Anda di halaman 1dari 22

105

MENELADANI ULAMA MINANGKABAU

1. Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi

Indonesia banyak memiliki pemuka agama yang dikenal luas hingga ke Makkah.
Kemampuannya dalam bidang agama juga banyak dipandang, salah satunya Syaikh Ahmad
Khatib Al-Minangkabawi.

Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi adalah Ulama Indonesia yang pernah menjadi
Imam di Masjidil Haram pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 M. Ia lahir di Koto
Tuo, Ampek Angkek, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada Senin, 6 Zulhijah 1276 H
(1860 M). Sebelum berangkat studi ke Makkah ia sempat mengenyam pendidikan formal di
Sekolah Raja (Kweekschool) di Bukittinggi.

Pada tahun 1287 H, Ahmad Khatib diajak ayahnya Syaikh Abdul Lathif untuk
menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Setelah usai menunaikan ibadah haji, ia pun tinggal
di Makkah untuk belajar, sementara sang ayah kembali pulang ke tanah air.

Di Makkah, Syaikh Ahmad Khatib tidak mendapati kesulitan dalam belajar karena sejak
kecil ia sudah mendapatkan pendidikan agama dasar seperti tauhid, fikih, akhlak, dan
menghafal beberapa juz Al-Qur’an dari sang ayah.

Ketika tinggal di Makkah itulah ia menuntaskan hafalan Al-Qur’annya dan berguru


kepada Ulama Masjidil Haram, seperti Sayyid ‘Umar bin Muhammad bin Mahmud Syatha
Al Makki Asy Syafi’I, Sayyid ‘Utsman bin Muhammad Syatha Al Makki Asy Syafi’i,
Sayyid Bakri bin Muhammad Zainul ‘Abidin Syatha Ad Dimyathi Al Makki Asy Syafi’i,
Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Sayyid Yahya Al Qalyubi dan Muhammad Shalih Al
Kurdi.

Sehari-hari di Makkah, selain belajar Syaikh Ahmad Khatib rajin mengunjungi toko buku
yang ada di dekat Masjidil Haram, yaitu toko buku milik Muhammad Shalih Al Kurdi.
Pemilik toko menaruh perhatian kepada Syaih Ahmad Khatib karena melihat kerajinan,
ketekunan, kepandaian dan semangat menuntut ilmunya yang tinggi. Sehingga ia mengambil
106

Syaikh Ahmad Khatib sebagai menantu. Syaikh Ahmad Khatib dinikahkan dengan putri
pertama Syaikh Muhammad Shalih Al Kurdi yang bernama Khadijah.

Dari pernikahan itu ia dikaruniai seorang putra bernama Abdul Karim (1300 – 1357 H),
tak lama kemudian Khadijah meninggal dunia.

Setelah meninggalnya Khadijah, Syaikh Ahmad Khatib dinikahkan Muhammad Shalih


Al-Kurdi dengan putrinya yang lain bernama Fathimah. Dari pernikahan ini ia dikaruniai dua
orang putra yang memiliki kedudukan tinggi di Negeri Arab yaitu Abdul Malik, yang
merupakan Redaktur koran Al-Qiblah, dan Abdul Hamid seorang penyair dan sastrawan
Makkah.

Awal mula Syaikh Ahmad Khatib menjadi Imam Masjidil haram, menurut penuturan
Prof. Dr. Hamka adalah ketika Syaikh Ahmad Khatib menjadi makmum dalam salat yang
diimami Syarif Aunur Rafiq. Di tengah salat Imam salah membaca ayat, kemudian spontan
dibetulkan bacaannya oleh Syaikh Ahmad Khatib. Setelah salat usai, imam bertanya siapa
yang membetulkan bacaannya, kemudian ditunjuklah Ahmad Khatib oleh makmum yang
lain. Setelah itu, Syarif Aunur Rafiq mengangkat Syaikh Ahmad Khatib menjadi Imam di
Masjidil Haram.

Setelah menjadi imam dan ulama di Makkah, banyak orang yang berguru kepada Syaikh
Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.

Beberapa ulama berpengaruh di Tanah Air yang sempat belajar dengan Syaikh Ahmad
Khatib Al-Minangkabawi antara lain, Syaikh Musthafa Purba Baru (pendiri pondok
Mustafawiyah, Purba Baru), Syaikh Sulaiman Ar Rasuli (pendiri Tarbiyah Islamiyah
Candung), Syaikh Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka), Muhammad Darwis atau
Syaikh Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Syaikh Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul
Ulama), Syaikh Abdul Halim Majalengka, Syaikh Abdurrahman shiddiq (mufti kerajaan
Indragiri) dan lain-lain.

Syaikh Ahmad Khatib menghasilkan banyak karya yang ditulis dalam bahasa Arab dan
Melayu mengenai persoalan yang menyangkut kemurnian akidah, memperbaiki kekeliruan
praktik tarekat, persoalan bid’ah, adat-adat yang berseberangan dengan Al-Quran dan sunah
107

Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi adalah satu dari sedikit ulama asal nusantara yang
pernah menjadi Imam Besar di Masjidil Haram. Sumber Gambar: liputan6.com

Belajar di Sekolah Belanda

Ahmad Khatib belia tumbuh bersama empat saudaranya diantaranya H. Mahmud, Hj.
Aisyah, Hj. Hafsah, dan Hj. Safiah. Ahmad Khatib secara bersamaan menempuh pendidikan
formal di sekolah Belanda dan informal dengan belajar agama langsung kepada ayahnya. Seperti
ditulis Eka Putra Wirman dalam Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi: Icon Tholabul Ilmi
Minangkabau Masa Lalu untuk Refleksi Sumatera Barat Hari Ini dan Masa Depan, pendidikan
formalnya ditempuh di Kweekschool Fort de Kock (Sekolah Raja), sekolah yang dirancang untuk
mendidik calon-calon guru yang akan ditempatkan di daerah-daerah Hindia Belanda. Sementara
pendidikan formal Ahmad Khatib dilakukan di hadapan ayahandanya sendiri dengan
mempelajari dasar-dasar islam dan membaca Al-Quran hingga beliau bisa menghafalkan
beberapa juz.

