Anda di halaman 1dari 16

Amir Hamzah

Tengkoe Amir Hamzah yang bernama lengkap


Tengkoe Amir Hamzah Pangeran Indra Poetera, Amir Hamzah
atau lebih dikenal hanya dengan nama pena Amir
Hamzah (28 Februari 1911 – 20 Maret 1946) [a] adalah
sastrawan Indonesia angkatan Poedjangga Baroe dan
Pahlawan Nasional Indonesia. Lahir dari keluarga
bangsawan Melayu Kesultanan Langkat di Sumatra
Utara, ia dididik di Sumatra dan Jawa. Saat berguru di
SMA di Surakarta sekitar 1930, Amir muda terlibat
dengan gerakan nasionalis dan jatuh cinta dengan
seorang teman sekolahnya, Ilik Soendari. Bahkan
setelah Amir melanjutkan studinya di sekolah hukum di
Batavia (sekarang Jakarta) keduanya tetap dekat, hanya
berpisah pada tahun 1937 ketika Amir dipanggil
kembali ke Sumatra untuk menikahi putri sultan dan
mengambil tanggung jawab di lingkungan keraton.
Meskipun tidak bahagia dengan pernikahannya, dia
memenuhi tugas kekeratonannya. Setelah Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945,
ia menjabat sebagai wakil pemerintah di Langkat.
Lahir Tengkoe Amir
Namun siapa nyana, pada tahun pertama negara
Indonesia yang baru lahir, ia meninggal dalam peristiwa 28 Februari 1911
konflik sosial berdarah di Sumatra yang disulut oleh Tanjung Pura, Langkat,
faksi dari Partai Komunis Indonesia dan dimakamkan di Sumatra Timur, Hindia
sebuah kuburan massal. Belanda
Meninggal 20 Maret 1946 (umur 35)
Amir mulai menulis puisi saat masih remaja: meskipun Kwala Begumit, Binjai,
karya-karyanya tidak bertanggal, yang paling awal Langkat, Indonesia
diperkirakan telah ditulis ketika ia pertama kali
Makam Masjid Azizi, Tanjung Pura,
melakukan perjalanan ke Jawa. Menggambarkan
Langkat, Sumatra Timur,
pengaruh dari budaya Melayu aslinya, Islam,
Indonesia
Kekristenan, dan Sastra Timur, Amir menulis 50 puisi,
18 buah puisi prosa, dan berbagai karya lainnya, Pekerjaan Sastrawan, Penyair, Pejabat
termasuk beberapa terjemahan. Pada tahun 1932 ia turut Pemerintahan Daerah
mendirikan majalah sastra Poedjangga Baroe. Setelah Bahasa Indonesia
kembali ke Sumatra, ia berhenti menulis. Sebagian Melayu
besar puisi-puisinya diterbitkan dalam dua koleksi, Kebangsaan Indonesia
Njanji Soenji (EYD: "Nyanyi Sunyi", 1937) dan Boeah
Rindoe (EYD: "Buah Rindu", 1941), awalnya dalam Genre Simbolisme
Poedjangga Baroe, kemudian sebagai buku yang Tema Cinta, Agama
diterbitkan. Karya terkenal Boeah Rindoe (1937)
Njanji Soenji (1941)
Puisi-puisi Amir sarat dengan tema cinta dan agama,
dan puisinya sering mencerminkan konflik batin yang Pasangan Tengkoe Poeteri Kamiliah
mendalam. Diksi pilihannya yang menggunakan kata- Anak Tengkoe Tahoera
kata bahasa Melayu dan bahasa Jawa dan memperluas
struktur tradisional, dipengaruhi oleh kebutuhan untuk ritme dan metrum, serta simbolisme yang
berhubungan dengan istilah-istilah tertentu. Karya-karya awalnya berhubungan dengan rasa rindu dan
cinta, baik erotis dan ideal, sedangkan karya-karyanya selanjutnya mempunyai makna yang lebih religius.
Dari dua koleksinya, Nyanyi Sunyi umumnya dianggap lebih maju. Untuk puisi-puisinya, Amir telah
disebut sebagai "Raja Penyair Zaman Poedjangga Baroe" (EYD:"Raja Penyair Zaman Pujangga Baru")
dan satu-satunya penyair Indonesia berkelas internasional dari era pra-Revolusi Nasional Indonesia.[1]

Riwayat hidup

Masa kecil

Amir lahir dengan nama Tengkoe Amir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Utara, putra bungsu dari
Wakil Sultan Tengkoe Moehammad Adil dan istri ketiganya, Tengkoe Mahdjiwa. Tengkoe Moehammad
Adil merupakan Wakil Sultan untuk Luhak Langkat Hulu yang berkedudukan di Binjai. Berdasarkan
silsilah keluarga istana Kesultanan Langkat, Amir Hamzah adalah generasi ke-10 dari Sultan Langkat.
Melalui ayahnya, ia terkait dengan Sultan Langkat kala itu, Machmoed. Kepastian tanggal lahir Amir
diperdebatkan, tanggal resmi yang diakui oleh pemerintah Indonesia adalah 28 Februari 1911, tanggal yang
digunakan Amir sepanjang hidupnya. Namun kakaknya, Abdoellah Hod menyatakan bahwa Amir lahir
pada tanggal 11 Februari 1911. Amir kemudian mengambil nama kakeknya, Tengkoe Hamzah, sebagai
nama keduanya; sehingga ia disebut sebagai Amir Hamzah. Meskipun seorang anak bangsawan, dia
sering bergaul dalam lingkungan non-bangsawan.[2] Amir Hamzah menghabiskan masa kecil di kampung
halamannya. Oleh teman sepermainannya, Amir kecil biasa dipanggil dengan sebutan "Tengku Busu"
("tengku yang bungsu"). Said Hoesny, sahabat Amir pada masa kecilnya menggambarkan bahwa Amir
adalah anak manis yang menjadi kesayangan semua orang.

Diketahui bahwa Amir dididik dalam prinsip-prinsip Islam, seperti mengaji, fikih, dan tauhid, dan belajar di
Masjid Azizi di Tanjung Pura dari usia muda.[3] Dia tetap seorang Muslim yang taat sepanjang hidupnya.
Periode di mana ia menyelesaikan studi formal juga diperdebatkan. Beberapa sumber, termasuk pusat
bahasa pemerintah Indonesia, menyatakan bahwa ia mulai bersekolah pada tahun 1916,[4] sementara
biografer M. Lah Husny menulis bahwa tahun pertama sekolah formal penyair ini adalah pada tahun
1918.[5] Di sekolah dasar berbahasa Belanda di mana Amir pertama kali belajar, ia mulai menulis[6] dan
mendapat penilaian-penilaian yang bagus; [7] dalam biografi yang ditulisnya tentang Amir, penulis Nh. Dini
menulis bahwa Amir dijuluki "abang" oleh teman-teman sekelasnya karena ia jauh lebih tinggi daripada
mereka.[3]

Pada tahun 1924[8]atau 1925,[9] Amir lulus dari sekolah dasarnya di Langkat dan pindah ke Medan untuk
belajar di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, sekolah menengah pertama) di sana.[10] Setelah
menyelesaikan studinya sekitar dua tahun kemudian, ia memasuki hubungan formal dengan sepupunya dari
pihak ibunya, Aja[b] Bun.[11] Husny menulis bahwa keduanya sengaja dipertemukan dan dijodohkan
untuk menikah oleh orang tua mereka,[12] namun Dini menganggap hubungan tersebut sebagai sumpah
untuk menjadi selalu setia.[13] Karena orang tuanya mengizinkannya untuk menyelesaikan studinya di
Jawa, Amir kemudian pergi ke ibu kota kolonial Hindia Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) untuk
menyelesaikan studinya.[12]

