Anda di halaman 1dari 10

Pramoedya Ananta Toer: Sukarno

Dia Sukarno mempersatukan dan memerdekakan negerinya. Dia membebaskan rakyat dari rasa
rendah diri dan membuat mereka merasa bangga dan terhormat menjadi orang Indonesia, menjadi
satu nasion yang memiliki republik Indonesia dalam pergaulan masyarakat dunia. Semua ini terjadi
sesudah 350 tahun kolonialisme Belanda dan 3,5 tahun pendudukan fascisme Jepang dalam
Perang Dunia ke-II. Apa yang dia kerjakan pada 17 Agustus 1945 sebenarnya adalah tepat sama
dengan apa yang dilakukan Thomas Jefferson bagi negeri dan bangsa Amerika pada 4 Juli 1776.
Dia menjadi satu-satunya politikus dan negarawan dalam sejarah politik modern umat manusia yang
mempersatukan negeri dan bangsanya tanpa meneteskan setitik darah pun. Bandingkan dengan
Jendral Suharto yang membantai dan memenjarakan dua juta orang lebih hanya untuk menegakkan
rejim yang dia namakan Orde Baru.

Bung karno, begitulah paling senang dia dipanggil, telah memberikan semua bagi negerinya:
kedudukan, karier politik sampai bahkan nyawanya demi persatuan, kesatuan dan perdamaian
bangsanya. Itulah puncak-puncak kebenaran Sukarno yang untuk selama-lamanya tak pernah akan
hapus, betapa pun bahaya desintegrasi dewasa ini mengancam Indonesia akibat warisan politik
jendral Suharto. Tetapi berbeda dari pemimpin kebangkitan nasion Amerika itu, Pejoang
kemerdekaan dan martabat manusia Indonesia ini tidak mendapat perlakuan adil dari sejarah
sebagaimana patut dia terima dan semestinya dia diperlakukan.

Bagi sejumput kecil orang yang jujur dan tajam pandangan, ketidakadilan yang dialami Sukarno
sebenarnya sudah lama diketahui, tetapi baru mulai sekarang pada saat kita akan meninggalkan
abad 20, kejadian dengan Sukarno berangsur mulai terungkap dan dimengerti. Orang mulai
mengerti bahwa Sukarno berada di pihak yang benar dia bersih dari segala kotoran yang telah
dilemparkan ke mukanya pada saat dia sudah tak berdaya berada dalam kerangkeng Jendral
Suharto sampai kepada ajalnya.

Pada saat Sukarno bersama Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada
17 Agustus 1945, cukup banyak politisi dan kaum intelektual Amerika dan Eropa melihat dalam diri
Sukarno pembawa sinar pencerahan di negeri-negeri terkebelakang; dia dipandang semacam
jelmaan Thomas Jefferson atau Abraham Lincoln. Tetapi anggapan seperti itu tidak berlangsung
lama. Sebab, seusai perang Dunia ke-II, seluruh dunia mendadak dilanda suatu gelombang baru
maha dahsyat. Ada setan baru lebih berbahaya lagi muncul setelah setan naziisme dan setan
fascisme dihancur-leburkan : setan komunis. Perang panas berganti perang dingin yang tidak
kalah memakan jumlah korban dan penderitaan besar rakyat dibanding dengan perang panas
Perang Dunia ke-II, tetapi kali ini gelanggang pertarungannya berlangsung di negeri-negeri Selatan,
dan berjalan lebih lama bukan lima tahun tetapi memakan seluruh paroh kedua abad ke-20, dan
yang paling merasakan kali ini adalah rakyat negeri-negeri berkembang di Asia, Afrika dan Latin
Amerika.

