PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
a. Syekhona Kholil
KH Cholil adalah Waliyullah yang sangat mempunyai pengaruh paling besar
pada saat sebelum hingga awal berdirinya Nahdlatul Ulama. Hal ini terjadi karena
sebab berguru kepadanya beliaulah, banyak santri-santri yang menjadi pengasuh
pondok pesantren besar di Indonesia dan tokoh-tokoh di NU pada awal berdirinya.
Dalam catatan sejarah, banyak tokoh-tokoh pendiri NU adalah alumni dari
pondok pesantren yang diasuh oleh beliau yang bernama lengkap Kyai Kholil bin
Kyai Abdul Lathif bin Kyai Hamim bin Kyai ‘Abdul Karim bin Kyai Muharram
bin Kyai Asral Karamah bin Kyai ‘Abdullah bin Sayyid Sulaiman yang
merupakan cucu dari Sunan Gunung Jati, salah satu Walisongo.
Kyai Cholil adalah seorang alim dalam Ilmu Nahwu, Ilmu Fiqh dan tarekat.
Beliau juga di kenal hafal al-Qur’an dan menguasai segala ilmunya. Termasuk
seni baca Al-qur’an tujuh macam (Qiroah sab’ah). Selain kelebihan tersebut,
beliau juga mempunyai kemampuan pada hal-hal yang tidak kasat mata (tidak
dapat di lihat) dan sebab kelebihan tersebut, umat Islam Indonesia meyakini
beliau adalah Waliyullah. Kyai Cholil terlahir pada tanggal 11 Jumadil Tsani
1235H atau 27 Januari 1820M di Kampung Senenan, Desa Kemayoran,
Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, yang terletak di ujung barat pulau
Madura, Propinsi Jawa Timur. Kyai Cholil wafat pada 29 Ramadhan 1341H atau
14 Mei 1923M pada usia 106 tahun karena usia lanjut. Nasab Keturunan KH
Abdul Lathif sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin
umat, sebagaimana nenek moyangnya. Seusai mengadzani telinga kanan dan
mengiqamati telinga kiri sang bayi, KH Abdul Lathif memohon kepada Allah agar
Dia mengabulkan permohonannya.
Mbah Cholil kecil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH Abdul Lathif,
mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah
Kyai Hamim, anak dari Kyai Abdul Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak
1
dari Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid
Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucuSunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau
KH Abdul Lathif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan
Gunung Jati karena memang dia masih terhitung keturunannya.
KH Muhammad Kholil bin KH Abdul Lathif bin Kyai Hamim bin Kyai Abdul
Karim bin Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin
Sayyid Sulaiman.
Berikut ini adalah silsilah nasab Mbah Cholil. Terlebih dahulu saya tulis
silsilah jalur laki-laki yang bersambung pada Sunan Kudus, untuk menunjukkan
hak beliau dalam menggunakan nama belakang (marga/fam) “Azmatkhan Al-
Alawi Al-Husaini”, sesuai dengan adat dan istilah pernasaban bangsa Arab.
Pesantren yang dirintis pertama kali oleh KH. Tamim Irsyad pada
tahun 1885 ini dengan upaya serta kerja keras sehingga terwujudlah salah satu
lembaga pendidikan.
islam yaitu Pondok Pesantren Darul 'Ulum (Rejoso) yang secara bahasa Darul ber
arti Gudang sedangkan 'Ulum, jamak dari ilmu yang berarti ilmu-ilmu, sehingga
secara garis besar Darul 'Ulum memiliki arti “Gudangnya Ilmu-ilmu”, yang
filosofinya tampak jelas dalam nama pondok pesantren tersebut. Sehingga, sampai
detik ini Pondok Pesantren Darul 'Ulum (Rejoso) masih dipercaya untuk
2
mengayomi para santri dari penjuru Nusantara kurang lebih sekitar
5000 santri yang menimba ilmu di sana.
Sejak berdirinya pondok pesantren Darul Ulum yang merupakan salah satu
wadah pembentukan kaderisasi calon kholifah bangsa telah ditanamkan beberapa
kriteria dasar tentang tujuan dan dasar didirikannya. Seringkali para sesepuh
sebelum beliau (KH Tamim Irsyad) menekankan hal tersebut secara eksplisit dan
memberikan estafet tonggak kepemimpinannya pondok pesantren Darul Ulum
pada generasi penerusnya .
