Anda di halaman 1dari 39

BAB I

GERAKAN MUHAMMADIYAH

A. Tokok Pendiri Muhammadiyah


K. H. Ahmad Dahlan merupakan seorang pendiri Muhammadiyah.
Ia lahir di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tahun 1868 M dengan nama
Muhammad Darwis. Ayahnya adalah K.H. Abu Bakar, yang merupakan
seorang khatib Masjid besar Kesultanan Yogyakarta, yang apabila dilacak
silsilahnya sampai kepada Maulana Malik Ibrahim. Ibunya bernama Siti
Aminah, puteri K.H. Ibrahim, penghulu Kesultanan Yogyakarta. Secara
langsung Muhammad Darwis itu dari pihak ayah maupun ibunya adalah
keturunan ulama.
Ketika menginjak usia sekolah Muhammad Darwis tidak
disekolahkan, melainkan diasuh dan dididik mengaji Al-Qur’an dan dasar-
dasar ilmu agama Islam oleh ayahnya sendiri di rumah. Hal ini dikarenakan
dalam masyarakat Kauman khususnya ada pendapat umum bahwa barang
siapa memasuki sekolah Gubernemen, maka akan dianggap kafir atau
Kristen. Pada usia delapan tahun ia telah lancar membaca Al-Qur’an hingga
khatam. Selanjutnya ia belajar Fiqih kepada K.H. Muhammad Shaleh, dan
Nahwu kepada K.H. Muhsin. Keduanya adalah kakak ipar Muhammad
Darwis sendiri. Ia juga berguru kepada Muhammad Nur dan K.H. Abdul
Hamid dalam berbagai ilmu. Pada tahun 1889 M ia dikawinkan dengan Siti
Walidah, puteri K.H. Muhammad Fadil, kepala Penghulu Kesultanan
Yogyakarta.
Beberapa bulan setelah perkawinannya, Muhammad Darwis
menunaikan ibadah Haji atas anjuran ayah bundanya. Setelah menunaikan
umrah ia bersilahturahim dengan para ulama Indonesia maupun Arab yang
telah dipesankan oleh ayahnya. Ia juga rajin menambah ilmu antara lain
kepada K.H. Mahfud Termas, K.H. Nahrowi Banyumas, K.H. Muhammad
Nawawi Banten, dan juga kepada para ulama Arab di Masjidil Haram. Ia juga
mendatangi ulama mahzab Syafii’ Bakri Syata’, dan mendapat ijazah nama
Haji Ahmad Dahlan. Setelah musim haji selesai ia pulang, dan tiba di
Yogyakarta pada minggu pertama bulan Safar 1309 H (1891 M). Selain
berganti nama juga bertambah ilmu. Ia lalu membantu ayahnya mengajar
santri-santri remaja. Akhirnya juga dipercaya juga mengajar santri dewasa
maupun tua, lalu mendapat sebutan K.H. Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1896 M, K.H. Abu Bakar wafat. Jabatan Khatib masjid
besar oleh Kesultanan Yogyakarta lalu dilimpahkan kepada K.H. Ahmad
Dahlan dengan gelar Khatib Amin, yang diberi tugas:
1. Khutbah Jum’at saling berganti dengan kawannya delapan orang khatib.
2. Piket di serambi masjid dengan kawannya enam orang sekali seminggu.
3. Menjadi Anggota Raad Agama Islam Hukum Keraton.

Semua tugas itu dipergunakan sebaik-baiknya untuk menyalurkan


ilmunya, terutama sekali pada saat tugas piketnya. Khatib Amin berusaha
ingin menerangkan arah kiblat shalat yang sebenarnya. Usaha-usaha awalnya
dirintis dengan penyebaran informasi kepada para ulama terbatas yang telah
sepaham saja di sekitar Kauman. Kemudian disepakati hendak mengundang
17 ulama dari dalam dan luar Kota Yogyakarta untuk memusyawarahkan soal
kiblat shalat di surau Khatib Amin K.H. Ahmad Dahlan. Mereka diminta
membawa kitab masalah kiblat. Musyawarah itu berlangsung pada suatu
malam tahun 1898 hingga adzan Subuh. Meskipun tidak diperoleh
kesepakatan pendapat, sudah dianggap ada kemajuan positif, sebab ternyata
jalannya musyawarah berjalan sopan, tidak ada kegaduhan.
Beberapa hari setelah itu ketika orang-orang hendak melakukan
shalat jama’ah Dzuhur di Masjid Besar dikejutkan oleh adanya tiga baris
putih setebal 5 cm di depan pengimaman yang mengisyaratkan baris yang
menghadap kiblat yang sebenarnya. Setelah shalat, para petugas hari itu
(Khatib, muadzin, merbol) dan dua orang warga jama’ah melaporkan hal
tersebut kepada Kanjeng Kyai penghulu H. Muhammad Khalil
Kamaludiningrat. Ia marah sekali, dan menyuruh mereka mencari para
pelakunya. Sementara Kyai penghulu memanggil Khatib Amin.
Setelah bersoal jawab lama, terkesan bahwa peristiwa pembuatan
shaf itu bukanlah ulahnya, akhirnya diketahui bahwa di antara para
pembuatnya adalah dua orang kerabatnya sendiri yang sangat disayangi.
Setelah mengaku salah dan meminta maaf mereka pun disuruh pulang.
Rupanya mereka itu termasuk diantara pemuda yang menguping jalannya
musyawarah kiblat beberapa hari yang lalu.
Dalam tahun 1898 selama tiga bulan Khatib Amin merenovasi dan
memperluas surau peninggalan ayahnya dengan sekaligus dihadapkan ke arah
kiblat. Menjelang bulan Ramadhan, datanglah utusan penghulu K.H.
Muhammad Khalil Kamaludiningrat yang menyampaikan secara lisan agar
hari itu pula Khatib Amin membongkar suraunya yang arahnya berbeda
dengan Masjid Besar. Khatib Amin diam sejenak, setelah membaca do’a
Hauqalah ia berkata agar disampaikan kepada Kyai Penghulu bahwa Khatib
Amin tidak bisa menjalankan perintahnya itu. Mendengar jawaban tersebut
Kyai Penghulu marah sekali, karena merasa dilecehkan oleh bawahannya. Ia
menyuruh kepada utusannya untuk kembali, dengan penegasan bahwa jika
Khatib Amin tetap membangkang, suraunya akan dibongkar oleh Pemerintah
Kawedanan penghulu setelah shalat tarwih malam harinya. Khatib Amin
sendiri sejak waktunya senja meninggalkan rumah, tidak sampai hati melihat
suraunya dibongkar, dan baru pulang menjelang fajar menyingsing. Ia putus
asa, mau pergi meninggalkan Yogyakarta. Namun, diatas puing surau tersebut
segera dibangun lagi surau baru dengan menghadap ke barat lurus dan diberi
bergaris shaf mengarah ke Baitullah.
Selama tiga tahun setelah peristiwa tersebut, Khatib Amin tetap
menekuni pekerjaan dinasnya maupun mengajar murid-muridnya di suraunya.
Lama kelamaan dirasa bahwa persediaan ilmunya masih kurang. Lalu
teringatlah kepada gurunya di Mekkah. Maka berangkatlah ia naik haji lagi
pada tahun 1903. Ia studi lanjut tentang berbagai ilmu Islam kepada gurunya
ketika haji yang pertama dulu, juga kepada yang lain. Dalam hal ini ia belajar
(1) Ilmu Fiqih kepada Syekh Saleh Bafedal, Syekh Sa’id Yamani, dan Syekh
Sa’id Bagusyel; (2) Ilmu Hadist kepada Mufti Syafii’; (3) Ilmu Falak kepada
Kyai Asyari Bavvean, dan Ilmu Qiraat kepada Syekh Ali Misri Mekkah.
Sepulang khatib Amin dari haji yang kedua, ia membangun pondok
untuk menampung murud-muridnya yang berasal dari luar kota Yogyakarta
dan kota-kota di Jawa Tengah. Diangkatnya dua orang menjadi Lurah
Pondok, yaitu Muhammad Jalal Sayuti dari Magelang dan K.H. Abu Amar
dari Jamsaren Sala. Diantara pmateri pengajian yang diistimewakan
pemberiannya kepada para muridnya antara lain ilmu Falak, tauhid dan tafsir
dari Mesir.

