Anda di halaman 1dari 15

SEJARAH BERDIRINYA GERAKAN MUHAMMADIYAH

A. Faktor Obyektif Berdirinya Muhammadiyah


1. Faktor Obyektif Internal
Pada awal abad XX kondisi umat Islam Indonesia sangat lemah. Umat
Islam identik dengan kebodohan dan kemiskinan. Dalam bidang agama, umat
Islam diliputi praktek TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churafat) dan syirik.
Kondisi seperti itu konon sengaja diciptakan oleh kolonial Belanda yang
menginginkan untuk melanggengkan kekuasaannya di Indonesia. Rakyat
sengaja dibuat bodoh, dan kalaupun ada yang diberi kesempatan bersekolah
maka tempatnya adalah di sekolah Belanda yang nihil dari pelajaran agama
dan senantiasa dicekoki pola pikir dan pola hidup ala Barat. Hal itu dengan
maksud agar mereka semakin jauh dari ajaran Islam dan semakin lekat dengan
ajaran Barat.
Di sisi lain lembaga pendidikan yang dimiliki umat Islam seperti pesantren
dan madrasah tidak mengakomodir perkembangan jaman. Di sana hanya
mengajarkan kurikulum akhirat (keagamaan), nihil dari kurikulum keduniaan
(ilmu umum). Lagi pula lembaga pendidikan Islam tersebut sudah disetel oleh
pemerintah kolonial yang nota bene anti Islam, agar muatan pendidikan Islam
salah arah. Sengaja para pengelola digiring untuk mengajarkan faham
keagamaan yang berbau akhirat ansih, bahkan menjauhi dunia. Memang
penjajah tidak menginginkan rakyat jajahan, khususnya yang beragama Islam
memiliki faham agama yang sehat. Karena mereka khawatir kalau seperti itu
rakyat akan berpikiran maju, lalu bangkit untuk menentang penjajah.

“Kala itu, Indonesia meringkuk dalam cengkeraman kekuasaan Hindia


Belanda. Di seantero negeri, kemiskinan dan kekurangan gizi yang
mengoyak luka rakyat koloni, masih menganga lebar. Keawaman dan
keterbelakangan yang meremukkan sendi-sendi kehidupan, menambah
panjang duka bangsa inlander yang sudah berlangsung berabad-abad.
Semua akibat kebodohan yang sengaja dibiarkan mewabah, bahkan
diciptakan. Dan, pada saat yang sama, dialog kritis terhadap berbagai
gejala dan kemungkinan adanya penyimpangan dalam tradisi beragama,
di kalangan umat Islam sendiri dipandang tidak lumrah dan cenderung
harus ditinggalkan. Padahal, kondisi kehidupan umat Islam berlangsung
nyaris tanpa asupan gagasan segar yang membuka peluang munculnya
pelurusan dan perbaikan, dengan mendudukkan masjid secara jumud
sebagai satu-satunya sentrum kegiatan ibadah yang diperlakukan sakral
dari kegiatan muamalah. Sebuah sketsa wajah sejarah kebangsaan dan
keumatan yang muram.” (Febriansyah, t.th.: iv)

Di lain pihak pemerintah penjajah makin gencar melaksanakan misi


Kristen dengan berbagai kegiatan seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan
pelayanan sosial (diakonia) serta yang paling menohok adalah penginjilan di
seluruh pelosok negeri, sehingga semakin hari semakin banyak umat Islam
yang terbawa keluar menjadi Kristiani. Kondisi seperti ini mendorong KH
Ahmad Dakhlan untuk mendirikan Muhammadiyah (Haidar Nashir dkk, 1994:
125), dan oleh karenanya Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi
pembendung arus misi Kristen (Alwi Shihab, 1996).
2. Faktor Obyektif Eksternal
Dunia Islam yang merosot dan jatuh pada abad ke 15 M mulai bangkit lagi
pada abad ke 19 M, ditandai dengan adanya pembaruan di beberapa negara
seperti Saudi Arabia, Mesir, Syiria, India dan seterusnya, dengan tokoh-
tokohnya antara lain Muhammad bin Abdul Wahab, Jamaluddin Al-Afghani,
Muhammad Abduh dan lain-lain. Adanya gerakan pembaruan menyadarkan
kaum muslimin tentang pentingnya kembali kepada al-Quran dan al-Hadits
jika mereka menginginkan kejayaan sebagaimana umat Islam jaman awal. KH
Ahmad Dakhlan termasuk salah satu ulama yang tercerahkan pikirannya
dengan pemahaman seperti itu terutama ketika beliau menunaikan ibadah haji
yang kedua. Pada waktu itu beliau membaca beberapa literatur yang ditulis
oleh para pembaru, baik dalam ujud buku maupun majalah. Inspirasi dari
pemikiran para pembaru itulah yang mendorongnya untuk mendirikan gerakan
pembaruan Islam Muhammadiyah. (Nashir dkk, 1994: 125)

