Anda di halaman 1dari 14

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt. karena kehendak-Nya kami
Kelompok 7 yang beranggotakan Amelia Windy, Annisa Lisya, dan Dian Rizky dari program
studi Sastra Belanda, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya dapat menyelesaikan makalah
mengenai ‘Perkembangan Film di Hindia Belanda’. Makalah ini ditulis untuk memenuhi nilai
mata kuliah Hubungan Indonesia-Belanda A. Dengan ditulisnya makalah ini, kami berharap,
kami dapat memberi pengetahuan mengenai perkembangan film di Hindia Belanda kepada
pembaca, mulai dari sejarah, tokoh, dan film yang berhasil diproduksi pada masa itu.

Depok, 10 Oktober 2017

Amelia Windy, Annisa Lisya, Dian Rizky

1
Daftar Isi

Kata Pengantar

Daftar Isi

Bab I: Pendahuluan

Bab 2: Pembahasan

2.1 Sejarah Munculnya Film di Hindia Belanda

2.2 Contoh Film pada Masa Hindia Belanda

2.3 Tokoh-tokoh dalam Film pada Masa Hindia Belanda

Bab 3: Penutup

Daftar Pustaka

2
Bab I

Pendahuluan

Film merupakan salah satu media komunikasi massa yang berbentuk gamabar
bergerak dan ditampilkan di atas layar besar agar dapat menjangkau orang banyak yang
melihatnya. Pada awalnya film disebut sebagai gambar hidup, karena pada saat itu, film
hanya menayangkan gambar bergerak berwarna hitam putih dan belum memiliki suaara.
Seiring berjalannya waktu, sebutan gambar hidup mulai ditinggalkan dan muncul sebutan
film.

Menurut Kridalaksana (1984 : 32) film adalah lembaran tipis, bening mudah lentur
yang dilapisi dengan lapisan antihalo, dipergunakan untuk keperluan fotografi. Beliau juga
mengatakan film merupakan sebuah alat media massa yang mempunyai sifat lihat dengar
(audio – visual) dan dapat mencapai khalayak banyak.

Teknologi dan seni menjadi unsur yang penting untuk menentukan berkualitas atau
tidaknya sebuah film. McQuail (1997 : 110), membagi film berdasarkan sifatnya, yaitu, film
cerita (story film), film berita (news film), film dokumenter (documentary film), dan film
kartun (cartoon film). Tak hanya McQuail, Effendy juga mengelompokkan film berdasarkan
jenisnya, yaitu film cerita, film berita, film dokumenter, dan film kartun (2003 : 210)

Pada awalnya film hanya sebuah gambar bergerak bisu, tetapi pada tahun 1927,
muncul film bicara pertama di Broadway Amerika Serikat, seperti yang dikatakan Aedianto
(2004 : 134) apabila film permulaannya adalah film bisu, maka pada tahun 1927 di Broadway
Amerika Serikat muncul film bicara pertama meskipun belum sempurna.

3
Bab II

Pembahasan

2. 1 Sejarah Munculnya Film di Hindia Belanda

Munculnya film di Hindia Belanda, diawali dengan adanya pertunjukkan gambar


hidup. Pertunjukkan gambar hidup pertama kali dipertunjukkan oleh Nederlandsch Bioscoop
Maatschappij di sebuah rumah yang berlokasi di Tanah Abang Kebondjae pada 5 Desember
tahun 1900. Gambar hidup ini merupakan sebuah film dokumenter mengenai kedatangan Sri
Ratu Belanda bersama Pangeran Hertog ke kota Den Haag, Belanda. Pertunjukkan ini
diiklankan dalam surat kabar harian Bintan Betawi dengan format sebagai berikut:

Nederlandsch Bioscoop Maatschappij

Gambar Idoep Ini malem 5 Desember pertoendjoekkan besar jang pertama dan teroes saben
malem di dalem satoe roemah di Tanah Abang Kebondjae (Manage) moelain poekoel
Toedjoe malem. Harga tempat: Klas satoe F. 2. Klas Doewa F. 1. Klas tiga F. 0,50. Directie.