B. Memperluas Wawasan
Pada tahun 1909 K.H. Ahmad Dahlan bertamu ke rumah Dr.
Wahidin Sudirohusodo di Ketandan, Yogyakarta. Ia menanyakan brbagai hal
tentang perkumpulan Budi Utomo dan tujuannya. Setelah mendengar jawaban
lengkap dan menurut pemikirannya sesuai dengan cita-citanya, maka ia
menyatakan ingin menjadi anggota. Pengurus Budi Utomo cabang
Yogyakarta kompak menerimanya bahkan diminta menjadi anggota
pengurus.
Pada tahun 1910 ia menjadi anggota ke 770 perkumpulan Jamiat
Khair Jakarta. Yang menarik hatinya perkumpulan ini selain membangun
sekolah-sekolah agama dan bahasa Arab serta bergerak dalam bidang sosial,
juga sangat giat membina hubungan dengan pemimpin-pemimpin negara
Islam yang telah maju.
Suatu ketika ia menyampaikan keinginan mengajarkan agama
islam kepada para siswa Kweekschool Gubernamen Jetis yang dikepalai oleh
R Boediharjo, yang juga menjadi anggota pengurus Budi Utomo. Hal ini
disetujui, asal diluar pelajaran resmi. Kegiatan itu ternyata sangat menarik
minat mereka dan pesertanya bertambah banyak hingga meminta diizinkan
datang ke rumah K.H. Ahmad Dahlan untuk memperdalam pemahaman
agama Islam.
Dengan pengalaman mengajarkan agama islam di Kweekschool
selama setahun, maka K.H. Ahmad Dahlan terdorong ingin memiliki sekolah
sendiri. Mula-mula ia mendapatkan 8 orang murid lalu terus bertambah
sehingga kelasnya harus pindah ke serambi rumah yang lebih luas. Sekolah
ini diresmikan pada tanggal 1 Desember 1911 dengan nama Ibtidaiyah
Diniyah Islamiyah. Berdirinya sekolah tersebut mendapat reaksi keras dari
masyarakat, tetapi hanya disambut senyum oleh K.H. Ahmad Dahlan.

C. Berdirinya Muhammadiyah
Di antara para siswa Kweekschool ada yang tertarik sekali dan
menyarankan agar penyelenggaran ditangani oleh suatu organisasi agar
berkelanjutan sepeninggal Kyai kelak. Saran itu datang dari banyak orang
yang senanda isinya. Kyai lalu merenungkan gambaran organisasi itu lalu
berdiskusi dengan para santrinya yang telah deawasa dan menanyakan kepada
mereka apakah mereka sanggup duduk sebagai pengurusnya, mereka
menyatakan sanggup.
Pendirian sekolah itu sendiri telah dibicarakan dan dibantu oleh
pengurus Budi Utomo, di antaranya guru-guru bahkan kepala sekolah
Kweekschool banyak memberikan nasehat dan saran. Setelah pelaksanaannya
teratur, peralatan lengkap dan administrasi lengkap agar dimintakan kepada
pemerintah Hindia Belanda. Budi Utomo bersedia membantu
kepengurusannya tetapi mengenai pendirian organisasi pendukung
sekolahnya yang antara lain siswa Kweekschool sanggup menjadi
pengurusnya, R Boediharjo menolaknya karena dilarang oleh inspekturnya
Hoofd.
Agar Budi Utomo dapat mengurusnya hingga berdiri perlu
ditegaskan apa nama organisasinya, apa maksud dan tujuannya, dan calon
pengurus harus sudah deawasa. Permintaan itu harus didukung oleh
setidaknya 7 orang anggota biasa Budi Utomo kepadapengurus Budi Utomo.
Syarat terakhir itu segera dimusyawarahkan dengan para santri K.H. Ahmad
Dahlan yang telah dewasa. Diproseslah pengajuan menjadi anggota Budi
Utomo untuk H. Syarkawi, H. Abdul Gani, H. Suja, H. Hisyam, H.
Fakharuddin, H. Tamim dan yang ke 7 adalah K.H. Ahmad Dahlan sendiri.
Mengenai nama organisasi dipilihlah nama “Muhammadiyah”
dengan harapan para anggotanya dapat hidup beragama dan bermasyarakat
sesuai pribadi Nabi Muhammad S.A.W. Sesuai kesepakatan pendirian
Muhammadiyah ditetapkan pada tanggal 18 November 1912. Proses
permintaan pengakuan kepala pemerintah sebagai badan hukum diusahakan
oleh Budi Utomo cabang Yogyakarta.
Pada tanggal 20 Desember 912 diajukanlah surat permohonan
kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda agar persyerikatan ini diberi izin
resmi dan diakui sebagai suatu badan hukum dilampirkan dengan rancangan
statuten atau anggaran dasarnya. Dalam artikel 2, 4 dan 7 dinyatakan bahwa
sasaran dan wilayah gerak Muhammadiyah itu penduduk pribumi di Jawa dan
Madura.
Pemerintah Hindia Belanda sangat berhati-hati menaggapinya
karena sebagai organisasi baru, wilayah se-Jawa Madura itu dipandangnya
terlalu luas. Maka Gubernur Jenderal lalu mengirim surat permintaan
pertimbangan kepada Direktur Van Justitie, Adviseur Voor Inlandsche Zaken,
Residen Yogyakarta dan Sri Sultan Hamengkubuwono VI.
Surat buat Sri Sultan tadi oleh Residen Yogyakarta diteruskan
kepada Rijksbestuurder (Pepatih Dalem Sri Sultan). Karena surat
permohonan berdirinya Muhammadiyah itu mengenai urusan agama islam,
maka Pepatih Dalem Sri Sultan memberikan kepada Hoofd penghulu, H.
Muhammad Khalil Kamaludiningrat. Setelah dibahas dalam sidang Raad
Agama Hukum Dalem Sri Sultan diharapka peserta sidang memberikan
pendapanya. Semula Hoofd penghulu tidak menyetujuinya karena salah
paham.
BAB II
IDEOLOGI MUHAMMADIYAH

A. Konsep dan Substansi Ideologi


Ideologi secara harfiah ialah ‘sistem paham’ atau ‘sekumpulan ide
atau gagasan’. Kata ideologi sendiri berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri
dari dua kata yaitu ideos (ide, gagasan) dan logos (ilmu, logika). Jadi dapat
disimpulkan bahwa ideologi merupakan suatu ilmu tentang ide atau gagasan.
Di sebagian kalangan umat Islam dikembangkan istilah al-mabda’
(dari bahasa Arab ba-da’a yang berarti permulaan) sebagai padanan ideologi.
Al-Mabda’ artinya ‘pemikiran awal yang segala pemikiran berikutnya
mengikuti’. Ideologi Islam menjadi pilihan dari gerakan-gerakan Islam
mutakhir, yang disebut dengan Islamisme atau Islamiyyah.
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam tidak dapat dipisahkan dari
ideologi, yakni seperangkat paham tentang kehidupan dan strategi perjuangan
untuk mewujudkan cita-citanya. Konsep ideologi dalam Muhammadiyah
bersifat mendasar, yaitu menyangkut dan diistilahkan dengan Keyakinan dan
Cita-cita Hidup. Ideologi Muhammadiyah bukan sekedar seperangkat paham
atau pemikiran belaka, tetapi juga teori dan strategi perjuangan untuk
mewujudkan paham tersebut dalam kehidupan. Ideologi Muhammadiyah
ialah sistem keyakinan, cita-cita, dan perjuangan Muhammadiyah sebagai
gerakan Islam dalam mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Adapun isi atau kandungan ideologi Muhammadiyah adalah:
1. Paham Islam atau paham agama dalam Muhammadiyah;
2. Hakekat Muhammadiyah sebagai gerakan Islam;
3. Misi, fungsi dan strategi perjuangan Muhammadiyah.

Substansi ideologi dalam Muhammadiyah tersebut melekat dengan


Islam sebagai landasan dan pusat orientasi gerakan dengan pandangan yang
dipahami Muhammadiyah, yakni Islam yang sudah melekat dalam karakter
gerakan Muhammadiyah. Boleh dikatakan ideologi Muhammadiyah itu
terkandung dalam Al-Islam dan Kemuhammadiyahan yang bersifat mendasar,
yakni menyangkut paham Islam dalam Muhammadiyah, hakikat
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, dan strategi atau Khittah
Muhammadiyah yang mengandung fungsi dan misi yang khas dalam
memperjuangkan Islam.
Pemikiran ideologi Muhammadiyah secara khusus terkandung
dalam dua pemikiran resmi Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah
(1946) serta Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (1969),
sedangkan untuk aspek strateginya termaktub dalam Khittah Muhammadiyah
tahun 1956, 1971, 1978 dan 2002. Tetapi dalam pemikiran resmi lainnya
yakni Dua belas Langkah Muhammadiyah (1938), Al-Masail Al-Khamsah
(1954/1955), Kepribadian Muhammadiyah (1962), Pedoman Hidup Islami
Warga Muhammadiyah (2000), Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang
Satu Abad (2005), dan Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua
(2010) terdapat pemikiran-pemikiran yang bersifat ideologis.
Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah mengandung
prinsip-prinsip pemikiran yang mendasari konstitusi gerakan Muhammadiyah
sebagaimana Pembukaan UUD dengan Batang Tubuh UUD 1945 dalam
konstitusi dasar Negara Republik Indonesia. Ki Bagus Hadikusuma sebagai
penggagas konsep Muqaddimah disertai anggota tim seperti Prof. Farid
Ma’ruf dan lain-lain, menyusunnya sebagai kerangka pemikiran mendasar
yang mengandung roh atau jiwa gerakan Muhammadiyah untuk menjadi
acuan penting bagi seluruh anggota Muhammadiyah.
Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM)
lahir dalam situasi peralihan bangsa Indonesia dari Orde Lama ke Orde Baru
dengan kondisi yang sarat antagonistik atau penuh pertentangan. Pada saat
yang sama proses modernisasi tahap kedua semakin berkembang pesar
dengan nilai-nilai sekuler dan pragmatis mewarnai kehidupan masyarakat
bersamaan dengan era dimulainya pembangunan nasional yang membawa
perubahan di banyak segi kehidupan. Agar warga Muhammadiyah tidak
kehilangan idealisme gerakan, maka pada 1968 sebagai hasil Muktamar ke-37
di Yogyakarta dan ditindaklanjuti Tanwir di Ponorogo tahun 1969, maka
lahirlah Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah sebagai
konsep ideologi dalam Muhammadiyah. Dalam MKCHM terkandung
pemikiran ideologis mengenai hakekat Muhammadiyah, paham agama dalam
Muhammadiyah, serta fungsi dan misi Muhammadiyah di Negara Republik
Indonesia untuk mewujudkan baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur.
Muhammadiyah dengan berprinsip pada Islam dan hakikat dirinya sebagai
gerakan Islam menyatukan diri dalam wadah NKRI, tidak memisahkan
apalagi mencita-citakan format negara yang lain sebagaimana telah menjadi
konsensus nasional dimana tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti Ki Bagus
Hadikusuma terlibat aktif sebagai pendiri NKRI. Disitulah karakter ideologi
Muhammadiyah yang harus dipahami oleh seluruh anggota, lebih-lebih kader
dan pimpinan diseluruh lingkungan dan tingkatan.

