Anda di halaman 1dari 16

Biografi Buya Hamka

Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo, populer dengan nama penanya Hamka (17
Februari 1908 – 24 Juli 1981) adalah seorang ulama, filsuf, dan sastrawan Indonesia. Ia berkarier sebagai
wartawan, penulis, dan pengajar. Ia sempat berkecimpung di politik melalui Masyumi sampai partai
tersebut dibubarkan, menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan aktif dalam
Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Universitas al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia
menganugerahkannya gelar doktor kehormatan, sementara Universitas Moestopo mengukuhkan Hamka
sebagai guru besar. Namanya disematkan untuk Universitas Hamka milik Muhammadiyah dan masuk
dalam daftar Pahlawan Nasional Indonesia.
Dibayangi nama besar ayahnya Abdul Karim Amrullah, Hamka remaja sering melakukan perjalanan
jauh sendirian. Alih-alih menyelesaikan pendidikannya di Thawalib, ia merantau ke Jawa pada umur 16
tahun. Selang setahun, ia pulang membesarkan Muhammadiyah di Padang Panjang. Pengalaman ditolak
sebagai guru di sekolah milik Muhammadiyah karena tak memiliki ijazah dan kemampuan berbahasa
Arabnya yang terbatas mendorong Hamka muda pergi ke Mekkah. Lewat bahasa Arab yang dipelajarinya,
Hamka mendalami sejarah Islam dan sastra secara otodidak. Kembali ke Tanah Air, Hamka bekerja sebagai
wartawan sambil menjadi guru agama di Deli. Setelah menikah, ia kembali ke Medan dan memimpin
Pedoman Masyarakat. Lewat karyanya Di Bawah Lindungan Ka'bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck, nama Hamka melambung sebagai sastrawan.
Selama revolusi fisik Indonesia, Hamka bergerilya di Sumatra Barat bersama Barisan Pengawal
Nagari dan Kota (BPNK) menggalang persatuan rakyat menentang kembalinya Belanda. Pada 1950,
Hamka membawa keluarga kecilnya ke Jakarta. Semula, ia bekerja di Departemen Agama, tapi mundur
karena terjun di jalur politik. Dalam pemilihan umum 1955, Hamka terpilih duduk di Konstituante
mewakili Masyumi. Ia terlibat dalam perumusan kembali dasar negara. Sikap politik Masyumi menentang
komunisme dan anti-Demokrasi Terpimpin memengaruhi hubungan Hamka dengan Presiden Soekarno.
Usai Masyumi dibubarkan sesuai Dekret Presiden 5 Juli 1959, Hamka menerbitkan Panji Masyarakat yang
berumur pendek, karena dibredel oleh Soekarno setelah menurunkan tulisan Hatta—yang telah
mengundurkan diri sebagai wakil presiden—berjudul "Demokrasi Kita". Seiring meluasnya pengaruh
komunisme di Indonesia, Hamka diserang oleh organisasi kebudayaan Lekra. Tuduhan melakukan gerakan
subversif membuat Hamka diciduk dari rumahnya ke tahanan Sukabumi pada 1964. Dalam keadaan sakit
sebagai tahanan, ia merampungkan Tafsir Al-Azhar.
Hamka bebas pada Mei 1966 menjelang berakhirnya kekuasaan Soekarno. Pada masa Orde Baru
Soeharto, ia mencurahkan waktunya membangun kegiatan dakwah di Masjid Agung Al-Azhar serta
berceramah di Radio Republik Indonesia (RRI) dan Televisi Republik Indonesia (TVRI). Ketika
pemerintah menjajaki pembentukan Majelis Ulama Indonesia pada 1975, peserta musyawarah memilih
dirinya secara aklamasi sebagai ketua. Namun, Hamka memilih meletakkan jabatannya pada 19 Mei 1981,
menanggapi tekanan Menteri Agama Alamsjah Ratoe Perwiranegara untuk menarik fatwa haram MUI atas
perayaan Natal bersama bagi umat Muslim. Ia meninggal pada 24 Juli 1981 dan jenazahnya dimakamkan
di TPU Tanah Kusir, Jakarta.
Kehidupan awal
Masa kecil
Rumah Kelahiran Buya Hamka yang dijadikan museum sejak 2001, tempat Hamka lahir, diasuh dan
tinggal bersama anduang-nya selama di Maninjau
Abdul Malik, nama kecil Hamka, lahir pada 17 Februari 1908 [Kalender Hijriyah: 14 Muharram
1326] di Tanah Sirah, kini masuk wilayah Nagari Sungai Batang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Ia
adalah anak pertama dari empat bersaudara pasangan Abdul Karim Amrullah "Haji Rasul" dan Safiyah.
Adik-adik Hamka bernama: Abdul Kuddus, Asma, dan Abdul Mu'thi. Haji Rasul menikahi Safiyah setelah
istri pertamanya, Raihana yang merupakan kakak Safiyah meninggal di Mekkah. Raihana memberi Malik
seorang kakak tiri, Fatimah yang kelak menikah dengan Syekh Ahmad Rasyid Sutan Mansur. Kelak, Haji
Rasul bercerai dengan Safiyah, menikah dengan Rafi'ah dan memberi Hamka seorang adik tiri bernama
Abdul Bari. Kembali ke Minangkabau setelah belajar kepada Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Haji Rasul
memimpin gelombang pembaruan Islam, menentang tradisi adat dan amalan tarekat, walaupun ayahnya
sendiri, Muhammad Amrullah adalah seorang pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah. Istri Amrullah, anduang
bagi Malik, bernama Sitti Tarsawa adalah seorang yang mengajarkan tari, nyanyian, dan pencak silat.
Di Maninjau, Hamka kecil tinggal bersama anduangnya, mendengarkan pantun-pantun yang merekam
keindahan alam Minangkabau. Ayahnya sering bepergian untuk berdakwah. Saat berusia empat tahun,
Malik mengikuti kepindahan orangtuanya ke Padang Panjang, belajar membaca al-Qur'an dan bacaan salat
di bawah bimbingan Fatimah, kakak tirinya. Memasuki umur tujuh tahun, Malik masuk ke Sekolah Desa.
Pada 1916, Zainuddin Labay El Yunusy membuka sekolah agama Diniyah School, menggantikan sistem
pendidikan tradisional berbasis surau. Sambil mengikuti pelajaran setiap pagi di Sekolah Desa, Malik
mengambil kelas sore di Diniyah School. Kesukaannya di bidang bahasa membuatnya cepat sekali
menguasai bahasa Arab.
Pada 1918, Malik berhenti dari Sekolah Desa setelah melewatkan tiga tahun belajar. Karena
menekankan pendidikan agama, Haji Rasul memasukkan Malik ke Thawalib. Sekolah itu mewajibkan
murid-muridnya menghafal kitab-kitab klasik, kaidah mengenai nahwu, dan ilmu saraf. Setelah belajar di
Diniyah School setiap pagi, Malik menghadiri kelas Thawalib pada sore hari dan malamnya kembali ke
surau. Namun, sistem pembelajaran di Thawalib yang mengandalkan hafalan membuatnya jenuh.
Kebanyakan murid Thawalib adalah remaja yang lebih tua dari Malik karena beratnya materi yang
dihafalkan. Dari pelajaran yang diikutinya, ia hanya tertarik dengan pelajaran arudh yang membahas
tentang syair dalam bahasa Arab. Kendati kegiatannya dari pagi sampai sore hari dipenuhi dengan belajar,
Hamka kecil terkenal nakal. Ia sering mengganggu teman-temannya jika kehendaknya tidak dituruti.
Karena gemar menonton film, Malik pernah mengelabui ayahnya, diam-diam tidak datang ke surau untuk
mengintip film bisu yang sedang diputar di bioskop.
Pedoman Masyarakat
Dari pengalamannya di Padang Panjang dan Makassar, Hamka merasa bakatnya sebagai pengarang
lebih baik ia manfaatkan ketimbang menjadi guru. Pada Januari 1936, Hamka berangkat ke Medan,
memelopori jurnalistik Islam dan menekuni karang-mengarang. Ia memenuhi permintaan Muhammad
Rasami, tokoh Muhammadiyah Bengkalis untuk memimpin Pedoman Masyarakat di bawah Yayasan Al-
Busyra pimpinan Asbiran Yakub. Kulliyatul Mubalighin yang ditinggalkannya diteruskan oleh Abdul
Malik Ahmad sampai 1946. Pedoman Masyarakat beroplah 500 eksemplar ketika terbit perdana pada 1935.
Oplahnya melonjak hingga 4.000 eksemplar setelah Malik menjadi pemimpin redaksi pada 22 Januari
1936. Majalah itu mengupas pengetahuan umum, agama, dan sejarah. Melalui kedudukannya sebagai
pemimpin redaksi, Hamka menjalin hubungan intelektual dengan sejumlah tokoh pergerakan. Pada
Februari 1936, ia menyindir sikap pemerintah kolonial terhadap Hatta dan Sjahrir dengan mengasingkan
mereka ke Boven Digul. Melalui Pedoman Masyarakat pula, Malik untuk pertama kalinya
memperkenalkan nama pena "Hamka".