Abad 20 mencatat tonggak-tonggak penting dalam perkembangan sejarah dunia. Sukarno


menyebut abad 20 sebagai abad kebangkitan rakyat kulit berwarna, abad kebangkitan rakyat-rakyat
Asia, Afrika, latin Amerika membebaskan diri dari belenggu kolonialisme barat. Dia sendiri
memainkan peran terkemuka dalam menggalang kebangkitan bangsa-bangsa kulit berwarna,
mobilisator persatuan Asia-Afrika dengan konperensi Bandung yang historis itu, kemudian gerakan
A-A ini juga meluas ke Latin Amerika. Sukarno menamakan Abad 20 juga sebagai era intervensi,
era dimana negara kuat dengan bebas dapat mengaduk-ngaduk urusan intern negeri lain sesuai
kepentingan politik dan ekonomi yang dikehendakinya. Dari segi hubungan ketata-negaraan, apa
yang disebut era intervensi itu ditandai dengan munculnya satu fenomena paling baru abad-20:
kejayaan dan kecanggihan permesinan intelligent. Mereka menjadi kekuasaan di dalam kekuasaan;
negara di dalam negara. Badan-badan inteligent ini menjadi kekuasaan iblis yanh lebih berkuasa
dari pemerintahan yang resmi di dalam suatu negara. Merekalah yang mengatur kemana dunia
harus menjurus; kearah mana suatu negeri harus berjalan. Mereka pulalah yang menetukan bahwa
kepala-kepala negara seperti misalnya John F.Kennedy, Lumumba, Nkrumah, Modibo Keita,
Sukarno, dan Allende, harus turun dari pentas politik dunia. Itulah pertanda lahirnya zaman tiran-
tiran dan diktator baru yang resmi, yang sah dan terhormat, ditolerir dan diakui dalam pergaulan
antar negara. Itulah masanya kelahiran ketidakadilan yang suci, pemerkosaan hak-hak azasi yang
sah, pembunuhan massal yang adil. Abad 20 adalah era kejayaan organisasi intelligent! Dan
panggung tempat penguasa-penguasa intelligent itu menyutradarai lelakon para tiran resmi ini
terjadi di bumi kawasan selatan yang disebut negeri-negeri berkembang. Kekuasaan negara dalam
negara inilah yang menentukan seluruh strategi dunia bagaimana melibas komunisme, bagaimana
memenangkan perang dingin setelah melibas naziisme Hitler, Fascisme Mussolini dan militerisme
Jepang. Pemimpin-pemimpin visioner, seperti John kennedy dengan wawasan The New
Frontiernya dan Sukarno dengan The emerging forcesnya, cuma menjadi penghalang yang dengan
segala cara harus disingkirkan. Strategi organisasi maha-kuasa ini dalam menumpas Komunis di
Eropa Barat adalah jelas: membanjiri negeri-negeri itu dengan dana dan sandang-pangan. Tetapi
berbeda sama sekali dengan Eropa Barat, resep yang digunakan di Asia, Afrika, latin Amerika,
tempat lahan sasaran mereka menanam modal mereka, bukanlah kucuran dana, bukan Marshall
Plan, tetapi kiriman senjata dan menciptakan rejim-rejim militer setempat sebagai penguasa atau
kekuasaan dalam kekuasaan. Rejim militer seperti Mobutu di Afrika dan Suharto di Asia yang
menginjak-injak hak-hak Azasi manusia mereka restui asal saja dilakukan atas nama rakyat, diajak
bermitra memperkaya diri tanpa batas bersama modal asing. Memenjarakan dan membunuh rakyat
tidak peduli jumlahnya, selama semua itu dilakukan atas nama demokrasi demi menumpas komunis.
Dalam konteks situasi seperti itu citra Thomas Jefferson yang tadinya melekat pada Sukarno
mendadak sontak berubah menjadi agen komunis berbahaya, karena Sukarno dianggap
memberikan kesempatan bagi kaum komunis memperluas wilayah pengaruhnya. Itulah paradigma
abad 20 kubu kapitalis barat: kekuatan dan kekuasaan militerisme lokal mengkerangkeng
dinamisme dan emansipasi rakyat, demi stabilisasi politik guna meratakan jalan bagi kiprahnya
penanaman modal.