Sehari setelah pertunjukkan ini berlangsung, sebuah tanggapan mengenai film ini muncul di
surat kabar harian yang sama dengan tanggapan sebagai berikut:

“Kemaren kita soeda trima satoe soerat oendangan dari Nederlandsch Bioscoop
Maatschappij disini dengan dikirim doea kartjis Klas I boeat dating nonton itoe gambar
idoep jang malem dikasi liat di satoe roemah di Kebondjae sebla Toko Fuchs.”

Dari tanggapan yang tertulis, dapat dilihat bahwa pertunjukkan gambar hdiup tersebut tidak
memberikan kesan yang istimewa bagi penontonnya, bahkan hingga akhir tahun 1900 tidak
ada satupun tanggapan yang muncul kembali di surat kabar, baik di Bintang Betawi atau di
surat kabar lainnya.

Hal ini disebabkan oleh banyak hal, pertama, gambar hidup bukanlah suatu media
yang komunikatif karena hanya menampilkan gambar bergerak tanpa ada komunikasi lisan.
Kedua, orang yang ditampilkan dalam gambar tersebut tidak dapat dikenali oleh
penontonnya, sehingga tidak diketahui pesan yang ingin disampaikan dalam gambar hidup
tersebut. Hal-hal tersebut biasanya diperoleh dari pertunjukkan tonil, sandiwara, ataupun
komedi.

4
Pada tahun 1901, pemilik tempat pertunjukkan film tersebut membuat sebuah
kebijakan untuk menurunkan harga karcis dari harga yang sebelumnya, serta menambahkan
sebuah pertunjukkan khusus untuk anak-anak pada hari sabtu, dengan harga karcis F. 0,50
untuk anak-anak serta pendampingnya. Kebijakan dari pemilik tempat pertunjukkan ini,
muncul bersamaan dengan adanya larangan pertunjukkan wayang di Batavia, yang ditetapkan
oleh Residen Batavia dan diberlakukan sejak tanggal 1 April 1900 hingga akhir Maret 1902.
Pada masa itu, pertunjukkan wayang diadakan oleh kaum Muslim. Sejak saat itu keberadaan
kaum Muslim sudah ditekan agar tidak menonjol dan meluas keberadaannya.

Pada masa itu, pertunjukkan yang sifatnya menghibur seperti tonil, sandiwara, dan
komedi selalu berpindah-pindah tempat dan meninggalkan penggemarnya di Batavia untuk
beberapa lama. Hal ini secara tidak langsung mendorong perkembangan film di tahun-tahun
berikutnya. Hingga tahun 1905, tercatat tiga tempat pertunjukkan film di Batavia, yaitu
Manage Kebondjae, Mangga Besar, dan Kongsi Tan Boen Koei Glodok. Dengan
bertambahnya tempat pertunjukkan film, menyebabkan meningkatnya importir film. Pada
tahun 1900, hanya terdapat satu importir film, pada tahun 1905 bertambah menjadi tiga
importir, yaitu American Animatography, Nederlandsch Indie Biograph Compagne dan The
Royal Bioscope. Semakin berkembangnya importir film, sebutan pertunjukkan gambar hidup
sudah tidak dipakai lagi, tetapi berubah menjadi pertunjukkan film cerita bisu. Film cerita
bisu pertama kali dipertunjukkan di Batavia sebelum menyebar ke daerah lain.

Pada tahun 1920-an, berkembangnya pertunjukkan film bisu didominasi oleh film
produksi Universal Hollywood milik Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan Universal
merupakan satu-satunya perusahaan yang mampu memproduksi film dokumenter dan film
bersambung secara bersamaan. Besarnya peran Amerika Serikat dalam perkembangan film di
Hindia Belanda, Amerika Serikat mengajukan petisi protes kepada Gubernur Jendral
mengenai kebijakan sensor di Hindia Belanda. Petisi protes ini merupakan hasil dari
pertemuan antara gabungan importir film dan pengusaha bioskop Hindia Belanda di Batavia
pada tanggal 20 hingga 24 Maret 1924. Dalam hal ini adegan film yang disensor merupakan
adegan yang berbau kesusilaan, tata karma yang dapat mengganggu ketertiban umum, serta
white supremacy. Bangsa Eropa yang biasa disebut dengan orang kulit putih, khawatir
apabila masyarakat pribumi mengetahui akan kelemahan bangsa Eropa dari menonton film di
bioskop. Jadi, hal-hal yang akan memicu terbukanya mata pribumi akan pandangannya
tehadap bangsa Eropa, ditiadakan dalam film. Jumlah importir film pun semakin meningkat

