Anda di halaman 1dari 23

Haji Abdul Malik Karim Amrullah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Langsung ke: navigasi, cari
Haji Abdul Malik Karim Amrullah

Hamka
Nama
Hamka
panggilan
17 Februari 1908
Lahir Sungai Batang, Tanjung Raya,
Agam, Hindia Belanda
24 Juli 1981 (umur 73)
Meninggal
Jakarta
Kebangsaan Indonesia
Suku bangsa Minangkabau
Tafsir Al-Qur'an, hukum Islam, dan
Minat utama
sejarah Islam
Tafsir Al-Azhar
Karya
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
terkenal
Di Bawah Lindungan Ka'bah
Dipengaruhi[tampilkan]
Mempengaruhi[tampilkan]

Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah bin Abdul Karim Amrullah bin Syeikh
Muhammad Amrullah bin Tuanku Abdullah Saleh bin Tuanku Syeikh Pariaman atau
lebih dikenal dengan julukan Hamka, yakni singkatan namanya, (lahir di Sungai Batang,
Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 meninggal di
Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama,
ahli filsafat, dan aktivis politik.

Daftar isi
[sembunyikan]
1 Kehidupan awal
o 1.1 Mengenyam pendidikan
o 1.2 Merantau ke Jawa
o 1.3 Menunaikan ibadah haji
o 1.4 Karier di Medan
2 Karier dan kehidupan selanjutnya
o 2.1 Muhammadiyah
3 Meninggal dunia
4 Politik
5 Sastra
6 Daftar karya
7 Rujukan
8 Pranala luar

Kehidupan awal[sunting | sunting sumber]

Rumah yang ditempati oleh Hamka bersama neneknya selama di Maninjau, yang setelah
direnovasi pada tahun 2001 dijadikan Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka

Hamka lahir pada 17 Februari 1908 [Kalender Hijriyah: 13 Muharram 1362] di Minangkabau,
Sumatera. Ia lahir sebagai anak pertama dari tujuh orang bersaudara dan dibesarkan
dalam keluarga yang taat melaksanakan ajaran agama Islam. Ayahnya bernama Abdul
Karim Amrullah, ulama pembaru Islam di Minangkabau yang akrab dipanggil dengan
sebutan Haji Rasul, sementara ibunya, yakni Sitti Shafiyah, berasal dari keturunan
seniman di Minangkabau. Adapun ayah dari Abdul Karim, kakek Hamka, yakni
Muhammad Amrullah dikenal sebagai ulama pengikut Tarekat Naqsyabandiyah.

Sebelum mengenyam pendidikan di sekolah, Hamka tinggal bersama neneknya di sebuah


rumah di dekat Danau Maninjau. Ketika berusia enam tahun, ia pindah bersama ayahnya
ke Padang Panjang. Sebagaimana umumnya anak-anak laki-laki di Minangkabau,
sewaktu kecil ia belajar mengaji dan tidur di surau yang berada di sekitar tempat ia
tinggal, sebab anak laki-laki Minang memang tak punya tempat di rumah.[1] Di surau, ia
belajar mengaji dan silek, sementara di luar itu, ia suka mendengarkan kaba, kisah-kisah
yang dinyanyikan dengan alat-alat musik tradisional Minangkabau.[2] Pergaulannya
dengan tukang-tukang kaba, memberikannya pengetahuan tentang seni bercerita dan
mengolah kata-kata. Kelak melalui novel-novelnya, Hamka sering mencomot kosakata
dan istilah-istilah Minangkabau. Seperti halnya sastrawan yang lahir di ranah Minang,
pantun dan petatah-petitih menjadi bumbu dalam karya-karyanya.

Mengenyam pendidikan[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1915, setelah usianya genap tujuh tahun, ia dimasukkan ke sebuah Sekolah
Desa dan belajar ilmu pengetahuan umum seperti berhitung dan membaca di sekolah
tersebut.[3][4] Pada masa-masa itu, sebagaimana diakui oleh Hamka, merupakan zaman
yang seindah-indahnya pada dirinya. Pagi ia bergegas pergi ke sekolah supaya dapat
bermain sebelum pelajaran dimulai, kemudian sepulang sekolah bermain-main lagi,
bercari-carian, bermain galah, bergelut, dan berkejar-kejaran, seperti anak-anak lainnya
bermain.[2] Dua tahun kemudian, sambil tetap belajar setiap pagi di Sekolah Desa, ia juga
belajar di Diniyah School setiap sore.[5] Namun sejak dimasukkan ke Thawalib oleh
ayahnya pada tahun 1918, ia tidak dapat lagi mengikuti pelajaran di Sekolah Desa.[6][7] Ia
berhenti setelah tamat kelas dua.[8] Setelah itu, ia belajar di Diniyah School setiap pagi,
sementara sorenya belajar di Thawalib dan malamnya kembali ke surau.[9] Demikian
kegiatan Hamka kecil setiap hari, sesuatu yangsebagaimana diakuinyatidak
menyenangkan dan mengekang kebebasan masa kanak-kanaknya.[10]

Selama belajar di Thawalib, ia bukan termasuk anak yang pandai, bahkan ia sering tidak
hadir beberapa hari karena merasa jenuh dan memilih mencari ilmu dengan jalannya
sendiri.[2] Ia lebih senang berada di sebuah perpustakaan umum milik gurunya, Zainuddin
Labay El Yunusy daripada dipusingkan dengan pelajaran-pelajaran yang harus dihafalnya
di kelas.[11][12] Dari perpustakaan tersebut, ia leluasa membaca bermacam-macam buku,
bahkan beberapa ia pinjam untuk dibawanya pulang. Namun, karena buku yang
dipinjamnya itu tidak ada hubungannya dengan pelajaran, ia sempat dimarahi oleh
ayahnya ketika ketahuan tengah asyik membaca Kaba Cindua Mato. Ayahnya berkata,
"Apakah engkau akan menjadi orang alim nanti, atau menjadi orang tukang cerita?"[13][14]

Sebagai usaha untuk menunjukkan diri kepada ayahnya dan sebagai akibat dari
persentuhannya dengan buku-buku yang dibacanya tentang daya tarik Jawa Tengah,
menyebabkan Hamka sangat berminat untuk merantau ke Tanah Jawa. Pada saat yang
sama, ia tidak lagi tertarik untuk menyelesaikan pendidikan di Thawalib. Setelah belajar
selama empat tahun, ia memutuskan untuk keluar dari Thawalib, sementara program
pendidikan di sekolah tersebut dirancang selama tujuh tahun. Ia keluar tanpa memperoleh
ijazah. Pada masa-masa setelah itu, Hamka sempat dibawa ke Parabek, sekitar 5 km dari
Bukittinggi pada tahun 1922 untuk belajar kepada Syekh Ibrahim Musa, tetapi tidak
berlangsung lama.[5] Ia lebih memilih mengikuti kata hatinya untuk menuntut ilmu dan
pengalaman menurut caranya sendiri. Ia memutuskan untuk bertolak ke pulau Jawa.
Namun, usaha yang pertama sempat terjegal oleh ayahnya.

