Anda di halaman 1dari 5

REVIEW BUKU

SUMBER SEJARAH DAN PENELITIAN SEJARAH


“Studi Atas Karya Film Dokumenter Indonesia”

TUGAS

(diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian dan Penulisan
Sejarah)

Kelas A

Dosen Pengampu:
Prof. Nawiyanto, M.A. Ph.D.
Drs. Marjono, M.Hum

Oleh:
Laili Nur Rufaidah
NIM 160210302044

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
A. Identitas Buku
Judul : Sumber Sejarah dan Penelitian Sejarah
Author : Mona Lohanda
Penerbit : Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga
Penelitian Universitas Indonesia, Depok 1998

B. Pendahuluan
Latar belakang sejarah produksi film dokumenter di tanah air sangat
dibutuhkan oleh para peneliti film-film dokumenter pada umumnya, sehingga
dicantumkanlah bab 5 mengenai “studi atas karya film dokumenter di Indonesia”
pada buku ini yang bertujuan sebagai gambaran singkat mengenai riwayat
lembaga pembuat film dokumenter.
Namun, terdapat beberapa kendala dalam melacak kelahiran Pusat Produksi
Film Negara, yang setahun sesudah penelitian ini dilakukan berganti menjadi
Perum Produksi Film Negara sebagai BUMN (Badan Usaha Milik Negara) di
lingkungan Departemen Penerangan. Meskipun demikian, sejak penelitian
bibliografi, telah dirasakan adanya sejumlah kendala, terutama dalam mealacak
informasi mengenai instansi pemerintah, pembuat film, yang koleksinya kini
disimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia.
Berikut kendala yang ditemukan:
1. Minimnya data tertulis;
2. Sumber lisan di lingkungan lembaga tidak mudah dijumpai

