Anda di halaman 1dari 14

Perjuangan KH Ahmad Dahlan Melawan Boedi Oetomo

Kampung Kauman, Yogyakarta, pada masa lalu dikenal sebagai basis santri, ulama,
dan kaum ningrat. Masyarakatnya dikenal religius dan santun.
Kata Kauman, menurut sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Adaby Darban,
berarti Tempat Para Penegak Agama.
Di kampung ini berkumpul para ulama, penghulu keraton dan para ketib masjid.
Keberadaan Masjid Gede Kauman yang didirikan pada 1773 menjadi bukti sejarah
identitas Kauman hingga kini.
Kampung Kauman pada masa lalu juga memiliki hubungan yang erat dengan
kampung-kampung lain yang menjadi basis para santri di Jawa Tengah dan Jawa
Timur.
Di Kampung Kauman inilah, Muhammad Darwis bin KH Abu Bakar bin KH Sulaiman
dilahirkan. Muhammad Darwis yang belakangan berganti nama menjadi KH Ahmad
Dahlan dilahirkan pada tahun 1868.
Garis keturunannya adalah para ulama di lingkungan keraton. Ayahnya seorang
khatib di Masjid Agung Kesultanan Yogyakarta. Sedangkan ibunya, Siti Aminah,
adalah putri dari seorang penghulu Kesultanan Yogyakarta. Silsilah keluarga Dahlan
sendiri sampai kepada Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) yang juga dikenal
sebagai salah satu dari sembilan wali.
Sebagai anak yang lahir di lingkungan ulama dan keraton, maka pada usia 23
tahun, Dahlan muda sudah menunaikan ibadah haji ke Makkah. Ia berangkat ke
Tanah Suci, bahkan sambil menimba ilmu di sana.
Di Makkah Al-Mukarramah inilah ia banyak membaca kitab, terutama kitab-kitab
yang ditulis oleh para ulama pembaru yang kemudian dikenal sebagai penggerak
harakah at-tajdid (gerakan pembaruan).
Di Makkah Al-Mukarramah pula, Ahmad Dahlan berkenalan dengan ide-ide PanIslamisme yang saat itu marak diperbincangkan, karena upaya dominasi KristenBarat yang berusaha menguasai negeri-negeri Islam, khususnya pasca jatuhnya
Khilafah Utsmaniyah di Turki.
Karenanya, Ahmad Dahlan ketika itu banyak bersentuhan dengan tulisan-tulisan
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, dan Jamaluddin Al-Afghani.
Bahkan, Ahmad Dahlan pula yang membawa Majalah Al-Urawatul Wutsqa dan AlManar yang ia selundupkan lewat perjalanan via kapal yang merapat di Pelabuhan
Tuban, Jawa Timur.

Pemikiran-pemikiran dalam majalah-majalah dan buku bacaan yang dibawa Kiai


Dahlan dari Timur Tengah itulah yang kemudian banyak mempengaruhi
pemikirannya terutama dalam bidang tajdid (pembaruan), sehingga
Muhammadiyah yang dibidani oleh Kiai Dahlan disebut sebagai Harakah at-Tajdid
(Gerakan Pembaruan).
Pada saat itu, bacaan-bacaan dari Timur Tengah dilarang, karena dianggap oleh
Belanda membawa ajaran Pan-Islamisme yang menyuarakan penentangannya
terhadap penjajahan di negara-negara Muslim.
Dalam pertemuan tahunan ibadah haji di Tanah Makkah, tokoh-tokoh Islam dari
berbagai belahan dunia, termasuk dari Nusantara, membincangkan upaya untuk
menyelamatkan negeri-negeri Muslim dari kolonialisme negara-negara kafir. Kiai
Ahmad Dahlan terlibat dalam ide-ide itu selama mukim di Makkah.
J. Vredebregt dalam tulisan berjudul The Hadji seperti dikutip W. Poespoprodjo
menyatakan bahwa kontak langsung dengan Arabia mengalirkan pemikiranpemikiran ke Indonesia. Udara Asia Barat (Timur Tengah) menghembuskan sikapsikap baru pada orang Jawa, yakni sebutan bagi orang-orang Nusantara yang
melaksanakan ibadah haji.
Arabia tak hanya menjadi tempat berkumpul dan bersatunya umat Islam yang naik
haji pada masa itu, tetapi tempat berkumpulnya para ahli-ahli politik dari berbagai
dunia Islam, untuk saling bertemu dan berembuk soal politik dan rencana-rencana
mereka.
Di Makkah juga mereka mengadakan konsultasi dan saling meminta nasihat,
kemudian pulang dengan semangat baru untuk melawan penjajahan yang dilakukan
para penjajah Kristen.
Kontak langsung dengan Arabia melalui pertemuan dalam ibadah haji di Makkah
menimbulkan ketakutan tersendiri bagi penjajah terhadap munculnya fanatisme
yang digerakkan lewat usaha-usaha membangun persaudaraan Muslim dunia.
Karena itu, usaha menghalang-halangi orang pribumi untuk melaksanakan ibadah
haji dilakukan lewat Ordonansi Haji (Peraturan Haji). Larangan berhaji juga
diberlakukan untuk para Pangreh Pradja, Sultan, regent, dan elit-elit penguasa lokal
lainnya.
Karenanya, tak heran jika elit-elit di Jawa pada masa lalu, terutama mereka yang
berasal dari keraton dan priayi yang menjadi kepanjangan tangan kolonial, tak ada
yang melaksanakan ibadah haji.

