Anda di halaman 1dari 4

Bioskop Raya Padang Theatre: Riwayatmu Kini

Oleh: Adityo Putra Dehaal Mahasiswa Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial
Universitas Negeri Padang

Beberapa tahun belakangan ini, salah satu aspek kesenian Indonesia, yakni perfilman
tampak unjuk gigi. Perubahan drastis panggung insan perfilman ini dibuktikan dengan
munculnya perfilman Indonesia yang berkualitas dan mampu bersaing di pasar perfilman
internasional. Bahkan tidak hanya film-film yang berdurasi panjang, film berdurasi pendek
atau disebut film documenter karya-karya sutradara muda tanah air mampu mencatatkan diri
dalam berbagai iven-iven internasional dan juga menyabet beberapa kategori nominasinya.

Tidak hanya itu, film-film bergenre kekinian yang mulai jauh dari unsur-unsur wanita
seksi dan adegan seksi seperti film-film sebelumnya, banyak menarik perhatian masyarakat,
dari kelas atas hingga menengah. Terbukti dengan membludaknya pengunjung bioskop pada
film-film terbaru di Indonesia, dan juga mencatatkan rekor baru di Museum Rekor Indonesia
(MURI) seperti film Warkop DKI Reborn yang mengalahkan film Rudy Habibie dalam
kategori pengunjung yang mencapai enam juta penonton di seluruh Indonesia.

Kita memang patut berbangga dengan kemajuan perfilman kita. Namun dibalik
kebanggaan tersebut muncul juga setitik ironi. Ironi yang dimaksud adalah hilangnya
eksistensi bioskop kebanggaan urang awak di Kota Padang, Bioskop Raya Padang Theatre,
akibat kalah saing dengan kemuncul tempat nonton baru Cinema XXI. Bioskop Raya Padang
Theatre yang terletak di kawasan Pasar Raya Kota Padang, tepatnya di Jl. Permindo kini
mulai tampak suram. Bahkan tidak ada upaya perawatan dan perbaikan, dan sengaja
dicampakkan begitu saja dan tidak diurus. Perubahan tersebut terjadi semenjak gempa besar
melanda Kota Padang pada tujuh tahun yang lalu tepatnya akhir Oktober 2009. Gempa
tersebut menyebabkan luluh lantaknya sebagian besar bangunan-bangunan di Kota Padang,
termasuk bangunan Pasar Raya.

Ini mengakibatkan banyak pedagang yang kemudian mulai takut untuk berdagang di
dalam gedung yang dibangun kembali oleh pihak Pemko Padang. Para pedagang memilih
membuka lapak-lapak dagangannya di sepanjang pinggir jalan dan di trotoar jalan. Persoalan
itulah yang membuat seolah-olah bioskop yang punya sejarah panjang di Kota Bingkuang itu
mulai hilang eksistensinya. Semrawutnya kondisi pasar dan jalan yang berlumpur dan bau
tidak sedap dari pasar juga penyebab tak banyak yang datang ke tempat hiburan tersebut.
Kemudian juga karena permasalahan image bioskop tersebut yang sudah negatif dalam
pandangan kalayak masyarakat Kota Padang, dikarenakan seringkali dijadikan sebagai tempat
berbuat asusila muda-mudi. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan kemerosotan bioskop
yang pernah menjadi kebanggaan urang awak.

Padahal Bioskop Raya Padang Theatre pernah mempunyai nama besar dalam catatan
sejarah Kota Padang. Padang di dekade 1900-an bisa dikatakan kota besar satu-satunya di luar
Jawa dan di pinggir pesisir barat Sumatera. Hal ini juga berdampak kepada bioskop di saat
pembangunan kota oleh kolonial. Seperti yang dikutip dari infosumbar.net (20/04/2016),
kehadiran bioskop sebagai bagian dari budaya urban sudah lama ada di Padang. Menurut
Suryadi, peneliti di Universitas Leiden, Belanda bioskop sudah hadir di Padang sejak 1900-
an. Bioskop tersebut antara lain Biograph, Cinema Theatre, the Royal Excelsior, and
Scala-Bio. Dan bioskop di Kota Padang memasuki era jayanya pada masa 70-an sampai 80-
an. Bioskop Raya termasuk salah satu bioskop ternama di Kota Padang.