Belajar di Jawa

Amir pergi ke Pulau Jawa sendirian, dalam perjalanan di laut selama tiga hari di kapal Plancus.[14][15]
Setelah tiba di Batavia, ia masuk di Christelijk MULO Menjangan, di mana ia menyelesaikan tahun SMP
terakhirnya.[12] Anthony H. Johns dari Australian National University menulis bahwa di sekolah ini Amir
mempelajari beberapa konsep dan nilai-nilai Kekristenan.[16] Di Batavia, Amir juga terlibat dalam
organisasi sosial Jong Sumatra.[17] Saat periode ini pemuda Amir menulis puisi pertamanya. Husny
menulis bahwa Amir patah hati setelah menemukan Aja Bun telah menikah dengan pria lain tanpa
sepengetahuan Amir (mereka berdua tidak pernah berbicara lagi),[18] sementara Dini berpendapat bahwa
puisi "Tinggallah " ditulis tidak lama setelah Amir naik kapal Plancus, saat ia sangat rindu dengan ayah
bundanya.[19]

Amir mendirikan Poedjangga Baroe dengan Armijn Pane (atas) dan Sutan Takdir Alisjahbana.

Setelah menyelesaikan sekolah menengah dan kepulangan singkat ke Sumatra, Amir melanjutkan
sekolahnya ke Algemene Middelbare School (AMS, sekolah menengah atas) yang dioperasikan Boedi
Oetomo di Surakarta, Jawa Tengah, di mana ia mempelajari Sastra Timur dan bahasa, termasuk bahasa
Jawa, Sanskerta, dan Arab.[20] Lebih suka menyendiri ketimbang hiruk-pikuknya asrama, Amir lebih
memilih menyewa kamar di sebuah rumah pribadi yang dimiliki oleh residen Surakarta.[21] Kemudian ia
bertemu dengan beberapa orang yang kelak menjadi penulis, termasuk Armijn Pane dan Achdiat Karta
Mihardja;[22] mereka segera menemukan bahwa Amir adalah seorang pelajar yang ramah, rajin, dan
dengan catatan lengkap dan kamar tidur bersih (selimut dilipat dengan baik, Mihardja kemudian bercerita,
bahwa "... lalat jang kesasar akan dapat tergelintjir atasnja"), tetapi juga seorang romantis; cenderung
berpikir sedih di bawah cahaya lampu dan mengisolasi diri dari teman-teman sekelasnya.[23]

Di Surakarta Amir bergabung dengan gerakan nasionalis. Dia akan bertemu dengan sesama perantau dari
Sumatra dan mendiskusikan masalah sosial rakyat Melayu Nusantara di bawah kekuasaan kolonial
Belanda. Meskipun pemuda berpendidikan kala itu pada umumnya lebih memilih berbicara menggunakan
bahasa Belanda, dia bersikeras bercakap dengan bahasa Melayu.[24] Tahun 1930 Amir menjadi kepala
cabang dari Indonesia Moeda di Surakarta, menyampaikan pidatonya dalam Kongres Pemuda 1930 dan
mengabdi sebagai editor majalah organisasi itu, "Garoeda Merapi".[25] Di sekolah dia kemudian bertemu
dan jatuh cinta dengan Ilik Soendari, seorang gadis Jawa yang hampir seusia dengannya.[26] Soendari,
putri Raden Mas Koesoemodihardjo, adalah salah satu dari sedikit siswa perempuan di sekolah tersebut,
dan rumahnya berada di dekat salah satu yang pernah ditinggali Amir. Menurut Dini, keduanya semakin
dekat, Amir mengajari Soendari bahasa Arab, dan Soendari mengajarinya bahasa Jawa.[27] Mereka segera
bertemu setiap hari, bercakap-cakap tentang berbagai topik.[28]

Ibunda Amir meninggal pada tahun 1931, dan ayahnya setahun setelahnya; pendidikan Amir pun tidak bisa
dibiayai lagi. Setelah studi AMS-nya rampung, ia ingin terus belajar di sekolah hukum di Batavia. Karena
itu, ia menulis kepada saudaranya, Jakfar yang mengatur agar biaya sisa studinya dibayar oleh Sultan
Langkat. Pada tahun 1932 Amir mampu kembali ke Batavia dan memulai studi hukumnya,[29] mengambil
pekerjaan paruh waktu sebagai guru.[30] Pada awalnya, hubungannya dengan Soendari dilanjutkan melalui
surat, meskipun Soendari segera melanjutkan studinya di Lembang, sebuah kota yang jauh lebih dekat
jaraknya ke Batavia daripada Surakarta, hal ini memungkinkan keduanya untuk bertemu diam-diam[31]  –
ketika orang tua Soendari mengetahui hubungan mereka, Amir dan Soendari pun dilarang untuk
bertemu.[32]

Tahun tersebut, dua puisi pertama Amir, "Soenji" (EYD":"Sunyi") dan "Maboek ..." (EYD:"Mabuk"),
diterbitkan dalam edisi Maret majalah Timboel. Delapan karyanya yang lain dipublikasikan tahun itu,
termasuk sebuah syair berdasarkan Hikayat Hang Tuah,[33] tiga puisi lainnya, dua potong puisi prosa, dan
dua cerita pendek; puisi itu kembali diterbitkan dalam Timboel, sementara prosa tersebut terbit dalam
majalah Pandji Poestaka.[34] Sekitar September 1932 Armijn Pane, atas dorongan dari Sutan Takdir
Alisjahbana, editor rubrik "Memadjoekan Sastera " (EYD:"Memajukan Sastra ", rubrik sastra Pandji
Poestaka), mengundang Amir untuk membantu mereka mendirikan majalah sastra independen.[35] Amir
menerima, dan ditugasi menulis surat untuk meminta kiriman tulisan.[35] Sejumlah lima puluh surat
dikirimkan Amir kepada penulis-penulis yang sudah dikenal kala itu, termasuk empat puluh dikirimkan ke
para kontributor "Memadjoekan Sastera".[36] Setelah beberapa bulan persiapan, edisi awal diterbitkan pada
bulan Juli tahun 1933,[37] dengan judul Poedjangga Baroe. Majalah baru ini ada di bawah kendali editorial
Armijn dan Alisjahbana,[38] sementara Amir menerbitkan hampir semua tulisan-tulisannya yang berikutnya
di sana.[34]

Pada pertengahan 1933 Amir dipanggil kembali ke Langkat, di mana Sultan Langkat memberitahukan dua
syarat yang harus Amir penuhi untuk melanjutkan studinya, yaitu menjadi siswa yang rajin, dan
meninggalkan gerakan kemerdekaan Indonesia.[39] Meskipun menghadapi penolakan Sultan Langkat,
Amir menjadi terlibat lebih jauh dalam gerakan nasionalis, membawa dia ke bawah pengawasan Belanda
yang semakin meningkat.[40] Ia terus melanjutkan untuk menerbitkan karyanya dalam Poedjangga Baroe,
termasuk serangkaian lima artikel tentang Sastra Timur dari bulan Juni sampai Desember 1934 dan
terjemahan dari Bhagawad Gita dari 1933 sampai 1935.[34] Namun studi hukumnya menjadi tertunda,
bahkan belum merampungkan studinya pada tahun 1937.[41]

