Anda di halaman 1dari 24

TOKOH-TOKOH MUHAMMADIYAH

Begawan Muhammadiyah

1. K.H. Ahmad Dahlan

Maulana Malik Ibrahim


Maulana Ishaq
Maulana ‘Ainul Yaqin
Maulana Muhammad Fadlul’llah (Prapen)
Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom)
Demang Djurung Djuru Sapisan
Demang Djurung Djuru Kapindo
Kiyai Ilyas
Kiyai Murtadla
KH. Muhammad Sulaiman
KH. Abu Bakar
Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan)

KH. Ahmad Dahlan (1868 – 1923), dilahirkan di Kauman Yogyakarta pada tahun 1285
H / 1868 M dengan nama Muhammad Darwis. Tokoh ulama' pendiri Muhammadiyah,
perjuangannya dalam berda'wah Islam lewat Muhammadiyah tak pernah luntur
hingga wafat beliau di tahun 1923 M. Semboyan beliau yang masih dipegang teguh oleh
aktivis Muhammadiyah sampai saat ini adalah : "Hidup-hidupilah Muhammadiyah dan
jangan mencari hidup pada Muhammadiyah." Sepanjang hidup beliau berda'wah
memberantas TBC (Tahayul Bid'ah Churofat) dan berusaha menciptakan masyarakat
Islam dengan amal usaha.

1
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk
melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi nusantara. Ahmad Dahlan ingin
mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan
agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut
tuntunan al-Qur’an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18
Nopember 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan
organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.

Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi,
baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan
hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang
menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru
bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang
yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan
sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam
di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.

Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan


mengadakan tabligh ke berbagai kota, disamping juga melalui relasi-relasi dagang yang
dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di
berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan
kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah
makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada
tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda
untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini
dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.

Muhammadiyah didirikan oleh seorang bernama Muhammad Darwis, atau lebih kita
kenal dengan nama Ahmad Dahlan. Ahmad Dahlan lahir di kampung Kauman,
Yogyakarta, pada tahun 1868 M. Ayahnya bernama K.H Abubakar, seorang khatib
Masjid Gedhe kesultanan Yogyakarta. Ibunya bernama Siti Aminah, putri penghulu
kesultanan Yogyakarta. Ia merupakan anak ke-empat dari tujuh orang bersaudara yang
keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah ia
termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar
dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari
penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991). Adapun
silsilahnya ialah(Yunus Salam, 1968: 6):

Muhammmad Darwis tidak sekolah, melainkan belajar mengaji Al-Qur’an dan Dasar-
dasar ilmu agama Islam pada ayahnya sendiri. Pada usia delapan tahun ia telah lancar
membaca Al-Qur’an hingga khatam. Selanjutnya ia belajar fiqh kepada K.H Moh. Saleh,
dan Nahwu kepada K.H Muhsin, keduanya adalah kakak ipar Darwis. Ia juga berguru
pada K.H Muh Nur dan K.H Abd.Hamid dalam berbagai ilmu.

Ia menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan
menuntut ilmu agama dan bahasa arab di Makkah selama lima tahun. Ia juga belajar
kepada K.H Mahfud Termas, K.H Nahrowi Banyumas, K.H Muh Nawawi Banten dan
juga kepada para ulama Arab di Masjidil Haram. Di sinilah ia berinteraksi dengan
pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-
Afghani, Rasyid Ridha, dan ibn Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini

2
mempunyai pengaruh yang besar pada Darwisy. Ia juga mendatangi ulama madzab
Syafi’i Bakhri Syata’ dan mendapat nama Haji Ahmad Dahlan dari beliau.

Pada usia 20 tahun (1888), ia kembali ke kampungnya, dan berganti nama Ahmad
Dahlan. Sepulangnya dari Makkah ini, ia pun diangkat menjadi khatib amin di lingkungan
Kesultanan Yogyakarta. Haji Ahmad Dahlan pulang pada tahun 1891. Sepulangnya dari
haji ia dipercaya mengajar santri dewasa sehingga ia dipanggil KH. Ahmad Dahlan. Pada
tahun 1896 M, KH, Abubakar wafat jabatan dilimpahkan kepada KH. Ahmad Dahlan
dengan gelar Khatib Amin , yang diberi tugas :

a. Khutbah Jum’ah saling berganti dengan kawannyan delapan orang Khtib


b. Piket di serambi masjid dengan kawannya enam orang sekali seminggu
c. Menjadi anggota Raad Agama Islam Hukum Keraton

Usaha pertama yang dilakukan Khatib Amin dalam dakwahnya yaitu beliau ingin
menerangkan arah kiblat shalat yang sebenarnya, usaha-usaha awalnya dirintis dengan
penyebaran informasi kepada para ulama trerbatas yang telah sepaham di sekitar Kauman
itupun memakan waktu hampir setahun. Kemudian hendak mengundang 17 ulama dari
luar Yogyakarta untuk memusyawarahkan soal arah kiblat shalat di surau Kkatib Amin
KHA. Dahlan mereka dimimta membawa kitab tentan arah kiblat. Musyawarah tersebut
berlangsung pada tahun1898 meskipun tidak didapatkan kesepakatan pendapat itu sudah
dianggap ada kemajuan positif karena jalannya musyawarah berjalan sopan dan tidak
gaduh. Tahun 1898 selam tiga bulan Khatib Amin merenovasi dan memperluas surau
peninggalan ayahnya dengan sekaligus dihadapakan ke arah kiblat. Namun banyak orang
tidak suka dengan apa yang dilakukan oleh Khatib Amin sehingga surau yang baru diluas
dan direnovasi dirobohkan oleh sepuluh orang utusan Kyai Penghulu. Setelah tiga tahun
peristiwa tersebut, Khatib Amin tetap menekuni pekerjaan dinasnya maupun mengajar
murid-muridnya di surau barunya.

Pada Tahun 1889, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai
Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang
Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah,
KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti
Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991). Di samping
itu, KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga
pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga
mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan
Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai
Yasin Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9).

Merasa ilmunya masih kurang Khatib Amin berangkat haji untuk kedua kalinya (1902-
1904) yang direkayasa oleh pemerintahan kesultanan. Masalah kiblat masjid besar dan
pembongkaran surau Khatib Amin itu merupakan manifestasi pertentangan antara faham
islam tradisional dan faham pembaharuan dalam islam. Untuk menghindari ketegangan
pemerintah kesultanan mengirim Khatib Amin ke Mekkah selama dua tahun. Ia studi
lanjut tentang berbagai ilmu islam kepada para gurunya sewaktu haji pertama dulu, juga
kepada yang lain. Dalam hal ini beliau belajar ilmu fikih kepada Syekh Saleh Bafedal,
Syekh Sa’id Yamani, dan Syekh Sa’id Bagusyel ilmu hadist kepada mufti Syafii ilmu
Falak kepada Kyai Asy’ari Bawean dan ilmu qiraat kepada Syekh Ali Misri Mekkah.
Kecuali itu juga bersahabat akrab dengan para ulama Indonesia yang lama bermukim

3
disana seperti Syeh Ahmad Khatib (Minangkabau), Kyai Nawawi (Banten), Kyai Mas
Abdullah (Surabaya), KH.Fakih (Maskumambang) berbagai maslah sosila keagamaan
dialami di tanah air dijadikan topic diskusi mereka.

Sepulang dari haji yang kedua ini KHA. Dahlan membangun pondok untuk menampung
murid-muridnya yang berasal dari luar kota Yogyakarta dan kota-kota di Jawa Tengah.
Para muridnya diberi ilmu falak, tauhid dan tafsir dari Mesir.