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
II. PENDIDIKAN
Sejak kecil, beliau mendapatkan pendidikan agama langsung dari orang tua
secara ketat. Kyai Cholil sejak kecil memang sudah mempunyai sifat-sifat sebagai
calon ulama yang berpengaruh besar. Di antara keistimewaan beliau adalah
kehausan akan ilmu, terutama dalam bidang ilmu Fiqh dan ilmu Nahwu (ilmu tata
bahasa Arab). Beliau sudah hafalMatan Alfiyah Ibnu Malik (1,000 bait) mengenai
ilmu nahu yang terkenal itu. Selanjutnya beliau juga seorang hafiz al-Quran tiga
puluh juz juga berkemampuan dalam qiraah tujuh (tujuh cara membaca al-Quran).
Karena keinginan orang tuanya yang sangat kuat untuk mendidik anaknya
menjadi ulama, kemudian pada sekitar tahun 1850 an, Kyai Cholil menuntut ilmu
sebagai santri di Pondok pesantren Langitan, Kabupaten Tuban yang di asuh oleh
KH Muhammad Nur. Setelah merasa cukup, kemudian Kyai Cholil melanjutkan
menuntut ilmu menjadi santri di Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Kabupaten
Pasuruan. Setelah itu kemudian, beliau pindah ke Pondok Pesantren Kebon
Candi, Kabupaten Pasuruan dan juga menjadi santri di tempat Kiai Nur Hasan
yang masih termasuk familinya di Sidogiri.
5
Sedangkan untuk makan, Mbah Cholil menyiasatinya dengan mengisi bak
mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru
masak teman-temannya. Dari situlah Mbah Cholil bisa makan gratis. Akhirnya,
pada tahun 1859 M, saat usianya mencapai 24 tahun, Mbah Cholil memutuskan
untuk pergi ke Mekah. Tetapi sebelum berangkat, Mbah Cholil menikah dahulu
dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih.
Setelah menikah, pada 1276 Hijrah atau 1859 Masehi berangkatlah beliau
ke Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos pelayarannya bisa tertutupi dari
hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi,
sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon, Mbah Cholil berpuasa. Hal
tersebut dilakukan Mbah Cholil bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi
untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, agar perjalanannya selamat.
6
nahu di Madura dan Jawa sejak itu, bahkan hingga sekarang masih banyak
pondok-pesantren tradisional di Jawa dan Madura diajarkan kitab itu.
Konon, selama di Mekah, Mbah Cholil lebih banyak makan kulit buah semangka
ketimbang makanan lain yang lebih layak. Realitas ini –bagi teman-temannya,
cukup mengherankan. Teman seangkatan Mbah Cholil antara lain: Syeikh
Nawawi al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Syekh
Muhammad Yasin Al Fadani. Mereka semua tak habis pikir dengan kebiasaan dan
sikap keprihatinan temannya itu. Kebiasaan memakan kulit buah semangka
kemungkinan besar dipengaruhi ajaran ngrowot (vegetarian) dari Al-Ghazali,
salah seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutannya.
7
memadukan kedua hal itu dengan serasi. Dia juga dikenal sebagai al-Hafidz (hafal
Al-Qur’an 30 Juz). Hingga akhirnya, Mbah Cholil dapat mendirikan sebuah
pesantren di daerah Cengkubuan, sekitar 1 Kilometer Barat Laut dari desa
kelahirannya.
Di tempat yang baru ini, Mbah Cholil juga cepat memperoleh santri lagi, bukan
saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri
pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang.
Di sisi lain, Mbah Cholil di samping dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu
Alat (nahwu dan sharaf), beliau juga dikenal sebagai orang yang “waskita,” weruh
sak durunge winarah (tahu sebelum terjadi). Malahan dalam hal yang terakhir ini,
nama Mbah Cholil lebih dikenal.
b. Melawan Penjajah
Pada masa hidup Mbah Cholil, terjadi sebuah penyebaran Ajaran Tarekat
Naqsyabandiyah di daerah Madura. Mbah Cholil sendiri dikenal luas sebagai ahli
tarekat. Masa hidup Mbah Cholil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap
penjajah. Tetapi, dengan caranya sendiri Mbah Cholil melakukan perlawanan.
Pertama: beliau melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini, Mbah
Cholil mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu,
berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas,
baik kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan banyaknya pemimpin
umat dan bangsa yang lahir dari tangannya; salah satu diantaranya adalah KH
Hasyim Asy’ari, Pendiri Pesantren Tebuireng.
8
Kedua: Mbah Cholil tidak melakukan perlawanan secara terbuka, melainkan
beliau lebih banyak berada di balik layar. Realitas ini tergambar, bahwa beliau tak
segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga dalam)
kepada pejuang. Mbah Cholil pun tidak keberatan pesantrennya dijadikan tempat
persembunyian.