Kampanye fitnah pada awalnya dimulai dengan menuduh Sukarno sebagai kolaborator militerisme
Jepang, kemudian dia menjadi diktator dengan konsep demokrasi terpimpinnya, selanjutnya dia
kejangkitan megalomania yang mau membangun dunia baru dengan distribusi kemakmuran yang
lebih adil, padahal ekonomi negerinya sendiri begitu katanyatak diurus sehingga membikin
rakyatnya melarat.
Benarkah apa yang dilemparkan ke muka Sukarno itu? Bukan saja politisi, ada juga pakar ilmu
sosial dan sejumlah wartawan terutama Belanda bersama rekan-rekan Indonesianya yang
sepemikiran ikut mengunyah-ngunyah sampah kotor itu. Sukarno kolaborator militerisme Jepang?
Pada waktu dia dalam tahun 30-an berada dalam tahanan pemerintah kolonial Belanda, menjelang
Perang Dunia ke-II, dia sudah menulis surat kepada Gubernur Jendral Belanda tentang bahaya
fascisme jepang dan menawarkan kerjasama kaum nasionalis yang dia wakili untuk melawan musuh
bersama itu. Pemimpin nasional Indonesia lainnya, seperti Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir,
menawarkan hal yang sama, akan tetapi tawaran dari tiga pemimpin terkemuka Indonesia ditolak
oleh Belanda. Namun sekurang-kurangnya Hatta dan Sjahrir dibebaskan dari pulau pembuangan di
kepulauan Maluku dan dikembalikan ke Sukabumi di Jawa, tetapi sukarno tetap ditahan di
Bengkulu-Sumatera sampai tentara Jepang datang menduduki Hindia Belanda.

Belanda dalam beberapa hari takluk kepada Jepang dan menyerahkan Indonesia dan rakyatnya
termasuk Sukarno bulat-bulat ke tangan kekuasaan militeris Jepang. Orang sehat tentu bertanya:
apakah ada hak moral Belanda atau siapa pun di dunia barat untuk menuduh Sukarno macam-
macam bila dia menggunakan kesempatan yang terbuka baginya untuk membangunkan kesadaran
nasional pemuda dan rakyat Indonesia agar bangkit siap menyongsong kemerdekaan tanah-air
yang dia perjuangkan sepanjang masa hidupnya? Apa yang dikerjakan Sukarno selama
pendudukan Jepang adalah suatu tugas politik maha-besar yang tidak mudah dapat dibayangkan
orang sekarang. Di bawah hidung militerisme Jepang dengan kharisma pribadinya yang besar dia
membangkitkan semangat rakyat yang beratus tahun dikatakan indolent menjadi matang menyala-
nyala guna mempersiapkan diri rela berkorban jiwa-raga menyongsong kemerdekaan. Dunia
kemudian mengenal heroisme pemuda Indonesia yang pada 10 November 1945 mengorbankan
segalanya menghadapi kekuatan mahadasyat tentara sekutu pemenang Perang Dunia ke-II untuk
mempertahankan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Sukarno diktator? Sedikitpun dia tidak punya bakat untuk menjadi seorang diktator. Hati nuraninya
terlalu anggun, dia terlalu diilhami nilai-nilai Barat kalau tak mau dikatakan menjadi korban nilai-nilai
yang dia sanjung-sanjung dan junjung tinggi : demokrasi dan ide-idee Entlightment revolusi
Prancis. Justru oleh karena itu pula, Sukarno tidak akan mampu membangun Indonesia
sebagaimana yang dilakukan oleh Jendral Suharto. Pembangunan Indonesia atau lebih tepat
pembangunan di Indonesia selama Rejim orde baru Suharto yang dipuja-puja oleh dunia Barat,
memang betul hanya mampu dilakukan oleh Suharto. Sebab untuk itu mutlak diperlukan orang yang
tidak punya hari-nurani, orang yang bengis tega hati sanggup membunuh dan menjebloskan
siapapun dalam penjara kalau dia membutuhkan tanah untuk lapangan golf atau segala macam
proyek lain yang dia dan anak-anaknya ingin miliki.

