Anda di halaman 1dari 25

BAB III

BUYA HAMKA DAN TAFSIR AL-AZHAR

A. Biografi Buya Hamka

1. Riwayat Hidup

Nama lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang biasa

dikenal dengan sebutan buya Hamka, lahir di Sungai Batang, Maninjau

Sumatera Barat pada hari Ahad, tanggal 17 Februari 1908 M./13 Muharam

1326H dari kalangan keluarga yang taat agama. Ayahnya adalah Haji Abdul

Karim Amrullah atau sering disebut Haji Rasul bin Syekh Muhammad

Amarullah bin Tuanku Abdullah Saleh. Haji Rasul merupakan salah seorang

ulama yang pernah mendalami agama di Mekkah, pelopor kebangkitan

kaum muda dan tokoh Muhammadiyah di Minangkabau, sedangkan ibunya

bernama Siti Shafiyah Tanjung binti Haji Zakaria (w. 1934). Dari geneologis

ini dapat diketahui, bahwa ia berasal dari keturunan yang taat beragama

dan memiliki hubungan dengan generasi pembaharu Islam di Minangkabau

pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX. Ia lahir dalam struktur

masyarakat Minangkabau yang menganut system matrilineal. Oleh

karna itu, dalam silsilah Minangkabau ia berasal dari suku Tanjung,

sebagaimana suku ibunya.79

Sejak kecil, Hamka menerima dasar-dasar agama dan membaca

Alquran langsung dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun tepatnya pada tahun

1914, ia dibawa ayahnya ke Padang panjang. Pada usia 7 tahun, ia kemudian

dimasukkan ke sekolah desa yang hanya dienyamnya selama 3 tahun, karena

kenakalannya ia dikeluarkan dari sekolah. Pengetahuan agama, banyak ia

peroleh dengan belajar sendiri (autodidak). Tidak hanya ilmu agama, Hamka

79
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran
Hamka tentang Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 15-17.
juga seorang autotodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti

filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat.80

Ketika usia Hamka mencapai 10 tahun, ayahnya mendirikan dan

mengembangkan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Ditempat itulah

Hamka mempelajari ilmu agama dan mendalami ilmu bahasa arab. Sumatera

Thawalib adalah sebuah sekolah dan perguruan tinggi yang mengusahakan

dan memajukan macam-macam pengetahuan berkaitan dengan Islam yang

membawa kebaikan dan kemajuan di dunia dan akhirat. Awalnya Sumatera

Thawalib adalah sebuah organisasi atau perkumpulan murid-murid atau

pelajar mengaji di Surau Jembatan Besi Padang Panjang dan surau Parabek

Bukittinggi, Sumatera Barat. Namun dalam perkembangannya, Sumatera

Thawalib langsung bergerak dalam bidang pendidikan dengan mendirikan

sekolah dan perguruan yang mengubah pengajian surau menjadi sekolah

berkelas.81

2. Kehidupan Sosial Buya Hamka

Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau

sehingga kelas dua. Ketika usia Hamka mencapai 10 tahun, ayahnya telah

mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka

mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah

mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama

terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan

Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.

Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu

pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam

maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat

menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki

Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain

80
Hamka, Kenang-kenangan Hidup (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), jilid I, hal. 46.
81
Badiatul Roziqin, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia (Yogyakarta: e-Nusantara,
2009), hal. 53.
Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis,

Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud,

Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga

rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal

Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji

Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah

bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.

Pada usia 8-15 tahun, ia mulai belajar agama di sekolah Diniyyah

School dan Sumatera Thawalib di Padang Panjang dan Parabek. Diantara

gurunya adalah Syekh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid,

Sutan Marajo dan Zainuddin Labay el-Yunusy. Keadaan Padang Panjang

pada saat itu ramai dengan penuntut ilmu agama Islam, di bawah pimpinan

ayahnya sendiri. Pelaksanaan pendidikan waktu itu masih bersifat tradisional

dengan menggunakan system halaqah.82 Pada tahun 1916, sistem klasikal

baru diperkenalkan di Sumatera Thawalib Jembatan Besi. Hanya saja, pada

saat itu sistem klasikal yang diperkenalkan belum memiliki bangku, meja,

kapur dan papan tulis. Materi pendidikan masih berorientasi pada pengajian

kitab-kitab klasik, seperti nahwu, sharaf, manthiq, bayan, fiqh, dan yang

sejenisnya. Pendekatan pendidikan dilakukan dengan menekankan pada

aspek hafalan. Pada waktu itu, system hafalan merupakan cara yang paling

efektif bagi pelaksanaan pendidikan.83

Meskipun kepadanya diajarkan membaca dan menulis huruf arab

dan latin, akan tetapi yang lebih diutamakan adalah mempelajari dengan

membaca kitab-kitab arab klasik dengan standar buku-buku pelajaran sekolah

agama rendah di Mesir. Pendekatan pelaksanaan pendidikan tersebut tidak

diiringi dengan belajar menulis secara maksimal. Akibatnya banyak diantara

teman-teman Hamka yang fasih membaca kitab, akan tetapi tidak bisa

menulis dengan baik. Meskipun tidak puas dengan sistem pendidikan waktu

82
Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual…21
83
Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual…22.
itu, namun ia tetap mengikutinya dengan seksama. Diantara metode yang

digunakan guru-gurunya, hanya metode pendidikan yang digunakan Engku

Zainuddin Labay el-Yunusy yang menarik hatinya. Pendekatan yang

dilakukan Engku Zainuddin, bukan hanya mengajar (transfer of knowledge),

akan tetapi juga melakukan proses „mendidik‟ (transformation of value).

Melalui Diniyyah School Padang Panjang yang didirikannya, ia telah

memperkenalkan bentuk lembaga pendidikan Islam modern dengan

menyusun kurikulum pendidikan yang lebih sistematis, memperkenalkan

sistem pendidikan klasikal dengan menyediakan kursi dan bangku tempat

duduk siswa, menggunakan buku-buku diluar kitab standar, serta

memberikan ilmu-ilmu umum seperti, bahasa, matematika, sejarah dan

ilmu bumi.84

Hamka merupakan salah seorang tokoh pembaharu Minangkabau

ysng berupaya menggugah dinamika umat dan mujaddid yang unik.

Meskipun hanya sebagai produk pendidikan tradisional, namun ia

merupakan seorang intelektual yang memiliki wawasan generalistik dan

modern. Hal ini nampak pada pembaharuan pendidikan Islam yang ia

perkenalkan melalui Masjid Al-Azhar yang ia kelola atas permintaan

pihak yayasan melalui Ghazali Syahlan dan Abdullah Salim. Hamka

menjadikan Masjid Al-Azhar bukan hanya sebagai institusi keagamaan,

tetapi juga sebagai lembaga sosial, yaitu:

1) Lembaga Pendidikan (Mulai TK Islam sampai Perguruan Tinggi Islam).

