Riwayat hidup
Masa kecil
Amir lahir dengan nama Tengkoe Amir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Utara, putra
bungsu dari Wakil Sultan Tengkoe Moehammad Adil dan istri ketiganya, Tengkoe
Mahdjiwa. Tengkoe Moehammad Adil merupakan Wakil Sultan untuk Luhak Langkat
Hulu yang berkedudukan di Binjai. Berdasarkan silsilah keluarga istana Kesultanan
Langkat, Amir Hamzah adalah generasi ke-10 dari Sultan Langkat. Melalui ayahnya, ia
terkait dengan Sultan Langkat kala itu, Machmoed. Kepastian tanggal lahir Amir
diperdebatkan, tanggal resmi yang diakui oleh pemerintah Indonesia adalah 28
Februari 1911, tanggal yang digunakan Amir sepanjang hidupnya. Namun kakaknya,
Abdoellah Hod menyatakan bahwa Amir lahir pada tanggal 11 Februari 1911. Amir
kemudian mengambil nama kakeknya, Tengkoe Hamzah, sebagai nama keduanya;
sehingga ia disebut sebagai Amir Hamzah. Meskipun seorang anak bangsawan, dia
sering bergaul dalam lingkungan non-bangsawan.[2] Amir Hamzah menghabiskan masa
kecil di kampung halamannya. Oleh teman sepermainannya, Amir kecil biasa dipanggil
dengan sebutan "Tengku Busu" ("tengku yang bungsu"). Said Hoesny, sahabat Amir
pada masa kecilnya menggambarkan bahwa Amir adalah anak manis yang menjadi
kesayangan semua orang.
Diketahui bahwa Amir dididik dalam prinsip-prinsip Islam, seperti mengaji, fikih,
dan tauhid, dan belajar di Masjid Azizi di Tanjung Pura dari usia muda.[3] Dia tetap
seorang Muslim yang taat sepanjang hidupnya. Periode di mana ia menyelesaikan studi
formal juga diperdebatkan. Beberapa sumber, termasuk pusat bahasa pemerintah
Indonesia, menyatakan bahwa ia mulai bersekolah pada tahun 1916,[4] sementara
biografer M. Lah Husny menulis bahwa tahun pertama sekolah formal penyair ini adalah
pada tahun 1918.[5] Di sekolah dasar berbahasa Belanda di mana Amir pertama kali
belajar, ia mulai menulis[6] dan mendapat penilaian-penilaian yang bagus; [7] dalam
biografi yang ditulisnya tentang Amir, penulis Nh. Dini menulis bahwa Amir dijuluki
"abang" oleh teman-teman sekelasnya karena ia jauh lebih tinggi daripada mereka.[3]
Pada tahun 1924[8]atau 1925,[9] Amir lulus dari sekolah dasarnya di Langkat dan pindah
ke Medan untuk belajar di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, sekolah menengah
pertama) di sana.[10] Setelah menyelesaikan studinya sekitar dua tahun kemudian, ia
memasuki hubungan formal dengan sepupunya dari pihak ibunya, Aja[b] Bun.[11] Husny
menulis bahwa keduanya sengaja dipertemukan dan dijodohkan untuk menikah oleh
orang tua mereka,[12] namun Dini menganggap hubungan tersebut sebagai sumpah
untuk menjadi selalu setia.[13] Karena orang tuanya mengizinkannya untuk
menyelesaikan studinya di Jawa, Amir kemudian pergi ke ibu kota kolonial Hindia
Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) untuk menyelesaikan studinya.[12]
Belajar di Jawa
Amir pergi ke Pulau Jawa sendirian, dalam perjalanan di laut selama tiga hari di
kapal Plancus.[14][15] Setelah tiba di Batavia, ia masuk di Christelijk MULO Menjangan, di
mana ia menyelesaikan tahun SMP terakhirnya.[12] Anthony H. Johns dari Australian
National University menulis bahwa di sekolah ini Amir mempelajari beberapa konsep
dan nilai-nilai Kekristenan.[16] Di Batavia, Amir juga terlibat dalam organisasi sosial Jong
Sumatra.[17] Saat periode ini pemuda Amir menulis puisi pertamanya. Husny menulis
bahwa Amir patah hati setelah menemukan Aja Bun telah menikah dengan pria lain
tanpa sepengetahuan Amir (mereka berdua tidak pernah berbicara lagi),[18] sementara
Dini berpendapat bahwa puisi "Tinggallah " ditulis tidak lama setelah Amir naik
kapal Plancus, saat ia sangat rindu dengan ayah bundanya.[19]