Memperluas Wawasan

Pekerjaan KHA. Dahlan sebagai Khatib Masjid Besar tidak banyak menyita waktu.
Giliran berkhutbahnya rata-rata dua bulan sekali dan piketnya di Serambi Masjid Besar
itu hanya seminggu sekali. Karena banyak waktu luang ia gunakan untuk berdagang batik
ke kota-kota di Jawa dan diberi modal orang tuanya sebanyak F.500,- namun sebagian
uangnya digunakan untuk membeli kitab-kitab islam. Dalam perjalanan dagang ia selalu
memerlukan singgah silahturahmi kepada alim setempat, membicarakan perihal agama
islam dan masyarakatnya.

Pada tahun 1909 KHA. Dahlan bertamu ke rumah Dr. Wahidin Sudirohusodo di
Ketandan, Yogyakarta. Ia menanyakan berbagai hal tentang Budi Utomo dan tujuannya.
Setelah mendengar jawaban lengkap dan menurut pikirannya secara umum sesuai dengan
cita-citanya, maka ia menyatakan ingin menjadi anggota. Dalam organisasi ini KHA.
Dahlan dimohon untuk memberikan santapan rohani islam pada setiap akhir rapat
pengurus.

Pada tahun 1910 ia pun menjadi anggota ke 770 perkumpulan Jami’at Khair Jakarta.
Yang menarik hatinya selain perkumpulan ini “membangun sekolah-sekolah agama dan
bahasa arab serta bergerak dalam bidang social, juga sangat giat membina hubungan
dengan pemimpin-pemimpin di Negara-negara Islam yang telah maju. Arti penting KHA.
Dahlan memasuki Jami’at Khair ini karena “ialah yang memulai organisasi dengan
bentuk modern dalam masyarakat islam (dengan anggaran dasar, daftar anggota yang
tercatat, rapat-rapat yang berkala), dan mendirikan suatu sekolah dengan cara-cara yang
banyak sedikitnya telah modern.

Ia menyadari bahwa usaha perbaikan masyarakat itu tidak mudah jika dilaksanakan
sendirian jadi harus berorganisasi dan bekerja sama dengan orang lain. Selain di Budi
Utomo KHA. Dahlan berkinginan untuk mengajar di Kweekschool Gubernamen Jetis
yang dikepalai oleh R. Boediharjo yang juga pengurus dari Budi Utomo. Ia mengajar
setiap sabtu sore dengan metode induktif, ilmiah, naqliah dan Tanya jawab dan ternyata
sangat menarik minat murid-muri di sana. Dengan pengalaman mengajar di
Kweekschoolselam setahun ia terdorong untuk mendirikan sekolah di rumahnya dengan
peralatan seadanya. Mula-mula mendapatkan delapan orang murid dan setiap bulan
bertambah tiga orang. Pada awal bulan keenam muridnya menjadi duapuluh orang, ia
sendiri yang menjadi guru agamanya mengajar pada waktu pagi. Setelah mendapat
bantuan guru dari pengurus Budi Utomo cabang Yogyakarta untuk mengajarkan ilmu-
ilmu sekolah biasa sekolah tersebut masuk siang pukul 14.00 sampai pukul 16.00. Sejak
itu muridnya bertambah sehingga kelasnya harus dipindah ke serambi rumah yang lebih
luas. Pada tanggal 1 Desember 1911 sekolah tersebut diresmikan dengan nama Sekolah

4
Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah berdirinya sekolah tersebut mendapat reaksi kersa dari
masyarakat namun KHA. Dahlan hanya membalas dengan senyuman.

Sebagai seorang yang sangat hati-hati dalam kehidupan sehari-harinya, ada sebuah
nasehat yang ditulisnya dalam bahasa Arab untuk dirinya sendiri, yaitu :

“Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan
mengejutkan engkau, yang pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu
melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya. Wahai
Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri bersama Allah,
sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan dari
sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan
tinggalkanlah lainnya (diterjemahkan oleh Djarnawi Hadikusumo).

Dari pesan itu tersirat sebuah semangat yang besar tentang kehidupan akhirat. Dan untuk
mencapai kehidupan akhirat yang baik, maka Dahlan berpikir bahwa setiap orang harus
mencari bekal untuk kehidupan akhirat itu dengan memperbanyak ibadah, amal saleh,
menyiarkan dan membela agama Allah, serta memimpin ummat ke jalan yang benar dan
membimbing mereka pada amal dan perjuangan menegakkan kalimah Allah. Dengan
demikian, untuk mencari bekal mencapai kehidupan akhirat yang baik harus mempunyai
kesadaran kolektif, artinya bahwa upaya-upaya tersebut harus diserukan (dakwah) kepada
seluruh ummat manusia melalui upaya-upaya yang sistematis dan kolektif.

1. Ide-ide Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan

Pada tahun 1912 K.H Ahmad Dahlan memutuskan untuk mendirikan Persyarikatan
Muhammadiyah. Ia bermaksud agar gagasan dan pokok-pokok pikiran beliau dapat
diwujudkan melalui persyarikatan yang beliau dirikan. Beliau menyadari bahwa gagasan
dan pokok-pokok pikiran itu tidak mungkin dapat diwujudkan oleh orang seorang secara
sendiri-sendiri termasuk oleh beliau sendiri, tetapi harus oleh sekelompok orang yang
menyetujui gagasan dan pokok-pokok pikiran beliau untuk membentuk sebuah organisasi
yang diberi nama Muhammadiyah. Atas dasar ini dapat difahami, kalau apa yang semula
merupakan gagasan dan pokok-pokok pikiran pribadi K.H. A.Dahlan itu dikemudian
diintegrasikan menjadi gagasan dan pokok-pokok pikiran Muhammadiyah.

Dia memulai oganisasi dengan bentuk modern dengan masyarakat islam (dengan
anggaran dasar, daftar anggota yang tercatat, rapat-rapat berkala), dan mendirikan suatu
sekolah dengan cara-cara banyak sedikitnya modern.(Deliar Noer: op.cit). Dari
pengalaman itu, ia menyadari bahwa usaha perbaikan masyarakat itu tidak mudah jika
dilaksanakan sendrian. Jadi harus berorganisasi bekerjasama dengan orang banyak. Usaha
pendidikan itu pada suatu ketika setelah selesai memyampaikan santapan rohani pada
rapat pengurus Budi Utomo cabang Yogyakarta, ia menyampaikan keinginan
mengajarkan agama islam kepada para siswa Kweekschool Gubernamen Jetis yang
dikepalai oleh R.Boediharjo, yang juga menjadin anggota pengurus Budi Utomo. Dan hal
ini disetujui, asal diluar pelajaran resmi. (Sosrosugondo, KHA.Dahlan, bapak dan pendiri
muhammadiyah, Bag.III Adil No.5o,1939) Pelaksanaanya pada setiap sabtu sore dengan
metode induktif, ilmiah, naqliah dan tanya jawab. Dari pesan itu tersirat sebuah semangat
yang besar tentang kehidupan akhirat. Dan untuk mencapai kehidupan akhirat yang baik,

5
maka Dahlan berpikir bahwa setiap orang harus mencari bekal untuk kehidupan akhirat
itu dengan memperbanyak ibadah, amal saleh, menyiarkan dan membela agama Allah,
serta memimpin ummat ke jalan yang benar dan membimbing mereka pada amal dan
perjuangan menegakkan kalimah Allah. Dengan demikian, untuk mencari bekal mencapai
kehidupan akhirat yang baik harus mempunyai kesadaran kolektif, artinya bahwa upaya-
upaya tersebut harus diserukan (dakwah) kepada seluruh ummat manusia melalui upaya-
upaya yang sistematis.