Hamka mengisi beberapa rubrik dan menulis cerita bersambung. Mengangkat masalah penggolongan
dalam masyarakat Minangkabau berdasarkan harta, pangkat, dan keturunan, ia menulis Di Bawah
Lindungan Ka'bah. Hamid terhalang menikahi Zainab karena perbedaan status antara kedua keluarga.
Melihat animo masyarakat yang luas, Balai Pustaka menerbitkan Di Bawah Lindungan Ka'bah pada 1938.
Setelah Di Bawah Lindungan Ka'bah, Hamka menulis Tenggelamnya Kapal Van der Wijck tentang
percintaan antara Zainuddin dan Hayati yang terhalang adat dan berakhir dengan kematian. Sewaktu
dimuat sebagai cerita bersambung, Hamka menuturkan ia mendapat banyak surat dari pembaca, sebagian
meminta agar Hayati hati "jangan sampai dimatikan", sebagian mengungkapkan kesan mereka "seakan-
akan Tuan menceritakan nasibku sendiri". Namun, sejumlah pembaca Muslim menolak Van Der Wijck
karena menurut mereka seorang ulama tak pantas menulis roman percintaan. Ia pernah dijuluki kiai cabul.
Hamka membela diri lewat tulisan di Pedoman Masyarakat pada 1938. Ia menyatakan, tak sedikit roman
yang berpengaruh positif terhadap pembacanya. Ia merujuk pada roman 1920-an dan 1930-an yang
mengupas adat kolot, pergaulan bebas, kawin paksa, poligami, dan bahaya pembedaan kelas.

Pendudukan Jepang dan pasca-kemerdekaan


6:25
Propaganda Hamka mendukung Jepang di Medan
Setelah Jepang mengambil alih kekuasaan penjajah Belanda dan menduduki Medan pada 13 Maret
1942, majalah Pedoman Masyarakat berhenti terbit. Sembari memfokuskan perhatiannya memimpin
Muhammadiyah, Hamka berusaha mempertahankan Muhammadiyah dari pembubaran.

Kedudukan Hamka sebagai tokoh Muhammadiyah menjadi perhatian Jepang. Pada 1944, Jepang
mengangkatnya menjadi anggota Chuo Sangi-in, yaitu menjadi penasehat dari Chuokan Sumatra Timur
Letnan Jendral T. Nakashima. Ia menerima pengangkatannya karena percaya dengan janji Jepang yang
akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Namun, sikap kompromistis dan kedudukannya dalam
pemerintahan pendudukan menyebabkan Hamka terkucil, dibenci, dan dipandang sinis oleh masyarakat.
Hamka mengungkapkan bahwa bulan Agustus sampai Desember 1945 adalah masa yang paling pahit
selama hidupnya, berada di tengah kebencian dan penghinaan sampai-sampai di depan anak-anaknya ia
berkata, "sekiranya tidak ada iman, barangkali ayah sudah bunuh diri." Hal ini membuatnya meninggalkan
Medan dan kembali ke Padang Panjang. Hamka tiba di Aur Tajungkang, Bukittinggi pada 14 Desember
1945.

Kembali ke Sumatra Barat, Hamka menulis untuk membuktikan bahwa dirinya bukan kaki tangan
penjajah, melainkan bagian dari rakyat yang menginginkan perubahan. Pada masa ini terbit buku-bukunya,
seperti Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau
Menghadapi Revolusi, dan Dari Lembah Cita-Cita. Ketika berlangsung Konferensi Muhammadiyah di
Padang Panjang pada 22 Mei 1946, Hamka terpilih sebagai Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah
Sumatra Barat, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto yang diangkat menjadi Bupati Solok. Posisi sebagai
ketua Muhammadiyah membuat Hamka mempunyai banyak kesempatan mengunjungi cabang-cabang
Muhammadiyah untuk meningkatkan kegiatan penyiaran Islam.

Kiprah Hamka dalam perjuangan nasional kian meningkat berbarengan dengan terjadinya perang
revolusi menentang kembalinya Belanda ke Tanah Air. Selama perang kemerdekaan, Hamka bersama para
pemimpin dan para pejuang lainnya ambil peranan melawan Belanda. Menurut Emzita, seorang jurnalis
yang mengikuti perang gerilya pasca-kemerdeaan, Hamka melakukan kegiatan "tablig revolusi". Ia
menjadi penghubung krusial di antara ulama dengan kelompok-kelompok pejuang. Hamka memimpin
Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK), pasukan rakyat yang besar sekali peranannya dalam perang
gerilya melawan pasukan Belanda di Sumatra Barat. Ia bergerilya masuk-keluar hutan, mengelilingi
hampir seluruh nagari di Sumatra Barat dan Riau untuk mengobarkan semangat perjuangan. Tatkala Front
Pertahanan Nasional (FPN) dibentuk secara resmi di Sumatra Barat pada 12 Agustus 1947, Hamka
ditunjuk oleh Muhammad Hatta sebagai salah seorang pimpinan. Bersama-sama dengan pimpinan FPN
lain, yaitu Khatib Sulaiman, Rasuna Said dan Karim Halim, FPN di Sumatra Barat berhasil menghimpun
tidak kurang dari 500.000 pemuda yang berusia antara 17–35 tahun.