B. Faktor Subyektif Berdirinya Muhammadiyah


Faktor subyektif maksudnya adalah faktor yang berasal dari subyek atau
pelaku (pendiri) Muhammadiyah, yaitu KH. Ahmad Dakhlan, di mana beliau
tergerak untuk mendirikan Muhammadiyah setelah beliau membaca dan
merenungkan ayat 104 surat Ali Imran (Haidar Nashir, 2010: 25) yang
terjemahannya adalah sebagai berikut:
“Dan adakanlah di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan
(Islam), menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar, mereka
itulah orang-orang yang beruntung” (QS Ali Imran : 104)
Menurut penjelasan KH. M. Djindar Tamimy1 kepada kami sewaktu
kuliah S-1 dahulu, KH.Ahmad Dakhlan adalah salah satu ulama yang memiliki
sikap kritis dan jeli dalam mengkaji ajaran Islam dan memiliki kemauan yang
kuat untuk menjadikan al-Quran dan al-Hadits sebagai tuntunan hidup praktis.
Sebagai contoh ketika beliau membaca ayat atau hadits yang berisi perintah untuk
mengamalkan sesuatu maka tidak ada sikap beliau kecuali “sami’na wa atha’na”
(kami mendengar dan kami taat). Demikian juga ketika beliau menjumpai
larangan dalam ayat atau hadits yang dibacanya maka tidak ada sikap lain kecuali
berusaha menjauhinya. Nah ketika beliau membaca ayat 104 surat Ali Imran
beliau berpendapat bahwa ayat tersebut berisi perintah untuk mendirikan
organisasi dakwah Islam amar-ma’ruf nahi munkar. Oleh karena itu setelah
membaca ayat tersebut beliau tergerak untuk mengamalkannya. Setelah difikirkan
selama beberapa tahun ketemulah jawabannya bahwa beliau harus mendirikan
Muhammadiyah sebagai realisasi dari ayat dimaksud.

C. Profil Pendiri Muhammadiyah: KH. Ahmad Dakhlan


Pendiri Muhamadiyah adalah KH. Ahmad Dakhlan. Ia lahir di kampung
Kauman, Yogyakarta pada tahun 1868 M dengan nama Muhammad Darwis.
Ayahnya bernama KH Abu Bakar, seorang khatib masjid besar Kesultanan
Yogyakarta, masih keturunan Maulana Malik Ibrahim. Sedang ibunya bernama
Siti Aminah, putri dari KH Ibrahim, penghulu kasultanan Yogyakarta. Jadi KH

1
KH. M. Djindar Tamimy, salah satu tokoh tua yang hidup sampai dekade 1990 an adalah salah seorang
idiolog Muhammadiyah yang cukup berpengaruh selama beberapa dekade dan buah pikirannya banyak
dipakai sebagai acuan bagi pimpinan dan warga Muhammadiyah
Ahmad Dakhlan, dilihat dari silsilahnya baik dari ayah maupun ibunya, masih
keturunan ulama.
Pendidikan KH Ahmad Dakhlan dimulai dengan belajar agama pada
ayahnya sendiri di rumahnya mengenai al-Quran dan dasar-dasar Islam. Pada usia
8 tahun ia sudah lancar membaca al-Quran dan mengkhatamkannya. Selanjutnya
ia belajar fiqih kepada KH. Muhammad Shaleh dan Nahwu kepada KH. Mukhsin.
Keduanya adalah kakak iparnya sendiri. Ia juga berguru kepada KH. Muhammad
Nur dan KH. Abdul Hamid tentang berbagai ilmu.
Secara lengkap Ahmad Darwis pernah berguru berbagai ilmu kepada
beberapa orang guru sebagai berikut: belajar fiqh kepada KH. Muhammad Shaleh,
ilmu nahwu kepada KH Muhsin, ilmu falak kepada KH R. Dakhlan, ilmu Hadits
kepada Kyai Mahfud dan Sekh Khayyat, ilmu Al-Quran kepada Sekh Amin dan
Sayid Bakri Satock, dan ilmu pengobatan dan racun binatang pada Sekh Hasan,
serta belajar teologi kepada Kyai Soleh Darat Semarang, di mana waktu itu beliau
tinggal sekamar bersama Hasyim Asy’ari yang kelak mendirikan NU (Sucipto dan
ramly,2005: 24-25)
Pada tahun 1889 ia dinikahkan dengan Siti Walidah, putri dari KH.
Muhammad Fadil, kepala penghulu kasultanan Yogyakarta. Siti Walidah masih
saudara sepupu Muhammad Darwis.
Beberapa bulan setelah pernikahannya, atas anjuran kedua orang tuanya,
Muhammad Darwis pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji2. Ia sampai
di Mekkah pada bulan Rajab tahun 1308 H (1890 M). Setelah menunaikan umrah
ia bersilaturrahim dengan para ulama Indonesia maupun Arab. Di sana ia sambil
menimba ilmu antara lain kepada KH. Mahfud Tremas, KH. Nahrawi Banyumas,
KH. Muhammad Nawawi Banten dan kepada beberapa ulama Arab di Masjidil
Haram. Ia juga mengunjungi ulama mazhab Syafi’i Bakri Syata’ dan mendapat
ijazah nama Haji Ahmad Dakhlan. Setelah musim haji selesai ia pulang, dan tiba
di Yogya pada minggu pertama bulan Safar tahun 1309 (1891 M). Ia lalu