Sesuai dengan pendirin dan sikap K.H A.Dahlan yang lebih suka mewujudkan gagasan
dan pokok-pokok pikirannya melalui tindakan nyata daripada melalui pembicaraan dan
tulisan, maka pada awal perjalanannya, Muhammadiyah sangat miskin dengan rumusan
formal mengenai apa yang menjai gagasan dan pokok-pokok pikiranyang ingin
diperjuangkan dan diwujudkan. Rumusan formal yang ada barangkali hanya dijumpai
pada Anggaran Dasar atau Statuta Muhammadiyah.

Pada proses perjalanannya, setelah Muhammadiyah mengalami perkembangan yang


sangat pesat, baik secara vertical maupun horizontal, dengan permasalahan dan tantangan
yang semakin bertambah berat dan kompleks, maka dirasa perlu pelembagaan gagasan
dan pokok-pokok pikiran itu dalam rumusan formal, yang dihasilkan melalui forum-
forum permusyawaratan yang bersifat legislasi, seperti Muktamar dan Tanwir.

Secara garis besar, pokok pokok pikiran formal itu dapat dikelompokkan menjadi dua
jenis pokok pikiran, yaitu pokok pikiran yang bersifat ideologis dan strategis.

Pokok Pikiran yang bersifat Ideologis

Pokok pokok pikiran yang dapat dikategorikan sebagai pokok pikiran yang bersifat
Ideologis, antara lain:

a. Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah(1951)


b. Kepribadian Muhammadiyah(1961)
c. Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah(1969), dan
d. Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah(2000).

Keempat pokok pikiran yang bersifat Ideologis ini adalah sumber dari prinsip ajaran
Islam. Oleh karena itu substansinya bersifat tetap dan tidak berubah. Yang perlu
barangkali, adalah melakukan pembaharuan maknanya, sehingga substansi pokok
pikkiran itu tetap relevan dan komunikatif sepanjang waktu tanpa mengubah, merevisi,
atau mengganti nilai-nilai dasar yang terkandung didalamnya.

Pokok Pikiran yang bersifat Strategis

Pokok pokok pikiran yang dapat dikategorikan sebagai pokok pikiran yang bersifat
Strategis,adalah berupa Khittah Perjuangan Muhammadiyah, antara lain:

a. Langkah Muhammadiyah(1938-1940)
b. Khittah Muhammadiyah(Khittah Palembang)th 1956-1959
c. Khittah Ponorogo(1969), Surabaya(1978), dan Ujung Pandang(1971)

6
d. Khittah Muhammadiyah dalam berbangsa dan bernegara(2002)

Pokok pokok pikiranyang bersifat strategis yang dalam tradisi Persyarikatan disebut Khitah
Perjuangan, ia bersifat dinamis. Artinya Khittah Perjuangan itu dapat diubah, sesuai dengan
terjadinya perubahan situasidan kondisi yang dihadapi Muhammadi

2. Siti Walidah (Nyai Ahmad Dahlan) - Tokoh Pendiri Aisyiyah

Siti Walidah atau lebih dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan, lahir pada tahun 1872 di
Kampung Kauman, Yogyakarta. Anak keempat dari tujuh bersaudara ini adalah
keturunan dari Muhammad Fadil, pemuka Agama Islam dan Penghulu resmi Keraton.

Karena alasan adat yang ketat yang berlaku di lingkungan keraton ia menjadi puteri
'pingitan' hingga datang saatnya untuk menikah. Karena pingitan ini, pergaulannya pun
sangat terbatas. Ia tidak menempuh pendidikan di sekolah formal. Dengan bimbingan
orang tuanya, Siti Walidah belajar Alquran dan kitab-kitab agama berbahasa Arab Jawa
(pegon). Ia adalah sosok yang sangat giat menuntut ilmu, terutama ilmu-ilmu keislaman.

Pada 1889 Siti Walidah menikah dengan sepupunya, Muhammad Darwis nama kecil
Kyai Ahmad Dahlan. Setelah menikah, ia mengikuti segala hal yang diajarkan oleh
suaminya. Bahkan, ia kemudian mengikuti jejak KH Ahmad Dahlan menggerakkan
Muhammadiyah, yang didirikan KH A Dahlan pada tahun 1912. Saat Ahmad Dahlan
sedang sibuk-sibuknya mengembangkan Muhammadiyah saat itu, Nyai Ahmad Dahlan
mengikuti suaminya dalam perjalanannya. Namun, karena beberapa dari pandangan
Ahmad Dahlan tentang Islam dianggap radikal, pasangan ini kerap kali menerima
ancaman. Misalnya, sebelum perjalanan yang dijadwalkan ke Banyuwangi, Jawa Timur
mereka menerima ancaman pembunuhan dari kaum konservatif di sana.

7
Meskipun tak pernah mengenyam pendidikan umum, Nyai Ahmad Dahlan mempunyai
pandangan yang luas. Hal itu disebabkan karena kedekatannya dengan tokoh-tokoh
Muhammadiyah dan tokoh pemimpin bangsa lainnya. . Mereka antara lain adalah
Jenderal Sudirman, Bung Tomo, Bung Karno, Kyai HajiMas Mansyur, dan lainnya. Dia
tidak merasa rendah diri terhadap mereka, bahkan pada berbagai kesempatan, ia selalu
menyampaikan nasihat-nasihat yang sangat bernilai.

Keterlibatannya dengan Muhammadiyah dimulai saat ia turut merintis kelompok


pengajian wanita Sopo Tresno, yang artinya 'siapa cinta' tahun 1914. Kegiatan Sopo
Tresno berupa pengkajian agama. Dia dan suaminya bergantian memimpin kelompok
tersebut dalam membaca Al Qur'an dan mendiskusikan maknanya. Segera ia mulai
berfokus pada ayat-ayat Al Qur'an yang membahas isu-isu perempuan. Dengan kegiatan
tersebut diharapkan akan timbul suatu kesadaran bagi kaum wanita tentang
kewajibannya sebagai manusia, isteri, hamba Allah, serta sebagai warga negara.
Kegiatan ini juga memperlambat Kristenisasi di Jawa melalui sekolah yang disponsori
oleh pemerintah kolonial.

Kelompok pengajian ini berjalan lancar dan anggotanya terus menerus bertambah. Nyai
Ahmad Dahlan kemudian berpikir untuk mengembangkan Sopo Tresno menjadi sebuah
organisasi kewanitaan berbasis Agama Islam yang mapan. Akhirnya diadakan
pertemuan di rumah rumah Nyai Ahmad Dahlan, yang dihadiri oleh Kyai Muhtar, Kyai
Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusuma, KH Fakhruddin, dan pengurus Muhammadiyah
lainnya.

Nama pertama sekali diusulkan adalah ‘Fatimah’ tetapi tidak disetujui oleh para tokoh
yang hadir. Kemudian oleh almarhum Haji Fakhrudin dicetuskan nama "Aisyiyah",
diambil dari nama isteri Nabi Muhammad, yakni Aisyah. Dan usul tersebut disetujui dan
diterima tokoh yang hadir.

Akhirnya dipilihlah nama Aisyah sebagai organisasi Islam bagi kaum wanita. Tepat pada
malam peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW pada 22 April 1917, organisasi
tersebut resmi didirikan dan Nyai Ahmad Dahlan kemudian tampil sebagai ketuanya.
Dan pada tahun 1922, Aisyiyah resmi menjadi bagian dari Muhammadiyah.

