Anda di halaman 1dari 2

BUYA HAMKA

Buya Hamka. Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah (1908-1981), atau yang lebih
dikenal dengan sebutan Buya Hamka. Hamka merupakan sosok multi talenta yang jarang
ditemukan dalam sejarah bangsa Indonesia bahkan dunia. Buya Hamka dikenal dengan banyak
predikat yang disandangnya, yaitu sebagai ulama, pendidik, akademisi, politisi, sastrawan,
sejarawan, filosuf, penulis, jurnalis dan seterusnya.

Kumpulan karya beliau yang berjumlah tujuh puluhan judul buku, yang kalau dihitung
jilidnya lebih dari seratus jilid. Di antara karya beliau tersebut yang paling monumental adalah
30 jilid Tafsir Al-Azhar yang beliau rampungkan ketika masih berada dalam tahanan penjara
Orde Lama. Buya Hamka dijebloskan ke dalam penjara oleh Bung Karno karena sikap beliau
yang kukuh berpegang pada ‘aqidah Islam, tidak mau kompromi dengan rezim yang dikuasai
oleh Komunis yang anti Tuhan.

Sejak usia muda, Hamka telah berkenalan dengan dunia da’wah dan pergerakan Islam.
Hal ini merupakan salah satu pelajaran pertama yang ia dapatkan dari ayahandanya sendiri
yaitu  Syaikh Haji Abdul Karim Amrullah (1879-1945). Beliau merupakan salah satu tokoh ulama
besar Minangkabau, masyhur dengan sebutan Haji Rasul dan Inyik Doktor.  Kakek Hamka, yaitu
Syaikh Muhammad Amrullah bergelar Tuanku Kisai, adalah juga seorang ulama besar. Garis
keturunannya terus berlanjut hingga sebuah nama besar lainnya, yaitu Abdullah ‘Arif bergelar
Tuanku Pauh atau Tuan Nan Tuo, merupakan salah seorang pahlawan di masa Perang Paderi.

Ayahnya memilii sifat yang keras dan Hamka sendiri pada masa kecilnya merasa ada
jarak menganga dengan sang ayah, terutama setelah kedua orang bercerai dan masing-masing
kemudian menikah lagi. Hamka  pernah bertutur kepada anak-anak, “Alangkah pahitnya masa
kanak-kanak ayah. Pergi ke rumah ayah bertemu ibu tiri, ke rumah ibu, ada ayah tiri.”

Sesampainya di kampung, Hamka disambut oleh ayahnya dengan penuh haru dan
kebanggaan, karena dalam usia 19 tahun sudah bisa berhaji sendiri tanpa menyusahkan orang
tuanya sedikit pun.  Sang ayah memberinya jubah dan sorbannya yang paling bagus, dan
kemana-mana ia selalu membanggakan anaknya yang satu itu. Sewaktu itu, ayahnya sedang
berduka atas musibah di Padang Panjang karena gempa besar. Kehadiran Hamka telah
mengobati duka hati ayahnya yang luar biasa. Agar beliau lebih bahagia lagi, Hamka pun
diminta untuk menikah. Maka Syaikh Abdul Karim Amrullah pun memilihkan Siti Raham binti
Endah Sutan dari Kampung Buah Pondok sebagai istri untuk putranya. Hamka pun menikah
pada tahun 1929 dalam usia 21 tahun, sedang istrinya saat itu berusia 15 tahun.

Karirnya sebagai pendidik diawali dari jabatan sebagai guru agama pada tahun 1927 di
Perkebunan Tebing Tinggi, Medan. Kemudian dilanjutkan di Padang Panjang pada tahun 1929.
Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam Jakarta dan Universitas
Muhammadiyah Padang Panjang dari tahun 1957 hingga 1958. Beliau juga sempat menjabat
sebagai rektor Perguruan Tinggi Islam Jakarta dan Guru Besar di Universitas Mustopo Jakarta.

Karir akademis Hamka terus menanjak hingga pada tahun 1959 beliau menerima
predikat kehormatan Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Mesir. Gelar itu diberikan
pada masa kepemimpinan Syaikh Mahmud Syaltut (1893-1963) di Al-Azhar. Syaikh Mahmud
Syaltut pula yang memberi nama “Al-Azhar” pada masjid Agung Kebayoran Baru yang teerletak
di hadapan rumah Hamka, yaitu pada tahun 1960.

Dalam dunia sastra, Hamka dikenal sebagai penulis yang sangat produktif. Karya-karya
sastranya yang berupa novel maupun cerpen telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa
dan menjadi bacaan wajib hingga di Malaysia dan Singapura. Beberapa novelnya, seperti Di
Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, telah menjadi karya klasik
yang penting dalam sejarah kesusastraan Indonesia.

Selain itu beliau juga aktif di dunia jurnalistik. Sejak tahun 1920-an, Hamka telah
menjadi wartawan di beberpa media seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang
Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, Hamka menjadi editor pada
majalah Kemajuan Masyaraakat. Beliau juga pernah menjadi editor majalah Al-Mahdi,
Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

Hamka menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 24 Juli 1981. Kini beliau telah
berpulang kerahmatullah namun, jasa dan pengaruhnya masih terasa dalam memartabatkan
agama Islam. Keharuman nama beliau bukan saja di Minangkabau, melainkan seluruh
nusantara Indonesia bahkan ke negeri jiran sekalipun.

Nama Buya Hamka masih memiliki wibawa tersendiri, terutama di kalangan


Muhammadiyah dan masyarakat Sumatra Barat. Beliau memiliki karakter unik yang mampu
menyatukan seluruh umat Islam di Indonesia, tanpa harus mengorbankan ketegasannya
terhadap hal-hal yang langsung bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya Atheisme,
penyimpangan agama seperti aliran Ahmadiyah dan Baha’iyah, atau ajaran-ajaran yang sudah
terlanjur mengakar di masyarakat Indonesia, misalnya kebatinan.

Hamka adalah salah satu dari sedikit orang yang kedudukannya dihormati dan dihargai
oleh seluruh umat Islam di tanah air. Meskipun beliau adalah tokoh Muhammadiyah, namun
tak henti-hentinya beliau menghimbau agar masalah-masalah khilafiyah -seperti yang kerap
terjadi di antara Muhammadiyah dan NU- tidak membuat umat Islam lupa akan masalah-
masalah yang lebih penting, antara lain yang membahayakan ‘aqidah.

Anda mungkin juga menyukai