GERAKAN MUHAMMADIYAH
B. Memperluas Wawasan
Pada tahun 1909 K.H. Ahmad Dahlan bertamu ke rumah Dr.
Wahidin Sudirohusodo di Ketandan, Yogyakarta. Ia menanyakan brbagai hal
tentang perkumpulan Budi Utomo dan tujuannya. Setelah mendengar jawaban
lengkap dan menurut pemikirannya sesuai dengan cita-citanya, maka ia
menyatakan ingin menjadi anggota. Pengurus Budi Utomo cabang
Yogyakarta kompak menerimanya bahkan diminta menjadi anggota
pengurus.
Pada tahun 1910 ia menjadi anggota ke 770 perkumpulan Jamiat
Khair Jakarta. Yang menarik hatinya perkumpulan ini selain membangun
sekolah-sekolah agama dan bahasa Arab serta bergerak dalam bidang sosial,
juga sangat giat membina hubungan dengan pemimpin-pemimpin negara
Islam yang telah maju.
Suatu ketika ia menyampaikan keinginan mengajarkan agama
islam kepada para siswa Kweekschool Gubernamen Jetis yang dikepalai oleh
R Boediharjo, yang juga menjadi anggota pengurus Budi Utomo. Hal ini
disetujui, asal diluar pelajaran resmi. Kegiatan itu ternyata sangat menarik
minat mereka dan pesertanya bertambah banyak hingga meminta diizinkan
datang ke rumah K.H. Ahmad Dahlan untuk memperdalam pemahaman
agama Islam.
Dengan pengalaman mengajarkan agama islam di Kweekschool
selama setahun, maka K.H. Ahmad Dahlan terdorong ingin memiliki sekolah
sendiri. Mula-mula ia mendapatkan 8 orang murid lalu terus bertambah
sehingga kelasnya harus pindah ke serambi rumah yang lebih luas. Sekolah
ini diresmikan pada tanggal 1 Desember 1911 dengan nama Ibtidaiyah
Diniyah Islamiyah. Berdirinya sekolah tersebut mendapat reaksi keras dari
masyarakat, tetapi hanya disambut senyum oleh K.H. Ahmad Dahlan.
C. Berdirinya Muhammadiyah
Di antara para siswa Kweekschool ada yang tertarik sekali dan
menyarankan agar penyelenggaran ditangani oleh suatu organisasi agar
berkelanjutan sepeninggal Kyai kelak. Saran itu datang dari banyak orang
yang senanda isinya. Kyai lalu merenungkan gambaran organisasi itu lalu
berdiskusi dengan para santrinya yang telah deawasa dan menanyakan kepada
mereka apakah mereka sanggup duduk sebagai pengurusnya, mereka
menyatakan sanggup.
Pendirian sekolah itu sendiri telah dibicarakan dan dibantu oleh
pengurus Budi Utomo, di antaranya guru-guru bahkan kepala sekolah
Kweekschool banyak memberikan nasehat dan saran. Setelah pelaksanaannya
teratur, peralatan lengkap dan administrasi lengkap agar dimintakan kepada
pemerintah Hindia Belanda. Budi Utomo bersedia membantu
kepengurusannya tetapi mengenai pendirian organisasi pendukung
sekolahnya yang antara lain siswa Kweekschool sanggup menjadi
pengurusnya, R Boediharjo menolaknya karena dilarang oleh inspekturnya
Hoofd.
Agar Budi Utomo dapat mengurusnya hingga berdiri perlu
ditegaskan apa nama organisasinya, apa maksud dan tujuannya, dan calon
pengurus harus sudah deawasa. Permintaan itu harus didukung oleh
setidaknya 7 orang anggota biasa Budi Utomo kepadapengurus Budi Utomo.
Syarat terakhir itu segera dimusyawarahkan dengan para santri K.H. Ahmad
Dahlan yang telah dewasa. Diproseslah pengajuan menjadi anggota Budi
Utomo untuk H. Syarkawi, H. Abdul Gani, H. Suja, H. Hisyam, H.
Fakharuddin, H. Tamim dan yang ke 7 adalah K.H. Ahmad Dahlan sendiri.