Saat tentara Belanda menduduki Padang Panjang tahun 1948, Hamka mengungsikan keluarganya ke
Sungai Batang. Selama berbulan-bulan, Hamka tak bertemu anak-anaknya. Putra Hamka, Rusydi Hamka
menuturkan, mereka hanya bisa memakan ubi dan bubur. "Waktu itulah, Aliyah nyaris menemui ajalnya
karena terlalu sering mengkonsumsi ubi, membuat Aliyah terserang penyakit."

Pindah ke Jakarta
Pada bulan Desember 1949, Hamka pindah bersama keluarganya ke Jakarta. Ia semula menyewa
rumah milik keluarga Arab di Jalan Toa Hong II, Kebun Jeruk. Untuk memulai hidup, Hamka
mengandalkan honorarium buku-bukunya yang diterbitkan di Medan sambil mengirim tulisan untuk surat
kabar Merdeka dan majalah Pemandangan. Dalam surat kabar Abadi, Hamka mengasuh rubrik "Dari
Perbendaharaan Lama" yang terbit dalam edisi Minggu. Beberapa karangannya sempat terbit di majalah
Mimbar Indonesia yang dipimpin H.B. Jassin dan majalah Hikmah.

Ia diangkat sebagai pegawai Kementerian Agama yang pada waktu itu menterinya dipimpin KH
Wahid Hasyim. Ia diserahi tugas mengajar di beberapa perguruan tinggi Islam. Di antaranya Universitas
Islam Jakarta, PTAIN Yogyakarta (sekarang UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), dan Universitas Muslim
Ujungpandang. Hamka banyak diundang ke berbagai tempat untuk ceramah.

Pada 1950, usai menunaikan ibadah haji, Hamka mengunjungi beberapa negara Arab dan
mendapatkan banyak inspirasi untuk menulis. Ia menulis tiga buku perjalanannya yakni Mandi Cahaya di
Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajjah. Sejumlah konferensi internasional
mendapuk Hamka sebagai pembicara mewakili Indonesia. Pada 1952, ia mendapat undangan dari
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat untuk mengadakan kunjungan ke negara itu. Dari kunjunganya,
ia mengarang buku Empat Bulan di Amerika. Pada 1953, ia mengikuti Misi Kebudayaan RI ke Muangthai
dipimpin Ki Mangunsarkoro. Pada 1954, ia berangkat ke Burma mewakili Departemen Agama dalam
perayaan 2.000 tahun wafatnya Siddhartha Gautama.

Hamka sebagai anggota Konstituante, 1956


Berstatus sebagai pegawai pemerintah, Hamka pada saat yang sama terjun dalam kancah politik. Ia
bergabung dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menginginkan perjuangan Islam
melalui mekanisme konstitusional. Namun, aktivitasnya di dunia politik belakangan menyebabkannya
harus mengundurkan diri sebagai pegawai Departemen Agama. Soekarno meminta para pegawai untuk
memilih tetap menjadi pegawai atau anggota partai.

Pada pemilihan umum 1955, ia terpilih sebagai anggota Dewan Konstituante mewakili Jawa Tengah.
Dalam sidang-sidang Konstituante, ia menyampaikan pidato tentang bahasa, hak-hak azasi manusia, dan
dasar negara. Hamka tampil sebagai salah seorang penanggap pidato Presiden Soekarno berjudul
"Republika" (yang mengajak kembali ke UUD 1945 dan ide "kabinet kaki empat"). Ia menolak gagasan
Presiden Soekarno yang akan menerapkan Demokrasi Terpimpin.

Ketika terjadi perdebatan mengenai dasar negara, Hamka bersama Mohammad Natsir, Mohammad
Roem, dan Isa Anshari secara konsisten memperjuangkan syariat Islam menjadi dasar negara Indonesia.
Hamka mengemukakan kelebihan Islam dari Pancasila, malah dari dasar apapun di dunia. Ia meragukan
pendapat yang mengatakan bahwa Pancasila mencerminkan gaya hidup ataupun falsafah hidup orang
Indonesia sekalipun ia menghargai usaha mereka yang hendak meyakinkan ini. Dalam pidatonya, Hamka
mengusulkan agar dalam sila pertama Pancasila dimasukkan kembali kalimat tentang "kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya", sebagaimana yang termaktub dalam Piagam Jakarta.
Perdebatan itu berujung pada dikeluarkannya Dekrit Presiden.

Masjid Agung Al-Azhar

Masjid Agung Al-Azhar, namanya disematkan oleh Imam Besar Al-Azhar Syekh Mahmud Syaltut
sebagai pengakuan atas peran dan ketokohan Hamka.
Pada tahun 1956, Hamka membangun sebuah rumah kediaman untuk anak dan istrinya di Jalan Raden
Fatah III, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di depan rumahnya direncanakan akan dibangun sebuah
masjid yang digagas oleh tokoh-tokoh Masyumi, tetapi panitia pembangunan belum mendapatkan tokoh
yang tepat untuk menjadi penanggung jawab dan imam masjid tersebut. Pada saat itulah Ghazali Syahlan
dan Abdullah Salim yang diberi tugas mencari tokoh tersebut menghadap Hamka untuk meminta
kesediaannya. Permohonan ini diterima oleh Hamka. Dalam suatu pertemuan, ia menyarankan agar masjid
itu dibangun terlebih dahulu dan juga menyarankan agar bangunannya disertai dengan ruang kantor, ruang
pertemuan, dan ruang perkuliahan yang dapat digunakan untuk kegiatan-kegiatan dakwah, pendidikan, dan
kegiatan sosial lainnya.

Sebelum pembangunan masjid itu selesai, Hamka menghadiri undangan sebuah konferensi Islam dari
Universitas Punjab di Lahore, Pakistan pada Januari 1958. Ia hadir sebagai delegasi Indonesia dalam
simposium Islam di Lahore bersama Hasbi Ash-Shieddiqy dan KH Anwar Musaddad. Setelah itu, ia
melanjutkan perjalanan ke Kairo, Mesir sebagai tamu kenegaraan bersamaan dengan Soekarno, yang
kebetulan ketika itu sedang berkunjung ke Mesir. Dalam kunjungannya ke Kairo, ia memenuhi undangan
Forum Dunia Islam untuk memberikan ceramah di Universitas Al-Azhar pada Februari 1958. Di gedung
Asy-Syubbanul Muslimun, Hamka menyampaikan pidato tentang pengaruh paham Muhammad Abduh di
Indonesia dan Malaya. Hamka menguraikan tentang kebangkitan gerakan-gerakan Islam modern di
Indonesia seperti Thawalib, Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persis. Dalam ceramahnya ia mendapat
sambutan luas dari kalangan akademik dan intelektual Mesir karena pemaparannya yang dinilai sangat
baik tentang pengaruh paham Muhammad Abduh terhadap masyarakat Muslim di Asia Tenggara, yang di
Mesir sendiri sangat terbatas sekali yang mengenalnya. Setelah memberikan ceramahnya, ia melanjutkan
perjalanan ke Mekkah, Jeddah, dan Madinah. Ketika memenuhi undangan dari pihak istana Kerajaan Arab
Saudi, ia menerima berita dari Mesir yang menyatakan bahwa Universitas Al-Azhar telah mengambil
keputusan hendak memberinya gelar Ustadziyah Fakhriyyah, gelar ilmiah tertinggi dari universitas itu
yang setara dengan Doktor Honoris Causa.

