Anda di halaman 1dari 10

TUGAS SEJARAH INDONESIA

TOKOH NASIONAL NUSANTARA

“K.H. ABDUL WAHAB HASBULLAH “

ARYA PRANATA WURYA SYAHPUTRA

X - IPA 5 / 04

SMA NEGERI 1 KARANGJATI NGAWI

TAHUN AJARAN 2020 – 2021


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang ajarannya diwahyukan Allah kepada manusia
melalui Nabi Muhammad SAW. Islam mulanya berkembang di jazirah Arab,
kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia, termasuk di kepulauan Nusantara.
Nusantara adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan wilayah kepulauan yang
membentang dari Sumatra sampai Papua, yang sekarang sebagian besar merupakan
wilayah negara Indonesia. Islam Nusantara bermakna Islam yang dipahami dan
dipraktikkan kemudian terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Salah
satu tokoh islam di nusantara yaitu K.H. Abdul Wahab Hasbullah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang dan nasab K.H. Abdul Wahab Hasbullah?
2. Bagaimana pendidikan K.H. Abdul Wahab Hasbullah?
3. Bagaimana peran K.H. Abdul Wahab Hasbullah dalam bidang sosial dan
kebangsaan?
4. Apakah pendidikan dan pemikiran K.H. Abdul Wahab Hasbullah?
5. Bagaimana keluarga K.H. Abdul Wahab Hasbullah?
6. Kapan K.H. Abdul Wahab Hasbullah wafat?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui latar belakang dan nasab K.H. Abdul Wahab Hasbullah
2. Mengetahui pendidikan K.H. Abdul Wahab Hasbullah
3. Mengetahui peran K.H. Abdul Wahab Hasbullah dalam bidang sosial dan
kebangsaan
4. Mengetahui pendidikan dan pemikiran K.H. Abdul Wahab Hasbullah
5. Mengetahui keluarga K.H. Abdul Wahab Hasbullah
6. Mengetahui K.H. Abdul Wahab Hasbullah wafat
BAB II

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang KH. Abdul Wahab Hasbullah


KH. Abdul Wahab Hasbullah lahir di Jombang, 31 Maret 1888. Ayah beliau
adalah Kiai Hasbullah Said, pengasuh Pesantren Tambakberas Jombang Jawa Timur,
sedangkan Ibundanya bernama Nyai Latifah. Kiai Hasbullah adalah putra dari Nyai
Fatimah binti Abdus Salam (Kiai Sihah) yang tak lain adalah saudara kandung Nyai
Layyinah binti Abdus Salam, ibu dari Nyai Halimah (ibunda Hadratus Syaikh KH.
Hasyim Asy’ari).

