Anda di halaman 1dari 12

Biografi Buya hamka

Prof. Dr. Hj. Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan Hamka, yakni
singkatan namanya, adalah sastrawan Indonesia sekaligus ulama, ahli filsafat, dan aktivis
politik. Hamka diangkat sebagai pahlawan nasional Indonesia berdasarkan Keppres No.
113/TK/Tahun 2011 pada tanggal 9 November 2011. Beliau lahir di Maninjau, Tanjung
Raya, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli
1981 pada umur 73 tahun.

Hamka merupakan salah satu orang Indonesia yang paling banyak menulis dan menerbitkan
buku. Oleh karenanya dia dijuluki sebagai Hamzah Fasuridi era modern. Belakangan ia
diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan untuk orang Minangkabau yang berasal dari
kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.

Ayahnya adalah Haji Abdul Karim bin Amrullah, yang merupakan pendiri Sumatera
Thawalib di Padang Panjang. Sementara ibunya adalah Siti Shafiyah Tanjung. Dalam silsilah
Minangkabau, ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya

Hamka mendapat pendidikan rendah pada usia 7 tahun di Sekolah Dasar Maninjau selama
dua tahun. Ketika usianya mencapai 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di
Padang Panjang. Di situ Hamka kemudian mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab.
Melalui sebuah perpustakaan yang dimiliki oleh salah seorang gurunya, Engku Dt. Sinaro,
bersama dengan Engku Zainuddin, Hamka diizinkan untuk membaca buku-buku yang ada
diperpustakaan tersebut, baik buku agama maupun sastra.

Hamka mulai meninggalkan kampung halamannya untuk menuntut ilmu di Pulau


Jawa, sekaligus ingin mengunjungi kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur yang tinggal
di Pekalongan, Jawa Tengah. Untuk itu, Hamka kemudian ditumpangkan dengan Marah
Intan, seorang saudagar Minangkabau  yang hendak ke Yogyakarta. Sesampainya di
Yogyakarta, ia tidak langsung ke Pekalongan. Untuk sementara waktu, ia tinggal bersama
adik ayahnya, Ja’far Amrullah di kelurahan Ngampilan, Yogyakarta.. Barulah pada tahun
1925, ia berangkat ke Pekalongan, dan tinggal selama enam bulan bersama iparnya, Ahmad
Rasyid Sutan Mansur.

Pada tahun 1927, Hamka berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Sekembalinya
dari Mekkah, dalam suatu rapat adat niniak mamak nagari Sungai Batang, Kabupaten
Agam, Engku Datuk Rajo Endah Nan Tuo, memaklumkan Hamka dengan gelar
Datuk Indomo, yang merupakan gelar pusaka turun temurun dalam suku Tanjung. Pada tahun
1950, Hamka kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya.

Pada tanggal 5 April 1929, Hamka dinikahkan dengan Siti Raham binti Endah Sutan, yang
merupakan anak dari salah satu saudara laki-laki ibunya. Dari perkawinannya dengan Siti
Raham, ia dikaruniai 11 orang anak. Mereka antara lain Hisyam, Zaky, Rusydi, Fakhri,
Azizah, Irfan, Aliyah, Fathiyah, Hilmi, Afif, dan Syakib. Setelah istrinya meninggal dunia,
satu setengah tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1973, ia menikah lagi dengan seorang
perempuan bernama Hj. Siti Khadijah.

Aktivis Islam

Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama di Padang Panjang pada tahun 1927.
Kemudian ia mendirikan cabang Muhammadiyah di Padang Panjang dan mengetuai cabang
Muhammadiyah tersebut pada tahun 1928. Pada tahun 1931, ia diundang ke Bengkalis untuk
kembali mendirikan cabang Muhammadiyah. Dari sana ia melanjutkan perjalanan
ke Bagansiapiapi, Labuhan Bilik, Medan, dan Tebing Tinggi, sebagai mubaligh
Muhammadiyah. Pada tahun 1932 ia dipercayai oleh pimpinan Muhammadiyah sebagai
mubaligh ke Makassar, Sulawesi Selatan. Ketika di Makassar, sambil melaksanakan tugasnya
sebagai seorang mubaligh Muhammadiyah, ia memanfaatkan masa baktinya dengan sebaik-
baiknya, terutama dalam mengembangkan lebih jauh minat sejarahnya. Ia mencoba melacak
beberapa manuskrip sejarawan muslim lokal. Bahkan ia menjadi peneliti pribumi pertama
yang mengungkap secara luas riwayat ulama besar Sulawesi Selatan, Syeikh Muhammad
Yusuf al-Makassari. Bukan itu saja, ketika di Makassar ia juga mencoba menerbitkan
majalah pengetahuan Islam yang terbit sekali sebulan. Majalah tersebut diberi nama “al-
Mahdi”.