Kembali ke Langkat

Belanda, khawatir tentang kecenderungan nasionalistik Amir, meyakinkan Sultan Langkat untuk menarik
dia kembali ke Langkat; sebuah perintah yang tidak dapat ditolak oleh penyair pemula Amir. Tahun 1937,
Amir bersama dengan dua pengikut Sultan Langkat yang bertugas mengawal dia, naik di kapal Opten
Noort dari Tanjung Priok dan kembali ke Sumatra. Setelah tiba di Langkat, ia diberitahu bahwa ia akan
menikah dengan putri tertua Sultan Langkat, Tengkoe Poeteri Kamiliah, seorang wanita yang hampir tak
pernah ia temui sebelumnya.[41] Sebelum pernikahannya, Amir kembali ke Batavia untuk menghadapi
ujian kuliah terakhirnya – dan mengatur sebuah pertemuan terakhir dengan Soendari.[42] Beberapa minggu
kemudian ia kembali ke Langkat, di mana ia dan Kamiliah menikah dalam sebuah upacara mewah.[41]
Sepupunya, Tengkoe Boerhan, kemudian menyatakan bahwa ketidakpedulian Amir sepanjang upacara
adat tujuh hari tersebut adalah karena Amir terus memikirkan Soendari.[43]
Sekarang seorang pangeran di Langkat Hilir,[41] Amir diberi gelar
Tengkoe Pangeran Indra Poetera.[44] Dia tinggal bersama
Kamiliah di rumah mereka sendiri. Dalam semua kesaksian,
Kamiliah adalah seorang istri yang taat dan penuh kasih, dan pada
tahun 1939 pasangan ini memiliki anak tunggal mereka, yang
bernama Tengkoe Tahoera.[c] [45]

Menurut Dini, Amir mengaku pada Kamiliah bahwa dia tidak


pernah bisa mencintainya karena ia telah memiliki Soendari, dan
bahwa ia merasa berkewajiban untuk menikahinya, pengakuan
yang kabarnya diterima oleh Kamiliah. Amir menyimpan sebuah
album dengan foto-foto Soendari, kekasih Jawanya di rumahnya
[46] dan sering mengisolasi dirinya dari keluarganya, tenggelam

dalam pikirannya.[47] Sebagai seorang pangeran Langkat, Amir


menjadi seorang pejabat keraton, menangani masalah administrasi
dan hukum, dan kadang-kadang juga menghakimi kasus
pidana.[48] Ia sempat mewakili Kesultanan Langkat di pemakaman
Pakubuwono X di Jawa pada tahun 1939  – sebuah perjalanan Amir dan Kamiliah di upacara
terakhir Amir ke pulau Jawa.[49] pernikahan mereka, 1937.

Meskipun Amir hanya melakukan sedikit korespondensi dengan


teman-temannya di Jawa,[50] puisi-puisinya yang sebagian besar
ditulis di Jawa terus diterbitkan dalam Poedjangga Baroe. Koleksi
puisi pertamanya, Njanji Soenji, diterbitkan dalam edisi November
1937. Hampir dua tahun kemudian, pada Juni 1939, majalah tersebut
menerbitkan kumpulan puisi yang telah diterjemahkan Amir, berjudul
Setanggi Timoer ("Dupa dari Timur"). Pada Juni 1941, koleksi
terakhirnya, Boeah Rindoe, diterbitkan.[34] Semuanya kemudian
diterbitkan sebagai buku.[51] Sebuah buku terakhir, Sastera Melajoe
Lama dan Radja-Radjanja (EYD:"Sastra Melayu Lama dan Raja- Hajat Soedirdjo (kiri), Amir
Rajanya"), diterbitkan di Medan pada tahun 1942, terbitan ini Hamzah (tengah), dan
didasarkan pada pidato radio yang disampaikan Amir.[34] Mohammad Lawit (kanan); foto
diambil tahun 1932.
Setelah invasi Jerman ke Belanda pada tahun 1940, pemerintah Hindia
Belanda mulai mempersiapkan diri untuk kemungkinan invasi Jepang.
Di Langkat, divisi Stadswacht (Angkatan Garda) dibentuk untuk membela Tanjung Pura di Langkat. Amir
dan sepupunya Tengkoe Haroen bertanggung jawab atas angkatan garda ini; kaum bangsawan, dipercaya
oleh masyarakat umum, dipilih untuk memastikan perekrutan rakyat jelata yang lebih mudah. Ketika invasi
Jepang menjadi kenyataan pada awal tahun 1942, Amir adalah salah satu tentara yang dikirim ke Medan
untuk mempertahankannya. Dia dan pasukan lainnya yang bersekutu dengan Belanda dengan cepat
ditangkap oleh Tentara Jepang. Dia ditahan sebagai tawanan perang sampai tahun 1943, ketika pengaruh
dari Sultan memungkinkan dia untuk dibebaskan. Sepanjang sisa masa pendudukan yang berlangsung
sampai 1945 tersebut, Amir bekerja sebagai komentator radio dan sensor di Medan.[52] Dalam posisinya
sebagai pangeran, ia ditugasi untuk membantu mengumpulkan beras dari petani untuk memberi makan
tentara pendudukan Jepang.[50]

Pasca-kemerdekaan dan kematian

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, keseluruhan Pulau Sumatra dinyatakan
sebagai bagian de facto dari negara Republik Indonesia yang baru lahir. Pemerintah pusat menetapkan
Teuku Muhammad Hasan sebagai gubernur pertama pulau Sumatra, dan pada 29 Oktober 1945 Hasan
memilih Amir sebagai wakil pemerintah Republik Indonesia di Langkat (di kemudian hari disamakan
dengan bupati), dengan kantornya di Binjai;[53] Amir menerima posisi tersebut dengan siap sedia,[54]
kemudian menangani berbagai tugas yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, termasuk meresmikan divisi
lokal pertama dari Tentara Keamanan Rakjat (yang kelak menjadi Tentara Nasional Indonesia),[53]
membuka pertemuan berbagai cabang lokal dari partai politik nasional,[55] dan mempromosikan
pendidikan – terutama keaksaraan alfabet Latin.[54]

Revolusi Nasional Indonesia sedang berkobar dengan berbagai pertempuran di Jawa, dan Republik
Indonesia yang baru didirikan tidak stabil.[56] Pada awal 1946, rumor menyebar di Langkat bahwa Amir
telah terlihat bersantap dengan perwakilan pemerintah Belanda yang kembali ke Sumatra,[57] dan
bangsawan daerah menyadari tumbuhnya benih-benih kerusuhan dalam populasi jelata Langkat.[58] Pada
tanggal 7 Maret 1946 selama revolusi sosial yang dipimpin oleh faksi-faksi dari Partai Komunis Indonesia,
sebuah kelompok (Pemuda Sosialis Indonesia) dengan kukuh menentang feodalisme dan kaum bangsawan,
kekuasaan Amir dilucuti darinya dan ia ditangkap;[59] sementara Kamiliah dan Tahoera lolos.[60] Bersama
dengan anggota-anggota keluarga keraton Langkat yang lain, Amir dikirim ke sebuah perkebunan yang
dikuasai faksi Komunis di Kwala Begumit, sekitar 10 kilometer di luar Binjai.[59] Kesaksian yang muncul
di kemudian hari menunjukkan bahwa para tahanan tersebut, termasuk Amir, diadili oleh penculik mereka,
dipaksa untuk menggali lubang, dan disiksa.[61]

Potongan tulisan Amir terakhir, sebuah fragmen dari puisi 1941-nya Boeah Rindoe, kemudian ditemukan di
selnya:[62]

Wahai maut, datanglah engkau


Lepaskan aku dari nestapa
Padamu lagi tempatku berpaut
Disaat ini gelap gulita

Pada pagi hari 20 Maret 1946, Amir tewas dengan 26 orang tahanan lainnya dan dimakamkan di sebuah
kuburan massal yang telah digali para tahanan tersebut;[d][63] beberapa saudara Amir juga tewas dalam
revolusi tersebut.[64][65] Setelah dilumpuhkan oleh pasukan nasionalis, pemimpin revolusi tersebut
diinterogasi oleh tim yang dipimpin oleh Adnan Kapau Gani; Adnan dilaporkan telah berulang kali
menanyakan "Dimana Amir Hamzah?" selama penyelidikan seputar peristiwa tersebut.[66] Pada tahun
1948 sebuah makam di Kwala Begumit digali dan jenazah yang ditemukan diidentifikasi oleh anggota
keluarga; tulang belulang Amir berhasil diidentifikasi karena gigi palsu yang hilang.[67] Pada November
1949 jenazahnya dikuburkan di Masjid Azizi di Tanjung Pura, Langkat.[68] Atas jasa-jasanya, Amir
Hamzah diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 106/ tahun
1975, tanggal 3 November 1975.

