Anda di halaman 1dari 8

AL-QUR’AN DAN KEHIDUPAN SETELAH NABI

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Antropologi Al-Qur’an
yang diampu oleh Ibu Maurisa Zinira, S.Th.I,M.A

Di susun Oleh:

Eli Masrufatul Bahriyah (2015080007)

Ulfa Rizki Amalia Zuhri (2015080009)

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN

WONOSOBO-JAWA TENGAH

TAHUN 2018
PENDAHULUAN

Al-Quran adalah sumber ajaran Islam. Kitab suci ini menempati posisi
sentral, bukan saja dalam perkembangannya ilmu-ilmu ke-Islaman, tetapi juga
merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam
sepanjang 14 abad sejarah pergerakan umat ini.

Al-Quran bagaikan samudra yang tidak pernah kering airnya,


gelombangnya tidak pernah reda, kekayaan dan hazanah yang dikandungnya tidak
pernah habis, dapat di layari dan diselami dengan berbagai cara, dan memberikan
manfaat dan dampak yang luar biasa bagi kehidupan umat manusia. Dalam
kedudukannya sebagai kitab suci (Scripture) dan mu‟jizat bagi kaum muslimin,
Al-Quran merupakan sumber keamanan, sumber motivasi dan inspirasi, sumber
nilai dan sumber dari segala sumber hukum yang tidak pernah kering atau jenuh
bagi yang mengimaninya. Di dalamnya (Al-Quran) terdapat dokumen historis
yang merekam kondisi sosio ekonomis, religius, ideologis, politis dan budaya dari
peradaban umat manusia sampai abad ke VII masehi, namun pada saat yang sama
menawarkan hazanah petunjuk dan tata aturan tindakan bagi umat manusia yang
ingin hidup dibawah nuangan dan yang mencari makna kehidupan mereka
didalamnya. Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terdapat ayat-ayat Al-
Quran melalui penafsiran-penafsiran, mempunyai peranan yang sangat besar bagi
maju mundurnya umat, menjamin istilah kunci untuk membuka gudang simpanan
yang tertimbun dalam Al-Quran.

Sebagai pedoman hidup untuk segala zaman, dan dalam berbagai aspek
kehidupan mansusia, Al-Quran merupakan kitab suci yang terbuka (open ended),
untuk dipahami, ditafsirkan dan ditakwilkan dalam prespektif metode tafsir
maupun perspektif dimensi-dimensi atau tema-tema kehidupan manusia dari sini
mencullah ilmu-ilmu untuk mengkaji Al-Quran dari berbagai aspeknya (asbab al
– nuzul, filologi tradisi dan substansi) termasuk di dalamnya ilmu antropologi.
PEMBAHASAN

A. Al-Qur’an dan kehidupan setelah Nabi


1. Tafsir pada masa Sahabat

Para sahabat mengetahui dzohir al-Qur’an dan hukum-hukum yang


disampaikan. Meskipun demikian, mereka baru mengetahui batin al-Qur’an
setelah menelitinya. Apabila belum mengerti juga, mereka bertanya kepada
Rosulullah. Akan tetapi setelah Rosulullah tiada, para sahabat berijtihad untuk
menemukan makna-makna yang sulit. Disamping itu, mereka juga mengetahui
sebab turunnya ayat sehingga mereka terbantu untuk memahami isi al-Qur’an.

Berkaitan dengan peristiwa turunnya ayat tidak semua sahabat


menyaksikannya. Oleh sebab itu, pemahaman mereka berbeda-beda yang
kemudian menimbulkan tingkatan yang berbeda-beda pula dalam memahami
makna kosa kata al-Qur’an.

Oleh sebab itu, Ali bin Abi Thalib berkata, “Tidak, Demi Dzat yang
membelah biji dan membuat keturunan, kami tidak mengetahuinya melainkan
pemahaman yang diberikan Allah kepada seseorang mengenai al-Qur’an .“

Dari pendapat Ali tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Para sahabat memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda-beda dan banyak


makna al-Qur’an yang samar bagi mereka
b. Kebanyakan mereka merasa cukup dengan makna global
c. Diantara mereka ada yang memahami dengan pemahaman yang kurang
tepat.
d. Sebagian generasi tua tidak memahami isyarat al-Qur’an seperti Ibnu
Abbas yang merupakan generasi muda.1

2. Perbedaan Pemahaman Para Sahabat mengenai Al-Qur’an

1
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, Hal.52
Kenyataan menjelaskan bahwa Nabi tidak menjelaskan seluruh ayat al-Qur’an.
Oleh sebab itu, ijtuhad para sahabat memegang peran yang sangat penting.