2
Menurut Febriansyah, (t.th: 1), KH. Ahmad Dakhlan menikah setelah beberapa lama kepulangan beliau
dari naik haji yang pertama, bukan menikah dahulu baru pergi haji.
membantu ayahnya mengajar para santri remaja. Lalu dipercaya juga mengajar
santri dewasa dan tua sehingga mendapat gelar KH. Ahmad Dakhlan.
Pada tahun 1896 M, KH. Abu Bakar wafat. Jabatan khatib masjid besar
kesultanan Yogyakarta dilimpahkan kepada KH.A. Dakhlan oleh pihak
kesultanan. Gelar yang disandang olehnya adalah Khatib Amin, dengan tugas
sebagai berikut:
1. Khutbah Jumat
2. Piket di serambi masjid seminggu sekali
3. Menjadi anggota Raad Agama Islam Hukum Keraton
Semua tugas di atas dilaksanakan sebaik-baiknya terutama tugas piket di
serambi masjid berupa memberikan ceramah pengajian, demi menyalurkan dan
mengembangkan ilmunya.
Usaha pembaharuan Islam dilaksanakan mula-mula menyangkut
pembetulan arah kiblat. Pada waktu itu arah kiblat masjid belum pas mengarah ke
Masjidil Haram, Mekkah. KH. Ahmad Dakhlan berusaha menerangkan arah
kiblat yang benar pada awalnya kepada beberapa ulama terbatas yang telah
sepaham di sekitar Kauman. Usaha ini memakan waktu hampir setahun lamanya.
Kemudian ada kesepakatan akan mengundang 17 ulama dari dalam dan luar kota
Yogyakarta bertempat di surau KH. A.Dakhlan. Para peserta disuruh membawa
kitab tentang arah kiblat. Musyawarah berlangsung pada suatu malam di tahun
1898 berakhir saat waktu azan Shubuh tiba. Meskipun pertemuan itu tidak
menghasilkan kesepakatan pendapat namun dianggap sudah ada kemajuan, karena
musyawarah berlangsung dengan baik dan sopan.
Beberapa hari setelah itu ketika hendak melaksankan shalat Dluhur di
masjid besar Kauman para jama’ah dikejutkan oleh adanya tiga buah garis shaf
berwarna putih setebal 5 cm melintas di depan pengimaman dengan mengarah ke
kiblat yang sebenarnya. Setelah shalat para petugas hari itu (khatib, mua’zin dan
marbot) dan dua orang jama’ah melaporkan kejadian itu ke Kanjeng Kyai
Penghulu H.Muh. Khalil Kamaluddiningrat. Dia marah besar dan menyuruh
mereka mencari pelakunya. Sementara dia sendiri memanggil Khatib Amin.
Pada tahun 1898 KH. Ahmad Dakhlan merenovasi dan memperluas mushala
peninggalan ayahnya dan sekaligus dihadapkan ke arah kiblat. Namun menjelang
bulan Ramadlan datanglah utusan Penghulu KH. Muhammad Khalil
Kamaluddiningrat yang menyampaikan pesan agar hari itu juga Khatib Amin
membongkar mushalla yang arahnya berbeda dengan arah masjid besar. Ia
tertegun sejenak. Setelah membaca istirja dan hauqalah, ia menjawab agar
disampaikan kepada Kyai Penghulu bahwa Khatib Amin tidak bisa melaksanakan
perintahnya itu. Mendengar hal itu Kyai Penghulu marah besar karena merasa
dilecehkan oleh bawahannya. Ia menyuruh kepada utusannya untuk kembali,
dengan penegasan bahwa jika Khatib Amin tetap membangkang, mushalanya
akan dirobohkan oleh pemerintah kawedanan setelah shalat Tarawih malam
harinya. Ancaman itu ternyata benar-benar dilaksanakan. Sepuluh orang kuli
datang dengan berbagai peralatan lalu segera meruntuhkan mushala dan baru
selesai pada pukul 01.30 malam itu. Khatib Amin sendiri sejak dini hari
meninggalkan rumah karena tidak tega menyaksikan mushalanya dibongkar. Dan
baru pulang setelah fajar menyingsing. Ia putus asa. Ia berniat meninggalkan
Yogyakarta, namun segera dicegah oleh kakaknya yaitu Kyai dan Nyai Haji
Saleh. Di atas puing mushala tersebut segera dibangun lagi mushala baru
menghadap ke barat lurus, dan diberi garis shaf mengarah ke kiblat.
Selama tiga tahun setelah peristiwa tersebut Khatib Amin tetap menekuni
pekerjaan dinasnya maupun mengajar murid-muridnya di suraunya. Lama
kelamaan dirasa bahwa persendian ilmunya masih kurang. Teringatlah dia akan
gurunya di Mekkah. Maka pada tahun 1903 dia berangkat ke Tanah Suci di
samping untuk menunaikan ibadah haji juga untuk menambah ilmu dengan
belajar pada gurunya di sana hingga bermukim selama hampir dua tahun. Dia
melakukan studi lanjut tentang beberapa cabang ilmu kepada guru-gurunya saat
menunaikan haji pertama dahulu juga kepada beberapa ulama lain. Di sana ia
belajar beberapa cabang ilmu sebagai berikut (1) ilmu fikih kepada Syekh Saleh
Bafedal, Syekh Said Yamani, dan Syekh Sa’id Bagusyel; (2) ilmu hadits kepada
Mufti Syafi’I; (3) ilmu Falak kepada Syekh Asy’ari Ali Misri Mekkah. Selain itu
dia juga bersahabat karib dengan para ulama Indonesia yang telah lama bermukim
di sana seperti Syekh Ahmad Khatib (Minangkabau), Kyai Nawawi (Banten),
Kyai Mas Abdullah (Surabaya), Kyai Fakih (Maskumambang). Berbagai masalah