Seperti dikutip dari Ahmad Fauzi Ilyas dalam Journal of Contemporary Islam and
Muslim Societies, ketika usia Syekh Ahmad Khatib 11 tahun, beliau bersama ayahnya melakukan
108

perjalanan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Namun setelah selesai berhaji, Syekh
Ahmad Khatib memutuskan untuk menetap di sana sedangkan ayahnya langsung kembali ke
tanah air. Setelah tinggal di Mekkah, ia sempat pulang sesaat memenuhi panggilan ibunya lalu
kembali lagi ke Mekkah dan menetap selama 5 tahun.

Diberi Gelar Syekh Di Usia Muda

Selama di Mekkah, ia belajar (talaqqi) kepada beberapa Ulama besar di Mekkah


diantaranya Sayyid Ahmad Zaini al-Dahlan, Syekh Abu Bakar Syatha’ dan Syekh Yahya al-
Qabli. Berkat ketekunan dan kealiman beliau, ia mendapatkan gelar syekh dan menjadi imam
besar Masjidil Haram yang bermazhab Syafi’i.

Diberikannya gelar Syekh pada Ahmad Khatib ini dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama,
pengangkatan tersebut berdasarkan usulan mertua beliau, Syekh Saleh Kurdi. Ini didasari
kekaguman Syekh Saleh terhadap kerajinan dan kedalaman ilmu menantunya itu yang
mensunting anak pertamanya Khadijah. Namun selang beberapa hari, Khadijah meninggal dunia
dan Syekh Ahmad Khatib dinikahkan kembali dengan anak kedua Syekh Saleh bernama
Fatimah. Dari pernikahan dengan anak kedua Syekh Saleh, Syekh Ahmad Khatib dikaruniai 3
orang anak yakni Abdul Malik, Abdul Hamid, dan Khadijah.

Kedua, kepiawaian beliau dalam penyampaian ilmunya saat mengajar di sana, dan
keberanian beliau membenarkan bacaan Imam yang salah ketika jamaah shalat maghrib yang
pada saat itu sedang diimami oleh Syarif Husein. Ia memang dikenal memiliki kedalaman ilmu
yang tidak hanya sebatas ilmu syariat agama seperti fikih, melainkan juga mahir dalam bidang
falak dan hisab, tasawuf, hingga Mawarits.

Kelapangannya dalam memahami ilmu ini menurut Syekh Ahmad Khatib, merupakan
berkah mimpi bertemu Nabi Saw. Dalam buku beliau al-Ayāt al-Bayyināt li al-Munshifīn fī
Izālah Khurafāt Ba’dh al-Muta’asshibīn, beliau mengutarakan pernah bermimpi bertemu dengan
Rosulullah SAW yang memerintahkan beliau untuk membuka mulutnya dan kemudian Rasul
meludah ke dalam mulut beliau. Menurut beliau, mimpi tersebut menjadi isyarat yang
melatarbelakangi lebih cepat dan mudahnya pemahaman terhadap buku atau kitab-kitab agama.
109

Murid-Murid Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi

Diantara murid dari Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi banyak menjadi ulama yang
dikenal luas di Indonesia dan wilayah-wilayah di Asia Tenggara. Diantaranya adalah:

1. Syekh Muhammad Khatib ‘Ali Padang, tokoh pembela tarikat Naqsyabandiyah


Khalidiyah dengan menerbitkan majalah Soeloeh Melajoe (Suluh Melayu)

2. Syekh Sulaiman Ar-Rasuli Canduang, pendiri organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah


(Perti).

3. Syekh Abbas Qadhi Ladang Lawas

4. Syekh Muhammad Jamil Jaho

5. Hadhratu as-Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri organisasi Nahdatul Ulama yang
berguru kepada beliau tahun 1893-1900,

6. K.H. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah),

7. Syekh Hasan Maksum (Mufti Kerajaan Deli),

8. Syekh Musthafa Husein (Pendiri Pesantren Purba Baru),

9. K.H. Wahab Hasbullah,

10. K.H. Bisri Syansuri.

Fatwa-Fatwa Syekh Ahmad Khatib

Fatwa-fatwa beliaupun dijadikan rujukan agama oleh para Raja di semenanjung Malaya
(Malaysia dan Singapura). Pemerintah Turki memberikan gelar “Bey Tunis” (semacam Doktor
Honoris Causa) yang umumnya hanya diberikan untuk orang yang berjasa besar dalam Ilmu
Pengetahuan. Seperti yang disebutkan oleh Burhanuddin Daya dalam bukunya Gerakan
Pembaharuan Pemikiran Islam, pemikiran Syekh Ahmad Khatib cenderung keras dan teguh
pendirian dalam beberapa hal terkait agama, namun beliau sama sekali tidak menanamkan atau
mengharuskan taklid kepada murid-muridnya. Ia membolehkan murid-muridnya memilih untuk
berijtihad, mempunyai kebebasan berfikir dan meneruskan perjuangan pembaharuan dalam
pemikiran islam atau menentangnya.
110

Martin Van Bruinessen mengistilahkan Syekh Ahmad Khatib sebagai Bapak Reformis
Islam Indonesia, yang berani mengkritik, menentang dan membangun polemik sebagai upaya
membuka cakrawala masyarakat terutama para muridnya untuk berfikir kritis juga menghargai
perbedaan pendapat. Seperti gagasannya yang menentang adanya ajaran Tarekat Naqsabandiyah
yang Ketika itu berkembang di Minangkabau karena dianggap mengotori kemurnian Islam
dalam hal fikih dan hukum Islam.

Setiap fatwa dan respon beliau terhadap polemik yang ada tersebut, selalu beliau
tuangkan dalam bentuk tulisan. Sebagaimana syair yang selalu beliau pegang: “Ilmu adalah
binatang buruan, sedangkan menulis adalah tali ikatannya.”

Dalam otobiografinya, beliau menyatakan telah menulis 47 karya dalam 2 bahasa yakni
Arab dan Jawi, sebanyak 23 telah dicetak dan 24 masih berupa manuskrip. Berikut beberapa
karyanya,

1. ad-Dā’ī al-Masmū’ fii ar-Radd ‘ala Man al-Ikhwah wa Aulad al-Akhwat ma’a Wujūd
al-Ushūl wa al-Furū’ dalam bahasa Arab. Kitab ini membantah adat hak waris yang
berlaku di Minangkabau, yang diwariskan kepada saudara atau keponakan seseorang
dengan mengabaikan anak dan orang tuanya. Kitab ini menuai penolakan serta kritikan
dari berbagai pihak, termasuk masyarakat setempat.