Sepulang dari Makkah, KH Ahmad Dahlan bergabung dalam organisasi Boedi


Oetomo pada 1909. Namun keberadaanya dalam organisasi yang berada dalam
pengaruh kuat Gerakan Freemason ini tak lama.
Kiai Dahlan melihat Boedi Oetomo tak mempunyai kepedulian terhadap Islam. Para
aktivisnya ketika itu lebih kental mengamalkan kebatinan, dibandingkan
menjalankan ajaran-ajaran Islam.
Sejak awal berdiri, Boedi Oetomo sudah didekati oleh kelompok Freemason, yang
pada masa lalu disebut oleh orang Jawa sebagai Gerakan Kemasonan. Ketua
pertama Boedi Oetomo, Raden Mas Tirtokoesoemo, adalah seorang Mason, begitu
pun ketua-ketua selanjutnya.
Selama di Boedi Oetomo, Kiai Dahlan pernah berupaya mengadakan pengajian
keislaman, namun usaha itu ditolak oleh para anggota lainnya yang kebanyakan
para penganut kejawen.
Kiai Dahlan juga gencar melakukan dakwah kepada tokoh-tokoh lain di kalangan
Kemasonan dan Kristen, seperti Dirk van Hinloopen Labberton (Tokoh TheosofiFreemasonry) dan Van Lith (Tokoh Katolik Serikat Jesuit), juga dikalangan elit
keraton Jawa seperti Ki Ageng Soerjomentaram.
Pada masa itu, kelompok kebatinan-kejawen dan sekular seperti para aktivis Boedi
Oetomo memang seringkali menyerang ajaran-ajaran Islam. Bahkan, pelecehan
terhadap ajaran Islam dilakukan secara terbuka lewat rapat-rapat umum (openbare)
dan media massa.
Inilah yang juga menjadi keprihatinan Kiai Dahlan, sehingga ketika ramai-ramainya
Nabi kaum Muslimin dihina oleh kelompok tersebut, KH Ahmad Dahlan bersama
para tokoh Islam lainnya terlibat dalam organisasi Tentara Kandjeng Nabi
Muhammad yang bertujuan membela kemurnian Islam.
Sebagai seorang Muslim yang berilmu, KH Ahmad Dahlan pada waktu itu sangat
prihatin dengan maraknya sekolah-sekolah netral (neutrale school) yang bercorak
netral agama dan mendapat dukungan pemerintah kolonial Belanda.
Selain itu, ia juga prihatin dengan menjamurnya sekolah-sekolah yang dikelola oleh
misi Kristen dan kelompok Freemasonry. Ia khawatir, banyak anak-anak Muslim
yang masuk dalam sekolah tersebut sehingga rusak akidahnya. Ia juga miris
dengan banyaknya kaum Muslimin yang masih hidup dalam kekurangan, sehingga
hanya berpikir bagaimana bisa makan, tanpa memikirkan pendidikan dan masa
depan.
Keprihatinan KH Ahmad Dahlan terekam dalam penelitian yang dilakukan oleh