B. Pendidikan
Masa pendidikan KH. Abdul Wahab dari kecil hingga besar banyak
dihabiskan di pondok pesantren. Selama kurang lebih 20 tahun, beliau secara intensif
menggali pengetahuan keagamaan dari beberapa pesantren. Karena tumbuh di
lingkungan pondok pesantren, mulai sejak dini beliau diajarkan ilmu agama dan moral
pada tingkat dasar. Termasuk dalam hal ini tentu diajarkan seni Islam seperti kaligrafi,
hadrah, barzanji, diba’, dan sholawat. Kemudian tak lupa diajarkan tradisi yang
menghormati leluhur dan keilmuan para leluhur, yaitu dengan berziarah ke makam-
makam leluhur dan melakukan tawasul.
Beliau dididik ayahnya sendiri cara hidup seorang santri. Diajaknya shalat
berjamaah, dan sesekali dibangunkan malam hari untuk shalat tahajjud. Kemudian
Kiai Hasbullah membimbingnya untuk menghafalkan Juz ‘Amma dan membaca Al-
Qur’an dengan tartil dan fasih. Lalu beliau dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari
kitab yang paling kecil dan isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari. Misalnya:
Kitab Safinatunnaja, Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahab, Muhadzdzab dan Al
Majmu’. Abdul Wahab Hasbullah juga belajar Ilmu Tauhid, Tafsir, Ulumul Quran,
Hadits, dan Ulumul Hadits.
Kemauan yang keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak
semenjak masa kecilnya yang tekun dan cerdas memahami berbagai ilmu yang
dipelajarinya. Selama enam tahun awal pendidikannya, beliau dididik langsung oleh
ayahnya, baru ketika berusia 13 tahun, KH. Abdul Wahab merantau untuk menuntut
ilmu. Maka beliau pergi ke satu pesantren ke pesantren lainnya.
Di antara pesantren yang pernah disinggahi KH. Ahmad Wahab Hasbullah
adalah sebagai berikut:
1. Pesantren Langitan Tuban.
2. Pesantren Mojosari, Nganjuk.
3. Pesantren Cempaka.
4. Pesantren Tawangsari, Sepanjang.
5. Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura dibawah asuhan Kiai Kholil
Bangkalan.
6. Pesantren Branggahan, Kediri.
7. Pesantren Tebuireng, Jombang dibawah asuhan Hadratus Syaikh K.H. Hasyim
Asy‘ari.
Khusus di Pesantren Tebuireng, beliau cukup lama menjadi santri. Hal ini
terbukti, kurang lebih selama 4 tahun, beliau menjadi “lurah pondok”, sebuah jabatan
tertinggi yang dapat dicicipi seorang santri dalam sebuah pesantren, sebagai bukti
kepercayaan kiai dan pesantren tersebut.
Setelah merasa cukup bekal dari para ulama di Jawa dan Madura, beliau ke
Makkah untuk belajar pada ulama terkemuka dari dunia Islam, termasuk para ulama
Jawa yang ada di sana seperti Syaikh Mahfudz Termas dan Syaikh Ahmad Khatib al-
Minangkabawi. Selain belajar agama saat di Makkah itu, beliau juga mempelajari
perkembangan politik nasional dan internasional bersama aktivis dari seluruh dunia.

C. Peran dalam bidang sosial dan kebangsaan


KH. Abdul Wahab Hasbullah adalah pelopor kebebasan berpikir di kalangan
ummat Islam Indonesia, khususnya di lingkungan Nahdhiyyin. Beliau merupakan
seorang ulama besar Indonesia yang menekankan pentingnya kebebasan dalam
keberagamaan terutama kebebasan berpikir dan berpendapat. Untuk itu KH. Abdul
Wahab membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di
Surabaya pada tahun 1914 M.
Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas.
Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-
topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam
waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian di
kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum
itu untuk memperdebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap
penting.
Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga
menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasional
sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi tua. Karena
sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak,
maka jelas pula kelompok diskusi ini juga menjadi forum pengkaderan bagi kaum
muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik.
Kebebasan berpikir dan berpendapat yang dipelopori KH. Abdul Wahab
Hasbullah dengan membentuk Tashwirul Afkar merupakan warisan terpenting beliau
kepada kaum muslimin Indonesia. Beliau telah mencontohkan kepada generasi
penerusnya bahwa prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat dapat dijalankan
dalam nuansa keberagamaan yang kental. Prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat
tidak akan mengurangi ruh spiritualisme umat beragama dan kadar keimanan seorang
muslim. Dengan prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat, kaum muslim justru
akan mampu memecahkan problem sosial kemasyarakatan dengan analisis keislaman.
Bersamaan dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya, KH. Abdul
Wahab bersama KH. Mas Mansyur menghimpun sejumlah ulama dalam organisasi
Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang mendapatkan kedudukan badan
hukumnya pada 1916 M. Dari organisasi inilah KH. Abdul Wahab mendapat
kepercayaan dan dukungan penuh dari ulama pesantren yang kurang-lebih sealiran
dengannya. Di antara ulama yang berhimpun itu adalah KH. Bisri Syansuri (Denanyar
Jombang), KH. Abdul Halim, (Leimunding Cirebon), KH. Alwi Abdul Aziz, KH.
Ma’shum (Lasem) dan KH. Cholil (Kasingan Rembang).
Untuk memperkuat gerakannya itu, tahun 1918 M. KH. Abdul Wahab
mendirikan Nahdlatut Tujjar (kebangkitan saudagar) sebagai pusat penggalangan dana
bagi perjuangan pengembangan Islam dan kemerdekaan Indonesia. KH. Hasyim
Asy’ari memimpin organisiasi ini. Sementara KH. Abdul Wahab menjadi sekretaris
dan bendaharanya. Salah seorang anggotanya adalah KH. Bisri Syansuri.
Di tengah gencarnya usaha melawan penjajahan muncul persoalan baru di
dunia Islam, yaitu terjadinya ekspansi gerakan Wahabi dari Najed, Arab Pedalaman
yang menguasai Hijaz tempat suci Makkah dikuasai tahun 1924 M dan menaklukkan
Madinah 1925 M.
Persoalan menjadi genting ketika aliran baru itu hanya memberlakukan satu
aliran, yakni Wahabi yang puritan dan ekslusif. Sementara madzhab Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hanbali yang selama ini hidup berdampingan di Tanah Suci itu, tidak
diperkenankan lagi diajarkan dan diamalkan di Tanah Suci. Anehnya, kelompok
modernis Indonesia setuju dengan paham Wahabi.
KH. Abdul Wahab lantas membentuk Komite Khilafat beranggotakan para
ulama pesantren, dengan nama Komite Hijaz atas izin KH. Hasyim Asy’ari. Komite
ini bertujuan untuk mencegah cara beragama model Wahabi yang tidak toleran dan
keras kepala, yang dipimpin langsung Raja Abdul Aziz.
Untuk mengirimkan delegasi ini diperlukan organisasi yang kuat dan besar,
maka dibentuklah organisasi yang diberi nama Nahdlatul Ulama pada tanggal 31
Januari 1926. KH. Abdul Wahab Hasbullah bersama Syaikh Ghonaim al-Misri yang
diutus mewakili NU untuk menemui Raja Abdul Aziz Ibnu Saud. Usaha ini direspon
baik oleh raja Abdul Aziz.
Beberapa hal penting hasil dari Komite Hijaz ini di antaranya adalah, makam
Nabi Muhammad SAW dan situs-situs sejarah Islam tidak jadi dibongkar serta
dibolehkannya praktik madzhab yang beragam, walaupun belum boleh mengajar dan
memimpin di Haramain.