2) Badan Pemuda. Secara berkala, badan ini menyelenggarakan kegiatan

pesantren kilat, seminar, diskusi, olah raga, dan kesenian.

3) Badan Kesehatan. Badan ini menyelenggarakan dua kegiatan, yaitu;

poliklinik gigi dan poliklinik umum yang melayani pengobatan untuk

para siswa, jemaah masjid, maupun masyarakat umum.

84
Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual….. 22
4) Akademi, Kursus, dan Bimbingan Masyarakat. Di antara kegiatan badan

ini adalah mendirikan Akademi Bahasa Arab, Kursus Agama Islam,

membaca Al-qur’an, manasik haji, dan pendidikan kader muballigh.85

Di masjid tersebut pula, atas permintaan Hamka dibangun

perkantoran, aula, dan ruang-ruang belajar untuk difungsikan sebagai

media pendidikan dan sosial. Ia telah mengubah wajah Islam yang sering

kali dianggap ‟marginal‟ menjadi suatu agama yang sangat ‟berharga‟. Ia

hendak menggeser persepsi ‟kumal‟ terhadap kiyai dalam wacana yang

eksklusif menjadi pandangan yang insklusif, respek dan bersahaja. Bahkan

beberapa elit pemikir dewasa ini merupakan orangorang yang pernah

dibesarkan oleh Masjid Al-Azhar. Beberapa diantaranya adalah Nurcholis

Madjid, Habib Abdullah, Jimly Assidiqy, Syafii Anwar, Wahid Zaini, dan

lain-lain.

Beberapa pandangan Hamka tentang pendidikan adalah, bahwa

pendidikan sekolah tak bisa lepas dari pendidikan di rumah. Karena

menurutnya, komunikasi antara sekolah dan rumah, yaitu antara orang tua

dan guru harus ada. Untuk mendukung hal ini, Hamka menjadikan Masjid

Al-Azhar sebagai tempat bersilaturrahmi antara guru dan orang tua untuk

membicarakan perkembangan peserta didik. Dengan adanya sholat jamaah

di masjid, maka antara guru, orang tua dan murid bisa berkomunikasi

secara langsung. “Kalaulah rumahnya berjauhan, akan bertemu pada hari

Jum‟at”, begitu tutur Hamka.86

Secara kronologis, karir Hamka yang tersirat dalam perjalanan

hidupnya adalah sebagai berikut:

1) Pada tahun 1927 Hamka memulai karirnya sebagai guru Agama

di Perkebunan Medan dan guru Agama di Padang Panjang

85
Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual…102
86
Herry Mohammad, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema
Islami, 2006), hal. 64.
2) Pendiri sekolah Tabligh School, yang kemudian diganti namanya

menjadi Kulliyyatul Muballighin (1934-1935). Tujuan lembaga ini

adalah menyiapkan mubaligh yang sanggup melaksanakan dakwah

dan menjadi khatib, mempersiapkan guru sekolah menengah tingkat

Tsanawiyah, serta membentuk kader-kader pimpinan Muhammadiyah

danpimpinan masyarakat pada umumnya.

3) Ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia (1947), Konstituante

melalui partai Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan

Raya Umum (1955).

4) Koresponden berbagai majalah, seperti Pelita Andalas (Medan), Seruan

Islam (Tanjung Pura), Bintang Islam dan Suara Muhammadiyah

(Yogyakarta), Pemandangan dan Harian Merdeka (Jakarta).

5) Pembicara konggres Muhammadiyah ke19 di Bukittinggi (1930)

dan konggres Muhammadiyah ke 20 (1931).

6) Anggota tetap Majelis Konsul Muhammadiyah di Sumatera Tengah

(1934).

7) Pendiri Majalah al-Mahdi (Makassar, 1934).

8) Pimpinan majalah Pedoman Masyarakat (Medan, 1936).

9) Menjabat anggota Syu Sangi Kai atau Dewan Perwakilan Rakyat

pada pemerintahan Jepang (1944).

10) Ketua konsul Muhammadiyah Sumatera Timur (1949).

11) Pendiri majalah Panji Masyarakat (1959), majalah ini dibrendel

oleh pemerintah karna dengan tajam mengkritik konsep demikrasi

terpimpin dan memaparkan pelanggaran-pelanggaran konstitusi yang

telah dilakukan Soekarno. Majalah ini diterbitkan kembali pada

pemerintahan Soeharto.

12) Memenuhi undangan pemerintahan Amerika (1952), anggota komisi

kebudayaan di Muangthai (1953), menghadiri peringatan mangkatnya

Budha ke-2500 di Burma (1954), dilantik sebagai pengajar di


Universitas Islam Jakarta pada tahun 1957 hingga tahun 1958, di

lantik menjadi Rektor perguruan tinggi Islam dan Profesor Universitas

Mustapa, Jakarta. menghadiri konferensi Islam di Lahore (1958),

menghadiri konferensi negara-negara Islam di Rabat (1968),

Muktamar Masjid di Makkah (1976), seminar tentang Islam dan

Peradapan di Kuala Lumpur, menghadiri peringatan 100 tahun

Muhammad Iqbal di Lahore, dan Konferensi ulama di Kairo

(1977), Badan pertimbangan kebudayaan kementerian PP dan K,

Guru besar perguruan tinggi Islam di Universitas Islam di Makassar.

13) Departemen Agama pada masa KH Abdul Wahid Hasyim, Penasehat

Kementerian Agama, Ketua Dewan Kurator PTIQ.

14) Imam Masjid Agung Kebayoran Baru Jakarta, yang kemudian

namanya diganti oleh Rektor Universitas al-Azhar Mesir, Syaikh

Mahmud Syaltut menjadi Masjid Agung al-Azhar. Dalam

perkembangannya, al-Azhar adalah pelopor sistem pendidikan

Islam modern yang punya cabang di berbagai kota dan daerah, serta

menjadi inspirasi bagi sekolah-sekolah modern berbasis Islam. Lewat

mimbarnya di al-Azhar, Hamka melancarkan kritik-kritiknya terhadap

demokrasi terpimpin yang sedang digalakkan oleh Soekarno Pasca

Dekrit Presiden tahun 1959. Karena dianggap berbahaya, Hamka pun

dipenjarakan Soekarno pada tahun 1964. Ia baru dibebaskan setelah

Soekarno runtuh dan orde baru lahir, tahun 1967. Tapi selama

dipenjara itu, Hamka berhasil menyelesaikan sebuah karya

monumental, Tafsir Al-Azhar 30 juz.