sejarawan senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Abdurrachman


Surjomihardjo dalam buku Kota Yogyakarta Tempoe Doeloe.
Dalam buku ini, dijelaskan keprihatinan KH Ahmad Dahlan dengan tumbuh suburnya
pendidikan netral bercorak barat, yang dikelola oleh Gerakan Kemasonan.
Selain itu, ia juga prihatin dengan maraknya sekolah-sekolah Kristen yang
mendapat subsidi pemerintah Belanda, yang kerap melakukan upaya kristenisasi.
Semua sekolah-sekolah ini, selain mendapat dukungan pemerintah kolonial, juga
mendapat dukungan elit pemerintahan setempat yang kebanyakan sudah berada
dalam pengaruh Gerakan Kemasonan (Freemasonry).
Dukungan pemerintah kolonial terhadap sekolah-sekolah milik Gerakan Kemasonan
dan Kristen adalah upaya untuk mendirikan sekolah pribumi yang mampu bersaing
dengan pesantren yang menjadi basis pendidikan umat Islam.
Tujuan pendidikan netral yang didirikan oleh Gerakan Kemasonan dan menjamurnya
sekolah-sekolah Kristen tak lain adalah upaya mematikan peran pesantren.
Pendidikan netral bertujuan menumbuhkan jiwa loyalitas masyarakat pribumi
terhadap pemerintah kolonial atau mengubah anak-anak elit Jawa menjadi
bangsawan holland denken (bangsawan yang berorientasi kebelandaan).
Karena itu, untuk mendapatkan kaki tangan yang setia bagi pemerintah kolonial
dalam bidang pemerintahan dan jaksa, dibuatlah sekolah pamong praja, Opleiding
School voor Indische Ambtenaren (OSVIA).
Karena prihatin dengan sekolah-sekolah yang membawa misi anti-Islam itu, KH
Ahmad Dahlan kemudian mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah pada 18
November 1912, yang secara tegas menonjolkan identitas keislamannya.
Muhammadiyah mempunyai tujuan: Pertama, Menjabarkan pengadjaran Igama
Kandjeng Nabi Muhammad sallallahu Alaihi Wasallam kepada pendoedoek
boemipoetra di dalam residentie Djokjakarta. Kedua, Memadjukan hal Igama
anggauta-anggautanya.
Sebab-sebab berdirinya Muhammadiyah selain faktor internal, yaitu umat Islam
tidak lagi memegang teguh tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam dan merajalelanya kemusyrikan, juga disebabkan faktor eksternal, yaitu
kesadaran akan bahaya yang mengancam akidah umat Islam yang disebabkan oleh
upaya Kristenisasi yang marak saat itu.
Faktor eksternal lainnya adalah, merebaknya kebencian di kalangan intelektual saat
itu yang menganggap Islam sebagai ajaran kolot, tidak sesuai zaman. Dan yang

terpenting dari sebab berdirinya Muhammadiyah adalah upaya untuk membentuk


masyarakat dimana di dalamnya benar-benar berlaku ajaran dan hukum Islam.
Dengan berdirinya Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan dan beberapa aktivis Islam
lainnya berusaha melakukan dakwah dalam bidang pengajaran dan membendung
usaha-usaha Kristenisasi yang didukung oleh pemerintah kolonial lewat kebijakan
Kerstening Politiek (Politik Kristensiasi) yang dimulai pada tahun 1910 oleh
kelompok konservatif di Nederland dan dilaksanakan oleh Gubernur Jenderal A.W.F
Idenburg.
Di antara kebijakan Kerstening Politiek adalah dikeluarkannya Sirkuler Minggu dan
Sirkuler Pasar oleh Gubernur Jenderal pada 1910. SirkulerMinggu menegaskan
bahwa tidak patut mengadakan perayaan kenegaraan pada hari Minggu. Kegiatan
pemerintahan pada hari Minggu diliburkan. Sirkuler Pasar melarang diadakannya
hari pasaran pada hari Minggu.
Kebijakan ini berlanjut sampai hari ini, sehingga di Indonesia yang mayoritas
Muslim, hari liburnya itu Minggu, bukan hari Jumat. Inilah di antara keberhasilan
Politik Kristenisasi.
Kiprah KH Ahmad Dahlan dalam membendung arus Kristenisasi dan Gerakan
Freemasonry juga dijelaskan oleh Dr. Alwi Shihab dalam disertasinya yang kemudian
dibukukan dan diberi judul Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah
Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia.
Alwi menjelaskan, bahwa Freemasonry di Indonesia digerakkan oleh orang-orang
Kristen yang sadar diri dan sangat peduli terhadap penyebaran Injil. Mereka
melakukan upaya Kristenisasi, termasuk tentu saja mempropagandakan ajaranajaran Freemasonry.
Alwi Shihab memaparkan, Lembaga ini (Freemason, pen) telah berhasil menggaet
berbagai kalangan Indonesia terkemuka, dan dengan demikianmempengaruhi
berbagai pemikiran berbagai segmen masyarakat lapisan atas Merasakan bahwa
perkembangan Freemasonry dan penyebaran Kristen saling mendukung, kaum
Muslim mulai merasakan munculnya bahaya yang dihadapi Islam Dalam
upayanya menjaga dan memperkuat iman Islam di kalangan Muslim Jawa, (Ahmad)
Dahlan bersama-sama kawan seperjuangannya mencari jalan keluar dari kondisi
yang sangat sulit ini. Untuk menjawab tantangan ini, lahirlah gagasan mendirikan
Muhammadiyah. Dari sini, berdirinya Muhammadiyah tidak bisa dipisahkan dari
keberadaan dan perkembangan pesat Freemasonry.
Selain jawaban terhadap upaya Gerakan Kemasonan dan Kerstening Politik,
berdirinya Muhammadiyah juga sebagai respon dari berbagai pelecehan terhadap
Islam yang dilakukan oleh para aktivis kebangsaan yang tergabung dalam Boedi