Pada Desember 1960, Syekh Mahmud Shaltut, Imam Besar Al-Azhar, beserta rombongan datang ke
Indonesia sebagai tamu kenegaraan. Dalam lawatan ini, Mahmud Shaltut meninjau Masjid Agung
Kebayoran Baru.

Tuduhan plagiat dan pemberontakan


Hamka (duduk) bersama Natsir (kiri) dan Isa Anshary (kanan). Mereka sempat dijebloskan ke dalam
penjara oleh rezim Soekarno akibat adanya kaitan petinggi partai Masyumi dengan pemberontakan PRRI.
Kedekatan Hamka terhadap partai Masyumi menyebabkan Hamka ikut menjadi bulan-bulanan dari
pihak PKI. Organisasi sayap PKI, Lekra menuduhnya sebagai "plagiator " dan pemerintah waktu itu
menuduhnya sebagai orang yang akan berusaha melakukan makar. Pada September 1962, Lekra menuduh
novel Hamka berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck adalah jiplakan dari karya pengarang Prancis
Alphonse Karr Sous les Tilleus. Novel Sous les Tilleus diterjemahkan oleh Mustafa Lutfi Al-Manfaluti ke
bahasa Arab. Pada tahun 1963, novel edisi Arab ini diindonesiakan AS Alatas dengan judul Magdalena.

Keadaan memburuk bagi Hamka ketika Panji Masyarakat memuat artikel Muhammad Hatta berjudul
"Demokrasi Kita". Setelah penerbitan Panji Masyarakat berhenti sejak 17 Agustus 1960, tulisannya satu
setengah juz dimuatkannya dalam majalah Gema Islam sampai akhir Januari 1962, yaitu dari juz 18 sampai
juz 19. Ceramah-ceramah Hamka tiap subuh selalu dimuat secara teratur dalam majalah hingga Januari
1964.

Pada 27 Januari 1964, setelah Masyumi dibubarkan paksa akibat adanya para anggota partai yang
ditangkap di pemberontakan PRRI, Hamka dan para anggota senior Masyumi turut dipenjara karena
dianggap terlibat dalam pemberontakan.

Karena jatuh sakit, Hamka dipindahkan dari tahanan ke RS Persahabatan. Selama perawatan di rumah
sakit ini, Hamka meneruskan penulisan Tafsir Al-Azhar. Ia mengaku wajah-wajah jemaahnya yang
terbayang ketika ia mulai mengoreskan pena untuk menulis tafsir. Hamka ditetapkan sebagai tahanan
politik selama dua tahun sejak 28 Agustus 1964, diikuti tahanan rumah dua bulan dan tahanan kota dua
bulan.

Orde Baru
Pada 30 November 1967, Pemerintah Indonesia menggagas diadakannya Musyawarah Antar Agama.
Dalam musyawarah yang dihadiri pemuka agama yang diakui secara resmi di Indonesia, pemerintah
mengusulkan pembentukan Badan Konsultasi Antar Agama dan pernyataan bersama dalam piagam yang
isinya antara lain, ”Menerima anjuran Presiden agar tidak menjadikan umat yang sudah beragama sebagai
sasaran penyebaran agama lain.” Badan Konsultasi Antar Agama berhasil dibentuk, tetapi musyawarah
gagal menyepakati penandatangangan piagam yang diusulkan pemerintah. Perwakilan Kristen merasa
berkeberatan sebab piagam tersebut dianggap bertentangan dengan kebebasan penyebaran Injil. Dalam
pidatonya, Albert Mangaratua Tambunan menyampaikan pendirian umat Kristiani bahwa menyebarkan
Pekabaran Injil kepada orang yang belum Kristen adalah "Titah Ilahi yang wajib dijunjung tinggi".
Meskipun Musyawarah Antar Agama dianggap gagal oleh banyak pihak, Hamka menganggap musyawarah
itu berhasil karena telah mengungkap "apa-apa yang selama ini belum terungkapkan secara gamblang".
Setelah bebas dari penjara, Hamka menjadi perwakilan Indonesia dalam beberapa pertemuan
internasional. Pada 1967, ia berkunjung ke Malaysia atas undangan Perdana Menteri Tengku Abdul
Rahman. Pada 1968, ia menghadiri Peringatan Masjid Annabah di Aljazair. Dari Aljazair, ia mengunjungi
beberapa negara seperti Spanyol, Roma, Turki, London, Saudi Arabia, India, dan Tahiland. Pada 1969,
bersama KH Muhammad Ilyas dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Anwar Tjokroaminoto,
Hamka mewakili Indonesia dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam membahas konflik Palestina-
Israel di Rabat, Maroko.

Dalam musyawarah alim ulama se-Indonesia di Jakarta pada 30 September–4 Oktober 1970, Pusat
Dakwah Islam Indonesia, organisasi bentukan pemerintah, mengapungkan gagasan pembentukan Majelis
Ulama. Meskipun mendapatkan dukungan Menteri Agama KH Muhammad Dahlan, sejumlah ulama dan
tokoh Islam, seperti Mohammad Natsir dan Kasman Singodimedjo melihat bahwa lembaga itu hanya akan
menguntungkan pemerintah ketimbang umat Islam. Namun, Hamka memandang penting pembentukan
Majelis Ulama perlu sebagai jembatan pemerintah dan umat Islam. Menurutnya, Majelis Ulama dapat
mengurangi rasa curiga antara pemerintah dan umat Islam. "Mereka berani mengkritik perbuatan
pemerintah yang salah menurut keyakinannya, walaupun karena ketegasan pendiriannya itu, ia akan
dibenci oleh penguasa. Sebaliknya ia pun berani membela satu langkah pemerintah yang dianggapnya
menempuh jalan yang benar, walaupun karena itu ia pun akan dibenci oleh rakyat," tulis Hamka dalam
Panji Masyarakat pada 1 Juli 1974.

Pada 1971, Hamka menghadiri Seminar Islam di Aljazair, dengan membawa paper tentang
Muhammadiyah di Indonesia. Pada 8 Juni 1974, Hamka menerima gelar kehormatan Honoris Causa dari
Universitas Kebangsaan Malaysia. Pada 1975, ia menghadiri Muktamar Masjid di Mekkah. Pada 1976, ia
menghadiri Konferensi Islam di Kucing, Serawak, Malaysia Timur. Pada 1976, ia mengikuti Seminar Islam
dan Kebudayaan Malaysia di Universitas Kebangsaan Malaysia dengan paper "Pengaruh Islam pada
Kesusastraan Melayu". Pada 1977, ia menghadiri Peringatan 100 tahun Muhammad Iqbal di Lahore dan
Muktamar Ulama (Al-Buhust Islamiyah) di Kairo. Di Lahore, Hamka menyampaikan makalahnya tentang
Muhammad Iqbal, menyoroti pengaruh Iqbal dalam membawa identitas Muslim pada Jinnah.