5
di tahun 1924, yaitu menjadi 17 importir. Perusahaan importir film terbesar saat itu adalah
Pathe Theater yang dipimpin oleh L. Swemlaar.

Berkembangnya pertunjukkan film ini menimbulkan adanya perkumpulan-


perkumpulan dan pengamat film yang menjadikannya penonton aktif di bioskop. Pada
awalnya penonton aktif ini dimulai dari orang Belanda, hal ini dikarenakan film baru tayang
lebih dulu di Hindia Belanda dibandingkan di Belanda. Perkumpulan penonton ini terkadang
menyewa sebuah film yang belum disensor untuk ditonton bersama-sama. Tidak hanya orang
Belanda, penduduk pribumi pun sudah mulai aktif untuk menonton.

Kebijakan etis, merupakan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah kolonia yang
mengandung tiga ketentuan pokok yang harus diterapkan oleh penduduk pribumi, yaitu
irigasi, edukasi, dan emigrasi. Kebijakan edukasi yang diterapkan, menjadi salah satu
pendorong penduduk pribumi mulai aktif menonton. Anak-anak keturunan bangsawan yang
bersekolah di tempat yang jauh dari tempat tinggalnya, sering pergi ke bioskop sebagai
tempat hiburan di malam hari. Untuk penonton pribumi, pengusaha film ini merangkai
guntingan-guntingan film dari berbagai judul yang berbeda. Selain penduduk pribumi, minat
menonton penduduk Cina juga meningkat berkat diputarnya film Een Kleinezoon freedt zijn
Grootvader produksi Star Motion Picture Co Shanghai. Film ini dibintangi oleh artis Cina
dan menceritakan kehidupan orang Cina di negara Cina. Pada tahun 1926, surat kabar harian
De Locomotief mengatakan:

“… Wist U wel, dat ongeveer 80 pct van de inkomsten uit het bioscoopbedrijf komen uit de
zakken van de Inlandsche en Chineese bevolking…”

Tingginya minat penonton ini, didorong dengan adanya pemutaran film bersambung. Dengan
adanya film cerita bersambung, penonton diharapkan mau menonton satu judul film sampai
ceritanya selesai di episode terakhir. Hal ini juga menunjang bertambahnya gedung bioskop
di Batavia, misalnya Rialto Senen dan Tanah Abang, Kramat Theater, Orion Glodok, dan
Thalia Mangga Besar. Bioskop-bioskop ini memiliki daya tampung 1000 orang penonton.
Tak hanya itu, importir film di Batavia pun bertambah, seperti The Middle East, United Artist
Co, International Film Handel Gamisch, Universal Pictures Co, Famous Lasky Film, Pathe
Exchange, dan Australian Film Ltd.

6
2. 2 Contoh Film di Hindia Belanda

Pembuatan film hanya dilakukan oleh orang orang belanda, atau orang eropa lainnya
berupa film dokumentasi alam Indonesia dan kehidupan rakyat Indonesia atas pemesanan
pemerintah Hindia Belanda.

Pada tahun 1919 lahirnya film berjudul Onze Oost (timur milik kita) yang dibiayai
Colonial Instituut ata Lembaga Kolonial. Yang disebut orang pembuat film adalah orang
yang mengoperasikan kamera.

