi yang paling halus (Rosidi dalam
Rahman, 2014: 169 – 170). Ditinjau dari segi penggunaan imaji, banyak di antara puisi karya
Tengku Amir Hamzah terdiri dari bentukan berbagai diksi yang bersifat arkais (kuno), yakni
kata-kata yang diserap penyair dari berbagai bahasa daerah maupun bahasa asing yang telah
lama punah (extinct languages), antara lain Bahasa Sanskerta, Jawi, Melayu Kuno, dan lain-
lain. Sedangkan dari segi makna, penggunaan berbagai imaji dalam puisi-puisi karya Tengku
Amir Hamzah tersebut berfungsi sebagai suatu bentuk representasi sosok, perbuatan ataupun
sifat dari orang-orang serta tempat yang ingin diceritakannya. Sebagai akibatnya, sebagian
besar dari puisi yang dimaksud dianggap cukup sulit untuk ditafsirkan oleh pembaca.

Puisi-Puisi Liris karya Tengku Amir Hamzah diketahui memiliki struktur yang unik.
Meskipun tergolong sebagai karya aliran Romantik, puisi-puisi tersebut dianggap berbeda
dengan bentuk pada umumnya. Adapun Puisi Liris yang dimaksud tidak bersifat terikat
dengan aturan jumlah larik dan bait, serta cenderung berfokus kepada diksi dibandingkan
bunyi dalam tiap-tiap lariknya (Teeuw, 1967: 90). Dengan demikian, maka eksistensi dari
Puisi-Puisi Liris karya Tengku Amir Hamzah tersebut sejatinya telah memperkenalkan suatu
variasi baru bagi dunia Kesusastraan Romantik. Secara struktur, Puisi-Puisi Liris karya
Tengku Amir Hamzah merupakan gabungan dari gaya puisi Barat dan gaya puisi Timur. Pada
satu sisi, ia diketahui telah menggunakan jenis stanza (bait puisi) tertentu berikut rangkaian
poetic metre (panjang-pendek dan tekanan suku kata) khas karya Sastra Barat. Sementara
dalam hal penggunaan diksi, ia dianggap sangat mewakili kekhasan dari karya Sastra Timur
melalui penyusunan kata menyerupai bentuk sajak lama dan pantun Melayu yang identik
dengan kandungan nasihat serta petuah (Mahanaya, 2015: 385). Tengku Amir Hamzah
dikenal luas sebagai satu-satunya penyair Pra-
Perang Dunia II dengan karya-karya sastra berkualitas internasional (Teeuw, 1967: 84).
Adapun sebagian di antara karya tersebut ditulis penyair ke dalam bentuk Puisi Liris dengan
struktur dan diksi yang bernilai tinggi, sehingga pada akhirnya ia sering dijadikan sebagai
karya acuan pada acara-acara pembacaan puisi ataupun kajian ilmiah di tingkat perguruan
tinggi (Jassin dalam Yusra, 1996: 8). Oleh karena itu, perlu dilakukan peninjauan lebih lanjut
terhadap struktur dari Puisi-Puisi Liris karya Tengku Amir Hamzah yang dimaksud.

Puisi-Puisi Liris karya Tengku Amir Hamzah disusun dengan struktur stanzaic, yaitu bait
puisi Barat yang terdiri atas sejumlah larik dengan panjang suku kata relatif sama. Menurut
Koch (dalam Wainwright, 2004: 122), stanza berfungsi sebagai bait yang mengatur unsur-
unsur musikal dalam puisi seperti ritme dan rima. Dengan demikian, maka ia dimaknai
sebagai puisi dengan bait-bait musikal. Berdasarkan pengamatan, Puisi-Puisi Liris karya
Tengku Hamzah terbagi dalam beberapa jenis stanza, yakni monostich (sajak satu seuntai),
couplet (kuplet), tercet (terzina), quatrain (kuartin) dan quint (kuin).