Ketua MUI

Hamka saat menjabat Ketua MUI


Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) terbentuk pada 26 Juli 1975, Hamka dipilih secara aklamasi
sebagai Ketua MUI. Pada hari itu pula, Hamka berpidato pertama kali sebagai Ketua MUI. Ketika ia
menyampaikan pidato saat pelantikan dirinya, Hamka menyatakan bahwa dirinya bukanlah sebaik-baiknya
ulama. Ia menyadari bahwa dirinya memang populer, "tapi kepopuleran bukanlah menunjukkan bahwa
saya yang lebih patut." Ia menjelaskan posisi MUI dengan pemerintah dan masyarakat terletak di tengah-
tengah, "laksana kue bika" yang "dibakar api dari atas dan bawah". "Api dari atas ibarat harapan
pemerintah, sedangkan api dari bawah wujud keluhan umat Islam. Berat ke atas, niscaya putus dari bawah.
Putus dari bawah, niscaya berhenti jadi ulama yang didukung rakyat. Berat kepada rakyat, hilang
hubungan dengan pemerintah."

Meski berbagai pihak waktu itu sempat ragu apakah Hamka mampu menghadapi intervensi kebijakan
pemerintah Orde Baru kepada umat Islam yang saat itu berlangsung dengan sangat gencar, ia berhasil
membangun citra MUI sebagai lembaga independen dan berwibawa untuk mewakili suara umat Islam.
Sebagai Ketua MUI, ia meminta agar ia tidak digaji. Ia memilih menjadikan Masjid Agung Al-Azhar
sebagai pusat kegiatan MUI alih-alih berkantor di Masjid Istiqlal. Selain itu, ia meminta agar
diperbolehkan mundur, apabila nanti ternyata sudah tidak ada kesesuaian dengan dirinya dalam hal
kerjasama antara pemerintah dan ulama. Pemerintah bersedia mengakomodasi permintaan Hamka.

Pemerintah Republik Indonesia di bawah pimpinan Presiden Soeharto sejak mulai berdirinya Majelis
Ulama Indonesia selalu menganjurkan agar di Indonesia terdapat Kerukunan Hidup Beragama. Hamka
sebagai Ketua MUI pada 21 September 1975 menerangkan kepada 30 orang utusan ulama yang hadir
bahwa Islam mempunyai konsepsi yang terang dan jelas di dalam surat Al-Mumtahinah ayat 7 dan 8,
bahwa tidak dilarang oleh Al-Qur'an orang Islam itu hidup rukun dan damai dengan pemeluk agama lain.
"Orang Islam disuruh berlaku adil dan hidup rukun dengan mereka asal saja mereka itu tidak memerangi
kita dan mendesak kita untuk keluar dari tanah air kita sendiri." MUI telah menerima anjuran pemerintah
tentang kerukunan umat beragama.

Pada 1978, Hamka berbeda pandangan dengan pemerintah. Pemicunya adalah keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk mencabut ketentuan libur selama puasa Ramadhan,
yang sebelumnya sudah menjadi kebiasaan.

Fatwa MUI dan pengunduran diri


Pada 7 Maret 1981, MUI mengeluarkan fatwa tentang keharaman perayaan Natal bagi umat Islam.
Fatwa itu keluar menyusul banyaknya instansi pemerintah menyatukan perayaan Natal dan Lebaran
lantaran kedua perayaan itu berdekatan. Hamka membantah perayaan Natal dan Lebaran bersama sebagai
bentuk toleransi. "Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan Al-Qur'an
atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Alah itu adalah satu ditambah dua sama
dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka
terima." Jan S. Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia mencatat, Hamka
menyebut perayaan Natal dan Lebaran bersama bukan bentuk toleransi, tetapi memaksakan kedua
penganut Islam dan Kristiani menjadi munafik. Dalam khutbahnya di Masjid Agung Al-Azhar, Hamka
menyampaikan, "haram hukumnya bahkan kafir bila ada orang Islam menghadiri upacara Natal. Natal
adalah kepercayaan orang Kristen yang memperingati hari lahir anak Tuhan. Itu adalah aqidah mereka.
Kalau ada orang Islam yang turut menghadirinya, berarti ia melakukan perbuatan yang tergolong musyrik."

MUI memfatwakan mengikuti upacara Natal bagi umat Islam hukumnya haram, meskipun tujuannya
merayakan dan menghormati Nabi Isa karena Natal tidak dapat dipisahkan dari soal-soal keyakinan dan
peribadatan. Namun, keluarnya fatwa MUI menulai kecaman dari pemerintah. Menteri Agama Alamsyah
Ratu Perwiranegara meminta fatwa MUI dicabut karena dianggap mengusik kerukunan antara umat Islam
dan Kristen. Menurut Ketua Komisi Fatwa Syukri Ghozali, sebagaimana dikutip Tempo, fatwa itu
sebenarnya dibuat agar Departemen Agama menentukan langkah dalam menyikapi Natalan-Lebaran yang
kerap terjadi. Namun, fatwa itu menyebar ke masyarakat sebelum petunjuk pelaksanaan selesai dibuat
Departemen Agama. Menyikapi hal itu, Hamka mengeluarkan surat keputusan (SK) mengenai penghentian
edaran fatwa. Dalam surat pembaca yang ditulis dan dimuat oleh Kompas 9 Mei 1981, Hamka
menjelaskan SK itu tak mempengaruhi kesahihan fatwa tentang perayaan Natal. "Fatwa itu dipandang
perlu dikeluarkan sebagai tanggung jawab para ulama untuk memberikan pegangan kepada umat Islam
dalam kewajiban mereka memelihara kemurnian aqidah Islamiyah."

Menanggapi tuntutan pemerintah untuk mencabut fatwa, Hamka memilih meletakkan jabatan sebagai
Ketua MUI. Dalam buku Mengenang 100 Tahun Hamka, Shobahussurur mencatat perkataan Hamka.
"Masak iya saya harus mencabut fatwa," kata Hamka sambil tersenyum sembari menyerahkan surat
pengunduran dirinya sebagai ketua MUI kepada Departemen Agama. Mundurnya Hamka dari MUI
mengundang simpati masyarakat Muslim pada umumnya. Kepada seorang sahabatnya, M. Yunan
Nasution, Hamka mengungkapkan, "waktu saya diangkat dulu tidak ada ucapan selamat, tapi setelah saya
berhenti, saya menerima ratusan telegram dan surat-surat yang isinya mengucapkan selamat."

Meninggal
Kesehatan Hamka menurun setelah mengundurkan diri dari jabatan ketua MUI. Mengikuti anjuran
dokter Karnen Bratawijaya, dokter keluarga Hamka, Hamka diopname di Rumah Sakit Pusat Pertamina
pada 18 Juli 1981, bertepatan dengan awal Ramadan. Pada hari keenam dirawat, Hamka sempat
menunaikan salat Dhuha dengan bantuan putrinya, Azizah, untuk bertayamum. Siangnya, beberapa dokter
datang memeriksa kondisinya, menyatakan bahwa ia berada dalam keadaan koma. Tim dokter menyatakan
bahwa ginjal, paru-paru, dan saraf sentralnya sudah tidak berfungsi lagi, dan kondisinya hanya bisa
dipertahankan dengan alat pacu jantung. Pada pukul sepuluh pagi keesokan harinya, anak-anaknya sepakat
untuk mencabut alat pacu jantung, dan tidak lama setelah itu Hamka menghembuskan napas terakhirnya.