C. Pembahasan
1. Lembaga Pencipta dan Karya Dokumenter
Riwayat berdirinya perusahaan film milik negara ini berawal dari masa
kekuasaan kolonial, yang diawali dari ANIF- Multifilm Batavia- Nippon Eiga
Sha- Berita Film Indonesia- Perusahaan Film Negara- Perusahaan Film Negara
hingga Pusat Produksi Film Negara.
a. Algemeen Nederlands Indische Film (ANIF)
ANIF didirikan pada tahun 1936 di jalan Bidaratjina (sekarang jalan Otto
Iskandardinata nomor 125-126-127, Jakarta Timur) oleh Albert Balink
bersama Wong bersaudara. Produksinya berupa film berita (newsreels) dan
film cerita. Pertama kali film bicara (talking pictures) dibuat di studio ini
dan diberi judul Terang Bulan yang tercatat sebaga film cerita hiburan
pertama yang sepenuhnya dimainkan oleh artis Indonesia. Namun,
produksi film ini hampir tidak dapat ditemukan kembali di Indonesia dan
kemungkinan beberapa diantaranya terdapat di koleksi
Rijksvoorlichtiningsdients di Den Haag, atau di Amsterdam.
b. Multifilm Batavia
Pada tahun 1940-an ANIF tidak berdaya mencegah kebangkrutan,
sehingga perusahaan tersebut kemudian dibeli oleh NV. Multifiilm yang
berpusat di Haarlem, Negeri Belanda. NV memiliki bagian perusahaan di
Jakarta bernama Multifilm Batavia, yang terutama menghasilkan film-film
berita dokumenter. Kegiatan Multifilm Batavia berlangsung sampai tahun
1950, terputus pada tahun 1942-1946, semasa Indonesia berada di bawah
kekuasaan pemerintah Dai Nippon. Pada tahun 1946, pasukan sekutu
berangsur meninggalkan tanah air, maka beberapa wilayah di Indonesia
dikuasai oleh NICA yang berkedudukan di Batavia. Pada tanggal 27
Desember 1949, Indonesia memperoleh kembali kedaulatan atas seluruh
wilayahnya, terkecuali Irian Barat, termasuk pula pemindah kuasaan
segenap lembaga dan instansi pemerintah Hindia Belanda ke Republik
Indonesia. Kegiatan pembuatan film berita kemudian ditangani oleh warga
Indonesia dengan terlebih dahulu melewati masa pealihan melalui belajar
keterampilan teknis membuat film. Pada tahun 1950 (masa RIS) Multfilm
bersama dengan Perusahaan Film Negara mengeluarkan beberapa nomor
awal dari newsreels. Beberapa film dokumenter Multifilm Batavia yang
diproduksi pada masa pemerintahan NICA tersimpan di Amsterdam
terutama film dokumenter yng bersifat etnologis berbagai suku di wilayah
Indonesia Timur.
c. Nippon Eiga Sha
Pada masa pendudukan Jepang, tahun 1942-1945. Multifilm Batavia
diambil alih oleh penguasa Dai Nippon, kemudian memperoleh nama
Nippon Eiga Sha yang berkedudukan di bawah Sendenbu. Bagian
propaganda balatentara Jepang Nippon Eiga Sha, yang dikepalai oleh T.
Ishimoto, dengan wakilnya dari pihak Indonesia R. M. Soetarto,
memproduksi film-film berita propaganda yang dinamakan sebagai
berikut:
1) Nampo Hodo yang menggunakan narasi bahasa Jepang dan bahasan
Indonesia.
2) Djaawa Baroe yang bersifat dokumenter-propaganda seperti nomor
mengenai PETA (Pasukan Pembela Tanah Air), latihan-latihan Heiho,
romusha nyanyian-nyanyian yang mendukung kemenangan
peperangan Asia Timur Raya.
3) Nippon Eiga Sha menggunakan bahasa Indonesia.
Terdapat kurang lebih 20 nomor dari serial newsreels produksi Eiga
Sha ini yang berbentuk rekaman video di Arsip Nasional Republik
Indonesia, sementara film aslinya disimpan di
Rijksvoorlichtingsdienst, Den Haag.
Pada tanggal 6 Oktober 1945, Nippon Eiga Sha diserahkan kepada
Republik Indonesia, dan dinamakan “Berita Film Indonesia” maka pada
hari itu dinobatkan sebagai tanggal kelahiran perusahaan film milik
negara.
d. Dari Berita Film Indonesia sampai Perusahaan Film Negara
Berita Film Indonesia (BFI) hanya berusia lima tahun kemudian berganti
nama menjadi Perusahaan Pilem Negara (PPN), mengikuti pengalihan
kekuasaan politik kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) pada buan
Desember 1949 dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia
tanggal 15 Agustus, maka PPN dinyatakan resmi menjadi Perusahaan Film
Negara (PFN). Dari cuplikan peristiwa sejarah yang berhasil direkam dan
diliput oleh BFI, pada tahun 1951 ketika telah berganti nama menjadi
Perusahaan Film Negara disusunlah sebuah karya dokumenter yang diberi
judul “Indonesia Fight For Freedom” dengan durasi 40 menit dan narasi
dalam bahasa Inggris. Peristiwa bersejarah yang diliput dimulai dari masa
pendudukan Jepang di Indonesia hingga 1949. Saat ini karya tersebut
tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia. Pada masa pemerintahan
Republik Indonesia Serikat nama yang disandang adalah Perusahaan Pilem
Negara. Tidak banyak karya yang dihasilkan selama masa PPN terkecuali
suasana Indonesia yang dikerjakan bersama Multifilm Batavia yang pada
masa itu merupakan masa peralihan keahlian teknis, artinya keterampilan
ke arah lebih menjadi tujuan pokoknya.
e. Dari Perusahaan Film Negara sampai Pusat Produksi Film Negara
Pergantian nama dari Perusahaan Film Negara menjadi Pusat Produksi
Film Negara, pada tahun 1980, dimaksudkan untuk menghindari
kesalahpahaman mengenai status lemabaga ini yang membawa kata-kata
perusahaan negara padahal tidak berkedudukan sebagai badan suatu usaha
miliki negara.