Mengenai nama organisasi dipilihlah nama “Muhammadiyah”
dengan harapan para anggotanya dapat hidup beragama dan bermasyarakat
sesuai pribadi Nabi Muhammad S.A.W. Sesuai kesepakatan pendirian
Muhammadiyah ditetapkan pada tanggal 18 November 1912. Proses
permintaan pengakuan kepala pemerintah sebagai badan hukum diusahakan
oleh Budi Utomo cabang Yogyakarta.
Pada tanggal 20 Desember 912 diajukanlah surat permohonan
kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda agar persyerikatan ini diberi izin
resmi dan diakui sebagai suatu badan hukum dilampirkan dengan rancangan
statuten atau anggaran dasarnya. Dalam artikel 2, 4 dan 7 dinyatakan bahwa
sasaran dan wilayah gerak Muhammadiyah itu penduduk pribumi di Jawa dan
Madura.
Pemerintah Hindia Belanda sangat berhati-hati menaggapinya
karena sebagai organisasi baru, wilayah se-Jawa Madura itu dipandangnya
terlalu luas. Maka Gubernur Jenderal lalu mengirim surat permintaan
pertimbangan kepada Direktur Van Justitie, Adviseur Voor Inlandsche Zaken,
Residen Yogyakarta dan Sri Sultan Hamengkubuwono VI.
Surat buat Sri Sultan tadi oleh Residen Yogyakarta diteruskan
kepada Rijksbestuurder (Pepatih Dalem Sri Sultan). Karena surat
permohonan berdirinya Muhammadiyah itu mengenai urusan agama islam,
maka Pepatih Dalem Sri Sultan memberikan kepada Hoofd penghulu, H.
Muhammad Khalil Kamaludiningrat. Setelah dibahas dalam sidang Raad
Agama Hukum Dalem Sri Sultan diharapka peserta sidang memberikan
pendapanya. Semula Hoofd penghulu tidak menyetujuinya karena salah
paham.
BAB II
IDEOLOGI MUHAMMADIYAH
B. Ideologi Modernis-Reformis
Ideologi Muhammadiyah dalam pandangan akademik sering
disebut dengan ideologi kaum modernis atau reformis. Meski menggunakan
terminologi asing dalam kajian ilmu-ilmu sosial, sebagai cara memperjelas
perbedaan satu gerakan dengan gerakan yang lain, maka tidak perlu alergi
terhadap pelabelan atau kategorisasi sejauh tetap bersikap kritis dan tidak
menjadikannya absolut. Kategorisasi tersebut tentu bersifat relatif tetapi
bermanfaat untuk mengidentifikasi suatu corak pemikiran atau gerakan Islam.
Kini, Muhammadiyah sendiri seperti melalui Pernyataan Pikiran Abad Kedua
hasil Muktamar ke-46 tahun pada 2010 di Yogyakarta lebih menggunakan
istilah Islam yang berkemajuan, yang secara substantif mengandung unsur-
unsur penting dari reformisme atau modernisme Islam, sedangkan secara
khusus relatif sama dengan gerakan Islam progresif.
Alfian (1989) menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan reformis.
Deliar Noer (1996) menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan modern
Islam, yang tampil lebih moderat ketimbang Persatuan Islam. Soekarno
memberi predikat Muhammadiyah sebagai gerakan Islam progresif, meski
dikritik pula ketika Muhammadiyah menggunakan hijab. Sedangkan William
Shepard (2004) mengkategorisasikan Muhammadiyah sebagai kelompok
Islamic-Modernism, yang lebih berfokus untuk bergerak membangun Islamic
society (masyarakat Islam) dari pada perhatian terhadap Islamic state (negara
Islam); yang fokus gerakannya pada bidang pendidikan, kesejahteraan sosial,
serta tidak menjadi organisasi politik kendati para anggotanya tersebar
diberbagai partai politik.
Dalam pandangan Jainuri (2004), orientasi ideologi keagamaan
reformis-modernis ditandai oleh wawasan keagamaan yang menyatakan
bahwa Islam merupakan nilai ajaran yang memberikan dasar bagi semua
aspek kehidupan dan karenanya harus diamalkan dalam kehidupan sehari-
hari. Bagi kaum reformis-modernis, pengamalan ini tidak hanya terbatas pada
persoalan-persoalan ritual-ubudiyah, tetapi juga meliputi semua aspek
kehidupan sosial kemasyarakatan. Selain itu, kaum reformis-modernis
menerima perubahan yang berkaitan dengan antara lain:
1. Persoalan-persoalan sosial
2. Memiliki orientasi waktu ke depan serta menekankan program jangka
panjang
3. Bersikap rasional dalam melihat persoalan
4. Mudah menerima pengalaman baru
5. Memiliki mobilitas tinggi
6. Toleransi
7. Mudah menyesuaikan dengan lingkungan baru.
Pada awal abad ke dua puluh sikap ini terlihat pada kaum modernis
Muslim yang menerima sebagian unsur budaya Barat modern dalam program
sosial dan pendidikan mereka. Mereka ini berkeyakinan bahwa dari mana pun
asalnya ide atau gagasan itu, selama tidak bertentangan dengan prinsip-
prinsip dasar ajaran Islam, adalah diperbolehkan.
Ideologi reformisme-modernisme memandang Islam mengandung
aspek-aspek struktur tetapi sekaligus substansi, ada ranah yang qath’iy tetapi
yang sekaligus dhanniy, negara juga dipandang penting tetapi perhatian
utama lebih pada pembangunan masyarakat.Dalam pandangan modernisme
Islam, bahwa Islam mengandung ajaran yang menyeluruh namun konstruksi
dan pelaksanaannya tidaklah tunggal. Bahwa aspek-aspek ajaran Islam perlu
diinterpretasi ulang untuk dihadapkan dan dalam rangka menjawab tantangan
zaman yang bersifat kekinian, dengan tetap berada dalam fondasi Islam.
Islam tidak mengisyaratkan paham tentang negara secara tegas, tetapi nilai-
nilai Islam menjadi fondasi dan membingkai kehidupan bernegara. Kaum
reformis-modernis yakni pada kesempurnaan dan kemenyeluruhan ajaran
Islam, tetapi pelaksanaannya dalam kehidupan berproses serta bertahap dan
terus-menerus sesuai dengan taraf kehidupan pemeluknya, sehingga tidak
serba absolut. Akal pikiran diakuinya keabsahannya untuk memahami dan
mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Hal-hal yang
belum Islami dapat diislamkan dengan cara yang berproses, tidak serba
ditolak atau sebaliknya diubah secara drastis.
D. Sifat Muhammadiyah
Muhammadiyah memiliki dan wajib memelihara sifat-sifatnya,
terutama yang terjalin dibawah ini:
1. Beramal dan berjuang untuk perdamaian serta kesejahteraan.
2. Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah.
3. Lapang dada, luas pandangan dengan memegang teguh ajaran Islam.
4. Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan.
5. Mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, dan dasar serta
falsafah negara yang sah.
6. Amar makruf nahi mungkar dalam segala lapangan serta menjadi contoh
teladan yang baik.
7. Aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud ishlah dan
pembangunan sesuai dengan ajaran Islam.
8. Kerja sama dengan golongan Islam mana pun juga dalam usaha
menyiarkan dan mengamalkan agama Islam, serta membela
kepentingannya.
9. Membantu Pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain dalam
memelihara dan membangun negara untuk mencapai masyarakat yang
adil serta makmur yang diridhai Allah.
10. Bersifat adil serta korektif ke dalam dan ke luar dengan bijaksana.
BAB V
KHITTAH PERJUANGAN MUHAMMADIYAH
A. Khittah Palembang
Khittah Muhammadiyah 1956, ialah keputusan Muktamar
Muhammadiyah ke-33 di Palembang pada tahun 1956. Pada saat itu
Muhammadiyah menetapkan Khittah (langkah yang dibatasi dalam waktu
tertentu) yakni untuk tahun 1956-1959, seperti dibawah ini:
6. Mempererat Ukhuwah
a. Mempererat hubungan antara sesama muslim menuju ke arah
kesatuan umat Islam.
b. Mengadakan ikatan yang nyata, umpamanya berjamaah, himpunan
berkala, ta’ziyah dan sebagainya.
c. Mengadakan badan islah untuk:
(1) Sebagai penghubung bila ada keretakan.
(2) Mencegah hal-hal yang akan menimbulkan kerusakan.
(3) Menghindarkan dan menjauhkan segala hal-hal yang dapat
menimbulkan perselisihan dan persengketaan.