Hamka meninggal dunia pada hari Jumat, 24 Juli 1981 pukul 10:37 WIB dalam usia 73 tahun.
Jenazahnya disemayamkan di rumahnya di Jalan Raden Fatah III. Antara pelayat yang hadir untuk
memberi penghormatan terakhir yakni Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Adam Malik, Menteri Negara
Lingkungan Hidup Emil Salim, dan Menteri Perhubungan Azwar Anas yang menjadi imam salat
jenazahnya. Jenazah Hamka dibawa ke Masjid Agung Al-Azhar dan disalatkan lagi, sebelum dimakamkan
di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan, dipimpin Menteri Agama Alamsyah Ratu
Perwiranegara.

Sepeninggal Hamka, pemerintah menyematkan Bintang Mahaputra Utama secara anumerta kepada
Hamka. Sejak 2011, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Namanya diabadikan untuk
perguruan tinggi Islam di Jakarta milik Muhammadiyah, yakni Universitas Muhammadiyah Hamka. Dari
syair berbahasa Minang ciptaan Agus Taher, Zalmon dan Tiar Ramon menyanyikan lagu Selamat Jalan
Buya untuk mengenang wafatnya Hamka. Novelis Akmal Nasery Basral, Haidar Musyafa, dan Ahmad
Fuadi menulis novel tentang kisah perjalanan Hamka. Pada 2016, Majelis Ulama Indonesia berencana
mengangkat kisah Hamka ke dalam film berjudul Buya Hamka.

Pengakuan umum
Hamka diakui secara luas sebagai seorang pemikir Islam Asia Tenggara. Perdana Menteri Malaysia
Tun Abdul Razak, ketika menghadiri penganugerahan gelar kehormatan Honoris Causa oleh Universitas
Kebangsaan Malaysia kepada Hamka, menyebut Hamka sebagai "kebanggaan bangsa-bangsa Asia
Tenggara". John L. Espito mamasukkan Hamka bersama Sir Muhammad Iqbal, Syed Ahmed Khan, dan
Muhammad Asad dalam Oxford History of Islam. Menurut peneliti sejarah Asia Tenggara modern James
Robert Rush, Hamka hanyalah satu di antara banyak orang dalam generasinya yang dikenal sebagai
politikus, ulama, dan pengarang. Namun, "Hamka tampak menonjol ketika di antara mereka ada yang lebih
terpelajar, baik dalam pengetahuan Barat maupun studi yang mendalam tentang Islam."

Presiden ke-4 Indonesia Abdurrahman Wahid menulis, Hamka memiliki orientasi pemikiran yang
tanggap terhadap kebutuhan masyarakat akan perubahan. Tokoh Nahdatul Ulama A. Syaikhu menyebut,
Hamka menempatkan dirinya tidak hanya sekadar pimpinan Masjid Agung Al-Azhar atau organisasi
Muhammadiyah, tetapi sebagai pemimpin umat Islam secara keseluruhan, tanpa memandang golongan.
Nurcholish Madjid dalam buku Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka mencatat peranan dan ketokohan
Hamka sebagai figur sentral yang telah berhasil ikut mendorong terjadinya mobilitas vertikal atau gerakan
ke atas agama Islam di Indonesia. "Hamka berhasil mengubah postur kumal seorang kiyai atau ulama
Islam menjadi postur yang patut menimbulkan rasa hormat dan respek."

Hamka berada di posisi terdepan dalam masyarakat Islam modern Indonesia yang sedang mengalami
modernisasi. Ia menginisiasi berdirinya sekolah-sekolah Islam di Indonesia dengan mencetuskan ide
konkret model lembaga pendidikan Islam modern. Ia berhasil membangun citra MUI sebagai lembaga
independen dan berwibawa untuk mewakili suara umat Islam. Mantan Menteri Agama Mukti Ali
mengatakan, berdirinya MUI adalah jasa Hamka terhadap bangsa dan negara. Hamka termasuk pelopor
jurnalisme Islam di Indonesia melalui kiprahnya di majalah Pedoman Masyarakat. Rosihan Anwar
menyebut Hamka sebagai wartawan besar. Melalui karya sastra, Hamka memberikan kontribusi dalam
menyebarkan dan menanamkan wacana mengenai persatuan Indonesia. Ia memberikan kritik sekaligus
alternatif terhadap adat yang dianggapnya usang. Selain itu, ia banyak berkiprah dan terlibat dalam
lembaga dan kongres kebudayaan nasional.

Meminati dan melakukan kajian terhadap bidang sejarah, Hamka beberapa kali tampil dalam seminar
terkait bidang sejarah, baik di tingkat daerah, nasional, maupun mancanegara. Pidato ilmiah yang
disampaikannya sewaktu di Universitas Al-Azhar menampakkan kemampuannya dalam ilmu sejarah.
Buku Sejarah Umat Islam yang ditulis Hamka banyak dijadikan rujukan, terutama karena keberhasilannya
menentukan bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak abad pertama Hijriyah. Deliar Noer mengungkapkan,
"salah satu kelebihan Hamka sebagai sejarawan dibandingkan dengan sejarawan lain yang keluaran
akademis di Indonesia adalah bahwa ia banyak mempergunakan teks-teks klasik seperti hikayat, catatan-
catatan kerajaan lama dan tulisan-tulisan ulama, selain mempergunakan tulisan-tulisan orang Belanda."

Karya dan penerimaan

Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka


Seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu, Hamka tercatat sebagai penulis Islam paling prolifik
dalam sejarah modern Indonesia. Karya-karyanya mengalami cetak ulang berkali-kali dan banyak dikaji
oleh peneliti Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Tulisannya telah menghiasi berbagai macam majalah dan
surat kabar. Yunan Nasution mencatat, dalam jarak waktu kurang lebih 57 tahun, Hamka melahirkan 84
judul buku. Minatnya akan bahasa banyak tertuang dalam karya-karyanya. Di Bawah Lindungan Ka'bah,
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, dan Merantau ke Deli yang terbit di Medan melambungkan nama
Hamka sebagai sastrawan. Ketiganya bermula dari cerita bersambung yang diterbitkan oleh majalah
Pedoman Masyarakat. Selain itu, Hamka meninggalkan karya tulis yang menyangkut tentang sejarah,
budaya, dan bidang-bidang kajian Islam.

Meskipun tidak menyelesaikan pendidikan formal, Hamka mempunyai banyak akses keilmuwan
karena kemampuan membacanya yang luas. Filolog Prancis Gérard Moussay menulis, Hamka dengan
hanya bermodalkan pendidikan paling dasar telah berhasil dengan caranya sendiri memperoleh
pengetahuan yang maju dan unggul dalam bidang yang berbeda-beda, seperti jurnalistik, sejarah,
antropologi, politik, dan Islamolog. Namun, Abdurrahman Wahid melihat Hamka tidak menguasai teori-
teori dari satu atau lebih bidang keilmuan. "Ia cenderung mengambil kesimpulan yang sudah ada dari para
pemikir besar dengan cara menyederhanakannya, dan kadang-kadang salah."

