Anda di halaman 1dari 15

SINGA BETAWI

KH. Abdullah Syafi’i, lahir di Bali Matraman Jakarta Selatan pada tanggal
10 Agustus 1910 dan wafat pada tanggal 3 September 1985 di Jakarta Selatan.
Ayahandanya bernama H. Syafi’i bin Sairan yang bekerja sebagai saudagar buah-
buahan. Sedangkan ibunya bernama Nona binti Sya’ari yang selain memiliki hobi
berdagang juga memiliki keterampilan membuat kecap untuk dipasarkan dari
rumah ke rumah. Dari pasangan suami istri itulah lahir KH. Abdullah Syafi’i dan
dua orang saudara perempuannya, yaitu Rukoyyah dan Aminah.
Di usia yang masih muda, Abdullah Syafi’i bersama orang tuanya telah
melaksanakan ibadah haji ke Makkah selanjutnya pada usia 18 tahun ia sudah
menikah dengan Siti Rogayah binti KH. Ahmad Mukhtar, seorang wanita
terpelajar dan pernah menjadi pembaca Al-Qur’an di Istana Negara di hadapan
Presiden Sukamo pada tahun 1949. Dari pernikahannya ini, KH. Abdullah Syafi’i
memiliki lima orang anak yang bernama Muhibbah, Tuty Alawiyah, Abdur
Rasyid, Abdul Hakim dan Ida Farida.
Pada tahun 1951, Siti Rogayah, isteri KH. Abdullah Syafi’i meninggal
dunia. Kemudian pada tahun 1958, putrinya yang tertua, Muhibbah juga dipanggil
oleh Yang Maha Kuasa. Terdorong oleh kebutuhan teman pendamping dalam
rangka memperjuangkan cita-citanya untuk memajukan masyarakat, maka atas
restu dari keluarganya, ia menikah lagi dengan seorang gadis yang bernama
Salamah. Dari perkawinan yang kedua ini, ia dikaruniai sepuluh orang anak, yaitu
Mohammad Surur, Syarif Abdullah, Mohammad Zaki, Elok Khumaira, Ainul
Yaqin, Syafi’i Abdullah, Nufzatul Tsaniyah, Muhammad, Thuhfah, dan Laila
Sakinah.
KH. Abdullah Syafi’i yang sehari-harinya dipanggil dengan nama Dulloh,
sebenarnya memiliki bakat berdagang sebagai mana orang tuanya. Ketika ia
menuntut ilmu agama di berbagai daerah, ia telah berdagang barang-barang
keperluan masyarakat, seperti kain batik dan songkok. Ia dikenal sebagai ulama
yang energik, berbagai kegiatan ia lalaikan, mulai dari memberikan ceramah
pengajian di beberapa majlis ta’lim, mendirikan dan mengelola pendidikan agama
yang kemudian berkembang secara luas, dengan tidak meninggalkan profesinya
dalam bidang perdagangan.
Pendidikan KH. Abdullah Syafi’i dimulai dengan memasuki Sekolah
Rakyat (SR) hanya selama 2 tahun. Setelah itu ia belajar dari satu ustadz ke ustadz
yang lain, dari satu habib ke habib yang lain. Ayahnya memberikan sarana dan
fasilitas yang berupa sepeda yang pada saat itu tergolong barang yang mewah.
Dengan sepeda ia mendatangi guru-gurunya untuk mempelajari agama Islam.
Bahkan ia pernah belajar ke seorang guru yang berada di Bogor yang jaraknya
puluhan kilometer dari Jakarta dengan mengendarai sepeda.
Di antara ulama yang pernah menjadi gurunya adalah Mu’alim Al-
Mushonif dalam bidang nahwu, KH. Abdul Majid (Guru Majid) dan KH Ahmad
Marzuki (Guru Marzuqi) dalam bidang fiqih, Habib Alwi Al Haddad dalam
bidang tasawuf, tafsir dan ilmu pidato, Habib Salim bin Jindan di Jatinegara
dalam bidang ilmu hadist, Guru Mansur dalam bidang falaq dan Habib Ali
Kwitang. Saat belajar kepada Habib Ali, ia bersama KH. Fathullah Harun dan KH
Tohir Rohili dipersaudarakan oleh Habib Ali dengan putranya, Habib Muhammad
Al-Habsyi. Dari KH. Abdullah Syafi’i dan KH. Tohir Rohili berdiri dan
berkembang pesat majelis taklim As-Syafi’iyah dan At-Tahiriyah. Sedangkan KH.
Fathullah Harun menjadi Ulama Betawi terkenal di Malaysia dan menjadi Imam
Besar di masjid Negara Kuala Lumpur.
Hal tersebut menunjukkan bahwa cara belajar yang digunakan KH.