sosial keagamaan yang dialami di tanah air dijadikan topik diskusi dengan
mereka.
Sepulang haji yang kedua dia membangun pondok untuk menampung
murid-muridnya yang berasal dari luar kota Yogyakarta. Diantara materi
pengkajian yang diistimewakan untuk diperdalam adalah ilmu falak, tauhid dan
tafsir dari Mesir.
Menilik buku yang ditinggalkannya dapat dipastikan bahwa bacaan beliau
setelah haji yang kedua dan seterusnya adalah karya tulis karya pendukung ide
pembaharuan Islam, diantaranya adalah (1) karya Muhammad Abduh : Risalah
Tauhid, Tafsir Juz ‘Ama dan Al-Islam wan Nasraniyah; (2) Karya Ibnu
Taymiyah: Al-Tawasul wal Wasilah; (3) Karya Rasid Ridla: Tafsir Al-Manar; (4)
Karya Farid Wajdi: Dairatul Ma’arif; (5) karya Rahmatullah al-Hindi: Izharul
Haq; (6) karya Ataillah: Matan Al-Hikam; (7) karya Mazhab Hanbali: Kitab-kitab
Hadits; (8) Majalah al-Urwatul Wutsqa dan Al-Manar.
 Memperluas Wawasan
Pekerjaan KH. Ahmad Dakhlan di masjid besar Kauman tidak banyak
menyita waktu. Giliran khutbahnya setiap dua bulan sekali, dan piketnya di
serambi masjid hanya seminggu sekali. Maka beliau berdagang batik di beberapa
kota di Jawa. Di dalam perjalanan dagangnya itulah selalu beliau gunakan untuk
bersilaturrahmi pada para ulama setempat guna mendiskusikan tentang persoalan
agama dan umat, dengan maksud untuk mempelajari sebab musabab kemunduran
umat islam dan bagaimana mengatasinya, sementara misi Kristen (baik Katolik
maupun Kristen) telah mengadakan sekolah-sekolah Met de Bijbel.
Pada tahun 1909 KH. Ahmad Dakhlan bertamu ke rumah Dr. Wahidin
Sudiro Husodo di Ketandan Yogyakarta. Ia menanyakan berbagai hal tentang
perkumpulan Budi Oetomo dan tujuannya. Setelah dilihatnya bahwa BO sejalan
dengan cita-citanya maka ia menyatakan ingin menjadi anggota. Maka BO
Cabang Yogyakarta bulat menerimanya bahkan dipasang sebagai pengurus.
Tujuan beliau masuk ke organisasi ini adalah untuk mempelajari organisasi. Di
BO beliau selalu diminta untuk mengisi santapan rokhani di setiap akhir
pertemuan dan beliau bisa memuaskan semua pihak.
Kegiatan mempelajari organisasi juga dilakukannya dengan masuk menjadi
anggota Jami’atul Khair Jakarta. Yang menarik dari organisasi terakhir ini adalah
di samping membangun sekolah-sekolah agama dan bahasa Arab, bergerak dalam
bidang sosial juga giat membina hubungan dengan para pemimpin di Negara-
negara Islam yang telah maju. Di samping itu Jami’atul Khair juga merupakan
organisasi Islam pertama yang bercorak modern (beranggaran dasar, daftar
anggota yang tercatat, rapat secara berkala) dan mendirikan sekolah-sekolah Islam
yang relatif modern.
Dari pengalaman itu beliau menyadari bahwa usaha memperbaiki kondisi
suatu masyarakat akan sulit dilakukan manakala dilakukan sendirian. Jadi harus
dilakukan secara bekerja sama dengan orang banyak.
Adapun kiprahnya dalam bidang pendidikan diawali dari suatu peristiwa
yaitu setelah memberi santapan rokhani dalam rapat Budi Oetomo beliau
menyampaikan keinginannya memberikan pelajaran agama Islam kepada siswa
Kweekschool Gubernamen Jetis yang dikepalai oleh R. Boedihardjo, salah
seorang pengurus BO. Keinginannya disetujui dengan syarat dilakukan di luar
jam pelajaran. Akhirnya programnya dilaksanakan pada setiap hari Sabtu sore.
Karena metode pengajarannya menarik, antara lain dengan metode ceramah,
ilmiah dan tanya jawab, maka jumlah pesertanya makin hari makin banyak.
Bahkan diantara pesertanya ada yang meminta jam tambahan setiap hari Ahad di
kediaman beliau.
Setelah mengajar di Kweekschool selama setahun dan wawancara dengan
semua guru piket yang menunggui pelajaran jam agama beliau tentang seluk
beluk penyelenggaraan sekolah, maka terdoronglah beliau untuk memiliki sekolah
sendiri yng mengajarkan pelajaran umum dan agama seklaigus. Maka dengan
peralatan meja-kursi seadanya yang ditempatkan di ruang tamu berukuran 2,5 x 6
m di rumah, beliau mulai mencari murid. Pada mulanya mendapat delapan orang,
lalu setiap bulan bertambah dan pada bulan keenam jumlah muridnya menjadi 20
orang. Beliau sendiri mengajar pelajaran agama di pagi hari dan untuk
mengajarkan pelajaran umum dicarilah guru dari BO cabang Yogyakarta. Setelah
mendapat bantuan guru umum, sekolah masuk siang yaitu pukul 14 s/d 16. Sejak
itu muridnya terus bertambah hingga kelasnya perlu dipindah ke serambi rumah
yang lebih luas. Sekolah itu diresmikan pada tanggal 1 Desember 1911 dengan
nama Sekolah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. (Pasha dan Darban, 2003)