Sastra
Karya-karya Hamka umumnya bertema gugatan terhadap adat Minangkabau, terutama kawin paksa
dan hubungan kekerabatan yang menurut pandangannya tak bersesuaian dengan cita-cita masyarakat
Indonesia modern. Melalui Di Bawah Lindungan Ka'bah, Hamka menggugat penggolongan orang
berdasarkan harta, pangkat, dan keturunan oleh masyarakat Minangkabau. Menurutnya, adat bertentangan
dengan agama Islam yang memandang kedudukan manusia sama di hadapan Allah. Dalam Tuan Direktur,
Hamka menyindir tokoh Jazuli sebagai kebanyakan orang Melayu yang kerap terburu nafsu sehingga
mengabaikan nilai-nilai fundamental. Dalam Merantau ke Deli, Hamka menginginkan perubahan penilaian
masyarakat Minangkabau tentang keberhasilan merantau dan mengkritik penilaian adat tentang pernikahan
yang baik dari satu daerah saja. Pada kenyataannya, harta bukan jaminan kehidupan akan menjadi bahagia,
begitupula asal daerah bukan jaminan pernikahan akan bertahan lama.

Pada akhir 1930-an, buku-buku Hamka telah dapat ditemukan di perpustakaan sekolah umum. Para
pelajar sering dianjurkan untuk membacanya. Novel-novel Hamka menuai kesuksesan komersial dan
berkali-kali cetak ulang. Di Bawah Lindungan Ka'bah diangkat ke layar lebar pada 1981 dan 2011. Pada
2013, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck untuk kali pertama difilmkan.

Ketika pertama kali menulis roman, Hamka sempat dikecam dan dianggap tidak pantas menulis kisah
percintaan. HB Jassin melihat kritikan terhadap Hamka, antara lain, disebabkan hukum yang menetapkan
menulis karya sastra adalah satu dosa dan haram. Hamka dalam tulisannya di Pedoman Masyarakat
menegaskan menulis karya sastra bukan satu dosa, selain menjelaskan kegiatan menulis boleh menjadi satu
dakwah. HB Jassin mengutip pernyataan Hamka. "Seni atau sastra Islam mestilah merangkumi keindahan
dan kebenaran." Keindahan, kebenaran dan kebaikan itu, menurut Hamka, jelas kembali semula kepada
Tuhan. Dari sudut pandang sastra, beberapa kritikus menganggap karya-karya Hamka tidak istimewa.
Kritikus sastra Indonesia berpendidikan Belanda A. Teeuw menilai, Hamka tidak dapat dianggap sebagai
pengarang besar karena karyanya mempunyai psikologi yang lemah dan terlalu moralistik.

Sejarah
Dalam Sejarah Umat Islam, Hamka menulis tentang sejarah Islam dengan sistematika periode
berkuasa kerajaan. Ia menekankan peranan raja dan kerajaannya yang pernah menguasai Nusantara.
Menurutnya, Islam di Indonesia berhubungan dengan Arab lebih dulu daripada India. Bukti sejarah yang
paling nyata adalah ditemukannya perkampungan Arab pada 674 di pantai Barat Sumatra dan Kerajaan
Kalingga pada masa Ratu Shima, yang keduanya bersumber dari berita Tiongkok. Sejarawan Gusti Asnan
mencatat, Hamka telah menemukan sumber-sumber lama yang sebelumnya tidak pernah digunakan penulis
pada zamannya. Ia memberikan informasi yang sangat bernilai mengenai sumber-sumber yang
dipergunakannya seperti Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang, Hikayat Raja-Raja Pasai karya Nuruddin
al-Raniri, Tuhfat Al-Nafis karya Ali Haji, Sejarah Cirebon dan Babad Giyanti.

Lewat Perbendaharaan Lama, Hamka meunjukkan penguasannya tentang warisan, atsar, jejak, dan
petuah yang diwariskan tokoh-tokoh Nusantara. Ia menguraikan tentang sejarah kebangkitan Islam di
Minangkabau secara khusus dalam Ayahku, biografi Abdul Karim Amrullah yang ditulisnya.

Hamka memiliki metode tersendiri dalam memaparkan penelitiannya di bidang sejarah. Ia


mengedepankan sikap kritis dalam menelaah tulisan-tulisan sejarawan Belanda tentang Indonesia.
Menurutnya, para sejarawan Belanda telah memberikan andil yang besar dalam banyak data, tetapi tetap
perlu kritis menerimanya. Dengan daya kritis dan analisisnya, Hamka berani merekonstruksi sejarah
dengan argumentasi dan dalil yang kuat. Ia tak sekadar mengulang-ulang catatan sejarah yang terpapar
dalam literatur-literatur baku ketika berbicara maupun menulis tentang sejarah. Dalam memandang sosok
Gajah Mada, Hamka melihat Gajah Mada tak ubahnya seperti "penjajah" yang "...menjarah, menjajah
sampai ke mana-mana". Bersama daya bacanya yang kuat, Hamka berjuang keras mengkritisi dan berusaha
menyingkirkan teks-teks beraroma dongeng yang kerap dijumpai dalam teks-teks klasik. Dalam karyanya
berjudul Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao tentang riwayat hidup Tuanku Rao dan sejarah Perang
Padri, Hamka memberi komentar tentang penulisan sejarah. Ia berpendapat perlu membedakan antara
khayal dan fakta.

Tafsir Al-Azhar
Tafsir al-Azhar dianggap sebagai karya monumental Hamka, sebagaimana ditulis oleh Abdurrahman
Wahid. Lewat Tafsir Al-Azhar, Hamka mendemonstrasikan keluasan pengetahuannya di hampir semua
disiplin yang tercakup oleh bidang ilmu-ilmu agama Islam serta pengetahuan non-keagamaan yang kaya
dengan informasi. Menurut peneliti Malaysia Norbani Ismail, Tafsir Al-Azhar adalah tafsir pertama yang
ditulis secara komprehensif dalam bahasa Indonesia.

Usep Taufik Hidayat dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta menyebut keunikan
Tafsir Al-Azhar adalah kemampuannya berelasi terhadap isu-isu kontemporer, terutama kepada budaya
masyarakat khususnya budaya Melayu-Minangkabau. Hamka melakukan pendekatan yang sesuai dengan
kondisi kontemporer yang dihubungkan dengan berbagai lapisan masyarakat modern. Hamka mengutip
berpuluh-puluh kitab karangan sarjana-sarjana Barat dan akomodatif terhadap pendekatan berbagai ilmu
yang ada korelasinya dengan penafsiran, terutama sains. Menurut Hamka, ilmu dan akal diperuntukkan
manusia untuk mengenal Tuhannya "Penemuan-penemuan sains yang baru telah menolong kita untuk
memahami kebenaran ayat Al-Qur'an dan melihat keagungan-Nya."