Bioskop Raya sudah berdiri dan beroperasi sejak tahun 1950 silam. Pemiliknya adalah
keluarga Taslim yang juga pemilik PT Lembah Karet. Tahun 1979, Bioskop Raya dijual
kepada keluarga Wijaya Effendi yang juga menjadi pemilik Bioskop Kencana (Juliet
sekarang). Bioskop tua yang lainnya yang masih ada sampai sekarang adalah Bioskop Karya
yang dibangun tahun 1930-an. Bioskop Karya dibangun oleh kakek Wirako Anggriawan yang
berprofesi sebagai seorang pengacara. Karena pesatnya perkembangan bioskop waktu itu,
kakeknya membangun lagi satu bioskop tahun 1940 yaitu Bioskop Mulia yang saat ini sudah
ditutup.

Saat ini hanya Bioskop Raya dan Karya yang masih beroperasi. Bioskop Raya bisa
dibilang cukup update dengan film-film terbaru sedangkan Bioskop Karya kebanyak memutar
film-film lama. Tanpa film-film baru kedua bioskop tersebut cenderung sepi. Bahkan jika
penonton kurang dari sepuluh, film tidak akan jadi diputar. Apalagi kini ditambah kehadiran
tempat bioskop baru yakni Cinema XXI. Cinema XXI yang telah hadir hampir di seluruh
Indonesia kini mulai melebarkan sayapnya, seperti di Kota Padang. Seperti yang dikutip dari
berita Haluan (19/04/2016), Cinema XXI di Plaza Andalas (PA) baru akan beroperasi di bulan
Agustus 2016. Tetapi kehadiran Cinema XXI di Kota Padang secara resmi kemudian dibuka
pada 21 Oktober lalu. Hal itu dikatakan Kepala Proyek Pembangunan Cinema XXI untuk
Ramayana Padang dan Pekanbaru, Kasmo saat dihubungi Haluan di Padang, Kamis (6/10).
Pernyataan tersebut juga langsung dimuat dalam situs http://www.21cineplex.com/, yang
merupakan website resminya (21/10/2016).

Kehadiran Cinema XXI membuat masyarakat Kota Padang antusias. Diketahui puluhan
orang mengantre untuk membeli karcis pada saat pembukaan pertama tersebut. Film terbaru,
Me vs Mami menjadi film Indonesia pertama tayang di bioskop tersebut. Tentunya
antusiasme ini menjawab harapan masyarakat seperti dalam berita Republika; Warga
Harapkan Pemkot Padang Bangun Bioskop Modern (5/1/2016). Namun kita perlu sadari ini
berdampak semakin suramnya bioskop-bioskop lokal yang dulu punya nama besar. Hal ini
juga harusnya menjadi sisi positif bagi bioskop lokal seperti Bioskop Raya Padang Theatre
sebagai pelecut dan hendaknya menjadi upaya peningkatan kualitas bioskop yang telah ada
termasuk dari sisi tata ruang dan pelayanan. Seperti yang diungkapkan Ketua Komisi IV
DPRD Kota Padang, Sumatera Barat (Sumbar), Surya Jufri kepada AntaraSumbar (18/10);
"kalau sudah ada Cinema XXI, tentu bioskop yang lain perlu tingkatkan kualitas. Ini kondisi
pasar bebas dan tidak bisa dihalang-halangi," ujarnya.

Tentunya kita juga menyayangkan sikap dan kepedulian pemko terhadap bioskop lokal
sebagai salah satu wisata hiburan kota. Seharusnya kita perlu memperhatikan lebih dulu
usaha-usaha lokal walaupun dalam kondisi pasar bebas. Jelas sekali tampaknya kita hanya
menerima barang jadi seperti investor luar ketimbang membantu mengembangkan milik lokal
kita untuk kepentingan-kepentingan ekonomis. Alangkah baiknya kita mengembangkan
bioskop lokal yang telah ada sebagai bagian dari tempat wisata dan menarik wisatawan dari
dalam dan luar kota untuk mewujudkan Kota Padang sebagai kota pariwisata. Dengan
mengembangkan bioskop lokal tidak hanya menambah pemasukan pemerintah di bidang
pariwisata, tetapi juga kita ingin mewujudkan pariwisata yang bercirikan lokalitas, pariwisata
yang memunculkan ikon lokalitas kita. Tentunya kita berharap bioskop lokal seperti Bioskop
Raya Padang Theatre yang menjadi ciri modern Kota Padang pada akhir abad 18 tidak kalah
ditelan zaman.

Dimuat oleh Geram Sumbar di Geram.ga pada 9 November 2016

Anda mungkin juga menyukai