Oetomo.
Dengan bahasa sindiran, Muhammadiyah menyatakan, Jika agama berada di luar
Boedi Oetomo, maka sebaliknya Politik berada di luar Muhammadiyah. Demikian
khittah perjuangan Muhammadiyah pada awal-awal berdirinya.
Begitulah kiprah perjuangan KH Ahmad Dahlan dalam membendung Kristenisasi
dan Freemasonry di Indonesia, dengan mendirikan lembaga pendidikan yang
bercorak Islam.
Sudah sepatutnya, generasi pewaris perjuangan KH Ahmad Dahlan saat ini, yang
menjadi kader Persyarikatan Muhammadiyah, meniru ketegasan ulama tersebut,
terutama dalam mencegah upaya-upaya kelompok yang merusak akidah!

Snouck Hurgronje Arsitek Politik Islam Hindia Belanda


Dalam posting yang lalu tentang Politik Islam Hindia Belanda, telah ditulis
beberapa dasar pemikiran tentang kebijakan-kebijakan politik dari pemerintahan
Hindia Belanda terhadap umat Islam yang dikenal dengan politik Islam Hindia
Belanda. Berikut kita kupas kembali tentang kebijakan-kebijakan tersebut dan aktor
dibalik keluarnya kebijakan-kebijakan itu.

Siapa Snouck Hurgronje ?

Prof. Dr. Snouck Hurgronje (1857-1936) selama ini


merupakan tokoh yang sangat kontroversial. Disanjung dipuja sebagai sarjana Islam
yang cemerlang, tetapi juga dicaci maki sebagai seorang ahli muslihat yang hendak
menghancurkan Islam dari dalam dengan pura-pura masuk Islam. Betapapun diakui
oleh semua pihak bahwa pemerintah Belanda baru mempunyai garis kebijaksanaan
tentang Islam didaerah jajahannya yang bernama Hindia Belanda (Indonesia)
setelah Snouck Hurgronje menjadi penasehat pemerintah dalam hal-hal yang
berkaitan dengan Islam.
Christiaan Snouck Hurgronje , lahir pada 8 Februari 1857, di Oosterhout, dari
pasangan pendeta J.J. Snouck Hurgronje dan Anna Maria de Visser. Christiaan adalah
nama kakeknya sehingga namanya adalah gabungan nama kakeknya dan
bapaknya. Ia mengawali pendidikan dasar (lagere school) di tempat kelahirannya,
Oosterhout. Kemudian ia melanjutkan ke Hogere Burgerschool (HBS) di Breda.
Setelah selesai di HBS, ia melanjutkan ke Universitas Leiden, dan menyelesaikan
Sarjana Muda bidang teologi pada tahun 1878.
Setelah menyelesaikan Sarjana Muda dibidang teologi, Snouck Hurgronje
mengalihkan studinya ke ilmu Sastera Samiyah dengan spesialisasi bahasa Arab
dan Islam. Ia mengakhiri studinya dalam bidang itu pada tanggal 24 November
1880 dengan yudicium cum laude dan menjadi Doktor dalam bidang ilmu tersebut
berdasarkan sebuah disertasi yang berjudul Het Mekkaansche feest.
Di sini, ada satu hal yang menarik untuk dicermati, yaitu pengalihan bidang studi
Snouck Hurgronje dari ilmu teologi ke ilmu Sastera Samiyah. Peralihan ini
menunjukkan adanya perkembangan pemikiran pada diri Snouck Hurgronje. Namun,
perkembangan itu bukan disebabkan oleh perpecahannya dengan kekristenan,
melainkan agaknya disebabkan oleh perkembangan teologi Kristen pada Universitas
Leiden ketika itu. Perkembangan inilah yang menentukan gagasan-gagasannya
tentang Islam dan politik kolonial Belanda di kemudian hari.