Pada tahun 1934, Hamka meninggalkan Makassar dan kembali ke Padang Panjang, kemudian
berangkat ke Medan. Di Medan—bersama M. Yunan Nasution—ia mendapat tawaran dari
Haji Asbiran Ya’kub, dan Mohammad Rasami (mantan sekretaris Muhammadiyah
Bengkalis) untuk memimpin majalah mingguan Pedoman Masyarakat. Melalui
rubrik Tasawuf modern, tulisannya telah mengikat hati para pembacanya, baik masyarakat
awam maupun kaum intelektual, untuk senantiasa menantikan dan membaca setiap terbitan
Pedoman Masyarakat. Pemikiran cerdas yang dituangkannya di Pedoman Masyarakat
merupakan alat yang sangat banyak menjadi tali penghubung antara dirinya dengan kaum
intelektual lainnya, seperti Natsir, Hatta, Agus Salim, dan Muhammad Isa Anshary.

Pada tahun 1945 Hamka kembali ke Padang Panjang. Sesampainya di Padang Panjang, ia


dipercayakan untuk memimpin Kulliyatul Muballighin dan menyalurkan kemampuan
jurnalistiknya dengan menghasilkan beberapa karya tulis. Di antaranya: Negara Islam, Islam
dan Demokrasi, Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi
Revolusi, dan Dari Lembah Cita-Cita. Pada tahun 1949, Hamka memutuskan untuk
meninggalkan Padang Panjang menuju Jakarta. Di Jakarta, ia menekuni dunia jurnalistik
dengan menjadi koresponden majalah Pemandangan dan Harian Merdeka. Ia kemudian
mengarang karya otobiografinya, Kenang-Kenangan Hidup pada tahun 1950. Di samping itu,
ia juga aktif di kancah politik melalui Masyumi.

Pada tahun 1950, setalah menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya, Hamka melakukan
kunjungan ke beberapa negara Arab. Di sana, ia dapat bertemu langsung dengan Thaha
Husein dan Fikri Abadah. Sepulangnya dari kunjungan tersebut, ia mengarang beberapa
buku roman. Di antaranya Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi
Sungai Dajlah.

Politik

Pada Pemilu 1955, Hamka terpilih menjadi anggota konstituante mewakili Jawa Tengah.


Akan tetapi pengangkatan tersebut ditolak karena merasa tempat tersebut tidak sesuai
baginya. Atas desakan kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur, akhirnya Hamka
menerima untuk diangkat menjadi anggota konstituante. Sikapnya yang konsisten terhadap
agama, menyebabkannya acapkali berhadapan dengan berbagai rintangan, terutama terhadap
beberapa kebijakan pemerintah. Keteguhan sikapnya ini membuatnya dipenjarakan
oleh Soekarno dari tahun 1964 sampai 1966. Pada awalnya, Hamka diasingkan ke Sukabumi,
kemudian ke Puncak, Megamendung, dan terakhir dirawat di rumah sakit Persahabatan
Rawamangun, sebagai tawanan. Di dalam penjara ia mulai menulisTafsir al-Azhar yang
merupakan karya ilmiah terbesarnya.

Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia.
Semasa jabatannya, Hamka mengeluarkan fatwa yang bersisi penolakan terhadap kebijakan
pemerintah yang akan memberlakukan RUU Perkawinan tahun 1973, dan mengecam
kebijakan diperbolehkannya merayakan Natal bersama umat Nasrani. Meskipun pemerintah
mendesaknya untuk menarik kembali fatwanya tersebut dengan diiringi berbagai ancaman,
Hamka tetap teguh dengan pendiriannya. Akan tetapi, pada tanggal 19 Mei 1981, Hamka
memutuskan untuk melepaskan jabatannya sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia,
karena fatwanya yang tidak kunjung dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Sastrawan

Hamka juga merupakan seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-
an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan
Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, ia
menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, ia menjadi editor dan
menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah
Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.

REPORT THIS AD

Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat,
sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa
Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah
seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain
Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya
sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud,
Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti.

