KH. Abdul Chalim, lahir pada tanggal 2 Juni 1898 di desa Leuwimudning Kabupaten
Majalengka, dan wafat pada tanggal 11 Juni 1972. Ia adalah putra tunggal dari pasangan Kuwu
Kedung Wangsagama dengan Nyai Satimah. Kuwu Kedung Wangsagama adalah putra Buyut
Kedung Kartagama. Beliau adalah putra Buyut Liuh. Sedangkan Buyut Liuh adalah putri Nyai
Dati yang bersuamikan seorang Pangeran Kasultanan Cirebon. Nyai Dati adalah pelanjut Syech
Nur Shomad dalam mengembangkan Islam di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Selama
berdakwah, Syech Nur Shomad selalu berdampingan dengan para Kyai dan Habaib. Dengan
demikian, jika ditarik garis ke atas, Buyut Liuh adalah keturunan Sunan Gunung Jati.
Jika silsilah ke atas KH. Abdul Chalim memiliki garis keturunan dengan Sunan Gunung
Jati, maka perlu dijelaskan pula istri dan keturunannya. KH. Abdul Chalim memiliki empat
orang istri, yaitu Nyai Mahmudah (istri pertama), Nyai Siti Noor (istri kedua), Nyai Konaah (istri
ketiga), dan Nyai Sidik (istri keempat). Dari istri pertama memiliki 7 orang putra/puteri, dari istri
kedua memiliki seorang putri, dari istri ketiga memiliki enam (6) orang putra/putri dimana anak
bungsunya adalah Prof. Dr. KH. Asep Saifuddin Chalim, MA. Sedangkan dari istri keempat
hanya memiliki seorang putri.
Kyai Abdul Chalim muda, sejak usia sekitar 10 tahun, sudah nyantri di beberapa pesantren
di wilayah Majalengka dan Cirebon. Diantaranya,
1. Pesantren Banada yang diasuh oleh Kyai Harun di desa Mirat
2. Pesantren Nurul Huda yang didirikan Kyai Sulaiman di desa Pajajar tahun 1852
3. Pesantren Al-Fattah yang didirikan KH. Abdul Fattah tahun 1912
4. Pesantren Kedungwuni di Kadipaten
5. Pesantren Kempek di Cirebon
Sedangkan di wilayah Jawa Timur, KH. Abdul Chalim muda nyantri ke beberapa Kyai
khos. Antara lain dengan;
1. Al-‘Aalim Al-Allamah Assyaikh Al-Hajj Muhammad Kholil bin Abdul Latif al-
Bangkalani, yang dikenal dengan Syaikhona Kholil Bangkalan Madura
2. KH. Hamid Dimyati, di Tremas di Pacitan
3. KH. Hasyim Asy’ari , pengasuh pesantren Tebuireng di Jombang
4. KH. Abdul Wahab Chasbullah, pengasuh Pesantren Tambak Beras di Jombang
Selain di Jawa Barat dan Jawa Timur, KH. Abdul Chalim juga mengaji dan menimba ilmu
secara langsung kepada ulama besar, seperti Syech Abu Abdul Mu’thi dan Syech Nawawi al-
Bantani di tanah Hijaz (Makkah dan Madinah), selama dua tahun, yaitu tahun 1914-1916.
Ketika itulah, ia bertemu dengan KH. Abdul Wahab Chasbullah, yang kemudian menjadi guru
sekaligus partner dalam menggerakkan berbagai organisasi yang didirikan, sekembalinya ke
tanah air. Yaitu, Nahdlatul Wathan (1916), Nahdlatuttujjar (1918), dan Taswirul Afkar (1919).
Di berbagai organisasi ini,
KH. Abdul Chalim berperan sebagai penggerak yang menjalankan roda oraganisasi, karena
kemampuannya dalam menerjemahkan pemikiran KH. Abdul Wahab Chasbullah dan KH.
Hasyim Asy’ari, serta kepiawiannya dalam menata administrasi organisasi.Rihlah ilmiah,
spiritual dan kebangsaan KH. Abdul Chalim muda ke wilayah Jawa Timur ini, diawali dari
Leuwimuding, Petalangan, Losari, Tegal, Comal, Batang, Jombang dan Surabaya. Perjalanan
panjang ini, ia tempuh selama 14 hari. Hebatnya, selama 14 hari perjalanan tersebut, KH. Abdul
Chalim hanya memakan kunir. Mengapa kunir? Disamping mudah didapat, kunir juga
mengandung anti biotik alami yang menyehatkan dan menguatkan pencernaan.
4) Merangkul “lawan tanpa menyakiti”. Langkah ini dipraktikkan ketika mengajak para
kyai yang terlibat DI/TII di Jawa Barat, agar turun gunung dan kembali ke pangkuan
ibu pertiwi. Langkah inipun sukses. Para kyai tersebut turun dan kembali menjadi
bagian dari NKRI.