Meskipun demikian, tingkatan tafsir mereka berbeda-beda. Adapun faktor-


faktor yang menyebabkan perbedaan tersebut.

a. Perbedaan tingkat pemahaman dan kemampuan dalam menguasai bahasa.


b. Perbedaan intensitas dalam menyertai Nabi
c. Perbedaan pemahaman tentang asbab an-nuzul yang membantu dalam
memahami makna ayat
d. Perbedaan pengetahuan mengetahui syariat
e. Perbedaan tingkat kecerdasan karena mereka seperti manusia lain pada
umumnya.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa meskipun banyak


terdapat perbedaan dikalangan sahabat, al-Qur’an tetap dapat dipahami scara
selaras seiring dengan tingkat perkembangan pengetahuan.2

3. Madrasah Tafsir pada Masa Sahabat


Sebelumya telah dijelaskan bahwa adanya tingkat pengetahuan
yang berbeda dikalangan sahabat berimbas pada hasil penafsiran. Hal ini
kemudian secara otomatis diikuti oleh para muridnya. Dari sinilah muncul
3 Madrasah tafsir yaitu Makkah, Madinah, dan Kufah.
a. Makkah
Madrasah tafsir Makkah dipelopori oleh Abdullah bin Abbas yang dikenal
denga Ibnu abbas. Ibnu Abbas merupakan sahabat muda yang mencintai
ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, Ibnu Abbas disebut sebagai sebaik-baik
penerjemah al-Qur’an. Ia mampu menguasai ilmu bahasa arab dan sastra.
Disamping itu, ia memiliki hafalan yang sangat kuat.
b. Madinah
Pada masa sahabat madrasah tafsir Madinah dipelopori oleh Ubay bin
Ka’ab, seorang ahli qiro’ah serta salah satu penulis wahyu. Ubay tidak

2
Ibid, Hal 54
begitu senang dengan peristiwa-peristiwa baru serta tidak suka
menyibukkan diri dengan kejadian yang belum pernah terjadi.
Penafsirannya menggunakan riwayat karena ia mendengarnya
langsung dari Rasulullah dan menyaksikan proses turunnya ayat.
Sementara itu, kondisi kehidupan didaerah Hijaz belum mengalami
banyak perubahan sehingga tradisi masyarakatnya masih sama serta
pengetahuan-pengetahuan baru belum diperoleh. Oleh sebab itu, penduduk
Hijaz masih didominasi dengan atsar sehingga mereka tidak begitu
memperhitungkan riwayat, tetapi juga takut berijtihad. Demikian yang
mewarnai madrasah tafsir Madinah hingga datang masa Malik bin Anas
dan Sufyan Ats-Tsauri.
c. Kufah
Madrasah tafsir Kufah dipelopori oleh Abdullah bin Mas’ud. Ia
pindah ke Kufah pada masa kekhalifahan Umar karena diminta untuk
berdakwah dan mengajar disana.Ibnu Mas’ud termasuk sahabat yang
paling hafal al-Qur’an hingga Nabi sendiri senang mendengarkan bacaan
al-Quran darinya.
Sebagai pengajar, Ibnu Mas’ud memprakarsai madrasah dibidang
fiqih dan tafsir untuk memudahkannya dalam menyebarkan ilmu. Dari
Madrasah dibidang fiqih, muncul madzhab Hanafi. Sementara itu
madrasah tafsirnya menekankan penggunaan ra’yu (Ijtihad). Meskipun
madrasah ini menekankan ra’yu, alat bantu ini baru digunakan apabila
penjelasan tidak ditemukan didalam al-Qur’an dan hadis. Penggunaan
ra’yu ini memiliki alasan, yaitu karena Kufah baru dimerdekakan beberapa
tahun setelah Nabi wafat sehingga dianggap sebagai Negri yang memiliki
pengetahuan baru, tradisi baru, dan peraturan baru. Disinilah kehidupan
Kufah berbeda dengan kehidupan di Makah dan Madinah. Oleh sebab itu,
kondisi “Memaksa” sahabat untuk berijtihad.3
4. Tafsir pada masa Tabi’in

3
Ibid, Hal 62
Dengan berakhirnya masa sahabat,urusan tafsir berpindah ketangan
Tabi’in. Selanjutnya dengan meluasnya wilayah kekuasaan islam,
kebutuhan umat terhadap ilmu tafsir pun meningkat. Seiring dengan
bermunnculannya fatwa dan berbagai pendapat, dimulailah pebukuan
tafsir.
a. Pembukuan

Meluasnya wilayah kekuasaan islam dan banyaknya masyarakat non-


Arab yang masuk islam menyebabkan kebutuhan akan tafsir meningkat.
Di sisi lain, generasi yang menerima penjelasan langsung dari Nabi
semakin sedikit dan mereka terpencar-pencar di sejumlah wilayah
kekuasaan islam yang baru.