9
Pada perkembangannya kemudian, peserta kelompok diskusi ingin
mendirikan Jam’iyah (organisasi) yang ruang lingkupnya lebih besar daripada
hanya sebuah kelompok diskusi. Maka, dalam berbagai kesempatan, Kyai
Wahab selalu menyosialisasikan ide untuk mendirikan Jam’iyah itu. Dan hal ini
tampaknya tidak ada persoalan, sehingga diterima dengan cukup baik ke semua
lapisan. Tak terkecuali dari KH Hasyim Asy’ari, Kyai yang paling berpengaruh
pada saat itu.
“Saat ini Kyai Hasyim sedang resah, antarkan dan berikan tongkat ini
kepadanya!” Kata Mbah Cholil sambil menyerahkan sebuah tongkat.
“Baik, Kyai,” Jawab As’ad sambil menerima tongkat itu.
“Bacakanlah kepada Kyai Hasyim ayat-ayat ini: Wamaa tilka biyamiinika yaa
Muusaa, Qaala hiya ‘ashaaya atawakka-u ‘alaihaa wa abusyyu bihaa ‘alaa
ghanami waliya fiihaa ma-aaribu ukhraa. Qaala alqihaa yaa Muusa. Fa-alqahaa
faidzaa hiya hayyatun tas’aa. Qaala Khudzhaa wa laa takhaf sanu’iiduhaa
shirathal uulaa wadhumm yadaka ila janaahika takhruj baidhaa-a min ghairi suu-
in aayatan ukhraa linuriyaka min aayatil kubraa,” Pesan Mbah Cholil.
As’ad segera pergi ke Tebuireng, ke kediaman Kyai Hasyim, dan di situlah berdiri
pesantren yang diasuh oleh Kyai Hasyim. Mendengar ada utusan Mbah Cholil
datang, Kyai Hasyim menduga pasti ada sesuatu, dan ternyata dugaan tersebut
benar adanya.
“Kyai, saya diutus Kyai Cholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini
kepada Kyai,” Kata As’ad, pemuda berusia sekitar 27 tahun itu, sambil
mengeluarkan sebuah tongkat, dan Kiai Hasyim langsung menerimanya dengan
penuh perasaan.
10
“Ada lagi yang harus kau sampaikan?” Tanya Kyai Hasyim.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, setahun telah berlalu, namun Jam’iyah
yang diidamkan itu tak kunjung lahir. Sampai pada suatu hari,
pemuda As’ad muncul lagi.
“Kyai, saya diutus oleh Kyai Cholil untuk menyampaikan tasbih ini,” As’ad.
“Kyai juga diminta untuk mengamalkan Yaa Jabbaar, Yaa Qahhaar (lafadz
Asma’ul Husna) setiap waktu,” Tambah As’ad.
Sekali lagi, pesan gurunya diterima dengan penuh perasaan. Kini hatinya semakin
mantap untuk mendirikan Jam’iyah. Namun, sampai tak lama setelah itu, Mbah
Cholil meninggal, dan keinginan untuk mendirikan Jam’iyah belum juga bisa
terwujud.
Baru setahun kemudian, tepatnya 16 Rajab 1344 H, “jabang bayi” yang ditunggu-
tunggu itu lahir dan diberi nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama ( NU). Dan di
kemudian hari, jabang bayi itu pun menjadi “raksasa”.
Tapi, bagaimana Kyai Hasyim menangkap isyarat adanya restu dari Mbah Cholil
untuk mendirikan NU dari sepotong tongkat dan tasbih? Tidak lain dan tak bukan
karena tongkat dan tasbih itu diterimanya dari Mbah Cholil, seorang Kyai alim
yang diyakini sebagai salah satu Wali Allah.
Mbah Cholil adalah salah satu Kyai yang belajar lebih daripada satu
madzhab saja. Akan tetapi, di antara madzhab-madzhab yang ada, beliau lebih
mendalami madzhab Syafi’i di dalam ilmu fiqh.
11
Pada masa kehidupan Mbah Cholil, yaitu akhir abad-19 dan awal abad-20, di
daerah Jawa, khususnya Madura, sedang terjadi perdebatan antara dua golongan
pada saat itu. Pada awal abad-20, seperti telah diungkapkan sebelumnya, di daerah
Jawa sedang terjadi penyebaran ajaran Tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah wa-
Naqsyabandiyah,Naqsyabandiyah Muzhariyah dan lain-lain.