Misi politik Islam Snouck Hurgronje diawali pada tahun 1884, ketika ia pergi ke
Mekkah untuk memperoleh pengetahuan praktis Bahasa Arab dan mempelajari
kehidupan Islam di kota pusatnya. Di pusat kota Muslim ini, ia meneliti pengaruh
Mekkah terhadap dunia Islam lainnya, terutama Hindia Belanda. Dalam salah satu
suratnya kepada Th. Noldeke (1-8-1885), ia menyatakan tujuan utamanya pergi ke
Mekkah adalah menelaah kehidupan Islam dengan mengamati cara berpikir, cara
berbuat, dan perilaku kaum ulama dan bukan ulama di pusat kehidupan Muslimin.
Saat tinggal di Jedah, ia berkenalan dengan dua orang Indonesia yaitu Raden Abu
Bakar Jayadiningrat dan Haji Hasan Musthafa. Dari keduanya Snouck belajar bahasa
Melayu dan mulai bergaul dengan para haji jemaah Dari Indonesia untuk
mendapatkan informasi yang ia butuhkan.
Pada saat itu pula, ia menyatakan ke-Islam-annya dan mengucapkan Syahadat di
depan khalayak dengan memakai nama Abdul Ghaffar. Seorang Indonesia
berkirim surat kepada Snouck yang isinya menyebutkan Karena Anda telah
menyatakan masuk Islam di hadapan orang banyak, dan ulama- ulama Mekah telah
mengakui keIslaman Anda. Seluruh aktivitas Snouck selama di Saudi tercatat
dalam dokumen-dokumen di Universitas Leiden, Belanda.
Ada cerita bahwa H Hasan Mustapa-lah yang mengislamkan Snouck Hurgronje. Tapi
cerita yang lebih dapat diterima mestinya Aboebakar Djajadiningratlahpaman
Pangeran Ahmad Djajadiningrat dan Prof Dr Hoesein Djajadiningratyang
mengislamkannya atau yang mengatur pengislamannya.
Pada waktu itu, Aboebakar Djajadiningrat bekerja di Kantor Konsulat Belanda di
Jeddah. Dialah yang banyak memberikan bahan-bahan tentang Mekkah sehingga
Snouck Hurgronje berhasil menulis bukunya Mekka dalam bahasa Jerman dua jilid
yang dipuji banyak orangdan Snouck samasekali tidak menyebut Aboebakar
Djajadiningrat sebagai sumbernya.
Mestinya Snouck lebih dahulu berkenalan dengan Aboebakar Djajadiningrat
daripada dengan H Hasan Mustapa yang ditemuinya di Jeddah daripada H Hasan
Mustapa yang mungkin baru ditemuinya ketika dia ke Mekkahbeberapa lama
setelah tinggal di Jeddah.
Dr. P. Sj. Van Koningsveld dalam bukunya Snouck Hurgronje dan Islam (Girimukti
Pasaka, Jakarta, 1989) menggambarkan kemungkinan Snouck masuk Islam oleh
Qadi Jeddah dengan dua orang saksi setelah Snouck pindah tinggal bersama-sama
dengan Aboebakar Djajadiningrat (1989: 95-107).
Snouck menetap di Mekah selama enam bulan dan disambut hangat oleh seorang
Ulama besar Mekah, yaitu Waliyul Hijaz. Ia lalu kembali ke negaranya pada tahun
1885. Selama di Saudi Snouck memperoleh data-data penting dan strategis bagi
kepentingan pemerintah penjajah. Informasi itu ia dapatkan dengan mudah karena
tokoh-tokoh Indonesia yang ada di sana sudah menganggapnya sebagai saudara

