Anda di halaman 1dari 4

BIOGRAFI K.H.

ABDUL HALIM
A. Riwayat Keluarga Abdul Halim
Otong Syatori adalah nama asli K.H. Abdul Halim. Ia di lahirkan di Desa Ciborelang
Kecamatan Jatiwangi Kabupaten Majalengka pada Sabtu Pon menurut perhitungan Jawa, 4
Syawal 1304 Hijriyah atau 26 Juni 1887. Ayahnya bernama K.H. Muhammad Iskandar,
seorang penghulu kawedanaan Jatiwangi dan ibunya bernama Hj. Siti Mutmainnah binti
Imam Safari.
Silsilah nenek moyang dari pihak ayahnya adalah berasal dari keturunan Banten. Salah
seorang ulama yang hijrah dari Banten adalah K.H. Abdullah Komar bin Nursalim ayah dari
K.H. Muhammad Iskandar.2 Namun dalam buku karya Cucum Sumiati, Kiprah KyaiI Abdul
Halim Dan Perjuangannya Dalam Peyebaran Agama Islam, tentang biografi K.H. Abdul
Halim. Dalam buku ini dinyatakan bahwa K.H. Abdul Halim masih keturunan Maulana
Hasanudin, anak Sunan Gunung Jati yang menjadi penguasa Kesultanan Banten.3 Dari pihak
ibunya, Hj. Siti Mutmainah yang merupakan putri dari K.H. Imam Safari, masih termasuk
keturunan dari Sultan Syeh Syarif Hidayatullah yang lazim dikenal dengan Sunan Gunung
Jati.
Dari pernikahan K.H. Muhammad Iskandar dengan Hj. Siti Mutmainah dikaruniai
delapan anak. Otong Syatori adalah anak terakhir (bungsu) dari 8 orang bersaudara. Dua
saudara laki-laki dan lima perempuan. Saudara-saudaranya itu adalah : Iloh Mardiyah,
Empon Kotbiyah, Empu Sodariyah, Jubaedi, Iping, Maesaroh, Siti Sa’diyah.
Pada usia 10 tahun, Otong Syatori bersama orang tuanya meninggalkan tampat kelahirannya
Desa Cibolerang Jatiwangi. Muhammad Iskandar beserta keluarga meninggalkan desa
kelahirannya karena mengikuti tempat kerja. Selanjutnya mereka tinggal di kampung Cideres
Desa Dawuan Majalengka.