Akan tetapi, tidaklah dapat dipungkiri mengenai keterlibatan Mbah Cholil dalam
tarekat, terbukti bahwa Mbah Cholil dikenal pertama kali dikarenakan
kelebihannya dalam hal tarekat, dan juga memberikan dan mengisi ilmu-ilmu
kanuragan kepada para pejuang.
Di sisi lain, Mbah Cholil pun diakui sebagai salah satu Kyai yang dapat
menggabungkan tarekat dan fiqh, yang kebanyakan ulama pada saat itu melihat
dua hal tersebut bertentangan seperti Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi,
salah satu ulama yang notabene seangkatan dengan Mbah Cholil.
Memang, Mbah Cholil hidup pada masa penyebaran tarekat begitu gencar-
gencarnya, sehingga kebanyakan ulama pada saat itu, mempunyai dan memilki
ilmu-ilmu kanuragan, dan tidak terkecuali Mbah Cholil. Namun demikian,
perbedaan antara Mbah Cholil dengan kebanyakan Kyai yang lainnya, bahwa
Mbah Cholil tidak sampai mengharamkan atau pun menyebutnya sebagai
perlakuan syirik dan bid’ah bagi penganut tarekat. Mbah Cholil justru meletakkan
dan menggabungkan antara keduanya (tarekat dan fiqh).
12
mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Kyai
Muhammad Khalil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa
Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya. Pondok-
pesantren tersebut kemudian diserahkan pimpinannya kepada anak saudaranya,
sekaligus adalah menantunya, ialah Kyai Muntaha. Kyai Muntaha ini berkahwin
dengan anak Kyai Muhammad Khalil bernama Siti Khatimah. Adapun beliau
sendiri (Kyai Khalil) mendirikan pondok-pesantren yang lain di Kota Bangkalan,
letaknya sebelah Barat kota tersebut dan tidak berapa jauh dari pondok-
pesantrennya yang lama.
Jejak dan langkahnya dalam mengasus para santrinya tetap menjadi monumen
pada pejuang penerus dan pengikutnya, hingga di Indonesia kini ada 6.000 lebih
pondok pesantren yang sebagian besar mempunyai hubungan budaya dengan NU.
Akan tetapi, Mbah Cholil muda tetap saja menjadi orang yang mandiri dan tidak
mau merepotkan orangtuanya. Karena itu, selama nyantri di Sidogiri, Mbah Cholil
tinggal di Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi
buruh batik itulah dia memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Kemandirian Mbah Cholil muda juga nampak ketika beliau berkeinginan untuk
menimba ilmu ke Mekkah. Karena pada masa itu, belajar ke Mekkah merupakan
cita-cita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya kali ini, lagi-lagi Mbah
13
Cholil muda tidak menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta
ongkos kepada kedua orangtuanya.
Sejak itu, setiap hari semua santri melakukan penjagaan yang ketat di pondok
pesantren. Hal ini dilakukan karena di dekat pondok pesantren ada hutan yang
konon angker dan berbahaya, sehingga kuatir jika yang di maksud macan akan
muncul dari hutan tersebut. Setelah beberapa hari ternyata macan yang di tunggu-
14
tunggu tidak juga muncul juga, sampai akhirnya sampai di minggu ke tiga sampai
juga belum muncul. Setelah masuk di minggu ke 3, Kyai Cholil memerintahkan
santri-santri untuk berjaga-jaga ketika ada pemuda kurus, tidak terlalu tinggi dan
membawa tas koper seng masuk ke komplek pondok pesantren.
“ Hai santri-santri, ada macan.. macan.. ayo kita kepung, jangan sampai masuk
kepondok” teriak Kiai Kholil. Mendengar teriakan kiai Kholil, serentak para santri
berhamburan membawa apa saja yang bisa dibawa untuk mengusir pemuda
tersebut yang dianggap Macan. Para santri yang sudah membawa pedang, celurit,
tongkat, dan apa saja mengerubuti “macan” yang tidak lain adalah pemuda
tersebut. Muka pemuda tersebut menjadi pucat pasi ketakutan. Karena tidak ada
jalan lain, akhirnya pemuda tersebut lari meninggalakn komplek pondok tersebut.
Karena tingginya semangat untuk nyantri ke pondok yang diasuh oleh Kiai
Kholil, keesokan harinya pemuda itu mencoba memasuki pesantren lagi.
