Anda di halaman 1dari 6

Profil, Biodata dan Biografi Buya Hamka, Ulama Yang Juga Sastrawan - Buya Hamka, satu nama yang

sangat populer di kalangan umat agama Islam. Namanya memang sangat dikenal oleh banyak orang
karena berbagai karyanya yang sangat fenomenal. Meski profil dan biodata Buya Hamka secara lengkap
belum begitu banyak orang yang mengerti, namun kami yakin karya-karya dan pemikiran beliau sudah
banyak yang tahu. Bahkan di masa sekarang pun, masih banyak yang mengkaji pemilikiran-pemikiran
beliau.

Buya Hamka sendiri sebenaarnya nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Hamka
adalah singkatan dari nama beliau tersebut, sedangkan Buya adalah panggilan kehormatan untuk
seorang yang berilmu dan dituakan. Buya Hamka dilahirkan di kampung Molek, Meninjau, Sumatera
Barat pada tahun 1908. Selain seorang ulama yang tinggi ilmu agama nya, Buya Hamka adalah seorang
sastrawan yang aktif menghasilkan novel dan berbagai karya tulis lainnya. Buya Hamka adalah anak dari
Syaikh Abdul Karim bin Amrullah yang juga merupakan ulama di tanah minang. Tentu saja salah satu
novel yang paling fenomenal adalah berjudul "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck" yang beberapa waktu
yang lalu diangkat ke dalam layar lebar.

Dalam perjalanan karirnya, Buya Hamka adalah seorang guru agama yang dimulai pada tahun 1927 di
Perkebunan Tebing Tinggi, Medan. Selain di Tebing Tinggi, beliau juga menjadi guru agama di Padang
Panjang pada tahun 1929. Karir Buya Hamka di dunia pendidikan semakin cemerlang yang kemudian
membawanya diangkat menjadi di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang
Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Tidak berhenti di situ saja, kemudian Buya Hamka menjadi
rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta.

Yang paling menarik dari Buya Hamka selain memang memiliki kecemerlangan dalam berbagai ilmu
Islam, tentu adalah pemikiran beliau mengenai Islam itu sendiri. Buya Hamka sendiri adalah seorang
otodidak yang mempelajari berbagai cabang ilmu seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik,
baik Islam maupun Barat. Dengan keahlian dalam bahasa Arab, Buya Hamka bisa mempelajari berbagai
karya ulama klasik dan pujangga dari Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad,
Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal.

Buya Hamka adalah seorang tokoh Muhammadiyah tulen, beliau aktif di organisasi tersebut, Bahkan
Buya Hamka juga terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh
menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Kemudian pada tahun 1953, Buya Hamka dipilih
menjadi penasihat pimpinan Pusat Muhammadiyah dan kemudian pada 26 Juli 1977 Buya Hamka
diangkat sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia namun kemudian memutuskan mungundurkan
diri.
Sebagai seorang Muhammadiyah, tentu pandangan Buya Hamka tidak sama dengan kebanyakan warga
NU. Terutama dalam persepsi mengnai perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW dan doa Qunut. Buya
Hamka begitu keras menolak peryaan Maulid Nabi dan menggunakan doa Qunut waktu Sholat Subuh.
Penolakan tersebut tentu menurut beliau karena kedua amalan tersebut tidak ada dalilnya dan tidak
berdasar. Namun yang menarik adalah, pada masa-masa tua beliau, ada yang menyebutkan bahwa
beliau melakukan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW dan juga melakukan doa Qunut.

Atas keanehan tersebut, beberapa santri yang kemudian bertanya, kenapa Buya Hamka melakukan hal
itu. Buya Hamka pun menjawab, bahwa dulu beliau merlarang hal itu karena masih mengaji sati kitab,
sekarang (Buya Hamka sudah tua), ngajinya sudah seribu kitab, maka beliau pun melakukannya. Bahkan
lebih khusus, terkait doa qunut ini, ada cerita menarik antara Buya Hamka, yang pembesar
Muhammadiyah dan KH. Idham Cholid yang merupakan pembesar NU.

Pada suatu ketika, beliau berdua berada dalam satu kapal yang akan menuju Mekkah untuk
melaksanakan Haji. Beliau berdua dan beberapa jamaah kemudian melaksanakan Sholat Shubuh, di hari
pertama, KH. Idham Cholid yang menjadi imam. Ketika melangsungkan sholat tersebut, KH. Idham Cholid
tidak melakukan doa qunut, padahal di kalangan NU doa Qunut pada Sholat Subuh adalah seperti
kewajiban. Setelah selesai sholat, Buya Hamka pun bertanya kepada Idham Cholid kenapa tidak
melakukan Qunut. KH. Idham Cholid kemudian menjawab, “Saya tidak membaca doa Qunut karena yang
menjadi makmum adalah Pak Hamka. Saya tak mau memaksa orang yang tak berqunut agar ikut
berqunut.”