D. Pemikiran KH. Ahmad Dakhlan tentang Islam dan Umatnya


KH. Ahmad Dakhlan menunaikan ibadah haji dua kali, pertama pada tahun 1890-
1891 dan kedua pada tahun 1903 dan bermukim selama 1,5 tahun. Dalam kedua
kesempatan itu beliau belajar kepada beberapa ulama asli Indonesia yang menetap
di Tanah Suci maupun kepada ulama asli Arab. Dari hasil belajar selama 1,5
tahun itu beliau mendapat kesimpulan tentang perlunya perjuangan untuk
membangkitkan semangat berislam dengan tauhid yang murni dan kekuatan
ekonomi (Sucipto dan Ramly, 2005: 25)
Kebetulan waktu itu di Jazirah Arab baru saja berlangsung pembaharuan
Islam yang dilakukan oleh Sekh Muhammad bin Abdul Wahab dengan dukungan
penuh penguasa yaitu pendiri kerajaan Arab Saudi, Abdul Aziz bin Abdurrahman
Al-Saud. Mereka berdua melancarkan gerakan muwahhidin (mentauhidkan
Allah), namun nama gerakannya dikenal dengan gerakan Wahabi, bentuknya
berupa penentangan keras terhadap kultus individu terhadap nabi Muhammad
SAW, pengeramatan kuburan, dan pemberian gelar wali kepada para ulama.
Peristiwa pembaharuan Islam tersebut mempengaruhi pikirannya ketika
pulang ke tanah air. Beliau menyadari bahwa umat Islam di Nusantarapun telah
melakukan penyimpangan ajaran Islam dalam bentuk TBC (Takhayul, Bid’ah dan
Churafat) seperti halnya di Arab. Namun beliau tidak begitu saja menjiplak model
pembaharuan yang dilihat di sana. Ia menyesuaikannya dengan kondisi lokal.
Misalnya beliau tidak menempuh jalur struktural (politik) sebagaimana yang
dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab dan Jamaluddin al-Afghani. Beliau
lebih suka menempuh jalur kultural (dakwah dan pendidikan) sebagaimana
ditempuh oleh Muhammad Abduh.
Pada tahun 1908-1909 beliau mendirikan lembaga pendidikan yaitu
Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah di rumahnya, Kauman Yogyakarta.
Itu merupakan sekolah Islam pertama dengan sistem klasikal, karena sebelumnya
sekolah Islam memakai sistem sorogan (murid membaca kitab di depan guru,
guru mencermati benar tidaknya bacaan murid) dan bandongan (guru membaca
kitab di depan santri, santri mensyakali atau memberi terjemahan pada tiap kata
dalam teks Arab), kedua sistem tadi dilakukan di dalam ruangan tanpa meja-kursi,
jadi dilaksanakan dengan lesehan. (Sucipto dan Ramly, 2005: 26).
KH. Ahmad Dakhlan juga mendirikan kepanduan Hisbul Wathan,
mendirikan rumah sakit dan panti asuhan. Selain itu beliau bermain biola dan
tidak melarang umatnya memakai budaya Barat lainnya. Itu semua merupakan
cermin bahwa di mata beliau persoalan budaya (urusan dunia) itu fleksibel;
artinya tidak harus Arab, melainkan bisa mengadopsi dari luar Islam (Arab). Hal
ini menjadi persoalan yang cukup pelik pada waktu itu. Karena menurut ulama
lain dan umat Islam pada umumnya, umat Islam itu dilarang meniru budaya Barat.
Oleh karena itu KH. Ahmad Dakhlan mendapat aneka julukan miring dari para
penentangnya.
Dalam persoalan di atas KH. Ahmad Dakhlan berpendapat bahwa
kemajuan yang telah dicapai oleh Barat dalam bidang urusan keduniaan
(kebudayaan, peradaban) seperti bidang ilmu, teknologi, seni dan semacamnya,
boleh dan bahkan harus ditiru oleh umat Islam. Karena Rasulullah sendiri dalam
haditsnya yang shahih telah menyerahkan kepada umatnya untuk mengatur urusan
keduniaan tersebut. Untuk itu umat Islam bebas mengurus persoalan tersebut,
termasuk meniru dari umat lain. Kalau soal urusan agama memang umat Islam