15) Ketua MUI (1975-1981), Buya Hamka, dipilih secara aklamasi dan

tidak ada calon lain yang diajukan untuk menjabat sebagai ketua

umum dewan pimpinan MUI. Ia dipilih dalam suatu musyawarah,

baik oleh ulama maupun pejabat.87 Namun di tengah tugasnya, ia

87
Rusydi Hamka, Hamka di Mata Hati Umat (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hal. 55.
mundur dari jabatannya karena berseberangan prinsip dengan

pemerintah yang ada.

Buya Hamka bukan saja sebagai pujangga, wartawan, ulama, dan

budayawan, tapi juga seorang pemikir pendidikan yang pemikirannya masih

relevan dan dapat digunakan pada zaman sekarang, itu semua dapat dilihat

dari karya-karya peninggalan beliau.

3. Karya-Karya Buya Hamka

Sebagai seorang yang berpikiran maju, Hamka tidak hanya

merefleksikan kemerdekaan berpikirnya melalui berbagai mimbar dalam

ceramah agama, tetapi ia juga menuangkannya dalam berbagai macam

karyanya berbentuk tulisan. Orientasi pemikirannya meliputi berbagai

disiplin ilmu, seperti teologi, tasawuf, filsafat, pendidikan Islam, sejarah

Islam, fiqh, sastra dan tafsir. Sebagai penulis yang sangat produktif, Hamka

menulis puluhan buku yang tidak kurang dari 103 buku. Beberapa di antara

karya-karyanya adalah sebagai berikut:

1. Tasawuf modern (1983), pada awalnya, karyanya ini merupakan

kumpulan artikel yang dimuat dalam majalah Pedoman Masyarakat

antara tahun 1937-1937. Karena tuntutan masyarakat, kumpulan

artikel tersebut kemudian dibukukan. Dalam karya monumentalnya

ini, ia memaparkan pembahasannya ke dalam XII bab. Buku ini

diawali dengan penjelasan mengenai tasawuf. Kemudian secara

berurutan dipaparkannya pula pendapat para ilmuwan tentang makna

kebahagiaan, bahagia dan agama, bahagia dan utama, kesehatan jiwa

dan badan, harta benda dan bahagia, sifat qonaah, kebahagiaan yang

dirasakan rosulullah, hubungan ridho dengan keindahan alam, tangga

bahagia, celaka, dan munajat kepada Allah. Karyanya yang lain yang

membicarakan tentang tasawuf adalah “Tasawuf Perkembangan Dan

Pemurniaannya”. Buku ini adalah gabungan dari dua karya yang


pernah ia tulis, yaitu “Perkembangan Tasawuf Dari Abad Ke Abad”

dan “Mengembalikan Tasawuf Pada Pangkalnya”.

2. Lembaga Budi (1983). Buku ini ditulis pada tahun 1939 yang

terdiri dari XI bab. peMbicaraannya meliputi; budi yang mulia, sebab

budi menjadi rusak, penyakit budi, budi orang yang memegang

pemerintahan, budi mulia yang seyogyanya dimiliki oleh seorang raja

(penguasa), budi pengusaha, budi saudagar, budi pekerja, budi

ilmuwan, tinjauan budi, dan percikan pengalaman. secara tersirat,

buku ini juga berisi tentang pemikiran Hamka terhadap pendidikan

Islam, termasuk pendidik.

3. Falsafah Hidup (1950). Buku ini terdiri atas IX bab. Ia memulai buku

ini dengan pemaparan tentang makna kehidupan. Kemudian pada

bab berikutnya, dijelaskan pula tentang ilmu dan akal dalam

berbagai aspek dan dimensinya. Selanjutnya ia mengetengahkan

tentang undang-undang alam atau sunnatullah. Kemudian tentang

adab kesopanan, baik secara vertikal maupun horizontal. Selanjutnya

makna kesederhanaan dan bagaimana cara hidup sederhana menurut

Islam. Ia juga mengomentari makna berani dan fungsinya bagi

kehidupan manusia, selanjutnya tentang keadilan dan berbagai

dimensinya, makna persahabatan, serta bagaimana mencari dan

membina persahabatan. Buku ini diakhiri dengan membicarakan

Islam sebagai pembentuk hidup. Buku ini pun merupakan salah satu

alat yang Hamka gunakan untuk mengekspresikan pemikirannya

tentang pendidikan Islam.

4. Lembaga Hidup (1962). Dalam bukunya ini, ia mengembangkan

pemikirannya dalam XII bab. Buku ini berisi tentang berbagai

kewajiban manusia kepada Allah, kewajiban manusia secara sosial,

hak atas harta benda, kewajiban dalam pandangan seorang muslim,

kewajiban dalam keluarga, menuntut ilmu, bertanah air, Islam dan


politik, Al-quran untuk zaman modern, dan tulisan ini ditutup dengan

memaparkan sosok nabi Muhammad. Selain Lembaga Budi dan

Falsafah Hidup, buku ini juga berisi tentang pendidikan secara

tersirat.

5. Pelajaran Agama Islam (1952). Buku ini terbagi dalam IX bab.

Pembahasannya meliputi: manusia dan agama, dari sudut mana

mencari Tuhan dan rukun iman.

6. Tafsir Al-Azhar Juz 1-30. Tafsir Al-Azhar merupakan karyanya yang

paling monumental. Buku ini mulai ditulis pada tahun 1962.

Sebagian besar isi tafsir ini diselesaikan di dalam penjara, yaitu ketika

ia menjadi tahanan antara tahun 1964-1967. Ia memulai penulisan

Tafsir Al-Azhar dengan terlebih dahulu menjelaskan tentang i’jaz Al-

quran. Kemudian secara berturut-turut dijelaskan tentang i’jaz Al-

quran, isi mukjizat Alquran, haluan tafsir, alasan penamaan tafsir

Al-Azhar, dan nikmat Illahi. Setelah memperkenalkan dasar-dasar

untuk memahami tafsir, ia baru mengupas tafsirnya secara panjang

lebar.

7. Ayahku; Riwayat Hidup Dr. Haji Amarullah dan Perjuangan Kaum

Agama di Sumatera (1958). Buku ini berisi tentang kepribadian dan

sepak terjang ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah atau sering

disebut Haji Rosul. Hamka melukiskan perjuangan umat pada

umumnya dan khususnya perjuangan ayahnya, yang oleh Belanda

diasingkan ke Sukabumi dan akhirnya meninggal dunia di Jakarta

tanggal 2 Juni 1945.88

8. Kenang-kenangan Hidup Jilid I-IV (1979). Buku ini merupakan

autobiografi Hamka.