Melalui Aisyiyah, Nyai Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah putri dan asrama,
serta keaksaraan dan program pendidikan Islam bagi perempuan. Kelompok ini
menyebar sampai ke pelosok Indonesia yang kemudian mendorong berdirinya
perwakilan organisasi ‘Aisyiyah. Ia bersama-sama dengan pengurus Aisyiyah, sering
mengadakan perjalanan ke luar daerah sampai ke pelosok desa untuk menyebarluaskan
ide-idenya. Ia pun kerap mendatangi cabang-cabang Aisyiyah seperti Boyolali,
Purwokerto, Pasuruan, Malang, Kepanjen, Ponorogo, Madiun, dan sebagainya.
Karenanya, meskipun sudah tidak duduk dalam kepengurusan Aisyiyah, organisasi itu
menganggap Nyai A Dahlan adalah Ibu Aisiyah dan juga Ibu Muhammadiyah.

Nyai Ahmad Dahlan terus aktif di Muhammadiyah dan Aisyiyah, walaupun suaminya
sudah meninggal (1923). Pada tahun 1926, ia memimpin Kongres Muhammadiyah ke-15

8
di Surabaya. Saat itu, dalam sidang 'Aisyiyah yang dipandunya, duduk puluhan pria di
samping mimbar. Mereka adalah wakil pemerintah, perwakilan organisasi yang belum
mempunyai bagian kewanitaan, dan wartawan. Seluruh pembicara dalam sidang itu
adalah kaum perempuan, hal yang tidak 'lumrah' pada masa itu.

Nyai Ahmad Dahlan meninggal pada tanggal 31 Mei 1946 dan dimakamkan di belakang
Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta . Hadir pada saat pemakaman, sebagai wakil
pemerintah, Sekretaris Negara, Abdoel Gaffar Pringgodigdo dan Menteri Agama, Rasjidi
.

Untuk menghormati jasa-jasanya dalam menyebarluaskan Agama Islam dan mendidik


kaum perempuan, pada Hari Pahlawan 10 Nopember 1971 di Istana Presiden Negara
Jakarta, presiden menyerahkan secara resmi SK pengukuhannya sebagai Pahlawan
Nasional. Penghargaan itu diterima salah seorang cucunya, Ny M Wardan, isteri KHM
Wardan, salah seorang ketua PP Muhammadiyah pada waktu itu.

3. Buya Hamka

Buya HAMKA (1908 – 1984), HAMKA adalah akronim dari Haji Abdul Malik Karim
Amarullah. Beliau dilahirkan di Maninjau Sumatera Barat pada tanggal 16 Pebruari
1908. Tahun 1928 menjadi peserta muktamar Muhammadiyah di Solo dan sejak itu terus
aktif di Muhammadiyah. Menjadi anggota PP Muhammadiyah mulai tahun 1953 – 1971
dan meninggal sebagai penasehat PP Muhammadiyah. Pada masa orde lama pernah aktif
sebagai anggota Konstituante hasil pemilu I tahun 1955 mewakili partai Masyumi jawa
Tengah. Sewaktu di penjara di masa orde lama belaiu menyelesaikan karyanya yang
paling monumental yaitu tafsir Al Azhar. Ketika MUI terbentuk pada tahun 1957 beliau
menjadi ketua umum yang pertama dan juga pada periode kedua pada tahun 1980, tetapi

9
kemudian mengundurkan diri karena fatwanya tentang haramnya mengikuti natalan
bersama ditentang oleh pemerintah.

Hamka lahir pada 17 Februari 1908 di Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, dari
pasangan Dr. H. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan Siti Safiyah Binti Gelanggar
yang bergelar Bagindo nan Batuah. Hamka mewarisi darah ulama dan pejuang yang
kokoh pada pendirian dari ayahnya yang dikenal sebagai ulama pelopor Gerakan Islah
(tajdid) di Minangkabau serta salah satu tokoh utama dari gerakan pembaharuan yang
membawa reformasi Islam (kaum muda).

Nama Hamka sendiri merupakan akronim dari namanya, Haji Abdul Malik Karim
Amrullah, sedangkan sebutan Buya adalah panggilan khas untuk orang Minangkabau.
Kata Buya sebenarnya berasal dari kata abi, atau abuya dalam bahasa Arab yang berarti
ayahku atau orang yang dihormati.

Jika banyak tokoh berpengaruh yang bertahun-tahun menimba ilmu di sekolah formal,
tidak demikian halnya dengan Hamka. Pendidikan formal yang ditempuhnya hanya
sampai kelas dua Sekolah Dasar Maninjau. Setelah itu, saat usianya menginjak 10 tahun,
Hamka lebih memilih untuk mendalami ilmu agama di Sumatera Thawalib di Padang
Panjang, sekolah Islam yang didirikan ayahnya sekembalinya dari Makkah sekitar tahun
1906.

Di sekolah itu, Hamka mulai serius mempelajari agama Islam serta bahasa Arab. Sejak
kecil Hamka memang dikenal sebagai anak yang haus akan ilmu. Selain di sekolah, ia
juga menambah wawasannya di surau dan masjid dari sejumlah ulama terkenal seperti
Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki
Bagus Hadikusumo.

Pada tahun 1924, Hamka yang ketika itu masih remaja sempat berkunjung ke Pulau
Jawa. Di sana ia banyak menimba ilmu pada pemimpin gerakan Islam Indonesia
diantaranya Haji Omar Said Chakraminoto, Haji Fakharudin, Hadi Kesumo bahkan pada
Rashid Sultan Mansur yang merupakan saudara iparnya sendiri.

Selanjutnya pada 1927, berbekal ilmu agama yang didapatnya dari berbagai tokoh Islam
berpengaruh tadi, Hamka memulai karirnya sebagai Guru Agama di Perkebunan
Tebingtinggi, Medan. Dua tahun kemudian, ia mengabdi di Padang masih sebagai Guru
Agama. Masih di tahun yang sama, Hamka mendirikan Madrasah Mubalighin. Bukan
hanya dalam hal ilmu keagamaan, Hamka juga menguasai berbagai bidang ilmu
pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, Asisten Wakil Presiden Urusan
Kesejahteraan Rakyat (1978-1983) sosiologi dan politik. Yang menarik, semua ilmu tadi
dipelajarinya secara otodidak tanpa melalui pendidikan khusus. John L. Espito dalam
Oxford History of Islam bahkan menyejajarkan sosok Hamka dengan Sir Muhammad
Iqbal, Sayid Ahmad Khan dan Muhammad Asad.

Hamka juga pernah menekuni bidang jurnalistik dengan berkarir sebagai Lihat Daftar
Wartawan

10
wartawan, penulis, editor dan penerbit sejak awal tahun 1920an. Ia tercatat pernah
menjadi Lihat Daftar Wartawan-wartawan berbagai surat kabar, yakni Pelita Andalas,
Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Pendiri Muhammadiyah 1912

Muhammadiyah.Di sela kegiatannya sebagai jurnalis, Hamka memulai kiprahnya di


dunia politik dengan menjadi anggota partai Ketua Sarekat Islam (SI)

Sarekat Islam pada tahun 1925. Di waktu yang hampir bersamaan, ia ikut mendirikan
Pendiri Muhammadiyah 1912

Muhammadiyah untuk menentang khurafat, bidaah dan kebatinan sesat di Padang


Panjang. Selanjutnya Hamka terlibat dalam kepengurusan organisasi Islam tersebut dari
tahun 1928 hingga 1953.