2. al-Riyadh al-Wardiyah fi al-Ushul al-Tauhidiyyah wa al-Furu’ al-Fiqhiyyah dalam


bahasa melayu (dengan huruf Arab Jawi) yang menampung perihal fikih ibadah.

3. Fath al-Mubin Liman Salaka Thariqal-Washilin dalam bahasa jawi yang merupakan
bantahan terhadap salah satu praktik dalam tradisi tarekat Naqsyabandiyah yaitu
praktik “Rabithah” yang dianggap menyimpang oleh beliau.

Dan masih banyak lagi karya-karya beliau yang menghidupkan dan bertujuan meluruskan
pemikiran umat Islam terkhusus pada awal mula pembaruan pemikiran islam di daerah
Minangkabau, Sumatra Barat. Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau wafat pada tanggal 9
Jumadil Awal 1334 H di Mekkah, Saudi Arabia.
111

2. Syekh Sulaiman Ar-Rasuli

Syeikh Sulaiman ar-Rasuli yang juga dikenal sebagai Inyiak Canduang (10 Desember
1871 – 1 Agustus 1970)[1] adalah seorang ulama Minangkabau yang mendirikan Persatuan
Tarbiyah Islamiyah.[2] Ia dianggap sebagai tokoh yang menyebarluaskan gagasan
keterpaduan adat Minangkabau dan syariat lewat ungkapan Adaik basandi syarak, syarak
basandi Kitabullah.

Pendidikan
Pendidikan terakhir Syeikh Sulaiman ar-Rasuli adalah di Mekkah. Ulama yang
seangkatan dengannya antara lain adalah Kiyai Haji Hasyim Asyari dari Jawa Timur; Syeikh
Hasan Maksum, Sumatra Utara; Syeikh Khatib Ali al-Minangkabawi; Syeikh Muhammad
Zain Simabur al-Minangkabawi; Syeikh Muhammad Jamil Jaho al-Minangkabawi; dan
Syeikh Abbas Ladang Lawas al-Minangkabawi. sementara ulama Malaysia yang seangkatan
dan sama-sama belajar di Mekkah dengannya antara lain adalah Syeikh Utsman Sarawak dan
Tok Kenali.[butuh rujukan]

Ketika tinggal di Mekah, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli selain belajar dengan Syeikh Ahmad
Khatib Abdul Lathif al-Minangkabawi, ia juga mendalami ilmu-ilmu daripada ulama
Kelantan dan Patani. Antaranya, Syeikh Wan Ali Abdur Rahman al-Kalantani, Syeikh
Muhammad Ismail al-Fathani dan Syeikh Ahmad Muhammad Zain al-Fathani.

Duduk dari kanan: Syekh Daud Rasyidi, Syekh Djamil Djambek, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli
(Inyiak Canduang), Syekh Ibrahim Musa (Inyiak Parabek), Syekh DR. Abdullah Ahmad
112

Syeikh Sulaiman kembali ke Minangkabau pada 1907. Ia membuka majlis pengajaran di


Surau Baru, Candung pada 1908.

Pada tahun 1928, Syeikh Sulaiman bersama-sama Syekh Abbas Ladang Lawas dan
Syekh Muhammad Jamil Jaho mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Organisasi ini dibentuk
sebagai wadah bagi beberapa Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) di Minangkabau, termasuk di
antaranya ialah MTI Candung. Dalam sistem pendidikan maupun dalam berpendapat pendapat,
Syekh Sulaiman dan kawan-kawannya tersebut mempertahankan tradisi tarikat dan berpegang
pada Mazhab Syafi'i.

Beberapa pendapat khusus Syekh Sulaiman dalam polemik keagamaan, antara lain lebih
menyetujui rukyat dalam hal puasa, mewajibkan muqaranah niat dan mensunnahkan jahar lafaz
dalam hal salat, mewajibkan dibayarnya zakat fitrah dengan makanan yang mengenyangkan,
serta mempertahankan tarawih dan witir 23 rakaat. Syekh Sulaiman juga pernah mengkritik
sebuah buku pengajaran Tarekat Naqsyabandiyah karya penulis lain yang dianggapnya keliru,
dalam karyanya Tabligh al-Amanat fi Izalah al-Munkarat wa asy-Syubuhat.

Syekh Sulaiman Ar-Rasuli merupakan arsitek di balik lahirnya Persatuan Tarbiyah


Islamiyah (Perti), organisasi pendidikan di Sumatera Barat. Kiprahnya di bidang pendidikan ini
berawal dari ikhiarnya mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) pada 5 Mei
1928.Madrasah yang berdiri pertama kali di Canduang, Kab. Agam, Sumatera Barat itu segera
menyebar ke berbagai penjuru Sumatera. Hingga tahun 1942, telah ada 300-an MTI dengan
42.000 siswa di Sumatera.

Kesuksesan Syekh Sulaiman Ar-Rasuli ini didukung dengan luasnya wawasan intelektual
yang dimilikinya. Ulama kelahiran Nagari Canduang Koto Laweh, Kabupaten Agam, Provinsi
Sumatera Barat, pada Ahad malam senin, 10 Desember 1871 ini berguru pada banyak ulama.
Para guru dari Syekh Sulaiman Ar-Rasuli itu terdiri atas Maulana Syeikh Abdurrahman Al-
Khalidi (Al-Quran), Syeikh Abdush Shamad Samiak (sharaf dan nahwu), Syeikh Muhammad Ali
(fiqih dan ilmu faraidh), Syeikh Abdullah (tauhid dan taswuf).Puncak studi intelektualnya
kepada para ulama di Nusantara terjadi pada tahun 1899, ketika ia mengaji pada Syeikh
Abdullah Halaban, Minang yang ahli dalam bidang fikih dan ushul fikih.
113

sepuluh tahun berselang, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli melanjutkan perjalanan


intelektualnya ke Mekkah. Pada tahun 1903, ia berangkat untuk menunaikan ibadah haji
sekaligus memperdalam ilmu agamanya.