Pengaruh
Amir dibesarkan dalam lingkungan keraton Langkat, di mana ia selalu bercakap dalam bahasa Melayu,
sehingga bahasa tersebut telah "... mendjadi darah daging baginja." (EYD:"menjadi darah dan daging
baginya").[69] Sejak usia muda ia telah diperkenalkan pada sastra lisan, pantun tertulis dan syair, baik
mendengarkan maupun menciptakannya sendiri dengan improvisasi.[70] Seperti ayahnya sebelum dia,
Amir menggemari tulisan Melayu tradisional, seperti Hikayat Hang Tuah, Syair Siti Zubaidah Perang
Cina, dan Hikayat Panca Tanderan. Dia akan mendengarkan tulisan-tulisan tersebut ketika dibacakan
dalam upacara umum, [69] dan setelah dewasa ia menyimpan koleksi besar tulisan tersebut, meskipun
koleksinya tersebut hancur saat revolusi komunis Sumatra Timur yang merenggut nyawanya.[70]
Sepanjang pendidikan formalnya Amir membaca karya sastra Arab, Persia, dan sastra Hindu.[71] Ia juga
dipengaruhi oleh karya-karya dari negara-negara Timur lainnya:[72] puisi-puisi terjemahan dalam Setanggi
Timoer misalnya, memasukkan karya-karya Umar Khayyām (Persia), Du Fu (China), Fukuda Chiyo-ni
(Jepang), dan Rabindranath Tagore (India).[34] Karya-karya ini tidak dibacanya dalam bahasa aslinya,
tetapi dalam terjemahan berbahasa Belanda.[73] Kritikus sastra Muhammad Balfas menulis bahwa, tidak
seperti rekan sezamannya, Amir menunjukkan hanya sedikit pengaruh dari soneta dan penyair neo-
romantis Belanda, para Tachtigers;[74] Johns menyimpulkan hal yang sama.[75] Namun pakar sastra
Australia Keith Foulcher mencatat bahwa penyair dikutip "Lenteavond" dari Willem Kloos dalam
artikelnya tentang pantun, menunjukkan bahwa Amir sangat mungkin dipengaruhi oleh Tachtigers.[76]

Banyak penulis telah berkomentar tentang pengaruh yang didapat Amir dari doktrin Islam. Pencatat sastra
Indonesia H.B. Jassin[77] dan penyair Arief Bagus Prasetyo,[78] adalah termasuk dari beberapa yang
berpendapat bahwa Amir adalah seorang Muslim ortodoks murni, dan itu ditunjukkan dalam karyanya.
Prasetyo berpendapat bahwa hal ini terlihat jelas dalam perkataan Amir tentang Tuhan, ia tidak memandang
Tuhan sebagai sesamanya, sebuah tema yang ditemukan dalam karya penyair sufi seperti Hamzah Fansuri,
tetapi sebagai tuan untuk hamba Amir.[78] Johns menulis bahwa, meskipun Amir bukanlah seorang mistik,
Amir juga bukan seorang penulis renungan murni, namun mempromosikan suatu bentuk "Humanisme
Islam".[79] Pengamat lain, seperti pakar sastra Indonesia dari Belanda, A. Teeuw dan pakar sastra Indonesia
Abdul Hadi WM berpendapat bahwa Amir dipengaruhi oleh Sufisme.[78] Aprinus Salam dari Universitas
Gadjah Mada, dari posisi yang sama, menunjuk ke contoh di mana Hamzah memperlakukan Tuhan sebagai
kekasih sebagai indikasi pengaruh Sufi.[80] Pada akhirnya, penyair Chairil Anwar menulis bahwa Nyanyi
Sunyi karya Amir bisa disebut "puisi terselubung" karena pembaca tidak dapat memahami karya Amir
tanpa pengetahuan tentang sejarah Melayu dan Islam.[81]

Beberapa upaya juga telah dilakukan untuk menghubungkan karya Amir dengan perspektif Kekristenan.
Dalam menganalisis "Padamu Jua", kritikus Indonesia Bakri Siregar menunjukkan bahwa beberapa
pengaruh dari Alkitab Kristen dapat ditemukan, menunjuk ke beberapa aspek dari puisi yang tampaknya
mendukung pandangan tersebut, termasuk penggambaran Tuhan yang antropomorfik (tidak diperbolehkan
dalam Islam ortodoks) dan pandangan tentang Tuhan yang cemburu. Dia menulis bahwa konsep tentang
Tuhan yang cemburu tidak ditemukan dalam Islam, tetapi dalam Alkitab, mengutip Keluaran 20:5 dan
Keluaran 34:14.[82] Dalam puisi lain, "Permainanmu", Hamzah menggunakan kalimat "Kau keraskan
kalbunya", Jassin menarik kesejajaran dengan Tuhan yang mengeraskan hati Firaun dalam Kitab
Keluaran.[e][83]

Jassin menulis bahwa puisi Amir juga dipengaruhi oleh cintanya pada satu atau lebih wanita, dalam Buah
Rindu disebut sebagai "Tedja" dan "Sendari-Dewi", Jassin beropini bahwa wanita (satu atau lebih) tak
pernah disebutkan namanya karena cinta Amir pada mereka adalah kunci.[84] Husny menulis bahwa
setidaknya sembilan karya di Buah rindu[f] terinspirasi oleh kerinduannya untuk Aja Bun, menggambarkan
rasa kecewa setelah pertunangan mereka dibatalkan.[85] Mengenai dedikasi tiga-bagian dalam buku
tersebut, "Kebawah peduka Indonesia-Raya / Kebawah debu Ibu-Ratu / Kebawah kaki Sendari-
Dewi",[g][86] Mihardja menulis bahwa Soendari telah dikenali setiap teman sekelas Amir, ia menganggap
Soendari sebagai inspirasi Amir, layaknya "Laura terhadap Petrarch, Mathilde terhadap Jacques Perk".[87]
Kritikus Zuber Usman juga menemukan pengaruh Soendaripada Nyanyi Sunyi, berpendapat bahwa
perpisahan Amir dari Soendari membawa Amir lebih dekat dengan Tuhan,[88] sebuah pendapat yang
diulang oleh Dini.[89] Burton Raffel menghubungkan sebuah kuplet di akhir buku, membaca "Sunting
Sanggul melayah rendah / sekaki sajak seni sedih"[90] ("sebuah bunga mengambang di simpul rambut
longgar / melahirkan puisi sedih saya") sebagai panggilan untuk sebuah cinta terlarang.[91] Dini
berpendapat bahwa cinta Amir pada Soendari menyebabkan penggunaan istilah Jawa yang sering dalam
tulisan Amir.[43]
Karya sastra
Artikel utama: Daftar karya Amir Hamzah