Merantau ke Jawa[sunting | sunting sumber]

Hamka telah berkelana ke sejumlah tempat di Minangkabau sejak berusia remaja,


sehingga dijuluki oleh ayahnya dengan sebutan "Si Bujang Jauh".[13] Ketika berusia 15
tahun, setelah mengalami suatu peristiwa yang mengguncangkan jiwanya, yakni
perceraian orang tuanya, Hamka telah berniat pergi ke pulau Jawa setelah mengetahui
bahwa Islam di Jawa lebih maju daripada Minangkabau terutama dalam hal pergerakan
dan organisasi. Namun setiba di Bengkulu, Hamka terkena wabah penyakit cacar,
sehingga setelah sekitar dua bulan berada di atas pembaringan, ia memutuskan kembali
ke Padang Panjang.[11] Meski begitu niatnya untuk pergi ke pulau Jawa tidak terbendung.
Pada tahun 1924, setahun setelah sembuh dari penyakit cacar, ia kembali berangkat ke
pulau Jawa.

Setiba di pulau Jawa, Hamka bertolak ke Yogyakarta dan menetap di rumah adik kandung
ayahnya, Ja'far Amrullah.[15][16] Melalui pamannya itu, ia mendapat kesempatan mengikuti
berbagai diskusi dan pelatihan pergerakan Islam yang diselenggarakan oleh
Muhammadiyah dan Sarekat Islam.[17] Selain mempelajari pergerakan Islam, ia juga
meluaskan pandangannya dalam persoalan gangguan terhadap kemajuan Islam seperti
kristenisasi dan komunisme. Selama di Jawa, ia aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan
agama. Dalam berbagai kesempatan, ia berguru kepada Bagoes Hadikoesoemo, HOS
Tjokroaminoto, Abdul Rozak Fachruddin, dan Suryopranoto.[18] Sebelum kembali ke
Minangkabau, ia sempat mengembara ke Bandung dan bertemu dengan tokoh-tokoh
Masyumi seperti Ahmad Hassan dan Mohammad Natsir, yang memberinya kesempatan
belajar menulis dalam Majalah Pembela Islam.[19] Selanjutnya pada tahun 1925, ia pergi
ke Pekalongan, Jawa Timur untuk menemui Ahmad Rasyid Sutan Mansuryang waktu
itu menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Pekalongansekaligus belajar
kepadanya. Selama di Pekalongan, ia menetap di rumah kakak iparnya itu dan mulai
tampil berpidato di beberapa tempat.[20][21]

Dalam perantauan pertamanya ke pulau Jawa, ia mengaku memiliki semangat baru dalam
mempelajari Islam. Ia juga melihat ada perbedaan antara misi pembaruan Islam di
Minangkabau dan Jawa; jika di Minangkabau ditujukan pada pemurnian ajaran Islam dari
praktik yang dianggap salah, seperti tarekat, taklid, dan khirafat, maka di Jawa lebih
berorientasi kepada usaha untuk memerangi keterbelakangan, kebodohan, dan
kemiskinan.

Menunaikan ibadah haji[sunting | sunting sumber]


Suasana pelaksanaan haji di Masjidil Haram, Mekkah. Perjalanan Hamka ke Mekkah
pada tahun 1927 meletupkan inspirasi baginya untuk menulis Di Bawah Lindungan
Ka'bah

Setelah setahun lamanya berada di Jawa, pada bulan Juli 1925 Hamka kembali ke Padang
Panjang.[22] Di Padang Panjang, ia menulis majalah pertamanya berjudul Chatibul
Ummah, yang berisikan kumpulan pidato yang didengarkannya di Surau Jembatan Besi,
[23]
dan Majalah Tabligh Muhammadiyah.[24] Di sela-sela aktivitasnya dalam bidang
dakwah melalui tulisan, ia menyempatkan berpidato di beberapa tempat di Padang
Panjang. Namun pada saat itu, semuanya justru dikritik tajam oleh ayahnya, "Pidato-
pidato saja adalah percuma, isi dahulu dengan pengetahuan, barulah ada arti dan
manfaatnya pidato-pidatomu itu." Di sisi lain, ia tidak mendapatkan penerimaan baik dari
masyarakat. Ia sering kali dicemooh sebagai "tukang pidato yang tidak berijazah",[25]
bahkan ia sempat mendapat kritikan dari sebagian ulama karena ketika itu ia belum
menguasai bahasa Arab dengan baik.[26] Berbagai kritikan yang ia terima di tanah
kelahirannya, ia jadikan cambuk untuk membekali diri lebih matang.

Pada bulan Februari 1927, ia mengambil keputusan pergi ke Mekkah untuk


memperdalam ilmu pengetahuan kegamaannya, termasuk untuk mempelajari bahasa Arab
dan menunaikan ibadah hajinya yang pertama.[27] Ia pergi tanpa pamit kepada ayahnya
dan berangkat dengan biaya sendiri.[28] Selama di Mekkah, ia menjadi koresponden
Harian Pelita Andalas sekaligus bekerja di sebuah perusahaan percetakan milik Tuan
Hamid, putra Majid Kurdi, yang merupakan mertua dari Ahmad Khatib Al-
Minangkabawi.[29][30] Di tempat ia bekerja itu, ia dapat membaca kitab-kitab klasik, buku-
buku, dan buletin Islam dalam bahasa Arab, satu-satunya bahasa asing yang dikuasainya.