Puisi-Puisi Liris karya Tengku Amir Hamzah merupakan jenis karya Sastra Indonesia
beraliran Romantik yang diterbitkan oleh salah satu tokoh penyair kelompok Angkatan
Poedjangga Baroe, Tengku Amir Hamzah (1911 –1946), ke dalam dua buku kumpulan sajak
orisinalnya yang berjudul Buah Rindu (1941) dan Njanji Sunji (1937). Periode penulisan
konten buku Buah Rindu adalah pada masa-masa awal kepenyairan Tengku Amir Hamzah,
yakni ketika ia sedang menempuh studi di Jawa antara tahun 1928– 1935. Meskipun
demikian, buku tersebut baru diterbitkan oleh penyair pada tahun 1941. Sementara itu, Njanji
Sunji pertama kali terbit sebagai konten dari Madjalah Poedjangga Baroe edisi

November 1937 dan menjadi buku mandiri pada tahun yang sama.

Kumpulan sajak Buah Rindu terdiri atas 25 buah puisi berbahasa Indonesia dengan 23 buah
puisi berjudul dan 2 buah puisi tanpa judul. Sebagian besar puisi tersebut ditulis Tengku
Amir Hamzah dalam bentuk bait kuartin (sajak empat seuntai) yang menyerupai pola
persajakan pantun tradisional Melayu. Tema-tema umum dari buku puisi yang dimaksud
adalah mengenai cinta, kerinduan dan kehilangan. Adapun struktur Puisi Liris ditemukan
pada 11 karya di dalam buku. Kumpulan sajak Njanji Sunji terdiri atas 24 buah puisi dan 1
buah prosa liris. Sebagian besar puisi tersebut ditulis Tengku Amir Hamzah dalam bentuk
bait kuartin yang menyerupai gaya balada dan puisi prosa khas karya-karya Sastra Barat
tradisional. Tema-tema umum buku puisi yang dimaksud adalah mengenai sufisme,
kemarahan, kepasrahan dan pelarian. Adapun struktur Puisi Liris ditemukan pada 5 karya di
dalam buku.

Puisi Liris dimaknai sebagai puisi aliran Romantik yang dipopulerkan di Eropa menjelang
akhir abad ke-18. Secara struktur, ia lazim tersusun atas kata-kata dan imaji (imagery) yang
bertitik berat pada sudut pandang orang pertama seperti “aku”, “hamba”, “beta”, “saya”,
“patik”, “duli”, “diriku”, dan lain sebagainya. Selain hal tersebut, puisi dipenuhi oleh
permainan rima dan pola tekanan suku kata spesifik pada setiap lariknya (metre), sehingga
menghasilkan suatu pola persajakan, asonansi dan aliterasi yang bersifat musikal. Dari segi
konten, puisi yang dimaksud cenderung mengungkapkan tentang luapan emosi serta perasaan
personal dari penyair yang menciptakannya. Oleh sebab itu, ia

kerap bercerita tentang latar belakang kehidupan pribadi berikut kejadian-kejadian yang
dialaminya semasa hidup.

Tema-tema umum dari Puisi Liris meliputi pandangan subjektif penyair terhadap kondisi
alam sekitar, kondisi sosial budaya masyarakat, nostalgia, modernisasi, politik, tirani dan
intelektualitas. Pada tahap selanjutnya, ia dianggap telah mempelopori kelahiran dari paham-
paham liberalisme, radikalisme, konservatisme dan nasionalisme. Dikarenakan pengangkatan
hal-hal yang identik dengan subjektivitas penyair beserta kondisi sosial budaya masyarakat
yang digambarkannya tersebut, ia dapat dikategorikan sebagai salah satu pembahasan

Kajian Budaya (Cultural Studies).

