1
KH. M. Djindar Tamimy, salah satu tokoh tua yang hidup sampai dekade 1990 an adalah salah seorang
idiolog Muhammadiyah yang cukup berpengaruh selama beberapa dekade dan buah pikirannya banyak
dipakai sebagai acuan bagi pimpinan dan warga Muhammadiyah
Ahmad Dakhlan, dilihat dari silsilahnya baik dari ayah maupun ibunya, masih
keturunan ulama.
Pendidikan KH Ahmad Dakhlan dimulai dengan belajar agama pada
ayahnya sendiri di rumahnya mengenai al-Quran dan dasar-dasar Islam. Pada usia
8 tahun ia sudah lancar membaca al-Quran dan mengkhatamkannya. Selanjutnya
ia belajar fiqih kepada KH. Muhammad Shaleh dan Nahwu kepada KH. Mukhsin.
Keduanya adalah kakak iparnya sendiri. Ia juga berguru kepada KH. Muhammad
Nur dan KH. Abdul Hamid tentang berbagai ilmu.
Secara lengkap Ahmad Darwis pernah berguru berbagai ilmu kepada
beberapa orang guru sebagai berikut: belajar fiqh kepada KH. Muhammad Shaleh,
ilmu nahwu kepada KH Muhsin, ilmu falak kepada KH R. Dakhlan, ilmu Hadits
kepada Kyai Mahfud dan Sekh Khayyat, ilmu Al-Quran kepada Sekh Amin dan
Sayid Bakri Satock, dan ilmu pengobatan dan racun binatang pada Sekh Hasan,
serta belajar teologi kepada Kyai Soleh Darat Semarang, di mana waktu itu beliau
tinggal sekamar bersama Hasyim Asy’ari yang kelak mendirikan NU (Sucipto dan
ramly,2005: 24-25)
Pada tahun 1889 ia dinikahkan dengan Siti Walidah, putri dari KH.
Muhammad Fadil, kepala penghulu kasultanan Yogyakarta. Siti Walidah masih
saudara sepupu Muhammad Darwis.
Beberapa bulan setelah pernikahannya, atas anjuran kedua orang tuanya,
Muhammad Darwis pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji2. Ia sampai
di Mekkah pada bulan Rajab tahun 1308 H (1890 M). Setelah menunaikan umrah
ia bersilaturrahim dengan para ulama Indonesia maupun Arab. Di sana ia sambil
menimba ilmu antara lain kepada KH. Mahfud Tremas, KH. Nahrawi Banyumas,
KH. Muhammad Nawawi Banten dan kepada beberapa ulama Arab di Masjidil
Haram. Ia juga mengunjungi ulama mazhab Syafi’i Bakri Syata’ dan mendapat
ijazah nama Haji Ahmad Dakhlan. Setelah musim haji selesai ia pulang, dan tiba
di Yogya pada minggu pertama bulan Safar tahun 1309 (1891 M). Ia lalu
2
Menurut Febriansyah, (t.th: 1), KH. Ahmad Dakhlan menikah setelah beberapa lama kepulangan beliau
dari naik haji yang pertama, bukan menikah dahulu baru pergi haji.
membantu ayahnya mengajar para santri remaja. Lalu dipercaya juga mengajar
santri dewasa dan tua sehingga mendapat gelar KH. Ahmad Dakhlan.
Pada tahun 1896 M, KH. Abu Bakar wafat. Jabatan khatib masjid besar
kesultanan Yogyakarta dilimpahkan kepada KH.A. Dakhlan oleh pihak
kesultanan. Gelar yang disandang olehnya adalah Khatib Amin, dengan tugas
sebagai berikut:
1. Khutbah Jumat
2. Piket di serambi masjid seminggu sekali
3. Menjadi anggota Raad Agama Islam Hukum Keraton
Semua tugas di atas dilaksanakan sebaik-baiknya terutama tugas piket di
serambi masjid berupa memberikan ceramah pengajian, demi menyalurkan dan
mengembangkan ilmunya.
Usaha pembaharuan Islam dilaksanakan mula-mula menyangkut
pembetulan arah kiblat. Pada waktu itu arah kiblat masjid belum pas mengarah ke
Masjidil Haram, Mekkah. KH. Ahmad Dakhlan berusaha menerangkan arah
kiblat yang benar pada awalnya kepada beberapa ulama terbatas yang telah
sepaham di sekitar Kauman. Usaha ini memakan waktu hampir setahun lamanya.