88
Mif Baihaqi, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan: Dari Abendanon Hingga
Imam Zarkasyi, (Bandung: Nuansa, 2007), hal. 62.
9. Islam dan Adat Minangkabau(1984). Buku ini merupakan kritikannya

terhadap adat dan mentalitas masyarakatnya yang dianggapnya tak

sesuai dengan perkembangan zaman.

10. Sejarah umat Islam Jilid I-IV (1975). Buku ini merupakan upaya

untuk memaparkan secara rinci sejarah umat Islam, yaitu mulai dari

Islam era awal, kemajuan, dan kemunduran Islam pada abad

pertengahan. Ia pun juga menjelaskan tentang sejarah masuk dan

perkembangan Islam di Indonesia.

11. Studi Islam (1976), membicarakan tentang aspek politik dan

kenegaraan Islam. Pembicaraannya meliputi; syari’at Islam, studi

Islam, dan perbandingan antara hak-hak azasi manusia deklarasi PBB

dan Islam.

12. Kedudukan Perempuan dalam Islam (1973). Buku membahas

tentang perempuan sebagai makhluk Allah yang dimuliakan

keberadaannya.89

13. Si Sabariyah (1926), buku roman pertamanya yang ia tulis alam

bahasa Minangkabau. Roman; Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

(1979), Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936), Merantau Ke Deli

(1977), Terusir, Keadilan Illahi, Di Dalam Lembah Kehidupan,

Salahnya Sendiri, Tuan Direktur, Angkatan baru, Cahaya Baru,

Cermin Kehidupan.

14. Revolusi pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi

Revolusi, Negara Islam, Sesudah Naskah Renville, Muhammadiyah

Melalui Tiga Zaman, Dari Lembah Cita-Cita, Merdeka, Islam Dan

Demokrasi, Dilamun Ombak Masyarakat, Menunggu Beduk

Berbunyi.

15. Di Tepi Sungai Nyl, Di Tepi Sungai Daljah, Mandi Cahaya Di

Tanah Suci, Empat Bulan Di Amerika, Pandangan Hidup Muslim.90

89
Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual……45-47.
90
Hamka, Tasauf Modern,…XVII-XIX.
16. Artikel Lepas; Persatuan Islam, Bukti Yang Tepat, Majalah Tentara,

Majalah Al-Mahdi, Semangat Islam, Menara, Ortodox Dan

Modernisme, Muhammadiyah Di Minangkabau, Lembaga Fatwa,

Tajdid Dan Mujadid, dan lain-lain.

4. Karakteristik Pemikiran Buya Hamka

Ini terlihat dalam berpegangannya sang penulis kepada al-Qur’an dan

sunnah sebagai rujukan penulisan dan penyelidikan. Beliau mencari inspirasi

dan ilham dari keduannya dengan menyeretkan pengetahuan-pengetahuan

yang lain, sebab keduanya adalah dua referensi yang valid bagi agama ini.

Sungguh, umat Islam telah menjauh dari kedua referensi ini sepanjang

sejarah mereka dan lalai darinya karena sibuk dengan kitab-kitab yang

mendapatkan cap “ilmiah”. Padahal, ini merupakan salah satu perkara

yang menjauhkan mereka dari mata-mata air yang deras dan

mengenyangkan.

Dengan gaya bahasanya yang menawan dan pemahamannya yang

mendalam akan apa-apa yang ada di balik kalimat dan huruf, mampu

menyingkap untuk umat Islam rahasia-rahasia dan makna-makna yang

belum pernah diuraikan sebelumnya dan mengantarkan seorang muslim ke

dalam nuansa Qur’ani. Dengan demikian, seorang Muslim yang

membacanya bisa menghirup keharuman dan menikmati kesegaran al-

Qur’an, serta hidup meski ia hidup pada abad ke-19 dalam naungan al-

Qur’an. Beliau menulis tentang problematika-problematika kekinian dan

mendesak yang sedang dialami umat Islam serta yang tengah mereka

rasakan ekses-ekses negatifnya dan bahaya-bahaya nya. Lalu beliau

memberikan solusi-solusi yang tepat, yang beliau yakini kebenaran dan

keefektifannya.

Setiap menulis, beliau punya dua tujuan utama. Pertama,

menjelaskan sosok Islam seperti yang diturunkan Allah, kedua, menjelaskan

realita umat Islam yang jauh dari sosok tersebut. Dengan kata lain, beliau
berusaha keras menjelaskan jahiliah dan memperlihatkannya sama seperti

usaha kerasnya dalam menjelaskan Islam. Selain itu, beliau

memperlihatkannya pula supaya jelas mana jalan orang-orang beriman dan

mana jalan orang-orang kafir, agar ada pemisahan antara keduanya atas

dasar akidah.

B. Tafsir Al-Azhar

1. Latar Belakang Penulisan

Kitab yang dijadikan objek pembahasan dalam penelitian ini adalah

kitab Tafsir karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau biasa dikenal

dengan panggilan Buya Hamka dan juga kitab tafsirnya dikenal dengan nama

tafsir al-Azhar. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan kitab tafsir al-

Azhar cetakan PT. Pustaka Panjimas Jakarta tahun 1982. Kitab ini

berjumlah 15 jilid disetiap jilidnya terdapat 2 Juz dengan menggunakan

Bahasa Indonesia. Untuk lebih jelasnya penulis memberikan penjelasan dari

Hamka sendiri dalam pendahuluan tafsirnya tentang petunjuk untuk pembaca.

Tafsir ini mulanya merupakan rangkaian kajian yang disampaikan

pada kuliah subuh oleh Hamka di masjid al-Azhar yang terletak di

Kebayoran Baru sejak tahun 1959. Nama al-Azhar bagi masjid tersebut telah

diberikan oleh Syeikh Mahmud Shaltut, Rektor Universitas al-Azhar semasa

kunjungan beliau ke Indonesia pada Desember 1960 dengan harapan supaya

menjadi kampus al-Azhar di Jakarta. Penamaan tafsir Hamka dengan nama

Tafsir al-Azhar berkaitan erat dengan tempat lahirnya tafsir tersebut yaitu

Masjid Agung al-Azhar. Terdapat beberapa faktor yang mendorong Hamka

untuk menghasilkan karya tafsir tersebut, hal ini dinyatakan sendiri oleh

Hamka dalam mukadimah kitab tafsirnya. Di antaranya ialah keinginan

beliau untuk menanam semangat dan kepercayaan Islam dalam jiwa generasi

muda Indonesia yang amat berminat untuk memahami Al-qur’an tetapi


terhalang akibat ketidakmampuan mereka menguasai ilmu bahasa Arab.