Kajian Budaya (Cultural Studies) merupakan teori kajian budaya kritis-politis yang
dipopulerkan oleh Stuart Hall (1932 – 2014) melalui Pusat Studi Kebudayaan Kontemporer
Birmingham (Birmingham Centre for Contemporary Cultural Studies/Birmingham School) di
Inggris mulai tahun 1964. Ia sering dianggap sebagai varian dan perkembangan dari Teori
Sosial Kritis yang pertama kali diusulkan oleh Mahzab Frankfurt (Frankfurt School) di
Jerman sejak tahun 1930. Pembahasan Kajian Budaya meliputi usaha-usaha pencerahan serta
edukasi publik yang dilakukan oleh Kaum Intelektual (akademisi) melalui suatu diskursus
(wacana kritis) kebudayaan. Oleh sebab itu, ia identik dengan usaha-usaha Kontra-Hegemoni
(pengungkapan makna manipulatif) guna meruntuhkan unsur-unsur dominasi kekuasaan
hegemonik (penggiringan opini demi kepentingan sepihak) yang terkandung pada suatu teks
atau wacana.
Ditinjau dari perspektif Kajian Budaya, Puisi-Puisi Liris karya Tengku Amir Hamzah
dimaknai sebagai Diskursus Praksis Sosial, yaitu suatu wacana kritis yang berfungsi sebagai
panduan masyarakat dalam menentang upaya-upaya penyelewengan ideologi kaum penguasa.
Adapun penciptaan puisi-puisi tersebut dilatarbelakangi oleh sejumlah pengalaman serta
kegiatan yang pernah dijalani oleh Tengku Amir Hamzah semasa hidup, yakni menjadi salah
satu tokoh penggerak kelompok Sastrawan Romantik Angkatan Poedjangga Baroe, guru
Bahasa Indonesia era Kolonialisme Belanda (1930-an) dan aktivis sekaligus cendikiawan
(intelektual) dalam pergerakan nasionalis Indonesia Moeda.

Tengku Amir Hamzah diketahui telah memfungsikan Madjalah Poedjangga Baroe sebagai
media yang mengkritik eksistensi serta kegiatan sensor yang kerap dilakukan oleh Balai
Pustaka, yaitu sebuah institusi literer berpaham Barat yang dibentuk serta dikuasai oleh
Pemerintah Kolonial Belanda. Sebagai akibatnya, terbit Puisi-Puisi Liris berbahasa Indonesia
dengan unsur-unsur

identitas budaya yang bersifat membangun rasa persatuan di antara masyarakat. Semasa
menempuh pendidikan di Jawa, Tengku Amir Hamzah tercatat pernah mengadbikan diri
sebagai guru Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah-sekolah nasionalis negara Hindia
Belanda. Dalam realisasinya, ia merupakan wujud dari sikap anti Kolonialisme penyair guna
mendidik serta mensosialisasikan Bahasa dan Sastra Indonesia kepada masyarakat Hindia
Belanda. Dari segi aktivitas politik, Tengku Amir Hamzah dikenal sebagai tokoh gerakan
nasionalis Indonesia Moeda yang telah berhasil mempersatukan cita-cita dari sejumlah
organisasi kedaerahan serta seluruh etnis di wilayah nusantara melalui Kongres Pemuda I di
kota Batavia (1926). Adapun kongres tersebut membahas tentang peran sosial, ekonomi dan
budaya masyarakat serta pengusulan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Dengan
demikian, maka ia sering dianggap sebagai aksi yang turut mempelopori peristiwa Sumpah
Pemuda.

Puisi-Puisi Liris karya Tengku Amir Hamzah dinilai telah merepresentasikan realitas sosial
masyarakat Hindia Belanda era 1930-an, yakni melalui penyertaan imaji-imaji serta
ungkapan-ungkapan Sastra Romantik yang khas guna menggambarkan kondisi kehidupan
yang dialami oleh masyarakat. Adapun bentuk dari representasi tersebut diungkapkan oleh
Tengku Amir Hamzah dalam Puisi-Puisi Liris karyanya antara lain, sebagai berikut:

a) Representasi Kesenjangan Sosial Masyarakat Hindia Belanda


Puisi Liris karya Tengku Amir Hamzah telah mereprentasikan tentang kesenjangan sosial
yang terjadi di negara Hindia Belanda, terutama dalam hal pembedaan hak serta prioritas
masyarakat menurut etnis, kelas sosial serta harta kekayaannya. Selanjutnya, hal tersebut
dicerminkan penyair dalam konten Puisi Liris Cempaka Mulia (Buah Rindu, 1941) melalui
ungkapan-ungkapan seperti “kalau kulihat tuan”, “rasakan badan tiada bergerak”, “tuan
tumbuh hamba kembang”, “di negeriku sana di kuburan abang”, “hatiku kechu melihat tuan”
dan lain sebagainya.

b) Representasi Masyarakat Korban Kegiatan Fasisme di Hindia Belanda

Puisi Liris karya Tengku Amir Hamzah telah mereprentasikan tentang posisi korban-korban
dari kegiatan fasisme yang terjadi di negara Hindia Belanda, terutama atas dampak dari aksi
manipulasi serta adu domba yang dilakukan oleh pihak Kolonial Belanda terhadap kaum
Jawa ningrat dan masyarakat awam. Selanjutnya, hal tersebut dicerminkan penyair dalam
konten Puisi Liris Mabuk (Buah Rindu, 1941) melalui ungkapan-ungkapan seperti
“dimabukkan harum pecah teberai”, “bulan mengintai di celah awan”, “kelopak kupandang
sari kunilai”, “datanglah jemu mengatakan sudah”, “taram-temaram cendera cahaya”,
“tinggallah aku tiada berpelita” dan lain sebagainya.