Meskipun begitu, dirinya tetap memperoleh perlakuan yang sama seperti
sebelumnya. Karena rasa takut dan kelelahan akhirnya pemuda tersebut tidur di
bawah kentongan yang ada di mussola pondok pesantren. Ketika tengah malam,
dirinya dibangunkan dan dimarah-marahi oleh Kiai Kholil. Namun demikian,
setelah itu dirinya diajak oleh Kyai Cholil kerumah dan dinyatakan sebagai salah
satu santri dari pondok yang beliau pimpin. Sejak itu, remaja tersebut sebagai
santri pondok. Pemuda yang dimaksud diatas adalah Abdul Wahab atau Abdul
Wahab Hasbullah yang menjadi salah satu pendiri NU. Ternyata apa yang
dikatakan oleh Kiai Kholil, akhirnya Abdul Wahab Hasbullah benar-benar
menjadi “ Macan” NU.
15
mendengar niat tamunya tersebut, Kyai Cholil meminta Koh Bun Fat untuk
mendekat. Setelah mendekat, Kyai Cholil memegang kepala Koh Bun Fat dan
memegangnya erat-erat sambil mengucapkan. “Saatu lisanatan, Howang-howang,
Howing-Howing. Pak uwang huwang nuwang. Tur kecetur salang kecetur, sugih..
sugih..sugih!”. Saat itu diucapkan oleh kiai Kholil, tidak ada satupun yang ada
memahami makna apa yang diucapkan oleh Kiai Kholil. Namun, dengan kata
tanpa makna itu, Koh Bun Fat justru beerubah menjadi pengusaha Tionghoa yang
kaya raya.
16
oleh kiai-kiai lain, akhirnya nahdlatul Ulama berdiri pada tanggal 16 Rajab 1344
H/ 31 Januari 1926, atau tepat 1 tahun setelah KH Cholil wafat yang jatuh pada
tanggal 29 Romadhon 1343 H.
g. Karomah Kewalian
Ulama besar yang digelar oleh para Kyai sebagai “Syaikhuna” yakni guru
kami, karena kebanyakan Kyai-Kyai dan pengasas pondok pesantren di Jawa dan
Madura pernah belajar dan nyantri dengan beliau. Pribadi yang dimaksudkan ialah
Mbah Cholil. Tentunya dari sosok seorang Ulama Besar seperti Mbah Cholil
mempunyai karomah.
Istilah karomah berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa berarti mulia, Syeikh
Thahir bin Shaleh Al-Jazairi dalam kitab Jawahirul Kalamiyah mengartikan kata
karomah adalah perkara luar biasa yang tampak pada seorang wali yang tidak
disertai dengan pengakuan seorang Nabi.
a. Lebah Gaib
Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang
bersenjatakan lengkap dan modern.
Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan Kyai-Kyai itu bisa difungsikan menjadi
bom berdaya ledak besar. Tak ketinggalan, Mbah Cholil mengacau konsentrasi
tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Disaat ribuan
ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan buyar. Saat konsentrasi lawan buyar
itulah, pejuang kita gantian menghantam lawan.
17
“Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir tentara lawan
yang senjatanya super modern. Tapi sayang, peran ulama yang mengerahkan
kekuatan gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan,” Papar KH Ghozi, cucu KH
Abdul Wahab Hasbullah ini.
b. Membelah Diri
Kesaktian lain dari Mbah Cholil, adalah kemampuannya membelah diri.
Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa
aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Cholil melakukan
sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyup,”
Cerita KH Ghozi.
Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan
apa-apa. Langsung ngeloyor masuk rumah, ganti baju.
Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan
ke Mbah Cholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di
tengah laut, langsung ditolong Mbah Cholil.
”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah
Cholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang
perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa
sampai laut dan membantu si nelayan itu,” Papar KH Ghozi yang kini tinggal di
Wedomartani Ngemplak Sleman ini.
“Suatu hari, ada seorang keturunan Cina sakit lumpuh, padahal beliau sudah
dibawa ke Jakarta tepatnya di Betawi, namun belum juga sembuh. Lalu beliau
mendengar bahwa di Madura ada orang sakti yang bisa menyembuhkan penyakit.
Kemudian pergilah beliau ke Madura yakni ke Mbah Cholil untuk berobat. beliau
18
dibawa dengan menggunakan tandu oleh 4 orang, tak ketinggalan pula anak dan
istrinya ikut mengantar.
Melihat hal tersebut, kedua orang sakit tersebut ketakutan dan langsung lari tanpa
beliau sadari sedang sakit. Karena Mbah Cholil terus mencari dan membentak-
bentak mereka, akhirnya tanpa disadari, mereka sembuh. Setelah Mbah Cholil
wafat kedua orang tersebut sering ziarah ke makam beliau.
Melihat banyaknya petani yang datang. Mbah Cholil bertanya: “Sampean ada
keperluan, ya?”