D. Karya dan Pemikiran


Selain ahli dalam bidang politik, KH. Abdul Wahab adalah seorang ulama
tauhid dan juga fiqih yag sangat mendalam dan luas pengetahuannya. Dengan
ilmunya itu, itu dengan mudah mampu menerapkan prinsip-prinsip fiqih dalam
kehidupan modern secara progresif, termasuk dalam bidang fiqih siyasah.
Kitab yang ditulisnya Sendi Aqoid dan Fikih Ahlussunnah Wal Jama’ah,
menunjukkan kedalaman penguasanya di bidang ilmu dasar tersebut. Ini yang
kemudian menjadi dasar bagi perjalanan Ahlusunnah Waljamaah di lingkungan NU.
Dalam tiap bahtsul masail muktamar NU, beliau selalu memberikan
pandangannya yang mampu menerobos berbagai macam jalan buntu (mauquf) yang
dihadapi ulama lain.
KH. Abdul Wahab sadar betul mengenai pentingnya pendidikan masyarakat
umum. Karena itu dirintis beberapa majalah dan surat kabar seperti Berita Nahdlatoel
Oelama, Oetoesan Nahdlatoel Oelama, Soeara Nahdlatoel Oelama, Duta Masyarakat,
dan sebagainya. Beliau sendiri aktif salah seorang penyandang dananya dan sekaligus
sebagai penulisnya. Propaganda di sini juga sangat diperlukan dan media ini sangat
strategis dalam mepropagandakan gerakan NU dan pesantren ke publik. Gagasan itu
semakin memperoleh relevansinya ketika KH. Mahfudz Siddiq dan KH. Wahd
Hasyim turut aktif dalam menggerakkan pengembangan media massa itu.