seagama. Kesempatan ini digunakan oleh Snouck untuk memperkuat hubungan


dengan tokoh-tokoh yang berasal dari Aceh yang menetap di negeri Hijaz saat itu.
Snouck kemudian menjabat sebagai penasihat pemerintah (Hindia Belanda) untuk
urusan Islam dari 1889 hingga 1906. Karena dianggap mualaf dan dengan
reputasinya sebagai sarjana teologi, Snouck ditemani oleh sahabat Sunda-nya dari
Mekah, Haji Hasan Moestapha, dengan mudah bisa berkeliling dan meninjau
pesantren-pesantren di Jawa. Di Aceh tahun 1891, Snouck berhasil memperoleh
kepercayaan dari ulama Tengkoe Noerdin.
Di Jawa Barat, Snouck alias Abdul Ghaffar dengan perantaraan Haji Hasan
Moestapha menikah dengan dua putri ulama terkenal. Jika dia tidak diakui sebagai
seorang Muslim, mustahil diizinkan menikah dengan gadis Sunda. Dia memenuhi
segala persyaratan dari Islam. Dia telah disunat (besneden), melakukan salat,
berpuasa di bulan Ramadan, dan menjauhi makanan serta minuman yang
terlarang
Snouck mempunyai dua istri orang Sunda. Yang pertama, bernama Sangkana, anak
tunggal Penghulu Besar Ciamis. Raden Haji Muhammad Taib, dan dari pernikahan
ini lahir empat anak yaitu Ibrahim, Aminah, Salmah Emah, dan Oemar. Yang kedua
setelah Sangkana meninggal adalah Siti Sadijah, putri penghulu Bandung Haji
Muhammad Soeeb yang dikenal dengan nama Kalipah Apo, Snouck berusia 41
tahun dan Sadijah 13 tahun tatkala pernikahan berlangsung tahun 1898. Dari
pernikahan dengan Siti Sadiyah melahirkan seorang anak bernama Joesoef.
Van Koningsveld juga memberikan petunjuk-petunjuk yang memberikan kesan
ketidaktulusan Snouck Hurgronje masuk Islam. Dia masuk Islam hanyalah untuk
melancarkan tugasnya atau tujuannya yang hendak mengukuhkan kekuasaan
Belanda di Indonesia, jadi bersifat politikbukan ilmiah murni.
Tentu saja ketidaktulusan Snouck dalam memeluk agama Islam itu tidak
diberitahukan dan tidak diketahui oleh kawan-kawannya orang Islam, termasuk H
Hasan Mustapa. Dalam naskah yang ditulis H Hasan Mustapa berjudul Istilah
terdapat bagian yang melukiskan hubungannya dengan guru-gurunya baik di Mekah
maupun di Tanah Air, dan juga dengan beberapa orang pejabat Belanda yang
dikenalnya, seperti K F Holle, Branders, van Ronkel, dan terutama tentang Snouck
Hurgronje.
Dia mengatakan bahwa Snouck adalah dulur kaula, tur sili blaan salawasna
keur deukeut keur jauh, (saudaraku serta selamanya saling jaga dan saling bela
baik waktu berdekatan maupun waktu berjauhan) (H Hasan Mustapa jeung karyakaryana, oleh Ajip Rosidi, Pustaka, Bandung, 1989: 56).
H Hasan Mustapa menjadi Penghulu Besar (Hoofdpenghoeloe) di Kotaraja (Banda
Aceh) atas desakan Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer dan Sipil Ach,
Jenderal Deykerhoff. Menurut Snouck dalam suratnya kepada Gubernur Jenderal

Hindia Belanda tanggal 8 Maret 1896, tidaklah mudah dia membujuk H Hasan
Mustapa supaya mau menduduki jabatan di lingkungan pemerintahan. Dari H Hasan
Mustapa lah Snouck mengetahui dan mengikuti perkembangan Aceh dengan
seksama meskipun Snouck berada di Batavia melalui laporan-laporan yang dikirim
oleh Hasan Mustapa.
Dalam meneliti Islam, menurut G.W.J. Drewes, ada tiga hal masalah penting yang
menarik perhatian Snouck Hurgronje :
Pertama, dengan cara bagaimana sistem Islam didirikan
Kedua, apa arti Islam di dalam kehidupan sehari-hari dari pengikutnya yang
beriman
Ketiga, bagaimana cara memerintah orang Islam sehingga melapangkan jalan
untuk menuju dunia modern dan bila mungkin mengajak orang-orang Islam
bekerjasama guna membangun suatu peradaban universal.
Pemikiran Snouck Hurgronje Tentang Islam di Indonesia
Christiaan Snouck Hurgronje merupakan tokoh peletak dasar kebijakan Islam
Politiek yang merupakan garis kebijakan Inlandsch politiek yang dijalankan
pemerintah kolonial Belnda terhadap pribumi Hindia Belanda. Konsep strategi
kebijakan yang diciptakan Snouck terasa lebih lunak dibanding dengan konsep
strategi kebijakan para orientalis lainnya, namun dampaknya terhadap umat Islam
terus berkepanjangan bahkan berkelanjutan sampai dengan saat ini.
Berdasarkan konsep Snouck, pemerintah kolonial Belanda dapat mengakhiri
perlawanan rakyat Aceh dan meredam munculnya pergolakan-pergolakan di Hindia
Belanda yang dimotori oleh umat Islam. Pemikiran Snouck -berdasarkan
pengetahuan dan pengalamannya- menjadi landasan dasar doktrin bahwa musuh
kolonialisme bukanlah Islam sebagai Agama, melainkan Islam sebagai Doktrin
Politik.
Konsep Snouck berlandaskan fakta masyarakat Islam tidak mempunyai organisasi
yang Hirarkis dan Universal. Disamping itu karena tidak ada lapisan Klerikal
atau kependetaan seperti pada masyarakat Katolik, maka para ulama Islam tidak
berfungsi dan berperan pendeta dalam agama Katolik atau pastur dalam agama
Kristen. Mereka tidak dapat membuat dogma dan kepatuhan umat Islam terhadap
ulamanya dikendalikan oleh dogma yang ada pada Al-Quran dan Al-Hadits -dalam
beberapa hal memerlukan interprestasi- sehingga kepatuhan umat Islam terhadap
ulamanya tidak bersifat mutlak.
Tidak semua orang Islam harus diposisikan sebagai musuh, karena tidak semua
orang Islam Indonesia merupakan orang fanatik dan memusuhi pemerintah kafir
belanda. Bahkan para ulamanya pun jika selama kegiatan Ubudiyah mereka tidak
diusik, maka para ulama itu tidak akan menggerakkan umatnya untuk
memberontak terhadap pemerintah kolonial Belanda. Namun disisi lain, Snouck