Kecenderungan beliau terhadap penulisan tafsir ini juga bertujuan untuk

memudahkan pemahaman para muballigh dan para pendakwah serta

meningkatkan kesan dalam penyampaian khutbah-khutbah yang diambil dari

sumber-sumber bahasa Arab. Hamka memulai penulisan Tafsir al-Azhar dari

surah al- Mu’minun karena beranggapan kemungkinan beliau tidak sempat

menyempurnakan ulasan lengkap terhadap tafsir tersebut semasa hidupnya.91

Mulai tahun 1962, kajian tafsir yang disampaikan di masjid al-Azhar

ini, dimuat di majalah Panji Masyarakat. Kuliah tafsir ini terus berlanjut

sampai terjadi kekacauan politik di mana masjid tersebut telah dituduh

menjadi sarang “Neo Masyumi” dan “Hamkaisme”. Pada tanggal 12 Rabi’

al-awwal 1383H/27 Januari 1964, Hamka ditangkap oleh penguasa orde lama

dengan tuduhan berkhianat pada negara. Penahanan selama dua tahun ini

ternyata membawa berkah bagi Hamka karena ia dapat menyelesaikan

penulisan tafsirnya.92

2. Metode Penulisan Tafsir Al-Azhar

Buya Hamka dalam menyusun Tafsir Al-azhar beliau menggunakan

tartib usmani yaitu menafsirkan ayat secara runtut berdasarkan penyusunan

mushaf usmani. Keistimewaan yang didapatkan dari tafsir ini karena

mengawali dengan pendahuluan yang berbicara banyak tentang ilmu-ilmu

Alquran, seperti definisi Alquran, Makkiyah dan Madaniyah, Nuzul Alquran,

Pembukuan Mushaf, I’jaz dan lain-lain. Sebuah kemudahan yang didapatkan

sebab Hamka menyusun tafsiran ayat demi ayat dengan cara pengelompokan

pokok bahasan sebagaimana tafsir Sayyid Qutb dan atau al-Maragi. Bahkan

terkadang beliau memberikan judul terhadap pokok bahasan yang hendak

ditafsirkan dalam kelompok ayat tersebut.

Sedangkan sistematika penafsirannya dapat dilihat sebagai berikut:

a. Menyajikan ayat awal pembahasan


91
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), Jilid I, hal. 59.
92
Hamka, Tafsir al-Azhar, …48.
Hamka dalam menafsirkan ayat, terlebih dahulu beliau menyajikan

satu sampai lima ayat yang menurutnya ayat- ayat tersebut satu topik.

b. Terjemahan dari ayat

Tujuannya tidak lain untuk memudahkan penafsiran, terlebih dahulu

Hamka menerjemahkan ayat tersebut kedalam bahasa Indonesia, agar

mudah dipahami oleh pembaca.

c. Tidak menggunakan penafsiran kata

Hamka tidak memberikan pengertian perkata dalam penafsirannya,

menurutnya hemat penulis dikarenakan pengertiannya telah tercakup

dalam terjemah.

d. Memberikain uraian terperinci

Setelah menerjemahkan ayat secara global, Hamka memulai

tafsirnya terhadap ayat tersebut dengan luas dan terkadang dikaitkan

dengan kejadian pada zaman sekarang, sehingga pembaca dapat

menjadikan Alquran sebagai pedoman sepanjang masa.

Metode yang digunakan Hamka dalam Tafsir Al-azhar adalah dengan

menggunakan metode Tahlili,93 yaitu mengkaji ayat-ayat Al-quran dari

segala segi dan maknannya, menafsirkan ayat demi ayat, surat demi surat,

sesuai dengan urutan Mushaf Rasm Utsmani, menguraikan kosa kata dan

lafaznya, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan

kandungan ayat yakni unsur Balaghah, i’jaz dan keindahan susunan

kalimat, menisbatkan hukum dari ayat tersebut, serta mengemukakan kaitan

antara yang satu dengan yang lain, merujuk kepada asbabun nuzul, hadis

Rasulullah saw, riwayat dari Sahabat dan Tabi’in.94

93
Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Alquran (Yogjakarta: Pustaka
Pelajar, 2000), hal. 31.
94
Ali Hasan al-Arid, Sejarah dan Metodologi Tafsir (Jakarta: Rajawali Pers,
1992), 41.
Jika dilihat dari bermacam corak tafsir yang ada dan berkembang

hingga kini, Tafsir al-Azhar dapat dimasukkan kedalam corak tafsir adab

ijtima’i sebaimana tafsir as-Sya’rawi yaitu menafsirkan ayat-ayat Al-quran

sesuai dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat pada waktu itu agar

petunjuk-petunjuk dari Al-qur’an mudah dipahami dan diamalkan oleh

semua golongan masyarakat.

Corak tafsir budaya kemasyarakatan merupakan corak tafsir yang

menerangkan petunjuk-petunjuk Al-qur’an yang berhubung langsung dengan

kehidupan masyarakat. Tafsir dengan corak ini juga berisi pembahasan-

pembahasan yang berusaha untuk mengatasi masalah-masalah atau penyakit-

penyakit masyarakat berdasarkan nasihat dan petunjuk-petunjuk Alquran.

Dalam upaya mengatasi masalah-masalah ini, petunjuk-petunjuk Alquran

dipaparkan dalam bahasa yang enak dan mudah dipahami.95

Corak tafsir budaya kemasyarakatan seperti yang terdapat dalam kitab

tafsir al-Azhar ini sebenarnya telah ada dan dimulai dari masa Muhammad

Abduh (1849-1905). Corak tafsir seperti ini dapat dilihat pada kitab Tafsir

al-Manar, yang ditulis oleh Rasyid Ridha yang merupakan murid

Muhammad Abduh.96

Corak budaya kemasyarakatan ini dapat dilihat dengan jelas dalam

tafsir al-Azhar karya Hamka ini. Tafsir ini pada umumnya mengaitkan

penafsiran Al-qur’an dengan kehidupan sosial, dalam rangka mengatasi

masalah atau penyakit masyarakat, dan mendorong mereka ke arah kebaikan

dan kemajuan. Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an, ketika mendapat

kesempatan untuk mengupas isu-isu yang ada pada masyarakat, Hamka akan

mempergunakan kesempatan itu untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk

Alquran dalam rangka mengobati masalah dan penyakit masyarakat yang

dirasakan pada masa beliau menulis tafsir tersebut.