Menjelang pelaksanaan ibadah haji berlangsung, Hamka bersama beberapa calon jemaah
haji lainnya mendirikan organisasi Persatuan Hindia Timur, sebuah organisasi yang
memberikan pelajaran manasik haji kepada calon jemaah haji asal Indonesia.[26] Setelah
menunaikan haji, dan beberapa lama tinggal di Tanah Suci, ia berjumpa dengan Agus
Salim dan sempat menyampaikan hasratnya untuk menetap di Mekkah, tetapi Agus Salim
justru menasihatinya untuk segera pulang.[31] "Banyak pekerjaan yang jauh lebih penting
menyangkut pergerakan, studi, dan perjuangan yang dapat engkau lakukan. Karenanya,
akan lebih baik mengembangkan diri di tanah airmu sendiri", ujar Agus Salim.[32] Ia pun
segera kembali ke tanah air setelah tujuh bulan bermukim di Mekkah. Namun, bukannya
pulang ke Padang Panjang, Hamka malah menetap di Medan, kota tempat berlabuhnya
kapal yang membawanya pulang.[33]

Karier di Medan[sunting | sunting sumber]

Selama di Medan, ia banyak menulis artikel di berbagai majalah dan sempat menjadi
guru agama selama beberapa bulan di Tebing Tinggi.[34] Ia mengirimkan tulisan-
tulisannya untuk surat kabar Pembela Islam di Bandung dan Suara Muhammadiyah yang
dipimpin Abdul Rozak Fachruddin di Yogyakarta.[23] Selain itu, ia juga bekerja sebagai
koresponden di Harian Pelita Andalas dan menuliskan laporan-laporan perjalanan,
terutama perjalanannya ke Mekkah pada tahun 1927. Pada tahun 1928, ia menulis
romannya yang pertama dalam bahasa Minangkabau berjudul Si Sabariyah. Pada tahun
yang sama, ia diangkat sebagai redaktur Majalah Kemajuan Zaman berdasarkan hasil
konferensi Muhammadiyah di Padang Panjang.[35] Setahun berikutnya, ia menulis
beberapa buku, antara lain: Agama dan Perempuan, Pembela Islam, Adat Minangkabau,
Agama Islam, Kepentingan Tabligh, dan Ayat-ayat Miraj. Namun, beberapa di antara
kayanya tersebut disita karena dianggap berbahaya bagi pemerintah kolonial yang sedang
berkuasa ketika itu.

Pada 28 Juni 1926, gempa bumi berkekuatan 7,6 SR meluluhlantakkan sebagian besar
Padang Panjang, termasuk rumah ayah Hamka di Gatangan, Pasar Usang

Sewaktu di Medan, orang-orang di kampungnya sudah berkali-kali berkirim surat


memintanya pulang, tetapi selalu ditolak oleh Hamka. Oleh sebab itu, ayahnya meminta
Ahmad Rasyid Sutan Mansur untuk menjemput dan membujuk Hamka pulang.[22]
Bujukan kakak iparnya itu akhirnya membuat Hamka luluh, dan kemudian ia pulang ke
kampung halamannya di Maninjau, sementara rumah ayahnya di Padang Panjang luluh
lantah akibat gempa bumi pada tahun 1926. Setiba di kampung halamannya, ia diterima
ayahnya dengan penuh haru hingga menitikkan air mata. Ayahnya terkejut mengetahui
Hamka telah berangkat haji dan pergi dengan ongkos sendiri. Ayahnya bahkan berkata,
"Mengapa tidak engkau beri tahu bahwa begitu mulia dan suci maksudmu? Abuya (ayah)
ketika itu sedang susah dan miskin. Kalau itu maksudmu, tak kayu jenjang dikeping, tak
emas bungkal diasah." Sejak saat itu, pandangan Hamka terhadap ayahnya mulai
berubah. Namun, setelah sekitar setahun menetap di Sungai Batang,[36] ia kembali
meninggalkan kampung halamannya.

Hamka pindah ke Medan pada tahun 1936.[37] Di Medan, ia bekerja sebagai editor
sekaligus menjadi pemimpin redaksi sebuah majalah pengetahuan Islam yang
didirikannya bersama M. Yunan Nasution, yaitu Majalah Pedoman Masyarakat.[38][39]
Melalui Pedoman Masyarakat, ia untuk pertama kalinya memperkenalkan nama pena
"Hamka".[40] Selama di Medan, ia menulis Di Bawah Lindungan Ka'bah, yang terinspirasi
dari perjalanannya ke Mekkah pada tahun 1927.[41] Setelah Di Bawah Lindungan Ka'bah
diterbitkan pada tahun 1938, ia menulis Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, yang pada
awalnya ditulis sebagai cerita bersambung dalam Pedoman Masyarakat.[42] Selain itu, ia
juga menerbitkan beberapa roman dan buku-buku lainnya seperti: Merantau ke Deli,
Keadilan Ilahi, Tuan Direktur, Angkatan Baru, Terusir, Di Dalam Lembah Kehidupan,
Ayahku, Tasawuf Modern, dan Falsafah Hidup.[43][39] Namun pada tahun 1943, Majalah
Pedoman Masyarakat yang dipimpinnya dibredel oleh Jepang, yang ketika itu berkuasa
di Indonesia.[44]

Karier dan kehidupan selanjutnya[sunting | sunting


sumber]
Muhammadiyah[sunting | sunting sumber]
Setelah perkawinannya dengan Sitti Raham,[45] Hamka aktif dalam kepengurusan
Muhammadiyah cabang Minangkabau, yang cikal bakalnya bermula dari perkumpulan
Sendi Aman yang didirikan oleh ayahnya pada tahun 1925 di Sungai Batang.[46] Selain
itu, ia sempat menjadi pimpinan Tabligh School, sebuah sekolah agama yang didirikan
Muhammadiyah pada 1 Januari 1930.[47][48]

