Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

HAMBATAN PENGEMBANGAN INDUSTRI FILM NASIONAL

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas


mata kuliah Hukum dan Etika Komunikasi

Oleh:

Furi Agung Albana 201710415099

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA
BEKASI
2019
Kata Pengantar

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya,
makalah yang berjudul “HAMBATAN PENGEMBANGAN INDUSTRI FILM NASIONAL” dapat saya
selesaikan. Penyusunan makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi yang baik dan benar.

Dalam pembuatan makalah ini, saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Parwoko, M.I.Kom
selaku dosen mata kuliah Hukum dan Etika Komunikasi yang telah berkenan mengizinkan pembuatan makalah ini.
Selain itu, ucapan terima kasih juga saya tujukan kepada kedua orang tua dan teman-teman saya yang telah
memberikan doa, dorongan, serta bantuan kepada saya sehingga makalah ini dapat saya selesaikan.

Saya berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun terlepas dari itu,
saya memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga saya sangat mengharapkan kritik
serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Bekasi, 16 Oktober 2019

Penulis
BAB I
GAMBARAN UMUM INDUSTRI FILM NASIONAL

1.1 Pada era Penjajahan


Periode 1900 - 1942

Era awal perfilman Indonesia ini diawali dengan berdirinya bioskop pertama di Indonesia pada 5
Desember 1900 di daerah Tanah Abang, Batavia dengan nama Gambar Idoep yang menayangkan berbagai film
bisu.

Film pertama yang dibuat pertama kalinya di Indonesia adalah film bisu tahun 1926 yang
berjudul Loetoeng Kasaroeng dan dibuat oleh sutradara Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp. Saat film ini dibuat
dan dirilis, negara Indonesia belum ada dan masih merupakan Hindia Belanda, wilayah jajahan Kerajaan Belanda.
Film ini dibuat dengan didukung oleh aktor lokal oleh Perusahaan Film Jawa NV di Bandung dan muncul pertama
kalinya pada tanggal 31 Desember, 1926 di teater Elite and Majestic, Bandung.

Setelah sutradara Belanda memproduksi film lokal, berikutnya datang Wong bersaudara yang hijrah dari
industri film Shanghai. Awalnya hanya Nelson Wong yang datang dan menyutradarai Lily van Java (1928) pada
perusahaan South Sea Film Co. Kemudian kedua adiknya Joshua dan Otniel Wong menyusul dan mendirikan
perusahaan Halimoen Film.

Sejak tahun 1931, pembuat film lokal mulai membuat film bicara. Percobaan pertama antara lain dilakukan
oleh The Teng Chun dalam film perdananya Boenga Roos dari Tcikembang (1931) akan tetapi hasilnya amat
buruk. Beberapa film yang lain pada saat itu antara lain film bicara pertama yang dibuat Halimoen Film
yaitu Indonesia Malaise (1931).

Pada awal tahun 1934, Albert Balink, seorang wartawan Belanda yang tidak pernah terjun ke dunia film
dan hanya mempelajari film lewat bacaan-bacaan, mengajak Wong Bersaudara untuk membuat film Pareh dan
mendatangkan tokoh film dokumenter Belanda, Manus Franken, untuk membantu pembuatan film tersebut. Oleh
karena latar belakang Franken yang sering membuat film dokumenter, maka banyak adegan dari film Pareh
menampilkan keindahan alam Hindia Belanda. Film seperti ini rupanya tidak mempunyai daya tarik buat penonton
film lokal karena dalam kesehariannya mereka sudah sering melihat gambar-gambar tersebut. Balink tidak
menyerah dan kembali membuat perusahaan film ANIF (Gedung perusahaan film ANIF kini menjadi gedung PFN,
terletak di kawasan Jatinegara) dengan dibantu oleh Wong bersaudara dan seorang wartawan pribumi yang
bernama Saeroen. Akhirnya mereka memproduksi membuat film Terang Boelan (1934) yang berhasil menjadi film
cerita lokal pertama yang mendapat sambutan yang luas dari kalangan penonton kelas bawah.

1.2 Pada era Orde lama


Periode 1942 – 1949
Pada masa ini, produksi film di Indonesia dijadikan sebagai alat propaganda politik Jepang. Pemutaran film
di bioskop hanya dibatasi untuk penampilan film -film propaganda Jepang dan film-film Indonesia yang sudah ada
sebelumnya, sehingga bisa dikatakan bahwa era ini bisa disebut sebagai era surutnya produksi film nasional.
Pada 1942 saja, Nippon Eigha Sha, perusahaan film Jepang yang beroperasi di Indonesia, hanya dapat
memproduksi 3 film yaitu Pulo Inten, Bunga Semboja dan 1001 Malam.
Lenyapnya usaha swasta di bidang film dan sedikitnya produksi yang dihasilkan oleh studio yang dipimpin
oleh Jepang dengan sendirinya mempersempit ruang gerak dan kesempatan hidup para artis dan karyawan film dan
pembentukan bintang-bintang baru hampir tidak ada. Namun mereka yang sudah dilahirkan sebagai artis tidaklah
dapat begitu saja meninggalkan profesinya. Satu-satunya jalan keluar untuk dapat terus mengembangkan dan
memelihara bakat serta mempertahankan hidup adalah naik panggung sandiwara. Beberapa rombongan sandiwara
profesional dari zaman itu antara lain adalah Bintang Surabaya, Pancawarna dan Cahaya Timur di Pulau Jawa.
Selain itu sebuah kumpulan sandiwara amatir Maya didirikan, dimana didalamnya bernaung beberapa seniman-
seniwati terpelajar dibawah pimpinan Usmar Ismail yang kelak menjadi Bapak Perfilman Nasional.

Periode 1950 - 1962


Hari Film Nasional diperingati oleh insan perfilman Indonesia setiap tanggal 30 Maret karena pada tepatnya
tanggal 30 Maret 1950 adalah hari pertama pengambilan gambar film Darah & Doa atau Long March of
Siliwangi yang disutradarai oleh Usmar Ismail. Hal ini disebabkana karena film ini dinilai sebagai film lokal
pertama yang bercirikan Indonesia. Selain itu film ini juga merupakan film pertama yang benar-benar disutradarai
oleh orang Indonesia asli dan juga diproduksi oleh perusahaan film milik orang Indonesia asli yang
bernama Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) dimana Usmar Ismail tercatat juga sebagai pendirinya.
Selain itu pada tahun 1951 diresmikan pula Metropole, bioskop termegah dan terbesar pada saat itu. Pada masa ini
jumlah bioskop meningkat pesat dan sebagian besar dimiliki oleh kalangan non pribumi. Pada
tahun 1955 terbentuklah Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia dan Gabungan Pengusaha Bioskop
Seluruh Indonesia (GAPEBI) yang akhirnya melebur menjadi Gabungan Bioskop Seluruh Indonesia (GABSI).
Pada masa itu selain PFN yang dimiliki oleh negara, terdapat dua perusahaan perfilman terbesar di Indonesia,
yaitu Perfini dan Persari (dipimpin oleh Djamaluddin Malik.
Periode 1962 - 1965
Era ini ditandai dengan beberapa kejadian penting terutama menyangkut aspek politis, seperti aksi
pengganyangan film-film yang disinyalir sebagai film yang menjadi agen imperialisme Amerika Serikat,
pemboikotan, pencopotan reklame, hingga pembakaran gedung bioskop. Saat itu Jumlah bioskop mengalami
penurunan sangat drastis akibat gejolak politik. Jika pada tahun 1964 terdapat 700 bioskop, pada tahun berikutnya,
yakni tahun 1965 hanya tinggal tersisa 350 bioskop.

1.3 Pada era Orde Baru


Periode 1965 - 1970
Era ini dipengaruhi oleh gejolak politik yang diakibatkan oleh peristiwa G30S PKI yang membuat
pengusaha bioskop mengalami dilema karena mekanisme peredaran film rusak akibat adanya gerakan anti
imperialisme, sedangkan produksi film nasional masih sedikit sehingga pasokan untuk bioskop tidak mencukupi.
Saat itu inflasi yang sangat tinggi melumpuhkan industri film. Kesulitan ini ditambah dengan kebijakan pemerintah
mengadakan sanering pada tahun 1966 yang menyebabkan inflasi besar-besaran dan melumpuhkan daya beli
masyarakat. Pada akhir era ini perfilman Indonesia cukup terbantu dengan membanjirnya film impor sehingga turut
memulihkan bisnis perbioskopan dan juga meningkatkan animo masyarakat untuk menonton yang pada akhirnya
meningkatkan jumlah penonton.
Periode 1970 - 1991
Pada masa ini teknologi pembuatan film dan era perbioskopan mengalami kemajuan, meski di satu sisi juga
mengalami persaingan dengan televisi (TVRI). Pada tahun 1978 didirikan Sinepleks Jakarta Theater oleh
pengusaha Indonesia, Sudwikatmono menyusul dibangunnya Studio 21 pada tahun 1987. Akibat munculnya
raksasa bioskop bermodal besar itu mengakibatkan terjadinya monopoli dan berimplikasi terhadap timbulnya krisis
bagi bioskop - bioskop kecil dikarenakan jumlah penonton diserap secara besar-besaran oleh bioskop besar. Pada
masa ini juga muncul fenomena pembajakan video tape.
Periode 1991 - 1998
Di periode ini perfilman Indonesia bisa dikatakan mengalami mati suri dan hanya mampu memproduksi 2-3
film tiap tahun. Selain itu film-film Indonesia didominasi oleh film-film bertema seks yang meresahkan
masyarakat. Kematian industri film ini juga ditunjang pesatnya perkembangan televisi swasta, serta munculnya
teknologi VCD, LD dan DVD yang menjadi pesaing baru.
Bertepatan dengan era ini lahir pula UU No 8 Tahun 1992 tentang Perfilman yang mengatur peniadaan
kewajiban izin produksi yang turut menyumbang surutnya produksi film. Kewajiban yang masih harus dilakukan
hanyalah pendaftaran produksi yang bahkan prosesnya bisa dilakukan melalui surat-menyurat. Bahkan
sejak Departemen Penerangan dibubarkan, nyaris tak ada lagi otoritas yang mengurusi dan bertanggungjawab
terhadap proses produksi film nasional. Dampaknya ternyata kurang menguntungkan sehingga para pembuat film
tidak lagi mendaftarkan filmnya sebelum mereka berproduksi sehingga mempersulit untuk memperoleh data
produksi film Indonesia - baik yang utama maupun indie - secara akurat.
Pada era ini muncul juga buku mengenai perfilman Indonesia yaitu 'Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di
Indonesia yang terbit pada tahun 1992 dan mengupas tahapan perfilman Indonesia hanya sampai periode 1991.

1.4 Pada era Reformasi


Periode 1998 – sekarang
Era ini dianggap sebagai era kebangkitan perfilman nasional. Kebangkitan ini ditunjukkan dari kondisi
perfilman Indonesia yang mengalami pertumbuhan jumlah produksi yang menggembirakan. Film pertama yang
muncul di era ini adalah Cinta dalam Sepotong Roti karya Garin Nugroho. Setelah itu muncul Mira
Lesmana dengan Petualangan Sherina dan Rudi Soedjarwo dengan Ada Apa dengan Cinta? (AADC) yang sukses
di pasaran. Hingga saat ini jumlah produksi film Indonesia terus meningkat pesat meski masih didominasi oleh
tema-tema film horor dan film remaja. Pada tahun 2005, hadir Blitzmegaplex di dua kota besar di
Indonesia, Jakarta dan Bandung. Kehadiran bioskop dengan konsep baru ini mengakhiri dominasi Cineplex yang
dimiliki oleh kelompok 21 yang selama bertahun-tahun mendominasi penayangan film.
BAB II
PERMASALAHAN YANG DIHADAPI

2.1 Persaingan Bisnis Dengan Negara Lain


Perfilman di tanah air tidak lepas dari pembangunan bioskop. Bioskop pertama kali berdiri di Batavia
(Jakarta) pada tahun 1900 dengan nama “gambar idoep” yang menayangkan berbagai film bisu. Sejak tahun 1931,
pembuatan film lokal mulai membuat film bicara, pada saat itu tercatat sekitar ada 227 bioskop yang sudah berdiri.
Mulai saat itu film Indonesia berkembang hingga saat ini.