95
Hamka, Tafsir al-Azhar, ….42.
96
M.Quraish Shihab, Study Kritis Tafsir al-Manar, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1994), hal. 21.
Ketika dinyatakan bahwa tafsir al-Azhar memiliki corak budaya

kemasayarakatan, bukan berarti bahwa kitab tafsir ini tidak membahas

tentang hal-hal lain yang biasanya terdapat dalam tafsir-tafsir lain, seperti

fiqih, tasawuf, sains, filsafat dan sebagainya. Dalam tafsir al-Azhar, Hamka

juga mengemukakan bahasan tentang fiqih akan tetapi lebih kepada

menjelaskan makna ayat yang ditafsirkan, dan untuk menunjang tujuan

pokok yang ingin dicapainya, yaitu menyampaikan petunjuk- petunjuk

Alquran yang berguna bagi kehidupan masyarakat. Ini bisa dirujuk ketika

Hamka menjelaskan makna nazar dalam menafsirkan surah al-Insan ayat

ketujuh.97 Dalam corak penafsiran tafsir Al-Azhar, Hamka lebih dipengaruhi

oleh tafsir Al-Manar karangan Sayyid Ridha, yang terkenal dengan corak

penafsiran birra’yi.

Sumber Penafsiran, dalam hal ini Buya Hamka dalam tafsirnya

menggunakan tafsir bi al-ra’yu, beliau memberikan penjelasan secara ilmiah

(ra’yu) apalagi terkait masalah ayat-ayat kauniyah.98 Namun walaupun

demikian beliau juga tetap menggunakan tafsir bi al-Ma’sur sebagaimana

yang beliau jelaskan sendiri dalam pendahuluan tafsirnya bahwa Al-qur’an

terbagi kedalam tiga bagian besar (fiqih, Aqidah dan Kisah) yang

menjadi keharusan (bahkan wajib dalam hal fiqih dan akidah) untuk disoroti

oleh sunnah tiap-tiap ayat yang ditafsirkan tersebut. Beliau juga

berpandangan bahwa ayat yang sudah jelas, terang dan nyata maka

merupakan pengecualian ketika sunnah bertentangan dengannya.

3. Pemikiran Buya Hamka untuk Revolusi Mental

Menurut Buya Hamka, yang paling perlu dewasa ini adalah

membantu umat Islam memperoleh kepercayaan kembali kepada dirinya

sendiri dan kepada masa lampaunya, sehingga ia mampu menghadapi masa

depan dengan penuh harapan, penuh keberanian dan penuh ketabahan.

97
hal. 279-282
Lihat Tafsir al-Azhar, jilid 29,
98
Hamka, Tafsir al-Azhar, ….27.
keyakinannya pada agama yang di anut, kemampuan berfikirnya yang

seringkali tidak ia sadari, harus dibangkitkan dan diperkuat.99

Ajaran Islam pada hakikatnya adalah ajaran bagi kepemimpinan dan

kesejahteraan dunia. Salah satu cirinya yang paling penting ialah, ia

mengajarkan kepada para penganutnya, bagaimana memperoleh kepercayaan

diri tanpa dinodai kesombongan dan mementingkan diri sendiri,

kepadanya Islam menghembuskan semangat agama dan keyakinan, bebas

dari segala penipuan diri, dan dengan memisahkan ia dari segala

ketergantungan pada yang lain, kepadanya Islam menanamkan keimanan

yang sempurna terhadap Allah dengan keimanan yang tidak akan pernah

bimbang atau menjadi lemah.100

Keimanan ini menegaskan umat Islam memikul tanggung jawab

kemanusiaan semampu mungkin dan mendorongnya menjadi wakil bagi

semua bangsa manusia. Adalah kewajiban umat Islam untuk memberi

petunjuk ke jalan yang lurus bagi mereka yang tersesat jalan, serta dengan

bantuan ilmu dan petunjuk yang diberikan oleh Allah kepada mereka,

mereka berkewajiban membawa umat manusia dari kegelapan kepada cahaya

terang.101

Inti Islam itu adalah gerakan pembebasan dengan revolusi mental

pada islam ini maka manusia bebas melakukan perubahan akan tetapi harus

tetap sesuai dengan nas al-Qur’an. Mulai dari hati nurani setiap individu dan

berakhir di samudera kelompok manusia. Islam tidak pernah menghidupkan

sebuah hati, kemudian hati itu dibiarkannya menyerah tunduk kepada suatu

kekuasaan di atas permukaan bumi, selain dari kekuasaan Tuhan Yang

satu dan maha perkasa. Islam tidak pernah membangkitkan sebuah hati, lalu

dibiarkannya hati itu sabar tidak bergerak dalam menghadapi

keaniayaan dalam segala macam bentuknya, baik keaniayaan ini terjadi

99
Abul Hasan Ali Nadwi, Islam Dan Dunia, (Bandung: Penerbit Angkasa,2008),
hal.xi.
100
Ibid,
101
Ibid,
terhadap dirinya, atau terjadi terhadap sekelompok manusia dibagian

dunia manapun, dan dibawah penguasa manapun juga.102

Tuhan tidak akan menolong suatu kelompok manusia yang tidak mau

menolong diri sendiri, orang yang tidak percaya kepada keluarganya sendiri,

dan tidak menjalankan hukum tuhan tentang jihad dan perjuangan.

(Ar-Ra’du: 11)

ۡ َ‫ت ِّم ۢن بَ ۡي ِن يَد َۡي``` ِه َو ِم ۡن خَ ۡلفِِۦه يَ ۡحفَظُ```ونَ ۥهُ ِم ۡن َأمۡ``` ِر ٱهَّلل ۗ ِ ِإ َّن ٱهَّلل َ اَل يُ َغيِّ ُر َما بِق‬ٞ َ‫لَ ۥهُ ُم َعقِّ ٰب‬
‫```و ٍم َحتَّ ٰى‬

ٍ ‫ُوا َما بَِأنفُ ِس ِهمۡۗ َوِإ َذٓا َأ َرا َد ٱهَّلل ُ بِقَ ۡو ٖم س ُٓوءٗ ا فَاَل َم َر َّد لَ ۚۥهُ َو َما لَهُم ِّمن دُونِِۦه ِمن َو‬
١١ ‫ال‬ ْ ‫يُ َغيِّر‬

Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya


bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah
Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga
mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila
Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang
dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain
Dia. (QS. Ar-Ra’ad:11)103

Islam adalah akidah revolusioner yang aktif. Artinya kalau ia

menyentuh hati manusia dengan cara yang benar, maka dalam hati itu akan

terjadi revolusi, revolusi dalam konsepsi, revolusi dalam perasaan, revolusi

dalam cara menjalani kehidupan, dan hubungan individu dengan kelompok.