Sejak menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Solo pada tahun 1928, Hamka tidak
pernah absen menghadiri kongres-kongres Muhammadiyah berikutnya. Sekembalinya
dari Solo, ia mulai memangku beberapa jabatan, sampai akhirnya ia diangkat sebagai
Ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang. Seusai Muktamar Muhammadiyah ke-19
di Bukittinggi pada tahun 1930, disusul dengan kongres berikutnya di Yogyakarta, ia
memenuhi undangan untuk mendirikan cabang Muhammadiyah di Bengkalis.[49]
Selanjutnya pada tahun 1932, ia diutus oleh Muhammadiyah ke Makassar dalam rangka
mempersiapkan dan menggerakkan semangat rakyat untuk menyambut Muktamar
Muhammadiyah ke-21 di Makassar.[50] Selama di Makassar, ia sempat menerbitkan Al-
Mahdi, majalah pengetahuan Islam yang terbit sekali sebulan.[35] Pada tahun 1934,
setahun setelah menghadiri Kongres Muhammadiyah di Semarang, ia diangkat menjadi
anggota tetap Majelis Konsul Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Tengah.[48][51]

Kariernya di Muhammadiyah kian menanjak sewaktu ia pindah ke Medan. Pada tahun


1942, bersamaan dengan jatuhnya Hindia Belanda ke dalam tampuk kekuasaan penjajah
Jepang, Hamka terpilih menjadi pimpinan Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera
Timur menggantikan H. Mohammad Said.[52] Namun pada Desember 1945, ia
memutuskan kembali ke Minangkabau dan melepaskan jabatan tersebut. Pada tahun
berikutnya, ia terpilih menjadi Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat
menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto.[53] Jabatan ini ia rengkuh hingga tahun 1949.[54]

Pada tahun 1953, ia terpilih sebagai pimpinan pusat Muhammadyiah dalam Muktamar
Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto. Sejak saat itu, ia selalu terpilih dalam Muktamar
Muhammadiyah selanjutnya, sampai pada tahun 1971 ia memohon agar tidak dipilih
kembali karena merasa uzur.[55] Akan tetapi, ia tetap diangkat sebagai penasihat pimpinan
pusat Muhammadiyah sampai akhir hayatnya.[56]

Meninggal dunia[sunting | sunting sumber]


Setelah mengundurkan diri dari jabatan ketua MUI, kesehatannya menurun. Atas anjuran
dokter Karnen Bratawijaya, dokter keluarga itu, ia diopname di Rumah Sakit Pusat
Pertamina pada 18 Juli 1981, yang bertepatan dengan awal Ramadan.[57].

Pada hari keenam dirawat, ia sempat menunaikan salat Duha dengan bantuan putrinya,
Azizah, untuk bertayamum. Siangnya, beberapa dokter datang memeriksa kondisinya,
dan kemudian menyatakan bahwa ia berada dalam keadaan koma. Kondisi tersebut tetap
berlangsung sampai malam harinya. Tim dokter menyatakan bahwa ginjal, paru-paru dan
saraf sentralnya sudah tidak berfungsi lagi, dan kondisinya hanya bisa dipertahankan
dengan alat pacu jantung. Pada pukul 10 pagi keesokan harinya, anak-anaknya sepakat
untuk mencabut alat pacu jantung, dan Hamka menghembuskan napas terakhirnya tidak
lama setelah itu.[58]

Hamka meninggal dunia pada hari Jum'at, 24 Juli 1981 pukul 10 lewat 37 menit dalam
usia 73 tahun. Jenazahnya disemayamkan di rumahnya di Jalan Raden Fatah III. Antara
pelayat yang hadir untuk memberi penghormatan terakhir dihadiri Presiden Soeharto dan
Wakil Presiden Adam Malik, Menteri Negara Lingkungan Hidup Emil Salim serta
Menteri Perhubungan Azwar Anas yang menjadi imam salat jenazahnya.[59] Jenazahnya
dibawa ke Masjid Agung dan disalatkan lagi, dan kemudian akhirnya dimakamkan di
Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan, dipimpin Menteri Agama
Alamsjah Ratoe Perwiranegara.[60]

Politik[sunting | sunting sumber]

Natsir, Hamka, dan Isa Anshary

Sejak masih muda, Hamka telah terlibat dalam aktivitas politik, yaitu ketika menjadi
anggota Sarekat Islam pada tahun 1925 dan, setelah kemerdekaan ia aktif dengan Partai
Masyumi.[61] Pada pemilihan umum 1955, ia terpilih menjadi anggota Dewan
Konstituante mewakili Jawa Tengah. Akan tetapi pengangkatan tersebut ditolak karena
merasa tempat tersebut tidak sesuai baginya. Atas desakan kakak iparnya, Ahmad Rasyid
Sutan Mansur, akhirnya Hamka menerima pengangkatan tersebut.

Di Konstituante, ia bersama Mohammad Natsir, Mohammad Roem, dan Isa Anshari


menjadi pihak yang paling konsisten memperjuangkan syariat Islam menjadi dasar negara
Indonesia. Dalam pidatonya, Hamka mengusulkan agar dalam sila pertama Pancasila
dimasukkan kembali kalimat tentang "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya", sebagaimana yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Akan tetapi,
pemikiran Hamka ditentang keras oleh sebagian besar anggota Konstituante, yang
umumnya berasal dari pihak komunis. Selanjutnya, dalam sidang Konstituante di
Bandung pada tahun 1957, ia menyampaikan pidato penolakannya atas gagasan Presiden
Soekarno yang akan menerapkan Demokrasi Terpimpin. Namun, segala usahanya itu
kandas setelah Soekarno membubarkan Dewan Konstituante melalui Dekrit Presiden
pada 5 Juli 1959 dan, perjalanan politik Hamka dapat dikatakan berakhir setelah
Masyumi ikut dibubarkan oleh Presiden Soekarno.

Sikapnya yang konsisten terhadap agama, menyebabkannya acapkali berhadapan dengan


berbagai rintangan, terutama terhadap beberapa kebijakan pemerintah. Keteguhan
sikapnya ini membuatnya dipenjarakan oleh Soekarno dari tahun 1964 sampai 1966. Pada
awalnya, Hamka diasingkan ke Sukabumi, kemudian ke Puncak, Megamendung, dan
terakhir dirawat di rumah sakit Persahabatan Rawamangun, sebagai tawanan. Di dalam
penjara ia mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya.[61]

Pada tahun 1977, Hamka dipilih sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia yang
pertama. Semasa jabatannya, Hamka mengeluarkan fatwa yang bersisi penolakan
terhadap kebijakan pemerintah yang akan memberlakukan RUU Perkawinan tahun 1973,
dan mengecam kebijakan diperbolehkannya merayakan Natal bersama umat Nasrani.
Meskipun pemerintah mendesaknya untuk menarik kembali fatwanya tersebut dengan
diiringi berbagai ancaman, Hamka tetap teguh dengan pendiriannya.[62] Akan tetapi, pada
tanggal 24 Juli 1981, Hamka memutuskan untuk melepaskan jabatannya sebagai ketua
umum Majelis Ulama Indonesia, karena fatwanya yang tidak kunjung dipedulikan oleh
pemerintah Indonesia.