B. Ideologi Modernis-Reformis
Ideologi Muhammadiyah dalam pandangan akademik sering
disebut dengan ideologi kaum modernis atau reformis. Meski menggunakan
terminologi asing dalam kajian ilmu-ilmu sosial, sebagai cara memperjelas
perbedaan satu gerakan dengan gerakan yang lain, maka tidak perlu alergi
terhadap pelabelan atau kategorisasi sejauh tetap bersikap kritis dan tidak
menjadikannya absolut. Kategorisasi tersebut tentu bersifat relatif tetapi
bermanfaat untuk mengidentifikasi suatu corak pemikiran atau gerakan Islam.
Kini, Muhammadiyah sendiri seperti melalui Pernyataan Pikiran Abad Kedua
hasil Muktamar ke-46 tahun pada 2010 di Yogyakarta lebih menggunakan
istilah Islam yang berkemajuan, yang secara substantif mengandung unsur-
unsur penting dari reformisme atau modernisme Islam, sedangkan secara
khusus relatif sama dengan gerakan Islam progresif.
Alfian (1989) menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan reformis.
Deliar Noer (1996) menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan modern
Islam, yang tampil lebih moderat ketimbang Persatuan Islam. Soekarno
memberi predikat Muhammadiyah sebagai gerakan Islam progresif, meski
dikritik pula ketika Muhammadiyah menggunakan hijab. Sedangkan William
Shepard (2004) mengkategorisasikan Muhammadiyah sebagai kelompok
Islamic-Modernism, yang lebih berfokus untuk bergerak membangun Islamic
society (masyarakat Islam) dari pada perhatian terhadap Islamic state (negara
Islam); yang fokus gerakannya pada bidang pendidikan, kesejahteraan sosial,
serta tidak menjadi organisasi politik kendati para anggotanya tersebar
diberbagai partai politik.
Dalam pandangan Jainuri (2004), orientasi ideologi keagamaan
reformis-modernis ditandai oleh wawasan keagamaan yang menyatakan
bahwa Islam merupakan nilai ajaran yang memberikan dasar bagi semua
aspek kehidupan dan karenanya harus diamalkan dalam kehidupan sehari-
hari. Bagi kaum reformis-modernis, pengamalan ini tidak hanya terbatas pada
persoalan-persoalan ritual-ubudiyah, tetapi juga meliputi semua aspek
kehidupan sosial kemasyarakatan. Selain itu, kaum reformis-modernis
menerima perubahan yang berkaitan dengan antara lain:
1. Persoalan-persoalan sosial
2. Memiliki orientasi waktu ke depan serta menekankan program jangka
panjang
3. Bersikap rasional dalam melihat persoalan
4. Mudah menerima pengalaman baru
5. Memiliki mobilitas tinggi
6. Toleransi
7. Mudah menyesuaikan dengan lingkungan baru.
Pada awal abad ke dua puluh sikap ini terlihat pada kaum modernis
Muslim yang menerima sebagian unsur budaya Barat modern dalam program
sosial dan pendidikan mereka. Mereka ini berkeyakinan bahwa dari mana pun
asalnya ide atau gagasan itu, selama tidak bertentangan dengan prinsip-
prinsip dasar ajaran Islam, adalah diperbolehkan.
Ideologi reformisme-modernisme memandang Islam mengandung
aspek-aspek struktur tetapi sekaligus substansi, ada ranah yang qath’iy tetapi
yang sekaligus dhanniy, negara juga dipandang penting tetapi perhatian
utama lebih pada pembangunan masyarakat.Dalam pandangan modernisme
Islam, bahwa Islam mengandung ajaran yang menyeluruh namun konstruksi
dan pelaksanaannya tidaklah tunggal. Bahwa aspek-aspek ajaran Islam perlu
diinterpretasi ulang untuk dihadapkan dan dalam rangka menjawab tantangan
zaman yang bersifat kekinian, dengan tetap berada dalam fondasi Islam.
Islam tidak mengisyaratkan paham tentang negara secara tegas, tetapi nilai-
nilai Islam menjadi fondasi dan membingkai kehidupan bernegara. Kaum
reformis-modernis yakni pada kesempurnaan dan kemenyeluruhan ajaran
Islam, tetapi pelaksanaannya dalam kehidupan berproses serta bertahap dan
terus-menerus sesuai dengan taraf kehidupan pemeluknya, sehingga tidak
serba absolut. Akal pikiran diakuinya keabsahannya untuk memahami dan
mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Hal-hal yang
belum Islami dapat diislamkan dengan cara yang berproses, tidak serba
ditolak atau sebaliknya diubah secara drastis.

Dari pemikiran tersebut tampak bahwa reformisme-modernisme


pada Muhammadiyah lebih bersifat pertengahan atau moderat dengan
orientasi pandangan Islam yang berkemajuan. Sikap reformis dan moderat
Muhammadiyah semakin kental jika dikaitkan dengan formulasi pemikiran-
pemikiran resmi yang dihasilkan Muhammadiyah seperti dalam Duabelas
Langkah Muhammadiyah, Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah,
Kepribadian Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup
Muhammadiyah, Khittah Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga
Muhammadiyah, Manhaj Tarjih, dan Pernyataan Pikiran Muhammadiyah
Abad Kedua. Disamping pada pemikiran Kyiai Dahlan dan Muhammadiyah
generasi awal, secara umum dan kontekstual, sikap reformis dan moderat
tersebut kompatibel dengan kondisi dan budaya masyarakat Indonesia dan
perkembangan dunia yang semakin memerlukan orientasi keagamaan yang
demikian.
Muhammadiyah dalam posisi tengahan sebagai gerakan Islam
sungguh sangatlah jelas yakni berkarakter reformis-modernis dengan basis
pandangan Islam yang berkemajuan, akan tetapi sudah berkiprah menjadi
pencerah umat dan bangsa dalam perjalanannya selama satu abad. Ditarik
kemana pun, kelebihan Muhammadiyah dengan karakter reformis-modernis
yang berbasis pandangan Islam yang berkemajuan, telah berkiprah sekuat
ikhtiar dalam mewujudkan amaliah Islam yang konkret diberbagai bidang
kehidupan dibidang dakwah bi-lisan, pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial,
dan usaha-usaha lain yang bersifat dakwah bil-hal yang mencerahkan
kehidupan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan universal.
Watak reformis atau modernis yang melekat dalam
Muhammadiyah tentu memerlukan kritik ke dalam dan pengayaan baru.
Muhammadiyah baik dalam pemikiran maupun amaliah memerlukan
pengembangan perspektif yang lebih mendalam dan memberikan alternatif
pilihan yang melampaui. Rutinitas membuat Muhammadiyah kadang
tenggelam dalam pemikiran-pemikiran serba praktis, sehingga kurang
menunjukkan kekayaan pemikiran ditengah makin mekarnya pemikiran lain
di kalangan neomodernisme dan postradisionalisme yang cukup besar dan
banyak menjadi rujukan baru. Muhammadiyah seolah kehilangan sukma
Sang Pencerah sebagaimana dicontohkan Kyai Dahlan dan etos Laskar
Pelangi pada gerakan pendidikan dan amal usahanya yang berani melakukan
terobosan yang berbeda dari kelaziman, sekaligus menawarkan transformasi
atau perubahan yang mencerahkan kendati tampak bersahaja.
Muhammadiyah menjadi tampak perkasa dalam syiar (show of force) dan
kemajuan fisik, tetapi seolah kehilangan fase pemikiran dan spiritualitas yang
tengah dicari oleh kelas menengah baru maupun umat di akar rumput.