Di sana ia banyak berguru pada sejumlah ulama ternama Mekah. Diantara ulama-ulama
tersebut adalah para ulama bermazhab syafi’I seperti Syekh Muhammad Said Ba Bashil, Sayyid
Ahmad SyatthaaAl-Makki, Syekh Mukhtar ‘Atharid as-Shufi. Beberapa ulama Mekkah lainnya
berasal dari Serawak, Kelantan dan Patani, mereka adalah Syekh Utsman as-Sarawaki, Syekh
Wan Ali Abdur Rahman al-Kalantani, Syekh Ahmad Muhammad Zain al-Fathani dan Syekh
Muhammad Ismail al-Fathani. Ia juga berguru pada seorang ulama Mekkah ternama asal
Nusantara, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Berbagai bidang keilmuwan ia pelajari
diantaranya tauhid, nahwu, sharaf, balaghah, hadits, ilmu tafsir Al-Qur’an, mantiq, fiqih, dan
tasawuf.

Pada tahun 1907, ia kembali ke kampung halamannya di Canduang. Di sana ia membuka


surau kecil yang perlahan-lahan terus mengalami perkembangan. Surau tersebut pun diubahnya
menjadi MTI Canduang, salah satu madrasah tertua di Sumatera Barat yang berdiri sejak tahun
1928. Banyaknya madrasah MTI yang berdiri membuat Syekh Sulaiman Ar-Rasuli menginisiasi
berdirinya Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PTI). “Beliau menfasilitasi pertemuan ulama-ulama
Minangkabau di Candung pada tahun 1930. Pertemuan ini menelorkan kesepakatan untuk
mendirikan PTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), cikal bakal Perti,” ungkap Apria Putra
Chairullah Ahmad dalam Bibliografi Ulama Minangkabau. Kiprah dan jasanya tidak hanya
dalam dunia pendidikan, pada masa Soekarno ia pernah menjadi salah satu Anggota Dewan
Konstituante, bahkan ia juag dipercaya oleh Sutan Muhammad Rasyid menjadi Kepala
Mahkamah Syar’iyyah di Sumatera Tengah. Ulama kharismatik ini wafat pada 1 Agustus 1970
bertepatan dengan 29 Jumadil Awwal 1390 H.

Pengaruh

Pada Pemilu 1955, Indonesia membentuk sebuah badan atau lembaga yang
dinamakan Konstituante. Tujuan Konstituante ialah menyusun Undang-Undang Dasar yang lebih
permanen, menggantikan UUD 1945 yang disusun sebagai UUD sementara menjelang
kemerdekaan Republik Indonesia. Syeikh Sulaiman ar-Rasuli, salah seorang anggota
114

Konstituante dari PERTI, telah dilantik mengetuai sidang pertama badan itu. Konstituante
dibubarkan oleh Presiden Soekarno dengan Dekret Presiden 5 Juli 1959.

Pada hari pengkebumiannya, diperkirakan 30.000 orang hadir termasuk ramai pemimpin
dari Jakarta, bahkan juga dari Malaysia.

Berikut ini beberapa karya tulis Syeikh Sulaiman ar-Rasuli:

 Dhiyaus Siraj fil Isra' Walmi'raj


 Tsamaratul Ihsan fi Wiladah Sayyidil Insan
 Dawaul Qulub fi Qishshah Yusuf wa Ya'qub
 Risaah al-Aqwal al-Wasithah fi Dzikri Warrabithah
 Al-Qaulul Bayan fi Tafsiril Quran
 Al-Jawahirul Kalamiyyah
 Sabilus Salamah fi wird Sayyidil Ummah
 Tafsir Jalalain (tulis ulang dari Tafsir Jalalain)
 Perdamaian Adat dan Syara'
 Kisah Muhammad 'Arif
115

3. H. Abdul Malik Karim Amrullah (Buya HAMKA)

Profil Buya Hamka, Ulama dan Sastrawan Indonesia

Semasa hidupnya, sosok dan pemikiran Buya Hamka memiliki banyak peranan penting
pada bangsa. Berikut profil Buya Hamka.Kehidupan pribadi Hamka dididik penuh dalam
ajaran Islam karena ayahnya seorang ulama di tanah Minangkabau. Sementara ibunya
berlatar dari keluarga seniman.
Selama tinggal di Padang Panjang keseharian Hamka banyak mempelajari tentang ilmu
Alquran sesuai adat Minang.

Ketika remaja, sang ayah sempat mendaftarkannya ke Thawalib Sumatra yaitu sekolah
Islam modern pertama di Indonesia.
Namun ia memutuskan pindah ke Jawa Tengah pada 1922 untuk merantau dan belajar
tentang pergerakan Islam modern ke sejumlah tokoh. Salah satunya H.O.S Tjokroaminoto.
Setelah cukup lama merantau, Hamka kembali ke Padang Panjang dengan fokus mengurus
Persyarikatan Muhammadiyah.
Dikarenakan pada masa itu ia belum bergelar diploma, Hamka melanjutkan pendidikan
bahasa Arab sekaligus belajar mengkaji lebih dalam ilmu agama Islam ke Mekkah.

Atas saran salah seorang teman dari Indonesia yang juga berada di Mekkah yaitu Agus
Salim, Hamka kembali pulang ke Tanah Air untuk berkarier sebagai penulis.

Jejak Karier Buya Hamka

Masih tentang profil Buya Hamka, ia diketahui pernah berkarir di banyak bidang.
Terutama yang berkaitan dengan penulisan dan agama Islam.
Setelah pulang dari Mekkah, Hamka bekerja sebagai penulis di Majalah Pelita Andalas,
Medan, Sumatra Utara. Ia pun banyak membuat karya tulisan dan artikel.
Usai menikah dengan Siti Raham, Buya Hamka aktif berkecimpung dalam kepengurusan
Muhammadiyah dan menjabat sebagai ketua cabang Padang Panjang.
Kariernya semakin meluas karena nama Abdul Malik Karim Amrullah dipilih menjadi Ketua
Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama pada 1975 dan menjabat selama 5 tahun.
Tahun-tahun sebelumnya ia juga pernah memimpin anggota Majelis Darurat pada masa
116

pendudukan Jepang untuk menangani persoalan pemerintahan dan Islam.

