Anda di halaman 1dari 12

DAFTAR ISI BIOGRAFI SYEKH AHMAD KHATIB AL-

MINANGKABAWI

1. Kelahiran
2. Wafat
3. Keluarga
4. Pendidikan
5. Guru-Guru
6. Murid-Murid
7. Pemikiran
8. Menjadi Imam Besar Masjidil Haram
9. Teladan
10. Karya-Karya
11. Chart Silsilah Sanad
12. Referensi

1. KELAHIRAN
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi bin Abdul Lathif bin
Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Aziz al-Khathib atau yang
kerap dipanggil dengan sapaan Syekh Ahmad Khatib al-
Minangkabawi lahir pada hari Senin 6 Dzulhijjah 1276 H (1860
Masehi) di Koto Tuo, Balai Gurah, IV Angkek, Agam, Sumatera
Barat.

Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi merupakan putra dari


pasangan Abdul Lathif yang berasal dari Koto Gadang dengan
Limbak Urai binti Tuanku Nan Rancak. Kakek beliau (KH.
Abdullah) adalah seorang ulama kenamaan. Oleh masyarakat Koto
Gadang, Abdullah ditunjuk sebagai Imam dan khathib. Sejak itulah
gelar Khatib Nagari melekat dibelakang namanya dan berlanjut ke
keturunannya di kemudian hari.

2. WAFAT
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi wafat pada tanggal 13
Maret 1916 M / 9 Jumadil Awal tahun 1334 H di Mekkah, Saudi
Arabia.

3. KELUARGA
Di antara kebiasaan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di
Mekkah adalah sering mengunjungi toko buku milik Muhammad
Shalih Al Kurdi, yang terletak di dekat Masjidill Haram untuk
membeli kitab-kitab, yang dibutuhkan atau sekadar membaca buku
saja jika belum memiliki uang untuk membeli. Karena seringnya
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi mengunjungi toko buku itu
membuat pemilik toko, Shalih Al Kurdi, menaruh simpati
kepadanya, terutama setelah mengetahui kerajinan, ketekunan,
kepandaian dan penguasaannya terhadap ilmu agama serta
keshalihannya.

Ketertarikan Shalih Al Kurdi terhadap Syekh Ahmad Khatib al-


Minangkabawi dibuktikan dengan dijadikannya Syekh Ahmad
Khatib al-Minangkabawi sebagai menantu. Setelah banyak
mengetahui tentang perihal dan kepribadian Syekh Ahmad Khatib
al-Minangkabawi yang mulia itu, Shalih Al Kurdi pun
menikahkannya dengan putri pertamanya, yang kata Hamka dalam
Tafsir al-Azhar bernama Khadijah.

Sebenarnya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi sempat ragu


menerima tawaran dari al-Kurdi karena tidak adanya biaya yang
mencukupi dan telah mengatakan terus terang, akan tetapi justru
tidak sedikit pun mengurangi niat besar dari al-Kurdi untuk
menjadikannya menantu. Bahkan al-Kurdi berjanji menanggung
semua biaya pernikahan termasuk mahar dan kebutuhan hidup
keluarga Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Masya Allah. Jika
bukan karena kepribadian Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi
yang mulia dan keilmuannya, mungkin hal semacam ini tidak akan
pernah terjadi.

Tentang pengambilan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi


sebagai menantu Shalih al-Kurdi, Syarif Aunur Rafiq bertanya
terheran kepada Shalih, “Aku dengar Anda telah menikahkan
putri Anda dengan lelaki Jawi yang tidak pandai berbahasa ‘Arab
kecuai setelah belajar di mekkah?” “Akan tetapi ia adalah lelaki
shalih dan bertaqwa,” jawab Shalih seketika, “Padahal Rasulullah
shallallahu ‘alai wa sallam bersabda, ‘Jika datang kepada kalian
seseorang yang agama dan amanahnya telah kalian ridhai, maka
nikahkanlah ia.”