Kemudian ada kesepakatan akan mengundang 17 ulama dari dalam dan luar kota
Yogyakarta bertempat di surau KH. A.Dakhlan. Para peserta disuruh membawa
kitab tentang arah kiblat. Musyawarah berlangsung pada suatu malam di tahun
1898 berakhir saat waktu azan Shubuh tiba. Meskipun pertemuan itu tidak
menghasilkan kesepakatan pendapat namun dianggap sudah ada kemajuan, karena
musyawarah berlangsung dengan baik dan sopan.
Beberapa hari setelah itu ketika hendak melaksankan shalat Dluhur di
masjid besar Kauman para jama’ah dikejutkan oleh adanya tiga buah garis shaf
berwarna putih setebal 5 cm melintas di depan pengimaman dengan mengarah ke
kiblat yang sebenarnya. Setelah shalat para petugas hari itu (khatib, mua’zin dan
marbot) dan dua orang jama’ah melaporkan kejadian itu ke Kanjeng Kyai
Penghulu H.Muh. Khalil Kamaluddiningrat. Dia marah besar dan menyuruh
mereka mencari pelakunya. Sementara dia sendiri memanggil Khatib Amin.
Pada tahun 1898 KH. Ahmad Dakhlan merenovasi dan memperluas mushala
peninggalan ayahnya dan sekaligus dihadapkan ke arah kiblat. Namun menjelang
bulan Ramadlan datanglah utusan Penghulu KH. Muhammad Khalil
Kamaluddiningrat yang menyampaikan pesan agar hari itu juga Khatib Amin
membongkar mushalla yang arahnya berbeda dengan arah masjid besar. Ia
tertegun sejenak. Setelah membaca istirja dan hauqalah, ia menjawab agar
disampaikan kepada Kyai Penghulu bahwa Khatib Amin tidak bisa melaksanakan
perintahnya itu. Mendengar hal itu Kyai Penghulu marah besar karena merasa
dilecehkan oleh bawahannya. Ia menyuruh kepada utusannya untuk kembali,
dengan penegasan bahwa jika Khatib Amin tetap membangkang, mushalanya
akan dirobohkan oleh pemerintah kawedanan setelah shalat Tarawih malam
harinya. Ancaman itu ternyata benar-benar dilaksanakan. Sepuluh orang kuli
datang dengan berbagai peralatan lalu segera meruntuhkan mushala dan baru
selesai pada pukul 01.30 malam itu. Khatib Amin sendiri sejak dini hari
meninggalkan rumah karena tidak tega menyaksikan mushalanya dibongkar. Dan
baru pulang setelah fajar menyingsing. Ia putus asa. Ia berniat meninggalkan
Yogyakarta, namun segera dicegah oleh kakaknya yaitu Kyai dan Nyai Haji
Saleh. Di atas puing mushala tersebut segera dibangun lagi mushala baru
menghadap ke barat lurus, dan diberi garis shaf mengarah ke kiblat.
Selama tiga tahun setelah peristiwa tersebut Khatib Amin tetap menekuni
pekerjaan dinasnya maupun mengajar murid-muridnya di suraunya. Lama
kelamaan dirasa bahwa persendian ilmunya masih kurang. Teringatlah dia akan
gurunya di Mekkah. Maka pada tahun 1903 dia berangkat ke Tanah Suci di
samping untuk menunaikan ibadah haji juga untuk menambah ilmu dengan
belajar pada gurunya di sana hingga bermukim selama hampir dua tahun. Dia
melakukan studi lanjut tentang beberapa cabang ilmu kepada guru-gurunya saat
menunaikan haji pertama dahulu juga kepada beberapa ulama lain. Di sana ia
belajar beberapa cabang ilmu sebagai berikut (1) ilmu fikih kepada Syekh Saleh
Bafedal, Syekh Said Yamani, dan Syekh Sa’id Bagusyel; (2) ilmu hadits kepada
Mufti Syafi’I; (3) ilmu Falak kepada Syekh Asy’ari Ali Misri Mekkah. Selain itu
dia juga bersahabat karib dengan para ulama Indonesia yang telah lama bermukim
di sana seperti Syekh Ahmad Khatib (Minangkabau), Kyai Nawawi (Banten),
Kyai Mas Abdullah (Surabaya), Kyai Fakih (Maskumambang). Berbagai masalah
sosial keagamaan yang dialami di tanah air dijadikan topik diskusi dengan
mereka.