Kehidupan pribadi dan publik


Keluarga

Hamka bersama istri dan anak-anaknya. Dari pernikahannya dengan Sitti Raham, ia dikaruniai
sebelas orang anak (delapan dalam foto)
Pada 5 April 1929, Hamka menikahi Sitti Raham. Ia menjadi ayah dari dua belas anak, dua di antara
mereka meninggal saat masih balita. Sampai Mei 2013, Hamka memiliki 31 cucu dan 44 cicit. Ketika
menikah dengan Sitti Raham, Hamka berusia 21 tahun, sementara Raham masih berusia 15 tahun. Raham
adalah anak dari salah seorang saudara laki-laki ibunya. Setelah Raham meninggal pada 1 Januari 1972,
Hamka menikahi Sitti Khadijah asal Cirebon pada 19 Agustus 1973.
Dalam buku Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr. Hamka, Rusydi Hamka mengisahkan saat-saat
keluarga mereka melewati masa-masa kemiskinan. "Kami hidup dalam suasana miskin. Sembahyang saja
terpaksa berganti-ganti, karena di rumah hanya ada sehelai kain," tulis Rusydi. Selain itu, sebagai seorang
mamak dalam hubungan kekerabatan masyarakat Minang, Hamka pada saat bersamaan memiliki tanggung
jawab terhadap kemenakan dan saudara perempuannya. Anak pertama Hamka, bernama Hisyam,
meninggal dalam usia lima tahun. Anak ketiga Hamka, Rusydi dilahirkan di kamar asrama, Kulliyatul
Mubalighin, Padang Panjang pada 1935. Berbeda dengan pria keturunan Minang yang pandai berdagang,
Hamka tidak mewarisi bakat berbisnis. Di tengah kondisi kekurangan, Hamka memilih bekerja di Medan
untuk Pedoman Masyarakat pada 1936.

Citra
Hamka dikenal sebagai seorang humanis yang rendah hati, membawa khutbah dan pidato yang
memikat. Ceramah-ceramahnya dengan pilihan kalimat-kalimat yang santun telah mengikat perhatian umat
di berbagai pelosok dearah. Abdurrahman Wahid menulis, penyampaian Hamka dalam masalah keagamaan
"sangat menawan" dan "menghanyutkan". Penulis Malaysia Muhammad Uthman El Muhammady
mencatat, Hamka merupakan pemikir yang berpegang teguh pada pendapat yang diyakininya, tetapi
"mengutarakan argumennya dengan gaya yang elegan". Ia mengutamakan silaturahmi ketimbang
meributkan perbedaan tak berprinsip. Shobahussurur dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta mengutip bagaimana penerimaan Hamka terhadap perbedaan paham dalam perkara
cabang agama. Ketika Abdullah Syafii hendak menyampaikan khutbah di Masjid Agung Al-Azhar, Hamka
mempersilakan azan di masjid itu dilakukan dua kali sebagaimana tradisi di kalangan Nahdatul Ulama
(NU). Dalam perjalanan di kapal bersama Idham Cholid yang Ketua PBNU, Hamka mengimami salat
Subuh dengan membaca doa qunut karena jemaah di belakangnya adalah Idham Cholid. Pada Ramadhan
pertama setelah Masjid Al-Azhar dibuka, Hamka terlebih dulu menanyakan pilihan jemaah untuk salat
Tarawih dan Witir apakah 11 atau 23 rakaat.

Menurut putra ke-5 Hamka, Irfan, Hamka berusaha menghindari konflik dengan siapapun. Namun,
dalam masalah aqidah, "Ayah memang tidak pernah bisa berkompromi. Tapi dalam masalah-masalah lain,
Ayah sangat toleran." Selain memilih mengundurkan diri sebagai Ketua MUI dibandingkan mencabut
fatwa keharaman merayakan Natal bagi umat Islam sebagaimana tuntutan pemerintah, Hamka menolak
menghadiri pertemuan ramah-tamah dengan Paus Paulus VI ketika berkunjung ke Indonesia pada 3–4
Desember 1970. "Bagaimana saya bisa bersilaturahmi..., sedangkan umat Islam dengan berbagai cara,
bujukan dan rayuan, uang, beras, dimurtadkan oleh perintahnya?" Meskipun demikian, menurut Irfan
pula, Hamka masih mengucapkan selamat Natal kepada dua tetangga Kristen-nya yang bernama Ong
Liong Sikh dan Reneker saat tinggal di Kebayoran Baru.

Menggunakan sudut pandang seorang anak dalam mengenang ayahnya, Irfan Hamka dalam buku
Ayah... mengungkapkan bagaimana Hamka "memaafkan semua orang yang pernah berseteru dengannya."
Karena pandangan politiknya, Hamka kerap menuai kecaman dan ancaman dari lawan politiknya. Dalam
sidang Konstituante pada 1957, Hamka memberikan pernyataan tentang Pancasila sebagai dasar yang sesat
sehingga membuat Muhammad Yamin marah dan membencinya. Namun, ketika Yamin sakit pada 1962,
Yamin meminta Hamka "untuk dapat mendampinginya" dan "menemaninya sampai ke dekat liang
lahatnya" Di bawah pemerintahan Soekarno, Hamka sempat mendekam di penjara atas tuduhan
merencakan makar yang tidak pernah terbukti. Namun, Hamka memenuhi permintaan Soekarno yang lima
hari sebelum meninggal meminta kesediaan Hamka untuk menjadi imam salatnya. Irfan mengutip
penyataan Hamka. "Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu
termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah
yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Al-Qur'an 30
juz."

Sebagai seorang yang anti-komunis, Irfan dalam Ayah... menyebut bagaimana pribadi dan karya
Hamka diserang oleh surat kabar Bintang Timoer dalam rubrik "Lentera" yang diasuh oleh Pramoedya
Ananta Toer. Salah satu kritik tajam adalah tudingan bahwa Hamka melakukan plagiasi. Novel
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck disebut sebagai jiplakan dari novel Magdalena karya Mustafa Lutfi
Al-Manfaluthi, seorang penulis Mesir. Namun, ketika Pramoedya mendapati putrinya, Astuti hendak
menikahi seorang peranakan etnis Tionghoa berbeda agama, Pram meminta Astuti membawa calon
suaminya itu untuk belajar Islam kepada Hamka. Dalam pertemuan dengan Astuti, Hamka sama sekali
tidak menyinggung sikap Pramoedya belasan tahun sebelumnya. Melalui bimbingan Hamka, Daniel
Setiawan, calon suami Astuti mengucapkan dua kalimat syahadat. Seorang dokter yang dekat dengan
Pram, Hoedaifah menanyakan mengapa Pram justru mengutus calon menantu menemui figur yang selama
ini ia serang melalui tulisan-tulisannya. "Saya lebih mantap mengirimkan calon menantuku untuk
diislamkan dan belajar agama pada Hamka, meski kami berbeda paham politik." Taufiq Ismail dalam
pengantar di buku Ayah... menilai, secara tidak langsung tindakan Pram yang meminta calon menantunya
belajar kepada Hamka sebagai bentuk ungkapan maaf.

Anda mungkin juga menyukai