Sastra[sunting | sunting sumber]


Hamka juga merupakan seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun
1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas,
Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, ia menjadi
editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, ia menjadi editor dan
menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah
Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.[63]

Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat,
sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa
Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur
Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan
Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan
Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean
Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti.

Hamka juga banyak menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya lain seperti novel dan
cerpen. Pada tahun 1928, Hamka menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa
Minang dengan judul Si Sabariah. Kemudian, ia juga menulis buku-buku lain, baik yang
berbentuk roman, sejarah, biografi dan otobiografi, sosial kemasyarakatan, pemikiran dan
pendidikan, teologi, tasawuf, tafsir, dan fiqih. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir al-
Azhar. Di antara novel-novelnya seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah
Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli juga menjadi perhatian umum dan menjadi
buku teks sastra di Malaysia dan Singapura. Beberapa penghargaan dan anugerah juga ia
terima, baik peringkat nasional maupun internasional.[63]

Pada tahun 1959, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari
Universitas al-Azhar, Kairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan
menggunakan bahasa Melayu. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar
kehormatan tersebut dari Universitas Nasional Malaysia pada bidang kesusasteraan, serta
gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo.[63]

Daftar karya[sunting | sunting sumber]


1. Kenang-Kenangan Hidup, 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
2. Ayahku (Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangannya), Jakarta:
Pustaka Wijaya, 1958.
3. Khatib al-Ummah, 3 Jilid, Padang Panjang, 1925.
4. Islam dan Adat, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.
5. Kepentingan Melakukan Tabligh, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.
6. Majalah Tentera, 4 nomor, Makassar, 1932.
7. Majalah al-Mahdi, 9 nomor, Makassar, 1932.
8. Bohong di Dunia, cet. 1, Medan: Cerdas, 1939.
9. Agama dan Perempuan, Medan: Cerdas, 1939.
10. Pedoman Mubaligh Islam, cet. 1, Medan: Bukhandel Islamiah, 1941.
11. Majalah Semangat Islam, 1943.
12. Majalah Menara, Padang Panjang, 1946.
13. Hikmat Isra Miraj, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
14. Negara Islam, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
15. Islam dan Demokrasi, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
16. Revolusi Fikiran, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
17. Dibandingkan Ombak Masyarakat, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
18. Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1946.
19. Revolusi Agama, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1946.
20. Sesudah Naskah Renville, 1947 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
21. Tinjauan Islam Ir. Soekarno, Tebing Tinggi, 1949.
22. Pribadi, 1950 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
23. Falsafah Hidup, cet. 3, Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1950.
24. Falsafah Ideologi Islam, Jakarta: Pustaka Wijaya, 1950.
25. Urat Tunggang Pancasila, Jakarta: Keluarga, 1951.
26. Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1952.
27. K.H. A. Dahlan, Jakarta: Sinar Pujangga, 1952.
28. Perkembangan Tashawwuf dari Abad ke Abad, cet. 3, Jakarta: Pustaka Islam, 1957.
29. Pribadi, Jakarta: Bulan Bintang, 1959.
30. Pandangan Hidup Muslim, Jakarta: Bulan Bintang, 1962.
31. Lembaga Hidup, cet. 6, Jakarta: Jayamurni, 1962 (kemudian dicetak ulang di Singapura
oleh Pustaka Nasional dalam dua kali cetakan, pada tahun 1995 dan 1999).
32. 1001 Tanya Jawab tentang Islam, Jakarta: CV. Hikmat, 1962.
33. Cemburu, Jakarta: Firma Tekad, 1962.
34. Angkatan Baru, Jakarta: Hikmat, 1962.
35. Ekspansi Ideologi, Jakarta: Bulan Bintang, 1963.
36. Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia, Jakarta: Tintamas, 1965 (awalnya merupakan
naskah yang disampakannya pada orasi ilmiah sewaktu menerima gelar Doktor Honoris
Causa dari Universitas al-Azhar Mesir, pada 21 Januari 1958).
37. Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Jakarta: Bulan Bintang, 1965.
38. Lembaga Hikmat, cet. 4, Jakarta: Bulan Bintang, 1966.
39. Dari Lembah Cita-Cita, cet. 4, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
40. Hak-Hak Azasi Manusia Dipandang dari Segi Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1968.
41. Gerakan Pembaruan Agama (Islam) di Minangkabau, Padang: Minang Permai, 1969.
42. Hubungan antara Agama dengan Negara menurut Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas,
1970.
43. Islam, Alim Ulama dan Pembangunan, Jakarta: Pusat dakwah Islam Indonesia, 1971.
44. Islam dan Kebatinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
45. Mengembalikan Tasawuf ke Pangkalnya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973.
46. Beberapa Tantangan terhadap Umat Islam di Masa Kini, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
47. Kedudukan Perempuan dalam Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973.
48. Muhammadiyah di Minangkabau, Jakarta: Nurul Islam, 1974.
49. Tanya Jawab Islam, Jilid I dan II cet. 2, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
50. Studi Islam, Aqidah, Syariah, Ibadah, Jakarta: Yayasan Nurul Iman, 1976.
51. Perkembangan Kebatinan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1976.
52. Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, cet. 8, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1980.
53. Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
54. Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
55. Lembaga Budi, cet. 7, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
56. Tasawuf Modern, cet. 9, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
57. Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian, Jakarta: Yayasan Idayu,
1983.
58. Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
59. Iman dan Amal Shaleh, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
60. Renungan Tasawuf, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.
61. Filsafat Ketuhanan, cet. 2, Surabaya: Karunia, 1985.
62. Keadilan Sosial dalam Islam, Jakarta: Pustaka Antara, 1985.
63. Tafsir al-Azhar, Juz I sampai Juz XXX, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.
64. Prinsip-prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.
65. Tuntunan Puasa, Tarawih, dan Idul Fitri, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1995.
66. Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Jakarta: Tekad, 1963.
67. Islam dan Adat Minangkabau, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
68. Mengembara di Lembah Nil, Jakarta: NV. Gapura, 1951.
69. Di Tepi Sungai Dajlah, Jakarta: Tintamas, 1953.
70. Mandi Cahaya di Tanah Suci, Jakarta: Tintamas, 1953.
71. Empat Bulan di Amerika, 2 Jilid, Jakarta: Tintamas, 1954.
72. Merantau ke Deli, cet. 7, Jakarta: Bulan Bintang, 1977 (ditulis pada tahun 1939).
73. Si Sabariah (roman dalam bahasa Minangkabau), Padang Panjang: 1926.
74. Laila Majnun, Jakarta: Balai Pustaka, 1932.
75. Salahnya Sendiri, Medan: Cerdas, 1939.
76. Keadilan Ilahi, Medan: Cerdas, 1940.
77. Angkatan Baru, Medan: Cerdas, 1949.
78. Cahaya Baru, Jakarta: Pustaka Nasional, 1950.
79. Menunggu Beduk Berbunyi, Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.
80. Terusir, Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.
81. Di Dalam Lembah Kehidupan (kumpulan cerpen), Jakarta: Balai Pustaka, 1958.
82. Di Bawah Lindungan Ka'bah, cet. 7, Jakarta: Balai Pustaka, 1957.
83. Tuan Direktur, Jakarta: Jayamurni, 1961.
84. Dijemput Mamaknya, cet. 3, Jakarta: Mega Bookstrore, 1962.
85. Cermin Kehidupan, Jakarta: Mega Bookstrore, 1962.
86. Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, cet. 13, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
87. Pembela Islam (Tarikh Sayyidina Abubakar Shiddiq), Medan: Pustaka Nasional, 1929.
88. Ringkasan Tarikh Ummat Islam, Medan: Pustaka Nasional,1929.
89. Sejarah Islam di Sumatera, Medan: Pustaka Nasional, 1950.
90. Dari Perbendaharaan Lama, Medan: M. Arbi, 1963.
91. Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, cet. 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
92. Sejarah Umat Islam, 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
93. Sullam al-Wushul; Pengantar Ushul Fiqih (terjemahan karya Dr. H. Abdul Karim
Amrullah), Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
94. Margaretta Gauthier (terjemahan karya Alexandre Dumas), cet. 7, Jakarta: Bulan
Bintang, 1975.