Revolusi yang berdasarkan persamaan mutlak antara seluruh umat manusia.

Seseorang tidak lebih baik dari yang lainnya selain dengan takwa.

Berdasarkan kehormatan manusia, yang tidak meninggalkan seorang

makhluk pun di atas dunia, tidak suatu kejadianpun, dan tidak suatu nilai

pun. Revolusi itu berdasarkan keadilan mutlak, yang tidak dapat

membiarkan ketidakadilan dari siapapun juga.104

4. Ayat-Ayat Al-Qur’an Tentang Revolusi Mental Kaitanya Dengan Etos

Kerja Dan Leadership

a. Ayat al-Qur’an tentang revolusi mental

102
Sayyid Qutb, Bebebrapa Studi Tentang Islam, (Jakarta: Penerbit Media Da’wah,
2001), hal 29.
103
Departemen Agama, Al-Hikmah, ( Bandung: Penerbit Diponegoro, 2010), Cet Ke-
10, hal. 10.
104
Sayyid Quthb, Op.Cit, hal. 31.
1. Etos kerja

a) QS. Ar-Ra’du: 11

‫ت ِّم ۢن بَ ۡي ِن يَد َۡي``` ِه َو ِم ۡن َخ ۡلفِِۦه يَ ۡحفَظُ```ونَ ۥهُ ِم ۡن َأمۡ``` ِر ٱهَّلل ۗ ِ ِإ َّن ٱهَّلل َ اَل يُ َغيِّ ُر َما‬ٞ َ‫لَ ۥهُ ُم َعقِّ ٰب‬

‫ُوا َما بَِأنفُ ِس ِهمۡۗ َوِإ َذٓا َأ َرا َد ٱهَّلل ُ بِقَ ۡو ٖم س ُٓوءٗ ا فَاَل َم` َر َّد لَ ۚۥهُ َو َما لَهُم ِّمن‬
`ْ ‫بِقَ ۡو ٍم َحتَّ ٰى يُ َغيِّر‬

١١ ‫ال‬
ٍ ‫دُونِِۦه ِمن َو‬

“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu


mengikutinya bergiliran, dimuka dan dibelakangnya, mereka
menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak
merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan
yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki
keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat
menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain
Dia.” (QS. Ar-Ra’du:11)105

b) QS. Al-Mulk: 15

ۡ ‫`وا ِمن‬
‫رِّزقِ ِۖۦه َوِإلَ ۡي` ِه‬ ْ `ُ‫وا فِي َمنَا ِكبِهَا َو ُكل‬
ْ `‫ض َذلُ`واٗل فَٱمۡ ُش‬
َ ‫`ل لَ ُك ُم ٱَأۡل ۡر‬
َ `‫ه َُو ٱلَّ ِذي َج َع‬

١٥ ‫ٱلنُّ ُشو ُر‬

“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu,


Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian
dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali
setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-mulk: 15)106

c) QS. Al-qhashas: 73

ۡ‫ض`لِِۦه َولَ َعلَّ ُكم‬ `ْ `‫وا فِي` ِه َولِت َۡبتَ ُغ‬


ۡ َ‫`وا ِمن ف‬ ْ ُ‫َو ِمن ر َّۡح َمتِِۦه َج َع َل لَ ُك ُم ٱلَّ ۡي` َل َوٱلنَّهَ``ا َر لِت َۡس` ُكن‬

٧٣ َ‫ت َۡش ُكرُون‬

“Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan


siang, agar kamu beristirahat pada malam hari dan agar kamu
mencari sebagia karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kamu
bersyukur kepada-Nya”. (QS. Al-Qashash: 73)107

d) QS. Az-Zumar: 39

٣٩ َ‫ۖل فَ َس ۡوفَ ت َۡعلَ ُمون‬ٞ ‫وا َعلَ ٰى َم َكانَتِ ُكمۡ ِإنِّي ٰ َع ِم‬
ْ ُ‫ٱع َمل‬
ۡ ‫قُ ۡل ٰيَقَ ۡو ِم‬

“Katakanlah Muhammad, Wahai Kaumku! Berbuatlah


sesuai keadaanmu, aku pun berbuat (demikian), kelak kamu akan
mengetahui”. (QS. Az-Zumar: 39)108

2. Leadership

105
Departemen Agama, Op.Cit, hal.250.
106
Ibid, hal. 563.
107
Ibid, hal. 394.
108
Ibid, hal. 462.
a. Ayat Makkiyah

1) QS. Al-Anbiya : 73 dengan term a’immah, derivasi kata imamah

‫ٱلص `لَ ٰو ِة َوِإيتَ``ٓا َء‬ ِ ‫َو َج َع ۡل ٰنَهُمۡ َأِئ َّم ٗة يَ ۡه ُدونَ بَِأمۡ ِرنَا َوَأ ۡو َح ۡينَٓا ِإلَ ۡي ِهمۡ فِ ۡع َل ۡٱلخ َۡي ٰ َر‬
َّ ‫ت َوِإقَا َ`م‬

٧٣ َ‫وا لَنَا ٰ َعبِ ِدين‬


`ْ ُ‫ٱل َّز َك ٰو ۖ ِة َو َكان‬

“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-


pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah
Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan,
mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada
Kamilah mereka selalu menyembah”. (QS. Al-Anbiya: 73)109

2) QS. Fathir: 39 dengan term khala’if, derivasi kata khalifah

ٰۡ ۡ ٰٓ
ِ ۚ ‫ه َُو ٱلَّ ِذي َج َعلَ ُكمۡ َخلَِئفَ فِي ٱَأۡل ۡر‬
ِ `ِ‫ض فَ َمن َكفَ َر فَ َعلَ ۡي ِه ُكف` ُر ۖهۥُ َواَل يَ ِزي ` ُد ٱل َكف‬
َ‫`رين‬

٣٩ ۡ‫ُك ۡف ُرهُمۡ ِعن َد َربِّ ِهمۡ ِإاَّل َم ۡق ٗت ۖا َواَل يَ ِزي ُد ۡٱل ٰ َكفِ ِرينَ ُك ۡف ُرهُمۡ ِعن َد َربِّ ِهم‬

“Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka


bumi. Barangsiapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa
dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain
hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan
kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan
menambah kerugian mereka belaka.” (QS. Fathir: 39)110