Tujuan penciptaan Puisi-Puisi Liris karya Tengku Amir Hamzah dapat dibagi ke dalam tiga
fungsi, yakni sebagai berikut:

a) Restorasi Budaya Awal Masyarakat

Puisi Liris karya Tengku Amir Hamzah bertujuan untuk melakukan restorasi atau pembalikan
kondisi budaya awal, yaitu mengajak masyarakat untuk kembali menelusuri identitas
budayanya. Adapun tujuan tersebut diisyaratkan penyair Tengku Amir Hamzah melalui
penggunaan kata-kata arkais yang diperoleh dari Bahasa Melayu Kuno, Bahasa Sanskerta
serta berbagai bahasa kuno lainnya sebagai cikal bakal dari Bahasa Indonesia modern.

b) Pembangkitan Rasa Nasionalisme Masyarakat

Puisi Liris karya Tengku Amir Hamzah bertujuan untuk membangkitkan rasa nasionalisme
masyarakat melalui pengangkatan konten yang memuat nilai-nilai religius, spiritual, akar
tradisi, kearifan lokal serta adat istiadat yang berasosiasi dengan identitas bangsa Indonesia.
Dengan demikian, maka ia sejatinya merupakan upaya-upaya penyair Tengku Amir Hamzah
untuk mempersatukan perbedaan masyarakat.
c) Gerakan Emansipasi

Puisi Liris karya Tengku Amir Hamzah bertujuan untuk menyuarakan gerakan emansipasi
terhadap kegiatan-kegiatan hegemonik yang membelenggu masyarakat. Oleh sebab itu ia
diposisikan sebagai suatu kritik pencerahan yang menegur kaum intelektual (cendikiawan dan
akademisi) untuk menjalankan perannya sebagai agen-agen perubahan

Artikel 3

Salah satu tokoh yang karyanya berpengaruh pada zamannya serta zaman yang akan datang
adalah amir Hamzah. Amir Hamzah adalah seorang pemikir dan pelaku kebudayaan yang
kreatif dan bijaksana. Ia mengolah tradisi dari masa lalu, ke era transisi (masanya) dan ke
masa depan. Ia hidup dalam budaya Melayu namun kemudian bersinggungan dengan budaya
Eropa yang dikenal rasional. Ia juga merupakan seorang bangsawan ketgurunan kesultanan
Melayu, tapi juga merupakan seorang yang getol menumbuhkan perasaan nasionalisme dan
kebangsaan. Tetapi ia engga memakai gelar kebangsaan pada namanya. Salah satu karya
Amir Hamzah yang berjudul Doa memperlihatkan suatu keintiman antara hamba dengan
Tuhannya. Untuk mengetahui makna dari puisi tersebut, maka kita akan menggunakan teori
hermeneutika Wilhelm Dilthey. hermeneutika Dilthey sangat terkenal dengan riset
historisnya, sehingga makna dari puisi tersebut dapat dipahami berdasarkan aspek historis
dari sang pencipta. Pemilihan teori ini bedasarkan tujuan hermeneutika Dilthey sebagai
geisteswissenschaften yaitu dasar bagi ilmu-ilmu sosial humanistis yang memahami ekspresi
kejiwaan manusia, dengan tidak hanya melihat dari aspek psikologis sang pengarang, Maka
tujuan dari penggunaan teori hermeneutika Dilthey dalam penelitian ini yaitu kita Memahami
Puisi Doa karya Amir Hamzah. Dilthey merupakan pertemuan antara positivisme dan
idealisme, sehingga pemikirannya berada dalam ketegangan dua aliran tersebut. Pertama,
penafsirannya antara hermeneutika dan sejarah, mencari kesalingterkaitan historis dari
teksteks yang dikaji. Kedua, sebagaimana pemikir adalah anak zamannya, maka positivisme
mau tak mau menjadikan historisme harus sesuai dengan logika sejarah. Formula
hermeneutika Dilthey terdriri dari tiga poin yaitu pengalaman, ekpresi dan pemahaman

ARTIKEL 4
Puisi-puisi Amir Hamzah kerap mencerminkan konflik batin yang dalam dengan memainkan
tema-tema cinta dan agama.