Dengan berkembanya era globalisasi, perfilman Indonesia tergerus dengan masuknya film-film dari luar
negeri seperti Hollywood dengan kualitas yang sangat baik. Menurut pengamat fotografi dan film Harry Reinaldi,
masalah lambatnya perkembangan perfilman di Indonesia karena minimnya apresiasi dari masyarakat terhadap
film Indonesia menjadi salah satu masalah utama.

Hal itu diperparah dengan terbatasnya bioskop Indonesia yang kebanyakan berpusat pada provinsi di Jawa
saja. Untuk menyiasati agar menarik minat mayarakat untuk menonton perlu pembangunan ruang putar film yang
merata di seluruh provinsi.

Kemunculan perfilman Indonesia pada tahun 1931 hingga saat ini, film Indonesia terbilang lambat
berkembang karena dalam sepuluh tahun terakhir ini saja, film Indonesia fluktuatif alias naik turun dalam kualitas
maupun prestasi di perfilman Internasional. Walaupun perfilman Indonesia terbilang lambat berkembang tetapi
cenderung membaik setiap tahunnya. Lambatnya perkembangan film didasari oleh banyaknya penonton setiap
tahun, kualitas film dan banyaknya permbuatan film setiap tahunnya.

Perfilman di tanah air tidak lepas dari pembangunan bioskop. Bioskop pertama kali berdiri di Batavia
(Jakarta) pada tahun 1900 dengan nama “gambar idoep” yang menayangkan berbagai film bisu. Sejak tahun 1931,
pembuatan film lokal mulai membuat film bicara, pada saat itu tercatat sekitar ada 227 bioskop yang sudah berdiri.
Mulai saat itu film Indonesia berkembang hingga saat ini.

Dengan berkembanya era globalisasi, perfilman Indonesia tergerus dengan masuknya film-film dari luar
negeri seperti Hollywood dengan kualitas yang sangat baik. Menurut pengamat fotografi dan film Harry Reinaldi,
masalah lambatnya perkembangan perfilman di Indonesia karena minimnya apresiasi dari masyarakat terhadap
film Indonesia menjadi salah satu masalah utama.

Hal itu diperparah dengan terbatasnya bioskop Indonesia yang kebanyakan berpusat pada provinsi di Jawa
saja. Untuk menyiasati agar menarik minat mayarakat untuk menonton perlu pembangunan ruang putar film yang
merata di seluruh provinsi.

Kemunculan perfilman Indonesia pada tahun 1931 hingga saat ini, film Indonesia terbilang lambat
berkembang karena dalam sepuluh tahun terakhir ini saja, film Indonesia fluktuatif alias naik turun dalam kualitas
maupun prestasi di perfilman Internasional. Walaupun perfilman Indonesia terbilang lambat berkembang tetapi
cenderung membaik setiap tahunnya. Lambatnya perkembangan film didasari oleh banyaknya penonton setiap
tahun, kualitas film dan banyaknya permbuatan film setiap tahunnya.

Pada awalnya perfilman Indonesia dianggap mati suri, namun ketika bangkit kembali, khususnya pada film
horor Indonesia, masyarakat seakan kurang peduli. Hal ini dikarenakan film-film bergenre horor tidak memberikan
alternatif lain film yang menarik. Film horor Indonesia lebih menyisipkan nafsu birahi dan mengumbar adegan
yang kurang pantas.

Salah satu yang memengaruhi adalah ketika Mentri penerangan Harmoko menargetkan 200 film dalam
negeri dapat dirilis meski yang terpenuhi hanya 100 judul saja (Kick Andy/hal 135-141). Karena itu sineas
Indonesia terkesan buru-buru. film horor Indonesia juga lebih banyak dibintangi oleh Suzanna Martha Frederika
van Osch, seperti film Sundel Bolong (1981), Nyi Blorong (1982), Telaga Angker (1984), dan Malam Jumat
Kliwon (1985). Tahun 2000-an ditandai dengan munculnya film Jelangkung (2001) yang mencapai penonton
hingga 5,7 juta dan Kuntilanak (2006) dengan 2,4 juta penonton (Cheng dan Barker, 2011: 200).

Karena begitu ketatnya persaingan dalam industri film horor, maka sang produser mencari inovasi dan
gebrakan baru terhadap film horor, sehingga filmnya berbeda dengan lainnya. Muncullah bintang film dewasa dari
Jepang, seperti Rin Sakuragi, Maria Ozawa, dan Sora Aio yang digunakan oleh rumah produksi Maxima Pictures
dengan Produsernya Ody Mulya Hidayat, serta bintang film dewasa dari Amerika, seperti Tera Patrick, Sasha
Grey, dan Vicky Vette yang dikontrak oleh rumah produksi K2K Production dengan produsernya yaitu KK
Dheeraj.

Adanya bintang film dewasa yang terlibat dalam film horor Indonesia, maka perannya pun sangat dekat
dengan hal-hal yang berbau pornografi. Menurut Karl Heider seks merupakan salah satu dari tiga formula ampuh
yang digunakan dalam film horor Indonesia, yaitu seks, komedi, dan religi (Rusdiarti, 2009: 11) .

Secara terus menerus dengan genre yang tidak beda jauh, tidak dapat dipungkiri penonton Indonesia mulai
merasa bosan dengan genre-genre perfilman Indonesia. Dari hasil survei secara acak terhadap pengunjung bioskop
21 Dieng, Malang yang membahas mengenai perbandingan jenis film pilihan penonton ketika hendak menonton di
21 Dieng, Malang yang dilakukan, ada 120 responden yang diambil sampelnya. Sekitar 60 penonton lebih memilih
film Hollywood, 24% Film Indonesia, 13% film Eropa dan 2% memilih film Asia.

Dari hasil wawancara singkat yang dilakukan mengenai film pilihannya enggan menonton film Indonesia
yaitu variasi genre film yang ditawarkan kebanyakan horror yang menjurus ke sex, ceritanya kurang menarik dan
banyak pesan yang tidak sampai ke penonton, kualitas suara dan teknik pengambilan gambar terlalu buasa,
penggunaan efek visual juga masih rendah, promosi film yang minim, sehingga banyak yang tidak tahu jika ada
satu atau beberapa film Indonesia yang sedang tayang di bioskop, serta film Indonesia tidak lama setelah diputar di
bioskop juga akan tayang di televisi.

Kebanyakan sineas Indonesia membuat film bergenre aksi, drama, horror dan komedi menciptakan
kejenuhan bagi penikmat film Indonesia. Kejenuhan ini juga dipengaruhi kualitas film yang diproduksi kurang
baik, karena hanya mementingkan keuntungan yang besar. Salah satu contoh pada film “Hantu Tanah Kusir”, film
horror ini menggandeng bintang porno jepang Maria Ozawa atau yang akrab disapa Miyabi. Kehadiran Miyabi
difilm garapan Findo Purnowo HW itu secara garis besar hanya sebagai bumbu sensual saja.

Dalam film tersebut, Miyabi juga hanya sesekali berbicara dalam Bahasa Indonesia, selebihnya Bahasa
Jepang dan Inggris. Dialog yang diucapkannya pun bisa dibilang hanya sekadarnya saja. Walaupun poster film ini
cukup menyeramkan tetapi isi film ini kebanyakan hanya kekonyolan dari Zacky Zimah, Yadi Sembako dan Kiwil.
Dari film ini hanya menjual dari sisi sensualnya, bukan dari sisi horornya.

Namun di sisi yang lain secara produksi, film horor Indonesia bisa dianggap sebagai penyelamat bagi
industri perfilman Indonesia. Film bergenre horor tetap mengukuhkan bahwa perfilman nasional masih eksis. Jika
industri perfilman tidak memproduksi film bergenre horor, maka perfilman nasional akan mati. Munculnya film
bergenre horor di perfilman nasional menjadi suatu bukti bangkitnya perfilman Indonesia. Namun perkembangan
film Indonesia saat ini semakin pesat di setiap tahunnya.

Menurut data dari Kharisma Jabar Film, jumlah film Indonesia dan film impor yang di putar di bioskop
2009-2012. Jumlah film Indonesia yang di putar mencapai 333 film sedangkan film impor mencapai 573 film, 2:1
lebih banyak film impor. Pada tahun 2001 jumlah produksi film Indonesia mencapai 4 film, tahun 2002 mencapai 9
film, tahun 2003 mencapai 12 film, tahun 2004 mencapai 21 film, tahun 2005 mencapai 33, 2006 mencapai 33
film, 2007 mencapai 53 film, tahun 2008 mencapai 88 film, tahun 2009 mencapai 65 film, tahun 2010 mencapai 81
film, tahun 2011 mencapai 83 film, dan tahun 2012 mencapai 84 film ( Lembaga Sensor Film dan Kharisma Jabar
Film, tahun 2012 ).

Walaupun masih tertinggal tetapi melalui statistik yang di lakukan tahun 2012. Periode tahun 2000-an
menunjukan bahwa perfilman Indonesia terus membaik. Setiap tahun menunjukan peningkatan dan puncaknya
pada tahun 2008 yang meningkat hamper 40% dari tahun sebelumnya dan stabil hingga 2012. Dari hasil survei ini
memberikan peluang untuk industri hiburan di bidang film di Indonesia untuk terus berkembang.

Masyarakat kini tidak hanya disajikan film horor dibalut keseksian, namun film berkualitas dengan
beragam genre. Menurut salah satu pelaku industri film, Agus Kuncoro, tahun 2014 warna film akan semakin
berwarna. Tak ada lagi satu genre yang menguasi bioskop, tapi mulai dari komedi hingga film bertemakan politik.

Dibukitkan dengan kesuksesan berbagai film di genre lain yang pernah mendapatkan penghargaan di
berbagai negara misalnya film “Jalanan” (2013) yang disutradarai Daniel Ziv yang mendapatkan penghargaan di
Melbourne Internasional Film and Edmonton Internasional Film, film “Laskar Pelangi” (2008) yang disutradarai
Andrea Hirata yang mendapatkan penghargaan nasional maupun internasional, seperti HIGNIS award dalam Hong
Kong Internasional Film Festival dan GoldenButterfly award di Iran. Beberapa film tersebut hanya beberapa dari
banyak film Indonesia yang mendapatkan penghargaan di Internasional.

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (DPDTT) Marwan Jafar mengatakan,
produksi perfilman nasional mengalami kemunduran, baik dari segi bisnis maupun kualitas. Ia berharap perfilman
Indonesia dapat memberikan pembelajaran yang berdampak positif bagi masyarakat. "Saya sendiri merasa kurang
puas karena perkembangan industri perfilman yang lambat dan belum ada film spektakuler," katanya, Selasa,
(10/3).

Jangan cuma ada film horor saja, harus ada edukasi yang terus menerus dikembangkan dan berikan secara
positif kepada masyarakat. Menurutnya, salah satu upaya menumbuhkan kembali gairah perfilman adalah
penayangan film hingga tingkat desa. Selain itu penayangan film di tingkat desa juga akan menyerap tenaga kerja
yang secara otomatis akan menaikkan ekonomi masyarakat desa."Selain menyajikan hiburan bagi masyarakat desa,
juga bisa menaikkan pendapatan bagi warga desa setempat. Saya kira positif juga kalau film dikembangkan di
desa, di sisi lain juga bisa membantu sosialisasi program pemerintah," ujarnya (sumber).