Bagaimana dengan Demokrasi terpimpin Sukarno? Justru dalam butir ini tidak ada satu negara
demokrasi Barat pun mempunyai hak moreel untuk menuduh sukarno meninggalkan demokrasi dan
menempuh diktatur lewat konsep demokrasi terpimpinnya. Bukankah justru Sukarno yang dikhianati
oleh Barat yang demokratis itu? Apakah itu demokrasi barat yang dibangga-banggakan? Demokrasi
Barat memang betul demokrasi, tetapi hanya untuk di dalam negeri mereka sendiri! Untuk di luar
negeri, demokrasi barat itu tidak ada dan boleh tidak berlaku. Bukankah bagi demokrasi barat sah-
sah saja menjajah dan menguras kekayaan negeri negeri lain?

Sukarno menjadi Presiden secara formal selama 20 tahun, 1945-1965. Sebenarnya dia cuman
enam tahun terakhir 1959-1965 berkuasa; dalam arti memegang langsung pemerintahan dimana dia
kemudian meluncurkan gagasan demokrasi terpimpinnya. Mengapa dia berpaling ke demokrasi
terpimpin? Padahal selama Sukarno aktif dalam politik, mulai zaman mahasiswanya, sampai dia
menjadi presiden selama 14 tahun sampai 1959, tidak pernah dia satu kali pun menyinggung
apalagi membela demokrasi terpimpin. Juga tidak dalam puncak dari segala pidatonya yaitu pidato
bersejarah 1 Juni 1945 yang telah melahirkan wawasan politik pancasila, ideologi negara Republik
Indonesia yang diterima bulat sampai detik sekarang ini. Silahkan teliti semua tulisan dan semua
pidatonya yang beribu-ribu jumlahnya itu! Jadi sekali lagi mengapa Sukarno dia pilih demokrasi
terpimpin? Tidak lain karena dia terlalu berkukuh pada demokrasi ala barat. Walau pun dia tidak
setujui berbagai praktek penerapannya, tetapi sebagai demokrat sejati dia ikuti kemauan Hatta,
Sjahrir dan berbagai pemimpin Indonesia lainnya yang bergilir memegang tapuk pemerintahan
sesuai dengan Azas demokrasi pola barat. Akibatnya Indonesia memiliki 60 partai politik yang
beberapa bulan sekali boleh berganti-ganti kabinet.

Sukarno terpaksa menghentikan hura-hura demokrasi Barat yang mengacau itu. Dia
memperkenalkan demokrasi terpimpin yang mereorganisasi 60 partai politik menjadi 11. Suatu
langkah yang dia selalu namakan sebagai suatu Notwendigkeit, suatu political neccecity. Tetapi
itulah adalah diktatur! Sebaliknya bila Jendral Suharto sebagai kuda pentagon membubarkan semua
partai politik dan menyisakan dua partai politik yes-man saja untuk sekedar menjadi ornamen
demokrasi disamping partai Golkar sebagai kendaraan politiknya yang mutlak berkuasa, maka itu
bukan demokrasi terpimpin, bukan diktatur. Inilah ciri abad 20 yang saya namakan zaman para tiran
resmi. Era Mobutu, Suharto, Pinochet, era pelanggaran hak asasi yang suci dan era pembunuhan
masal yang adil. Era paradigma politik luar negeri Amerika untuk memelihara dan mendukung para
jendral dan rejim-rejim militer di negeri-negeri berkembang sebagai faktor stabilisator di kawasan
bumi bagian selatan untuk memungkinkan modal mereka bekerja dengan aman. Khusus
menyangkut Indonesia, memasuki millennium selanjutnya masih tampak jelas tanda-tanda bahwa
Amerika akan tetap mengandalkan kekuatan angkatan darat berikut sekutu golkarnya sebagai
perpanjangan tangan untuk menjamin kepentingan-kepentingan mereka terus dapat berlangsung
seperti sediakala dimasa-masa kejayaan Orde Baru Suharto yang sudah lewat. Masih tak terpikir
oleh para penguasa di Washington bahwa berkukuh terus pada paradigma kekuasaan militer
sebagai faktor stabilisasi sekarang menjadi kontra-produktif bahkan destruktif. Pemecahan segala
masalah, mulai dari Aceh, Ambon, Irian, Timtim, konflik etnik, sampai kepada krisis ekonomi-
moneter dan stabilisasi politik untuk memungkinkan investasi modal bekerja dengan aman, kuncinya
tidak lain adalah menugaskan militer menjadi militer, dan menghentikan mereka menjadi politikus.