Sepulang haji yang kedua dia membangun pondok untuk menampung
murid-muridnya yang berasal dari luar kota Yogyakarta. Diantara materi
pengkajian yang diistimewakan untuk diperdalam adalah ilmu falak, tauhid dan
tafsir dari Mesir.
Menilik buku yang ditinggalkannya dapat dipastikan bahwa bacaan beliau
setelah haji yang kedua dan seterusnya adalah karya tulis karya pendukung ide
pembaharuan Islam, diantaranya adalah (1) karya Muhammad Abduh : Risalah
Tauhid, Tafsir Juz ‘Ama dan Al-Islam wan Nasraniyah; (2) Karya Ibnu
Taymiyah: Al-Tawasul wal Wasilah; (3) Karya Rasid Ridla: Tafsir Al-Manar; (4)
Karya Farid Wajdi: Dairatul Ma’arif; (5) karya Rahmatullah al-Hindi: Izharul
Haq; (6) karya Ataillah: Matan Al-Hikam; (7) karya Mazhab Hanbali: Kitab-kitab
Hadits; (8) Majalah al-Urwatul Wutsqa dan Al-Manar.
Memperluas Wawasan
Pekerjaan KH. Ahmad Dakhlan di masjid besar Kauman tidak banyak
menyita waktu. Giliran khutbahnya setiap dua bulan sekali, dan piketnya di
serambi masjid hanya seminggu sekali. Maka beliau berdagang batik di beberapa
kota di Jawa. Di dalam perjalanan dagangnya itulah selalu beliau gunakan untuk
bersilaturrahmi pada para ulama setempat guna mendiskusikan tentang persoalan
agama dan umat, dengan maksud untuk mempelajari sebab musabab kemunduran
umat islam dan bagaimana mengatasinya, sementara misi Kristen (baik Katolik
maupun Kristen) telah mengadakan sekolah-sekolah Met de Bijbel.
Pada tahun 1909 KH. Ahmad Dakhlan bertamu ke rumah Dr. Wahidin
Sudiro Husodo di Ketandan Yogyakarta. Ia menanyakan berbagai hal tentang
perkumpulan Budi Oetomo dan tujuannya. Setelah dilihatnya bahwa BO sejalan
dengan cita-citanya maka ia menyatakan ingin menjadi anggota. Maka BO
Cabang Yogyakarta bulat menerimanya bahkan dipasang sebagai pengurus.
Tujuan beliau masuk ke organisasi ini adalah untuk mempelajari organisasi. Di
BO beliau selalu diminta untuk mengisi santapan rokhani di setiap akhir
pertemuan dan beliau bisa memuaskan semua pihak.
Kegiatan mempelajari organisasi juga dilakukannya dengan masuk menjadi
anggota Jami’atul Khair Jakarta. Yang menarik dari organisasi terakhir ini adalah
di samping membangun sekolah-sekolah agama dan bahasa Arab, bergerak dalam
bidang sosial juga giat membina hubungan dengan para pemimpin di Negara-
negara Islam yang telah maju. Di samping itu Jami’atul Khair juga merupakan
organisasi Islam pertama yang bercorak modern (beranggaran dasar, daftar
anggota yang tercatat, rapat secara berkala) dan mendirikan sekolah-sekolah Islam
yang relatif modern.
Dari pengalaman itu beliau menyadari bahwa usaha memperbaiki kondisi
suatu masyarakat akan sulit dilakukan manakala dilakukan sendirian. Jadi harus
dilakukan secara bekerja sama dengan orang banyak.
Adapun kiprahnya dalam bidang pendidikan diawali dari suatu peristiwa
yaitu setelah memberi santapan rokhani dalam rapat Budi Oetomo beliau
menyampaikan keinginannya memberikan pelajaran agama Islam kepada siswa
Kweekschool Gubernamen Jetis yang dikepalai oleh R. Boedihardjo, salah
seorang pengurus BO. Keinginannya disetujui dengan syarat dilakukan di luar
jam pelajaran. Akhirnya programnya dilaksanakan pada setiap hari Sabtu sore.
Karena metode pengajarannya menarik, antara lain dengan metode ceramah,
ilmiah dan tanya jawab, maka jumlah pesertanya makin hari makin banyak.
Bahkan diantara pesertanya ada yang meminta jam tambahan setiap hari Ahad di
kediaman beliau.