Bersama dengan KH Fakih Usman

Menteri agama dalam Kabinet Wilopo 1952), Hamka menerbitkan majalah tengah
bulanan Panji Masyarakat pada Juli 1959. Majalah ini menitikberatkan soal-soal
kebudayaan dan pengetahuan agama Islam. Majalah ini kemudian dibredel pada 17
Agustus 1960 dengan alasan memuat karangan Dr Muhammad Hatta berjudul
'Demokrasi Kita', yang isinya mengkritik tajam konsep Demokrasi Terpimpin. Majalah
ini baru terbit kembali setelah Orde Lama tumbang, tepatnya pada 1967. Hamka sendiri
dipercaya sebagai pimpinan umum majalah Panji Masyarakat hingga akhir hayatnya.

Hamka juga pernah menjadi editor di majalah Pedoman Masyarakat dan Gema Islam.
Pada tahun 1928 hingga 1932, Hamka pernah menjadi editor sekaligus penerbit dari dua
media yang berbeda, yakni majalah Kemajuan Masyarakat yang terbit hanya beberapa
nomor serta majalah al-Mahdi di Makasar.

Di sela kegiatannya sebagai jurnalis, Hamka memulai kiprahnya di dunia politik dengan
menjadi anggota partai Ketua Sarekat Islam (SI)

Sarekat Islam pada tahun 1925. Di waktu yang hampir bersamaan, ia ikut mendirikan
Pendiri Muhammadiyah 1912

Muhammadiyah untuk menentang khurafat, bidaah dan kebatinan sesat di Padang


Panjang. Selanjutnya Hamka terlibat dalam kepengurusan organisasi Islam tersebut dari
tahun 1928 hingga 1953. Mulai tahun 1928, ia mengetuai cabang Muhammadiyah di
Padang Panjang. Setahun kemudian, ia mendirikan pusat latihan pendakwah
Muhammadiyah. Pada 1931, ia menjabat sebagai konsul Muhammadiyah di Makassar.

Lima tahun berselang, usai menjabat sebagai Konsul Muhammadiyah, Hamka pindah ke
Medan. Kemudian di tahun 1945, ia kembali ke kampung halamannya di Sumatera
Barat. Saat itulah, bakatnya sebagai pengarang mulai tumbuh. Buku pertama yang
dikarangnya berjudul Khathibul Ummah, yang kemudian disusul dengan sederet judul
lain yakni Revolusi Fikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi,
Negara Islam, Sesudah Naskah Renville, Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman, Dari

11
Lembah Cita-Cita, Merdeka, Islam dan Demokrasi, Dilamun Ombak Masyarakat, dan
Menunggu Beduk Berbunyi.

Saat perang revolusi, Hamka juga turut berjuang mengusir penjajah. Lewat pidato, ia
mengobarkan semangat para pejuang untuk merebut kedaulatan negara. Dalam kisah
perjuangannya, Hamka juga pernah ikut serta menentang kembalinya Belanda ke
Indonesia dengan bergerilya di dalam hutan di Medan. Selain didorong rasa cinta pada
Tanah Air yang demikian besar, semangat perjuangan Hamka juga senantiasa berkobar
tiap kali mengingat pesan ayahnya yang diucapkan ketika Muktamar Muhammadiyah
tahun 1930 di Bukittinggi, "Ulama harus tampil ke muka masyarakat, memimpinnya
menuju kebenaran."

Pasca kemerdekaan, Konferensi Muhammadiyah memilih Hamka untuk menduduki


posisi ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat menggantikan S.Y.
Sutan Mangkuto di tahun 1946. Lalu pada 1947, ia menjabat sebagai ketua Barisan
Pertahanan Nasional yang beranggotakan Chatib Sulaeman, Udin, Rangkayo Anggota
DPA 1959-1965

Rasuna Said dan Karim Halim. Hamka juga mendapat amanat dari Wakil Presiden
Proklamator, Wakil Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1956)

Mohammad Hatta untuk menjabat sebagai sekretaris Front Pertahanan Nasional.

Pada tahun 1953, Hamka terpilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada
tahun 1951-1960, Hamka mendapat mandat dari Lihat Daftar Menteri

Menteri Agama Indonesia untuk duduk sebagai Pejabat Tinggi Agama. Namun
belakangan, ia lebih memilih untuk mengundurkan diri sebab pada waktu itu
Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966)

Presiden Soekarno memintanya memilih antara menjadi pegawai negeri atau berkiprah
di dunia politik.

Pada tahun 1955, Hamka memang tercatat sebagai anggota konstituante Majelis Syuro
Muslimin Indonesia (Masyumi) dan berpidato dalam Pemilu Raya di tahun yang sama.
Meskipun pada akhirnya, partai yang didirikan di Wakil Presiden Republik Indonesia
(1972-1978)
Yogyakarta pada 7 November 1945 itu dibubarkan Proklamator, Presiden Republik
Indonesia Pertama (1945-1966)

Presiden Soekarno di awal tahun 1960. Pada dekade 1950-an, politik seakan menjadi
"panglima", menyikapi kenyataan tersebut, Hamka pernah menyampaikan
pernyataannya yang melukiskan martabat sebagai pemimpin umat, "Kursi-kursi banyak,
dan orang yang ingin pun banyak. Tetapi kursiku adalah buatanku sendiri," kata Hamka
seperti dikutip dari situs Republika.co.id

12
Hamka kembali ke dunia pendidikan pada tahun 1957 setelah resmi diangkat menjadi
dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang.
Karirnya sebagai pendidik terus menanjak, setelah ia terpilih sebagai rektor pada
Perguruan Tinggi Islam, Jakarta, kemudian dikukuhkan sebagai guru besar di
Universitas Moestopo, Jakarta, dan Universitas Islam Indonesia, Wakil Presiden
Republik Indonesia (1972-1978)

Yogyakarta. Di samping sering memberi kuliah di berbagai perguruan tinggi, Hamka


juga menyampaikan dakwahnya melalui Kuliah Subuh RRI Jakarta dan Mimbar Agama
Islam TVRI yang diminati jutaan masyarakat Indonesia di masa itu.

Menjelang tumbangnya rezim Orde Lama, persisnya tahun 1964, Hamka pernah
mendekam di penjara selama dua tahun karena dituduh pro-Malaysia. Meski secara fisik
ia terkurung, Hamka terus berkarya. Jika kebanyakan orang usai menjalani hukuman
sebagai tahanan politik lebih memilih untuk mengeluarkan buku kecaman terhadap
rezim penguasa, tak demikian halnya dengan Hamka. Ia justru menghasilkan mahakarya
yang membuat namanya tersohor hingga ke mancanegara, yakni tafsir Al Quran yang
diberi nama Tafsir Al-Azhar, sesuai dengan nama masjid tempat Hamka selalu
memberikan kuliah subuh. Tafsir Al-Azhar yang berisi terjemahan Al-Quran sebanyak
30 juz lengkap itu merupakan satu-satunya Tafsir Al Qur'an yang ditulis oleh ulama
melayu dengan gaya bahasa yang khas dan mudah dicerna. Diantara ratusan judul buku
mengenai agama, sastra, filsafat, tasauf, politik, sejarah dan kebudayaan yang melegenda
hingga hari ini, bisa dibilang Tafsir Al-Azhar adalah karya Hamka yang paling
fenomenal.

Di samping dikenal sebagai ulama dan Lihat Daftar Tokoh Politisi

Politisi berpengaruh, sejarah juga mencatat Hamka sebagai seorang sastrawan yang
cerdas. Dengan kemampuan bahasa Arabnya yang mumpuni, ia dapat mendalami karya
para ulama dan pujangga besar asal Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan,
Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Tak hanya itu, ia juga dapat
meneliti karya sarjana Barat seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud,
Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti.