Ekspresi Amir merupakan pernyataan yang lebih verbal meskipun diikuti juga oleh citra
visual rasa. Ekspresi Amir Hamzah lebih panjang, berlena-lena dengan keindahan. Sajak
Amir Hamzah penuh ketenangan. Sajak Amir Hamzah menunjukkan sifat romantis yang
murni, tercermin dalam pemakaian bahasanya yang berisi objek-objek alam murni, dengan
citra lama, dengan bahasa nan indah.

ARTIKEL 5

Amir Hamzah-penyair Indonesia yang Istimewa. Karyanya tak aus oleh zaman dan menjadi
sejarah dalam kesusastraan Indonesia. salah satu keistimewaan amir Hamzah adalah
kemahiran mengolah kata dan merangkainya sehingga membentuk sebuah karya yang indah.

Teeuw menerangkan salah satu faktor mujur Amir Hamzah dalam kerja kesusastraan
dibanding para pengarang sezamannya adalah karena dia orang Melayu dalam arti
sesungguhnya, yaitu yang berbangsa Melayu sejati, sehingga menguasai potensi bahasa
Melayu dengan bagus. Meski demikian sebagaimana diketahui bahwa Amir Hamzah
menuliskan karya-karyanya jauh dari alam Melayu, karena ia tinggal dan belajar selama
beberapa tahun di Jawa, dan menulis sebagai seorang Indonesia muda bukan sebagai seorang
Melayu.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Teeuw bahwa salah satu identifikasi kemelayuan Amir
Hamzah adalah dari darah yang mengalir di tubuhnya, hal itu karena ia adalah keturunan
bangsawan di Tanjungpura langkat, ia adalah anak Tengku Bendahara Paduka Raja Kerajaan
Langkat. Nama aslinya Tengku Amir Hamzah, tetapi biasa dipanggil Amir Hamzah. Ia
dilahirkan di Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Utara, pada 28 Februari 1911. Amir Hamzah
tumbuh dalam lingkungan bangsawan Langkat yang taat pada agama Islam dan kental dengan
didikan sastra Melayu. Oleh karena itu, tidak heran jika dalam dirinya mengalir bakat
kepenyairan yang kuat.Dari buah tangannya, yang berupa sajak-sajak asli, terjemahan dan
beberapa prosa lirik yang bercita rasa sastra tinggi, HB Jassin menggelarinya sebagai raja
penyair Pujangga Baru. Menurut catatan Jassin, Amir Hamzah meninggalkan 50 sajak asli,
77 sajak terjemahan, 18 prosa liris asli, 1 prosa liris terjemahan,13 prosa asli, dan 1 prosa
terjemahan. Dalam masa kegiatan sastra 14 tahun (1932—1946),tulisannya berjumlah 160
buah (Jassin, 1962: 7).

Dalam puisinya, Amir Hamzah selalu membuat pilihan kata yang penuh makna konotasi.
Selain itu, Amir Hamzah sering menggunakan kata-kata yang membuat pembaca akan
merasa bernostalgia dengan kata-kata yang ditulisnya.

Amir Hamzah masih menggunakan pola puisi lama dengan berpatokan bahwa dalam satu bait
berisi empat baris.Gaya bahasa yang digunakan oleh Amir Hamzah yaitu asonansi, aliterasi,
personifikasi, metafora, arkhaisme, sinkope, aferesis, dan inversi

Artikel 6

Amir Hamzah dikenal sebagai tokoh penting dalam era Pujangga Baru pada dunia
kesusastraan Indonesia. Dia lahir pada tahun 1911 di Langkat, Sumatera Utara. Bersama
Sutan Takdir Alisyahbana dan Armijn Pane, Amir Hamzah mendirikan majalah Pujangga
Baru. Puisi-puisi Amir Hamzah kerap mencerminkan konflik batin yang dalam dengan
memainkan tema-tema cinta dan agama.

Anda mungkin juga menyukai