Dari pernikahannya dengan Khadijah itu, Syekh Ahmad Khatib al-


Minangkabawi dikaruniai seorang putra, yaitu Abdul Karim (1300-
1357 H). Ternyata pernikahan Syekh Ahmad Khatib al-
Minangkabawi dengan Khadijah tidak berlangsung lama karena
Khadijah meninggal dunia. Shalih al-Kurdi, sang mertua, meminta
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi untuk menikah kembali
dengan putrinya yang lain, yaitu adik kandung Khadijah yang
bernama Fathimah. Fathimah adalah seorang seorang wanita
teladan dalam keshalihan dan memiliki hafalan al-Qur’an yang
baik. Oleh karena itu tidak heran jika anak-anaknya kelak menjadi
orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi di Timur Tengah,
yaitu: Abdul Malik. Ketua redaksi koran al-Qiblah dan memiliki
kedudukan tinggi di al-Hasyimiyyah (Yordan). Belajar kepada sang
sang ayah lalu mempelajari adab dan politik. Abdul Hamid Al
Khathib seorang ulama ahli adab dan penyair kenamaan yang
pernah menjadi staf pengajar di Masjid al-Haram dan duta besar
Saudi untuk Pakistan.

Di antara karya ilmiahnya adalah Tafsir al-Khathib al-Makki 4


jilid, sebuah nazham (sya’ir) berjudul Sirah Sayyid Walad Adam
shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Imam al-‘Adil (sejarah dan biografi
untuk Raja ‘Abdul ‘Aziz Alu Su’ud).

4. PENDIDIKAN
Ketika masih di kampung kelahirannya, Syekh Ahmad Khatib al-
Minangkabawi kecil sempat mengenyam pendidikan formal, yaitu
pendidikan dasar dan berlanjut ke Sekolah Raja
atau Kweekschool yang tamat tahun 1871 M.

Di samping belajar di pendidikan formal yang dikelola Belanda itu,


Ahmad kecil juga mempelajari mabadi’ (dasar-dasar) ilmu agama
dari Syekh Abdul Lathif, sang ayah. Dari sang ayah pula, Ahmad
kecil menghafal Al-Quran dan berhasil menghafalkan beberapa juz.

Pada tahun 1287 H, Ahmad kecil diajak oleh sang ayah, Abdul
Lathif, ke Tanah Suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
Setelah rangkaian ibadah haji selesai ditunaikan, Abdullah kembali
ke Sumatera Barat sementara Ahmad tetap tinggal di mekkah
untuk menyelesaikan hafalan Al-Qurannya dan menuntut ilmu dari
para ulama-ulama Mekkah terutama yang mengajar di Masjidil
Haram.

5. GURU-GURU
Awal berada di Mekkah, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi
berguru dengan beberapa ulama terkemuka di sana seperti :

1. Sayyid Umar bin Muhammad bin Mahmud Syatha Al Makki


Asy Syafi’I (1259-1330 H)
2. Sayyid Utsman bin Muhammad Syatha Al Makki Asy Syafi’i
(1263-1295 H)
3. Sayyid Bakri bin Muhammad Zainul Abidin Syatha Ad
Dimyathi Al Makki Asy Syafi’i(1266-1310 H) –penulis
I’anatuth Thalibin.
4. Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (wafat 1304) –mufti Madzhab
Syafi’i di Mekkah
5. Yahya Al Qalyubi
6. Muhammad Shalih Al Kurdi
7. Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makkiy

6. MURID-MURID
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi adalah seorang ilmuan
yang menguasai ilmu fiqih, sejarah, aljabar, ilmu falak, ilmu hitung,
dan ilmu ukur (geometri). Dengan kecerdasan dan kealiman yang
dimiliki oleh Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, beliau dikenal
sebagai ulama yang sangat peduli terhadap pendidikan para santri-
santri atau murid-muridnya yang belajar kepada beliau. Hal inilah
yang membuat, murid-murid Syekh Ahmad Khatib al-
Minangkabawi menjadi tokoh-tokoh, ulama, kiai-kiai yang sangat
berpengaruh di lingkungan masyarakatnya. Murid-murid beliau
diantarannya:

1. Syekh Abdul Karim bin Amrullah rahimahullah –ayah Ustadz


Hamka-. Seorang ulama kharismatik yang memiliki pengaruh
kuat di ranah Minang dan Indonesia. Di antara karya tulisnya
adalah Al Qaulush Shahih yang membicarakan tentang nabi
terakhir dan membantah paham adanya nabi baru setelah
Nabi Muhammad terutama pengikut Mirza Ghulam Ahmad
Al Qadiyani.
2. KH. Abdul Halim Majalengka rahimahullah–pendiri
Jam’iyyah I’anatul Mubta’allimin yang bekerja sama dengan
Jam’iyyah Khairiyyah dan Al-Irsyad
3. Syekh Abdurrahman Shiddiq bin Muhammad ‘Afif Al
Banjarirahimahullah–mufti Kerajaan Indragiri
4. Muhammad Thaib ‘Umar
5. KH. Hasyim Asy'ari, pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama
(NU)
6. KH. Ahmad Dahlan, pendiri Jam’iyyah Muhammadiyyah.
7. Syekh Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi
8. Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Candung, Bukittinggi
9. Syekh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang
10. Syekh Abbas Qadhi Ladang Lawas Bukittinggi
11. Syekh Abbas Abdullah Padang Japang Suliki
12. Syekh Khatib Ali Padang
13. KH. Abbas Djamil Buntet
14. Syekh Ibrahim Musa Parabek
15. Syekh Mustafa Husein, Purba Baru, Mandailing
16. Syekh Hasan Maksum, Medan