Abdullah Syafi’i adalah Rihlah ilmiyah yang di dalam dunia Islam sudah lama
dikenal. Di antara cara belajar yang digunakan KH. Abdullah Syafi’i adalah
bahwa pada setiap hari tidak kurang dari 4 jam ia pergunakan untuk membaca
kitab yang dilanjutkan dengan membuat catatan yang berupa intisari dari kitab
yang dibacanya itu. Catatan riwayat hidupnya mengatakan, bahwa pada menit
terakhir dia akan dipanggil Allah (wafat), ia meminta kepada putra-putrinya agar
selalu membaca sebuah kitab. Salah seorang putranya, Abdul Rasyid mengatakan,
bahwa KH. Abdullah Syafi’i memiliki semangat menuntut ilmu yang tinggi dan
pembaca yang kuat, bahkan sebelum ia dipanggil Allah SWT masih sempat
meninggalkan sebuah kitab untuk dibaca.
Setelah ia merasa cukup memiliki bekal pengetahuan agama, maka
mulailah ia berusaha mengamalkannya. Pada usia yang tergolong muda, yaitu usia
18 tahun, ia telah mendirikan madrasah yang bertempat di tanah wakaf seluas
8000 m2 yang, diberikan oleh ayahnya di kampung Bali Matraman. Awalnya
didirikan Madrasah Islamiyah yang akhirnya berganti nama Perguruan As-
Syafi’iyah. Lalu di usia 23 tahun atau pada tahun 1933 ia mendirikan Masjid Al-
Barkah. Dalam perkembangannya Masjid Al-Barkah digunakan sebagai tempat
pengajian yang selanjutnya berkembang pesat sehingga membuat cabang di
Kebon Jeruk Jakarta Barat, Pejaten Jakarta Selatan dan Bekasi Jawa Barat. KH.
Abdullah Syafi’i mempunyai semangat dan dorongan untuk mendirikan madrasah
berdasarkan pertimbangan sebagai berikut.
Pertama, ia melihat bahwa Bangsa Indonesia terutama etnis Betawi masih
banyak yang bodoh sehingga secara sosial ia terpinggirkan. Kedua, untuk
kalangan masyarakat Betawi, madrasah lebih diminati ketimbang pesantren.
Ketiga, masyarakat Betawi yang umumnya beragama Islam yang taat lebih
memilih madrasah daripada masuk sekolah Belanda. Keempat, berdirinya
madrasah pada waktu itu dapat dinilai sebagai respons dari adanya modernisasi
yang terjadi di Batavia serta pengaruh dari Timur tengah, khususnya Mesir.
Kelima, sebagai orang yang dibesarkan di kalangan komunitas Betawi yang
religius dan agamis, tentu saja KH. Abdullah Syafi’i lebih memilih lembaga
pendidikan yang bernuansa Islami.
Sehubungan dengan keberhasilannya dalam bidang pendidikan ini, pada
usia 21 tahun ia mendapatkan sertifikat atau beslit dari Rachen Scahf, sebagai
pengakuan bahwa ia layak untuk menjadi pendidik. Di madrasah yang
dimilikinya, ia bersama istrinya, Rogayah mengajarkan ilmu agama, seperti ilmu
tauhid, ilmu fiqih, ilmu akhlaq dan ilmu-ilmu agama lainnya.
Seiring dengan perkembangan pengajian, Madrasah Diniyah pun ikut
berkembang. Pada tahun 1957 didirikan Madrasah Tsanawiyah (MTS), Raudhatul
Athfal pada tahun 1969. Setahun kemudian pada 1970 didirikan Sekolah Dasar
(SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) hingga Sekolah Lanjutan
Tingkat Atas (SLTA). Pengembangan lembaga pendidikan formal ini tidak hanya
di Bali Matraman tetapi juga di Jatiwaringin. Selain itu juga mengembangkan
kegiatan sosial, seperti poliklinik, pondok yatim piatu dan untuk kepentingan
dakwah didirikan Radio AKPI As-Syafi’iyah.
Selain sebagai pendidik yang tekun, KH. Abdullah Syafi’i juga termasuk
orang yang gemar bergaul dengan tokoh-tokoh masyarakat pada tingkat nasional
dan dari berbagai etnis, seperti Ambon, Bali, Jawa dan Sumatra. Dalam kaitan ini
ia pernah bergabung dalam Masyumi dan dekat dengan Muhammad Natsir,
bahkan ia berhasil mengajak Natsir masuk ke dalam Majlis Dzikir Mudzakaroh
untuk mengkaji kitab kuning. Setelah Masyumi bubar, KH. Abdullah Syafi’i tidak