B. Khittah Ponorogo
Khittah perjuangan Muhammadiyah 1969 menghasilkan Keputusan
Sidang Tanwir Muhammadiyah di Ponorogo tahun 1969, yaitu:
1. Pola dasar perjuangan
a. Muhammadiyah berjuang untuk mencapai suatu cita-cita dan
keyakinan hidup yang bersumber ajaran Islam.
b. Dakwah Islam dan amar makruf nahi mungkar dalam arti dan proporsi
yang sebenar-benarnya sebagaimana yang dituntunkan oleh Nabi
Muhammad Saw adalah satu-satunya jalan untuk mencapai cita-cita
dan keyakinan hidup tersebut.
c. Dakwah Islam dan amar makruf nahi mungkar seperti yang dimaksud
harus dilakukan melalui dua saluran yaitu:
(1) Saluran politik kenegaraan
(2) Saluran masyarakat
d. Untuk melakukan perjuangan dakwah Islam dan amar makruf nahi
mungkar seperti yang dimaksud diatas, dibuat alatnya masing-masing
yang berupa organisasi:
(1) Untuk saluran politik dengan partai politik (politik praktis).
(2) Untuk saluran masyarakat dengan organisasi non partai.
e. Muhammadiyah sebagai organisasi memilih dan menempatkan diri
sebagai gerakan Islam dan amar makruf nahi mungkar dalam bidang
masyarakat. Sedangkan untuk alat perjuangan dalam bidang politik
kenegaraan (politik praktis), Muhammadiyah membentuk satu partai
di luar organisasi Muhammadiyah.
f. Muhammadiyah harus menyadari bahwa partai tersebut adalah
merupakan objeknya dan wajib membinanya.
g. Antara Muhammadiyah dengan partai tidak ada hubungan
organisatoris, tetapi tetap mempunyai hubungan ideologis.
h. Masing-masing berdiri dan berjalan sendiri-sendiri menurut caranya
sendiri-sendiri, tetapi dengan saling pengertian dan menuju tujuan
yang satu.
i. Pada prinsipnya tidak dibenarkan adanya perangkapan jabatan,
terutama jabatan pimpinan antara keduanya, demi tertibnya
pembagian pekerjaan.
D. Khittah Surabaya
Khittah perjuangan Muhammadiyah 1978, menghasilkan keputusan
muktamar Muhammadiyah ke-40 di Surabaya tahun 1978.
1. Hakekat Muhammadiyah
Sesuai dengan Khittahnya, Muhammadiyah sebagai Persyarikatan
memilih dan menempatkan diri sebagai gerakan Islam amar makruf nahi
mungkar dalam masyarakat, dengan maksud yang terutama ialah
membentuk keluarga dan masyarakat sejahtera sesuai dengan dakwah
jamaah.
Disamping itu, Muhammadiyah menyelenggarakan amal usaha
seperti tersebut pada Anggaran Dasar Pasal 4, dan senantiasa berikhtiar
untuk meningkatkan mutunya.
Penyelenggaraan amal usaha tersebut merupakan sebagai ikhtiar
Muhammadiyah untuk mencapai Keyakinan dan Cita-cita Hidup yang
bersumberkan ajaran Islam, dan bagi usaha untuk terwujudnya
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
A. Muqaddimah
Muhammadiyah sebagai komponen strategis umat dan bangsa di
Negara Republik Indonesia memiliki kewajiban kolektif untuk
mendakwahkan Islam mengajak kepada kebaikan, menyuruh kepada yang
makruf. Sebagaimana misi awal kelahirannya yang terkandung dalam Al-
Qur’an QS. Ali-Imran ayat 104, yaitu Muhammadiyah berkomitmen untuk
menjadikan umat Islam sebagai khayra ummah atau umat terbaik. Dalam QS
Ali-Imran ayat 110, yang tampil sebagai golongan tengahan (ummatun
wasatha) dan berperan sebagai saksi bagi kehidupan umat manusia
(syuhadaa ‘alaa al-nas) pada QS. Al-Baqarah ayat 143, sehingga
kehadirannya menjadi rahmat bagi semesta alam sebagaimana pada QS Al-
Anbiya ayat 107.
Dengan demikian, Muhammadiyah berkomitmen untuk terus
berjuang memproyeksikan Indonesia menjadi Negara Pancasila yang maju,
adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat dalam lindungan Allah SWT.
A. Tantangan Dakwah
Kini sering dikemukakan berbagai tantangan Muhammadiyah.