menemukan fakta bahwa agama Islam mempunyai potensi menguasai seluruh


kehidupan umatnya, baik dalam segi sosial maupun politik.
Snouck memformulasikan dan mengkategorikan permasalahan Islam menjadi tiga
bagian, yaitu ; bidang Agama Murni, bidang Sosial Kemasyarakatan, bidang Politik.
Pembagian kategori pembidangan ini juga menjadi landasan dari doktrin
konsepSplitsingstheori.
Pada hakikatnya, Islam tidak memisahkan ketiga bidang tersebut, oleh Snouck
diusahakan agar umat Islam Indonesia berangsur-angsur memisahkan agama dari
segi sosial kemasyarakatan dan politik. Melalui Politik Asosiasi diprogramkan agar
lewat jalur pendidikan bercorak barat dan pemanfaatan kebudayaan Eropa
diciptakan kaum pribumi yang lebih terasosiasi dengan negeri dan budaya Eropa.
Dengan demikian hilanglah kekuatan cita-cita Pan Islam dan akan mempermudah
penyebaran agama Kristen.
Dalam bidang politik haruslah ditumpas bentuk-bentuk agitasi politik Islam yang
akan membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan Islam, penumpasan itu jika
perlukan dilakukan dengan kekerasan dan kekuatan senjata. Setelah diperoleh
ketenangan, pemerintah kolonial harus menyediakan pendidikan, kesejahteraan dan
perekonomian, agar kaum pribumi mempercayai maksud baik pemerintah kolonial
dan akhirnya rela diperintah oleh orang-orang kafir.
Dalam bidang Agama Murni dan Ibadah, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan,
maka pemerintah kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk
melaksanakan ajaran agamanya. Pemerintah harus memperlihatkan sikap seolaholah memperhatikan agama Islam dengan memperbaiki tempat peribadatan, serta
memberikan kemudahan dalam melaksanakan ibadah haji.
Sedangkan dibidang Sosial Kemasyarakatan, pemerintah kolonial memanfaatkan
adat kebiasaan yang berlaku dan membantu menggalakkan rakyat agar tetap
berpegang pada adat tersebut yang telah dipilih agar sesuai dengan tujuan
mendekatkan rakyat kepada budaya Eropa. Snouck menganjurkan membatasi
meluasnya pengaruh ajaran Islam, terutama dalam hukum dan peraturan. Konsep
untuk membendung dan mematikan pertumbuhan pengaruh hukum Islam adalah
dengan Theorie Resptie. Snouck berupaya agar hukum Islam menyesuaikan
dengan adat istiadat dan kenyataan politik yang menguasai kehidupan pemeluknya.
Islam jangan sampai mengalahkan adat istiadat, hukum Islam akan dilegitimasi
serta diakui eksistensi dan kekuatan hukumnya jika sudah diadopsi menjadi hukum
adat.
Sejalan dengan itu, pemerintah kolonial hendaknya menerapkan konsep Devide et
Impera dengan memanfaatkan kelompok Elite Priyayi dan Islam Abangan untuk
meredam kekuatan Islam dan pengaruhnya dimasyarakat. Kelompok ini paling
mudah diajak kerjasama karena ke- Islaman mereka cenderung tidak
memperdulikan kekafiran pemerintahkolonial Belanda.