harus ketat berpedoman kepada al-Quran dan al-Hadits, tidak boleh menambah,
mengurangi maupun merubahnya.
Sikap beragama seperti di atas menjadi pembeda yang sangat jelas antara
Kyai Dakhlan dengan ulama lain umumnya, khususnya yang tradisional. Kalau
kyai Dakhlan bersikap longgar dalam urusan keduniaan dan bersikap ketat dalam
urusan keagamaan, maka ulama tradisional sebaliknya, bersikap ketat dalam
urusan keduniaan dan bersikap longgar dalam urusan agama. Contohnya seperti di
atas, KH.Ahmad Dakhlan membolehkan beberapa budaya Barat seperti sekolah
model klasikal, kepanduan, rumah sakit, panti asuhan, semua ilmu, teknologi, seni
dan budaya. Tentunya dalam melaksanakannya tidak melupakan etika islam dan
untuk tujuan kebaikan Islam. Sebaliknya Kyai Dakhlan melarang berbagai
tambahan dalam agama, yang disebut bid’ah, syirik, takhayul dan khurafat.
Sementara ulama tradisional melarang meniru budaya Barat seperti di atas dan
membolehkan berbagai tambahan dalam bidang keagamaan seperti acara
sedekahan orang yang meninggal (Nelung Dina, Mitung Dina, Matang Puluh dst),
Mitoni wanita hamil, Sedekah Bumi, Sedekah Laut dan seterusnya.
Ternyata dalam perkembangannya sikap keagamaan KH. Dakhlan
terhadap urusan dunia yang kemudian dianggap benar. Hal itu terbukti kaum
muslimin rata-rata mengikutinya. Misalnya ilmu dan teknologi Barat di kemudian
hari tidak ada umat Islam yang mengharamkannya. Sekolah model klasikal,
rumah sakit, panti asuhan dan seterusnya tidak ada yang mengharamkannya.
Demikian juga segala jenis olah raga dan kesenian Barat tidak diharamkan oleh
kaum muslimin. Apalagi bidang ilmu dan teknologi semua umat Islam sepakat
membolehkannya.
Dalam pemikiran KH. Ahmad Dakhlan, ajaran Islam itu untuk diamalkan.
Maka selagi bisa dan mampu, semua ajaran Islam harus diamalkan. Hal itu
berlaku untuk semua jenis ajaran Islam, baik dalam bidang aqidah, ibadah, akhlak
maupun mu’amalah. Dalam bidang aqidah misalnya, beliau amat getol
mewujudkan keyakinan tauhid dan memberantas syirik. Dalam bidang ibadah,
beliau adalah orang yang tekun melaksanakan berbagai shalat sunnah dan
berbagai macam puasa baik wajib maupun sunnah. Beliau rajin tadarus al-Quran
dan tekun berdzikir. Beliau berusaha untuk dapat mewujudkan akhlakul karimah,
misalnya tidak sombong, rendah hati, bersikap sopan kepada sesama, suka
menolong dan gemar bersilaturahmi termasuk dengan non muslim.
Karena sikapnya seperti di atas maka muridnya menuturkan bahwa ketika
membaca al-Quran beliau senantiasa siap-siaga; setiap kali bertemu dengan
perintah, beliau langsung bertanya pada diri sendiri, sudahkah printah itu
diamalkan ? Kalau belum, beliau akan berhenti membaca, karena untuk apa
diteruskan sedang yang sudah dibaca saja belum dilaksanakan. Demikian juga
ketika beliau bertemu dengan ayat larangan, maka beliau akan bertanya, sudahkah
larangan itu diindahkan ? Jika belum, maka beliau akan berhenti membaca, untuk
apa diteruskan sedangkan yang sudah dibaca saja belum diamalkan. Demikianlah
ketika beliau membaca surat al-Ma’un, beliau menyadari bahwa surat tersebut
memerintahkan untuk menyantuni orang miskin dan lemah. Maka segera beliau
menyuruh murid-muridnya untuk mencari dan mengumpulkan kaum lemah tadi
untuk disantuni. Begitu juga ketika beliau membaca ayat 104 dari surat Ali Imran,
beliau tahu bahwa ayat tersebut memerintahkan untuk membentuk organisasi
dakwah, maka beliau berusaha untuk mewujudkannya, itulah yang mendorong
berdirinya Muhammadiyah.