Hamka juga banyak menyampaikan pemikirannya tentang Islam lewat sejumlah


bukunya yang antara lain berjudul Agama dan Lihat Daftar Tokoh Perempuan-
perempuan, Pembela Islam, Adat Minangkabau dan Agama Islam, Kepentingan Tabligh,
Ayat-Ayat Mi'raj, dan masih banyak lagi. Sementara dalam hal agama dan filsafat,
Hamka juga mengarang beberapa buku yang diberi judul Tasauf Moderen, Falsafat
Hidup, Lembaga Hidup, Lembaga Budi, Pedoman Muballigh Islam, dan lain-lain.

Tak hanya piawai menghasilkan karya yang bernafaskan Islam, Hamka juga cukup
produktif menghasilkan beberapa karya sastra kreatif seperti novel, diantaranya
Tenggelamnya Kapal Van Der Wickj , Merantau ke Deli, serta novel terbitan tahun
1936, Di Bawah Lindungan Ka'bah, yang telah dua kali diangkat dalam film layar lebar.
Karya-karya Hamka bahkan tidak hanya dipublikasikan oleh penerbit nasional sekelas

13
Balai Pustaka dan Pustaka Bulan Bintang melainkan juga diterbitkan di beberapa negara
Asia Tenggara bahkan dirilis di berbagai situs, blog dan media informasi lainnya.

Hebatnya lagi, hasil karya Hamka menjadi buku teks sastra di luar negeri seperti
Malaysia dan Singapura. Banyak warga Malaysia yang mengagumi karakter, pemikiran
dan perjuangan Ulama, Politisi dan Sastrawan Besar

Buya Hamka bahkan menjadikannya sebagai salah satu soko guru agama Islam di tanah
Melayu.Pada tahun 1974, Hamka menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas
Kebangsaan Malaysia dari pemerintah Malaysia melalui Perdana Lihat Daftar Menteri

Menteri Tun Abdul Razak sebagai bentuk penghargaan atas pemikiran dan
sumbangsihnya dalam memajukan perkembangan agama Islam, serta kegigihannya
dalam berdakwah terutama di tanah Melayu. Karena dedikasinya di bidang dakwah,
gelar yang sama juga pernah diberikan Universitas Al Azhar pada Hamka yang
membawakan pidato ilmiah berjudul "Pengaruh Ajaran dan Pikiran Syekh Mohammad
Abduh di Indonesia". Pemerintah Indonesia sendiri pernah memberinya gelar Datuk
Indono dan Pengeran Wiroguno.

Tak hanya lewat tulisan, Hamka juga menunjukkan akhlak mulia dan suri tauladan bagi
para pengikutnya, salah satunya secara terbuka memaafkan semua orang yang pernah
menyakitinya. Misalnya pada 21 Juni 1970 ketika Lihat Daftar Presiden Republik
Indonesia
Presiden RI pertama Ir. Soekarno wafat, ia bertindak sebagai imam shalat jenazahnya.
Tak ada sedikit pun rasa dendam atau sakit hati dalam dirinya, bahkan konon Hamka
sempat menitikkan airmata begitu mendengar berita kepergian Sang Proklamator.
Setelah sholat jenazah, ia berkata kepada jenazah Soekarno, "Aku telah doakan engkau
dalam sholatku supaya Allah memberi ampun atas dosamu. Aku bergantung kepada janji
Allah bahwa walaupun sampai ke lawang langit timbunan dosa, asal memohon ampun
dengan tulus, akan diampuni-Nya".

Pada awal dekade 70-an, Hamka mengingatkan umat Islam terhadap tantangan al-
ghazwul fikri (penjajahan alam pikiran). Menurut Hamka, penjajahan alam pikiran
beriringan dengan penghancuran akhlak dan kebudayaan di negeri-negeri Islam.
Sekularisasi atau sekularisme adalah setali tiga uang dengan ghazwul fikr yang
dilancarkan dunia Barat untuk menaklukkan dunia Islam, setelah kolonialisme politik
dalam berbagai bentuk, gagal.

Cap sebagai mantan narapidana juga tak membuat kharisma seorang Hamka luntur
begitu saja. Usai menjalani hukuman, ia masih mendapat kepercayaan untuk mengemban
sejumlah jabatan, diantaranya menjadi anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional
Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan
Nasional, Indonesia.

Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama RI Prof. Dr. Mukti Ali mempercayakan jabatan
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Hamka. Berbagai pihak waktu itu sempat

14
ragu apakah Hamka mampu menghadapi intervensi kebijakan pemerintah Presiden
Republik Indonesia Kedua (1966-1988)
Orde Baru kepada umat Islam yang saat itu berlangsung dengan sangat massif. Hamka
rupanya berhasil menepis keraguan itu dengan memilih masjid Al-Azhar sebagai pusat
kegiatan MUI ketimbang harus berkantor di Masjid Istiqlal. Istilahnya yang terkenal
waktu itu adalah kalau tidak hati-hati nasib ulama itu akan seperti kue bika , yakni bila
MUI terpanggang dari atas (pemerintah) dan bawah (masyarakat) terlalu panas, maka
situasinya akan menjadi sulit. Bahkan bukan tidak mungkin, MUI bisa mengalami
kemunduran serius.

Usaha Hamka untuk mewujudkan MUI sebagai lembaga yang independen kian terasa
kental pada awal dekade 80-an. Lembaga ini berani melawan arus dengan mengeluarkan
fatwa mengenai persoalan perayaan Natal bersama. Ulama, Politisi dan Sastrawan Besar

Buya Hamka menyatakan haram bila ada umat Islam mengikuti perayaan keagamaan itu.
Adanya fatwa tersebut kontan membuat publik geger. Terlebih ketika itu pemerintah
tengah gencar mendengungkan isu toleransi.

Berbagai instansi waktu itu ramai mengadakan perayaan natal. Bila ada orang Islam
yang tidak bersedia ikut merayakan natal maka mereka dianggap orang berbahaya,
fundamentalis, dan anti Pancasila. Umat Islam pun merasa resah, keadaan itulah yang
kemudian memaksa MUI mengeluarkan fatwa. Fatwa tersebut bukan tanpa risiko.
Sebagai orang yang dianggap paling bertanggung jawab atas keluarnya fatwa tersebut,
Ulama, Politisi dan Sastrawan Besar

Buya Hamka pun menuai kecaman dari berbagai pihak tak terkecuali pemerintah. MUI
ditekan dengan gencar melalui berbagai pendapat di media massa yang menyatakan
bahwa keputusan itu hanya akan mengancam persatuan negara.

Akhirnya pada 21 Mei 1981, Hamka meletakkan jabatan sebagai Ketua MUI daripada
harus mencabut fatwa tersebut. Sebagai pengawal akidah umat, Hamka menyampaikan
masukan kepada Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988)

Presiden Soeharto mengenai persoalan Kristenisasi. Sikap Presiden Republik Indonesia


Kedua (1966-1988)

Soeharto pun sejalan dengan pandangan MUI bahwa jika hendak menciptakan
kerukunan beragama, maka orang yang sudah beragama jangan dijadikan sasaran untuk
propaganda agama yang lain.

Namun tak dipungkiri, keteguhan Hamka dalam mempertahankan prinsipnya, berhasil


membangun citra MUI sebagai lembaga yang mewakili suara umat Islam. Seperti yang
pernah disampaikan Mantan Menteri Agama H.A. Mukti Ali seperti dikutip dari situs
Republika.co.id, "Berdirinya MUI adalah jasa Hamka terhadap bangsa dan negara.
Tanpa Buya, lembaga itu tak akan mampu berdiri."