Hamka juga banyak menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya lain
seperti novel dan cerpen. Pada tahun 1928, Hamka menulis buku romannya yang pertama
dalam bahasa Minang dengan judul si Sabariah. Kemudian, ia juga menulis buku-buku lain,
baik yang berbentuk roman, sejarah, biografi dan otobiografi, sosial kemasyarakatan,
pemikiran dan pendidikan, teologi, tasawuf, tafsir, dan fiqih. Karya ilmiah terbesarnya
adalah Tafsir al-Azhar. Di antara novel-novelnya seperti Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan Merantau ke Deli juga menjadi perhatian umum
dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura. Beberapa penghargaan dan
anugerah juga ia terima, baik peringkat nasional maupun internasional.
Pada tahun 1959, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-
Azhar, Cairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa
Melayu. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut
dari Universitas Nasional Malaysia pada bidang kesusasteraan, serta gelar Profesor dari
Universitas Prof. Dr. Moestopo.

Hamka meninggal dunia pada 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun dan dikebumikan di Tanah
Kusir, Jakarta Selatan. Jasanya bukan hanya diterima sebagai seorang tokoh ulama dan
sastrawan di negara kelahirannya, bahkan di Malaysia dan Singapura.

Daftar karya-karya Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah :

1. Kenang-Kenangan Hidup, 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.


2. Ayahku (Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangannya),
Jakarta: Pustaka Wijaya, 1958.
3. Khatib al-Ummah, 3 Jilid, Padang Panjang, 1925.
4. Islam dan Adat, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.
5. Kepentingan Melakukan Tabligh, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.
6. Majalah Tentera, 4 nomor, Makassar, 1932.
7. Majalah al-Mahdi, 9 nomor, Makassar, 1932.
8. Bohong di Dunia, cet. 1, Medan: Cerdas, 1939.
9. Agama dan Perempuan, Medan: Cerdas, 1939.
10. Pedoman Mubaligh Islam, cet. 1, Medan: Bukhandel Islamiah, 1941.

REPORT THIS AD

11. Majalah Semangat Islam, 1943.

12. Majalah Menara, Padang Panjang, 1946.

13. Hikmat Isra’ Mi’raj, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui).

14. Negara Islam, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),


15. Islam dan Demokrasi, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),

16. Revolusi Fikiran, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),

17. Dibandingkan Ombak Masyarakat, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),

18. Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1946.

19. Revolusi Agama, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1946.

20. Sesudah Naskah Renville, 1947 (tempat dan penerbit tidak diketahui).

21. Tinjauan Islam Ir. Soekarno, Tebing Tinggi, 1949.

22. Pribadi, 1950 (tempat dan penerbit tidak diketahui).

23. Falsafah Hidup, cet. 3, Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1950.

24. Falsafah Ideologi Islam, Jakarta: Pustaka Wijaya, 1950.

25. Urat Tunggang Pancasila, Jakarta: Keluarga, 1951.

26. Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1952.

27. K.H. A. Dahlan, Jakarta: Sinar Pujangga, 1952.

28. Perkembangan Tashawwuf dari Abad ke Abad, cet. 3, Jakarta: Pustaka Islam, 1957.

29. Pribadi, Jakarta: Bulan Bintang, 1959.

30. Pandangan Hidup Muslim, Jakarta: Bulan Bintang, 1962.

REPORT THIS AD
31. Lembaga Hidup, cet. 6, Jakarta: Jayamurni, 1962 (kemudian dicetak ulang di Singapura
oleh Pustaka Nasional dalam dua kali cetakan, pada tahun 1995 dan 1999).

32. 1001 Tanya Jawab tentang Islam, Jakarta: CV. Hikmat, 1962.

33. Cemburu, Jakarta: Firma Tekad, 1962.

34. Angkatan Baru, Jakarta: Hikmat, 1962.

35. Ekspansi Ideologi, Jakarta: Bulan Bintang, 1963.

36. Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia, Jakarta: Tintamas, 1965 (awalnya merupakan


naskah yang disampakannya pada orasi ilmiah sewaktu menerima gelar Doktor Honoris
Causa dari Universitas al-Azhar Mesir, pada 21 Januari 1958).

37. Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Jakarta: Bulan Bintang, 1965.