Sebutlah mekarnya misi agama lain, gerakan-gerakan Islam lain yang masuk
ke dalam komunitas Muhammadiyah, meluasnya budaya asing yang serba
sekuler dan liberal, serta berbagai tantangan lain yang kompleks. Dalam
pemikiran juga dihadapkan tantangan yang bersifat ekstrem dari corak yang
cenderung serba tradisional-konservatif hingga liberal-sekuler, yang tidak
jarang menimbulkan pro-kontra di tubuh umat Islam. Demikian pula dengan
dinamika perubahan sosial yang dihadapi masyarakat Indonesia di berbagai
bidang kehidupan. Masih banyak tantangan dalam wujud masala-masalah
krusial umat, bangsa, dan kemanusiaan universal sebagaimana terangkum
dalam isu-isu strategis hasil Muktamar Satu Abad.
Muhammadiyah menegesakan identitas dirinya sebagai gerakan
Islam yang bergerak dalam dakwah amar makruf dan nahi mungkar.
Muhammadiyah sejak berdirinya bahkan telah berkiprah dalam dakwah
multiaspek dan bercorak pembaharuan. Waktu itu apa yang dilakukan
Muhammadiyah belum dilakukan bahkan banyak ditentang oleh golongan
Islam lain. Dakwah di bidang penyiaran Islam (tabligh), pendidikan,
kesehatan, pelayanan sosial, pengorganisasian zakat, pengorganisasian haji,
dakwah pemberdayaan masyarakat, gerakan perempuan Muslimah melalui
‘Aisyiyah, dan berbagai aspek dakwah lainnya merupakan terobosan baru
yang luar biasa dan memberi dampak luas bagi kemajuan umat dan
masyarakat Indonesia.
Kini dakwah Muhammadiyah telah berusia satu abad dan
memasuki abad kedua. Tantangan dakwah Muhammadiyah sangatlah
kompleks. Masyarakat dan kebudayaan tradisional masih melekat dalam
kehidupan masyarakat Indonesia. Golongan tradisional masih banyak
dikungkung oleh cara berpikir yang jumud, tidak rasional, emosional, dan
tidak jarang ditandai alam pikiran mistis seperti klenik, takhayul, bidah dan
khurafat. Pada saat yang sama kehidupan modern juga tak kalah agresif yang
ditandai alam pikiran serba rasional, bebas, sekuler, dan mekarnya budaya
populer. Dualisme alam pikiran tersebut sedang bergumul dalam kehidupan
masyarakat Indonesia, yang masih akan berlanjut hingga sampai kapan dalam
proses perubahan sosial di negeri ini. Masyarakat akar-bawah dan kelas
menengah-atas memiliki irama sendiri dalam dinamika perubahan sosial di
negeri ini.
Berbagai masalah yang dihadapi gerakan-gerakan dakwah Islam
maupun kompleks terutama yang menyangkut kondisi kehidupan umat Islam
sendiri. Umat Islam mayoritas masih belum sepenuhnya mempraktikkan
ajaran Islam yang benar sebagaimana tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sementara masalah krusial tidak kalah gawatnya yakni kemiskinan, kesulitan
lapangan kerja, kebodohan, lemah penguasaan iptek, keterasingan budaya,
dan berbagai masalah pelik lainnya yang membuat posisi umat tetap marginal
di berbagai bidang kehidupan. Akibat dari posisi marginal itu maka umat
Islam meskipun mayoritas di negeri ini secara kualitas masih minoritas dan
lebih menjadi obyek atau maf’ul bih dalam berbagai aspek kehidupan.
Karenanya menjadi tantangan khusus bagaimana menampilkan
pikiran, strategi, dan langkah-langkah dakwah yang bersifat alternatif kepada
masyarakat atas, menengah, hingga ke bawah. Model-model dakwah
komunitas dengan basis Gerakan Jamaah dan Dakwah Jamaah yang
dimodifikasi dapat dikembangkan. Berbagai amal usaha dapat disinergikan
dengan perkembangan dakwah komunitas itu. Demikian pula dengan ikhtiar
melakukan berbagai inovasi atas dakwah yang selama ini, baik dalam bentuk
tabligh maupun dakwah bil-hal lainnya, termasuk revitalisasi bermacam amal
usaha unggulan. Model pemberdayaan masyarakat yang dilakukan Majelis
Pemberdayaan Masyarakat (MPM) termasuk terobosan bagi Muhammadiyah,
lebih-lebih jika dikembangkan dengan pengembangan usaha-usaha ekonomi
mikro kecil dan menengah sebagaimana dilakukan ‘Aisyiyah.