15
Dua bulan setelah pengunduran dirinya itu, Hamka dilarikan ke rumah sakit karena
komplikasi penyakit kencing manis, gangguan jantung, radang paru-paru, dan gangguan
pada pembuluh darah yang dideritanya. Setelah tiga hari menjalani perawatan di ruang
(ICU) RS Pusat Pertamina, Hamka akhirnya menghadap Sang Khalik di usia 73 tahun
pada hari Jumat, 24 Juli 1981 pukul 10.41. Setelah disholatkan di Masjid Al-Azhar,
jenazahnya kemudian dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta.

Atas jasa-jasanya pada negara, Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988)


Presiden Soeharto menganugerahkannya Bintang Mahaputera Utama pada tahun 1993.
Kemudian di tahun 2011, Presiden Presiden Republik Indonesia Keenam (2004-2014)
Susilo Bambang Yudhoyono memberi gelar Lihat Daftar Pahlawan Nasional
pahlawan Nasional pada Hamka berdasarkan surat Keputusan Presiden Nomor
113/TK/2011. Pemberian gelar tersebut disambut dengan rasa bangga oleh pihak
keluarga Hamka, "Kami, keluarga mengucapkan terima kasih kepada pemerintah dan
beliau itu sejak awal sudah jadi Lihat Daftar Pahlawan Nasional
pahlawan bagi kami," kata anak kesepuluh Buya Hamka, Afif Hamka kepada wartawan.

Ulama cerdas nan kharismatik itu memang telah berpulang ke rahmatullah, namun
pengabdian dan sumbangannya dalam membangun kesadaran umat Islam dan cita-cita
bangsa tetap dikenang dan menjadi inspirasi bagi generasi masa kini. Cendekiawan
sekaligus budayawan, Dr. Rektor Universitas Paramadina Mulya, Jakarta 1998-2005

Nurcholish Madjid dalam buku 70 Tahun Buya Hamka (1978) mencatat peranan dan
ketokohan Hamka sebagai figur sentral yang telah berhasil ikut mendorong terjadinya
mobilitas vertikal atau gerakan ke atas agama Islam di Indonesia, dari suatu agama yang
"berharga" hanya untuk kaum sarungan dan pemakai bakiyak di zaman kolonial menjadi
agama yang semakin diterima dan dipeluk dengan sungguh-sungguh oleh "kaum atas"
Indonesia merdeka. Hamka berhasil merubah postur kumal seorang kiai atau ulama
Islam menjadi postur yang patut menimbulkan rasa hormat dan respek. Cak Nur lebih
lanjut mengutarakan, melihat keadaan lahiriah yang ada sekarang, sulit membayangkan
bahwa di bumi Indonesia akan lahir lagi seorang imam dan ulama yang menyamai Buya
Hamka.

Sayangnya, banyak generasi muda yang tak mengenal sosoknya apalagi mengkaji
ketokohannya. Nama besar Hamka justru lebih dihormati negara tetangga. Hal itu bisa
dilihat dari kunjungan masyarakat ke Museum Buya Hamka yang lebih didominasi
wisatawan Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam ketimbang wisatawan lokal.
Memang amat disayangkan, entah karena kurangnya promosi, museum yang terletak di
tepi Danau Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatra Barat dan diresmikan pada 11
November 2001 oleh H. Zainal Bakar, Gubernur Sumatera Barat masa itu, ternyata tak
begitu menarik hati masyarakat Indonesia.

Sebagai bukti penghargaan yang tinggi dalam bidang keilmuan, Muhammadiyah


mengabadikan namanya menjadi nama sebuah perguruan tinggi yang berada di Wakil
Presiden Republik Indonesia (1972-1978)

16
Yogyakarta dan Jakarta, yakni Universitas Hamka (UHAMKA). Akhir tahun 2007,
sebuah panitia yang dibentuk oleh Universitas Prof Dr Hamka Jakarta telah
menyelenggarakan beberapa kegiatan penting dalam rangka 100 tahun Buya Hamka di
Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru Jakarta Selatan, salah satunya adalah
meluncurkan buku 100 tahun Buya Hamka.

4. Ki Bagus Hadikusumo

Ki Bagus Hadikusumo (1890 – 1954), nama kecilnya Hidayat, lahir di Kauman


Yogyakarta tanggal 24 Nopember 1890 dan wafat 3 September 1954 (usia 64 tahun).
Menjadi ketua PP Muhammadiyah tahun 1942-1953. Menjadi anggota BPUPKI yang
dibentuk pada tanggal 29 April 1945 dan menjadi salah satu dari 15 anggota yang
menuntut agar Islam dijadikan sebagai dasar Negara. Beliau adalah tokoh
Muhammadiyah yang gigih memperjuangkan untuk menginstitusionalisasikan syariat
Islam di Indonesia. Sumbangan terbesar beliau untuk Republik Indonesia adalah ikut
merumuskan kalimat "Ketuhanan yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dalam Piagam Jakarta yang ditolak oleh utusan Kristen
dari Indonesia Timur sehingga rumusannya berubah menjadi "Ketuhanan yang Maha
Esa" sebagai sila I Pancasila.

17
5. Prof. Dr. H. Moh. Amin Rais

Prof. Dr. H. Moh. Amin Rais, sejak reformasi tahun 1998 biasa juga disingkat MAR
dan Bapak Reformasi, lahir di Solo pada tanggal 26 April 1944. Meraih gelar doktor pada
tahun 1981 dari University of Chicago, AS dengan judul disertasi "The Moslem
Brotherhood in Egypt : Its Rise, Demise and Resurgence" (Ikhwanul Muslimin di Mesir :
Kelahiran, Keruntuhan dan Kebangkitannya Kembali). Juga dipercaya oleh beberapa
tokoh penting (antara lain: Syafi'i Ma'arif, Ichlasul Amal, Yahya Muhaimin,
Kuntowidjoyo, Sudjatmiko, Ahmad Baiquni, Bambang Sudibyo, Affan Gafar dan
Mulyoto Djojomartono) untuk menjadi pimpinan Pusat Pengkajian Strategi Kebijakan
(PPSK). Menjadi asisten ketua ICMI dan ketua Dewan Pakar ICMI (199-995). Menjadi
pengisi tetap kolom Resonansi di Harian Umum Republika. Tulisannya tentang Freeport
dan Busang di era Soeharto berkuasa sangat pedas mengkritik penguasa membuatnya
terlempar dari kursi ketua Dewan pakar ICMI dan dicoret dari daftar calon anggota MPR
tahun 1997. Dengan begitu banyaknya aktivitas, bagi MAR Muhammadiyah tetap yang
nomor satu. Pada Periode 1990-1995 menjadi wakil ketua PP Muhammadiyah. Setelah
Mukatamar ke 43 di Aceh tanggal 1-5 Juli 1995 terpilih sebagai ketua PP
Muhammadiyah periode 1995-2000. Mendeklarasikan berdirinya Partai Amanat Nasional
(PAN) pada tanggal 8 Agustus 1998 dan dipercaya menjadi nakhkoda PAN saat itu.
Raihan suara 7,2% pada Pemilu 1999 membuatnya PAN menjadi 5 partai besar RI serta
mengantarnya menjadi ketua MPR. MAR amat piawai sebagai King Maker dalam pentas
politik nasional, misalnya membuat manuver politik dengan membentuk poros tengah
sehingga LPJ Presiden BJ Habibie ditolak SU MPR tahun 1999, lalu menyebabkan Gus

18
Dur terpilih sebagai R1 dan Megawati sebagai R2. Juga menjadi otak pelengseran Gus
Dur dari kursi R1 karena kasus Buloggate, Brunaigate, pemecatan Kapolri, Monko
Polkam dan Menko Kesra.