Pramoedya Ananta Toer

Catatan: artikel ini sudah dimuat sebelumnya di Hasta Mitra (lihat;


http://www.hastamitra.net/2011/10/sukarno-pramoedya-ananta-toer.html, 28 Oktober 2011). Kami
muat ulang untuk memperkaya pengetahuan pembaca mengenai Sukarno dan bagaimana
menempatkannya dalam sejarah bangsa ini.
Sumber: http://www.berdikarionline.com/soekarno/, 16 DESEMBER 2013 | 23:54
TIME 100: AUGUST 23-30, 1999 VOL. 154 NO. 7/8
Sukarno
Born June 6, 1901 in Surabaya

1927 Founds movement for independence from the Dutch

1945 After Japanese surrender, declares independence and is elected President

1963 Names himself President for Life

1965 Overthrown by military takeover and later replaced by Suharto

1970 Dies June 21 in Jakarta after two years of house arrest

He gave unity to Indonesia, dignity to the downtrodden and anxiety to


the powerful, who finally brought him down
By PRAMOEDYA ANANTA TOER

He united his country and set it free. He liberated his people from a sense of inferiority and made them
feel proud to be Indonesian--no small achievement, coming after 350 years of Dutch colonial rule and
three-and-a-half years of Japanese occupation. What Sukarno did on Aug. 17, 1945 was no different from
what Thomas Jefferson had done for Americans on July 4, 1776. Perhaps even more: Sukarno was the
only Asian leader of the modern era able to unify people of such differing ethnic, cultural and religious
backgrounds without shedding a drop of blood. Compare his record with that of Suharto, his successor,
who killed or imprisoned hundreds of thousands of people to establish his New Order regime.
Equally stunning is that some people seem not to appreciate Sukarno's story. Bung
(Brother) Karno, as Indonesians liked to call him, was born in the first year of the new
century, on June 6, 1901, the son of a minor Javanese aristocrat and his Balinese wife.
Talented in both athletics and academics, he became one of the few Indonesians
admitted to Dutch-language schools; it was when his father sent him to Surabaya to
attend one such secondary school that he met and boarded with the country's
preeminent nationalist, Tjokroaminoto. Through him Sukarno would be inducted into the
freedom struggle. With his captivating oratorical skills, however, the younger man would
go on to outshine his mentor.

In 1929, two years after helping found the organization that would become the Partai
Nasional Indonesia, Sukarno was put on trial by the Dutch. His self-defense, which
lasted two days, was a rhetorical masterpiece, and when he was released in 1931 huge
crowds turned out to greet their new hero. In years to come Sukarno would use that gift
to instill in Indonesians a sense of themselves as a unified people--not Javanese and
Balinese and Acehnese and Sumatrans. He put his career, even his life, on the line for
the unity and peace of his nation. This is his great heritage, even if today the country is
threatened with disintegration as a result of Suharto's policies.

But history has not been kind to Sukarno. These days many in the West remember the
glamorous revolutionary as a debauch and a demagogue--the man who told Western
countries to go to hell with their aid and pulled Indonesia out of the United Nations. Yet
when he and Mohammad Hatta proclaimed independence in 1945, many Western
politicians and intellectuals saw Sukarno as a new light shining among the backward
countries. Their admiration faded only after a new Satan was found roaming the world:
communism.