Hari selanjutnya, giliran Buya Hamka yang menjadi Imam Shubuh, sungguh mengejutkan, Buya Hamka
justru melakukan doa Qunut pada Sholat Shubuh tersebut. Padahal dalam amaliyah Muhammadiyah,
doa Qunut dikatakan bid'ah yang tidak boleh dikerjakan. Atas keganjilan tersebut, tentu KH. Idham
Cholid pun juga menanyakan hal itu pada Buya Hamka.

Idham Cholid : “Mengapa Pak Hamka tadi membaca doa Qunut Shubuh

Di antara deret nama sastrawan Balai Pustaka, nama Marah Rusli adalah nama yang cukup terkenal.
Biografi Marah Rusli kalau belum dapat dikatakan paling terkenal. Keterkenalannya karena "karyanya Siti
Nurbaya (sebuah roman) yang diterbitkan pada tahun 1920 sangat banyak dibicarakan orang, bahkan
sampai kini. Siti Nurbaya telah melegenda, wanita yang dipaksa kawin oleh orang tuanya, dengan lelaki
yang tidak diinginkannya

Marah Rusli, sang sastrawan itu. bernama lengkap Marah Rusli bin Abu Bakar, la dilahirkan di Padang
pada tanggal 7 Agustus 1889. Ayahnya. Sultan Abu Bakar, adalah seorang bangsawan dengan gelar Sultan
Pangeran. Ayahnya bekerja sebagai demang. Meski lebih terkenal sebagai sastrawan, Marah Rusli
sebenarnya adalah dokter.hewan. Berbeda dengan Tauliq Ismail dan AsruI Sani yang memang benar-
benar meninggalkan profesinya sebagai dokter hewan karena memilih menjadi penyair. Marah Rusli
tetap menekuni profesinya sebagai dokter hewan hingga pensiun pada tahun 1952 dengan jabatan
terakhir Dokter Hewan Kepala. -

Dalam sejarah sastra Indonesia. Marah Rusli tercatat sebagai pengarang roman yang pertama dan
diberi gelar oleh II.B. .lassin sebagai "Bapak Roman Modern Indonesia"'. Sebelum muncul bentuk roman
di Indonesia, bentuk prosa yang biasanya digunakan adalah hikayat'.

Kesukaan Marah Rusli terhadap kesusastraan sudah tumbuh sejak ia masih kecil. Ia sangat senang
mendengarkan cerita-cerita dari tukang kaba. tukang dongeng ( di Sumatera Barat) yang berkeliling
kampung menjual ceritanya, dan membaca buku-buku sastra.

Marah Rusli berpendidikan tinggi dan buku-buku bacaannya banyak yang berasal dari Barat yang
menggambarkan kemajuan zaman. Ia kemudian melihat bahwa adat yang melingkupinya tidak sesuai lagi
dengan perkembangan zaman. Hal itu melahirkan pemberontakan dalam hatinya yang dituangkannya ke
dalam karyanya, Siti Nurbaya. la ingin melepaskan masyarakatnya dari belenggu adat yang tidak
memberi kesempatan bagi yang muda untuk menyatakan pendapat atau keinginannya.

Dalam Siti Nurbaya telah diletakkan landasan pemikiran yang mengarah pada emansipasi wanita.
Cerita itu membuat wanita mulai memikirkan akan hak-haknya, apakah ia hanya menyerah karena
tuntutan adat (dan tekanan orang tua) ataukah ia harus mempertahankan yang diinginkannya. Ceritanya
menggugah dan meninggalkan kesan yang mendalam kepada pembacanya. Kesan itulah yang terus
melekat hingga sampai kini pun, setelah lebih delapan puluh tahun novel itu dilahirkan, Siti Nurbaya
tetap diingat dan dibicarakan.

Selain Siti Nurbaya, Marah Rusli juga menulis beberapa roman lainnya. Akan tetapi. .Siti Nurbaya
itulah yang terbaik. Roman itu mendapat hadiah tahunan dalam bidang sastra dari Pemerintah Republik
Indonesia pada tahun 1969 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia.

Marah Rusli mengawini gadis Sunda kelahiran Bogor pada tahun 1911. Mereka dikaruniai tiga orang
anak. dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Perkawinan Marah Rusli dengan gadis Sunda bukanlah
perkawinan yang diinginkan oleh orang tua Marah Rusli, tetapi Marah Rusli kokoh pada sikapnya, ia tetap
mempertahankan perkawinannya.