Setelah mengajar di Kweekschool selama setahun dan wawancara dengan
semua guru piket yang menunggui pelajaran jam agama beliau tentang seluk
beluk penyelenggaraan sekolah, maka terdoronglah beliau untuk memiliki sekolah
sendiri yng mengajarkan pelajaran umum dan agama seklaigus. Maka dengan
peralatan meja-kursi seadanya yang ditempatkan di ruang tamu berukuran 2,5 x 6
m di rumah, beliau mulai mencari murid. Pada mulanya mendapat delapan orang,
lalu setiap bulan bertambah dan pada bulan keenam jumlah muridnya menjadi 20
orang. Beliau sendiri mengajar pelajaran agama di pagi hari dan untuk
mengajarkan pelajaran umum dicarilah guru dari BO cabang Yogyakarta. Setelah
mendapat bantuan guru umum, sekolah masuk siang yaitu pukul 14 s/d 16. Sejak
itu muridnya terus bertambah hingga kelasnya perlu dipindah ke serambi rumah
yang lebih luas. Sekolah itu diresmikan pada tanggal 1 Desember 1911 dengan
nama Sekolah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. (Pasha dan Darban, 2003)
E. Berdirinya Muhammadiyah
Di antara siswa Kweekschool Jetis yang setiap hari Ahad pagi mengikuti
pengajian di rumah beliau, setelah mengetahui bahwa beliau menyelenggarakan
pendidikan yang mengajarkan ilmu agama dan umum, ada beberapa yang tertarik
sekali atas usaha tesebut. Mereka menyarankan agar penyelenggaraan pendidikan
ditangani oleh suatu organisasi sehingga sepeninggal beliau kelak ada yang
menopang eksistensinya.
Beliau lalu merenungkan bentuk organisasinya, mendiskusikannya dengan
para santrinya yang dewasa dan menanyakan kesediaan mereka menjadi pengurus
dan dijawab bahwa mereka menyatakan kesediaannya.
Sebenarnya mengenai pendirian sekolah itu telah dibicarakan dan dibantu
oleh penguurs BO termasuk guru-guru dan kepala sekolahnya. Mereka
mengatakan bahwa sekolah sudah berjalan teratur, administrasi tertata rapi, maka
tinggal dimintakan pengesahan berdirinya kepada pemerintah Hindia Belanda dan
BO siap untuk membantu mengurusnya. Demikian juga untuk organisasi
pendukung sekolah itu, para pengurus BO menyarankan agar dirumuskan apa
namanya, apa maksud-tujuannya, calon pengurusnya adalah orang dewasa,
mengajukan surat permohonan kepada BO agar menguruskan pendiriannya, di
mana surat permohonan itu didukung oleh sedikitnya tujuh anggota BO, maka BO
siap untuk membantu mengurus pendiriannya. Dan untuk memenuhi syarat
tersebut sebanyak enam orang santri KH. Ahmad Dakhlan menjadi pengurus BO
dan menyatakan mendukung usulan Kyai pada BO agar BO menguruskan
berdirinya organisasi dimaksud.
Lalu dipilihlah nama Muhammadiyah, dengan harapan para anggotanya
dapat hidup beragama dan bermasyarakat sesuai sesuai dengan pribadi Nabi
Muhammad SAW.
Untuk menyusun Anggaran Dasar Muhammadiyah banyak mendapat
bantaun dari R. Sosrosugondo, seorang guru bahasa Melayu Kweekschool Jetis,
yang sejak tahun 1890 telah berhubungan dengan KH. A. Dakhlan. Rumusannya
dibuat dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu.
Muhammadiyah berdiri resmi pada tanggal 8 Zulhijjah 1330 H. proses
pengajuan kepada kepala pemerintahan sebagai sebuah badan hukum diusahakan
oleh BO Cabang Yogyakarta. Pada tanggal 20 Desember 1912 diajukanlah surat
permohonan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda agar persyarikatan ini
diberi izin resmi dan diakui sebagai badan hukum. Surat permohonan tersebut
dilampiri statuten atau Anggaran Dasar. Sasaran atau wilayah geraknya meliputi
penduduk pribumi di Jawa dan Madura.
Surat permohonan berdirinya Muhammadiyah ditanggapi oleh pemerintah
Hindia Belanda bahwa sebagai organisasi baru dilihatnya terlalu luas kalau
wilayah geraknya meliputi penduduk pribumi di Jawa dan Madura.