Rujukan[sunting | sunting sumber]


Catatan kaki
1. ^ Tamara, dkk 1983, hlm. 78.
2. ^ a b c Shobahussurur 2008, hlm. 17.
3. ^ Rahzen 2007, hlm. 246.
4. ^ Yusuf 2003, hlm. 40.
5. ^ a b Safrudin 2008, hlm. 198.
6. ^ Reid dan Marr 1983, hlm. 40.
7. ^ Yusuf 2003, hlm. 41.
8. ^ Kenang-kenangan 70 tahun... 1983, hlm. 260.
9. ^ Kenang-kenangan 70 tahun... 1966, hlm. 26.
10. ^ Yani 2010.
11. ^ a b Azra 2002, hlm. 267.
12. ^ Abidin 2005, hlm. 170.
13. ^ a b Tamara, dkk 1983, hlm. 368.
14. ^ Roesmar 2002, hlm. 27.
15. ^ Tamara, dkk 1983, hlm. 238.
16. ^ Hamka 1982, hlm. 149.
17. ^ Hakim 2005, hlm. 26.
18. ^ Yusuf 2003, hlm. 43.
19. ^ Shobahussurur 2008, hlm. 20.
20. ^ Al-Kumayi 2004, hlm. 24.
21. ^ Kenang-kenangan 70 tahun... 1983, hlm. 470.
22. ^ a b Kenang-kenangan 70 tahun... 1983, hlm. 529.
23. ^ a b Tamara, dkk 1983, hlm. 198.
24. ^ Abidin 2005, hlm. 231.
25. ^ Kenang-kenangan 70 tahun... 1983, hlm. 471.
26. ^ a b Yusuf 2003, hlm. 4647.
27. ^ Tamara, dkk 1983, hlm. 329.
28. ^ Kenang-kenangan 70 tahun... 1983, hlm. 98.
29. ^ Hakim 2005, hlm. 31.
30. ^ Mohammad 2006, hlm. 61.
31. ^ Rosidi 2008, hlm. 346.
32. ^ Al-Kumayi 2004, hlm. 25.
33. ^ Shobahussurur 2008, hlm. 21.
34. ^ Aiyub 2000, hlm. 142.
35. ^ a b Safrudin 2008, hlm. 201.
36. ^ Hamka 1986, hlm. 318.
37. ^ Yusuf 2003, hlm. 45.
38. ^ Zakariya 2006.
39. ^ a b Safrudin 2008, hlm. 202.
40. ^ Teeuw 1980, hlm. 104.
41. ^ Teeuw 1980, hlm. 105.
42. ^ Mahayana 2007, hlm. 168.
43. ^ Hamka 1975, hlm. 28.
44. ^ Mohammad 2006, hlm. 62.
45. ^ Leirissa 1994, hlm. 89.
46. ^ Hamka 1983, hlm. 73.
47. ^ Abidin 2005, hlm. 171.
48. ^ a b Yusuf 2003, hlm. 48.
49. ^ Kenang-kenangan 70 tahun... 1983, hlm. 472.
50. ^ Tamara, dkk 1983, hlm. 384.
51. ^ Hakim 2005, hlm. 27.
52. ^ Toer, dkk 1999, hlm. 246.
53. ^ Kenang-kenangan 70 tahun... 1983, hlm. 20.
54. ^ Muhammadiyah 2005, hlm. 144.
55. ^ Shobahussurur 2008, hlm. 24.
56. ^ Al-Kumayi 2004, hlm. 30.
57. ^ Irfan 2013, hlm. 274.
58. ^ Irfan 2013, hlm. 279.
59. ^ Irfan 2013, hlm. 280.
60. ^ Irfan 2013, hlm. 282.
61. ^ a b Republika 2011.
62. ^ Hashim, Rosnani (2010). Reclaiming the Conversation: Islamic
Intellectual Tradition in the Malay Archipelago. The Other Press.
ISBN 9839541749.
63. ^ a b c Irfan 2013, hlm. 290.