lagi berkiprah dalam bidang politik, melainkan lebih mengabdikan dirinya untuk
pendidikan dan Majlis Ulama Indonesia hingga ia menjadi Ketua I MUI Pusat.
Pada tahun 1978-1985, ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Ketua Umum
MUI DKI Jakarta dan kemudian pada tahun 1982 ia ditunjuk sebagai penasihat
MUI Pusat yang pada waktu itu diketuai oleh Buya Hamka. Dalam kedudukannya
sebagai ketua MUI DKI Jakarta ini ia menjalin hubungan baik dengan Ali
Sadikin, Gubernur DKI Jakarta.
TAULADAN BELIAU
Kendati dekat dengan Gubernur, ia tetap bersikap kritis terhadap berbagai
kebijakan pemerintah DKI Jakarta. Ia misalnya mengkritik kebijakan pemerintah
yang melokalisasi wanita tuna susila, melegalisasi perjudian dan sebagainya.
Kepopuleran dan besarnya pengaruh KH. Abdullah Syafi’i antara lain
karena peran, sumbangan dan pengabdiannya dalam kepentingan agama, bangsa
dan negara serta karena keluhuran budi pekerti dan akhlaqnya. Ia dikenal sebagai
orang yang memiliki kepribadian yang terbuka luwes dalam bergaul. Karena sifat
ini ia memiliki hubungan yang luas dengan hampir seluruh lapisan masyarakat,
mulai dari pejabat tinggi pemerintahan, pejabat militer, ulama besar, tokoh
pimpinan organisasi politik, bahkan pada masyarakat yang paling rendah seperti
dengan karyawannya, tukang-tukang batu, yatim piatu, wanita-wanita jompo yang
miskin dan sebagainya.
Selain itu juga dikenal sebagai orang yang memiliki pandangan yang luas dan
toleran dalam pandangan keagamaannya, hal ini dapat terlihat pada komentar
Hamka sebagai berikut:
Ketika saya, KH Hasan Basri serta Kiai, sama-sama pergi ke Yogyakarta, sebagai
basisnya Muhammadiyah, di sana kami melaksanakan shalat Jum’at yang
khatibnya KH Hasan Basri. Sebagaimana tradisi di masjid-masjid Yogya pada
umumnya, bahwa setelah adzan, khotib langsung berdiri menyampaikan khutbah,
tanpa ada shalat qabliyah seperti yang dijumpai di Masjid al-Barkah
Balimatraman yang dipimpin KH. Abdullah Syafi’i. Ternyata Pak Kiai mengikuti
jama’ah lain. Ia tidak melakukan shalat Sunnah qabliyah.
Selanjutnya KH. Abdullah Syafi’i juga dikenal sebagai ulama yang
tawadhu, dirinya berasal dari orang pinggiran. Namun ia tidak merasa canggung
untuk berdialog dan bertukar pikiran dengan semua lapisan masyarakat, baik
dengan kaum awam maupun dengan kaum cendikiawan.
Ketelitian dan rasa hematnya merupakan sifat lainnya yang dijumpai oleh
KH. Abdullah Syafi’i. Menurut salah seorang muridnya, bahwa KH. Abdullah
Syafi’i kerapkali memiliki ide untuk membangun pendidikan Islam. Ia tidak
pernah berhenti mengawasi pembangunan yang dilakukannya. Ia selalu
mengawasi para pekerja pembangunan dan selalu teliti dan hemat terhadap bahan-
bahan bangunan yang tersisa untuk selalu dimanfaatkan untuk gedung yang
sedang dibangun. Para tamu KH. Abdullah Syafi’i sering kali diajak berkeliling
melihat hasil atau proses pembangunan. Pada saat itu tidak jarang beliau
memungut kayu yang tercecer, ia akan marah kepada mandor atau tukang bila
menyia-nyiakan sisa semen atau potongan kayu.
KH. Abdullah Syafi’i juga dikenal sebagai sosok yang memiliki kepedulian sosial
yang tinggi. Ketika sekolah melaksanakan hari libur nasional ia tidak sepenuhnya
meliburkan sekolahnya. Sekolah tetap dibuka, walaupun hanya untuk setengah
hari, karena ia kasihan pada para pedagang yang biasa berdagang di lingkungan
sekolahnya. Selain itu kepada para siswanya dan juga kepada kaum muslimin
sering kali ia membagi-bagikan keperluan untuk shalat atau membagikan kitab
Al-Qur’an yang dicetak di percetakaannya.
KARYA TULIS K.H ABDULLAH SYAFI’I