Surat permohonan berdirinya Muhammadiyah ditanggapi oleh pemerintah
Hindia Belanda bahwa sebagai organisasi baru dilihatnya terlalu luas kalau
wilayah geraknya meliputi Jawa dan Madura. Maka Gubernur Jenderal mengirim
surat permintaan pertimbangan kepada Direktur Van Justitie, Adveseur Voor
Inlandsche Zaken, Residen Yogyakarta dan Sri Sultan Hamengkubuwono VI.
Surat untuk Sri Sultan diteruskan kepada Pepatih Dalem Sri Sultan. Oleh
Pepatih Dalem kemudian diserahkan kepada Hoofd Penghulu, karena menyangkut
urusan agama. Oleh Hoofd Penghulu surat itu dibahas dalam rapat siding Raad
Agama Hukum Dalem Sri Sultan. Sedari awal Hoofd Penghulu bersikap sinis atas
usulan berdirinya Muhammadiyah karena factor KH. Ahmad Dakhlan dan juga
karena salah paham dalam memahami istilah Presiden (ketua) Muhammadiyah
yaitu KH.A.Dakhlan, dikiranya sama artinya dengan Residen. (kalau masyarakat
Kauman di bawah ‘Residen’ A. Dakhlan tentu akan menentang Hoofd Penghulu,
pikirnya). Setelah diketahui ada kesalahpahaman maka Hoofd Penghulu dipanggil
dan diberi penjelasan. Setelah faham maka Hoofd Penghulu menyetujui
berdirinya Muhammadiyah dengan catatan wilayah operasionalnya meliputi
Residensi Yogyakarta saja. Surat pertimbangan setuju dikirim ke Sri Sultan.
Residen Yogyakarta menyetujui permohonan Muhammadiyah dengan
catatan wilayah jangkauannya hanya Residensi Yogyakarta. Hal itu diketahui dari
surat yang dikirimkannya kepada Gubernur Jenderal tertanggal 21 April 1913.
Demikian juga saran Rinkes, Advesuer Voor Inlandsche Zaken, sebagaimana
dituangkan dalam suratnya tertanggal 26 Januari 1914, malahan dengan memberi
peluang, jika kelak muncul cabang-cabang baru di luar Yogyakarta agar
mengajukan surat permohonan kembali. Direktur Van Justitie dalam laporannya
tertanggal 19 Maret 1914 juga memberi pertimbangan senada.
Gubernur Jenderal Idenburg, setelah menerima semua saran dan
pertimbangan tadi, meminta kepada Hoofdbestuur Muhammadiyah agar
mengubah kata-kata Jawa dan Madura menjadi Residensi Yogyakarta. Oleh pihak
Muhammadiyah permintaan itu diterima melalui rapat anggota tertanggal 15 Juni
1914. Setelah berproses selama 20 bulan akhirnya pemerintah Hindia Belanda
mengakui Muhammadiyah sebagai badan hukum, tertuang dalam beslitnya no.21
tertanggal 22 Agustus 1914.
F. Definisi Muhammadiyah
Definisi Muhammadiyah dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi bahasa
(etimologi) dan segi istilah (terminologi).
1. Arti Bahasa (etimologi)
Muhammadiyah berasal dari bahasa Arab; محم ِدية.“ ” محمدyaitu nama nabi
dan Rasul Allah yang terakhir, dan mendapat tambahan ya nisbah “ ”يةyang
berfungsi untuk membangsakan atau menjeniskan, sehingga artinya adalah umat
atau pengikut. Jadi Muhammadiyah berarti umat atau pengikut Muhammad SAW.
Dari segi bahasa, semua orang yang mengakui Muhammad SAW sebagai nabi
dan rasul Allah dan bersedia menjadi pengikutnya pada hakekatnya disebut orang
Muhammadiyah.
2. Arti Istilah (terminologi)
Muhammadiyah adalah gerakan Islam dakwah amar ma’ruf nahi munkar,
berakidah Islam dan bersumberkan al-Quran dan Sunnah Shahihah, didirikan oleh
KH.A. Dakhlan pada tanggal 8 Zulhijjah 1330 H bertepatan dengan tanggal 18
Nopember 1912 M di Yogyakarta.
Gerakan ini diberi nama Muhammadiyah oleh pendirinya dengan maksud
bertafaul (berharap) agar para anggotanya dapat mencontoh segala perbuatan
Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan mereka sehari-sehari.