Untuk mengembangkan perfilman Indonesia diperlukan seluruh stakeholder maupun fasilitas ruang putar.
Pemerintah dibutuhkan untuk mendukung industri perfilman Indonesia dengan memberikan suntikan dana sebagai
investasi untuk menumbuhkan gairah sutradara-sutradara pendatang baru dan pembuatan ruang putar di seluruh
provinsi di Indonesia. Tidak hanya bioskop di kota besar, ruang putar biasa melalui banyak hal, salah satunya
bioskop mini di bangun di desa-desa agar dapat menjangkau lebih banyak penonton.

Setiap filmmaker juga perlu membuat plot yang anti mainstream agar mengurangi rasa jenuh terhadap film-
film yang ada sekarang. Dan masyarakat sebagai salah satu stakeholder perlu lebih mengapresiasi karya film orang
lain dengan menontonya secara legal agar para film maker tetap terus meningkatkan kualitas dari film mereka
menjadi lebih baik. Perfilman Indonesia akan lebih berkembang cepat jika seluruh stakeholder saling mengerjakan
bagiannya dalam industri ini dibantu dengan fasilitas yang lebih baik.

Menurut Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf mengatakan, saat ini Indonesia menjadi satu-
satunya negara yang tidak memiliki insentif perpajakan untuk sektor industri film. Padahal negara lain seperti
Vietnam dan Malaysia sudah menerapkan kebijakan tersebut. Salah satu yang sering kita dengar dari para film
maker Indonesia adalah masalah biaya produksi dari sebuah film.
Biaya pembuatan film sangat mahal, tentu saja para pembuat film dibuat pusing dengan hal ini. Dengan
penonton film Indonesia yang kurang mengapresiasi, film maker Indonesia dengan terpaksa membuat film dengan
budget minim dengan kualitas yang rendah agar mendapatkan income dari film tersebut. Tidak bisa menyalahkan
para film maker jika budget tidak menyanggupi pembuatan film dengan kualitas yang baik.

Dengan modal yang minim, para kreator Indonesia terkesan monoton dengan tema, alur cerita, hingga
pemeran yang itu-itu saja. Kurangnya Idealis para kreator film, dihadapkan dengan dua pilihan yang sulit antara
mengikuti idealis dengan resiko tidak laku lebih tinggi atau film yang monoton tetapi laku dipasaran.

Kreator Indonesia terpaksa menciptakan karya film yang monoton disebabkan kurangnya pengembangam
dalam skenario film, yang akan kembali lagi kepada keuntungan dari film tersebut. Perlunya dukungan untuk para
film maker Indonesia berkarya lebih baik contohnya, Di negara lain industri ini mendapatkan insentif dalam bentuk
pendanaan bagi para produser film lokal. Itu adalah beberapa faktor negara tersebut maju dalam dunia perfilman.

Menurut Harry, pemerintah perlu mengambil kebijakan untuk mendukung pembangunan bioskop di tiap
provinsi di Indonesia. Selain itu perlu melakukan apresiasi dan mendorong penguatan film produksi dalam negeri
dibanding produk film impor seperti yang dilakukan beberapa negara seperti Jerman dan India.

Di negara tersebut menayangkan film produksi negaranya lebih lama dari film produksi impor. Perfilman
Indonesia bisa saja maju dengan mencontoh strategi negara yang sudah berhasil. Tetapi banyak kepentingan yang
mementingkan keuntungannya saja, dan memperlambat perkembangan Industri film lokal.

Perfilman Indonesia perlu didukung dikembangkan oleh pemerintah, masyarakat, dan perlu peningkatan
kualitas dari film itu sendiri. Menurut Harry Reinaldi, film Indonesia sudah sangat berkembang. Namum,
Masyarakat jangan hanya menjadi penikmat, tetapi juga pengamat dalam mengkritisi baik buruknya sebuah film
untuk meningkatkan kualitas dari film Indonesia. Di harapkan agar sineas di Indonesia dapat didukung dengan
infrastruktur yang memadai agar dapat menghasilkan film dengan genre yang beragam.

2.4 Teknologi Perfilman

Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang
dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau
bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses
elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan
sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan/atau lainnya. Dalam bahasa inggris, film is a story that is told using
moving pictures, shown at a cinema or on television[1]. Artinya, film adalah cerita yang disampaikan melalui
gambar yang bergerak biasanya dipertontonkan di bioskop atau televisi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
untuk Android, film berarti 1. Selaput tipis yang terbuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan
dibuat potret) atau untuk gambar positif (yang akan dimainkan di bioskop), 2. Lakon (cerita) gambar hidup.

Sejarah perkembangan film dimulai sejak ditemukanya gambar bergerak yang didemonstrasikan
oleh Eadweard Muybridge dari Stanford University dengan membuat 16 gambar atau frame kuda yang sedang
berlari. Kejadian ini terjadi pada tahun 1878. Dari ke-16 gambar kuda yang sedang berlari ini dirangkai dan
digerakkan secara berurutan menghasilkan gambar bergerak pertama yang berhasil dibuat di dunia. Dari sinilah ide
membuat sebuah film muncul. Sepuluh tahun setelah penemuan gambar bergerak (1888), barulah muncul film
(bukan sekedar gambar bergerak) pertama di dunia, paling tidak mendekati konsep film-film yang sudah ada saat
ini. Film ini dikenal dengan nama Roundhay Garden Scene yang di’sutradarai’ oleh Louis Le Prince yang berasal
dari Prancis. Film berdurasi sekitar 2 detik ini menggambarkan sejumlah anggota keluarga Le Prince sedang
berjalan-jalan menikmati hari di taman.
Film pertama kali dipertontonkan untuk khalayak umum dengan membayar berlangsung di Grand Cafe
Boulevard de Capucines, Paris, Perancis pada 28 Desember 1895. Peristiwa ini sekaligus menandai lahirnya film
dan bioskop di dunia. Karena lahir secara bersamaan inilah, maka saat awal-awal ini berbicara film artinya juga
harus membicarakan bioskop. Meskipun usaha untuk membuat “citra bergerak” atau film ini sendiri sudah dimulai
jauh sebelum tahun 1895, bahkan sejak tahun 130 masehi, namun dunia internasional mengakui bahwa peristiwa di
Grand Cafe inilah yang menandai lahirnya film pertama di dunia. Pelopornya adalah dua bersaudara Lumiere Louis
(1864-1948) dan Auguste (1862-1954). Lumiere Bersaudara mempertunjukan cinematograph untuk pertama
kalinya kepada masyarakat Paris hanya dengan membayar 1 franc. Jadi hingga saat ini hal itulah yang dianggap
menjadi hari dimana sebuah sinema itu ada.

Keunggulan cinematograph (Lumiere) dibandingkan dengan alat perekam lain:

1. Gambar yang dihasilkan lebih tajam.


2. Intermittent movement (gerak sendat).
3. Fleksibel (kamera ringan & kecil)

Thomas A. Edison juga menyelenggarakan bioskop di New York pada 23 April 1896. Dan meskipun Max dan
Emil Skladanowsky muncul lebih dulu di Berlin pada 1 November 1895, namun pertunjukan Lumiere Bersaudara
inilah yang diakui kalangan internasional. Kemudian film dan bioskop ini terselenggara pula di Inggris (Februari
1896), Uni Sovyet (Mei 1896), Jepang (1896-1897), Korea (1903) dan di Italia (1905).

Dunia perfilman anak juga dimulai oleh Walter Elias Disney atau yang lebih akrab disapa Walt Disney. Dia
memulai mencoba membuat hiburan untuk anak-anak pertama kali saat mencoba menghibur adik perempuannya,
Ruth, yang sedang sakit. Ia membuat gambar di sudut buku kecil yang pergerakannya berubah secara perlahan.
Lalu ketika ia membuka sudut buku itu secara cepat, gambar-gambaar yang ia buat seolah-olah bergerak. Melihat
adiknya terhibur, ia mulai berpikir untuk membuat hiburan dalam bentuk gambar untuk anak-anak. Berawal dari
film “Alice in the Wonderland”, serial Mickey Mouse dan kawan-kawan, hingga animasi Disney lainnya yang kita
kenal sekarang, nama Walt Disney dikenang dalam dunia hiburan anak-anak sampai rekannya membuat Disney
Land di Orlando, Amerika Serikat dan Hongkong.

Sedangkan di Indonesia sendiri, film pertamakali diperkenalkan pada 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta). Pada
masa itu film disebut “Gambar Idoep”. Pertunjukkan film pertama digelar di Tanah Abang. Film adalah sebuah
film dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu dan Raja Belanda di Den Haag. Pertunjukan pertama ini
kurang sukses karena harga karcisnya dianggap terlalu mahal. Sehingga pada 1 Januari 1901, harga karcis
dikurangi hingga 75% untuk merangsang minat penonton.

Film cerita pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun 1905 yang diimpor dari Amerika. Film-film impor ini
berubah judul ke dalam bahasa Melayu. Film cerita impor ini cukup laku di Indonesia. Jumlah penonton dan
bioskop pun meningkat. Daya tarik tontonan baru ini ternyata mengagumkan. Film lokal pertama kali diproduksi
pada tahun 1926. Sebuah film cerita yang masih bisu. Agak terlambat memang. Karena pada tahun tersebut, di
belahan dunia yang lain, film-film bersuara sudah mulai diproduksi.

Perubahan dalam industri perfilman, jelas nampak pada teknologi yang digunakan. Jika pada awalnya, film berupa
gambar hitam putih, bisu dan sangat cepat, kemudian berkembang hingga sesuai dengan sistem pengelihatan mata
kita, berwarna dan dengan segala macam efek-efek yang membuat film lebih dramatis dan terlihat lebih nyata.
Film tidak hanya dapat dinikmati di televisi, bioskop, namun juga dengan kehadiran VCD dan DVD, film dapat
dinikmati pula di rumah dengan kualitas gambar yang baik, tata suara yang ditata rapi, yang diistilahkan dengan
home theater.

1. Film 2 Dimensi (2D), 3 Dimensi (3D), dan 4 Dimensi (4D)


Perkembangan teknologi dan komputer menyebabkan industri perfilman juga mengikuti perkembangan yang ada.
Mulai dari film bisu, film hitam putih, hingga film yang kita kenal seperti sekarang ini seperti film 2 dimensi (2D)
dan 3 dimensi (3D). Dilihat dari cara pembuatannya, film produksi luar negeri seperti 20th Century Fox, Columbia
Pictures, Dream Works SKG, Paramount Pictures, Pixar Animation Studios, Sony Pictures Entertainment,
Universal Studios, Walt Disney Picture, lebih disukai baik di dalam negeri maupun luar negeri dikarenakan
beberapa faktor, yaitu ceritanya yang tidak membosankan, setting yang menarik perhatian penonton, dan yang tak
kalah pentingnya adalah efek yang diberikan di setiap adegan film yang menambah film tersebut terlihat seperti
kenyataan.