Selama hidupnya ia menyempatkan dirinya untuk menulis. Di antara karya


tulisannya :
1. Al-Muasasat Al-Syafi’iyah Al-Ta’limiyah. Kitab ini menjelaskan tentang
latar belakang didirikannya madrasah serta materi pendidikan yang diberikan
pada siswanya.
2. Bir Al-Walidain. Buku ini mengupas tentang kondisi ibu yang tengah
hamil dan dengan susah payah dengan mempertaruhkan jiwa dan raga. Peran
orang tua tersebut dilanjutkan dengan pemberian nama, pemeliharaan dan
mengawasi jiwa, pikiran dan perasaannya dengan pendidikan dan
pengajaran. Buku itu mengajak kepada semua anak agar menghormati dan
berbakti kepada orang tua dalam rangka berbakti kepada Allah dan Rasulnya.
3. Penduduk Dunia Hanya ada Tiga Golongan. Di dalam buku ini KH.
Abdullah Syafi’i mencoba membagi dan menyelami potensi dan karakter
manusia dengan membaginya ke dalam tiga golongan. Pertama kelompok
manusia yang beriman (mukmin), yaitu manusia yang meyakini Allah
mengikut perintah dan menjauhi larangannya. Kedua, manusia yang ingkar
terhadap ajaran Allah (Kafir), yaitu manusia yang tidak percaya Allah serta
senantiasa melanggar perintah-Nya. Ketiga, manusia yang menampilkan
sikap yang berbeda antara ucapan dan perbuatannya berbeda (Munafiq). Dua
manusia yang disebutkan itu adalah manusia yang akan mendapatkan
kerugian terutama di akhirat nanti.
4. Mu’jizat Sayiduna Muhammad. Di dalam karya tulisnya ini KH. Abdullah
Syafi’i mengupas tentang Mu’jizat Nabi Muhammad SAW serta nabi nabi
lainnya sebagai perbandingan. Pada kesimpulannya, ia mengatakan bahwa
Mu’jizat Nabi Muhamad memiliki kelebihan dibanding mu’jizat nabi-nabi
sebelumnya.
5. Al-Dinu wa Al-Masjid. Karya ini membahas mengenai hubungan yang
erat antara agama dan tempat ibadah (masjid). Menjalin hubungan antara
agama dan masjid adalah merupakan hal yang amat penting dan orang yang
memakmurkannya akan mendapatkan kemakmuran dan pahala yang besar di
sisi Allah.
6. Madarij Al-Fiqh. Dalam bukunya ini, KH. Abdullah Syafi’i membahas
mengenai pengertian agama, pengertian Islam, iman dan rukun-rukunnya,
termasuk dibahas pula di dalamnya tentang najis dalam kaitannya dengan
shalat, qunut dan lainnya.