38. Lembaga Hikmat, cet. 4, Jakarta: Bulan Bintang, 1966.

39. Dari Lembah Cita-Cita, cet. 4, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.

40. Hak-Hak Azasi Manusia Dipandang dari Segi Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1968.

41. Gerakan Pembaruan Agama (Islam) di Minangkabau, Padang: Minang Permai, 1969.

42. Hubungan antara Agama dengan Negara menurut Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas,
1970.

43. Islam, Alim Ulama dan Pembangunan, Jakarta: Pusat dakwah Islam Indonesia, 1971.

44. Islam dan Kebatinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1972.

45. Mengembalikan Tasawuf ke Pangkalnya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973.


46. Beberapa Tantangan terhadap Umat Islam di Masa Kini, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

47. Kedudukan Perempuan dalam Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973.


48. Muhammadiyah di Minangkabau, Jakarta: Nurul Islam, 1974.
49. Tanya Jawab Islam, Jilid I dan II cet. 2, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
50. Studi Islam, Aqidah, Syari’ah, Ibadah, Jakarta: Yayasan Nurul Iman, 1976.
51. Perkembangan Kebatinan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1976.
52. Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, cet. 8, Jakarta: Yayasan Nurul Islam,
1980.
53. Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
54. Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
55. Lembaga Budi, cet. 7, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
56. Tasawuf Modern, cet. 9, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
57. Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian, Jakarta: Yayasan
Idayu, 1983.
58. Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
59. Iman dan Amal Shaleh, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
60. Renungan Tasawuf, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.
61. Filsafat Ketuhanan, cet. 2, Surabaya: Karunia, 1985.
62. Keadilan Sosial dalam Islam, Jakarta: Pustaka Antara, 1985.
63. Tafsir al-Azhar, Juz I sampai Juz XXX, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.
64. Prinsip-prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas,
1990.
65. Tuntunan Puasa, Tarawih, dan Idul Fitri, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1995.
66. Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Jakarta: Tekad, 1963.
67. Islam dan Adat Minangkabau, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
68. Mengembara di Lembah Nil, Jakarta: NV. Gapura, 1951.
69. Di Tepi Sungai Dajlah, Jakarta: Tintamas, 1953.
70. Mandi Cahaya di Tanah Suci, Jakarta: Tintamas, 1953.
71. Empat Bulan di Amerika, 2 Jilid, Jakarta: Tintamas, 1954.
72. Merantau ke Deli, cet. 7, Jakarta: Bulan Bintang, 1977 (ditulis pada tahun 1939).
73. Si Sabariah (roman dalam bahasa Minangkabau), Padang Panjang: 1926.
74. Laila Majnun, Jakarta: Balai Pustaka, 1932.
75. Salahnya Sendiri, Medan: Cerdas, 1939.
76. Keadilan Ilahi, Medan: Cerdas, 1940.
77. Angkatan Baru, Medan: Cerdas, 1949.
78. Cahaya Baru, Jakarta: Pustaka Nasional, 1950.
79. Menunggu Beduk Berbunyi, Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.
80. Terusir, Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.
81. Di Dalam Lembah Kehidupan (kumpulan cerpen), Jakarta: Balai Pustaka, 1958.
82. Di Bawah Lindungan Ka’bah, cet. 7, Jakarta: Balai Pustaka, 1957.
83. Tuan Direktur, Jakarta: Jayamurni, 1961.
84. Dijemput Mamaknya, cet. 3, Jakarta: Mega Bookstrore, 1962.
85. Cermin Kehidupan, Jakarta: Mega Bookstrore, 1962.
86. Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, cet. 13, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
87. Pembela Islam (Tarikh Sayyidina Abubakar Shiddiq), Medan: Pustaka Nasional,
1929.
88. Ringkasan Tarikh Ummat Islam, Medan: Pustaka Nasional,1929.
89. Sejarah Islam di Sumatera, Medan: Pustaka Nasional, 1950.
90. Dari Perbendaharaan Lama, Medan: M. Arbi, 1963.
91. Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, cet. 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
92. Sejarah Umat Islam, 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
93. Sullam al-Wushul; Pengantar Ushul Fiqih (terjemahan karya Dr. H. Abdul Karim
Amrullah), Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
94. Margaretta Gauthier (terjemahan karya Alexandre Dumas), cet. 7, Jakarta: Bulan
Bintang, 1975.