Secara keseluruhan Amir telah menulis lima puluh puisi, delapan


belas potongan puisi prosa, dua belas artikel, empat cerita pendek,
tiga koleksi puisi, dan satu buku karya asli. Dia juga
menerjemahkan empat puluh empat puisi, satu bagian dari puisi
prosa, dan satu buku;[34] Johns menulis bahwa terjemahan ini
umumnya mencerminkan tema penting dalam karya-karya
aslinya.[92]

Sebagian besar tulisan Amir diterbitkan dalam Poedjangga Baroe,


meskipun beberapa karya sebelumnya diterbitkan dalam Timboel
dan Pandji Poestaka.[34] Tidak ada karya kreatif-nya yang
bertanggal, dan tidak ada konsensus mengenai kapan setiap
individual puisi ditulis.[93] Meskipun demikian, terdapat konsensus
umum bahwa karya-karya yang termasuk dalam Nyanyi Sunyi
ditulis setelah karya yang termasuk dalam Buah Rindu, meskipun
Buah rindu diterbitkan terakhir.[94] Johns menulis bahwa puisi
dalam koleksi tersebut muncul seperti diatur dalam urutan
kronologis, ia menunjuk ke berbagai tingkat kematangan yang Sampul Poedjangga Baroe tahun
ditunjukkan Amir kala tulisannya berkembang.[95] 1937, majalah yang menerbitkan
sebagian besar karya Amir.
Jassin menulis bahwa Amir mempertahankan identitas Melayu di
seluruh karya-karyanya, meskipun menghadiri sekolah yang
dikelola oleh orang Eropa. Berbeda dengan karya-karya rekan sezamannya, Alisjahbana atau Sanusi Pane,
puisi-puisi Amir tidak memasukkan simbol-simbol modernitas Eropa seperti listrik, kereta api, telepon, dan
mesin, yang memungkinkan "Alam dunia Melaju masih utuh..." dalam puisinya. Pada akhirnya, ketika
membaca puisi Amir, "Membatja sadjaknja diruang fantasi kita tidak terbajang lukisan seorang jang
berpantalon, berdjas dan berdasi, melainkan seorang muda jang berpakaian setjara Melaju." ("dalam
imajinasi kita tidak melihat seorang pria bercelana, jaket, dan dasi, namun pemuda dalam pakaian
tradisional Melayu".[96] Mihardja mencatat bahwa Amir menulis karya-karyanya pada saat teman-teman
sekelas mereka, dan banyak penyair lain, "... mentjurahkan isi hati dan buah pikiran" ("mencurahkan hati
atau pikiran mereka") dalam bahasa Belanda, atau jika "... melepaskan dirinja dari belenggu Bahasa
Belanda" ("mampu membebaskan diri dari belenggu Bahasa Belanda"), dalam bahasa lokal Nusantara.[97]

Karya Amir sering berurusan dengan cinta (baik erotis dan ideal), dengan pengaruh agama ditunjukkan
dalam banyak puisinya.[74] Mistisisme adalah penting dalam banyak karyanya, dan puisinya sering
mencerminkan konflik batin yang mendalam.[98] Pada setidaknya satu cerita pendek, ia mengkritik
pandangan tradisional bangsawan dan "merongrong representasi tradisional karakter wanita".[99] Ada
beberapa perbedaan tematik di antara dua koleksi puisi aslinya,[100] dibahas lebih lanjut di bawah ini.

Njanji Soenji
Artikel utama: Njanji Soenji

Njanji Soenji (EYD:"Nyanyi Sunyi"), koleksi puisi pertama Amir, diterbitkan dalam Poedjangga Baroe
edisi bulan November 1937,[101] kemudian diterbitkan sebagai buku oleh Poestaka Rakjat pada tahun
1938.[51] Koleksi ini terdiri dari dua puluh empat potong puisi berjudul dan sajak empat baris tanpa
judul,[102] termasuk puisi Hamzah paling terkenal, "Padamu Jua". Jassin mengklasifikasikan delapan
karya-karya ini sebagai puisi prosa, dengan tiga belas yang tersisa sebagai puisi biasa.[101] Meskipun ini
adalah koleksi pertamanya yang diterbitkan, berdasarkan watak dan pembawaan yang baik dalam puisi
ini,[103] konsensus umum adalah bahwa karya-karya dalam Buah Rindu di ditulis sebelumnya.[104] Penyair
Laurens Koster Bohang menganggap puisi-puisi dalam Nyanyi Sunyi termasuk yang ditulis antara 1933
dan 1937,[105] sementara Teeuw menanggali puisi tersebut antara tahun 1936 dan 1937.[106]

Pembacaan Nyanyi Sunyi cenderung fokus pada nada-nada agama. Menurut Balfas, agama dan Tuhan
terlihat di mana-mana di seluruh koleksi tersebut, dimulai dengan puisi pertama "Padamu Jua".[107] Jassin
menulis, di dalamnya, Amir menunjukkan perasaan ketidakpuasan atas kurangnya kemampuan dirinya dan
memprotes kemutlakan Tuhan,[108] tetapi tampak menyadari kecilnya dirinya di hadapan Tuhan, bertindak
sebagai boneka untuk kehendak Tuhan.[109] Teeuw merangkum bahwa Amir mengakui bahwa ia tidak
akan ada jika Tuhan tidak ada.[110] Jassin menemukan bahwa tema agama tersebut dimaksudkan sebagai
sebuah pelarian dari penderitaan duniawi Amir.[111] Namun Johns menunjukkan bahwa pada akhirnya
Amir menemukan sedikit penghiburan dalam Tuhan, karena Amir "tidak memiliki iman transenden yang
dapat membuat sebuah pengorbanan besar, dan dengan tegas menerima konsekuensinya"; sebaliknya, ia
tampak menyesali pilihannya untuk kembali ke Sumatra dan kemudian memberontak melawan Tuhan.[112]

Boeah Rindoe
Artikel utama: Boeah Rindoe

Koleksi puisi kedua Amir, Boeah Rindoe (EYD:"Buah Rindu"), diterbitkan dalam Poedjangga Baroe edisi
Juni 1941,[113] kemudian diterbitkan sebagai buku oleh Poestaka Rakjat di akhir tahun itu.[51] Koleksi ini
terdiri dari dua puluh lima puisi berjudul dan sajak empat baris tanpa judul; satu, "Buah Rindu", terdiri dari
empat bagian, sementara yang lain, "Bonda", terdiri dari dua. Setidaknya sebelas karya dalam koleksi ini
telah dipublikasikan sebelumnya, baik di Timboel atau dalam Pandji Poestaka.[113] Koleksi ini, meskipun
diterbitkan setelah Nyanyi Sunyi, umumnya dianggap telah ditulis sebelumnya.[104] Puisi-puisi dalam Buah
Rindu juga bertanggal di periode antara 1928 dan 1935, tahun-tahun pertama Amir di Jawa;[105] Koleksi
ini memberikan dua tahun tersebut, serta lokasi penulisannya, yaitu di Jakarta-Solo (Surakarta) -Jakarta.[17]

Teeuw menulis bahwa koleksi ini disatukan oleh sebuah tema kerinduan,[114] yang diperluas oleh Jassin:
merindukan ibunya, merindukan kekasihnya (baik satu yang di Sumatra dan satu yang di Jawa), dan
kerinduan untuk tanah airnya. Semua yang disebutnya sebagai "kekasih".[115] Teeuw menulis bahwa
kerinduan ini tidak seperti nuansa religius dalam Nyanyi Sunyi: mereka lebih duniawi, didasarkan pada
realitas;[100] Jassin mencatat perbedaan tematik lain di antara keduanya: tidak seperti Nyanyi Sunyi, dengan
penggambaran yang jelas dari tuhan yang satu, Buah Rindu dengan eksplisit mengedepankan beberapa
dewa, termasuk dewa Hindu, Dewa Siwa dan Dewi Parwati dan dewa abstrak seperti dewa dan dewi
cinta.[115]