“Benar, Kyai. Akhir-akhir ini ladang timun kami selalu dicuri maling, kami
mohon kepada Kyai penangkalnya,” Kata petani dengan nada memohon penuh
harap.
Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kyai kebetulan sampai pada kalimat “qoma
zaidun” yang artinya “zaid telah berdiri”. Lalu serta-merta Mbah Cholil berbicara
sambil menunjuk kepada huruf “qoma zaidun”.
19
“Ya.., Karena pengajian ini sampai ‘qoma zaidun’, ya ‘qoma zaidun’ ini saja
pakai sebagai penangkal,” Seru Kyai dengan tegas dan mantap.
“Sudah, Pak Kyai?” Ujar para petani dengan nada ragu dan tanda tanya.
Mereka puas mendapatkan penangkal dari Mbah Cholil. Para petani pulang ke
rumah mereka masing-masing dengan keyakinan kemujaraban penangkal dari
Mbah Cholil.
Keesokan harinya, seperti biasanya petani ladang timun pergi ke sawah masing-
masing. Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan di hadapannya.
Sejumlah pencuri timun berdiri terus-menerus tidak bisa duduk. Maka tak ayal
lagi, semua maling timun yang selama ini merajalela diketahui dan dapat
ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin melihat maling yang tidak bisa
duduk itu, semua upaya telah dilakukan, namun hasilnya sia-sia. Semua maling
tetap berdiri dengan muka pucat pasi karena ditonton orang yang semakin lama
semakin banyak.
Satu-satunya jalan agar para maling itu bisa duduk, maka diputuskan wakil petani
untuk sowan ke Mbah Cholil lagi. Tiba di kediaman Mbah Cholil, utusan itu
diberi obat penangkal. Begitu obat disentuhkan ke badan maling yang sial itu,
akhirnya dapat duduk seperti sedia kala. Dan para pencuri itupun menyesal dan
berjanji tidak akan mencuri lagi di ladang yang selama ini menjadi sasaran empuk
pencurian.
Maka sejak saat itu, petani timun di daerah Bangkalan menjadi aman dan
makmur. Sebagai rasa terima kasih kepada Mbah Cholil, mereka menyerahkan
hasil panenannya yaitu timun ke pondok pesantren berdokar-dokar. Sejak itu,
berhari-hari para santri di pondok kebanjiran timun, dan hampir-hampir di seluruh
pojok-pojok pondok pesantren dipenuhi dengan timun.
20
siap, tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada suaminya: “Pak, tolong saya
belikan anggur, saya ingin sekali,” Ucap istrinya dengan memelas.
“Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun mencari
anggur,” Jawab suaminya sambil bergegas ke luar kapal.
“Mbah Cholil?” Pikirnya. “Siapa dia, kenapa harus ke sana, bisakah dia menolong
ketinggalan saya dari kapal?” Begitu pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.
“Segeralah ke Mbah Cholil minta tolong padanya agar membantu kesulitan yang
kamu alami, insya Allah,” Lanjut orang itu menutup pembicaraan.
Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang malang itu ke Bangkalan.
Setibanya di kediaman Mbah Cholil, langsung disambut dan ditanya: “Ada
keperluan apa?”
Lalu suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal hingga
datang ke Mbah Cholil. Tiba-tiba Kyai itu berkata: “Lho, ini bukan urusan saya,
ini urusan pegawai pelabuhan. Sana pergi!”
Lalu suami itu kembali dengan tangan hampa. Sesampainya di pelabuhan sang
suami bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang menyuruh ke Mbah Cholil,
lalu bertanya: ”Bagaimana, sudah bertemu Mbah Cholil?”
“Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan,” Katanya dengan nada putus asa.
21
“Kembali lagi, temui Mbah Cholil!” Ucap orang yang menasehati dengan tegas
tanpa ragu.
Maka sang suami yang malang itupun kembali lagi ke Mbah Cholil. Begitu
dilakukannya sampai berulang kali. Baru setelah ketiga kalinya, Mbah Cholil
berucap: “Baik kalau begitu, karena sampeyan ingin sekali, saya bantu
sampeyan.”
“Saya akan penuhi semua syaratnya,” Jawab orang itu dengan sungguh-sungguh.
Lalu Mbah Cholil berpesan: “Setelah ini, kejadian apapun yang dialami sampeyan
jangan sampai diceritakan kepada orang lain, kecuali saya sudah meninggal.
Apakah sampeyan sanggup?” Seraya menatap tajam.
“Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu pejamkan matamu rapat-rapat,” Kata
Mbah Cholil.