PERJUANGAN DI BIDANG PENDIDIKAN DAN KARIER

Kecintaan Kyai Abdullah Syafi’ie terhadap ilmu dan pendidikan juga luar
biasa. Saat usia 18 tahun ia meminta ayahnya, H. Syafi’ie,  untuk menjual sapi-
sapi miliknya yang kandangnya dibuat di samping rumah. Ia ingin menjadikan
tempat tersebut untuk berkumpul dan mendalami serta mendiskusikan ilmu agama
dengan teman-temannya. Ayahnya meluluskan. Itulah madrasah pertama yang
didirikan K.H. Abdullah Syafi’ie pada tahun 1828.
Tahun 1933 K.H. Abdullah Syafi’ie berhasil melebarkan sayap dakwahnya
dengan membeli sebidang tanah yang kemudian diwakafkan dan dijadikan masjid
dengan nama Masjid al Barkah.  Sejak itulah Masjid al Barkah semakin
dikenal karena keramaian jama’ah dan kepiawaian K.H. Abdullah Syafi’ie
memikat hati jamaah dalam berbagai ceramahnya.

Tahun 1954, Kyai Abdullah Syafii membeli lagi tanah di depan Masjid al


Barkah yang diniatkan untuk pengembangan Sekolah Menengah atau
Tsanawiyah yang kemudian resmi dinamakan Perguruan Islam As-Syafi’iyyah. 
Di dalamnya ada lembaga pesantren untuk putra dan putri dan madrasah yang
berjenjang mulai Ibtidaiyyah, Tsanawiyyah dan Aliyah. Dari hari ke
hari, Perguruan Islam As-Syafiiyah semakin berkembang.

Dunia pendidikan pun menyatu dalam dirinya. Melalui Perguruan Islam


As-Syafi’iyah, ulama yang kerap dipanggil H. Dulah ini, berusaha memberikan
pendidikan agama semaksimal mungkin kepada para santri. Makanya, tak heran,
jika sebagian santri yang diasuhnya puluhan tahun kemudian menjadi ulama
terkenal.

Kedisiplinan menuntut ilmu serta menjalankan ibadah yang diterapkan


K.H. Abdullah Syafi’ie kepada para santri memang tidak tanggung-tanggung. Ini
tentu pernah dialami bagi siapa saja yang pernah mondok di perguruan tersebut.

Keunikan K.H. Abdullah Syafi’ie, ia bukan hanya mendirikan lembaga.


Tapi, ia mengajar langsung murid dan santrinya.  Sesekali, Kyai masuk ke kelas-
kelas, sekolah atau masjid dengan memberi dorongan dan keteladanan. Seorang
alumni As-Syafi’iyah berbagi pengalaman, K.H. Abdullah Syafi’ie setidaknya
datang ke sekolah tiap dua bulan. Dalam setiap kunjungannya, ia menulis kalimat
bahasa Arab di papan tulis. Lalu dimintanya salah satu murid untuk
mengi’rab (menganalisis secara tata bahasa Arab) kalimat tersebut. Jika murid
tersebut berhasil mengi’rab dengan benar, maka beliau langsung mendo’akannya.
Jika gagal, ia memberi peringatan keras dan mendorong murid belajar lebih giat.
Dalam kegiatan pengajian pun, K.H. Abdullah Syafi’ie sangat memperhatikan
bacaan para muridnya saat membaca kitab kuning,  sampai titik koma, dan tata
bahasanya. 

KETEGASAN BELIAU SEBAGAI PENDIDIK

Usai shalat berjamaah di Masjid Al-Barkah, para santri acapkali disuruh


datang ke rumah Pak Kiyai. Letak tempat tinggal Pak Kiyai sekitar 200 meter dari
masjid. Sebagian besar santri laki-lak ini tentu saja bertanya-tanya di dalam
hati: ada apa gerangan sehingga PaK Kiyai memanggil?. Memang, perintah Pak
Kiyai ini seringkali mendadak. Tidak diduga sebelumnya. Namun, karena ini
perintah yang harus ditaati, para santri pun segera ke rumah Pak Kiyai.

Sesampainya di rumah Pak Kiyai, Ustadz Rohimi (alm), salah seorang


guru di madrasah menyuruh para santri untuk masuk ke ruang tamu. Pak Kiyai
masih ada di dalam kamar saat itu. Para santri tentu masih diselimuti tanda tanya
di dalam hati tentang panggilan secara mendadak dari Pak Kiyai. Salah seorang
santri menatap jendela. Matahari mulai menampakkan wajah.

Sepuluh menit kemudian, Pak Kiyai muncul. Para santri buruburu


mencium tangannya. Tapi, Pak Kiyai segera menarik tangannya. Ini selalu
dilakukan pada siapa saja. Parasantri tak mempermasalahkan soal itu.