Gaya penulisan
Diksi Amir dipengaruhi oleh kebutuhan untuk ritme dan metrum, serta simbolisme yang berhubungan
dengan istilah-istilah tertentu.[116] Diksi yang berhati-hati ini menekankan kata-kata sederhana sebagai unit
dasar dan sesekali menggunakan aliterasi dan asonansi.[117] Pada akhirnya dia lebih bebas dalam
penggunaan bahasanya ketimbang penyair tradisional:[107] Jennifer Lindsay dan Ying Ying Tan menyororti
"daya cipta lisan"-nya, menyuntikkan "kemewahan ekspresi, kemerduan suara dan makna" ke dalam
puisinya.[118] Siregar menulis bahwa hasilnya adalah "... permainan kata jang indah."[119] Teeuw menulis
bahwa Amir memiliki pemahaman lengkap tentang kekuatan dan kelemahan dari Bahasa Melayu,
mencampurkan pengaruh sastra timur dan barat,[117] sementara Johns menulis bahwa "kejeniusannya
sebagai seorang penyair terletak dalam kemampuannya yang luar biasa untuk menghidupkan kembali bara
puisi Melayu yang kala itu telah terbakar habis, dan untuk menanamkan ke dalam bentuk dan kosakata
Melayu tradisional yang kaya, sebuah kesegaran yang tak terduga dan jelas dan kehidupan."[120]

Pilihan kata-kata Amir sangat bergantung pada istilah Bahasa Melayu lama, yang hanya sedikit
menggunakan istilah kontemporer. Amir juga banyak meminjam dari bahasa Nusantara lainnya, terutama
jawa dan Sunda;[121] pengaruh yang lebih dominan di Nyanyi Sunyi.[122] Dengan demikian, cetakan awal
Nyanyi Sunyi dan Buah Rindu disertai dengan catatan kaki yang menjelaskan kata-kata tersebut.[74] Teeuw
menulis bahwa puisi-puisi Amir mencakup berbagai klise yang umum dalam pantun yang tidak akan
dimengerti oleh pembaca asing.[123] Menurut penerjemah John M. Echols, Amir adalah seorang penulis
yang memiliki kepekaan sangat besar, yang "bukan seorang penulis produktif tetapi prosa dan puisinya
berada pada tingkat yang sangat tinggi, meskipun karyanya sulit, bahkan bagi orang Indonesia."[98] Echols
menyanjung Amir karena menbangkitkan kembali bahasa Melayu, memberikan napas kehidupan baru ke
dalam sastra Melayu pada 1930-an.[124]

Secara struktural, karya-karya awal Amir sangat berbeda dari karya-karyanya di kemudian hari. Karya
yang disusun dalam Buah Rindu umumnya mengikuti pantun tradisional dan gaya syair empat baris
dengan rima ekor, termasuk banyak dengan kuplet berima;[117] namun beberapa karyanya,
menggabungkan keduanya, atau memiliki baris-baris tambahan atau kata-kata lebih dari yang diterima
umum secara tradisional, sehingga menghasilkan ritme yang berbeda.[125] Meskipun karya-karya awal
Amir tidak sedetail karya-karyanya di kemudian hari, Teeuw menulis bahwa karya-karya tersebut telah
mencerminkan penguasaan penyair itu dari bahasa dan dorongan untuk menulis puisi.[126] Karya-karya
dalam antologi ini mengulangi istilah-istilah kesedihan seperti "menangis", "duka", "rindu", dan "air mata",
serta kata-kata seperti "cinta", "asmara", dan "merantau".[127]

Pada kala Amir menulis karya-karyanya yang kemudian disusun dalam Nyanyi Sunyi, gayanya telah
bergeser. Dia tak lagi membatasi dirinya pada bentuk-bentuk tradisional, melainkan menjelajahi
kemungkinan-kemungkinan yang berbeda: Delapan karyanya mendekati puisi prosa dalam segi
bentuk.[128] Chairil Anwar menggambarkan penggunaan bahasa pendahulunya tersebut dalam koleksi ini
sebagai bersih dan murni, dengan kalimat-kalimat "keras, tajam, tetapi singkat" yang berangkat dari "daya
rusak" puisi tradisional Melayu yang berbunga-bunga.[129]

Penghargaan dan pengakuan umum


Amir telah menerima pengakuan yang luas dari pemerintah Indonesia, dimulai dengan pengakuan dari
pemerintah Sumatra Utara segera setelah kematiannya.[130] Pada tahun 1969 ia secara anumerta
dianugerahi Satya Lencana Kebudayaan dan Piagam Anugerah Seni.[131] Pada tahun 1975 ia dinyatakan
sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.[132] Sebuah taman dinamakan untuknya, Taman Amir
Hamzah, yang berlokasi di Jakarta di dekat Monumen Nasional.[71] Sebuah masjid di Taman Ismail
Marzuki yang dibuka untuk umum pada tahun 1977, juga dinamakan untuknya.[133] Beberapa jalan diberi
nama untuk Amir, termasuk di Medan,[134] Mataram,[135] dan Surabaya.[136]

Teeuw menganggap Amir sebagai satu-satunya penyair Indonesia berkelas internasional dari era sebelum
Revolusi Nasional Indonesia.[1] Anwar menulis bahwa penyair ini adalah "puncak gerakan Pudjangga
Baru", mengingat Nyanyi Sunyi telah menjadi "cahaya terang yang disinarkan dia [Amir] di atas bahasa
baru";[129] namun, Anwar tidak menyukai Buah Rindu, menganggapnya terlalu klasik.[137] Balfas
menggambarkan karya Amir sebagai "karya sastra terbaik yang mengungguli era mereka".[138] Karya
Hamzah, khususnya "Padamu Jua", diajarkan di sekolah-sekolah Indonesia. Karyanya juga salah satu
inspirasi untuk drama panggung posmodern 1992 Afrizal Malna, Biografi Yanti setelah 12 Menit.[139]
Jassin telah menyebut Amir "Raja Penyair Zaman Poedjangga Baroe", nama yang dia digunakan sebagai
judul bukunya tentang penyair tersebut.[1] Sebagai penutup bukunya tersebut, Jassin menulis:

"... Amir bukanlah seorang pemimpin bersuara lantang mengerahkan rakjat, baik dalam
puisi maupun prosanja. Ia adalah seorang perasa dan seorang pengagum, djiwanja mudah
tergetar oleh keindahan alam, sendu gembira silih berganti, seluruh sadjaknja bernafaskan
kasih : kepada alam, kampung halaman, kepada kembang, kepada kekasih. Dia merindu tak
habis2 nja, pada zaman jang silam, pada bahagia, pada 'hidup bertentu tudju'. Tak satupun
sadjak perdjuangan, sadjak adjakan membangkit tenaga, seperti begitu gemuruh kita dengar
dari penjair2 Pudjangga Baru jang lain. Tapi laguan alamnja adalah peresapan jang mesra
dari orang jang tak diragukan tjintanja pada tanah airnja."