C. Ideologi yang Berkemajuan


Ideologi Muhammadiyah juga berwatak kemajuan. Penggunaan
istilah Islam yang berkemajuan menurut Prof. Dr. M. Amin Abdullah lebih
tepat dan meng-Indonesia bagi Muhammadiyah, yang menurut pandangannya
mirip dengan ideologi progresif. Watak dan ideologi yang berkemajuan itu
tampak sekali dalam kandungan substansi pandangan keagamaan
sebagaimana termaktub dalam Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad
Kedua tahun 2010.
Muhammadiyah memandang bahwa Islam merupakan agama yang
mengandung nilai-nilai kemajuan untuk mewujudkan kehidupan umat
manusia yang tercerahkan. Kemajuan dalam pandangan Islam adalah
kebaikan yang serba utama, yang melahirkan keunggulan hidup lahiriah dan
rohaniah. Adapun dakwah dan tajdid bagi Muhammadiyah merupakan jalan
perubahan untuk mewujudkan Islam sebagai agama bagi kemajuan hidup
umat manusia sepanjang zaman.
Islam yang berkemajuan menyemaikan benih-benih kebenaran,
kebaikan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, kemakmuran, dan keutamaan
hidup secara dinamis bagi seluruh umat manusia. Islam yang menjunjung
tinggi kemuliaan manusia baik laki-laki maupun perempuan tanpa
diskriminasi. Islam yang menggelorakan anti perang, anti terorisme, anti
kekerasan, anti penindasan, anti keterbelakangan, dan anti kepada segala
bentuk pengrusakan dimuka bumi seperti korupsi, penyalahgunaan
kekuasaan, kejahatan kemanusiaan, eksploitasi alam, serta berbagai
kemungkaran yang menghancurkan kehidupan. Islam yang secara positif
melahirkan keutamaan yang memayungi kemajemukan suku bangsa, ras,
golongan, dan kebudayaan umat manusia di muka bumi.
Dengan pandangan Islam yang berkemajuan dan menyebarluaskan
pencerahan, maka Muhammadiyah tidak hanya berhasil melakukan
peneguhan dan pengayaan makna tentang ajaran akidah, ibadah, dan akhlah
kaum Muslimin. Akan tetapi, sekaligus melakukan pembaruan dalam
mu’amalah-dunyawiyyah yang membawa perkembangan hidup sepanjang
kemajuan ajaran Islam. Paham Islam yang berkemajuan semakin meneguhkan
perspektif tentang tajdid yang mengandung makna pemurnian (purifikasi) dan
pengembangan (dinamisasi) dalam gerakan Muhammadiyah, yang seluruhnya
berpangkal dari gerakan kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah (al-ruju’
ila Al-Qur’an wa al-Sunnah) untuk menghadapi perkembangan zaman.
Muhammadiyah memahami bahwa Islam memiliki pandangan
tentang masyarakat yang dicita-citakan, yakni masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya. Sebagaimana dalam QS. Ali-Imran ayat 110 dan Al
Baqarah ayat 143), masyarakat Islam yang diidealisasikan merupakan
perwujudan khairah ummah (umat terbaik) yang memiliki posisi dan peran
ummatan wasatha (umat tengahan), dan syuhada ‘ala al-nas (pelaku sejarah)
dalam kehidupan manusia. Masyarakat Islam adalah suatu masyarakat yang
di dalamnya ajaran Islam berlaku dan menjiwai seluruh bidang kehidupan
yang dicirikan oleh bertuhan dan beragama, berpersaudaraan, berakhlak dan
beradab, berhukum syar’i, berkesejahteraan, bermusyawarah, berikhsan,
berkemajuan, berkepemimpinan dan berketertiban. Dengan demikian
masyarakat Islam menampilkan corak yang bersifat tengahan, yang
melahirkan format kebudayaan dan peradaban yang berkeseimbangan.
BAB III
MATAN KEYAKINAN DAN CITA-CITA HIDUP MUHAMMADIYAH
(MKCHM)

Dibawah ini merupakan Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup


Muhammadiyah, yaitu:
1. Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan dakwah amar makruf nahi
mungkar, berakidah Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan As-
Sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya, untuk melaksanakan fungsi dan misi manusia
sebagai hamba dan Khalifah Allah di muka bumi.
2. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah agama Allah yang
diwahyukan kepada para Rasul-Nya, sejak nabi Adam, Nuh, Ibrahim,
Musa, Isa, dan seterusnya sampai kepada nabi penutup yaitu Muhammad
Saw. Sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang
masa, dan menjamin kesejahteraann hidup material dan spiritual, duniawi
dan ukhrawi.
3. Muhammadiya dalam mengamalkan Islam berdasarkan:
a. Al-Qur’an : Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad
Saw.
b. Sunnah rasul : penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur’an
yang diberikan oleh Nabi Muhammad Saw, dengan menggunakan
akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.
4. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang
meliputi bidang-bidang:
a. Akidah
b. Akhlak
c. Ibadah
d. Muamalah dunyawiyyah:
(1) Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya akidah Islam yang murni,
bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khurafat, tanpa
mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam.
(2) Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia
dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Al-Qur’an dan As-
Sunnah Rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia.
(3) Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan
oleh Rasulullah, tanpa tambahan dan perubahan dari manusia.
(4) Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya mu’amalah-
dunyawiyyah (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat)
dengan berdasarkan ajaran agama serta menjadikan semua
kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah SWT.
5. Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah
mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-
sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa, dan Negara Republik Indonesia
yang berdasar Pancasila dan Undang-undangn Dasar 1945, untuk
berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil makmur yang
diridhai Allah.
BAB IV
KEPRIBADIAN MUHAMMADIYAH

A. Mengenal Makna Muhammadiyah dalam Kepribadian Muhammadiyah


Muhammadiyah merupakan persyarikatan gerakan Islam. Maksud
geraknya ialah dakwah Islam dan amar makruf nahi mungkar yang ditujukan
kepada dua bidang, yaitu perorangan dan masyarakat.
Dakwah dan amar makruf nahi mungkar pada bidang yang pertama
terbagi kepada dua golongan:
1. Kepada yang telah Islam bersifat pembaharuan (tajdid), yaitu
mengembalikan kepada ajaran-ajaran Islam yang asli murni.
2. Kepada yang belum Islam, bersifat seruan dan ajakan untuk memeluk
agama Islam.

Adapun dakwah dan amar makruf nahi mungkar kedua, ialah


kepada masyarakat, bersifat perbaikan dan bimbingan serta peringatan.
Kesemuanya itu dilaksanakan bersama dengan bermusyawarah atas dasar
takwa dan mengharap keridhaan Allah semata.

B. Dasar Amal Usaha Muhammadiyah


Dalam perjuangan melaksanakan usahanya menuju tujuan
terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, dimana kesejahteraan,
kebaikan, dan kebahagiaan luas merata, Muhammadiyah mendasarkan segala
gerak dan amal usahanya atas prinsip-prinsip yang tersimpul dalam
Muqaddimah Anggaran Dasar, yaitu:
1. Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah dan taat kepada Allah.
2. Hidup manusia bermasyarakat.
3. Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan berkeyakinan bahwa ajaran
Islam itu satu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk
kebahagiaan dunia dan akhirat.
4. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat
adalah kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan ikhsan kepada
kemanusiaan.
5. Ittiba’ kepada langkah dan perjuangan Nabi Muhammad Saw.
6. Melancarkan amal usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi.

C. Pedoman Amal Usaha dan Perjuangan Muhammadiyah


Menilik dasar prinsip tersebut diatas, maka apapun yang
diusahakan dan bagaimana pun cara perjuangan Muhammadiyah untuk
mencapai tujuan tunggalnya harus berpedoman, yaitu berpegang teguh akan
ajaran-ajaran Allah dan rasul-Nya, bergerak membangun di segenap bidang
dan lapangan dengan menggunakan cara serta menempuh jalan yang diridhai
Allah.

D. Sifat Muhammadiyah
Muhammadiyah memiliki dan wajib memelihara sifat-sifatnya,
terutama yang terjalin dibawah ini:
1. Beramal dan berjuang untuk perdamaian serta kesejahteraan.
2. Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah.
3. Lapang dada, luas pandangan dengan memegang teguh ajaran Islam.
4. Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan.
5. Mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, dan dasar serta
falsafah negara yang sah.
6. Amar makruf nahi mungkar dalam segala lapangan serta menjadi contoh
teladan yang baik.
7. Aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud ishlah dan
pembangunan sesuai dengan ajaran Islam.
8. Kerja sama dengan golongan Islam mana pun juga dalam usaha
menyiarkan dan mengamalkan agama Islam, serta membela
kepentingannya.
9. Membantu Pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain dalam
memelihara dan membangun negara untuk mencapai masyarakat yang
adil serta makmur yang diridhai Allah.
10. Bersifat adil serta korektif ke dalam dan ke luar dengan bijaksana.
BAB V
KHITTAH PERJUANGAN MUHAMMADIYAH

A. Khittah Palembang
Khittah Muhammadiyah 1956, ialah keputusan Muktamar
Muhammadiyah ke-33 di Palembang pada tahun 1956. Pada saat itu
Muhammadiyah menetapkan Khittah (langkah yang dibatasi dalam waktu
tertentu) yakni untuk tahun 1956-1959, seperti dibawah ini:

1. Menjiwai Pribadi Para Anggota terutama Para Pemimpin Muhammadiyah


dengan:
a. Memperdalam dan mempertebal tauhid
b. Menyempurnakan ibadah dengan khusyu’ dan tawadhu’
c. Mempertinggi akhlak
d. Memperluas ilmu pengetahuan
e. Menggerakkan Muhammadiyah dengan penuh keyakinan dan rasa
tanggung jawab, hanya mengharapkan keridhaan Allah dan
kebahagiaan umat.