7. PEMIKIRAN
Perhatian Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi terhadap hukum
waris juga sangat tinggi, kepakarannya dalam mawarits (hukum
waris) telah membawa pembaharuan adat Minang yang
bertentangan dengan Islam. Martin van Bruinessen mengatakan,
karena sikap reformis inilah akhirnya al-Minangkabawi semakin
terkenal. Salah satu kritik Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi
yang cukup keras termaktub di dalam kitabnya Irsyadul Hajara fi
Raddhi 'alan Nashara mengatakan bahwa beliau menolak doktrin
trinitas Kristen yang dipandangnya sebagai konsep Tuhan yang
ambigu.

Selain masalah teologi, dia juga pakar dalam ilmu falak. Hingga
saat ini, ilmu falak digunakan untuk menentukan awal Ramadhan
dan Syawal, perjalanan matahari termasuk perkiraan waktu salat,
gerhana bulan dan matahari, serta kedudukan bintang-bintang
tsabitah dan sayyarah, galaksi dan lainnya.

Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi juga pakar dalam geometri


dan trigonometri yang berfungsi untuk memprediksi dan
menentukan arah kiblat, serta berfungsi untuk mengetahui rotasi
bumi dan membuat kompas yang berguna saat berlayar. Kajian
dalam bidang geometri ini tertuang dalam karyanya yang bertajuk
Raudat al-Hussab dan Alam al-Hussab.

8. MENJADI IMAM BESAR MASJIDIL HARAM


Kealiman Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dibuktikan
dengan diangkatnya ia menjadi imam dan khathib sekaligus staf
pengajar di Masjidil Haram. Jabatan sebagai imam dan khathib
bukanlah jabatan yang mudah diperoleh. Jabatan ini hanya
diperuntukkan orang-orang yang memiliki keilmuan yang tinggi.

Mengenai sebab pengangkatan Syekh Ahmad Khatib al-


Minangkabawi menjadi imam dan khathib, ada dua riwayat yang
berbeda.

Riwayat pertama dibawakan oleh ‘Umar ‘Abdul Jabbar dalam


kamus tarajimnya, Siyar wa Tarajim (hal. 39). ‘Umar ‘Abdul
Jabbar mencatat bahwa jabatan imam dan khathib itu diperoleh
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi berkat permintaan Shalih
al-Kurdi, sang mertua, kepada Syarif ‘Aunur Rafiq agar berkenan
mengangkat Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah menjadi imam
& khathib.

Sedangkan riwayat kedua dibawakan oleh Hamka rahimahullah


dalam Ayahku, Riwayat Hidup Dr. ‘Abdul Karim Amrullah dan
Perjuangan Kaum Agama di Sumatera yang kemudian dinukil oleh
Dr. Akhria Nazwar dan Dadang A. Dahlan. Ustadz Hamka
menyebutkan cerita ‘Abdul Hamid bin Ahmad Al Khathib, suatu
ketika dalam sebuah salat berjama’ah yang diimami langsung
Syarif ‘Aunur Rafiq.

Di tengah salat, ternyata ada bacaan imam yang salah, mengetahui


itu Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, yang ketika itu juga
menjadi makmum, dengan beraninya membetulkan bacaan imam.
Setelah usai salat, Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya siapa gerangan
yang telah membenarkan bacaannya tadi.

Lalu ditunjukkannya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang


tak lain adalah menantu sahabat karibnya, Shalih Al Kurdi, yang
terkenal dengan keshalihan dan kecerdasannya itu. Akhirnya Syarif
‘Aunur Rafiq mengangkat Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi
sebagai imam dan khathib Masjid Al Haram untuk madzhab
Syafi’i.

9. TELADAN
Kesuksesan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dalam
mendidik anak-anaknya sehingga menjadi tokoh-tokoh berhasil
bukanlah omong kosong belaka. Keberhasilan itu berawal dari
sistem pendidikan yang mengacu kepada nilai-nilai ajaran Islam
yang mulia terutama masalah ‘aqidah.