Karya Sastra Buya Hamka

Buya Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai ilmu pengetahuan, mahir
berbahasa Arab, dan banyak meneliti karya-karya pujangga besar dari Timur Tengah.
Saat bekerja di majalah, ia merilis karya tulisan pertama bertajuk Chatibul Ummah yang
berisi kumpulan pidato dari yang pernah didengarnya di Surau Jembatan Besi.
Kemudian ada Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka. Dalam bagian isinya terdapat ceramah
atau kuliah subuh yang pernah ia sampaikan di Masjid Agung Al-Azhar sejak 1959.
Lahir dan besar di tanah Minang membuatnya banyak tahu akan adat dan tradisi di sana,
sehingga terbitlah sebuah novel klasik berjudul Di Bawah Lindungan Ka'bah.
Novelnya berisi tentang pandangannya mengenai pola pikir orang yang suka
mengelompokkan berdasarkan kasta. Sebab menurutnya hal itu bertentangan dari Islam.

Penghargaan Buya Hamka

Kiprahnya di berbagai bidang ini membuat ketokohan Buya Hamka banyak dikenal orang
berkat pemikirannya yang membawa pengaruh baik serta menciptakan sejumlah karya. Ilmu
pengetahuannya tinggi, berkarakter peduli kepada sesama umat, menjadikannya tidak hanya
terkenal di kalangan nasional saja, melainkan hingga ke Malaysia dan Timur Tengah.
Bahkan Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak pernah mengatakan bahwa Buya
Hamka bukan hanya milik bangsa Indonesia, tapi juga kebanggaan bangsa Asia Tenggara.

Latar Belakang Pemikiran Buya Hamka

Yusran Rusydi dalam buku Buya Hamka: Pribadi dan Martabat menyatakan Buya Hamka
adalah anak dari DR. Syaikh Abdulkarim Amrullah, tokoh pelopor dari Gerakan Islam
"Kaum Muda" di Minangkabau yang memulai gerakannyapada tahun 1906 usai pulang dari
Makkah. Syaikh lebih dikenal dengan panggilan Haji Rasul yang mempelopori gerakan
menentang ajaran Rabithah, sebuah gerakan yang menghadirkan guru dalam ingatan, sebagai
salah satu cara yang ditempuh oleh penganut tarekat jika mulai mengerjakan suluk. Buya
Hamka lahir di saat zaman hebat pertentangan kaum muda dan kaum tua (1908) atau 1325
117

Hijriah. Oleh karena ia lahir di era pergerakan itu, Buya sudah terbiasa mendengar
perdebatan sengit antara kaum muda dan kaum tua tentang paham agama. Saat Buya Hamka
berusia 10 tahun, tepat pada 1918, ayahnya mendirikan pondok pesantren "Sumatera
Thawalib" di Padang Panjang. Dari sana, Hamka sering melihat bapaknya menyebarkan
paham dan keyakinannya. Di akhir tahun 1924, tepat di usia ke 16 tahun, Hamka merantau ke
Yogyakarta dan mulai belajar pergerakan Islam modern kepada sejumlah tokoh seperti H.O.S
Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, R.M Soerjopranoto dan H. Fakhruddin. Dari sana dia
mulai mengenal perbandingan antara pergerakan politik Islam, yaitu Syarikat Islam Hindia
Timur dan gerakan Sosial Muhammadiyah. Kelak, Buya Hamka dikenal sebagai Ketua
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, tokoh Masyumi dan ulama Muhammadiyah.
Kehidupan Keluarga Hamka: Punya Kakak Pendeta Masih dalam buku Buya Hamka: Pribadi
dan Martabat, Buya Hamka menikah dengan Siti Raham saat usianya masih muda, tepat pada
5 April 1929. Kala itu, Hamka berusia 21 tahun, sementara istrinya berusia 15 tahun.

Dari hasil pernikahan itu, sebagaimana dicatat oleh Irfan Hamka dalam AYAH...: Kisah
Buya Hamka, Hamka dan Siti Raham diberkahi oleh 10 orang anak.

1. H. Zaki Hamka (meningal di usia 59 tahun)

2. H. Rusjdi Hamka

3. H. Fachry Hamka (meninggal di usia 70 tahun

4. Hj. Azizah Hamka

5. H. Irfan Hamka

6. Prof. Dr. Hj. Aliyah Hamka

7. Hj. Fathiyah Hamka

8. Hilmi Hamka

9. H. Afif

10. Shaqib Hamka


118

Tasawuf ala Modernis Hamka Dalam Buya Hamka:

Politikus tanpa Dendam, Modernis yang Serius Bertasawuf dituliskan, Hamka adalah
seorang modernis tulen. Ayahnya, Abdul Karim Amrullah, termasuk pembaharu agama
di Minangkabau. Jalan juang Hamka diretas di Muhammadiyah dan Masyumi, dua
lembaga yang merepresentasikan semangat modernisme Islam.

Sebagaimana para modernis lain, Hamka melihat ilmu pengetahuan sebagai sesuatu
yang netral (bebas nilai). Karena itu perkembangan ilmu pengetahuan (termasuk dari
dunia Barat) dianggap dapat bersesuaian dengan ajaran Islam. Pandangan Hamka ini
terlihat di antaranya dalam buku Pelajaran Agama Islam. Di dalam buku tersebut Hamka
menggunakan banyak teori dan hasil penemuan para pemikir Barat untuk mengukuhkan
keyakinan kepada Rukun Iman.

Teori-teori psikologi, sosial, hingga penemuan sains digunakan Hamka sebagai


penambah argumen bagi keimanan. Hamka berusaha menampilkan Islam yang siap
berdialog dan terbuka terhadap penemuan-penemuan ilmu pengetahuan terbaru—satu ciri
umum kalangan modernis. Tapi, menyangkut spiritualitas, ada yang berbeda pada diri
pengarang Tenggelamnya Kapal Van der Wijk ini. Hal tersebut di antaranya dapat
ditelusuri dari bukunya yang ditulis pada 1939, Tasawuf Modern. Buku ini lah yang
Hamka baca semasa berada dalam tahanan Orde Lama. Dalam pengakuannya ia
menyatakan, “Hamka sedang memberi nasihat kepada dirinya sendiri... Dia hendak
mencari ketenangan jiwa dengan membaca buk.
119

4. Rahmah el Yunusiah

Syaikhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyah adalah salah satu pahlawan wanita
milik bangsa Indonesia, yang dengan hijab syar'i-nya tak membatasi segala aktifitas dan
semangat perjuangannya.
Rahmah, begitu ia biasa dipanggil, adalah seorang guru, pejuang pendidikan, pendiri sekolah
Islam wanita pertama di Indonesia, aktifis kemanusiaan, anggota parlemen wanita RI, dan
pejuang kemerdekaan Republik Indonesia.