Kelompok ini dengan didukung oleh konsep Politik Asosiasi melalui program jalur
pendidikan, harus dijauhkan dari sistem Islam dan ajaran Islam, serta harus ditarik
kedalam orbit Wearwenization. Tujuan akhir dari program ini bukanlah Indonesia
yang diperintah dengan corak adat istiadat, namun Indonesia yang diper-Barat-kan.
Oleh karena itu orang-orang Belanda harus mengajari dan menjadikan kelompok ini
sebagai mitra kebudayaan dan mitra kehidupan sosial.
Kaum pribumi yang telah mendapat pendidikan bercorak barat dan telah
terasosiasikan dengan kebudayaan Eropa, harus diberi kedudukan sebagai
pengelola urusan politik dan administrasi setempa. Mereka secara berangsur-angsur
akan dijadikan kepanjangan tangan pemerintah kolonial dalam mengemban dan
mengembangkan amanat politik asosiasi.
Secara tidak langsung, asisiasi ini juga bermanfaat bagi penyebaran agama Kristen,
sebab penduduk pribumi yang telah berasosiasi akan lebih mudah menerima
panggilan misi. Hal itu dikarenakan makna asosiasi sendiri adalah penyatuan antara
kebudayaan Eropa dan kebudayaan pribumi Hindia Belanda. Asosiasi yang
dipelopori oleh kaum Priyayi dan Abangan ini akan banyak menuntun rakyat untuk
mengikuti pola dan kebudayaan asosiasi tersebut.
Pemerintah kolonial harus menjaga agar proses transformasi asosiasi kebudayaan
ini seiring dengan evolusi sosial yang berkembang dimasyarakat. Harus
dihindarkan, jangan sampai hegemoni pengaruh dimasyarakat beralih kepada
kelompok yang menentang program peng-asosiasi-an budaya ini.
Secara berangsur-angsur pejabat Eropa dikurangi, digantikan oleh pribumi pangreh
praja yang telah menjadi ahli waris hasil budaya asosiasi hasil didikan sistem barat.
Akhirnya Indonesia akan diperintah oleh pribumi yang telah ber-asosiasi dengan
kebudayaan Eropa.
Konsep-konsep Snouck tidak seluruhnya dapat dijalankan oleh pemerintah kolonial
Hindia Belanda, sehingga tak seluruhnya dapat mencapai hasil yang maksimal.
Namun setidaknya selama itu telah mampu meredam dan mengurangi aksi politik
yang digerakkan oleh umat Islam. Pada akhirnya, umat Islam pula yang menjadi
motor penggerak gerakan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945.
Tanggal 12 Maret 1906 Snouck kembali ke negeri Belanda. Ia diangkat sebagai Guru
Besar Bahasa dan Sastra Arab pada Universitas Leiden. Disamping itu ia juga
mengajar para calon-calon Zending di Oestgeest. Snouck meninggal dunia pada
tanggal 26 Juni 1936, diusianya yang ke 81 tahun.
Kebesaran Snouck selalu dikenang, dialah ilmuwan yang dijuluki `dewa dalam
bidang Arabistiek-Islamologi dan Orientalistik, salah satu pelopor penelitian tentang
Islam, Lembaga-Lembaganya, dan Hukum-Hukumnya. Ia berjasa menunjukkan
kekurangan-kekurangan dalam dunia Islam dan perkembangannya di Indonesia.
Di Rapenburg didirikan monumen Snouck Hurgronjehuis untuk mengenang jasa-

jasanya dan kebesarannya. Christiaan Snouck Hurgronje, tokoh penting peletak


dasar kebijakan Islam Politiek merupakan Pembaratan Islam Pribumi kini
diteruskan oleh para pewarisnya di Indonesia yang dikenal sebagai cendekiawan
Islam Liberal Indonesia.
Sumber buku :
Strategi Belanda Melumpuhkan Islam Biografi C. Snouck Hurgronje, Lathiful Khuluq,
Pustaka Pelajar, 2002.
Dr. Daud Rasyid, MA, Fenomena Sunnah di Indonesia, Potret Pergulatan Melawan
Konspirasi Hal. 196-199 (Usamah Press, Jakarta Cet I Agustus 2003)
Sumber lain :
indrayogi.blog.friendster.com
indrayogi.multiply.com
http://ajip-rosidi.com/esai-bahasa-indonesia/snouck-hurgronje-dan-h-hasanmustapa
http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=10681

Anda mungkin juga menyukai