Adapun orang-orang yang pertama kali membukukan tafsir adalah Abu


Al-Aliyah Rafi’ bin Mihran Ar-Rayahi (w.90 H), Mujahid bin jabr (w.
101), Atha bin Abi Rabah (w. 114 H), Muhammad bin Ka’ab Al-Qurthi
(w. 117 H). Akan tetapi buku tafsir yang pertama kali muncul di khalayak
ramai adalah buku tafsir yang disandarkan kepada Sa’id bin Jubair bin
Hisyam Al-Kufi Al-Asdi (w. 95 H).4

Penulisan al-Qur’an pada masa Nabi masih tersebar dalam lembaran-


lembaran seperti tulang-tulang, pelepah kurma, dan lain sebagainya, ia
belum tersusun secara sempurna dan berurutan. Sebab, penuunannya
masih berlangsung sehingga sulit untuk dilakukan penulisan secara
sempurna dan berurutan, namun tidak ada ayatnya yang tidak ditulis pada
masa Rasul. As Suyuti mengatakan “Seluruh Al-Qur’an telah ditulis di
masa Rasul, tetapi belum terhimpun pada suatu tempat dan surah-surahnya
belum tersusun”

Pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq terhadap naskah al-


Qur’an yang telah ditulis pada masa Nabi itu.Karakter kodifikasi al-Qur’an
pada masa ini ditandai dengan penyusunan al-Qur’an dalam suatu naskah

4
Ibid, Hal 65
secara rapi dan berurutan, dimana suatu surah dapat dibaca secara
sempurna dalam satu naskah karena iya tidak tersebar dalam lembaran-
lembaran yang berbeda. Kodifikasi al-Qur’an pasa masa Abu Bakar ini
dilatarbelakangi oleh kekhawatiran Umar bin Al-Khaththab ataas
kemusnahan al-Qur’an karena begitu banyak para huffazh dari kalangan
sahabat yang tewas dalam peperangan melawan orang-orang murtad.
Maka Umar lalu mengusulkan kepada Abu Bakar agar dilakukan
kodifikasi terhadap al-Qur’an.5

b. Pemeliharaan

Ada tiga bentuk pemeliharaan al-Qur’an yaitu, pertama, penulisan dan


kodifikasi setiap ayat dan penyusunan surah-surahnya, seperti yang
dilakukan pada masa Nabi, Abu Bakar dan Usman, sehingga tidak ada
ayat yang hilang. Ia mempunyai ayat ayat dan surat-suratyang berurutan.
Kedua, pemeliharaan dengan memeberi tanda baca. Ketiga, penghafalan
dan penafsiran yang dilakukan mulai dari generasi sahabat sampai zaman
modern ini.6

5. Ulama Generasi Pertama


Pada dasarnya, zaman dulu ada beberapa pembagian ulama pada saat Nabi
masih hidup dan setelah Nabi wafat
 Generasi pertama, mereka yang pernah menemani Nabi Muhammad
dan kenal dengan beliau secra pribadi akan disebut “Sahabat”. Dalam
pandangan Mazhab Sunni, semua Sahabat dianggap ‘adl karena Allah
memuji mereka tanpa kecuali, sambil memberi jaminan akhlaq mereka
dalam al-Qur’an berulang kali.
 Generasi kedua,mereka yang pernah belajar melalui sahabat disebut
sebagai tabi’in atau pengikut. Pada umumnya mereka tergolong pada
generasi pertama Hijrah hingga seperempat pertama abad kedua
Hijriah, dan riwayat hadits mereka dapat diterima selama dikenal

5
DR. Kadar M. Yusuf,M.AG. Studi Al-Qur’an, Hal 37
6
Ibid, Hal 39
sebagai orang terpercaya. Dalam hal ini tidak ada yang perlu diperiksa
lagi karena mereka melandaskan pertanyaan pada Sahabat
 Genersi ketiga, atba’at-tabi’in atau penerus pengikut,kebanyakan
berkelanjutan sampai pertengahan pertama abad kedua Hijrah. Riwayat
dari generasi ketiga ini dapat diterima jika disahkan melalui sumber-
sumber lain, kalau tidak riwayat itu disebut sebagai gharib (aneh).
 Terlepas dari reputasinya pernyataan generasi keempat akan dapat
tertahan kecuali setelah disahkan melalui jalur lain. Beberapa orang
yang terdapat dalam kelompok ini telah meriwayatkan hingga 200.000
hadits yang hampir dua atau tiga koleksi haduts mereka tidak
mendapat dukungan dari isnad-isnad lain. Akhirnya,perawi dari
generasi ini tidak dapat disahkan secara bebas.7

7
Prof. Dr. M.M. Al-A’zami, The History Of The Qur’anic Text , Hal 196-197

Anda mungkin juga menyukai