Beliau adalah seorang reformator pendidikan Islam dan pejuang kemerdekaan Indonesia.
Ia merupakan pendiri Diniyah Putri, perguruan yang saat ini meliputi taman kanak-kanak hingga
sekolah tinggi. Ia memelopori pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di
Padangpanjang, menjamin seluruh perbekalan dan membantu pengadaan alat senjata mereka
sewaktu Revolusi Nasional Indonesia.
120

Rahmah sempat belajar di Diniyah School yang dipimpin abangnya, Zainuddin Labay El
Yunusy. Tidak puas dengan sistem koedukasi yang mencampurkan pelajar putra dan putri,
Rahmah secara inisiatif menemui beberapa ulama Minangkabau (Abdul Karim Amrullah) untuk
mendalami agama, hal tidak lazim bagi seorang perempuan pada awal abad ke-20 di
Minangkabau. Ia mempelajari berbagai ilmu praktis secara privat yang kelak ia ajarkan kepada
murid-muridnya. Dengan dukungan abangnya, ia merintis Diniyah Putri pada 1 November 1923
yang tercatat sebagai sekolah agama Islam perempuan pertama di Indonesia.

Sewaktu pendudukan Jepang, Rahmah memimpin Hahanokai di Padangpanjang untuk


membantu perwira Giyugun. Pada masa perang kemerdekaan, ia memelopori berdirinya TKR di
Padangpanjang dan mengerahkan muridnya ikut serta melawan penjajah walaupun dengan
kesanggupan mereka dalam menyediakan makanan dan obat-obatan. Ia ditangkap oleh Belanda
pada 7 Januari 1949 dan ditahan. Dalam pemilu 1955, Rahmah terpilih sebagai anggota DPR
mewakili Masyumi, tetapi tidak pernah lagi menghadiri sidang setelah ikut bergerilya
mendukung Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Keberadaan Diniyah Putri kelak menginspirasi Universitas Al-Azhar membuka


Kulliyatul Lil Banat, fakultas yang dikhususkan untuk perempuan. Dari Universitas Al-Azhar,
Rahmah mendapat gelar kehormatan "Syaikhah"—yang belum pernah diberikan sebelumnya—
sewaktu ia berkunjung ke Mesir pada 1957, setelah dua tahun sebelumnya Imam Besar Al-Azhar
Abdurrahman Taj berkunjung ke Diniyah Putri. Di Indonesia, pemerintah menganugerahkannya
tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana secara anumerta pada 13 Agustus 2013.

Kehidupanawaldankeluarga
Rahmah El Yunusiyah lahir pada 29 Desember 1900 [Kalender Hijriyah: 1 Rajab 1319]
di Nagari Bukit Surungan, Padangpanjang. Ia adalah anak terakhir dari pasangan Muhammad
Yunus al-Khalidiyah dan Rafia, memiliki dua kakak perempuan dan dua kakak laki-laki.
Keluarga Rahmah adalah penganut agama yang taat. Yunus adalah seorang ulama yang pernah
menuntut ilmu di Mekkah selama empat tahun. Ia bekerja sebagai qadi di Pandai Sikek, lima
kilometer dari Padangpanjang. Keluarga Rafia memiliki hubungan darah dengan Haji Miskin,
ulama pemimpin Perang Padri pada awal abad ke-19. Saudaranya, Kudi Urai yang memiliki
121

keahlian sebagai bidan membantunya saat melahirkan Rahmah. Rahmah memiliki sepupu dari
keluarga ibu, Isnaniah Saleh, yang kelak meneruskan kepemimpinannya di Diniyah Putri.
Sang ayah meninggal dunia dalam usia enam puluh tahun, saat itu Rahmah berusia enam
tahun. Keluarganya memilihkan salah seorang murid Yunus sebagai guru mengaji Rahmah. Dua
abangnya yang pernah belajar di Sekolah Desa mengajarkan Rahmah baca tulis Arab dan Latin.
Di bawah asuhan ibu dan kakak-kakaknya, Rahmah tumbuh sebagai anak yang keras hati dan
memiliki kemauan kuat. Lewat kemampuannya membaca, ia mempelajari buku-buku yang
dimiliki dan ditulis abangnya, Zainuddin Labay El Yunusy. Menginjak usia 10 tahun, Rahmah
sudah gemar mendegarkan kajian yang diadakan di beberapa surau. Ia mengambil perbandingan
dari kajian-kajian yang diikutinya, berpindah-pindah ke berbagai surau yang ada di
Padangpanjang.

Karena jarang bergaul dengan teman sebayanya, Rahmah remaja awalnya adalah gadis pendiam
dan pemalu. Ketiadaan ayahnya membuat Rahmah banyak memikirkan dan menyelesaikan
sendiri urusannya. Ia menjahit bajunya dan menyenangi berbagai macam kerajinan tangan.
Mengikuti tradisi adat, Rahmah dalam usia 16 tahun dinikahkan oleh keluarganya dengan
Bahauddin Lathif, seorang ulama dari Sumpur. Pernikahan mereka berlangsung pada 15 Mei
1916 dan berakhir pada 22 Juni 1922 tanpa meninggalkan anak.

Pendidikan
Seiring arus pembaruan Islam yang dibawa oleh para ulama penuntut ilmu di Timur
Tengah pada awal abad ke-20, sejumlah sekolah agama berdiri di berbagai daerah Minangkabu
menggantikan sistem pendidikan tradisional yang berbasis surau. Pada 10 Oktober 1915,
Zainuddin Labay El Yunusy membuka sekolah agama Islam Diniyah School yang memasukkan
pelajaran umum dalam kurikulum dan dijalankan dengan cara pendidikan modern, menggunakan
alat peraga dan memiliki perpustakaan. Hal yang baru bagi sekolah agama saat itu, sekolah ini
menerima murid perempuan di kelas yang sama dengan murid laki-laki. Rahmah ikut mendaftar,
diterima duduk di bangku kelas tiga (setara tsanawiyah) oleh pihak sekolah menyesuaikan
kemampuannya.
122

Selain menghadiri kelas pada pagi hari di Diniyah School, Rahmah memimpin kelompok
belajar di luar kelas pada sore hari. Ia melihat, dengan bercampurnya murid laki-laki dan
perempuan dalam kelas yang sama, perempuan tidak bebas dalam mengutarakan pendapat dan
menggunakan haknya dalam belajar. Ia mengamati banyak masalah perempuan terutama dalam
perspektif fikih tidak dijelaskan secara rinci oleh guru yang notabene laki-laki, sementara murid
perempuan enggan bertanya. Bersama dua temannya Sitti Nansiah dan Djawana Basyir, Rahmah
mempeljari fikih lebih dalam kepada Abdul Karim Amrullah di Surau Jembatan Besi. Mereka
tercatat sebagai murid-murid perempuan pertama yang ikut belajar di Surau Jembatan Besi,
sebagaimana dicatat oleh Hamka.