1. Film 2 dimensi (2D)

Film 2D biasanya digunakan pada film kartun. Film ini memberika kelebihan dalam penayangan yaitu memiliki
suara yang jernih, gambar lebih halus, serta gambar yang telah di sensor hampir tidak terlihat. Kelemahannya yaitu
kualitas hasil proyeksinya lebih kecil daripada film biasanya, dimana layar akan lebih kecil dikarenakan jika
menggunakan layar lebih besar kualitasnya akan semakin berkurang. Softwae animasi 2D biasanya digunakan
untuk membuat animasi tradisional dimana memiliki kemampuan dalam mengatur gerak, menggambar, sebagian
bisa mengimpor suara dan mengatur waktu. Software yang digunakan yaitu Macromedia Flash,GIF Animation dan
Corel Rave, Swish Max, After Effects, Moho, CreaToon, dan ToonBoo. Contoh film 2D adalah Shincan, Looney
Toons, Pink Panther, Tom and Jerry, dan Scooby Doo

1. Film 3 dimensi (3D)

Kualitas film 3D memberikan tayangan 3 dimensi atau terlihat lebih nyata dengan menggunakan bantuan alat
kacamata khusus. Jika tidak, gambar akan terlihat blur atau buram. Kacamata yang sering digunakan pada format
film 3D adalah Red/Cyan dimana red (merah) di kiri dan cyan (biru) di kanan. Kelemahannya adalah film format
3D tidak disertai dengan terjemahan dikarenakan akan mengurangi kualitas film. Penggunaan kacamata dalam film
3D hanya pada bioskop, sedangkan pada televisi tidak memerlukan kacamata.

Pada penayanagan film 3D, menggunakan dua proyektor yaitu interlocking atau dengan menggunakan satu
proyektor tapi memiliki dua lensa. Beberapa merk proyektor yang sering digunakan pada sinema digital adalah
Barco, Sony, Kinoton, dan Christie. Berikut beberapa sistem penayangan sinema digital pada film 3D :

1. Real D adalah sistem 3D yang digunakan karena efek 3D yang dihasilkan akan terus stabil tidak akan mengurangi
kualitas film jika ditonton pada posisi kepala menunduk atau mendongak. Dikarenakan teknologi yang dipakai
menggunakan circular polarization yang terdapat pada lensa kacamata dan perangkat yang berfungsi sebagai
pengatur pencahayaan yang terpasang di optic proyektor. Didepan lensa proyektor, Real D memasang filter
polarisasi. Silver screen merupakan layar khusus pada sistem Real D
2. Dolby 3D dengan menggunakan teknologi colorwheel yang terdapat beberapa filter berwarna dengan fungsi
mentransmisikan gambar dengan macam-macam level gelombang cahaya berguna dalam menayangkan efek
gambar 3D. Pada Dolby 3D dipasang cakram spektrum warna didepan lampu proyektor untuk memodifikasi
proyektor digital.
3. IMAX 3D merupakan suatu perusahaan di bidang teknologi bioskop dimana awalnya hanya ikut dalam
penayangan serta pengambilan gambar yang beresolusi lebih tinggi 35 mmpada format filmya yaitu 70 mm
proyektor untuk penayangan dan 65 mm film negatif pada kamera IMAX. Perkembangan teknologi membuat
kualitas gambar menjadi lebih baik dari 2K dalam 2 proyektor menjadi 4K dalam satu proyektor.

Aplikasi pembuatan film ini dikenal dengan nama CGI atau Computer Generated Imagery dan juga
beberapa software yang populer dari aplikasi ini seperti Maya, Blender, Art of Illusion dll. CGI merupakan
penerapan bidang komputer grafis khususnya dalam bidang 3D untuk efek khusus, iklan, program televisi maupun
media cetak. Salah satu efek dari aplikasi CGI adalah digital grading, dimana warna asli objek pada saat shooting
bisa dirubah sehingga sesuai dengan skenario. Contohnya adalah dalam film The Lord of the Rings, pada wajah
Sean Bean yang ketika meninggal dibuat lebih pucat. Efek ini adalah murni efek komputerisasi dari aplikasi CGI,
digital grading, dan bukan efek makeup. Penggunaan software ini memang sedikit banyak mempermudah
pengambilan gambar karena bisa dilakukan langsung bersamaan pada saat editing. Jika menggunakan makeup akan
ada waktu yang terbuang untuk menghapus makeup dan menggantinya lagi.

Teknologi yang semakin canggih tentu membutuhkan biaya yang juga tidak sedikit dan teknologi CGI ini
tergolong teknologi yang cukup mahal. Satu frame CGI biasanya dibuat berukuran 1,4–6 megapiksel dan untuk
membuat satu tokoh dengan adegannya saja biasanya dibutuhkan waktu untuk rendering setiap frame 2-3 jam,
bahkan bisa jauh lebih lama jika membutuhkan sebuah adegan yang kompleks.

Cara sederhana untuk membuat efek pada suatu film, kita dapat menggunakan 3DMax, lightwave,
Cinema4D, Maya, atau software yang gratis seperti Blender. Software tersebut sebenarnya merupakan software 3D
modelling yang juga bisa untuk animasi. Selain software diatas ada beberapa software yang memang khusus untuk
keperluan animasi & visual effect movie yaitu Vue, Bryce, Poser, dan DAZ Studio. Setelah animasi dan visual
effect selesai selanjutnya dilakukan kombinasi atau penggabungan antara visual effect yang biasa disebut
compositing. Software yang digunakan memiliki kemampuan dan fasilitas yang canggih dengan kualitas yang baik.
Kelebihan dalam membuat objek 3D yaitu dalam pemberian efek , pengaturan dan penyesuaian gerak, impor suara
dan video, serta yang lainnya. Beberapa software yang digunakan yaitu dengan Apple Shake, Adobe After Effects,
Autodesk Combustion, D2 Software Nuke, Eyeon Digital Fusion, Jahshaka, MAX Studio, Alias Wave Front AMA,
Light Wave, Poser (figure animation), Bryce (landscape animation), dan Maya. Namun untuk hasil yang lebih real
atau nyata bisa menggunakan platform yang mengkombinasikan solusi software & hardware. Platform tersebut
bisa dengan Autodesk Inferno, Autodesk Flame, dan Autodesk Flint.

Software pendukung yang biasa digunakan dalam pembuatan film 3D adalah sebagai berikut :

1. Adobe Premiere Pro 2.0

Adobe Premiere Pro 2.0 merupakan seri terbaru dari Adobe Premiere. Adobe Premiere Pro 2.0 adalah salah satu
program yang sangat popular dalam dunia editing film. Program ini dibuat oleh perusahaan software yang terkenal,
yaitu Adobe. Adobe Premiere Pro 2.0 dibuat untuk melakukan editing film dan juga untuk membuat animasi video
digital.

2. Adobe Photoshop 9.0

Adobe Photoshop 9.0 adalah Software Editing Image yang sangat popular. Software ini dibuat dengan fitur
lengkap sehingga menghasilkan karya image yang lebih bagus dan handal.

3. 3D Studio Max 7.0

3D Studio Max adalah software grafik yang memadukan antara Graphic Vector dengan Raster Image. Pemaduan
ini bertujuan untuk menghasilkan hasil rancangan Virtual Reality atau mendekati keadaan yang sebenarnya.

4. Adobe After Effects 7.0

Adobe After Effects 7.0 adalah software yang digunakan untuk membuat berbagai efek pada sebuah animasi.

Contoh film dengan menggunakan sistem animasi 3D adalah Bugs Life, AntZ, Dinosaurs, Final Fantasy, Toy Story
Series, Monster Inc., Finding Nemo, The Incredible, Shark Tale, dan masih banyak lagi.

Pembuatan film 3D pada dasarnya bisa dibagi menjadi tiga jenis, live action, animasi, dan konversi 2D ke
3D. Pembuatan film live action membutuhkan dua tahapan: syuting dengan kamera 3D dan pasca produksi
(editing, colorgrading, mastering, dan sebagainya). Pembuatan animasi 3D dianggap lebih sederhana dengan
menggunakan kamera virtual di komputer dan kesalahan efek 3D lebih bisa dihindari daripada pembuatan film
3D live action.

Konversi 2D ke 3D merupakan proses alternatif. Pengambilan gambar dilakukan secara 2D namun dalam
pasca produksi dilakukan keputusan bahwa film juga diedarkan secara 3D. Proses konversi 2D ke 3D merupakan
proses yang sangat intensif karena dilakukan duplikasi semua frame film agar didapat gambar ganda untuk mata
kanan dan kiri sehingga biaya paska produksi membengkak. Biasanya konversi dilakukan terhadap film-film lama
yang dirilis ulang ke format 3D seperti Nightmare Before Christmas dan Titanic (90an).

Biasanya proses pengambilan gambar (optik atau digital) memerlukan dual camera rig. Ada dua
macam rig 3D yang umum yaitu side by side dan mirror rig. Side by side rig adalah penempatan dua kamera
identik secara berdampingan. Sistem ini lebih sederhana dibandingkan sistem mirror rig namun mempunyai
kelemahan. Rig ini hanya ideal untuk kamera kecil. Pada kamera besar jarak kedua kamera menjadi terlalu dekat
hingga bisa muncul masalah: interocular/interaxial (perspektif paralel jarak kedua lensa dari kedua kamera) tidak
bisa cukup kecil untuk shot close up. Akibatnya kedalaman gambar terdistorsi memanjang.

Mirror rig berhasil mengatasi masalah itu namun mempunyai kelemahan lain: polarisasi gambar; pantulan atau
refleksi pada sebuah objek di satu mata tidak ditemukan di mata lain. Problem ini bisa dikoreksi dengan
menggunakan filter polarizer di lensa yang terdapat pantulan. Akibatnya cahaya yang masuk ke kamera berubah.

Selain menggunakan dual camera rig, ada pilihan ketiga, yaitu dengan menggunakan satu kamera dengan sistem
dua lensa. Panasonic merupakan perusahaan pertama yang membuat kamera video digital berkualitas resolusi HD
dengan dua lensa untuk membuat film 3D. Kamera ini menjadi alternatif bagi orang yang mau membuat film 3D
dengan bujet lebih murah karena hanya menggunakan satu kamera. Kabarnya kamera ini digunakan pertama kali
untuk membuat film Sex and Zen 3D: Extreme Ecstacy (Hongkong, 2011), yang merupakan film semi porno 3D
pertama di dunia yang dibuat dengan teknologi digital.

Selain memilih sistem kamera yang cocok, ada dua metode yang harus diperhatikan dalam pengambilan gambar
3D yaitu parallel dan convergence. Parallel adalah cara mengambil dua gambar dari kamera yang perspektifnya
paralel lurus ke depan. Cara ini adalah cara yang sangat aman namun memerlukan usaha dan waktu banyak dalam
penanganan paska produksi. Convergence, adalah cara menyilangkan perspektif kedua kamera sehingga kamera
kanan mengambil gambar ke kiri sedang kamera kiri mengambil gambar ke kanan. Hasil dari pengambilan gambar
ini lebih gampang diolah di tahap pasca produksi namun apabila terjadi over-convergence (penyilangan
berlebihan), hasil syuting sulit untuk diproses menjadi gambar 3D yang baik.

Pengerjaan pasca produksi untuk film 3D membutuhkan perangkat yang mendukung materi 3D. Alat-alat yang
dimaksud adalah display monitor atau proyektor, sistem color grading, dan online editing/special effect.