2. Melaksanakan Uswatun Hasanah:


a. Muhammadiyah harus selalu di muka, membimbing arah pendapat
umum, sehingga mempunyai sifat yang tetap maju, membangun dan
membaharui. Dapat bergerak dengan lincahnya dan gembira (dinamis
dan progresif).
b. Menegakkan dakwah Islam dengan menampakkan kepada dunia
manusia tentang keindahan agama Islam, mendidik mereka ke arah
budi pekerti yang mulia, supaya peraturan-peraturan Islam dapat
berlaku dalam masyarakat.
c. Membentuk rumah tangga bahagia menurut sepanjang kemajuan
agama Islam dan mewujudkan pergaulan yang baik antara
penghuninya satu dengan yang lain.
d. Mengatur hidup dan kehidupan antara rumah tangga dan tetangganya
sejak mulai kelahiran, perkawinan dan kematian, sehingga akhirnya
dapat mewujudkan masyarakat kampung atau desa Islam, masyarakat
kota Islam dan akhirnya masyarakat negara Islam.
e. Anggota Muhammadiyah harus menyesuaikan hidup dan segala
gerak-geriknya sebagai seorang anggota masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya.

3. Mengutuhkan Organisasi dan Merapikan Administrasi


a. Dengan keutuhan organisasi kita kuat dan dengan kerapian
administrasi kita terpelihara dari fitnah.
b. Pembaharuan dan memudahkan tenaga pengurus, jika perlu dengan
memindahkan tempat beberapa majelis, hingga pimpinan tetap dalam
tangan yang segar dan giat.
c. Menanam kesadaran berorganisasi kepada para anggota untuk
mewujudkan organisasi yang sehat.
d. Administrasi diatur menurut tuntunan yang telah ada.
e. Memelihara harta benda atau kekayaan Muhammadiyah (inventaris)
dengan baik dan teliti sesuai dengan pemeliharaan seseorang terhadap
amanat yang dipercayakan.
f. Mendaftar tenaga-tenaga ahli dari keluarga Muhammadiyah dengan
sempurna sewaktu-waktu ada keperluan dapat dipergunakan.
4. Memperbanyak dan Mempertinggi Mutu Amal
a. Memperbaiki dan melengkapkan amal usaha Muhammadiyah
(termasuk tempat ibadah pada sekolah-sekolah), sehingga dapat
mendatangkan manfaat kepada sesama manusia dari segala lapisan
dan golongan.
b. Menggerakan gerakan perpustakaan, karang-mengarang,
penterjemahan, taman pembacaan, dan kutub khanah.
c. Mendirikan asrama-asrama di tempat-tempat yang ada sekolah-
sekolah lanjutan dengan diberi pendidikan jasmani dan rohani.

5. Mempertinggi Mutu Anggota dan Membentuk Kader


a. Menetapkan minimum pengertian dan amalan agama yang perlu
dimiliki oleh tiap-tiap anggota Muhammadiyah.
b. Memberi penghargaan kepada setiap keluarga Muhammadiyah dan
anak Muhammadiyah pun umat Islam pada umumnya yang berjasa,
yang tua dihormati, yang muda disayangi.
c. Menuntun anggota menurut bakat dan kecakapannya (tani, buruh,
pedagang, pegawai, cerdik-pandai, dan lain-lain) sesuai dengan ajaran
Islam.
d. Menempatkan pecinta dan pendukung Muhammadiyah berjenjang
naik yaitu simpatisan, calon anggota, anggota biasa, dan anggota teras.
e. Mengadakan kursus kemasyarakatan di daerah.

6. Mempererat Ukhuwah
a. Mempererat hubungan antara sesama muslim menuju ke arah
kesatuan umat Islam.
b. Mengadakan ikatan yang nyata, umpamanya berjamaah, himpunan
berkala, ta’ziyah dan sebagainya.
c. Mengadakan badan islah untuk:
(1) Sebagai penghubung bila ada keretakan.
(2) Mencegah hal-hal yang akan menimbulkan kerusakan.
(3) Menghindarkan dan menjauhkan segala hal-hal yang dapat
menimbulkan perselisihan dan persengketaan.

7. Menuntun Penghidupan Anggota


Membimbing usaha keluarga Muhammadiyah yang meliputi segenap
persoalan-persoalan, kesulitan-kesulitan, penghidupan dan pencarian
nafkah serta menyalurkannya kepada saluran yang menuju ke arah
kesempurnaan.

B. Khittah Ponorogo
Khittah perjuangan Muhammadiyah 1969 menghasilkan Keputusan
Sidang Tanwir Muhammadiyah di Ponorogo tahun 1969, yaitu:
1. Pola dasar perjuangan
a. Muhammadiyah berjuang untuk mencapai suatu cita-cita dan
keyakinan hidup yang bersumber ajaran Islam.
b. Dakwah Islam dan amar makruf nahi mungkar dalam arti dan proporsi
yang sebenar-benarnya sebagaimana yang dituntunkan oleh Nabi
Muhammad Saw adalah satu-satunya jalan untuk mencapai cita-cita
dan keyakinan hidup tersebut.
c. Dakwah Islam dan amar makruf nahi mungkar seperti yang dimaksud
harus dilakukan melalui dua saluran yaitu:
(1) Saluran politik kenegaraan
(2) Saluran masyarakat
d. Untuk melakukan perjuangan dakwah Islam dan amar makruf nahi
mungkar seperti yang dimaksud diatas, dibuat alatnya masing-masing
yang berupa organisasi:
(1) Untuk saluran politik dengan partai politik (politik praktis).
(2) Untuk saluran masyarakat dengan organisasi non partai.
e. Muhammadiyah sebagai organisasi memilih dan menempatkan diri
sebagai gerakan Islam dan amar makruf nahi mungkar dalam bidang
masyarakat. Sedangkan untuk alat perjuangan dalam bidang politik
kenegaraan (politik praktis), Muhammadiyah membentuk satu partai
di luar organisasi Muhammadiyah.
f. Muhammadiyah harus menyadari bahwa partai tersebut adalah
merupakan objeknya dan wajib membinanya.
g. Antara Muhammadiyah dengan partai tidak ada hubungan
organisatoris, tetapi tetap mempunyai hubungan ideologis.
h. Masing-masing berdiri dan berjalan sendiri-sendiri menurut caranya
sendiri-sendiri, tetapi dengan saling pengertian dan menuju tujuan
yang satu.
i. Pada prinsipnya tidak dibenarkan adanya perangkapan jabatan,
terutama jabatan pimpinan antara keduanya, demi tertibnya
pembagian pekerjaan.

2. Program dasar perjuangan


Dengan dakwah dan amar makruf nahi mungkar dalam arti dan
proporsi yang sebenar-benarnya, Muhammadiyah harus dapat
membuktikan secara teoritis konsepsionil, secara operasional, dan secara
konkret riil, bahwa ajaran Islam mampu mengatur masyarakat dalam
NKRI yang berpancasila dan UUD 1945 menjadi masyarakat adil dan
makmur serta sejahtera, bahagia, dan spiritual yang diridhai Allah SWT.

C. Khittah Ujung Pandang


Muktamar Muhammadiyah ke-38 yang berlangsung pada 1-6
Sya’ban 1391 H/ 21-26 September 1971 M di Ujung Pandang. Setelah
mendengan pandangan dan pendapat para peserta Muktamar tentang
hubungan Muhammadiyah dengan partai-partai dan organisasi-organisasi
lainnya dalam usaha meningkatkan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah
Islam, memutuskan:
1. Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam yang beramal dalam
bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan
organisatoris dan tidak merupakan afiliasi dari suatu partai politik atau
organisasi apapun.
2. Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya, dapat tidak
memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang
dari Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan ketentuan-ketentuan
lainnya yang berlaku dalam Persyarikatan Muhammadiyah.
3. Untuk lebih memantapkan Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah
Islam setelah Pemilu 1971, Muhammadiyah melakukan amar makruf nahi
mungkar secara konstruktif dan positif terhadap Partai Muslimin
Indonesia seperti halnya terhadap partai-partai politik dan organisasi-
organisasi lainnya.
4. Untuk lebih meningkatkan partisipasi Muhammadiyah dalam pelaksanaan
pembangunan nasional, mengamanatkan kepada Pimpinan Pusat
Muhammadiyah untuk menggariskan kebijaksanaan dan mengambil
langkah-langkah dalam pembangunan ekonomi, sosial dan mental
spiritual.

D. Khittah Surabaya
Khittah perjuangan Muhammadiyah 1978, menghasilkan keputusan
muktamar Muhammadiyah ke-40 di Surabaya tahun 1978.
1. Hakekat Muhammadiyah
Sesuai dengan Khittahnya, Muhammadiyah sebagai Persyarikatan
memilih dan menempatkan diri sebagai gerakan Islam amar makruf nahi
mungkar dalam masyarakat, dengan maksud yang terutama ialah
membentuk keluarga dan masyarakat sejahtera sesuai dengan dakwah
jamaah.
Disamping itu, Muhammadiyah menyelenggarakan amal usaha
seperti tersebut pada Anggaran Dasar Pasal 4, dan senantiasa berikhtiar
untuk meningkatkan mutunya.
Penyelenggaraan amal usaha tersebut merupakan sebagai ikhtiar
Muhammadiyah untuk mencapai Keyakinan dan Cita-cita Hidup yang
bersumberkan ajaran Islam, dan bagi usaha untuk terwujudnya
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

2. Muhammadiyah dan ukhuwah Islamiyah


Sesuai dengan kepribadiannya, Muhammadiyah akan bekerja sama
dengan golongan Islam mana pun juga dalam menyiarkan dan
mengamalkan agama Islam serta membela kepentingannya.
Dalam melakukan kerjasama tersebut, Muhammadiyah tidak
bermaksud menggabungkan dan mengsubordinasikan organisasinya
dengan organisasi atau institusi lainnya.

