Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Antropologi Al-Qur’an
yang diampu oleh Ibu Maurisa Zinira, S.Th.I,M.A
Di susun Oleh:
WONOSOBO-JAWA TENGAH
TAHUN 2018
PENDAHULUAN
Al-Quran adalah sumber ajaran Islam. Kitab suci ini menempati posisi
sentral, bukan saja dalam perkembangannya ilmu-ilmu ke-Islaman, tetapi juga
merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam
sepanjang 14 abad sejarah pergerakan umat ini.
Sebagai pedoman hidup untuk segala zaman, dan dalam berbagai aspek
kehidupan mansusia, Al-Quran merupakan kitab suci yang terbuka (open ended),
untuk dipahami, ditafsirkan dan ditakwilkan dalam prespektif metode tafsir
maupun perspektif dimensi-dimensi atau tema-tema kehidupan manusia dari sini
mencullah ilmu-ilmu untuk mengkaji Al-Quran dari berbagai aspeknya (asbab al
– nuzul, filologi tradisi dan substansi) termasuk di dalamnya ilmu antropologi.
PEMBAHASAN
Oleh sebab itu, Ali bin Abi Thalib berkata, “Tidak, Demi Dzat yang
membelah biji dan membuat keturunan, kami tidak mengetahuinya melainkan
pemahaman yang diberikan Allah kepada seseorang mengenai al-Qur’an .“
1
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, Hal.52
Kenyataan menjelaskan bahwa Nabi tidak menjelaskan seluruh ayat al-Qur’an.
Oleh sebab itu, ijtuhad para sahabat memegang peran yang sangat penting.
2
Ibid, Hal 54
begitu senang dengan peristiwa-peristiwa baru serta tidak suka
menyibukkan diri dengan kejadian yang belum pernah terjadi.
Penafsirannya menggunakan riwayat karena ia mendengarnya
langsung dari Rasulullah dan menyaksikan proses turunnya ayat.
Sementara itu, kondisi kehidupan didaerah Hijaz belum mengalami
banyak perubahan sehingga tradisi masyarakatnya masih sama serta
pengetahuan-pengetahuan baru belum diperoleh. Oleh sebab itu, penduduk
Hijaz masih didominasi dengan atsar sehingga mereka tidak begitu
memperhitungkan riwayat, tetapi juga takut berijtihad. Demikian yang
mewarnai madrasah tafsir Madinah hingga datang masa Malik bin Anas
dan Sufyan Ats-Tsauri.
c. Kufah
Madrasah tafsir Kufah dipelopori oleh Abdullah bin Mas’ud. Ia
pindah ke Kufah pada masa kekhalifahan Umar karena diminta untuk
berdakwah dan mengajar disana.Ibnu Mas’ud termasuk sahabat yang
paling hafal al-Qur’an hingga Nabi sendiri senang mendengarkan bacaan
al-Quran darinya.
Sebagai pengajar, Ibnu Mas’ud memprakarsai madrasah dibidang
fiqih dan tafsir untuk memudahkannya dalam menyebarkan ilmu. Dari
Madrasah dibidang fiqih, muncul madzhab Hanafi. Sementara itu
madrasah tafsirnya menekankan penggunaan ra’yu (Ijtihad). Meskipun
madrasah ini menekankan ra’yu, alat bantu ini baru digunakan apabila
penjelasan tidak ditemukan didalam al-Qur’an dan hadis. Penggunaan
ra’yu ini memiliki alasan, yaitu karena Kufah baru dimerdekakan beberapa
tahun setelah Nabi wafat sehingga dianggap sebagai Negri yang memiliki
pengetahuan baru, tradisi baru, dan peraturan baru. Disinilah kehidupan
Kufah berbeda dengan kehidupan di Makah dan Madinah. Oleh sebab itu,
kondisi “Memaksa” sahabat untuk berijtihad.3
4. Tafsir pada masa Tabi’in
3
Ibid, Hal 62
Dengan berakhirnya masa sahabat,urusan tafsir berpindah ketangan
Tabi’in. Selanjutnya dengan meluasnya wilayah kekuasaan islam,
kebutuhan umat terhadap ilmu tafsir pun meningkat. Seiring dengan
bermunnculannya fatwa dan berbagai pendapat, dimulailah pebukuan
tafsir.
a. Pembukuan
4
Ibid, Hal 65
secara rapi dan berurutan, dimana suatu surah dapat dibaca secara
sempurna dalam satu naskah karena iya tidak tersebar dalam lembaran-
lembaran yang berbeda. Kodifikasi al-Qur’an pasa masa Abu Bakar ini
dilatarbelakangi oleh kekhawatiran Umar bin Al-Khaththab ataas
kemusnahan al-Qur’an karena begitu banyak para huffazh dari kalangan
sahabat yang tewas dalam peperangan melawan orang-orang murtad.
Maka Umar lalu mengusulkan kepada Abu Bakar agar dilakukan
kodifikasi terhadap al-Qur’an.5
b. Pemeliharaan
5
DR. Kadar M. Yusuf,M.AG. Studi Al-Qur’an, Hal 37
6
Ibid, Hal 39
sebagai orang terpercaya. Dalam hal ini tidak ada yang perlu diperiksa
lagi karena mereka melandaskan pertanyaan pada Sahabat
Genersi ketiga, atba’at-tabi’in atau penerus pengikut,kebanyakan
berkelanjutan sampai pertengahan pertama abad kedua Hijrah. Riwayat
dari generasi ketiga ini dapat diterima jika disahkan melalui sumber-
sumber lain, kalau tidak riwayat itu disebut sebagai gharib (aneh).
Terlepas dari reputasinya pernyataan generasi keempat akan dapat
tertahan kecuali setelah disahkan melalui jalur lain. Beberapa orang
yang terdapat dalam kelompok ini telah meriwayatkan hingga 200.000
hadits yang hampir dua atau tiga koleksi haduts mereka tidak
mendapat dukungan dari isnad-isnad lain. Akhirnya,perawi dari
generasi ini tidak dapat disahkan secara bebas.7
7
Prof. Dr. M.M. Al-A’zami, The History Of The Qur’anic Text , Hal 196-197