Marah Rusli Meninggal pada tanggal 17 Januari 1968 di Bandung dan dimakamkan di Bogor, Jawa Barat

Karya – Karya
Siti Nurbaya, Jakarta : Balai Pustaka. 1920

La Hami, Jakarta : Balai Pustaka. 1924

Anak dan Kemenakan, Jakarta : Balai Pustaka. 1956

“ Memang Jodoh ” ( Naskah Roman )

“ Tesna Zahera ”( Naskah Roman )

Rustam Effendi (1903—1979)

Rustam Effendi seorang penyair terkenal di awal kelahiran sastra Indonesia modern. Kumpulan puisinya
yang terkenal berjudul Percikan Permenungan (1925). Rustam Effendi lahir di Padang, Sumatra Barat,
pada tanggal 13 Mei 1903 dan meninggal di Jakarta, pada tanggal 24 Mei 1979. Nama samarannya
adalah Alfaroes. Dia anak pasangan Soeleiman Effendi (seorang juru foto) dan Sawiah. Rustam Effendi
menikah dengan Johanna Berta Roodveldt, pada 17 Juni 1937 dan mendapatkan dua orang anak.
Sementara itu, Korrie Layun dalam majalah Warnasari (1979) menyebutkan anak Rustam Effendi 3 orang
dan nama samaran yang biasa digunakan, adalah Rangkajo Elok, Rahasia Emas, Rantai Emas, dan lain-
lain. Rustam Effendi tumbuh di Padang sebagai anak sulung dari keluarga dengan sembilan orang anak.
Dia berpendidikan sekolah rendah (HIS) di Padang, kemudian melanjutkan ke Kweekschool (Sekolah Raja)
di Bukittinggi. Selesai dari Sekolah Raja, ia melanjutkan pendidikan ke HKS di Bandung pada tahun 1924.
Selain tertarik pada dunia sastra, Rustam juga tertarik pada dunia pergerakan dan politik. Dia
menceburkan dirinya ke dalam berbagai pergerakan kebudayaan dan politik. Tahun 1924—1927 Rustam
Effendi aktif dalam organisasi Jong Sumatranenbond, khususnya pergerakan di Minangkabau. Dia
menjadi guru/kepala sekolah di Perguruan Tinggi Islam Adabiah II dan dipilih sebagai anggota termuda
untuk dewan kotapraja, Padang. Di dunia politik Rustam Effendi menjalin hubungan dengan para anggota
pentinggi Partai Komunis Indonesia. Ketika terjadi huru-hara di Padang pada tahun 1926—1927, Rustam
Effendi berangkat ke Negeri Belanda. Dia melanjutkan pendidikan ke Belanda tahun 1927, mula-mula ia
meraih ijazah pendidikan dasar di Den Haag, kemudian melanjutkan ke Middelbaar Onderwijs Economie
(pendidikan menengah ekonomi). Lebih lanjut, Rustam kuliah di Hoge Schule fur Journalistik di Berlin
dan Lenin's Universitet di Moskow. Ketika berada di Belanda, selain melanjutkan pendidikan, Rustam
Effendi pun aktif dalam dunia politik. Dia pernah menjadi orang Indonesia pertama dan anggota dewan
termuda pada Tweede Kamer der Staten General (1933—1946). Keaktifannya dalam anggota dewan
tersebut, menurut surat Rustam kepada Ajip Rosidi, untuk merealisasikan jeritan hatinya
(mempertahankan kemerdekaan manusia) seperti yang tercermin dalam karyanya yang berjudul
Bebasari. Dua buah karya penting yang dihasilkan oleh Rustam Effendi adalah Bebasari dan Percikan
Permenungan. Di dalam kata pengantar Percikan Permenungan cetakan kedua dinyatakan bahwa buku
itu lahir di Padang pada bulan Maret 1925, tidak berapa lama sesudah Bebasari terbit. Percikan
Permenungan lahir sebagai reaksi terhadap sikap Pemerintah Hinia Belanda yang merintangi peredaran
Bebasari. Kepengarangan Rustam Effendy mendapat berbagai tanggapan, seperti dari A. Teeuw dalam
buku Sastra Baru Indonesia, 1980, yang berpendapat bahwa Rustam Effendi sebagai seorang penyair
amat mengagumkan karena bahasanya tersendiri dan usahanya mencari bentuk-bentuk baru untuk
menggantikan bentuk lama yang dianggapnya sudah lapuk. Perbendaharaan katanya amat menarik
perhatian, mengandung sejumlah kata yang berbentuk bukan Melayu biasa, dan ada kalanya kata-kata
itu tidak terdapat sama sekali dalam bahasa Melayu, tetapi terdapat dalam bahasa daerah (seperti
bahasa Minangkabau). Kadang-kadang ia juga melakukan penyimpangan dan penukaran bentuk yang
menghasilkan kata baru. H.B. Jassin dalam Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai I, 1985,
mengatakan bahwa drama bersajak Bebasari karya Rustam Effendi penting sebagai hasil usaha
mencobakan bentuk baru dalam kesusastraan Indonesia. Di sini syair mendapat bentuk baru,
dipergunakan dalam percakapan-percakapan suatu cerita berbentuk tonil. Selain itu, dalam drama
Bebasari dengan mudah dapat dilihat simbol-simbol yang mencuatkan hasrat bangsa Indonesia yang
hendak merdeka. Buku tentang Rustam Effendi dan karya puisinya ditulis oleh Ajip Rosidi dengan judul
Puitika Roestam Effendi Dan Percikan Permenungan (Pustaka Jaya, 2013).
Sumber: http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Rustam_Effendi | Ensiklopedia Sastra
Indonesia - Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia

Anda mungkin juga menyukai