Monitor atau proyektor yang digunakan harus memiliki kemampuan untuk melihat gambar film 3D. Ada dua jenis
sistem yang bisa digunakan, aktif dan pasif. Sistem aktif adalah dengan menggunakan kacamata 3D dari LCD
(Liquid Crystal Display) yang secara berganti-gantian berkedip-kedip antara mata kanan dan kiri. Kaca mata ini
merupakan perangkat elektronik yang terkoneksi dengan infra merah ke display monitor. Selain mahal, kaca mata
ini membutuhkan tenaga baterai dan biasanya hanya dijual sebagai satu set dengan alat display merek yang sama
dan umumnya tidak kompatibel dengan monitor atau proyektor 3D merek lain. Sementara sistem pasif
menggunakan kaca mata polarized 3D biasa yang tidak mahal haganya dan bisa dipakai dengan display
monitor atau sistem proyektor 3D profesional merek apa saja.
Berbagai merek alat color-grading maupun online editing di masa sekarang memiliki fitur untuk pengerjaan film
3D yaitu kemampuan untuk mengerjakan dua track gambar untuk mata kanan dan mata kiri dengan mengatur axis
x, y, dan z (sistem koordinat Cartesian). Pada pengerjaan film 2D, pengaturan dimensi gambar direpresentasikan
dengan menggunakan fitur axis x dan y yang merepresentasikan panjang dan tinggi gambar film. Sedang untuk
pengerjaan film 3D ditambahkan axis y yang mengatur depth (kedalaman persepektif) untuk mendapatkan efek tiga
dimensi. Quantel Pablo merupakan salah satu contoh merek gabungan sistem color-grading dan online
editing yang pertama keluar. Beberapa merek alat terkenal lain juga sekarang memiliki model terbaru dengan fitur
untuk 3D seperti Scratch, Davinci Resolve, Autodesk, Nuke, dan sebagainya.

Penayangan film 3D di bioskop digital memerlukan dua proyektor interlocking atau satu proyektor dengan dua
lensa. Merek-merek proyektor terkenal yang biasa digunakan untuk sinema digital adalah Christie, Barco, Sony,
dan Kinoton.

Selain itu diperlukan alat untuk mengatur agar proyektor optik bisa memutar film 3D. Ada beberapa merek
terkenal yang membuat peralatan ini seperti RealD, Dolby 3D, dan IMAX 3D. Real D merupakan sistem 3D
bioskop yang paling banyak digunakan pada saat ini karena efek tiga dimensi yang dihasilkan tetap stabil walaupun
penonton melihat dalam posisi kepala mendongak atau menunduk. Ini disebabkan karena teknologi circular
polarization yang ada di lensa kaca mata dan sebuah perangkat untuk mengatur pencahayaan yang dipasang di
proyektor optik. Selain itu dari faktor ekonomis, harga kaca mata circular polarization lebih murah daripada kaca
mata berteknologi lain seperti LCD.

Dolby 3D memakai teknologi colorwheel yang memiliki sejumlah filter berwarna yang berfungsi mentransmisikan
gambar dengan berbagai level gelombang cahaya untuk menampilkan efek gambar 3D. Metode ini
disebut wavelength multiplex visualization. Kaca mata untuk sistem Dolby 3D lebih mahal dari buatan RealD dan
rapuh. Namun kelebihan Dolby 3D dibanding kompetitor seperti RealD adalah bisa berfungsi di proyektor
konvensional.

IMAX 3D adalah perusahaan di bidang teknologi bioskop yang awalnya berkecimpung dalam pengambilan
gambar dan penayangan film dengan format film resolusi lebih tinggi dari 35mm, yaitu 65mm film negatif dengan
kamera IMAX dan 70mm proyektor IMAX untuk penayangan. Karena resolusi yang dihasilkan sistem ini besar
maka ukuran layar bioskop IMAX berukuran sangat besar dibandingkan di bioskop konvensional. IMAX sudah
terlibat dalam penanganan 3D sejak zaman analog dengan membuat proyektor untuk copy film 70mm dengan dua
lensa yang berjarak 64mm (jarak rata-rata antara kedua mata manusia). Ketika IMAX mulai menggunakan
teknologi digital di tahun 2008, mereka mendapatkan bahwa resolusi yang dihasilkan oleh dua proyektor 2K tidak
bisa menyamai kualitas print 70mm analog. Mereka menemukan bahwa kualitas gambar dari dua proyektor 2K
tetap lebih rendah dari satu proyektor 4K. Semenjak 2012, IMAX bekerja sama dengan Barco menghasilkan dua
buah proyektor 4K dan menurut laporan hasilnya cukup bagus.

Sebagian industri perfilman sedang merilis film 4 dimensi (4D) yaitu dimana si penonton benar-benar merasakan
seakan dia sedang berada pada latar film tersebut ditambah dengan pergerakan kursi dan efek yang ditumbulkan
dari ruangan tersebut yang menyebabkan penonton benar-bernar bergerak ke segala arah. Film 4 dimensi di
Indonesia pernah di putar di Dunia Fantasi, Jakarta beberapa tahun yang lalu. Film tersebut menceritakan tentang
seekor berunag kutub kecil yang terpisah dengan induknya akibat melelehnya es di kutub karena suhu di kutub
semakin memanas. Efek ruangan yang ditimbulkan adalah semprotan air seakan-akan penonton merasakan cipratan
air saat bongkahan es jatuh di hadapan mereka. Kemudian kursi digerakkan mengikuti arah bongkahan es yang
bergerak seakan-akan penonton berada di bongkahan es yang mengarungi lautan luas.
2.3 Permbajakan Hak Cipta

Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak
ciptaannya atau memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Hak cipta ini memungkinkan seseorang atau sekelompok orang untuk
mendapat keuntungan atas penggunaan hasil ciptaannya. Hak cipta ini diberikan dan diatur oleh negara sebagimana
hukuman pelanggaran ham ringan .

Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, Hak Cipta didefinisikan sebagai hak
eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan
dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
sebagaimana dalam ciri ciri masyarakat hukum adat .

Hak Cipta juga merupakan bagian dari kekayaan intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra
yang mempunyai peranan strategis dalam mendukung pembangunan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Film merupakan salah satu hasil karya seni yang tentunya memiliki Hak cipta berdasarkan atas UU yang
berlaku di Indonesia sebagaimana hukuman yang masih rendah bagi koruptor . Dari berbagai jenis film yang
beredar ternyata ada beberapa film yang kedapatan dinyatakan pelanggara hak cipta (Copyright) sebagaimana
contoh pelanggaran demokrasi . Kasus yang demikian cukup menyita perhatian, terlebih lagi tentunya bagi
kalangan pecinta film. Nah untuk mengetahui dan mengupas lebih lanjut mengenai hal tersebut ebagaimana
perbedaan pelanggaran hak dan pengingkaran kewajiban , berikut merupakan Contoh Kasus Pelanggaran Hak
Cipta Film yang pernah terjadi di Indonesia .

Pelanggaran Hak Cipta Film Soekarno

Film Soekarno garapan sutradara Hanung Bramantyo terancam ditarik dari peredaran setelah Pengadilan
Niaga Jakarta Pusat mengeluarkan penetapan sementara terkait adanya dugaan pelanggaran hak cipta di film
tersebut. Penetapan sementara ini diterbitkan setelah Rachmawati Soekarnoputri, salah satu putri Bung Karno,
melayangkan permohonan ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Dalam penetapan sementara yang dikeluarkan pada Rabu (11/12), pihak PT Tripar Multivision Plus, Raam
Jethmal Punjabi, dan Hanung Bramantyo diperintahkan segera menyerahkan master serta skrip film Soekarno
kepada Rachmawati. Alasannya, terdapat pelanggaran hak cipta di film tersebut. Multivision Plus, Raam Punjabi,
serta Hanung juga diperintahkan menghentikan, menyebarluaskan, ataupun mengumumkan hal-hal yang terkait
dengan film Soekarno khusus di adegan yang tercantum di skrip halaman 35.

Menurut penetapan sementara, adegan itu menampilkan “…dan tangan polisi militer itu melayang ke pipi
Sukarno beberapa kali. Saking kerasnya Sukarno sampai terjatuh ke lantai” dan adegan “popor senapan sang polisi
sudah menghajar wajah Soekarno”

Permohonan penetapan sementara ini didasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5
Tahun 2012. Beleid ini khusus mengatur hak kekayaan intelektual, yakni hak cipta, desain industri, merek, dan
paten. Dalam ketentuan itu juga disebutkan bagi mereka yang tidak menaati penetapan ini dapat dipidana dengan
Pasal 216 KUHP. Pidana penjara yang dinyatakan dalam pasal itu adalah paling lama 4 bulan 2 minggu, sedangkan
pidana denda paling banyak sebesar Rp9.000,-. Terkait hal ini, pihak Hanung menolak berkomentar dan hanya
mengatakan permasalahan tersebut akan dijelaskan oleh kuasa hukum Multivision Plus.
2.4 Peran Pemerintah

Tulisan ini spesifik untuk mencermati peran pemerintah dalam dunia film, maka paling enak untuk melihat
apa yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah melihat undang-undangnya. Menurutku --secara esensial--
undang-undang merupakan komitmen pemerintah bersama wakil rakyat (DPR) dalam 'melayani' atau
mensejahterakan rakyatnya. Mengapa demikian? Karena pemerintah sebagai eksekutor program, apapun yang
dilakukan harus sesuai dengan undang-undang. Ini sudah menjadi 'aturan main' dalam dunia pemerintahan kita.
Keluar dari aturan itu? Jelas akan melanggar konstitusi. Jadi menurutku tidak elok untuk menyalahkan pemerintah
atau DPR secara an-sich, jika apa yang kita harapkan tidak tercantum dalam undang-undang. Artinya, semua akan
sia-sia jika kita menuntut kepada pemerintah untuk melakukan sesuatu (dalam bidang film), sedang hal itu tidak
ada dalam undang-undang yang mengaturnya. Atau jika undang-undangnya nggak sesuai dengan kebutuhan
masyarakat (karena kapasitas pembuatnya kurang berkompeten), gimana eksekusinya? Ya, kan?!

Udah, itu dulu prolognya. Sekarang kita cermati undang-undangnya yaa... Nilai-nilai Normatif secara
umum kewajiban Pemerintah terhadap Dunia Perfilman tercantum dalam konsideran Undang-undang No. 33
Tahun 2009 disebutkan:

1. bahwa film sebagai karya seni budaya memiliki peran strategis dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa dan
kesejahteraan masyarakat lahir batin untuk memperkuat ketahanan nasional dan karena itu negara bertanggung
jawab memajukan perfilman.

2. bahwa film sebagai media komunikasi massa merupakan sarana pencerdasan kehidupan bangsa, pengembangan
potensi diri, pembinaan akhlak mulia, pemajuan kesejahteraan masyarakat, serta wahana promosi Indonesia di
dunia internasional, sehingga film dan perfilman Indonesia perlu dikembangkan dan dilindungi;

3. bahwa film dalam era globalisasi dapat menjadi alat penetrasi kebudayaan sehingga perlu dijaga dari pengaruh
negatif yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan jati diri bangsa Indonesia;

4. bahwa upaya memajukan perfilman Indonesia harus sejalan dengan dinamika masyarakat dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi

Sengaja ini saya sebutkan secara lengkap dalam konsideran Undang-undang Perfilman, agar kita cukup
untuk berfikir positif terhadap munculnya undang-undang perfilman. Bukannya berfikir bahwa undang-undang
adalah 'penjara' yang mengekang kebebasan bergerak bagi masyarakat perfilman.

Dalam konsideran ini tercantum nilai normatif (terutama yang bercetak tebal/bold) yang perlu kita
perhatikan, yaitu kewajiban pemerintah secara umum dalam industri film kita adalah: memajukan,
mengembangkan dan melindungi dunia perfilman serta menjaga pengaruh negatif yang tidak sesuai dengan
Pancasila dan jati diri Bangsa Indonesia.