Melalui keahlian yang dimiliki oleh mak tuonya, Rahmah belajar ilmu kebidanan. Ia sempat
mengikuti kursus kebidanan di beberapa rumah sakit kepada beberapa orang dokter. Di RS
Kayutaman, Rahmah belajar kepada Sofyan Rasad dan mendapatkan izin menjalani praktik.
Secara privat, ia mempelajari olahraga dan senam dengan seorang guru asal Belanda yang
mengajar di Guguk Malintang. Pergaulan Rahmah sebagai pimpinan sekolah
mempertemukannya dengan para guru yang mengajar di Padangpanjang. Ia berkenalan dengan
Djusair, Rosminanturi Gaban, dan Sitti Akmar yang membawanya untuk mendalami ilmu
tentang memasak, pelajaran-pelajaran tentang kewanitaan, menjahit, dan berenang. Selain itu, ia
belajar bertenun tradisional menggunakan alat tenun bukan mesin yang pada masa itu banyak
dilakukan oleh masyarakat Minangkabau. Pengalamannya bertenun ia dapatkan dari pusat
pertenunan rakyat seperti Pandai Sikek dan Silungkang. Berbagai ilmu lainnya seperti ilmu hayat
dan ilmu alam ia pelajari sendiri dari buku. Penguasaan Rahmah dalam berbagai ilmu ini kelak
memengaruhi metode pendidikan yang ia terapkan di Diniyah Putri.
Rahmah kelak meluaskan penguasaannya dalam beberapa ilmu terapan agar dapat diajarkan pada
murid-muridnya.

Mendirikan Sekolah Perempuan


Saat bersekolah di Diniyah School, Rahmah bergabung dengan Persatuan Murid-murid
Diniyah School (PMDS). Ketika duduk di bangku kelas enam, Rahmah merundingkan
gagasannya untuk mendirikan sekolah perempuan sendiri kepada teman-teman perempuannya di
PMDS. Ia menginginkan agar perempuan memperoleh pendidikan yang sesuai dengan fitrah
123

mereka dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Kesungguhannya untuk mewujudkan
gagasannya ia sampaikan kepada abangnya, "Kalau saya tidak mulai dari sekarang, maka kaum
saya akan tetap terbelakang. Saya harus mulai, dan saya yakin akan banyak pengorbanan yang
dituntut dari diri saya. Jika kakanda bisa, kenapakah saya, adiknya, tidak bisa. Jika lelaki bisa,
kenapa perempuan tidak bisa."

Pada 1 November 1923, Rahmah membuka Madrasah Diniyah Li al-Banat sebagai


bagian dari Diniyah School yang dikhususkan untuk murid-murid putri. Rahmah mengatur
kegiatan belajar mengajar di masjid yang terletak berseberangan dengan rumah kediamannya di
Jalan Lubuk Mata Kucing (sekarang Jalan Abdul Hamid Hakim), Pasar Usang, Padangpanjang.

Dua teman Rahmah, Sitti Nansiah dan Djawana Basyir termasuk guru terawal, sementara
Rahmah merangkap sebagai guru dan pimpinan. Mulanya terdapat 71 orang murid yang
kebanyakan adalah ibu-ibu muda. Pelajaran diberikan selama 2,5 jam meliputi dasar
pengetahuan agama, gramatika bahasa Arab, dan ilmu alat. Murid-murid duduk di lantai
mengelilingi guru secara berkelompok. Guru-guru memakai buku-buku berbahasa Arab dan
menerangkan dengan bahasa Indonesia, sementara ilmu pengetahuan umum belum diajarkan
pada tahun pertama. Oleh karena itu, Rahmah mengerahkan murid-muridnya bergabung dengan
Persatuan Murid-murid Diniyah School (PMDS) untuk mendapatkan berbagai pengetahuan
umum dan mengikuti berbagai kegiatan seperti kepanduan, organisasi, dan koperasi. Dengan
hadirnya bagian untuk putri, Diniyah School peninggalan Zainuddin berangsur-angsur hanya
dihadiri oleh murid-murid putra, dan Madrasah Diniyah Li al-Banat yang didirikan Rahmah
lebih dikenal sebagai Diniyah Putri.

Sekolah Diniyah Putri berkembang, jumlah muridpun makin lama makin berkembang.
Tercatat, pada tahun 1928 Diniyah Putri memiliki sedikitnya 200 murid.
Sebelumnya, beberapa hari setelah Zainuddin meninggal (10 Juli 1924), majelis guru sepakat
untuk meningkatkan sistem pengajaran Diniyah Putri lengkap dengan sarana. Pada 1925,
Rahmah menyewa rumah bertingkat dua di Pasar Usang untuk dijadikan ruangan kelas dan
asrama Diniyah Putri. Ia mengupayakan sendiri mencari perlengkapan seperti bangku, meja, dan
papan tulis. Sedikitnya 60 orang murid menempati asrama pada tahun pertama. Selain Diniyah
124

Putri, Rahmah membuka program pemberantasan buta huruf untuk kalangan ibu-ibu yang lebih
tua pada 1926 setelah melihat kebanyakan mereka tak sempat mengenyam pendidikan formal.
Kegiatan itu diikuti oleh 125 orang ibu-ibu pada mulanya.