Sukarno called this the "century of the awakening of the colored peoples," as they threw
off the shackles of Western colonialism. He played a leading role in the process,
initiating the historic Asia-Africa Conference at Bandung in 1955, after which the Non-
Aligned Movement spread to Latin America. Sukarno also called this the "century of
intervention," a time when the great powers could interfere at will in the affairs of smaller
countries. Often, this intervention was the work of the intelligence community--a power
within a power, a state within a state, entrusted with the task of eliminating communism
from the face of the earth. In Asia, Africa and Latin America, the strategy was to back
military governments as bulwarks against the Red Menace. Repressive regimes like
Mobutu's in Africa or Suharto's in Asia received the West's blessing as long as the
repression was carried out in the name of democracy and the suppression of
communism.

In this climate, Sukarno was no longer seen as another Thomas Jefferson, but instead
as someone who might allow communism to expand its influence. The campaign
against him began from the slander that he had been a Japanese collaborator during
the war. This was followed by the accusation that, in his final years in power, he had
become a dictator.
Are these accusations true? Was Sukarno a Japanese collaborator? Even when he was
in a Dutch jail in the 1930s, Sukarno wrote to the colonial administration suggesting, in
vain, that the Dutch cooperate with Indonesian nationalists to guard against Japanese
fascism. Instead, when Japan invaded Indonesia, the Dutch surrendered the country
and its people, including Sukarno in his prison.

That he then cooperated with the occupiers is undisputed. But he did so with the
backing of fellow nationalist leader Hatta, and he used his influence to the advantage of
his country. As he himself admitted, Sukarno did recruit thousands of manual laborers
for the Japanese Army, most of whom perished during the war. Yet he also used the
Japanese radio network to nurture a sense of nationalism throughout the archipelago.
What honest observer can fault Sukarno for taking the opportunity to awaken the
consciousness of the people to the struggle for freedom? Under the noses of the
occupiers, he used his oratorical skills to arouse people who had been asleep for
centuries and to prepare them to fight for independence when the moment arrived. It
was thus that the world witnessed the heroism of Indonesian youth when they fought
the Allied armies that landed in Surabaya to retake Indonesia for the Dutch on Nov. 10,
1945.

Was Sukarno a dictator? He did not have the character of a dictator. He was motivated
and inspired by the ideas of the West, especially democracy, the French Revolution and
the Enlightenment.

And what about Guided Democracy, the executive-dominated electoral system he


instituted in 1959? Sukarno was President for two decades, but he wielded real power
only in the last six years of his rule--the period of Guided Democracy. Why did he create
such a system? Perhaps because of his commitment to democracy. By this point,
Indonesia had no fewer than 60 political parties and faced the prospect of a new
government every few months. Sukarno reorganized the 60 parties into 11--all of which
retained their independence. It was a political necessity, he said.

Sukarno's critics called it a dictatorship. Yet six years later, when he was removed
following a shadowy coup (allegedly a communist uprising gone wrong), he was
replaced by a true dictatorship--that of Suharto. Sukarno died in 1970, a man whose
dreams of a free and peaceful Indonesia had been hijacked by a violent and stifling
military rule.

Lately, Sukarno's reputation has begun to be re-examined. Suharto was ousted in 1998,
after three decades in power; earlier this year, Sukarno's daughter Megawati triumphed
in the first truly free general election in 44 years. It was, in a way, Bung Karno's
triumphant political comeback.

Yet the next months will be crucial for Indonesia. It is time to realize that continuing to
rely on military power to "stabilize" the country will only be counter-productive. The
solutions to almost all of Indonesia's current ethnic and separatist conflicts--in Aceh,
Ambon, Irian Jaya, East Timor--as well as its economic crisis and general political
instability all depend on soldiers being just that: soldiers. Indonesia needs no more
soldier-politicians. It needs someone who can unite the people, as a charismatic young
independence leader did a half-century ago.

Pramoedya Ananta Toer is the author of the Buru Quartet


https://edition.cnn.com/ASIANOW/time/asia/magazine/1999/990823/sukarno1.html

Anda mungkin juga menyukai