B. Silsilah Keluarga K.H. Abdul Halim


Sebelum berangkat ke Mekah, Otong Syatori dijodohkan secara kawin gantung oleh
orang tuanya kepada seorang gadis yang amat belia berumur 11 tahun bernama Siti
Murbiyah. Kawin gantung merupakan perkawinan yang sudah syah, tetapi suami dan istri
belum boleh serumah atau masih tinggal di rumah masing-masing. Perkawinan ini belum
diresmikan secara penuh, karena pengesahannya ditunda setelah dewasa atau persyaratan
lainnya terpenuhi.
Siti Murbiyah, isteri dari kawin gantung dengan Otong Syatori yang hendak
ditinggalkan pergi ke kota Mekah itu adalah putri bungsu K.H. Muhammad Ilyas bin Hasan
Basyari bin Imam Safari. Ia adalah seorang pejabat Hoofd Penghulu Landraad Majalengka
(sebanding dengan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Majaelngka).
Tidak lama setelah melangsungkan pernikahan yang bersifat kawin gantung, Otong
Syatori berangkat ke Mekah yang berada di Semenanjung Arab itu. Siti Murbiyah yang
berstatus isteri dari hasil pernikahan secara kawin gantung, masih tinggal bersama orang
tuanya. Sedangkan, Otong Syatori sebagai suaminya pergi ke tanah suci untuk menunaikan
ibadah Haji, yang dilanjutkan bermukim di sana sambil memperdalam ilmu agama.
Pada usia 10 tahun (1908), Otong Syatori sudah belajar mengaji (membaca) mushaf Al-
Qur’an. Dimulai dengan huruf Hijaiyah dengan sistem yang berlaku pada saat itu, yaitu
dengan sistem atau kaidah Bagdadiyah yang disusun dan digabungkan dalam permulaan
mushaf di Al-Qur’an dan juz ‘Ama. Selanjutnya baru membaca Al-Qur’an di bawah
bimbingan seorang Kiai di Kampung Cideres. Beliau juga belajar bahasa latin kepada Van
Houven seorang pendeta Kristen (Protestan) dari bangsa Belanda yang berada di Cideres
Majalengka, Van Houven selain seorang pengajar bahasa latin dia juga memiliki sebuah
klinik yang sekarang menjadi Rumah Sakit Cideres, karena disana pusat Zending. Pada tahun
1901, tepat pada usia 15 tahun, K.H. Abdul Halim meneruskan ke pesantren-pesantren: K.H.
Abdullah di Pesantren Lontang Jaya, Desa Panjalin, Kecamatan Leuwimunding, Kabupaten
Majalengka. K.H. Sijak di Pesantren Bobos, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon. K.H.
Sobari di Pesantren Ciwedus, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan. K.H. Agus di
Pesantren Kedungwangi, Pekalongan, Jawa Tengah.
Pada tahun 1908, para pemuda terpelajar Indonesia yang tergabung dalam study fonds
(dana pelajar) mahasiswa kedokteran Java Stovia, melakukan pergerakan dengan membetuk
organisasi Budi Utomo. Perhimpunan tersebut didirikan oleh dr. Sutomo dan kawan-kawan
dengan perintisnya Dr. Wahidin Sudirohusodo. Pada tahun berdirinya organisasi pergerakan
Budi Utomo, Otong Syatori menginjak usia 21 tahun.
Kemauan dan minat yang kuat untuk menambah dan memperdalam ilmu agama datang
dari diri Otong Syatori. Dan kedua orang tuanya, terutama ayahnya sangat mendukung
terhadap keinginan Otong Syatori. Menurut Muhammad Iskandar, dengan banyak
mempelajari ilmu agama dapat membantu anaknya pada ketaqwaan dan akhlaqul karimah.
Selain itu, melalui belajar ilmu agama dapat meningkatkan kecerdasan dan kemampuan
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi, manfaat dan aplikasinya dalam meningkatkan
kualitas hidup nanti.
Salah satu tempat menimba ilmu dan memperdalam ilmu umum dan agama para
pemuda pendatang dari berbagai kota dan negara itu adalah Madrasah Saulatiyah. Madrasah
tersebut merupakan madrasah tertua di kawasan Semenanjung Arab yang didirikan oleh
Daulat An-Nisa dari India. Madrasah tersebut terletak di kota Mekah.
Sambil menimba ilmu di madrasah, ketika berada di Mekah. Abdul Halim mengenal
dan mempelajari tulisan-tulisan Sayid Jamaludin Al Afgani, seorang pemimpin pergerakan
permbaruan Islam modern. Dari gelar yang disandangnya menunjukan bahwa ia berasal dari
keturunan Husain bin Ali bin Abi Talib. Jamaluddin Al Afgani merupakan ilmuwan dan
politisi yang amat ternama di Istambul.
Jamaludin Al Afgani merasa tergerak oleh keadaan umat Islam waktu itu yang
keadaanya lemah, statis, fatalis dan mundur. Melalui pergerakannya, ia berjuang mengatasi
keadaan tersebut dengan melenyapkan pengertian salah satu yang dianut umat Islam dan
mengajak untuk kembali ke ajaran yang sebenarnya. Menurut dia, islam mencakup segala
aspek kehidupan, baik ibadah, hukum, maupun sosial.
Oleh Abdul Halim, riwayat perjuangan Jamaluddin Al Afgani dalam Gerakan Nasional
Mesir juga dipelajari. Gerakan ini banyak mengecam kebijakan pemerintah Mesir yang
terlalu memberi hati atau peluang kepada penguasa Barat, Inggris, dan Perancis.
Selain banyak mempelajari pemikiran-pemikiran Sayid Jamaluddin Al Afgani, Abdul Halim
juga banyak membaca buku karya Syeh Muhammad Abduh. Ia adalah seorang pengajar,
pemikir, teolog, poitisi, jurnalis dan pembaharu Islam di Mesir.
Melalui buku-buku yang di pelajari oleh Abdul Halim dan Jamaluddin Al Afgani,
pemikiran-pemikiran dari Syeh Muhammad Abduh banyak yang diserap. Pemikiran dari
kedua tokoh itu suatu saat dijadikan modal untuk pergerakan dan perjuangannya dalam
mengangkat martabat kaum muslim di tanah air. Tidak hanya itu, sikap kebangsaan Abdul
Halim juga terus bangkit guna melawan kolonial Belanda yang sedang berkuasa di Indonesia.
Ketika berada di Mekah, Abdul Halim bertemu dengan Ahmad Sanusi. Pemuda asal
Sukabumi itu berada di kota suci Mekah dalam rangka menunaikan ibadah haji yang
dilanjutkan memperdalam ilmu agama. Ia berada di kota Mekah sejak tahun 1904, empat
tahun lebih awal dari Abdul Halim.
Pertemuan kedua pemuda asal Indonesia tersebut berlanjut dengan persahabatan,
sambil menimba ilmu di tempat yang sama. Persahabatan kedua pemuda Pasundan itu sangat
akrab. Mereka sering terlibat diskusi dalam bidang pendalaman ilmu agama juga situasi tanah
air yang sedang dijajah oleh bangsa Belanda. Mereka sepakat, suatu ketika bila kembali ke
tanah air akan melakukan pergerakan dan perbaikan bangsa.
Selain dengan Ahmad Sanusi, Abdul Halim juga bertemu dengan pemuda Indonesia
lainnya yakni Mas Mansur asal kota Surabaya (seorang tokoh Muhammadiyah). Mereka
sepakat untuk mengangkat derajat dan masa depan bangsa Indonesia yang sedang ditindas
oleh kolonial Belanda. Upaya yang dirancang oleh mereka adalah melalui jalur pendidikan
umat.

D. Akhir Hayat K.H. Abdul Halim


Pada tahun 1956 kesehatan beliau senantiasa terganggu karena mengidap penyakit
diabetes. Namun dalam keadaan sakit seperti itu beliau masih tetap berusaha untuk
memelihara dan memantau terus keadaan pesantren Santri Asromo. Untuk memimpin kaum
dewasa, beliau menetapkan setiap hari senin selama seminggu sekali selalu mengadakan
Pengajian Umum. Maka pada setiap pengajian inilah beliau dapat bertemu dan bersilaturahmi
dengan masyarakat umum (pengunjung pengajian).
Akan tetapi, Allah SWT berbuat sesuatu menurut rencana dan kehendak- Nya. Maka
pada hari senin tanggal 7 Mei 1962 atau 3 Dzulhijah 1381 sekitar jam 15.05 WIB K.H. Abdul
Halim berpulang ke Rahmatullah di Santi Asromo dalam usia 75 tahun. Kemudian keesokan
harinya beliau dimakamkan di Santi Asromo.

Anda mungkin juga menyukai