Agar kita berfikir runtut, mari kita cermati pula agak lebih detail di pasal-pasalnya:

Dalam Pasal 3 Undang-undang No. 33 tahun 2009 tentang Perfilman disebutkan, tujuan perfilman adalah:
a). terbinanya akhlak mulia; b). terwujudnya kecerdasan kehidupan bangsa; c). terpeliharanya persatuan dan
kesatuan bangsa; d). meningkatnya harkat dan martabat bangsa; e). berkembangnya dan lestarinya nilai budaya
bangsa; f). dikenalnya budaya bangsa oleh dunia internasional; g). meningkatnya kesejahteraan masyarakat; dan
h). berkembangnya film berbasis budaya bangsa yang hidup dan berkelanjutan.
Di samping itu, perlu kita cermati pula Fungsi Perfilman dalam Pasal 4 disebutkan, fungsi perfilman untuk:
a). Budaya; b). Pendidikan; c). Hiburan; d). Informasi; e). Pendorong karya kreatif; dan f). Ekonomi.

Selanjutnya secara tegas disebutkan dalam Undang-undang ini tentang Kewajiban, Tugas, dan Wewenang
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam bidang perfilman, tersebut dalam BAB V, seperti ini;

Pasal 51: Pemerintah berkewajiban: a). memfasilitasi pengembangan dan kemajuan perfilman; b).
memfasilitasi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perfilman; c). memberikan bantuan pembiayaan
apresiasi film dan pengarsipan film; dan d). memfasilitasi pembuatan film untuk pemenuhan ketersediaan film
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.

Pasal 54: Pemerintah Daerah berkewajiban: a). memfasilitasi pengembangan dan kemajuan perfilman; b).
memberikan bantuan pembiayaan apresiasi dan pengarsipan film; c). memfasilitasi pembuatan film untuk
pemenuhan ketersediaan film Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32; dan d). memfasilitasi pembuatan
film dokumenter tentang warisan budaya bangsa di daerahnya.

Pasal 55 (1): Pemerintah Daerah mempunyai tugas: a). melaksanakan kebijakan dan rencana induk
perfilman nasional; b). menetapkan serta melaksanakan kebijakan dan rencana perfilman daerah; dan c).
menyediakan sarana dan prasarana untuk pengembangan dan kemajuan perfilman. (2) Dalam menetapkan
kebijakan dan rencana perfilman daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, pemerintah daerah mengacu
pada kebijakan dan rencana induk perfilman nasional.

Secara praktis, beberapa pasal di dalam undang-undang ini membutuhkan aturan main yang lebih detail,
yaitu Peraturan Menteri (Permen). Tanpa Peraturan Menteri, beberapa pasal itu tidak aplicable, hanya bersifat
normatif dan debatable.

Itulah beberapa point sebagai amanah rakyat yang harus dilaksanakan oleh pemerintah sebagai 'pelayan'
masyarakat, khususnya dalam bidang perfilman. Pertanyaan yang muncul sekarang adalah; bagaimana
implementasi dari undang-undang yang menjadi 'amanah' rakyat kepada Pemerintah tersebut? Mari kita cermati
bersama sebagai bahan diskusi dan sekaligus bisa menjadi masukan untuk Pemerintah.

Sebetulnya sudah cukup lama kita mendengar pernyataan pemerintah tentang pentingnya mendorong
industri kreatif sebagai sektor yang potensial di dalam ranah pengembangan ekonomi Indonesia. Bahkan sejak
tahun 2011 telah dibentuk Kementerian Pariwisata & Ekonomi Kreatif yang dijabat oleh Ibu Mari Elka Pangestu.
Ini menjadi indikator perhatian pemerintah terhadap industri kreatif. Namun dengan banyaknya sektor industri
kreatif (16 sub sektor, termasuk sub sektor film), seakan perhatian pemerintah terpecah sedemikian banyak,
sehingga di sub sektor film, dan mungkin di sub sektor yang lain juga kurang terasa dampaknya.

Permasalahan di dunia perfilman, saya melihatnya tidak jauh dari dunia sektor industri kreatif yang lain
atau dunia ekonomi secara umum. Ada dunia film industri yang bersifat komersial, ada pula film makerindie.
Sedangkan secara scoop kelembagaan ada yang besar, sedang dan kecil. Dalam dunia ekonomi ada yang disebut
UKM (Usaha Kecil dan Menengah), ada pula yang disebut perusahaan besar (great corporate). Permasalahan-
permasalah yang muncul pun relatif sama atau tidak jauh berbeda. Seperti masalah permodalan, SDM (Sumber
Daya Manusia), Teknologi, Pemasaran, Manajemen, dan lain sebagainya.

Munculnya Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) yang didirikan pemerintah pada Tanggal 20 Januari 2015 malalui
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) cukup
memberikan 'angin segar' bagi masyarakat perfilman Indonesia. Demikian juga berdirinya Badan Perfilman
Indonesia pada tanggal 17 Januari 2014 atas amanah Undang-undang No. 33 Tahun 2009 sebagai wujud partisipasi
masyarakat perfilman adalah bentuk dari perhatian pemerintah terhadap dunia perfilman. Mungkin kita harus
memaklumi, bahwa lembaga yang baru seumur jagung ini tidak mungkin dituntut macam-macam. Tapi apapun,
melihat geliat kegiatan Bekraf patut kita apresiasi secara baik, sambil mendorong teman-teman masyarakat
perfilman untuk memberikan masukan-masukan pada lembaga yang cukup strategis ini.

Begitu pula untuk BPI (Badan Perfilman Indonesia), masih belum begitu nampak geliatnya di medan
perfilman yang bisa dirasakan oleh masyarakat perfilman. Saya melihat BPI masih dalam rangka mencari bentuk
dan mengumpulkan masukan dan referensi untuk dijadikan programnya. Bidang Penelitiannya pun belum
mengadakan penelitian secara khusus. Saya yakin pembiayaan BPI masih terkendala urusan administrasi dan
prosedur implementasi undang-undang No. 33 No. 2009 itu. Karena memang tidak mudah untuk mengaplikasikan
sebuah undang-undang, apalagi terkait dana rakyat yang akan digunakan. Sebetulnya ini hanya dibutuhkan
kemauan pemerintah beserta DPR untuk menurunkan aturan yang lebih applicable. Karena saya yakin, jika BPI
dilepas dari peran pemerintah, khususnya pembiayaannya, akan mengalami hambatan yang cukup signifikan jika
tidak disertai komitmen kesungguhan para pengurus dalam menjalankan organisasinya.

Mari kita melihat permasalahan-permasalahan ini secara obyektif. Untuk melihat agak detail terhadap
permasalahan ini, sepertinya lebih enak jika kita petakan beberapa hal, seperti ini:

1. SDM (Sumber Daya Manusia)

Layak kita apresiasi langkah dan program yang dilaksanakan oleh Bekraf dalam pengembangan SDM
industri kreatif khususnya sektor perfilman dengan adanya workshop, up-grading,seminar, diskusi, dan road show
yang dilsayakan di beberapa daerah di Indonesia. Termasuk penerbitan buku panduan bagi pengusaha pemula di
bidang industri kreatif. Tapi sayangnya, saya belum lihat buku panduan di bidang film. Hal yang sama juga telah
dan sedang dilakukan oleh Pusbang Film (Pusat Pengembangan Film)- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dengan realitas Indonesia secara geografis yang demikian luas, apa yang dilakukan oleh Bekraf & Pusbang
Film jelas masih terasa minim. Di samping itu melihat banyaknya materi yang ada, jika dibanding waktu yang
hanya 2 hari workshop sepertinya masih sangat kurang. Mungkin ini bisa sebagai masukan (kepada Bekraf) agar
ditambah intensitas pelatihan/workshop yang diadakan. Tidak hanya untuk Bekraf, di tingkat pemerintah daerah
pun perlu peningkatan adanya pelatihan-pelatihan untuk SDM perfilman. Biasanya Dinas Kebudayaan yang
menjadi leading sector di bidang industri kreatif termasuk film. Kalau perlu disediakan beasiswa khusus untuk para
film maker yang potensial dan berprestasi untuk menempuh pendidikan khusus perfilman baik di dalam maupun
luar negeri.

Sedangkah materi pengembangan SDM tentunya tidak hanya pada konten materi perfilman, tapi juga pada
manajemen produksi film, karena materi ini sangat penting untuk pengelolaan produksi film. Mulai tahap pra-
produksi, produksi, post produksi, manajemen produksi, pemasaran produk (film), permodalan, termasuk materi-
materi yang lain yang diperlukan. Di samping itu perlu juga program pendampingan pada komunitas-komunitas
film makeruntuk pengurusan legalitasnya.

Kemudian perlu koordinasi di antara Bekraf, BPI dan Pusbang Film serta Dinas Terkait Pemerintah Daerah
dalam hal peningkatan SDM perfilman. Karena ini penting untuk pembangunan SDM secara merata dan tepat
sasaran, agar tidak tumpang tindih antara satu dan lainnya. Oleh karena itu pemetaan bersama dunia industri
perfilman di Indonesia perlu dilakukan oleh keempat stakeholder tersebut, termasuk peran dunia pendidikan
(Perguruan Tinggi), khususnya Prodi Perfilman. Jika tanpa koordinasi, pasti terjadi silang-sengkarut dan overlap
program di antara stakehlder-stakeholder tersebut.
2.5 Kualitas film indonesia

Beberapa tahun belakangan, perkembangan industri perfilman Indonesia semakin bersinar. Terutama di
tahun 2016 kemarin, terbukti banyak film Indonesia yang meraih lebih dari 1 juta penonton, diantaranya film
Hangout, London Love Story, My Stupid Boss, AADC 2, dan Koala Kumal.

Selain itu, yang tak kalah menghebohkan adalah jumlah penonton pada Warkop DKI Reborn: Jangkrik
Boss! Part 1 yang mencapai 6 juta. Ini bahkan sudah dicatut sebagai film terlaris sepanjang masa perfilman
Indonesia dan mengalahkan jawara box office Indonesia sebelumnya selama 8 tahun yakni Laskar Pelangi (2008).

Namun, dari sekian banyak kesuksesan film Indonesia tahun lalu, ternyata banyak film Indonesia yang
dirasa masih jauh kualitas dan peminatnya dibandingkan film luar. Kira-kira apa sih penyebabnya?

1. Kurangnya pemasaran/promosi

Beberapa film Indonesia seperti kurang promosi, atau memang dilakukan promosi tetapi cenderung mepet-
mepet penayangan hari H. Jika melihat film Hollywood, sebelum tayang di bioskop mereka biasanya sudah gencar
menayangkan trailer bahkan dari 1 tahun sebelumnya. Seringkali kita sendiri tidak menyadari apa film Indonesia
yang sedang tayang di bioskop, bukan?

Namun, memang tidak semua film Indonesia seperti itu. Jika melihat film Ada Apa Dengan Cinta 2
(AADC2), promosinya gencar sekali. Bahkan dulu sempat ada web series AADC yang ditayangkan oleh LINE
Indonesia, yang juga kemudian dijanjikan oleh sang sutradara Riri Riza untuk mengangkat ke layar lebar film
AADC 2.

Belum lagi promosi-promosi yang dilakukan setelahnya melalui media cetak, TV, sampai media sosial. Ini lah
yang membuat penonton Indonesia berebut membeli tiket nonton film AADC 2.

2. Kreativitas pembuat film

Film Indonesia masih cenderung untuk bermain aman dan pada akhirnya memilih genre film yang akan
banyak ditonton oleh masyarakat saja. Perilaku "terjebak pasar" ini memang sering menghambat kreativitas para
sineas Indonesia untuk membuat film yang beda dari yang lain.

Di samping itu, kurangnya modal untuk membuat film bisa menjadi salah satu faktor dari minimnya kreativitas
para sineas. Jika tidak ada yang memfasilitasi, film tersebut bisa saja berakhir menjadi sesuatu yang tidak menarik
untuk ditonton karena kualitas cerita yang biasa saja dan "pasaran".