Namun, hatinya deg-degan saat Pak Kiyai menunjuk salah seorang santri
untuk menguraikan ilmu fiqih yang telah diperolehnya di madrasah. Kebetulan,
buku-buku fiqih di As-Syafi’iyah menggunakan bahasa Arab. Makanya, saat
menguraikan ilmu tersebut, para santri harus menggunakan bahasa Arab.

Pak Kiyai akan menggeleng-gelengkan kepala kalau penguraian itu tidak


tepat, apalagi salah. Maka, dengan tegas ia menyuruh santri itu untuk
mempelajarinya kembali. Suatu saat, santri tersebut akan dipanggil lagi. Bagi
yang mampu menjelaskan dengan benar ilmu fiqih tadi, Pak Kiyai pasti manggut-
manggut. Ia mendekati santri itu dan mengusap-usap kepalanya disertai dengan
doa.

Panggilan mendadak ini, tentu saja menjadi pelajaran berharga.


Kedisiplinan menuntut ilmu akan tertanam di dalam hati. Kapan saja dan di mana
saja, para santri selalu mempelajari kembali berbagai ilmu yang diperolehnya di
madrasah.

Di tengah kesibukannya mendidik para santri, baik di Perguruan Islam


As-Syafi’iyah yang terletak di Kampung Bali Matraman maupun di jatiwaringin,
juga berdakwah di berbagai tempat, termasuk di Majelis Taklim As-
Syafi’iyah yang berlangsung setiap hari Minggu. Kepiawaiannya menyampaikan
ajaran agama tak perlu diragukan lagi. Dia lah satu-satunya kiyai yang mampu
menggugah hati masyarakat untuk larut dalam wejangannya. Banyak masyarakat,
begitu juga ulama, yang mengucurkan air mata ketika ia berceramah tentang alam
kubur. K.H. Abdullah Syafi’i memang ulama yang mempunyai kharisma yang
tinggi. Ia juga tokoh yang mampu menegakkan kebenaran.

KETEGASAN BELIAU
Saat Gubernur Ali Sadikin melemparkan wacana agar “umat Islam yang
meninggal dunia tidak perlu dikubur melainkan cukup dibakar saja karena tanah
di Jakarta sudah mahal”, maka K.H. Abdullah Syafi’ie menjadi salah satu
penentang terdepan.

Ia juga menolak legalisasi perzinahan dan perjudian yang ketika itu sedang
diusahakan. Ia bukan hanya menentang melalui ceramah. Sang Kyai juga
mendirikan Majlis Muzakarah Ulama dengan merangkul ulama lainnya seperti
K.H. Abdussalam Djaelani, K.H. Abdullah Musa dan lain sebagainya. Dalam
majlis itulah dibahas berbagai masalah umat dan bangsa, seperti soal perjudian,
P4, kuburan muslim, dan sebagainya.  Saat ada wacana akan ada batasan azan
subuh, Kyai juga muncul sebagai penentang keras kebijakan tersebut.

Saat pemerintah berencana melegalisasi Aliran Kepercayaan,


K.H. Abdullah Syafi’ie juga termasuk orang yang keras menentang. Bahkan ia
sampai mengumpulkan 1000 ulama yang memiliki integritas untuk berbaiat
menolak kebijakan pemerintah tersebut. Kabarnya, itulah yang antara lain
membuat Pak Harto mundur dari gagasannya.
Namun sikap tegas tersebut, diimbangi dengan dakwah yang persuasif
yang pada akhirnya meluluhkan sikap keras Ali Sadikin dan membuatnya berubah
pikiran di hadapan K.H. Abdullah Syafi’ie. Karena itu, bukan aneh, jika
K.H. Abdullah Syafi’ie memang seorang ulama yang sangat disegani oleh umat
dan penguasa.

K.H. Abdullah Syafi’ie memang sangat peduli terhadap permasalahan


yang akan menjermuskan masyarakat. Karena itu, ia dipandang sebagai ulama
yang vokal, tegas, dan jujur. Maka, tak heran, kalau para pejabat di DKI Jakarta
khususnya sangat menyukai Pak Kiyai. Malah, Menteri Agama Munawir Sadzali
mengakuinya sebagai guru yang patut dicontoh dan ditiru. Meskipun ia aktif di
Masyumi, tapi sangat dekat dengan tokoh-tokoh lain dari berbagai organisasi,
seperti dengan Buya Hamka, K.H. Hasan Basri,K.H. Idham Chalid, dan banyak
lagi.