3. Dasar program Muhammadiyah


Berdasarkan landasan serta pendirian tersebut diatas dan dengan
memperhatkan kemampuan serta potensi Muhammadiyah dan bagiannya,
perlu ditetapkan langkah kebijaksanaan sebagai berikut:
a. Memulihkan kembali Muhammadiyah sebagai Persyarikatan yang
menghimpun sebagian anggota masyarakat, terdiri dari Muslimin dan
Muslimat yang beriman teguh, ta’at beribadah, berakhlak mulia, dan
menjadi teladan yang baik di tengah-tengah masyarakat.
b. Meningkatkan pengertian dan kematangan anggota Muhammadiyah
tentang hak dan kewajiban sebagai warga negara dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan meningkatkan kepekaan sosialnya
terhadap persoalan-persoalan dan kesulitan hidup masyarakat.
c. Menempatkan Persyarikatan Muhammadiyah sebagai gerakan untuk
melaksanakan dakwah amar makruf nahi mungkar ke segenap penjuru
dan lapisan masyarakat, serta di segala bidang kehidupan di Negara
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945.
E. Khittah Denpasar
Khittah Muhammadiyah 2002 merupakan Khittah Muhammadiyah
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Adapun Keputusan Tanwir
Muhammadiyah di Denpasar pada tahun 2002, adalah sebagai berikut:
1. Muhammadiyah meyakini bahwa politik dalam kehidupan bangsa dan
negara merupakan salah satu aspek dari ajaran Islam dalam urusan
keduniawian (al-umur ad-dhunyawiyat) yang harus selalu dimotivasi,
dijiwai, dan dibingkai oleh nilai-nilai luhur agama dan moral yang utama.
Karena itu diperlukan sikap dan moral yang positif dari seluruh warga
Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan politik untuk tegaknya
kehidupan bangsa dan negara.
2. Muhammadiyah meyakini bahwa negara dan usaha-usaha membangun
kehidupan berbangsa dan bernegara, baik melalui perjuangan politik
maupun melalui pengembangan masyarakat. Pada dasarnya merupakan
wahana pengembangan yang mutlak diperlukan untuk membangun
kehidupan dimana nilai-nilai Ilahiah melandasi dan tumbuh subur
bersamaan dengan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan, keadilan,
perdamaian, ketertiban, kebersamaan, dan keadaban untuk terwujudnya
bal-datun thayyibatun wa Rabbun ghafur.
3. Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan bangsa dan negara
melalui usaha-usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat guna
terwujudnya masyarakat madani (civil society) yang kuat sebagaimana
tujuan Muhammadiyah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan-
kebijakan kenegaraan sebagai proses dan hasil dari fungsi politik
pemerintahan akan ditempuh melalui pendekatan-pendekatan secara tepat
dan bijaksana sesuai prinsip-prinsip perjuangan kelompok kepentingan
yang efektif dalam kehidupan negara yang demokratis.
4. Muhammadiyah mendorong secara kritis atas perjuangan politik yang
bersifat praktis atau berorientasi pada kekuasaan (real politics), untuk
dijalankan oleh partai-partai politik dan lembaga-lembaga formal
kenegaraan dengan sebaik-baiknya menuju terciptanya sistem politik yang
demokratis dan berkeadaban sesuai dengan cita-cita luhur bangsa dan
negara. Dalam hal ini perjuangan politik yang dilakukan oleh kekuatan-
kekuatan politik hendaknya benar-benar mengedepankan kepentingan
rakyat dan tegaknya nilai-nilai utama sebagaimana yang menjadi
semangat dasar dan tujuan didirikannya Negara Republik Indonesia yang
diproklamasikan tahun 1945.
5. Muhammadiyah senantiasa memainkan peranan politiknya sebagai wujud
dari dakwah amar makruf nahi mungkar, dengan jalan mempengaruhi
proses dan kebijakan negara agar tetap berjalan sesuai dengann konstitusi
dan cita-cita luhur bangsa. Muhammadiyah secara aktif menjadi kekuatan
perekat bangsa dan berfungsi sebagai wahana pendidikan politik yang
sehat menuju kehidupan nasional yang damai dan berkeadaban.
6. Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak mempunyai hubungan
organisatoris dengan kekuatan-kekuatan politik atau organisasi mana pun.
Muhammadiyah senantiasa mengembangkan sikap positif dalam
memandang perjuangan politik dan menjalankan fungsi kritik sesuai
dengan prinsip amar makruf nahi mungkar demi tegaknya sistem politik
kenegaraan yang demokratis dan berkeadaban.
7. Muhammadiyah memberik kebebasan kepada setiap anggota
Persyarikatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politik
sesuai hati nurani masing-masing.
8. Muhammadiyah meminta kepada segenap anggotanya yang aktif dalam
politik untuk benar-benar melaksanakan tugas dan kegiatan politik secara
sugguh-sungguh dengan mengedepankan tanggungjawab (amanah),
akhlak mulia (al-akhlaq al-karimah), keteladanan (uswah hasanah), dan
perdamaian (ishlah).
9. Muhammadiyah senantiasa bekerjasama dengan pihak atau golongan
mana pun berdasarkan prinsip kebajikan dan kemaslahatan, menjauhi
kemudharatan, dan bertujuan untuk membangun kehidupan bangsa dan
negara ke arah yang lebih baik, maju, demokratis, dan berkeadaban.
BAB VI
NEGARA PANCASILA SEBAGAI DAR AL-AHDI WA AL-SYAHADAH

A. Muqaddimah
Muhammadiyah sebagai komponen strategis umat dan bangsa di
Negara Republik Indonesia memiliki kewajiban kolektif untuk
mendakwahkan Islam mengajak kepada kebaikan, menyuruh kepada yang
makruf. Sebagaimana misi awal kelahirannya yang terkandung dalam Al-
Qur’an QS. Ali-Imran ayat 104, yaitu Muhammadiyah berkomitmen untuk
menjadikan umat Islam sebagai khayra ummah atau umat terbaik. Dalam QS
Ali-Imran ayat 110, yang tampil sebagai golongan tengahan (ummatun
wasatha) dan berperan sebagai saksi bagi kehidupan umat manusia
(syuhadaa ‘alaa al-nas) pada QS. Al-Baqarah ayat 143, sehingga
kehadirannya menjadi rahmat bagi semesta alam sebagaimana pada QS Al-
Anbiya ayat 107.
Dengan demikian, Muhammadiyah berkomitmen untuk terus
berjuang memproyeksikan Indonesia menjadi Negara Pancasila yang maju,
adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat dalam lindungan Allah SWT.

B. Pembentukan Negara Indonesia


Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada
17 Agustus 1945 merupakan anugerah Allah atas perjuangan seluruh rakyat
yang mengandung jiwa, pikiran, dan cita-cita luhur kemerdekaan. Semangat
kerohanian yang menjiwai lahirnya negara Indonesia dalam tiga alinea awal
Pembuakaan UUD 1945.
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak seluruh bangsa
dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan,
karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah
sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat, sentosa
menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat,
adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa dan
dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan
ini kemerdekaannya.