3. Kurangnya dukungan pemerintah

Hal ini menjadi hal yang tak kalah penting dalam pembuatan film Indonesia. Film Indonesia yang tentu
dibuat di Indonesia dan oleh para sineas Indonesia ini pasti sangat memerlukan dukungan pemerintah Indonesia.
Jika pemerintahnya kurang mendukung, para pembuat film tidak akan semangat lagi untuk memproduksi film
selanjutnya. Pun jika mereka masih bisa membuat film selanjutnya, kualitasnya akan dipastikan sama saja,
cenderung pasaran, atau bahkan bisa lebih buruk. Selain itu, pemerintah juga harus turut mengontrol importir film
dari luar agar film Indonesia tidak kalah saingan dengan film luar.
4. Ketinggalan teknologi

Karena cenderung "main aman" dan mengikuti selera pasar tadi, jarang film Indonesia yang menyertakan
efek atau teknologi tertentu, baik itu secara animasi, visual efek, atau pun suara. Banyaknya film Hollywood yang
bagus dan membuat kita penasaran menontonnya tentu karena ide cerita dan juga visual efek "wah" yang
mendukungnya. Sebut saja seperti film Harry Potter yang tak dapat diragukan lagi kehebatan efek animasinya.

Untuk menunjang kemauan teknologi ini, tentu harus disertakan dahulu keinginan dan kesadaran para sineas untuk
membuat film yang berkualitas baik. Jika ide sudah "out of the box" dan ilmu perfilman mereka sudah mumpuni,
barulah film tersebut bisa terealisasikan dengan tak lupa didukung oleh pihak-pihak yang terkait.

5. Pembajakan

Ini merupakan masalah klasik yang tidak pernah selesai. Mental sebagian penonton Indonesia adalah "yang
penting bisa nonton murah". Padahal, harga DVD yang mahal disebabkan oleh pembayaran pajak dan juga royalti.

Sebagai masyarakat Indonesia, kita harus lebih bisa dan mau menghargai karya-karya anak bangsa. Ini
memang klise tetapi beginilah cara kita menghargai kawan yang beda profesi, sama seperti Anda yang misalnya
bekerja sebagai Sales ingin dihargai oleh konsumennya dengan cara memakai atau membeli produk Anda secara
kontinu. Beginilah cara kita bisa menghargai para sineas tersebut.

Dari sekian banyak masalah dan kekurangan pada industri perfilman Indonesia ini, bukan berarti kita
pesimis, merasa "sudah cukup sampai di sini", dan mengira bahwa film Indonesia tidak akan pernah menyamai
kualitasnya seperti film Hollywood. Membaiknya kualitas film Indonesia selama beberapa tahun terakhir
merupakan titik cerah untuk melangkah lebih baik lagi ke depannya, agar terus membuat film yang semakin
memiliki banyak value.

2.6 Apresiasi Masyarakat Terhadap Perfilman

Apa yang salah dengan industri perfilman Indonesia saat ini? Apakah ini karena sejarah masa lampau? Jika
menilik kembali, masyarakat Indonesia mulai mengenal film pada 5 Desember tahun 1900 yang mana surat kabar
“Bintang Betawi” memuat iklan tentang Pertoenjoekan Besar jang Pertama di Hindia Belanda, menunjukkan
bahwa saat itu film sudah mulai masuk.

Kehadiran film di Hindia Belanda menjadi hiburan baru di negeri jajahannya. Awalnya hanya menyasar
masyarakat Eropa di Indonesia. Tetapi kaum pribumi juga ikut menyukainya. Tak lama setelah itu banyak film-
film Amerika Serikat yang marambah di tanah air. Menawarkan alur cerita yang bervariasi. Pribumi semakin akrab
dengan kebiasaan menonton film luar.

Masuknya film luar ke Indonesia sejak dulu, berdampak pada penghasilan film di zaman sekarang. Untuk
film dalam negeri seperti Dilan 1991 yang mencapai penjualan tiket 5.028.000 hanya bisa meraup Rp186 miliar
untuk pendapatan kotor atau pendapatan bersih sebesar Rp93 miliar. Berbanding terbalik dengan film luar seperti
Avengers: Endgame yang baru saja tayang tetapi sudah menghasilkan pendapatan $ 5,1 juta (setara Rp 71,4 miliar)
dan penghasilan itu masih bisa bertambah lagi.

Dilain sisi film lokal yang masih kalah di segi pendapatan, kenyataannya mengalami peningkatan jumlah penonton.
Mengutip dari katadata.co.id, untuk saat ini film Indonesia memang sudah menguasai sekitar 40% film yang
beredar di tanah air dengan peningkatan jumlah penonton 17% dibandingkan tahun sebelumnya. Ini
mengindikasikan bahwa film karya anak bangsa mampu bersaing dengan film-film produksi Hollywood, tetapi
tetap saja tidak bisa mengalahkan jumlah penonton film box office dari Amerika.

Memahami Makna Ideologi dan Kebahagiaan Melalui Kacamata Zizek

Walau mengalami peningkatan jumlah penonton, bagi saya tidak bisa dikatakan secara gamblang bahwa
industri film Indonesia menjadi lebih baik. Masih sering terdengar, masyarakat yang suka membandingkan antara
film luar dengan film dalam negeri. Baik dari segi mutu, cerita, genre, ataupun garapan sutradara mana. Stigma itu
pun kian berkembang dari mulut ke mulut. Padahal faktanya banyak film Indonesia menembus industri film luar
negeri, bahkan mendapatkan penghargaan serta apresiasi.

Apalagi film-film box office Amerika dikenal dengan kualitas sinematografi dan jalan cerita yang tak
diragukan lagi. Sehingga kita, masyarakat Indonesia sudah terbiasa akan sajian seperti itu. Nyatanya banyak film
lokal yang bisa bersanding dan malah lebih bagus dari film luar.

Contohnya saja film garapan sutradara Timo Tjahjanto The Night Comes For Us film Indonesia pertama
yang masuk Netflix, media streaming digital berpusat di Los Gatos, California. Lalu Sekala Niskala (The Seen and
Unseen) karya sutradara Kamila Andini yang berhasil memenangi penghargaan kategori Generation Kplus
International Jury pada Festival Film Internasional Berlinale 2018 di Berlin, Jerman.

Hingga Garin Nugroho melalui film Kucumbu Tubuh Indahku (Memories of My Body) memenangkan
penghargaan Cultural Diversity Award Under the Patronage of UNESCO pada perhelatan Asia Pasific Screen
Awards ke-12 di Brisbane, Australia.

Tetapi mengapa film Indonesia masih saja kurang diminati oleh penonton lokal? Dari fenomena ini saya
berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan kurangnya minat masyarakat akan film lokal, yaitu
kurangnya variasi genre film. Bisa kita lihat di bioskop tanah air. Bila ada satu film yang meledak di pasaran, maka
akan banyak bermunculan film dengan genre dan cerita yang tidak jauh beda. Ada tiga genre yang paling sering
ada di bioskop tanah air, yaitu drama, komedi, dan horor.

Selain itu gengsi. Memilih film luar negeri dirasa akan terlihat keren. Pasti diantara kita pernah mendengar
orang-orang berbicara tentang “Film luar negeri itu lebih keren dan bagus dibanding film Indo.” Stigma yang
selalu tertanam pada sebagian penonton lokal. Saya beranggapan, mereka yang selalu berbicara dan berpendapat
seperti itu adalah kerumunan orang-orang “gengsi”, ingin dianggap keren karena lebih memilih film luar.

Memang sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian besar orang Indonesia selalu tertarik dengan hal-hal
yang berbau luar negeri, mulai dari barang, gaya hidup, dan berbagai hal lainnya tak terkecuali film. Tidak ada
salahnya memilih film luar negeri untuk referensi tontonan. Tetapi setidaknya lebih menghargai film lokal.

Tak hanya variasi genre dan gengsi penonton lokal tetapi kurangnya apresiasi kepada filmmaker menjadi
faktor lain. Pengembangan industri perfilman masih kurang disoroti oleh pemerintah. Apalagi banyak filmmaker
yang susah untuk bereksperimen karena terkait ruang dan modal yang minim serta dihadapkan dengan dua pilihan
sulit. Antara mengikuti idealisnya tetapi tidak cocok dengan pasar atau film yang monoton dan tidak ada
pengembangan tetapi laku dipasaran.

Apalagi akhir – akhir ini banyak terjadi persekusi atas kebebasan berekspresi dalam film. Misalnya saja
film “Kucumbu Tubuh Indahku” karya Garin Nugroho. Baru tayang seminggu di layar bioskop karena
penghakiman secara sepihak tanpa ada proses dialog terlebih dahulu. Bahkan yang membuat dan menandatangani
petisi tersebut bisa dibilang tidak menonton dahulu. Asal memviralkan saja.
Tak hanya film karya sutradara Garin. Tetapi sederet sutradara lainnya pernah terkena kasus yang sama.
Tak ada proses keadilan hanya melahirkan anarkisme massal di media sosial. Dalam akun instagram @ifdclub
(Indonesian Film Directors Club) menyebutkan beberapa film yang turun dari layar karena penghakiman sepihak.
Diantaranya film “Cinta Tapi Beda” karya Hanung Bramantyo dan Hestu Saputra, “Dilan 1991” karya Fajar
Bustomi, dan masih banyak lagi.

Kota Toleran Itu Kini Jadi Kota Aksi

Dukungan untuk mereka, para sineas adalah dengan mengapresiasi karyanya melalui menonton dan
memberikan ulasan ataupun kritikan, bukan malah penghakiman massal tanpa ada proses dialog. Apalagi bila
penghakiman yang ada didasari pada perspektif dangkal. Pemerintah seharusnya ikut andil dalam hal tersebut.
Regulasi mesti diperjelas. Karena saya rasa film Indonesia saat ini sudah menunjukkan perkembangan ke arah yang
lebih baik. Tetapi kurangnya kesadaran penonton lokal dan pemerintah membuat kemajuan itu rasanya hambar,
biasa saja.

Banyak dari mereka kurang tertarik memasarkan filmnya di industri lokal, malah lebih banyak melempar
karyanya ke festival film luar. Mungkin ini soal “rasa” dan tergantung filmmaker-nya, tapi saya melihat ini dari sisi
independen nan idealis. Mereka lebih suka membuat karya dengan “rasa” mereka daripada hidup monoton dengan
pasar yang begitu saja. Ditambah dengan kasus perse

Padahal bila kita, para penonton lokal bisa sedikit lebih menghargai dan mengapresiasi film dalam negeri.
Pasti akan banyak film bermutu yang muncul kepermukaan. Tidak hanya bisa dinikmati di festival, tapi bioskop
tanah air pula. Apresiasi itu bisa dilakukan dengan cara apapun, paling kecil adalah dengan menonton, dan bisa
pula dengan mengulas film – film tersebut. Jadi ini tergantung lagi kepada kita untuk lebih aware pada industri film
local.

2.7 Pendaan Perfilman Indonesia

Permodalan

Seperti halnya dalam dunia ekonomi, dunia perfilman tidak hanya membutuhkan kreatifitas, tapi juga
membutuhkan pembiayaan sebagai modal usaha.

Lulu Ratna, pengamat perfilman nasional menyoroti masalah support pemerintah dalam hal permodalan dalam
industri perfilman. Menurutnya, peran pemerintah saat ini terbilang cukup minim bila melihat fakta di lapangan
saat ini. Sebab banyak penggiat film nasional harus rela mengeluarkan uang pribadi untuk memproduksi film-
filmnya.