Karena itu, para pejabat, termasuk Ali Sadikin, selalu mendukung gagasan
yang disampaikan oleh K.H. Abdullah Syafi’ie. Salah satunya, tentang
pengembangan Perguruan As-Syafi’iyah dan perenovasian Masjid Al-Barkah.
Dengan demikian, perguruan yang semula hanya terletak di Kampung Bali
Matraman, akhir tahun 60-an merambah ke daerah lain, seperti jatiwaringin,
Cilangkap, Jakasampurna, Payangan, Cogrek, dan sebagainya. Malah,
Jatiwaringin dijadikannya sebagai Kota Pelajar. Di Jatiwaringin terdapat
Pesantren Putra, Pesantren Putri, Pesantren Tradisional, Pesantren Khusus Yatim
As-Syafi’iyah, Taman Kanak-kanak, dan Universitas Islam As-Syafi’iyah.

Kiyai juga merupakan salah satu pendiri MUI (Majelis Ulama Indonesia).
Selain pernah menjabat sebagai Wakil Ketua di MUI Pusat, juga sebagai Ketua
Umum MUI DKI Jakarta. Ia juga salah seorang yang giat mengadakan pendidikan
dalam pemberantasan buta huruf Al Quran. Di samping itu, kiyai yang cuma
mengenyam pendidikan SR kelas dua ini, juga dipercaya sebagai pengurus Badan
Kontak Majelis Taklim (BKMT).

Tahun 1967 Sang Kyai membuat terobosan besar dalam dakwah dengan
mendirikan stasiun Radio As Syafi’iyah. Ini bisa dibilang baru dalam dunia
dakwah. Salah satu tujuannya, membentengi umat dari kekuatan komunis yang
saat itu telah mendirikan UR (Universitas Rakyat) dan memiliki pengaruh kuat.
KH Abdullah Syafi’ie memanfaatkan media radio tersebut untuk membentengi
umat dari paham komunis, perjudian, dan berbagai masalah yang dapat
menghancurkan keimanan umat Islam. Melalui radio yang dimiliknya, ia terus
mengajak umat untuk melawan kebijakan yang menyudutkan umat Islam.
Sikapnya berpedoman pada sabda Nabi:  “Qul al Haq wa lau kana murran”
(katakanlah kebenaran, meskipun itu pahit). Kyai Abdullah Syafi’ie tidak segan
dan gentar untuk berseberangan sikap dengan penguasa saat itu.

Kehadirannya tentu saja selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat dari


berbagai lapisan serta para ulama yang mengundangnya Ceramahnya di Radio
Dakwah As-Syafi’iyah yang didirikannya yang juga tak lepas dari telinga
masyarakat Jakarta dan sekitarnya.
AKHIR PERJUNGAN BELIAU

