Oleh:
Kelompok 2
1. Amelia Palupi
2. Audina Safa Maharani
3. Muhammad Dhafa Febriansyah
4. Hanita
5. Putri Hanung
Artikel Narasi:
Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah gelar Datuk Indomo, sering dikenal
dengan nama Hamka lahir di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam,
Sumatra Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73
tahun) ialah seorang ulama dan sastrawan Indonesia. Ia berkiprah sebagai
wartawan, penulis, dan pengajar. Ia terjun dalam politik melalui Masyumi sampai
partai tersebut dibubarkan, menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI)
pertama, dan aktif dalam Muhammadiyah hingga akhir hayatnya.
Buya Hamka ialah anak pertama dari empat bersaudara. Buya Hamka ialah anak Haji
Abdul Karim Amrullah dan Safiyah. Ayahnya dikenal sebagai Haji Rasul, merupakan
pelopor Gerakan Ishlah (tajdid) di Minangkabau. Kemudian Buya Hamka pindah ke
Padang Panjang mengikuti kepindahan orang tuanya. Di Padang Panjang Buya
Hamka belajar di sekola dan mengikuti kelas sore di sekolah agama yang didirikan
oleh Zainuddin Labay El-Yunusy pada tahun 1916. Karena kesukaannya dengan
pelajaran bahasa, Buya Hamka cepat menguasai bahasa Arab. Ketika Hamka berusia
sepuluh tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatra Thawalib di Padang Panjang.
Setelah belajar di sekolah selama tiga tahun, ayahnya memasukkannya ke Thawalib,
agar ia lebih bisa mempelajari ilmu agama dan bahasa serta bisa mendalami kitab-
kitab klasik, nahwu serta sharaf. Terlepas dari pelajaran sekolah formal, Buya Hamka
juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diajarkan oleh
ulama terkenal seperti Syekh Ibrahim Musa dan Syekh Ahmad Rasyid.
Beliau dibesarkan dalam tradisi Minangkabau. Masa kecilnya dipenuhi gejolak batin
karena saat itu terjadi pertentangan yang keras antara kaum adat dan kaum muda
tentang pelaksanaan ajaran Islam. Banyak hal-hal yang tidak dibenarkan dalam
Islam, tapi dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.