E. Berdirinya Muhammadiyah
Di antara siswa Kweekschool Jetis yang setiap hari Ahad pagi mengikuti
pengajian di rumah beliau, setelah mengetahui bahwa beliau menyelenggarakan
pendidikan yang mengajarkan ilmu agama dan umum, ada beberapa yang tertarik
sekali atas usaha tesebut. Mereka menyarankan agar penyelenggaraan pendidikan
ditangani oleh suatu organisasi sehingga sepeninggal beliau kelak ada yang
menopang eksistensinya.
Beliau lalu merenungkan bentuk organisasinya, mendiskusikannya dengan
para santrinya yang dewasa dan menanyakan kesediaan mereka menjadi pengurus
dan dijawab bahwa mereka menyatakan kesediaannya.
Sebenarnya mengenai pendirian sekolah itu telah dibicarakan dan dibantu
oleh penguurs BO termasuk guru-guru dan kepala sekolahnya. Mereka
mengatakan bahwa sekolah sudah berjalan teratur, administrasi tertata rapi, maka
tinggal dimintakan pengesahan berdirinya kepada pemerintah Hindia Belanda dan
BO siap untuk membantu mengurusnya. Demikian juga untuk organisasi
pendukung sekolah itu, para pengurus BO menyarankan agar dirumuskan apa
namanya, apa maksud-tujuannya, calon pengurusnya adalah orang dewasa,
mengajukan surat permohonan kepada BO agar menguruskan pendiriannya, di
mana surat permohonan itu didukung oleh sedikitnya tujuh anggota BO, maka BO
siap untuk membantu mengurus pendiriannya. Dan untuk memenuhi syarat
tersebut sebanyak enam orang santri KH. Ahmad Dakhlan menjadi pengurus BO
dan menyatakan mendukung usulan Kyai pada BO agar BO menguruskan
berdirinya organisasi dimaksud.
Lalu dipilihlah nama Muhammadiyah, dengan harapan para anggotanya
dapat hidup beragama dan bermasyarakat sesuai sesuai dengan pribadi Nabi
Muhammad SAW.
Untuk menyusun Anggaran Dasar Muhammadiyah banyak mendapat
bantaun dari R. Sosrosugondo, seorang guru bahasa Melayu Kweekschool Jetis,
yang sejak tahun 1890 telah berhubungan dengan KH. A. Dakhlan. Rumusannya
dibuat dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu.
Muhammadiyah berdiri resmi pada tanggal 8 Zulhijjah 1330 H. proses
pengajuan kepada kepala pemerintahan sebagai sebuah badan hukum diusahakan
oleh BO Cabang Yogyakarta. Pada tanggal 20 Desember 1912 diajukanlah surat
permohonan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda agar persyarikatan ini
diberi izin resmi dan diakui sebagai badan hukum. Surat permohonan tersebut
dilampiri statuten atau Anggaran Dasar. Sasaran atau wilayah geraknya meliputi
penduduk pribumi di Jawa dan Madura.
Surat permohonan berdirinya Muhammadiyah ditanggapi oleh pemerintah
Hindia Belanda bahwa sebagai organisasi baru dilihatnya terlalu luas kalau
wilayah geraknya meliputi penduduk pribumi di Jawa dan Madura.
Surat permohonan berdirinya Muhammadiyah ditanggapi oleh pemerintah
Hindia Belanda bahwa sebagai organisasi baru dilihatnya terlalu luas kalau
wilayah geraknya meliputi Jawa dan Madura. Maka Gubernur Jenderal mengirim
surat permintaan pertimbangan kepada Direktur Van Justitie, Adveseur Voor
Inlandsche Zaken, Residen Yogyakarta dan Sri Sultan Hamengkubuwono VI.
Surat untuk Sri Sultan diteruskan kepada Pepatih Dalem Sri Sultan. Oleh
Pepatih Dalem kemudian diserahkan kepada Hoofd Penghulu, karena menyangkut
urusan agama. Oleh Hoofd Penghulu surat itu dibahas dalam rapat siding Raad
Agama Hukum Dalem Sri Sultan. Sedari awal Hoofd Penghulu bersikap sinis atas
usulan berdirinya Muhammadiyah karena factor KH. Ahmad Dakhlan dan juga
karena salah paham dalam memahami istilah Presiden (ketua) Muhammadiyah
yaitu KH.A.Dakhlan, dikiranya sama artinya dengan Residen. (kalau masyarakat
Kauman di bawah ‘Residen’ A. Dakhlan tentu akan menentang Hoofd Penghulu,
pikirnya). Setelah diketahui ada kesalahpahaman maka Hoofd Penghulu dipanggil
dan diberi penjelasan. Setelah faham maka Hoofd Penghulu menyetujui
berdirinya Muhammadiyah dengan catatan wilayah operasionalnya meliputi
Residensi Yogyakarta saja. Surat pertimbangan setuju dikirim ke Sri Sultan.
Residen Yogyakarta menyetujui permohonan Muhammadiyah dengan
catatan wilayah jangkauannya hanya Residensi Yogyakarta. Hal itu diketahui dari
surat yang dikirimkannya kepada Gubernur Jenderal tertanggal 21 April 1913.
Demikian juga saran Rinkes, Advesuer Voor Inlandsche Zaken, sebagaimana
dituangkan dalam suratnya tertanggal 26 Januari 1914, malahan dengan memberi
peluang, jika kelak muncul cabang-cabang baru di luar Yogyakarta agar
mengajukan surat permohonan kembali. Direktur Van Justitie dalam laporannya
tertanggal 19 Maret 1914 juga memberi pertimbangan senada.
Gubernur Jenderal Idenburg, setelah menerima semua saran dan
pertimbangan tadi, meminta kepada Hoofdbestuur Muhammadiyah agar
mengubah kata-kata Jawa dan Madura menjadi Residensi Yogyakarta. Oleh pihak
Muhammadiyah permintaan itu diterima melalui rapat anggota tertanggal 15 Juni
1914. Setelah berproses selama 20 bulan akhirnya pemerintah Hindia Belanda
mengakui Muhammadiyah sebagai badan hukum, tertuang dalam beslitnya no.21
tertanggal 22 Agustus 1914.