Lalu sang suami melaksanakan perintah Mbah Cholil dengan patuh. Setelah
beberapa menit berlalu dibuka matanya pelan-pelan. Betapa terkejutnya dirinya
sudah berada di atas kapal tadi yang sedang berjalan. Takjub heran bercampur jadi
satu, seakan tak mempercayai apa yang dilihatnya. Digosok-gosok matanya,
dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya mimpi, dirinya sedang berada di
atas kapal. Segera beliau temui istrinya di salah satu ruang kapal.
“Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekali,” Dengan senyum penuh arti
seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan seolah-olah datang dari arah bawah kapal.
Padahal sebenarnya dia baru saja mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang
baru kali ini dialami selama hidupnya. Terbayang wajah Mbah Cholil. Dia baru
menyadarinya bahwa beberapa saat yang lalu, sebenarnya dia baru saja
berhadapan dengan seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar biasa.
22
I. Sejarah pondok pesantren darul ulum paterongan
Cholil sebagai mitra kerja dan sekaligus menantunya pada tahun 1885 M. Pondok
Pesantren ini didirikan bermula dari kedatangan Kyai Haji Tamim
Irsyad dari Bangkalan, Madura ke Desa Rejoso. Dia adalah murid Kyai Haji
Cholil Bangkalan. Ketika Dia datang ke Jombang atas perintah dan amanat
gurunya KH. Kholil Bangkalan untuk mengamalkan ilmunya di masyarakat. Saat
dia datang ke Peterongan, masih berupa hutan angker dan penduduknya banyak
malakukan perbuatan jahiliyah. KH. Tamim harus berjuang dengan ilmu syari'at,
thariqoh dan kanuragan agar dapat diterima dengan baik oleh masyarakat
setempat. awal mula dia mengajar di desa Pajaran. Lalu ditemukanlah
Desa Rejoso, tempat secara naluriah Keagamaan KH. Tamim yang amat
representatif sebagai lahan perjuangan menegakkan Islam. Dia dibantu oleh murid
KH. Kholil Bangkalan lain yang bernama KH.
Djuraimi yang selanjutnya berganti nama menjadi KH. Cholil. KH. Tamim
Irsyad mengajarkan Al Qur’an dan Fiqih sedangkan KH. Cholil mengajarkan ilmu
Tauhid dan Tasawuf. KH. Cholil dinikahkan dengan putri KH Tamim Irsyad yaitu
Nyai Fatimah. Pada periode ini siswa yang ada sekitar 200 orang, dari Jombang
Mojokerto, Surabaya dan Madura, beberapa orang dari Jawa Tengah. KH. Cholil
sempat Jadzab sepeninggal teman sekaligus mertuanya KH. Tamim Irsyad (1930)
dia harus mengasuh pondok sendirian. Demi pengembangan dan kaderisasi, tiga
orang kader diutus belajar di Makkah yaitu KH. Romly Tamim, KH. Dahlan
Cholil dan KH. Ma’sum Cholil.
23
1. Dewan Kyai :
2. Dewan Guru :
3. Dewan Harian :
4. Dewan Keuangan :
Bidang Pendidikan
Perkembangan Kelembagaan
Bidang Pendidikan
24
1. Pada 1986, dibangun gedung perkuliahan Fakultas Hukum dan Teknik
di Jombang, & gedung SMA Darul 'Ulum 1 & Asrama Ibnu Siena.
2. Pada 1987, dibangun gedung Fakultas Tarbiyah di Jl. Rejoso, Peterongan,
& SMA Putri bersama dengan Asrama Raden Rahmat.
3. Pada 1989, dibangun gedung MAN Rejoso & MTsN
Rejoso bersamaan Asrama Bani Tamim & Asrama Al-Ghozali.
4. Pada 1990, dibangun gedung Pertemuan Universitas Darul 'Ulum dengan
kapasitas 2000 orang.
5. Pada 1992, dibangun gedung Akademi Perawatan Darul 'Ulum.
Bidang Kepemimpinan
II. Tujuan dari Pondok Pesantren Darul Ulum adalah sebagai berikut :
a. Membentuk kader muslim yang sejati. aktif dalam menjalankan
ajaran islam dan konsekuen terhadap kesaksiannya.
b. Menempatkan ilmu pengetahuan sebagai penegak agama dan
negara. Seperti semboyan Pondok Pesantren Darul Ulum,
maksudnya : Orang - orang yang mempunyai Ilmu pengetahuan
selalu dalam sikapnya.
c. Membentuk manusia - manusia yang akrab dan selalu mencintai
Allah SWT. Lewat kesadaran bahwa hanya petunjuknya yang akan
sanggup menciptakan kebaikan seperti sabda Rasulillah
SAW :maksudnya barang siapa bertambah ilmunya dan tidak
bertambah petunjuk allah SWT, maka akan menjauhkan dari
kedamaian.