Mari sejenak kita dengar langsung penuturan ‘Abdul Hamid Al


Khathib tentang bagaimana Syekh Ahmad Khatib al-
Minangkabawi menanamkan ‘aqidah pada anak-anaknya, “Ketika
kecilku dulu, jika aku meminta sesuatu dari ayahku,” ia akan
berkata, “Mintalah kepada Allah, pasti Dia akan memberimu (apa
yang kamu minta)”. Aku pun balik bertanya, “Memangnya Allah di
mana, yah?” “Dia berada di langit sana,” jawab ayahku, “Dia dapat
melihatmu, sedangkan kamu tidak dapat melihatnya”.

Tidak selang berapa lama, ayahku pun mendatangiku dengan


membawa apa yang kuminta seraya berkata, “Ni, Allah telah
mengirim kepadamu apa yang tadi kamu minta.”
Dulu juga jika aku meminta sesuatu kepada Allah dan tidak aku
dapatkan, maka aku pun segera mengadu kepada ayahku,
“Sesungguhnya aku telah meminta ini dan itu kepada Allah, tapi
kok Allah tidak memberiku, yah?” Ayah pun segera menjawab,
“Ini tidak mungkin terjadi kecuali jika kamu sendiri yang bikin
Allah murka. Ya mungkin kamu sudah berlaku sembrono dalam
ibadahmu, atau kamu terlambat salat, atau mungkin kamu sudah
menggunjing seseorang? Maka bertaubatlah dan minta ampunlah
kepada Allah, pasti Dia akan memberikan semua permintaanmu.
Aku pun segera melakukan wasiat ayahku, maka semua
keinginanku pun dapat terwujud.”

Bagaimana pendidikan aqidah yang diberikan Syekh Ahmad


Khatib al-Minangkabawi kepada anaknya ini. Pendidikan mana
lagi yang lebih mulia dari penanaman “aqidah yang kuat pada diri
seorang anak. Bukankah melukis di batu itu sulit namun hasilnya
akan lebih kekal? Demikian juga dengan diri seorang anak. Seorang
anak kecil itu bagaikan gelas kaca yang masih kosong.”

Ia tergantung dengan siapa yang pertama kali mengisinya.


Pendidikan yang seperti inilah yang akan menanamkan rasa cinta
yang tinggi kepada Allah, bersandar hanya kepada kepada-Nya,
meminta hanya kepada-Nya semata bahkan hal-hal yang kecil
sekalipun. Inilah pendidikan tauhid yang pernah dipraktikkan
Rasulullah kepada keponakannya, Ibnu ‘Abbas, yang ketika itu
usianya masih kanak-kanak, “Jika kamu meminta pertolongan,
mintalah (pertolongan) kepada Allah.”

Potret lain dari pendidikan yang diberikan Syekh Ahmad Khatib


al-Minangkabawi kepada keluarganya adalah ia selalu menegur
dan memperingati bagi siapa saja yang menyia-nyiakan waktunya
dengan bermain-main dan berbagai hal yang dapat melalaikan
termasuk alat-alat musik dan nyanyian. Semua ini dilakukan Syekh
Ahmad Khatib al-Minangkabawi karena bentuk rasa sayangnya
terhadap keluarganya. Karena melarang tidak selamanya
bermakna benci.

Tidak seperti anggapan sementara sebagian orang dalam


mengekspresikan rasa cintanya kepada keluarganya. Mereka kira
dengan membiarkan semua gerak-gerik dan tingkah laku
keluarganya itulah yang disebut cinta. Padahal boleh jadi perilaku-
perilaku itu mengundang murka Allah ‘Azza wa Jalla. Akan tetapi
berbeda dengan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, ia
menyadari bahwa seorang ayah kelak akan dimintai
pertanggungjawaban di depan pengadilan Rabbul ‘alamin.

Maka dengan segenap kemampuannya, Syekh Ahmad Khatib al-


Minangkabawi menganjurkan kepada semua keluarganya untuk
menjauhi semua hal-hal yang tidak bermanfaat dan mencukupkan
diri dengan sesuatu yang bermanfaat saja. Tidakkah Allah
berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri dan
keluarga kalian dari neraka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga pernah bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan
akan dimintai pertanggungjawaban atas tanggungannya.” Sampai
sabdanya, “Dan laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, maka
ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya.”