E. Keluarga
Pada tahun 1914 M. KH. Abdul Wahab Hasbullah menikah dengan putri Kiai
Musa yang bernama Maimunah. Sejak itu beliau tinggal bersama mertua di kampung
Kertopaten Surabaya. Dari perkawinan ini lahir seorang anak laki-laki pada tahun
1916 M bernama Wahib, yang kemudian dikenal sebagai Kiai Wahab Wahib. Namun,
pernikahan dan membina rumah tangga ini tidak berlangsung lama. Istrinya
meninggal sewaktu mereka berdua menjalankan ibadah haji pada tahun 1921 M.
Setelah itu KH. Abdul Wahab Hasbullah menikah lagi dengan perempuan
bernama Alawiyah, putri Kiai Alwi. Namun pernikahan ini pun tidak berlangsung
lama sebab setelah mendapatkan putra, istrinya meninggal. Begitu juga untuk ketiga
kalinya beliau menikah lagi, namun pernikahannya tidak berlangsung lama. Tidak
jelas siapakah nama istri ketiganya ini. Juga, penyebab terputusnya pernikahan yang
tidak lama tersebut, apakah karena istrinya meninggal atau bercerai.
Dari sini beliau menikah lagi, pernikahan keempat dilakukan dengan Asnah,
putri Kiai Sa’id, seorang pedagang dari Surabaya dan memperoleh empat orang anak,
salah satunya bernama Kiai Nadjib (almarhum) yang selanjutnya mengasuh Pesantren
Tambakberas. Namun lagi-lagi pernikahan ini tidak langgeng kembali. Nyai Asnah
meninggal dunia.
Kemudian KH. Abdul Wahab menikah lagi untuk yang kelima kalinya dengan
seorang janda bernama Fatimah, anak Haji Burhan. Dari pernikahan ini beliau tidak
mendapatkan keturunan. Namun, dari Fatimah beliau memperoleh anak tiri yang salah
satunya kelak besar bernama KH. A. Syaichu.
Dari sinilah banyak orang mencemooh perilaku KH. Abdul Wahab. Tidak
jarang, banyak orang yang menjulukinya sebagai “kiai tukang kawin” karena setelah
itupun beliau menikah kembali untuk yang keenam kalinya. Kali ini dengan anak Kiai
Abdul Madjid Bangil, yang bernama Ashikhah. Pernikahan inipun tidak berlangsung
lama karena saat menunaikan ibadah haji bersama, Nyai Ashikhah meninggal dunia.
Dari istri ini beliau dikaruniai empat orang anak.
Pernikahan beliau yang terakhir, yang ketujuh adalah dengan kakak
perempuan Ashikhah, bernama Sa’diyah. Dengan perempuan inilah pernikahan KH.
Abdul Wahab mencapai puncaknya, artinya langgeng sampai akhir hayat beliau. Dari
Nyai Sa’diyah ini beliau mendapatkan beberapa keturunan, yaitu Mahfuzah,
Hasbiyah, Mujidah, Muhammad Hasib dan Raqib.

F. Wafat
KH. Abdul Wahab Hasbullah wafat pads tanggal; 29 Desember 1971, empat
hari setelah beliau terpilih kembali sebagai Rais Aam pada Muktamar NU di
Surabaya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. KH. Abdul Wahab Hasbullah lahir di Jombang, 31 Maret 1888.
2. Masa pendidikan KH. Abdul Wahab dari kecil hingga besar banyak dihabiskan di
pondok pesantren.
3. KH. Abdul Wahab Hasbullah adalah pelopor kebebasan berpikir di kalangan
ummat Islam Indonesia, khususnya di lingkungan Nahdhiyyin.
4. Kitab yang ditulis KH. Abdul Wahab Hasbullah adalah Sendi Aqoid dan Fikih
Ahlussunnah Wal Jama’ah.
5. KH. Abdul Wahab Hasbullah menikah hingga 7 kali karena kebanyakan dari
istrinya meninggal dunia.
6. KH. Abdul Wahab Hasbullah wafat pads tanggal, 29 Desember 1971.
DAFTAR PUSTAKA

https://panutanmuslim.wordpress.com/

https://kumparan.com/berita-hari-ini/pengertian-islam-nusantara-menurut-para-
tokoh-1v0FUm7fJxz

https://id.wikipedia.org/wiki/Nusantara

Anda mungkin juga menyukai