Produksi Pusat Produksi Film negara adalah sebagai berikut:


1) Gelora Indonesia
Kemungkinan seri pertama diproduksi pada Januari 1951, hingga
desember 1977, karena data yang tepat tidak diperoleh. Pada mulanya
Gelora Indonesia diputar di bioskop seluruh tanah air dengan durasi
sepuluh menit. Dalam tahun ‘70an, perlahan Gelora Indonesia digantikan
oleh iklan perusahaan yang lebih menjanjikan keuntungan berlipat ganda.
Penyebab lain adalah siaran pemberitaan Televisi Republik Indonesia
(TVRI) yang menyajikan hal yang sama dan dipancarkan dari rumah ke
rumah. Meskipun demikian bukan berarti Gelora Indonesia dilupakan,
karn orang tetap tertarik untuk menonton pertunjukkan bioskop keliling di
desa-desa. Gelora Indonesia secara efektif tetap menjalankan fungsinya
dan dinikmati oleh penduduk yang jauh dari kota. Di samping itu bagi
banyak bidang studi ilmiah yang memperoleh manfaat rekaman peristiwa
“First-hand Knowledge” yang menggambarkan kejadian yang diabadikan
pada saat yang sama.

2. Film dan Dokumentasi


Pada kehidupan masyarakat hampir setiap aktivitas meninggalkan jejak
dalam berbagai bentuk. Karena itu, meninggalkan jejak tulisan menjadi keharusan
maka suatu kewajiban untuk menguumpulkan dokumen ataupun arsip dalam
berbagai bentuk, oleh karena itu didirikan lembaga arsip, lembaga penelitian, dan
pusat dokumentasi.
Pada kegiatan menciptakan karya film terlebih dahulu dibuat rancangan
yang berbentuk tulisan. Dari situ, skenario bersambung kepada dokumen lain,
biak yang berkaitan dengan isi dan jiwa film itu sendiri, maupun dokumen yang
menunjang kegiatan pembuatan film yang bersangkutan. Dalam sudut pandang
pengelolaan arsip film, menyangkut dua hal, yaitu:
1) Relate document

a. relate Document
b. Dokumen utama
c. Poster, foto
3. Film Sebagai Objek Studi
Diperoleh keterangan bahwa terdapat beberapa karya ilmiah umumnya
skripsi yang dibuat berdasarkan penelitian atas film-film hasil produksi PPFN.
Tulisan ilmiah tersebut umumnya masih bersifat penelitian awal yang bertolak
dari telaah kuantitatif di dalam kajian tentang berapa jauh film PPFN diterima dan
disukai masyarakat. Film yang dijadikan obyek studi kebanyakan adalah serial
pendidikan seperti: Sejarah Perjuangan Nasional dan Si Unyil.
Kiranya penelitian kualitatif dapat dicobakan pada film-film PPFN dengan
mengambil tema-tema besar dalam peristiwa sejarah. Untuk itu diperlukan
analisis mendalam mengenai persepsi sejarah yang dicerminkan para sineas
melalui film-filmnya, membandingkan dengan pehaman disiplin ilmu dan
menelaah secara mendalam pemikiran apa yang ada di dalam masayarakat. Studi
tersebut dapat dilakukan apabila PPFN memiliki himpunan dokumentasi dari
sumber informasi yang mutlak diperlukan bagi suatu usaha penelitian.
Sumber data yang tidak tersedia dan sulit dilacak membuat orang enggan
memulai penelitian. Apalagi sumber konvensional seperti arsip kertas dianggap
sebagai sumber prima dan pokok yang jauh lebih memadai, sehingga penggunaan
sumber non-konvensional seperti arsip film akan mudah mendapat perhatian.
Dengan melihat produksi film berita (newsreels)dan dokumentasi yang banyak
dibuat terutama yang diproduksi oleh berbagai stasiun belakangan ini
dimungkinkan penyediaan sumber data yang cukup besar jumlahnya.
Persoalannya terletak pada kemauan untuk memanfaatkan sumber arsip film yang
ada, dan dukungan pelacakan dokumentasi atau karya film tersebut.

Anda mungkin juga menyukai