10. KARYA-KARYA
Karya-karya tulis Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dapat
dibagi menjadi dua bagian, yaitu karya-karya yang berbahasa Arab
dan karya-karya yang berbahasa Melayu dengan tulisan Arab.
Kebanyakan karya-karya itu mengangkat tema-tema kekinian
terutama menjelaskan kemurnian Islam dan merobohkan
kekeliruan tarekat, bid’ah, takhayul, khurafat, dan adat-adat yang
bersebrangan dengan al-Qur'an  & Sunnah.

Karya-karya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dalam


bahasab ’Arab:
1. Hasyiyah An Nafahat ‘ala Syarhil Waraqat lil Mahalli
2. Al Jawahirun Naqiyyah fil A’malil Jaibiyyah
3. Ad Da’il Masmu’ ‘ala Man Yuwarritsul Ikhwah wa Auladil
Akhwan Ma’a Wujudil Ushul wal Furu’
4. Raudhatul Hussab
5. Mu’inul Jaiz fi Tahqiq Ma’nal Jaiz
6. As Suyuf wal Khanajir ‘ala Riqab Man Yad’u lil Kafir
7. Al Qaulul Mufid ‘ala Mathla’is Sa’id
8. An Natijah Al Mardhiyyah fi Tahqiqis Sanah Asy Syamsiyyah
wal Qamariyyah
9. Ad Durratul Bahiyyah fi Kaifiyah Zakati Azd Dzurratil
Habasyiyyah
10. Fathul Khabir fi Basmalatit Tafsir
11. Al ‘Umad fi Man’il Qashr fi Masafah Jiddah
12. Kasyfur Ran fi Hukmi Wadh’il Yad Ma’a Tathawuliz
Zaman
13. Hallul ‘Uqdah fi Tashhihil ‘Umdah
14. Izhhar Zaghalil Kadzibin fi Tasyabbuhihim bish
Shadiqin
15. Kasyful ‘Ain fi Istiqlal Kulli Man Qawal Jabhah wal ‘Ain
16. As Saifu Al Battar fi Mahq Kalimati Ba’dhil Aghrar
17. Al Mawa’izh Al Hasanah Liman Yarghab minal ‘Amal
Ahsanah
18. Raf’ul Ilbas ‘an Hukmil Anwat Al Muta’amil Biha
Bainan Nas
19. Iqna’un Nufus bi Ilhaqil Anwat bi ‘Amalatil Fulus
20. Tanbihul Ghafil bi Suluk Thariqatil Awail fima
Yata’allaq bi Thariqah An Naqsyabandiyyah
21. Al Qaulul Mushaddaq bi Ilhaqil Walad bil Muthlaq
22. Hasyiyah Fathul Jawwad dalam 5 jilid
23. Fatawa Al Khathib ‘ala Ma Warada ‘Alaih minal Asilah
24. Al Qaulul Hashif fi Tarjamah Ahmad Khathib bin ‘Abdil
Lathif

Adapun yang berbahasa Melayu adalah:


1. Mu’allimul Hussab fi ‘Ilmil Hisab
2. Ar Riyadh Al Wardiyyah fi Ushulit Tauhid wa Al Fiqh Asy
Syafi’i
3. Al Manhajul Masyru’ fil Mawarits
4. Dhaus Siraj Pada Menyatakan Cerita Isra’ dan Mi’raj
5. Shulhul Jama’atain fi Jawaz Ta’addudil Jumu’atain
6. Al Jawahir Al Faridah fil Ajwibah Al Mufidah
7. Fathul Mubin Liman Salaka Thariqil Washilin
8. Al Aqwal Al Wadhihat fi Hukm Man ‘Alaih Qadhaish
Shalawat
9. Husnud Difa’ fin Nahy ‘anil Ibtida’
10. Ash Sharim Al Mufri li Wasawis Kulli Kadzib Muftari
11. Maslakur Raghibin fi Thariqah Sayyidil Mursalin
12. Izhhar Zughalil Kadzibin
13. Al Ayat Al Bayyinat fi Raf’il Khurafat
14. Al Jawi fin Nahw
15. Sulamun Nahw
16. Al Khuthathul Mardhiyyah fi Hukm Talaffuzh bin
Niyyah
17. Asy Syumus Al Lami’ah fir Rad ‘ala Ahlil Maratib As
Sab’ah
18. Sallul Hussam li Qath’i Thuruf Tanbihil Anam
19. Al Bahjah fil A’malil Jaibiyyah
20. Irsyadul Hayara fi Izalah Syubahin Nashara
21. Fatawa Al Khathib dalam versi bahasa Melayu

Anda mungkin juga menyukai