Diktum-diktum mendasar dalam Pembukaan UUD 1945 itu


sungguh penting dan mendasar. Karena mengandung jiwa, filosofi,
pemikiran, dan cita-cita bernegara untuk dihayati dan diwujudkan dalam
kehidupan kebangsaan oleh seluruh warga dan penyelenggara negara dengan
penuh makna dan kesungguhan. Jika dirujuk pada Sila Pertama Pancasila,
yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, maka negara Indonesia itu tidak dapat
dipisahkan dari jiwa, pikiran, dan nilai ketuhanan dan keagamaan yang
berbasis tauhid. Semangat rohaniah itu semakin menguat manakala dikaitkan
dengan Pasal 29 UUD 1945 yang mengakui keberadaan dan kemerdekaan
umat beragama untuk menjalankan keyakinan dan kepercayaan agamanya.
Dalam Pembukaan UUD 1945 itu terkandung esensi nilai-nilai ketuhanan
yang kuat. Oleh karena itu, Indonesia dapat dikatakan sebagai Negara
Pancasila yang religius dan bukan suatu negara sekuler yang memisahkan
atau menjauhkan nilai-nilai ketuhanan dan keagamaan dari denyut nadi
kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Namun, patut diakui bahwa pasca kemerdekaan Indonesia banyak
menghadapi permasalahan dan tantangan yang berat dan kompleks.
Kehidupan bangsa dan negara Indonesia setelah puluhan tahun merdeka
hingga saat ini masih ditandai kejumudan (stagnasi), peluruhan (distorsi), dan
penyimpangan (deviasi) dalam berbagai bidang kehidupan kebangsaan.
Meskipun terdapat banyak kemajuan seperti dalam kehidupan demokrasi dan
hak asasi manusia, tingkat pertumbuhan ekonomi, dan suasana kemajemukan
bangsa yang terpelihara dengan baik, tak dapat dipungkiri bahwa masih
banyak persoalan rumit dan mendesak yang harus segera diselesaikan. Di
antara masalah yang cukup serius adalah korupsi yang masif, penegakkan
hukum yang lemah, kesenjangan sosial yang melebar, sumber daya alam yang
dieksploitasi dan dikuasai pihak asing, dan hal-hal lain yang terdampak luas
pada kehidupan kebangsaan yang jauh dari cita-cita nasional.
Kehidupan kebangsaan juga masih diwarnai oleh krisis moral dan
etika, disertai berbagai paradoks dan pengingkaran atas nilai-nilai keutamaan
yang selama ini diakui sebagai nilai-nilai luhur budaya bangsa. Kenyataan ini
ditunjukkan oleh perilaku elite dan warga masyarakat yang korus, konsumtif,
hedonis, materialistik, suka menerabas, dan beragam tindakan menyimpang
lainnya. Sementara itu, proses pembodohan, kebohongan publik, kecurangan,
pengaburan nilai, dan bentuk-bentuk kedzaliman lainnya (tadzliim) semakin
merajalela di tengah usaha-usaha untuk mencerahkan (tanwiir) kehidupan
bangsa. Situasi paradoks dan konflik nilai tersebut menyebabkan masyarakat
Indonesia kehilangan makna dalam banyak aspek kehidupan dan melemahkan
sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara. Akibat lebih jauh dari masalah-
masalah krusial dan kondisi yang bertentangan itu, Indonesia semakin
tertinggal dalam banyak hal dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain.
Bangsa Indonesia sesungguhnya memiliki nilai-nilai keutamaan
untuk menjadi bangsa unggul dan berperadaban tinggi. Di antara nilai-nilai
itu adalah daya juang, tahan menderita, mengutamakan harmoni, dan gotong
royong. Nilai-nilai keutamaan tersebut masih relevan, namun memerlukan
penyesuaian dan pengembangan sejalan dengan dinamika dan tantangan
zaman. Tantangan globalisasi yang meniscayakan orientasi kepada kualitas,
persaingan, dan daya saing menuntut bangsa Indonesia memiliki karakter
yang bersifat kompetitif, dinamis, dan berkeunggulan disertai ketangguhan
dalam menunjukkan jati diri bangsa.
Seluruh komponen nasional dan generasi penerus bangsa, termasuk
umat Islam sebagai kekuatan mayoritas, wajib memahami keberadaan negara
Indonesia untuk dibangun menjadi negara-bangsa yang berkemajuan sesuai
dengan tuntutan zaman. Mereka yang menduduki jabatan-jabatan publik
berkewajiban menjalankan fungsi utama pemerintahan sesuai dengan jiwa,
falsafah, pemikiran, dan cita-cita nasional. Pengingkaran terhadap nilai-nilai
luhur kebangsaan itu merupakan bentuk penyelewengan dan pengkhianatan
atas idealisme kemerdekaan. Sebaliknya, setiap usaha untuk mewujudkan
nilai dan cita-cita nasional itu merupakan bukti kesungguhan untuk membawa
Indonesia sebagai bangsa dan negara yang maju, adil, makmur, bermartabat,
dan berdaulat di tengah dinamika perkembangan zaman. Segenap kekuatan
nasional harus memiliki tekad yang kuat dan bersatu untuk menjadikan
Indonesia sebagai negara pancasila yang berdiri tegak di atas jiwa, pikiran,
dan cita-cita nasional 1945 yang penting dan luhur itu.

C. Peran Strategis Muhammadiyah


Muhammadiyah sebagai kekuatan nasional sejak awal berdirinya
pada tahun 1912 telah berjuang dalam pergerakan kemerdekaan. Melalui para
tokohnya, Muhammadiyah juga terlibat aktif mendirikan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Muhammadiyah memiliki komitmen dan tanggung jawab tinggi untuk
memajukan kehidupan bangsa dan negara. Para tokohnya Muhammadiyah
sejak era K.H. Ahmad Dahlan dan Nyai Walidah Dahlan hingga sesudahnya
mengambil peran aktif dalam usaha-usaha kebangkitan nasional dan
perjuangan kemerdekaan. Kiprah Muhammadiyah tersebut melekat dengan
nilai dan pandangan Islam berkemajuan yang menjadikan komitmen citra
pada tanah air sebagai salah satu wujud keislaman.
Muhammadiyah dalam kehidupan kebangsaan maupun
kemanusiaan universal mendasarkan diri pada pandangan Islam berkemajuan.
Muhammadiyah menegaskan komitmen untuk terus berkiprah menyemaikan
benih-benih kebenaran, kebaikan, kedamaian, keadilan, kemashlahatan,
kemakmuran, dan keutamaan hidup secara dinamis menuju peradaban yang
utama. Islam ditegakkan untuk menjunjung tinggi kemuliaan manusia baik
laki-laki maupun perempuan tanpa diskriminasi. Islam berkemajuan adalah
Islam yang menggelorakan misi anti perang, anti teroris, anti kekerasan, anti
penindasan, anti keterbelakangan. Islam berkemajuan juga anti terhadap
segala bentuk pengrusakan di muka bumi seperti korupsi, penyalagunaan
kekuasaan, kejahatan kemanusiaan, eksploitasi alam, serta berbagai
kemungkaran yang menghancurkan kehidupan. Islam berkemajuan secara
positif memayungi kemajemukan suku bangsa, ras, golongan dan
kebudayaan, menyebarkan pesan damai, toleran, dan sikap tengahan di segala
bidang kehidupan. Dengan kata lain, Islam berkemajuan adalah Islam yang
mengemban risalah rahmatan lil’alamin yang menyatu dan memberi warna
keindonesiaan serta kemanusiaan universal.
Peran Muhammadiyah dalam mengemban misi Islam berkemajuan
berlanjut dalam kiprah kebangsaan lainnya, Negara Indonesia Merdeka pada
17 Agustus 1945. Para pemimpin Muhammadiyah terlibat aktif dalam usaha-
usaha kemerdekaan. Kiai Haji Mas Mansur menjadi anggota Empat
Serangkai bersama Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hadjar Dewantara
yang merintis prakarsa persiapan kemerdekaan Indonesia terutama dengan
pemerintahan balatentara Jepang. Tiga tokoh penting Muhammadiyah, seperti
Ki Bagus Hadikusumo, Prof. Kahar Mudzakir, dan Mr. Kasman
Singodimedjo bersama para tokoh bangsa lainnya juga telah berperan aktif
dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) untuk
merumuskan prinsip dan bangunan dasar negara Indonesia. Ketiga tokoh
tersebut bersama tokoh-tokoh Islam lainnya menjadi perumus dan
penandatanganan lahirnya Piagam Jakarta yang menjiwai Pembukaan UUD
1945.
Dalam momentum kritis satu hari setelah Negara Kesatuan
Republik Indonesia diproklamasikan, Ki Bagus Hadikusumo dan Mr. Kasman
Singodimedjo dengan jiwa keagamaan dan kenegarawanan yang tinggi demi
menyelamatkan keutuhan dan persatuan Indonesia, dapat mengikhlaskan
dihapuskannya tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Tujuh kata yang dimaksud
adalah anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” dan menggantinya menjadi “Ketuhanan Yang Maha
Esa” sebagaimana menjadi sila pertama dari Pancasila. Pencoretan tujuh kata
dalam Piagam Jakarta tersebut bukan hal mudah bagi para tokoh
Muhammadiyah dan wakil umat Islam kala itu. Sikap tersebut diambil
semata-mata sebagai wujud tanggungjawab dan komitmen kebangsaan demi
tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengorbanan para tokoh
Islam tersebut menurut Menteri Agama Republik Indonesia, Letjen (TNI)
Alamsjah Ratu Perwiranegara, merupakan hadiah terbesar umat Islam untuk
bangsa dan negara Indonesia.
Muhammadiyah dengan pandangan Islam berkemajuan senantiasa
berusaha untuk mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan.
Muhammadiyah telah dan akan terus memberikan sumbangan besar di dalam
upaya-upaya mencerdaskan dan memajukan kehidupan bangsa serta
mengembangkan moral politik Islam yang berwawasan kebangsaan di tengah
pertarungan berbagai ideologi dunia. Apa yang selama ini dikerjakan
Muhammadiyah telah diakui oleh masyarakat luas dan Pemerintah Republik
Indonesia. Pemerintah sendiri menetapkan K.H. Ahmad Dahlan sebagai
pahlawan nasional melalui Keputusan Presiden nomor 657 tanggal 27
Desember 1961, dengan pertimbangan sebagai berikut:
(1) Kepeloporan dalam kebangunan umat Islam Indonesia untuk menyadari
nasibnya sebagai bangsa terjajah yang harus belajar dan berbuat
(2) Memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya, ajaran yang
menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat
(3) Memelopori amal-usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi
pembangunan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam
(4) Melalui organisasi Aisyiyah telah mempelopori pembangunan wanita
bangsa Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial,
setingkat dengan kaum pria.
Nyai Walidah Dahlan karena kiprah kebangsaan yang
diperankannya melalui ‘Aisyiyah juga ditetapkan sebagai pahlawan
nasional, yang memperkuat bukti kepercayaan dan pengakuan negara
terhadap perjuangan Muhammadiyah dan organsisasi perempuannya itu.
Setelah Indonesia merdeka, pengabdian Muhammadiyah terhadap
bangsa dan negara terus berlanjut. Khidmat kebangsaan ini lahir dari pesan
ajaran Islam yang berkemajuan dan didorong oleh keinginan yang kuat agar
Indonesia mampu melangkah ke depan menjadi negara dan bangsa yang
unggul sejalan dengan cita-cita kemerdekaan. Kiprah dan pengkhidmatan
Muhammadiyah sepanjang lebih satu abad itu merupakan bukti bahwa
Muhammadiyah ikut berkeringat, berkorban, dan memiliki saham yang besar
dalam usaha-usaha kemerdekaan dan membangun negara Indonesia.
Karenanya Muhammadiyah berkomitmen untuk terus berkiprah membangun
dan meluruskan arah kiblat Indonesia sebagai negara Pancasila.
BAB VII
TANTANGAN DAKWAH DAN TAJDID MUHAMMADIYAH