Daftar pustaka
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam (2002). "Ensiklopedia Islam, Jilid 4".
Departemen Agama (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve). ISBN 979-8276-65-5.
Shobahussurur (2008). Mengenang 100 tahun Haji Abdul Malik Karim Amrullah
Hamka. Jakarta: Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar. ISBN 979-177-850-7.
Herry, Mohammad (2006). Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Gema
Insani. ISBN 979-560-219-5.
Hashim, Rosnani (2010). Reclaiming the Conversation: Islamic Intellectual
Tradition in the Malay Archipelago. The Other Press. ISBN 983-954-174-9.
"Cukup Allah sebagai Pelindung: Kisah Hamka di Penjara Sukabumi". Republika.
26 November 2011. Diakses 20 Desember 2011.
Daneel, Inus; Charles Van Engen, Hendrik Vroom (2005). Fullness of Life for All
Challenges for Mission in Early 21st Century. Rodopi. ISBN 904-201-971-9.
Rodgers, Susan (1995). Telling Lives, Telling History: Autobiography and
Historical Imagination in Modern Indonesia. University of California Press.
ISBN 052-008-547-7.
Zakariya, H. (2006). Islamic Reform in Colonial Malaya: Shaykh Tahir
Jalaluddin and Sayyid Shaykh Al-Hadi. ProQuest. ISBN 054-286-357-X.
Abdurrahman, M. (2009). Bersujud di Baitullah. Penerbit Buku Kompas. ISBN
979-709-437-5.
Riddell, P. G. Islam and the Malay-Indonesian World: Transmission and
Responses. C. Hurst & Co. Publishers. ISBN 185-065-336-4.
Hamka, Afif (2008). Buya Hamka. Uhamka Press. ISBN 602-804-007-X.
Pandoe, M.D.; Pour, Julius (2010). Jernih Melihat Cermat Mencatat: Antologi
Karya Jurnalistik Wartawan Senior Kompas. Penerbit Buku Kompas. ISBN 979-
709-487-1.
Panitia Peringatan Buku 70 Tahun Buya Prof. Dr. Hamka (1983). Kenang-
kenangan 70 Tahun Buya Hamka. Pustaka Panjimas.
Hamka (1966). Kenang-kenangan Hidup. Kuala Lumpur: Pustaka Antara.
Hamka, Rusydi (1983). Pribadi dan Martabat Buya Prof. Hamka. Jakarta:
Pustaka Panjimas.
Tamara, Natsir (1996). Hamka di Mata Hati Umat. Jakarta: Sinar Harapan.
Noer, Deliar (1996). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta:
LP3ES.
Noer, Deliar (2001). Membincangkan Tokoh-tokoh Bangsa. Bandung: Mizan.
Mahayana, Maman S; Oyon Sofyan dan Achmad Dian (1995). Ringkasan dan
Ulasan Novel Indonesia Modern. Jakarta: Grasindo. ISBN 978-979-553-123-4.
Siregar, Bakri (1964). Sedjarah Sastera Indonesia 1. Jakarta: Akademi Sastera
dan Bahasa "Multatuli". OCLC 63841626.
Teeuw, A (1980). Sastra Baru Indonesia 1. Ende: Nusa Indah. OCLC 222168801.
Rahzen, Taufik (2007). Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia. Blora
Institute. ISBN 979-150-938-7.
Safrudin, Irfan (2008). Ulama-ulama Perintis: Biografi Pemikiran dan
Keteladanan. Bandung: Majelis Ulama Indonesia.
Reid; Marr, David G. (1983). Dari Raja Ali Haji hingga Hamka. Grafiti Pres.
Yusuf, M. Yunan (2003). Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar. Penamadani.
ISBN 979-976-700-8.
Azra, Azyumardi (2002). Historiografi Islam Kontemporer. Gramedia Pustaka
Utama.
Abidin, Masoed. Ensiklopedi Minangkabau. Pusat Pengkajian Islam dan
Minangkabau. ISBN 979-379-723-1.
Hakim, Ahmad; Thalhah, M. (2005). Politik Bermoral Agama. UII Press. ISBN
979-333-306-5.
Rosidi, Ajip (2008). Yang Datang Telanjang: Surat-surat Ajip Rosidi dari Jepang,
19802002. Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 979-910-095-X.
Al-Kumayi, Sulaiman (2004). Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym. Pustaka
Nuun. ISBN 979-983-531-3.
"Palagan Hamka dan Lentera "Pram"". Kompas. Jakarta. 2012-03-20. Diakses 12
Juni 2012.
"Hamka Menggebrak Tradisi". Tempo. Jakarta. 2008-05-19. Diarsipkan dari
aslinya tanggal 4 Juni 2012. Diakses 4 Juni 2012.
Hamka, Irfan (2013). Ayah... Kisah Buya Hamka. Penerbit Republika. ISBN 978-
602-8997-71-3.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]


(Indonesia) Ceramah Buya Hamka
(Indonesia) Info lain tentang Hamka
(Indonesia) Tafsir Hamka Online
(Indonesia) Jalan Istiqomah Sang Legenda Buya Hamka

Didahului oleh: Ketua MUI Diteruskan oleh:


Tidak ada 19771981 Syukri Ghozali
[tampilkan]
v
t
e

Pahlawan Nasional Indonesia

Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/w/index.php?


title=Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah&oldid=8086301"
Kategori:
Tanggal kelahiran 17 Februari
Kelahiran 1908
Tanggal kematian 24 Juli
Kematian 1981
Meninggal usia 73
Pahlawan nasional Indonesia
Hamka
Ulama Indonesia
Sastrawan Indonesia
Ulama Minangkabau
Ketua Majelis Ulama Indonesia
Tokoh Muhammadiyah
Alumni Universitas Al-Azhar
Ahli tafsir (Al Qur'an) Indonesia
Sejarawan Islam Indonesia
Seniman Minangkabau
Tokoh Minangkabau
Tokoh dari Agam