Untuk dunia industri film skala menengah ke atas, mungkin saja telah mempunyai modal sendiri, atau telah
dipercaya oleh perbankan untuk produksi-produksi filmnya. Meskipun tidak semua perusahaan mendapatkan
kepercayaan perbankan. Saya yakin bank tidak mudah memberikan kepercayaan (trust) pada dunia usaha
perfilman, paling tidak harus mempunyai portifolio produksi film yang telah menguntungkan dan prospektif. Di
samping itu bank juga akan melihat track recordcalon debitur secara teliti. Karena pasti bank tidak mau menambah
NPL (Non Performing Loan) dengan memberikan kucuran kredit kepada pihak yang dianggap kurang
menguntungkan.

Persis seperti yang dikatakan Ketua Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Djonny
Syafruddin menganggap bahwa industri perfilman nasional belum masuk kategori bankable. Sehingga banyak
perusahaan perbankan cukup sulit untuk memberikan pinjaman kepada para sineas atau penggiat film untuk
menyediakan biaya produksi film. (Bisnis.com, 2015)

Secara umum nasib industri perfilman relatif sama dengan perusahaan Event Organizer, sulit mendapatkan
predikat bankable.Mungkin dinilai karena terlalu besar resiko dan unsur gambling-nya. Nah, di sinilah peran
pemerintah untuk menjembatani, atau mungkin menjadi semacam 'afalis' bagi usaha perfilman untuk mendapatkan
kucuran kredit dari perbankan.

Skema yang dibuat Bekraf untuk permodalan industri kreatif cukup lengkap dan perlu kita apresiasi. Bekraf
menamakan program ini dengan nama "Dekraf" (Dana Ekonomi Kreatif). Ada pinjaman dari Bank, CSR
(Corporate Social Responsibility) dari BUMN (Badan Usaha Milik Negara), modal ventura, filantropi, dan
pengumpulan dana publik melalui IPO (Initial Public Offerings) di Bursa Efek.

Tak hanya berhenti di konsep, Dekraft lebih lanjut diimplementasikan ke dalam beberapa program
kegiatan, yakni: 1). Bekraf Financial Club (BFC), 2). Penyaluran KUR bagi pelsaya ekonomi kreatif, 3). Kelas
Keuangan Konvensional dan Syariah, 4). Inisiasi terbentuknya skema Intellectual Property Financing (IPF).
(http://www.bekraf.go.id).

Apapaun yang terkonsep perlu kita apresiasi, namun perlu dicatat pula, bahwa program ini berlaku untuk
industri kreatif secara kelesuruhan lho! Bukan hanya film. Film hanya salah satu sub sektornya saja. Artinya, jika
diambil rata-rata setia sub sektor mendapatkan nilai nominal sama, berarti sub sektor film hanya akan mendapatkan
peluang sebesar 1/16 (6,25%) dari budget yang diprogramkan oleh Bekraf.

Program ini pun belum ada informasi lebih lanjut tentang hasil dari pelaksanaan program Dekraf. Mari kita
pantau terus sebagai social control agar program-programnya lebih tepat sasaran dan memberikan banyak manfaat
bagi dunia perfilman.

Dalam hal pembiayaan film, BPI juga membentuk suatu bidang yang dinamakan Fasilitasi Pembiayaan
Film. Menurut informasi dari website BPI, program ini bertanggungjawab pada pembentukan serta pengelolaan
sistem pembiyaan film tertentu yang berkualitas baik dari berbagai aspek dan kepentingan
(https://www.bpi.or.id/bidang.html) Masih sangat normatif, belum jelas sistemnya, debatable dan tidak/belum
applicable. Sehingga perlu di-breakdown ke dalam program kegiatan dan sistem yang lebih riil. Karena
bagaimanapun sebuah program dari lembaga publik yang didirikan berdasarkan undang-undang dari pemerintah
haruslah transparan.

Program ini saya katakan masih debatable karena kriteria "film tertentu yang berkualitas baik" ini pun
masih sangat bisa diperdebatkan. "Baik" yang seperti apa? Dan "Baik" menurut siapa? Ini salah satu Pekerjaan
Rumah (PR) untuk BPI untuk menggarap program pembiayaan dunia perfilman agar sistematis, tepat sasaran dan
transparan.

Pusbang Film pun telah merespons Pasal 51 Undang-undang No. 33 Tahun 2009 dalam bentuk fasilitasi
masyarakat dalam produksi film, meskipun baru menyentuh komunitas-komunitas dengan skala produksi kecil
(Rp. 40 jutaan), (Masih jauh di bawah bantuan produksi film Danais DIY yang sampai sekitar Rp. 170 jutaan per
judul film).

Peran Pemerintah Daerah juga perlu kita picu untuk lebih memperhatikan dunia perfilman. Khusus untuk
Daerah Istimewa Yogyakarta dengan adanya Danais (Dana Istimewa), saya sangat apresiasi untuk program
perfilmannya melalui leading sektor Dinas Kebudayaan DIY. Dalam satu tahun paling tidak sekitar 30 film di-
support dalam hal pembiayaannya. Semoga akan meningkat pada tahun-tahun mendatang. Paling tidak ini menjadi
trigger (pemicu) semaraknya dunia perfilman di Yogyakarta. Bagaimana dengan Pemerintah Daerah lain? Teman-
teman silakan mencari referensi di daerah masing-masing dan sekaligus mendorong agar Pemda setempat bisa
lebih kuat mendorong dunia perfilman.

Kembali kepada masalah koordinasi, antara Bekraf dan BPI dan Pusbang Film mempunyai program yang
substansinya sama, yakni pembiayaan ekonomi kreatif (khususnya film). Maka sangat dibutuhkan koordinasi yang
baik, untuk berbagi peran wilayah antara ketiga institusi tersebut. Agar tidak overlap dan tetap menjaga ketepatan
sasaran.

Modal yang dibutuh dalam membuat sebuah film tidak sedikit apalagi bagi para film maker independen. Dalam
kasus ini sebagai pembuat film harus meyakini investor untuk mendanai film yang akan diproduksinya. Seperti
contoh, Sheila Timothy telah berkibar sebagai salah satu produser film terbaik di Indonesia. Kakak dari Marsha
Timothy itu bercerita sedikit mengenai kendalanya bekerja di industri perfilman.

Wanita dengan sapaan akrab Lala ini mengatakan salah satu kesulitan mendirikan perusahaan film sendiri adalah
mencari investor. Untuk mendapatkan investor, ia harus menciptakan karya terbaik demi meyakinkan pemilik
dana. Selain mencari investor, Lala menuturkan kalau menjalani proses produksi juga menjadi kendala yang
signifikan. Saat syuting harus dilakukan di berbagai daerah yang infrastrukturnya tak seperti di Jakarta tentu tidak
hanya melelahkan, biaya pun mahal. Produser film 'Tabula Rasa' itu menambahkan, sebagai produser sekaligus
pengusaha film ia tak hanya turun tangan dalam pembuatan namun juga segala hal. Bahkan sampai urusan terkecil
seperti pemilihan catering, ia turut terlibat.

2.8 Keterbatasan Gedung Bioskop

Pada tahun 2015 Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) menilai rendahnya minat
masyarakat untuk menyaksikan film di bioskop salah satunya disebabkan oleh masih belum meratanya sebaran
gedung bioskop di Tanah Air.

Bahkan sembilan provinsi di Indonesia tercatat belum memiliki gedung bioskop. Sementara daerah lain
yang telah memiliki gedung bioskop, persebarannnya pun belum merata.

"Memang belum merata. Bahkan ada sembilan provinsi yang belum memiliki gedung bioskop. Ini akan
kami uayakan semoga dalam tahun-tahun dekat bisa segera tersedia," kata Ketua Umum GPBSI Djonny
Syafruddin, Senin (23/3/2015).

Sembilan provinsi tersebut adalah Papua Barat, NTB, NTT, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Aceh,
Maluku Utara, Kalimantan Utara, dan Bangka Belitung.

Di sisi lain, imbuhnya, produktivitas para sineas di Tanah Air juga tidak cukup mengerek minat masyarakat
untuk menyaksikan film lokal, karena film yang dihasilkan tidak sesuai dengan keinginan pasar.

"Inilah faktor yang menyebabkan penonton film kita sangat rendah," ujarnya.Berdasarkan data GPBSI, rata-
rata jumlah penonton dalam satu film lokal hanya sebanyak 30.000-50.000. Capaian ini jauh dari angka yang
ditargetkan oleh pihak pembuat film yang berharap jumlah penonton minimal sebanyak 400.000 dalam setiap film.

Namun pada 3 tahun terakhir ini layar biosko di Indonesia bertambah sekitar 600an. Permintaan Presiden
Joko Widodo beberapa tahun lalu soal layar bioskop disambut baik oleh jaringan bioskop XXI. Jokowi saat itu
mengatakan jumlah layar bioskop di Indonesia masih sangat kurang.
Untuk mencukupi kebutuhan sebuah negara dengan total penduduk lebih dari 200 juta orang, tiga tahun lalu
Indonesia hanya punya sekitar 1.000 layar bioskop. Ia pun meminta pembangunan bioskop 'digalakkan.'

Jaringan bioskop XXI pun menjawab permintaan Presiden dengan terus menambah layar bioskop, terutama
di daerah. Hari ini, Jumat (18/5) jaringan bioskop terbesar di Indonesia itu menembus kepemilikan 1.000 layar di
Indonesia.

Saksi pencapaian itu adalah bioskop di Nipah Mal, Makassar.

“Dengan 1003 layar yang tersebar di 43 kabupaten dan kota, kami memastikan standar kualitas pelayanan
dan kenyamanan yang diberikan akan selalu sama dan terjaga di seluruh lokasi bioskop kami," kata CEO Cinema
21, Hans Gunadi dalam keterangan pers yang diterima CNNIndonesia.com, Jumat (18/5).

Dengan adanya penambahan bioskop itu, kini total jumlah layar di Indonesia sudah sejumlah 1.641 buah,
sesuai data Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI).

Tentu saja itu termasuk layar bioskop dari jaringan Cinemaxx dan CGV blitz, serta teater-teater
independen. Artinya, ada penambahan lebih dari 600 layar selama tiga tahun terakhir di Indonesia.

Meski begitu, jumlah bioskop di Indonesia masih kalah dibanding China, yang sejak dua tahun lalu
mengklaim sebagai negara dengan bioskop terbanyak di dunia. Jumlah layarnya bahkan melebihi kiblat perfilman
dunia, Hollywood.

Per 2016, menurut data departemen perfilman di China's State Administration of Press, Publication, Radio,
Film and Television (SARFT), China memiliki 40.917 layar bioskop. Pada tahun itu, per hari China menambah
rata-rata 26 layar bioskop.

Itu untuk 'melayani' penduduk China yang jumlahnya melebihi 1 miliar orang. Sementara Amerika Serikat,
menurut sumber yang sama, hanya punya 40.759 layar bioskop.
BAB III
PEMECAHAN MASALAH
3.1 Berdasarkan Kajian Hukum Perfilman Nasional

Seperti pada poin 2.3. Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-
pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak cipta ini memungkinkan seseorang atau
sekelompok orang untuk mendapat keuntungan atas penggunaan hasil ciptaannya. Hak cipta ini diberikan dan
diatur oleh negara sebagimana hukuman pelanggaran ham ringan .

Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, Hak Cipta didefinisikan sebagai hak
eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan
dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
sebagaimana dalam ciri ciri masyarakat hukum adat.

Hukum-hukum yang yang sudah dibuat oleh pemerintah haruslah dilaksanakan bukan hanya sekedar tulisan
belaka. Karna jika tidak dilakukan penegakan hukum maka industry perfilman Indonesia akan hancur oleh para
orang orang yang ingin menguntungkan dirinya sendiri. Tanpa memikirkan bagamaimana sulitnya memproduksi
sebuah film.

3.2 Berdasarkan Kanjian Kode Etik Perfilman

Anda mungkin juga menyukai