A. Tantangan Dakwah
Kini sering dikemukakan berbagai tantangan Muhammadiyah.
Sebutlah mekarnya misi agama lain, gerakan-gerakan Islam lain yang masuk
ke dalam komunitas Muhammadiyah, meluasnya budaya asing yang serba
sekuler dan liberal, serta berbagai tantangan lain yang kompleks. Dalam
pemikiran juga dihadapkan tantangan yang bersifat ekstrem dari corak yang
cenderung serba tradisional-konservatif hingga liberal-sekuler, yang tidak
jarang menimbulkan pro-kontra di tubuh umat Islam. Demikian pula dengan
dinamika perubahan sosial yang dihadapi masyarakat Indonesia di berbagai
bidang kehidupan. Masih banyak tantangan dalam wujud masala-masalah
krusial umat, bangsa, dan kemanusiaan universal sebagaimana terangkum
dalam isu-isu strategis hasil Muktamar Satu Abad.
Muhammadiyah menegesakan identitas dirinya sebagai gerakan
Islam yang bergerak dalam dakwah amar makruf dan nahi mungkar.
Muhammadiyah sejak berdirinya bahkan telah berkiprah dalam dakwah
multiaspek dan bercorak pembaharuan. Waktu itu apa yang dilakukan
Muhammadiyah belum dilakukan bahkan banyak ditentang oleh golongan
Islam lain. Dakwah di bidang penyiaran Islam (tabligh), pendidikan,
kesehatan, pelayanan sosial, pengorganisasian zakat, pengorganisasian haji,
dakwah pemberdayaan masyarakat, gerakan perempuan Muslimah melalui
‘Aisyiyah, dan berbagai aspek dakwah lainnya merupakan terobosan baru
yang luar biasa dan memberi dampak luas bagi kemajuan umat dan
masyarakat Indonesia.
Kini dakwah Muhammadiyah telah berusia satu abad dan
memasuki abad kedua. Tantangan dakwah Muhammadiyah sangatlah
kompleks. Masyarakat dan kebudayaan tradisional masih melekat dalam
kehidupan masyarakat Indonesia. Golongan tradisional masih banyak
dikungkung oleh cara berpikir yang jumud, tidak rasional, emosional, dan
tidak jarang ditandai alam pikiran mistis seperti klenik, takhayul, bidah dan
khurafat. Pada saat yang sama kehidupan modern juga tak kalah agresif yang
ditandai alam pikiran serba rasional, bebas, sekuler, dan mekarnya budaya
populer. Dualisme alam pikiran tersebut sedang bergumul dalam kehidupan
masyarakat Indonesia, yang masih akan berlanjut hingga sampai kapan dalam
proses perubahan sosial di negeri ini. Masyarakat akar-bawah dan kelas
menengah-atas memiliki irama sendiri dalam dinamika perubahan sosial di
negeri ini.
Berbagai masalah yang dihadapi gerakan-gerakan dakwah Islam
maupun kompleks terutama yang menyangkut kondisi kehidupan umat Islam
sendiri. Umat Islam mayoritas masih belum sepenuhnya mempraktikkan
ajaran Islam yang benar sebagaimana tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sementara masalah krusial tidak kalah gawatnya yakni kemiskinan, kesulitan
lapangan kerja, kebodohan, lemah penguasaan iptek, keterasingan budaya,
dan berbagai masalah pelik lainnya yang membuat posisi umat tetap marginal
di berbagai bidang kehidupan. Akibat dari posisi marginal itu maka umat
Islam meskipun mayoritas di negeri ini secara kualitas masih minoritas dan
lebih menjadi obyek atau maf’ul bih dalam berbagai aspek kehidupan.
Karenanya menjadi tantangan khusus bagaimana menampilkan
pikiran, strategi, dan langkah-langkah dakwah yang bersifat alternatif kepada
masyarakat atas, menengah, hingga ke bawah. Model-model dakwah
komunitas dengan basis Gerakan Jamaah dan Dakwah Jamaah yang
dimodifikasi dapat dikembangkan. Berbagai amal usaha dapat disinergikan
dengan perkembangan dakwah komunitas itu. Demikian pula dengan ikhtiar
melakukan berbagai inovasi atas dakwah yang selama ini, baik dalam bentuk
tabligh maupun dakwah bil-hal lainnya, termasuk revitalisasi bermacam amal
usaha unggulan. Model pemberdayaan masyarakat yang dilakukan Majelis
Pemberdayaan Masyarakat (MPM) termasuk terobosan bagi Muhammadiyah,
lebih-lebih jika dikembangkan dengan pengembangan usaha-usaha ekonomi
mikro kecil dan menengah sebagaimana dilakukan ‘Aisyiyah.
Jika dakwah Muhammadiyah masih bersifat serba verbal, baik bi-
lisan maupun bil-hal, maka dakwahnya akan ketinggalan dari gerakan-
gerakan Islam lain dan misi agama lain. Di sinilah pentingnya merumuskan
strategi baru yang lebih akurat, aktual, dan kontekstual dalam dakwah
Muhammadiyaa. Setiap bentuk reaksioner atau sekedar meluapkan
kecemasan dan kegundahan secara verbal tanpa disertai langkah-langkah
strategis maka sampai kapanpun dakwah Muhammadiyah akan ketinggalan.
Apalagi manakala pelaku dakwahnya bersikap elitis, miskin wawasan, serta
tidak mengakar ke bawah maupun menembus ke atas di tengah perasaan
bangga paling sibuk berdakwah.

B. Tantangan Tajdid
Sejarah kelahiran Muhammadiyah adalah sejarah tajdid.
Muhammadiyah oleh para peneliti dan masyarakat luas bahkan disebut
gerakan reformis dan modernis. Penggunaan istilah tersebut boleh tidak
disetujui jika merasa tidak pas atau dianggap asing, tetap secara ilmiah atau
akademik telah diterima luas dan dapat dipertanggungjawabkan oleh para
pengkaji Muhammadiyah tersebut, baik dari dalam maupun luar negeri.
Muhammadiyah melalui Musyawarah Nasional Tarjih secara
cerdas memaknai tajdid untuk dua arti sekaligus, yakni purifikasi (pemurnian)
dan dinamisasi (pengembangan). Dalam ikon Suara Muhammadiyah disebut
jargon peneguhan dan pencerahan. Tarjih bahkan melengkapi pemaknaan
tajdid dengan pengembangan manhaj tarjih yang mengandung tiga
pendekatan yaitu bayani, burhani, dan irfani dalam memahami Islam. Maka
bangunan konseptual dan fondasi makna tajdid dalam Muhammadiyah
sebenarnya sangat lengkap, sehingga yang diperlukan ialah aktualisasi tajdid
dalam berbagai aspek kehidupan disertai pengembangan wawasan pemikiran
sejalan dengan jiwa ajaran Islam.
Kini Muhammadiyah dihadapkan pada berbagai tantangan aktual
kehidupan yang meniscayakan penghadapan tajdid. Pertama, berbagai ragam
pemikiran Islam muncul serta bergelora dari yang bercorak serba tekstual
hingga kontekstual, dari yang berkarakter konservatif hingga progresif dan
bahkan liberal-sekuler atau apapun istilahnya yang merujuk pada mahzab
pemikiran sejenis. Kemajemukan pemikiran itu bahkan sampai batas tertentu
telah menimbulkan polarisasi yang tajam dan saling berhadapan.
Kedua, kehidupan pascamodern dengan beragam pemikiran
demokratis, hak asasi manusia, pluralisme, multikulturalisme, dan globalisme
semakin meluas dan menjadi realitas baru dalam kehidupan umat Islam
maupun bangsa Indonesia dengan berbagai kecenderungannya yang
kompleks. Kecenderungan modern tahap lanjut itu bahkan paradoks dengan
bangkitnya semangat lokalisme, daerahisme, sukuisme, dan orientasi
promordial dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang menambah
kerumitan dalam tatanan sistem sosial-budaya di negeri yang mayoritas
muslim ini.
Di luar tantangan besar tersebut masih dapat diidentifikasikan
berbagai ragam tantangan kontekstual lainnya sebagaimana termuat dalam
Keputusan Maktamar Satu Abad tentang Isu-isu Strategis. Hal yang paling
penting bagi Muhammadiyah ialah bagaimana melakukan penghadapan
dengan strategi transformasi (strategi perubahan yang lebih progresif)
berdasarkan pemikiran tajdid yang dimilikinya sehingga di satu pihak dapat
membangun kekuatan Islam sesuai dengan karakter dirinya sekaligus mampu
menjadi pelaku sejarah yang mengarahkan kehidupan kontemporer dengan
pemikiran-pemikiran Islam alternatif.

Anda mungkin juga menyukai