III. Struktur Organisasi
25
Pertama, Menentukan kebijaksanaan umum dan mendasar arah pengajian,
pengajaran dan pendidikan di Darul Ulum. Kedua, Menentukan Kebijaksanaan
penggalian dana dan pengelolaan dana diseluruh Unit Asrama, Madrasah serta
Sekolah. Anggota MPP terdiri atas delapan orang yang berasal dari Perwakilan
Dzurriyyat Pendiri Pondok Pesantren di mana KH. Tamim Irsyad sebagai pendiri
memiliki tiga keturunan, yaitu:
Saat ini, Anggota MPP terdiri dari: Bani Cholil diwakili oleh: - Drs. KH. Cholil
Dahlan - Drs. H. Hamid Bisri, SE. MSi
Bani Romly diwakili oleh: - KH. Tamim Romly, SH. M.Si - Rohmatul Akbar, ST
- Dr. H. M. Afifuddin Dimyathi, MA.
2. KH. Cholil
26
9. KH. Sufyan Cholil
Berikut daftar unit pendidikan yang ada di Pondok Pesantren Darul Ulum
(Rejoso):
1. Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Rejoso
2. Madrasah Tsanawiyah (MTs) Plus Darul Ulum
3. Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Rejoso di Pondok Pesantren Darul
27
Ulum (Rejoso)
4. SMP Darul Ulum 1 Unggulan
5. SMP Negeri 3 Peterongan di Pondok Pesantren Darul Ulum (Rejoso)
6. SMA Darul Ulum 1 Unggulan BPPT
7. SMA Darul Ulum 2 Unggulan BPPT (Sekolah Berstandar Internasional)
8. SMA Darul Ulum 3 Bilingual
9. Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Rejoso di Pondok Pesantren Darul Ulum
(Rejoso)
10. Madrasah Aliyah (MA) Unggulan Darul Ulum
11. SMK Darul Ulum 1 (Teknik Mesin, Teknik Sipil)
13. SMK Telkom Darul Ulum, Teknik Komputer dan Jaringan, Multimedia,
Rekayasa Perangkat Lunak)
14. Universitas Darul Ulum (UNDAR) di Kota Jombang
15. Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum (UNIPDU) di Komplek Pondok
Pesantren Darul Ulum (Rejoso)
28
BAB III
PENUTUP
I. KESIMPULAN
A. syekhona kholil
Pesantren yang dirintis pertama kali oleh KH. Tamim Irsyad pada
tahun 1885 ini dengan upaya serta kerja keras sehingga terwujudlah salah satu
lembaga pendidikan islam yaitu Pondok Pesantren Darul 'Ulum (Rejoso) yang sec
ara bahasa Darul berarti Gudang sedangkan 'Ulum, jamak dari ilmu yang berarti
ilmu-ilmu, sehingga secara garis besar Darul 'Ulum memiliki arti “Gudangnya
Ilmu-ilmu”, yang filosofinya tampak jelas dalam nama pondok pesantren tersebut.
Sehingga, sampai detik ini Pondok Pesantren Darul 'Ulum (Rejoso) masih
dipercaya untuk mengayomi para santri dari penjuru Nusantara kurang lebih
sekitar 5000 santri yang menimba ilmu di sana.
Sejak berdirinya pondok pesantren Darul Ulum yang merupakan salah satu
wadah pembentukan kaderisasi calon kholifah bangsa telah ditanamkan beberapa
29
kriteria dasar tentang tujuan dan dasar didirikannya. Seringkali para sesepuh
sebelum beliau (KH Tamim Irsyad) menekankan hal tersebut secara eksplisit dan
memberikan estafet tonggak kepemimpinannya pondok pesantren Darul Ulum
pada generasi penerusnya .
II. SARAN
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan karya tulis ini banyak ditemui
kesulitan, oleh karena itu kami mengharapkan saran dan kritik agar kami dapat
menyempurnakan karya tulis ini.
Demikianlah Kesimpulan dan saran dalam pembuatan karya tulis ini. Dalam
pembuatan karya tulis ini banyak sekali kekurangan-kekurangan, untuk itu
penulis sebagai manusia biasa mohon maaf atas segala keurangan dan kekhilafan.
Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi kita semua.
30
DAFTAR PUSTAKA
31