Kategori tersembunyi:
Semua orang yang sudah meninggal
Semua artikel biografi
Artikel biografi Juli 2014
Artikel bagus biasa
Semua artikel bagus

Menu navigasi
Peralatan pribadi

Buat akun baru


Masuk log

Ruang nama

Halaman
Pembicaraan

Varian

Tampilan

Baca
Sunting sumber

Lainnya

Versi terdahulu

Pencarian

Tuju ke

Navigasi

Halaman Utama
Perubahan terbaru
Peristiwa terkini
Halaman baru
Halaman sembarang

Komunitas

Warung Kopi
Portal komunitas
Bantuan

Wikipedia

Tentang Wikipedia
Pancapilar
Kebijakan
Menyumbang
Hubungi kami
Bak pasir

Bagikan

Facebook
Google+
Twitter

Cetak/ekspor

Buat buku
Unduh versi PDF
Versi cetak

Peralatan

Pranala balik
Perubahan terkait
Halaman istimewa
Pranala permanen
Informasi halaman
Item di Wikidata
Kutip halaman ini

Bahasa lain

English
Suomi
Basa Jawa
Baso Minangkabau
Bahasa Melayu
Basa Sunda

Sunting interwiki

FALSAFAH SEBAGAI PENJELASAN HIDUP ( BUYA


HAMKA )
Biografi Buya Hamka

Buya Hamka lahir tahun 1908, di desa kampung Molek, Meninjau,


Sumatera Barat, dan meninggal di Jakarta 24 Juli 1981. Nama
lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, disingkat
menjadi HAMKA.

Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang


Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa
Arab, yang berarti ayah kami, atau seseorang yang dihormati.

Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai
Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di
Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul


Malik bin Abdul Karim Amrullah. Beliau adalah seorang ulama,
aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam
Nusantara. Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek,
Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul
Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang
pelopor Gerakan Islah(tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari
Makkah pada tahun 1906.

HAMKA mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau


sehingga Darjah Dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun,
ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang.
Di situ HAMKA mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab.
HAMKA juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan
masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa,
Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjoparonto dan Ki
Bagus Hadikusumo.

Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di


Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di
Padangpanjang pada tahun 1929. HAMKA kemudian dilantik
sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas
Muhammadiyah, Padangpanjang dari tahun 1957 hingga tahun
1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi
Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari
tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai
Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan
jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi
pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin
Indonesia (Masyumi).

Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu


pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik,
baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang
tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di
Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-
Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa
Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan
Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud,
Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti.
Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan
tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden
Mas Surjoparonoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki
Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi
seorang ahli pidato yang handal.

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui pertubuhan


Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah
mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan
kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau
mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun
1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah
dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di
Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan
Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi
Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun
1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres
Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.

Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat


Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof.
Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama
Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun
1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah
Indonesia.

Kegiatan politik HAMKA bermula pada tahun 1925 apabila beliau


menjadi anggota parti politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945,
beliau membantu menentang kemaraan kembali penjajah Belanda
ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerila di dalam
hutan di Medan. Pada tahun 1947, HAMKA dilantik sebagai ketua
Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota
Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan
Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh
pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga
tahun1966, HAMKA telah dipenjarakan oleh Presiden Sukarno
kerana dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau
mula menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah
terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, HAMKA dilantik sebagai
ahli Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota
Majlis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga
Kebudayaan Nasional, Indonesia.

Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan


seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-
an lagi, HAMKA menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti
Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan
Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah
Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan
menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah
menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat
dan Gema Islam.

Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti
novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5
jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum
dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura
termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah
Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.

Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional


dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris
Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa,
Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelaran Datuk Indono
dan Pengeran Wiroguno daripada pemerintah Indonesia.

Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan
pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan
agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh
ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di
seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut
dihargai.

KATA KATA HIKMAH BUYA HAMKA

4/17/2013 YOKI MIRANTIYO


BUYA HAMKA adalah sejarawan,sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, aktivis politik dan
seorang penulis handal. Berikut ini beberapa kata-kata hikmah / kata bijak BUYA HAMKA.

Kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekedar bekerja, ker juga
bekerja...

Nafsu yang menyebabkan marah dan dengki

Bahwasanya cinta yang bersih dan suci (murni) itu, tidaklah tumbuh dengan sendirinya.

Tahan menderita kepahitan hidup sehingga penderitaan menjadi kekayaan adalah bahagia

Kenal akan keindahan dan sanggup menyatakan keindahan itu kepada orang lain adalah
bahagia

Hanya menumpahkan air mata itulah kepandaian yang paling penghabisan bagi seorang wanita.

Kecantikan yang abadi terletak pada keelokkan adab dan ketinggian ilmu seseorang, bukan
terletak pada wajah dan pakaiannya.

Emas tak setara dengan loyang. Sutra tak sebangsa dengan benang.

Satu hati lebih mahal dari pada senyuman. Satu jiwa lebih berharga dari pada sebentuk cincin.

Ikhlas dan sejati akan bertemu di dalam senyuman anak kecil,senyum yang sebenarnya
senyum,senyum yang tidak disertai apa-apa

Kegunaan harta tidak dimungkiri Tetapi ingatlah yang lebih tinggi ialah cita-cita
yang mulia

Berani menegakkan keadilan, walaupun mengenai diri sendiri, adalah puncak


segala keberanian
Kata - kata yang lemah dan beradab dapat melembutkan hati dan manusia
yang keras

Iman tanpa ilmu bagaikan lentera di tangan bayi. Namun ilmu tanpa iman, bagaikan lentera di
tangan pencuri.

Kehidupan itu laksana lautan: " Orang yang tiada berhati-hati dalam mengayuh perahu,
memegang kemudi dan menjaga layar, maka karamlah ia digulung oleh ombak dan gelombang.
Hilang di tengah samudera yang luas. Tiada akan tercapai olehnya tanah tepi".

Jangan takut jatuh karena yang tidak pernah memanjatlah yang tidak pernah jatuh,
Jangan takut gagal, karena yang tidak pernah gagallah yang tidak pernah melangkah,
Jangan takut salah, karna dengan kesalahan yang pertama kita dapat menambah pengetahuan
baru dan cari Jalan yang benar pada langkah yang kedua

Anda mungkin juga menyukai