3) QS. Shad: 26 dengan term khalifah itu sendiri,

َ `َ‫`ع ۡٱله‬
‫`و ٰى‬ ِ `ِ‫ق َواَل تَتَّب‬
ۡ `ِ‫`ٱح ُكم بَ ۡينَ ٱلنَّاس ب‬
ِّ ‫`ٱل َح‬ ِ ۡ `َ‫ض ف‬ َ َ‫ٰيَدَا ُۥو ُد ِإنَّا َج َع ۡل ٰن‬
ِ ‫ك خَ لِيفَ ٗة فِي ٱَأۡل ۡر‬

‫اب َش ` ِدي ۢ ُد بِ َما‬


ٞ ‫يل ٱهَّلل ِ لَهُمۡ َع` َذ‬
ِ ِ‫ض `لُّونَ عَن َس `ب‬
ِ َ‫يل ٱهَّلل ۚ ِ ِإ َّن ٱلَّ ِذينَ ي‬
ِ ِ‫ُض `لَّكَ عَن َس `ب‬
ِ ‫فَي‬

ِ ‫ُوا يَ ۡو َم ۡٱل ِح َسا‬


٢٦ ‫ب‬ ْ ‫نَس‬

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah


(penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di
antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan
mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan.” (QS. Shad: 26)111

b. Ayat Madaniyah

1) QS. Al-Baqoroh: 124 dengan term ‘imam-(an), derivasi kata al-

imamah

109
Ibid, hal. 328.
110
Ibid, hal. 328.
111
Ibid, hal. 454.
َ `َ‫اس ِإ َم ٗام ۖا ق‬
‫`ال َو ِمن‬ ِ َّ‫ك لِلن‬ َ َ‫ت فََأتَ َّمه ۖ َُّن ق‬
َ ُ‫ال ِإنِّي َجا ِعل‬ ٖ ‫َوِإ ِذ ۡٱبتَلَ ٰ ٓى ِإ ۡب ٰ َر ِۧه‍ َم َربُّ ۥهُ بِ َكلِ ٰ َم‬
ٰ
١٢٤ َ‫ال اَل يَنَا ُل ع َۡه ِدي ٱلظَّلِ ِمين‬
َ َ‫ُذ ِّريَّتِيۖ ق‬

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan


beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim
menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan
menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata:
"(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman:
"Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim". (QS. Al-
Baqoroh: 124)112

2) QS. An-Nisa: 83

ۡ‫ول َوِإلَ ٰ ٓى ُأوْ لِي ٱَأۡلمۡ` ِر ِم ۡنهُم‬ ِ ‫ر ِّمنَ ٱَأۡلمۡ ِن َأ ِو ۡٱل َخ ۡو‬ٞ ۡ‫َوِإ َذا َجٓا َءهُمۡ َأم‬
ْ `‫ف َأ َذا ُع‬
ُ ‫`وا بِ ِۖۦه َولَ` ۡ`و َر ُّدوهُ ِإلَى ٱلر‬
ِ `‫َّس‬

٨٣ ‫ض ُل ٱهَّلل ِ َعلَ ۡي ُكمۡ َو َر ۡح َمتُ ۥهُ ٱَلتَّبَ ۡعتُ ُم ٱل َّش ۡي ٰطَنَ ِإاَّل قَلِياٗل‬
ۡ َ‫لَ َعلِ َمهُ ٱلَّ ِذينَ يَ ۡست َۢنبِطُونَ ۥهُ ِم ۡنهُمۡۗ َولَ ۡواَل ف‬

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang


keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan
kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di
antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul
dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah
kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali
sebahagian kecil saja (di antaramu).” (QS. A-Nisa: 83)113

3) QS. An-Nisa: 59 dengan term ulu al-amr,

‫َّس``و َل َوُأوْ لِي` ٱَأۡلمۡ`` ِر ِمن ُكمۡۖ فَ``ِإن‬ ْ ‫ُ``وا ٱهَّلل َ َوَأ ِطيع‬
ُ ‫ُ``وا ٱلر‬ ٓ ُ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
`ْ ‫``و ْا َأ ِطيع‬

ُ ‫تَ ٰنَ`` َز ۡعتُمۡ فِي َش`` ۡي ٖء فَ`` ُر ُّدوهُ ِإلَى ٱهَّلل ِ َوٱلر‬
ۡ َ‫َّس``و ِل ِإن ُكنتُمۡ تُ ۡؤ ِمنُ``ونَ بِٱهَّلل ِ َو ۡٱلي‬
‫``وِ`م‬

٥٩ ‫ر َوَأ ۡح َسنُ ت َۡأ ِوياًل‬ٞ ‫خَي‬


ۡ َ‫ٱأۡل ٓ ِخ ۚ ِر ٰ َذلِك‬

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan


taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(QS. An-Nisa: 59)114

4) QS. Al-Hadid: 7 dengan term mustakhfilin derivasi kata khalifah

ْ `ُ‫وا ِم َّما َج َعلَ ُكم ُّم ۡست َۡخلَفِينَ فِي ` ۖ ِه فَٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
ۡ‫`وا ِمن ُكم‬ ْ ُ‫وا بِٱهَّلل ِ َو َرسُولِِۦه َوَأنفِق‬
ْ ُ‫َءا ِمن‬

ٞ ِ‫ر َكب‬ٞ ‫وا لَهُمۡ َأ ۡج‬


٧ ‫ير‬ ْ ُ‫َوَأنفَق‬

“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan


nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan
kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara

112
Ibid, hal. 19.
113
Ibid, hal. 91.
114
Ibid, hal. 87.
kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh
pahala yang besar.” (QS. Al-Hadid: 7)115

b. Asbab An-Nuzul

1. QS. An-Nisa: 83

Diturunkan berkenaan uzlah yang dilakukan oleh Nabi. Dalam suatu

riwayat dikemukakan bahwa Nabi uzlah (menjauhi) istri-istrinya.

Umar bin Khaththab masuk ke mesjid di saat orang-orang sedang

kebingungan sambil bercerita bahwa Nabi telah menceraikan istri

istrinya. Umar berdiri di pintu masjid dan berteriak bahwa Nabi tidak

menceraikan istrinya dan aku telah menelitinya.116

2. QS. An-Nisa: 59

Dari Abdullah bin abbas r.a, ia mengatakan, ayat ini turun dengan

berkenaan dengan Abdullah bin Hudzafah bin Qais ketika diutus

oleh Nabi untuk memimpin suatu pasukan.117

115
Ibid, hal. 538.
116
Syaikh Mahmud Al-Mishri, Asbabun Nuzul, (Solo: Zamzam, 2014), hal. 140.
117
Ibid, hal. 135.

Anda mungkin juga menyukai