Pada tanggal 3 September 1985 KH. Abdullah Syafi’i tutup usia. Karena
demikian besarnya peran dan jasa yang telah diberikannya, maka ketika ia wafat
banyak sekali ucapan belasungkawa dan komentar yang diberikan dari berbagai
kalangan. Ia mendapatkan ucapan belasungkawa dari Presiden Suharto. Sementara
itu MUI Pusat mengajak seluruh kaum muslimin untuk melakukan Shalat Ghaib.
Selain itu lebih dari 5 surat kabar memberitakan wafatnya. Surat Kabar Berita
Utama danWarta Berita Antara mengangkat topik wafatnya KH. Abdullah Syafi’i
sebagai berita utama, Harian Sinar Harapan mengangkat judul “Ulama Besar KH.
Abdullah Syafi’i meninggal dunia Selasa dini hari”. Pos Kota menulis judul “Kita
kehilangan Ulama Besar KH. Abdullah Syafi’i’’. Suara Karya menulis judul
‘‘Ulama Besar KH. Abdullah Syafi’i telah tiada”. Pikiran Rakyat menulis “KH.
Abdullah Syafi’i Tutup Usia”. Kompas mengangkat judul “Ulama Besar KH.
Abdullah Syafi’i telah tiada” dan masih banyak lagi surat kabar yang
memberitakan wafatnya KH. Abdullah Syafi’i. Hal ini memperlihatkan bahwa
KH. Abdullah Syafi’i selain amat dikenal luas oleh masyarakat, juga sangat besar
pengaruhnya di dalam kehidupan Nasional Indonesia.
Seiring dengan itu, maka para pejabat dari beberapa departemen, tokoh
masyarakat dan tokoh-tokoh dalam bidang lainnya memberikan komentar yang
pada intinya berisi ungkapan rasa kehilangan dan sekaligus mendo’akan kepada
Almarhum KH. Abdullah Syafi’i. Tri Sutrisno, Mantan Wakil Presiden Indonesia,
yang pada wafatnya KH. Abdullah Syafi’i yang menjabat Wakasad TNI
menyatakan “Almarhum adalah Ulama besar yang memperjuangkan kepentingan
umat Islam ”. Sedangkan Prof. Emil Salim, yang pada waktu itu menjabat Menteri
Lingkungan Hidup RI menyatakan, bahwa semangat beliau begitu menggelora,
bersemangat untuk mengembangkan da’wah. Ia adalah seorang yang memiliki
keyakinan yang kuat terhadap perjuangan menegakkan Agama Allah.
Sementara itu Munawir Sjadzali, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri
Agama RI, mengatakan “Ulama seperti Almarhum kini semakin langka. Kita
belum lama merasa kehilangan atas kepergian ulama terkenal seperti KH E Z
Muttaqin dan KH Sukri Ghazali”.
Sedangkan KH Sukron Ma’mun, salah satu ulama kondang di Jakarta
mengatakan, bahwa ulama seperti KH. Abdullah Syafi’i belum ada duanya, sulit
mencari ulama seperti beliau, semangat perjuangannya terhadap membela Agama
tidak pernah padam dalam situasi kondisi bagaimanapun. Tokoh politisi dan
pimpinan Muhammadiyah, Lukman Harun mengatakan, bahwa KH, Abdullah
Syafi’i adalah orang yang kuat da’wahnya, terutama dalam kemasyarakatan dan
aqidah Islamiyah.
Ungkapan yang menggambarkan rasa dekat dari berbagai kalangan terhadap KH.
Abdullah Syafi’i itu dikuatkan pula oleh ratusan ribu umat Islam, bagaikan lautan
manusia yang datang melakukan ta’ziah, bergantian menyembahyangkan
jenazahnya dan sekaligus mengantarkan ke tempat peristirahatannya yang
terakhir.
KH. Abdullah Syafi’i dimakamkan di Perguruan Islam As- Syafi’iyah,
Jatiwaringin, Pondok Gede, perbatasan Bekasi-Jakarta Timur.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah tentang perjalanan KH.Abdullah Syafi’i . Dan
kami juga mengucapkan terima kasih kepada bpk H. Mohamd Zaki .SH
selaku dosen pembibing dalam pembuatan makalah asayfi’iah

Semoga makalah ini dapat berguna sebagai penambah wawasan


bagi kami dan masyarakat luas . Sehingngga dapat bermafaat bagi orang
banyak . dan kami juga berterimakasih kepada semua pihak yang elah
membatu dalam penyelesaian makalah ini . Apa bila ada kealahan dalam
isi bacaab baik berupa judul maupun muatan bacaan kami meminta maaf
yang sebesar-besarnya . Karena kesalahan datangnya dari kami dan
kabenaran hnya datang dari ALLAH SWT .

Akhir kata saya cukupkan dengan semoga dapat


berkenan di hati pembaca .

Wasalamualaikum WR.WB

Bekasi,08 11 2016

YAYAT SUDRAJAT
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN....................................................................................i

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................

A. SINGA BETAWI...........................................................................................
B. TAULADAN BELIAU.................................................................................
C. KARYA TULIS KH.ABDULAH SYAFI,I.............................................
D. PERJUANGAN DI BIDANG PENDIDIKAN DAN KARIER.....................
E. KETEGASAN SEBAGAI PENDIDIK....................................................
F. KETEGASAN BELIAU..........................................................................
G. AKHIR PERJUANGAN..........................................................................
YAYAT SUDRAJAT
1420150003
FST MESIN

Anda mungkin juga menyukai