Gempa bumi
Perjalanan Diniyah putri pernah menghadapi beberapa cobaan, Diniyah Putri terpaksa
dihentikan setelah binasa oleh gempa bumi sehingga sekolah itu menuntut perhatian sepenuhnya
dari Rahmah. Pada awal 1926, karena kapasitas asrama yang disediakan di tingkat dua gedung
tidak mencukupi, pembangunan gedung baru mulai dilakukan seacara gotong royong. Dalam
buku Peringatan 55 Tahun Diniyah Putri dicatat, para murid Diniyah Putri bersama-sama pelajar
dari Diniyah School dan Thawalib mengangkat batu kali dari sungai yang berjarak 2,5 km dari
sekolah mereka untuk membangun pondasi gedung.
Pada 28 Juni 1926 gempa bumi berkekuatan 7,6 skala Richter mengguncang Padangpanjang,
meruntuhkan gedung lama beserta pondasi gedung baru yang dibangun. Nanisah, salah seorang
guru, wafat karena tertimpa runtuhan bangunan.
Gempa bumi mengakibatkan kegaiatan belajar-mengajar Diniyah Putri berhenti. Gedung
dan peralatan mengajar hancur. Bersama separuh penduduk Padangpanjang, seluruh murid
Diniyah Putri mengungsi keluar kota. Ia menyaksikan orang-orang meninggalkan
Padangpanjang.

Perkembangan Diniyah Putri


Diniyah Putri memiliki sedikitnya 200 murid pada 1928. Jumlah itu, sebagaimana dicatat
oleh Deliar Noer, bertambah menjadi 300 pada 1933 dan 400 pada 1935. Seorang lulusan
Diniyah Putri Aishah Ghani menyebut kehidupan Diniyah Putri sangat terkungkung dan diawasi
secara ketat. "Mereka benar-benar mempersiapkan murid-murid perempuan menjadi perempuan,
dengan mengajarkan menenun, ilmu kerumahtanggan, dan membuat murid-murid mengetahui
segala sesuatu dan memiliki rasa tanggung jawab." Pada 1935, Diniyah Putri membuka
cabangnya di Jakarta yang membina tiga sekolah dengan bantuan dari beberapa pedagang asal
Minangkabau dan lulusan lembaga pendidikan agama di Padangpanjang. Seiring meningkatnya
kebutuhan tenaga pengajar, Rahmah membuka Kulliyyatul Mualimat el Islamiyyah (KMI) pada
1 Februari 1937 sebagai sekolah guru untuk putri dengan memiliki lama pendidikan tiga tahun.
125

Sebelum pendudukan Jepang, Diniyah Putri telah memiliki 500 murid pada 1941. Saat
pendudukan Jepang, Diniyah Putri di Padangpanjang sempat menjadi tempat perawatan korban
kecelakaan, sedangkan cabang Diniyah Putri di Jakarta ditutup.
Pada 1947, dalam rangka menyesuaikan pembagian jenjang pendidikan yang ada di
Indonesia, Diniyah Putri dibagi ke dalam Diniyah Rendah dan Diniyah Menengah Pertama.
Diniyah Rendah setara dengan SD dengan lama pendidikan tujuh tahun, sedangkan Diniyah
Menengah Pertama setara dengan SLTP dengan lama pendidikan berdasarkan peruntukkannya.
DMP-B dengan lama pendidikan empat tahun diperuntukkan bagi lulusan SD. Lulusannya
disetarakan dengan SLTP dan dipersiapkan untuk melanjutkan ke KMI atau perguruan lanjutan
lainnya. Adapaun DMP-C dengan lama pendidikan dua tahun diperuntukan bagi tamatan SLTP
yang tidak sempat mendalami agama dan bahasa Arab pada jenjang pendidikan sebelumnya.
Lulusan DMP-C dapat melanjutkan pendidikan ke KMI sebagaimana lulusan DMP-B.

Meninggal
Pada 1961, Rahmah kembali memimpin perguruannya setelah tiga tahun ditinggalkannya
sejak pecahnya pergolakan PRRI. Pada 1964, Rahmah menjalani operasi tumor payudara di RS
Pirngadi, Medan. Pada Desember 1967, Rahmah berkunjung ke Jakarta untuk terakhir dalam
rangka pembentukan Dewan Kurator Perguruan Tinggi Diniyah Putri. Pada Juli 1968, dengan
kondisi fisik yang semakin lemah, Rahmah berangkat menuju Kelantan ditemani keponakannya
Isnaniah Saleh. Datin Sakinah alumni Diniyyah Putri asal Perak yang tinggal di Kelantan
bersama suaminya, Datok Mohammad Asri yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Besar
Kelantan membawa Rahmah menemui murid-murid Diniyah Putri yang ada di Penang, Perak,
Kuala Terengganu, dan Kuala Lumpur. Namun, dalam kunjungannya yang ketiga dan terakhir ke
Malaysia itu, ia tidak dapat bicara banyak karena kesehatannya yang menurun.

Rahmah meninggal mendadak dalam usia 71 tahun dalam keadaan berwudu hendak salat
Magrib pada 26 Februari 1969. Jenazahnya dimakamkan di pekuburan keluarga yang terletak di
samping rumahnya. Sehari sebelum ia wafat, Rahmah sempat menemui Gubernur Sumatra Barat
saat itu, Harun Zain, mengharapkan pemerintah memperhatikan sekolahnya. Dalam
pertemuannya dengan Harun Zain, ia mengatakan, "Pak Gubernur, napas ini sudah hampir habis,
rasanya sudah sampai dileher. Tolonglah Pak Gubernur dilihat-lihat dan diperhatikan Sekolah
126

Diniyah Putri." Setelah Rahmah wafat, kepimpinan Diniyah Putri dilanjutkan oleh Isnaniah
Saleh sampai 1990. Saat ini, Diniyah Putri dipimpin oleh Fauziah Fauzan sejak September 2006
dan telah memiliki jenjang pendidikan mulai dari TK hingga perguruan tinggi.

Dalam bukunya Islam dan Adat Minangkabau, Hamka menyinggung kiprah Rahmah di
dunia pendidikan dan pembaru Islam di Minangkabau. Dalam sejarah Universitas Al Azhar, baru
Rahmah seoranglah perempuan yang diberi gelar Syekhah. Dalam sejumlah esainya, Azyumardi
Azra menyebut perkembangan Islam modern dan pergerakan Muslimah di Indonesia tidak bisa
dilepaskan dari nama Rahmah sebagai perintis.

Anda mungkin juga menyukai