F. Definisi Muhammadiyah
Definisi Muhammadiyah dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi bahasa
(etimologi) dan segi istilah (terminologi).
1. Arti Bahasa (etimologi)
Muhammadiyah berasal dari bahasa Arab; ‫ محم ِدية‬.“‫ ” محمد‬yaitu nama nabi
dan Rasul Allah yang terakhir, dan mendapat tambahan ya nisbah “‫ ”ية‬yang
berfungsi untuk membangsakan atau menjeniskan, sehingga artinya adalah umat
atau pengikut. Jadi Muhammadiyah berarti umat atau pengikut Muhammad SAW.
Dari segi bahasa, semua orang yang mengakui Muhammad SAW sebagai nabi
dan rasul Allah dan bersedia menjadi pengikutnya pada hakekatnya disebut orang
Muhammadiyah.
2. Arti Istilah (terminologi)
Muhammadiyah adalah gerakan Islam dakwah amar ma’ruf nahi munkar,
berakidah Islam dan bersumberkan al-Quran dan Sunnah Shahihah, didirikan oleh
KH.A. Dakhlan pada tanggal 8 Zulhijjah 1330 H bertepatan dengan tanggal 18
Nopember 1912 M di Yogyakarta.
Gerakan ini diberi nama Muhammadiyah oleh pendirinya dengan maksud
bertafaul (berharap) agar para anggotanya dapat mencontoh segala perbuatan
Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan mereka sehari-sehari.

Anda mungkin juga menyukai