— H.B. Jassin, (Jassin 1962, hlm. 41)

Referensi
1. Teeuw 1980, hlm. 123.
2. Husny 1978, hlm. 14–16.
3. Dini 1981, hlm. 20.
4. Pusat Bahasa, Amir Hamzah; Musa 1955, hlm. 9
5. Husny 1978, hlm. 17.
6. Husny 1978, hlm. 18.
7. Musa 1955, hlm. 13.
8. Language Center, Amir Hamzah.
9. Husny 1978, hlm. 20.
10. Pusat Bahasa, Amir Hamzah; Husny 1978, hlm. 21
11. Husny 1978, hlm. 24; Dini 1981, hlm. 17
12. Husny 1978, hlm. 24.
13. Dini 1981, hlm. 22.
14. Dini 1981, hlm. 24.
15. Dini 1981, hlm. 21.
16. Johns 1979a, hlm. 125.
17. Husny 1978, hlm. 29.
18. Husny 1978, hlm. 32–33.
19. Dini 1981, hlm. 29–30.
20. Dini 1981, hlm. 33–34.
21. Dini 1981, hlm. 38.
22. Husny 1978, hlm. 38.
23. Mihardja 1955, hlm. 115–17.
24. Dini 1981, hlm. 36–37.
25. Dini 1981, hlm. 74.
26. Jassin 1962, hlm. 40; Mihardja 1955, hlm. 122
27. Dini 1981, hlm. 44–46.
28. Dini 1981, hlm. 49.
29. Husny 1978, hlm. 42–43.
30. Dini 1981, hlm. 83.
31. Dini 1981, hlm. 82.
32. Dini 1981, hlm. 85.
33. Teeuw 1980, hlm. 126–27; Balfas 1976, hlm. 61
34. Jassin 1962, hlm. 211–19.
35. Foulcher 1991, hlm. 14–17.
36. Siregar 1964, hlm. 77; Foulcher 1991, hlm. 20
37. Teeuw 1980, hlm. 50.
38. Siregar 1964, hlm. 75.
39. Husny 1978, hlm. 47–49.
40. Husny 1978, hlm. 63.
41. Husny 1978, hlm. 74–75.
42. Dini 1981, hlm. 105.
43. Dini 1981, hlm. 109.
44. Dini 1981, hlm. 112.
45. Husny 1978, hlm. 78–79.
46. Dini 1981, hlm. 114.
47. Dini 1981, hlm. 124.
48. Husny 1978, hlm. 81–82.
49. Dini 1981, hlm. 121.
50. Dini 1981, hlm. 129.
51. Husny 1978, hlm. 83.
52. Husny 1978, hlm. 84–89.
53. Husny 1978, hlm. 90–91.
54. Dini 1981, hlm. 132.
55. Musa 1955, hlm. 12.
56. Dini 1981, hlm. 133.
57. Dini 1981, hlm. 139.
58. Dini 1981, hlm. 142.
59. Husny 1978, hlm. 96–97.
60. Dini 1981, hlm. 147.
61. Dini 1981, hlm. 149–50.
62. Jassin 1962, hlm. 214.
63. Husny 1978, hlm. 97; Dini 1981, hlm. 151–53
64. Husny 1978, hlm. 16–17.
65. "Pembunuhan Amir Hamzah dan Sejarah Revolusi Sosial di Sumatra Timur". tirto.id.
Diakses tanggal 2020-02-22.
66. Hadi 1955, hlm. 37.
67. Dini 1981, hlm. 159.
68. Musa 1955, hlm. 9; Husny 1978, hlm. 102–03
69. Musa 1955, hlm. 10.
70. Musa 1955, hlm. 11.
71. Pemerintah Kota Jakarta, Amir Hamzah.
72. Teeuw 1980, hlm. 124.
73. Johns 1979a, hlm. 30.
74. Balfas 1976, hlm. 61.
75. Johns 1979a, hlm. 136.
76. Foulcher 1991, hlm. 102.
77. Jassin 1962, hlm. 33.
78. Kurniawan 2010, Puisi Amir Hamzah.
79. Johns 1979b, hlm. 154, 156.
80. Salam 2004, hlm. 50.
81. Raffel 1970, hlm. 175.
82. Jassin 1962, hlm. 33–34.
83. Jassin 1962, hlm. 36.
84. Jassin 1962, hlm. 39–40.
85. Husny 1978, hlm. 133.
86. Mihardja 1955, hlm. 120.
87. Mihardja 1955, hlm. 122.
88. Usman 1959, hlm. 231–50.
89. Dini 1981, hlm. 110.
90. Hamzah 1949, hlm. 31.
91. Raffel 1968, hlm. 15.
92. Johns 1979b, hlm. 158.
93. Jassin 1962, hlm. 9.
94. Teeuw 1980, hlm. 125–26.
95. Johns 1979a, hlm. 126.
96. Jassin 1962, hlm. 15–16.
97. Mihardja 1955, hlm. 117–18.
98. Echols 1956, hlm. 14.
99. Siapno 2002, hlm. 72.
100. Teeuw 1980, hlm. 132.
101. Jassin 1962, hlm. 212.
102. Hamzah 1949, hlm. 5–30.
103. Jassin 1962, hlm. 14.
104. Balfas 1976, hlm. 62–64.
105. Jassin 1962, hlm. 8.
106. Teeuw 1980, hlm. 126.
107. Balfas 1976, hlm. 64.
108. Jassin 1962, hlm. 29.
109. Jassin 1962, hlm. 26.
110. Teeuw 1955, hlm. 116.
111. Jassin 1962, hlm. 31.
112. Johns 1979a, hlm. 131–32.
113. Jassin 1962, hlm. 213.
114. Teeuw 1955, hlm. 110.
115. Jassin 1962, hlm. 28.
116. Rosidi 1976, hlm. 46.
117. Teeuw 1980, hlm. 130.
118. Lindsay & Tan 2003, hlm. 49.
119. Siregar 1964, hlm. 116.
120. Johns 1979a, hlm. 124.
121. Rosidi 1976, hlm. 45.
122. Johns 1979a, hlm. 133.
123. Teeuw 1980, hlm. 133.
124. Echols 1956, hlm. 200.
125. Jassin 1962, hlm. 14, 22.
126. Teeuw 1980, hlm. 126–27.
127. Jassin 1962, hlm. 11.
128. Jassin 1962, hlm. 12.
129. Raffel 1970, hlm. 174–75.
130. Dini 1981, hlm. 179.
131. Husny 1978, hlm. 8.
132. Pusat Bahasa, Amir Hamzah.
133. Dini 1981, hlm. 180.
134. Google Maps, Medan.
135. Google Maps, Mataram.
136. Google Maps, Surabaya.
137. Teeuw 1980, hlm. 136.
138. Balfas 1976, hlm. 60.
139. Bodden 2002, hlm. 306.

Catatan kaki
a. Ada dua versi untuk tanggal lahir ini. Tanggal resmi yang diakui oleh pemerintah Indonesia
adalah 28 Februari 1911, tanggal yang digunakan Amir sepanjang hidupnya. Namun kakak
Amir, Abdoellah Hod menyatakan bahwa penyair ini lahir pada tanggal 11 Februari 1911.
Artikel ini menggunakan tanggal yang paling umum, yaitu yang diakui pemerintah.
b. Atau juga Aje.
c. Kehamilan lain berakhir dengan keguguran (Dini 1981, hlm. 113). Dua anak selanjutnya
lahir mati (Dini 1981, hlm. 122), sedangkan kehamilan terakhir pasangan itu berakhir
dengan keguguran setelah kematian Amir.
d. Dilaporkan bahwa Amir dibunuh oleh seorang mantan pengawas yang bernama Yang
Wijaya, yang kemudian diadili karena perannya dalam revolusi tersebut dan dihukum dua
puluh tahun penjara. Kemudian diberikan amnesti, Wijaya meninggalkan penjara dalam
keadaan kesehatan mental yang buruk (Dini 1981, hlm. 160–61).
e. Dalam Islam, Firaun mengeraskan sendiri hatinya (Jassin 1962, hlm. 36).
f. "Haroem Ramboetmoe", "Dalam Matamoe", "Maboek...", "Soenji", "Koesangka", "Boeah
Rindoe", "Toehankoe Apatah Kekal?", "Tjempaka", dan "Berdiri Akoe".
g. dalam versi Indonesia dari Ramayana, Sendari (juga Sundari) adalah istri pertama
Abimanyu.