Tokoh Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) merupakan salah satu tokoh
sastra yang memiliki sikap kerja keras yang tinggi. Kami pun memiliki sikap yang
sama halnya dengan beliau, yaitu selalu bekerja keras dan tidak mudah putus asa
dalam menggapai keinginan dan cita-cita.
Tokoh Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) merupakan salah satu tokoh
sastra  yang mementingkan urusan agama disamping menghasilkan berbagai karya
sastra. Kami pun melakukan hal tersebut. Karena, ilmu duniawi bukan satu-satunya
ilmu yang harus dipelajari. Kita juga harus mempelajari dan memperdalam ilmu
agama yang bersifat lebih kekal.
. Hakikat dan Tujuan Pendidikan menurut Buya Hamka
Hakikat pendidikan Islam adalah sebuah upaya menumbuhkembangkan segala
potensi manusia yaitu meliputi akal, budi, citacita dan bentuk fisik agar terwujud
pribadi yang baik serta dapat tercermin dalam sikap dan perilaku sehari-hari sesuai
dengan panduan jalan hidup Islami. Selain itu, tujuan pendidikan Islam adalah
supaya anak-anak (peserta didik) disingkirkan dari perasaan menganiaya orang lain
(kekerasan yang kuat terhadap yang lemah). Dengan harapan pendidikan mampu
menanamkan rasa kepada peserta didik sebagai anggota masyarakat dan tidak dapat
melepaskan diri dari masyarakat atau sebagai orang masyarakat. Selanjutnya,
pendidikan sejati mampu membentuk anak-anak berkhidmat kepada akal dan
ilmunya, bukan kepada hawa dan nafsunya, serta bukan berkhidmat kepada orang
yang menguasainya (menggagahi dia).
Cara Pelaksanaan Pendidikan Islam menurut Buya Hamka Cara pelaksanaan
pendidikan Islam menurut Buya Hamka demi menuju kesempurnaan pribadi
yang diberikan Tuhan terdiri dari dua kegiatan penting yaitu melatih berfikir
dan melatih bekerja secara saling berkaitan. Secara lebih rinci kedua kegiatan
itu, Buya Hamka menjelaskan, di antara yang masuk dalam kelompok melatih
berfikir adalah proses pendidikan dilakukan dengan diawali mengetahui bakat
anak, menuntun kebebasan berfikir anak (dengan keteladanan), mengajak
mereka berdiskusi (musyawarah), mengajarkan mereka ilmu-ilmu (agama dan
sains secara terpadu) agar dia dapat berkhidmat pada akal dan jiwanya.
Kemudian di antara kegiatan yang masuk dalam kelompok melatih bekerja
adalah mengajarkan kepada anak-anak kemandirian, tidak memaksa, dan
mengajarkan sikap tanggung jawab kepada mereka (tidak terlalu dimanjakan).
Manfaat Pendidikan Islam menurut Buya Hamka Manfaat pendidikan
Islam menurut Buya Hamka adalah untuk mempersiapkan anak-anak didik
atau generasi yang tangguh (mental maupun ilmu pengetahuan) dalam
menghadapi tantangan zaman yang akan semakin berat. Secara eksplisit,
manfaat pendidikan Islam menurut Hamka adalah untuk menyiapkan generasi-
generasi yang cakap dalam segala bidang kehidupan (sosial, politik, ekonomi,
kesehatan, teknologi, pendidikan, dll) tetapi senafas dengan segala aturan
Islam dalam rangka mengisi dan mempertahankan kemerdekaan negara, agar
tidak menjadi budak di negeri yang kaya (melatih kemandirian dan tanggung
jawab) atau dalam ungkapan sederhana untuk membentuk manusia-manusia
yang merdeka. Relevansi Pemikiran Pendidikan Buya Hamka dengan
Pendidikan Kontemporer Relevansi konsep pemikiran pendidikan Islam
menurut Buya Hamka pada tahun 1950-1980 dengan dunia pendidikan
kontemporer yaitu dalam rangka menumbuhkan dan menguatkan pribadi
individu sebagai solusi alternatif di tengah-tengah berbagai masalah
ketimpangan pendidikan yang terjadi di mana akar masalahnya disebabkan
dari lemahnya pribadi. Selain itu, relevansi tersebut dapat dilihat dari upaya
praktis untuk menumbuhkan perubahan paradigma pendidikan dalam
merumuskan visi, misi dan tujuan pendidikan Islam yang seimbang dalam
ranah ta‘līm, tarbiyah, dan ta’dīb secara menyeluruh dan terintegrasi dengan
satu kata pribadi. Karena pribadi menurut Buya Hamka memiliki makna lebih
luas dan lebih menyeluruh secara terintegrasi, karena meliputi akal, budi, cita-
cita dan bentuk fisik, sehingga mampu mewujudkan manusia yang mandiri
serta manusia yang merdeka.

Anda mungkin juga menyukai