Jika dakwah Muhammadiyah masih bersifat serba verbal, baik bi-
lisan maupun bil-hal, maka dakwahnya akan ketinggalan dari gerakan-
gerakan Islam lain dan misi agama lain. Di sinilah pentingnya merumuskan
strategi baru yang lebih akurat, aktual, dan kontekstual dalam dakwah
Muhammadiyaa. Setiap bentuk reaksioner atau sekedar meluapkan
kecemasan dan kegundahan secara verbal tanpa disertai langkah-langkah
strategis maka sampai kapanpun dakwah Muhammadiyah akan ketinggalan.
Apalagi manakala pelaku dakwahnya bersikap elitis, miskin wawasan, serta
tidak mengakar ke bawah maupun menembus ke atas di tengah perasaan
bangga paling sibuk berdakwah.
B. Tantangan Tajdid
Sejarah kelahiran Muhammadiyah adalah sejarah tajdid.
Muhammadiyah oleh para peneliti dan masyarakat luas bahkan disebut
gerakan reformis dan modernis. Penggunaan istilah tersebut boleh tidak
disetujui jika merasa tidak pas atau dianggap asing, tetap secara ilmiah atau
akademik telah diterima luas dan dapat dipertanggungjawabkan oleh para
pengkaji Muhammadiyah tersebut, baik dari dalam maupun luar negeri.
Muhammadiyah melalui Musyawarah Nasional Tarjih secara
cerdas memaknai tajdid untuk dua arti sekaligus, yakni purifikasi (pemurnian)
dan dinamisasi (pengembangan). Dalam ikon Suara Muhammadiyah disebut
jargon peneguhan dan pencerahan. Tarjih bahkan melengkapi pemaknaan
tajdid dengan pengembangan manhaj tarjih yang mengandung tiga
pendekatan yaitu bayani, burhani, dan irfani dalam memahami Islam. Maka
bangunan konseptual dan fondasi makna tajdid dalam Muhammadiyah
sebenarnya sangat lengkap, sehingga yang diperlukan ialah aktualisasi tajdid
dalam berbagai aspek kehidupan disertai pengembangan wawasan pemikiran
sejalan dengan jiwa ajaran Islam.
Kini Muhammadiyah dihadapkan pada berbagai tantangan aktual
kehidupan yang meniscayakan penghadapan tajdid. Pertama, berbagai ragam
pemikiran Islam muncul serta bergelora dari yang bercorak serba tekstual
hingga kontekstual, dari yang berkarakter konservatif hingga progresif dan
bahkan liberal-sekuler atau apapun istilahnya yang merujuk pada mahzab
pemikiran sejenis. Kemajemukan pemikiran itu bahkan sampai batas tertentu
telah menimbulkan polarisasi yang tajam dan saling berhadapan.
Kedua, kehidupan pascamodern dengan beragam pemikiran
demokratis, hak asasi manusia, pluralisme, multikulturalisme, dan globalisme
semakin meluas dan menjadi realitas baru dalam kehidupan umat Islam
maupun bangsa Indonesia dengan berbagai kecenderungannya yang
kompleks. Kecenderungan modern tahap lanjut itu bahkan paradoks dengan
bangkitnya semangat lokalisme, daerahisme, sukuisme, dan orientasi
promordial dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang menambah
kerumitan dalam tatanan sistem sosial-budaya di negeri yang mayoritas
muslim ini.
Di luar tantangan besar tersebut masih dapat diidentifikasikan
berbagai ragam tantangan kontekstual lainnya sebagaimana termuat dalam
Keputusan Maktamar Satu Abad tentang Isu-isu Strategis. Hal yang paling
penting bagi Muhammadiyah ialah bagaimana melakukan penghadapan
dengan strategi transformasi (strategi perubahan yang lebih progresif)
berdasarkan pemikiran tajdid yang dimilikinya sehingga di satu pihak dapat
membangun kekuatan Islam sesuai dengan karakter dirinya sekaligus mampu
menjadi pelaku sejarah yang mengarahkan kehidupan kontemporer dengan
pemikiran-pemikiran Islam alternatif.