Bacaan lanjutan
"Amir Hamzah". Ensiklopedia Jakarta (dalam bahasa Indonesia). Pemerintah Kota Jakarta.
Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-12-26. Diakses tanggal 26 Desember 2011.
"Amir Hamzah" (dalam bahasa Indonesia). National Language Centre. Diarsipkan dari versi
asli tanggal 2011-12-26. Diakses tanggal 26 Desember 2011.
Balfas, Muhammad (1976). "Sastra Indonesia Modern Secara Singkat". Dalam L. F., Brakel.
Handbuch der Orientalistik. 1. Leiden: E. J. Brill. ISBN 978-90-04-04331-2. Diakses tanggal
13 Agustus 2011.
Bodden, Michael (2002). "Satuan-Satuan Kecil and Uncomfortable Improvisations". Dalam
Foulcher, Keith; Day, Tony. Clearing a Space: Postcolonial Readings of Modern Indonesian
Literature. Leiden: KITLV Press. hlm. 293–324. ISBN 978-90-6718-189-1.
Dini, Nh. (1981). Amir Hamzah: Pangeran dari Seberang (dalam bahasa Indonesia). Jakarta:
Gaya Favorit Press. OCLC 8777902.
Echols, John (1956). Indonesian Writing in Translation. Ithaca: Cornell University Press.
OCLC 4844111.
Foulcher, Keith (1991). Pujangga Baru: Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia
1933–1942 (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Girimukti Pasaka. OCLC 36682391.
Peta Google – Mataram (Peta). Kartografi oleh Google, Inc. Google, Inc. Diakses tanggal
24 Juli 2013.
Peta Google – Medan (Peta). Kartografi oleh Google, Inc. Google, Inc. Diakses tanggal
24 Juli 2013.
Peta Google – Surabaya (Peta). Kartografi oleh Google, Inc. Google, Inc. Diakses tanggal
24 Juli 2013.
Hadi, Karlan (1955). "Amir Hamzah". Tjatatan-tjatatan tentang Amir Hamzah (dalam bahasa
Indonesia). Yogyakarta: Djawatan Kebudajaan. hlm. 35–42. OCLC 220483628.
Hamzah, Amir (1949). Njanji Sunji (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Pustaka Rakjat.
OCLC 65112881.
Husny, M. Lah (1978). Biografi – Sejarah Pujangga dan Pahlawan Nasional Amir Hamzah
(dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Department of Education and Culture. OCLC 18582287.
Jassin, H.B. (1962). Amir Hamzah: Radja Penjair Pudjangga Baru (dalam bahasa
Indonesia). Jakarta: Gunung Agung. OCLC 7138547.
Johns, Anthony H. (1979a). "Amir Hamzah: Malay Prince, Indonesian Poet". Cultural
Options and the Role of Tradition: A Collection of Essays on Modern Indonesian and
Malaysian Literature. Canberra: Faculty of Asian Studies in association with the Australian
National University Press. hlm. 124–140. ISBN 978-0-7081-0341-8.
Johns, Anthony H. (1979b). "Cultural Options and the Role of Tradition: Fecundation of a
New Malay Poetry". Cultural Options and the Role of Tradition: A Collection of Essays on
Modern Indonesian and Malaysian Literature. Canberra: Faculty of Asian Studies in
association with the Australian National University Press. hlm. 141–187. ISBN 978-0-7081-
0341-8.
Kurniawan (28 June 2010). "Puisi Amir Hamzah Bukan Sastra Sufi". Tempo (dalam bahasa
Indonesia). Jakarta. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-09-25. Diakses tanggal
21 September 2013.
Lindsay, Jennifer; Tan, Ying Ying (2003). Babel Or Behemoth: Language Trends in Asia.
Singapore: NUS Press. ISBN 978-981-04-9075-1.
Mihardja, Achdiat K. (1955). "Amir Hamzah dalam Kenangan". (dalam bahasa Indonesia).
Yogyakarta: Djawatan Kebudajaan. hlm. 113–122. OCLC 220483628. Tidak memiliki atau
tanpa |title= (bantuan)
Musa (1955). "Asal Usul Keturunan Amir Hamzah". Tjatatan-tjatatan tentang Amir Hamzah
(dalam bahasa Indonesia). Yogyakarta: Djawatan Kebudajaan. hlm. 7–13.
OCLC 220483628.
Raffel, Burton (1968) [1967]. Development of Modern Indonesian Poetry (edisi ke-2nd).
Albany: State University of New York Press. ISBN 978-0-87395-024-4.
Raffel, Burton (1970). Complete Prose and Poetry of Chairil Anwar (dalam bahasa Inggris).
Albany: State University of New York Press. ISBN 978-0-87395-061-9.
Rosidi, Ajip (1976). Ikhstisar Sejarah Sastra Indonesia (dalam bahasa Indonesia). Bandung:
Binacipta. OCLC 609510126.
Salam, Aprinus (2004). Oposisi Sastra Sufi (dalam bahasa Indonesia). Yogyakarta: LKiS.
OCLC 978-979-3381-64-0 Periksa nilai |oclc= (bantuan).
Siapno, Jacqueline Aquino (2002). Gender, Islam, Nationalism and the State in Aceh: The
Paradox of Power, Co-Optation and Resistance. London: Routledge. ISBN 978-0-7007-
1513-8.
Siregar, Bakri (1964). Sedjarah Sastera Indonesia (dalam bahasa Indonesia). 1. Jakarta:
Akademi Sastera dan Bahasa "Multatuli". OCLC 63841626.
Teeuw, A. (1955). Pokok dan Tokoh (dalam bahasa Indonesia). 1. Jakarta: Pembangunan.
OCLC 428077105.
Teeuw, A. (1980). Sastra Baru Indonesia (dalam bahasa Indonesia). 1. Ende: Nusa Indah.
OCLC 222168801.
Usman, Zuber (1959). Kesusasteraan Baru Indonesia dari Abdullah Bin Albdalkadir Munshi
sampai kepada Chairil Anwar (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Gunung Mas.
OCLC 19655561.

Pranala luar
Wikisource memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
Amir Hamzah

(Indonesia) Biografi Amir Hamzah di situs web Tokoh Indonesia (http://www.tokohindonesia.


com/tokoh/article/294-pahlawan/219-amir-hamzah) Diarsipkan (https://web.archive.org/web/
20130525030026/http://www.tokohindonesia.com/tokoh/article/294-pahlawan/219-amir-ham
zah) 2013-05-25 di Wayback Machine.
(Indonesia) Sang Pangeran yang Selalu Berada di Tengah (100 Tahun Tengku Amir
Hamzah) (http://www.lenteratimur.com/sang-pangeran-yang-selalu-berada-di-tengah-100-ta
hun-tengku-amir-hamzah/) Diarsipkan (https://web.archive.org/web/20110712043027/http://
www.lenteratimur.com/sang-pangeran-yang-selalu-berada-di-tengah-100-tahun-tengku-amir
-hamzah/) 2011-07-12 di Wayback Machine.
(Indonesia) Biodata singkat sastrawan Indonesia (https://web.archive.org/web/20071021124
555/http://www.geocities.com/cecepsyamsulhari/1900_1949)
(Indonesia) Beberapa sajak dari Buah Rindu (http://buahrindu.tripod.com/)
(Indonesia) Portal web Tengku Amir Hamzah (http://www.tengkuamirhamzah.com/id/biograp
hy/)

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Amir_Hamzah&oldid=21661303"

Anda mungkin juga menyukai