6. Dr. dr. Ahmad Watik Pratiknya

Dr. dr. Ahmad Watik Pratiknya, Watik panggilannya, dilahirkan di Banjarnegara pada
tanggal 8 Pebruari 1948. Beliau seorang dokter yang doktor dan ahli anatomi serta
seorang penceramah yang handal. Mulai aktif di Muhammadiyah tahun 1985 dan tercatat
sebagai anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah periode 1985-1990. Pada Muktamar
Muhammadiyah ke 42 di Yogyakarta terpilih menjadi anggota 13 PP Muhammadiyah dan
dipercaya sebagai Koordinator Bidang Pendidikan. Pada Muktamar ke 43 di Banda Aceh
kembali masuk menjadi anggota 13 PP Muhammadiyah dan kali ini dipercaya sebagai
Koordinator Bidang Pembina Kesehatan dan Kesejahteraan PP Muhammadiyah. Di
lembaga profesi beliau pernah menjadi anggota Perhimpunan Ahli Anatomi Indonesia
(AAI), International Assoctiation of Anatamist (IAA), International Assoctiation of
Biomechanics, IDI. Di birokrat beliau pernah menjadi Sekretaris Wakil Presiden RI (9-9-
1998 s/d 5-11-1999), Sekretaris Presiden B.J. Habibie dan Direktur Habibie Centre mulai
1999 – sekarang.

19
7. KH. Ibrahim

KH. Ibrahim dilahirkan di kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 7 Mei 1874. Ia
adalah putra dari KH. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Negeri Kesultanan
Yogyakarta pada zaman Sultan Hamengkubuwono ke VII (Soedja`. 1933: 227), dan ia
merupakan adik kandung Nyai Ahmad Dahlan.

Ibrahim menikah dengan Siti Moechidah binti Abdulrahman alias Djojotaruno (Soeja`.
1933:228) pada tahun 1904. Pernikahannya dengan Siti Moechidah ini tidak berlangsung
lama, karena istrinya segera dipanggil menghadap Allah. Selang beberapa waktu
kemudian Ibrahim menikah dengan ibu Moesinah putri ragil dari KH. Abdulrahman (adik
kandung dari ibu Moechidah). KH. Ibrahim adalah Ketua PP Muhammadiyah yang
kedua, menjabat pada tahun 1923 – 1933.

8. KH. Mas Mansyur

Kiai Haji Mas Mansoer (lahir di Surabaya, 25 Juni 1896 – meninggal di Surabaya, 25
April 1946 pada umur 49 tahun) adalah seorang tokoh Islam dan pahlawan nasional
Indonesia. Dia dikenal sebagai imam tetap dan khatib di Masjid Ampel, suatu jabatan

20
terhormat pada saat itu. Pada tahun 1921, Mas Mansoer masuk organisasi
Muhammadiyah. Aktivitas Mas Mansoer dalam Muhammadiyah membawa angin segar
dan memperkokoh keberadaan Muhammadiyah sebagai organisasi pembaharuan. Tangga-
tangga yang dilalui Mas Mansur selalu dinaiki dengan mantap. Hal ini terlihat dari
jenjang yang dilewatinya, yakni setelah Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya,
kemudian menjadi Konsul Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur. Puncak dari tangga
tersebut adalah ketika Mas Mansur menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pada
tahun 1937-1943.

9. AR. Sutan Mansur

Ahmad Rasyid Sutan Mansur atau lebih dikenal sebagai AR Sutan Mansur lahir
di Maninjau, Sumatera Barat, 15 Desember 1895 – meninggal 25 Maret 1985 pada umur
89 tahun adalah seorang tokoh dan pemimpin Muhammadiyah. Tahun 1923 dia menjadi
guru serta mubaligh Muhammadiyah. Ketika berlangsung Kongres Muhammadiyah ke-32
di Purwokerto tahun 1953, dia terpilih sebagai Ketua Pusat Pimpinan (PP)
Muhammadiyah. Tiga tahun berikutnya yakni pada Kongres ke-33 di Palembang, dia
terpilih kembali sebagai ketua PP Muhammadiyah. Lantas pada kongres ke-35 tahun
1962 di Yogyakarta, Sutan Mansur diangkat sebagai Penasehat PP Muhammadiyah
sampai 1980.

21
10.KH. Ahmad Badawi

KH Ahmad Badawi (lahir di Yogyakarta, 5 Februari 1902 – meninggal di Yogyakarta, 25


April 1969 pada umur 67 tahun), adalah mantan Ketua Umum Pimpinan
Pusat Muhammadiyah periode 1962-1965.

11.KH. Faqih Usman

Kyai Haji Fakih Usman (juga ditulis Faqih Usman; lahir 2 Maret 1904 – meninggal 3
Oktober 1968 pada umur 64 tahun) merupakan seorang pemimpin Islam Indonesia. Dia
menjadi Menteri Agama pada dua kesempatan: pertama, dengan Kabinet Halim saat
Republik Indonesia merupakan bagian dari Republik Indonesia Serikat, dan kedua
sebagai Menteri Agama dengan Kabinet Wilopo. Pada tahun 1925 dia bergabung dengan
Muhammadiyah dan menjadi ketua cabang Surabaya pada tahun 1938. Dia berjasa

22
sebagai wakil ketua di bawah beberapa pemimpin sebelum dijadikan Ketua Umum
Muhammadiyah pada akhir tahun 1968, beberapa hari sebelum dia meninggal.

12.KH. AR. Fachruddin

Kyai Haji Abdul Rozak Fachruddin,


Lahir di Pakualaman, Yogyakarta, 14 Februari 1916 meninggal di Solo, Jawa Tengah, 17
Maret 1995 pada umur 79 tahun) adalah seorang ketua umum Muhammadiyah. Ia dikenal
dengan sebutan A.R. Fachruddin atau nama panggilan lainnya adalah Pak A.R. Abdul
Rozak Fachruddin dikenal sebagai ketua umum Muhammadiyah yang paling lama, yaitu
22 tahun (1968-1990).

13.Prof. Dr. H. M. Din Syamsuddin

23
Prof. Dr. Sirajuddin Syamsuddin, atau dikenal dengan Din Syamsuddin (lahir
di Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat, 31 Agustus 1958; umur 53 tahun), adalah
seorang politisi yang saat ini menjadi Ketua Umum Pimpinan
Pusat Muhammadiyah periode 2005-2010. Istrinya bernama Fira Beranata, dan memiliki
3 orang anak. Din pernah berkarier di birokrasi menduduki jabatan sebagai Direktur
Jenderal Binapenta Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia. Sedangkan dalam
kegiatan organisasi, Din pernah menjabat sebagai Ketua DPP Sementara Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (1985), Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah (1989-
1993), Wakil Ketua PP Muhammadiyah (2000-2005), Sekretaris Umum Majelis Ulama
Indonesia (MUI), dan Ketua Litbang Golongan Karya.

Daftar Pustaka

1. Drs. H. Hamdan Hambali. 2006. IDEOLOGI DAN STRATEGI


MUHAMMADIYAH. Yogyakarta. Suara Muhammadiyah
2. www.muhammadiyah.go.id
3. http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/1259-ulama-politisi-
dan-sastrawan-besar
Copyright © tokohindonesia.com

24

Anda mungkin juga menyukai