Lalu pada tahun 1924 muncul polemik di media massa akan perlunya orang Hindia
Belanda untuk membuat film sekaligus memainkannya, sebagai proyek bagi kaum bumi
putera. Kemudian di tahun 1926 dirilisnya film Loetoeng Kasaroeng sebagai insiatif L.
Huffledorf dan G. Krugers dengan dukungan finansial oleh bupati Bandung Wiranatakusuma
V. Film ini mengangkat cerita legenda Jawa Barat, dengan seorang gadis pribumi sebagai
pemain. Gadis ini berasal dari keluarga bupati Bandung. Inilah awal, ada orang Indonesia
memainkan film dan juga merupakan film pertama yang mengangkat cerita di Indonesia.

Mulai tahun 1930,film Indonesia mulai berkembang dalam paham industri. Muncul
kemudian orang – orang Cina, yakni Wong bersaudara seperti Nelson Wong, Joshua Wong,
dan Othniel Wong. Orang Cina lainnya yang terjun dalam perfilman, The Teng Chun.
Mereka bisa disebut sebagai orang timur pertama yang membuat film di Indonesia. Masa –
masa ini mulai muncul film bicara atau tidak bisu.

Kemudian tiba masanya masyarakat Tionghoa di Indonesia membuat film


berdasarkan legenda – legenda Cina, yang dijadikan film melayu. Walaupun sebelumnya
orang – orang Cina hanya berdagang kelontong, mereka ingin ikut berpartisipasi dalam
sesuatu yang bergengsi pada saat itu. Film pertama yang dibuat oleh etnis Cina ini, berjudul
Lily van Java yang dibuat di kota Jakarta. Tidak di Bandung, seperti kebanyakan orang
Belanda.

Masyarakat tidak menyambut film Lily van Java dengan antusias, mengakibatkan film
tersebut tidak begitu laris disaksikan oleh masyarakat. Dikarenakan film Lily van Java ini
diadaptasi oleh sastra klasik di Cina. Orang – orang Cina akahirnya mengangkat tema mistis
dan horor untuk menarik minat masyarakat. Dari sinilah muncul film – film siluman seperti
Ouw Phe Tjua dan See You.

7
Dari The Teng Chun lahir Bungaroos dari Tjikembang pada tahun 1931, dan Njai
Dasima pada tahun 1932 yang dibuat oleh Wong Bersaudara.

Dalam semangat industri, dua kekuatan non-pribumi : Wong Bersaudara dan Mannus
Franken. Memproduksi film berjudul Terang Boelan pada tahun 1937, disutradarai oleh
Albert Balink. Film ini menjadi film laris yang disukai oleh masyarakat. Masa – masa inilah
kaum pribumi mulai terlibat dalam politik perfilman.

Seorang wartawan bernama Sahirun, yang juga sebagai seorang penasihat di


perusahaan Wong Bersaudara. Memunculkan gagasan perlunya seni toneel atau sandiwara
yang kala itu mewarnai khasanah perfilman Indonesia. Maka artis – artis Dardanella
kelompok toneel masa itu, pimpinan Anjar Asmara yang juga wartawan diajak main film
bejudul Gadis Desa.

Tahun 1934, para pelaku industri film membentuk organisasi gabungan bioskop
hindia. Disusul dengan organisasi import film, pengurus dan anggotanya merupakan orang
non-pribumi. Ketika orang – orang pribumi masuk kedalam organisasi, yang memunculkan
wacana nasionalisme. Pemerintah Hindia Belanda mencurigai organisasi sebagai wadah yang
mengusung ideologi untuk merdeka. Pemerintah hindia mulai melakukan pengawasan ketat
terhadap perfliman. Kemudian pemerintahan Hindia Belanda membuat Film Commise,
semacam badan sensor film.

Kemudian tahun 1940an menjadi masa keemaasan perfilman di Indonesia. Adanya


peraturan sensor film tidak membuat produksi perfilman surut. Melainkan pada tahun 1940
tercipta 13 film, lalu pada tahun 1941 mencapai 32 film. Meskipun film Indonesia belum
lahir.

8
2. 3 Tokoh-tokoh dalam Perfilman di Hindia Belanda

1. L. Heuveldorp dan G. Kruger

Pada tahun 1926 dua orang Belanda bernama L. Heuveldorp dan G.Kruger
mendirikan perusahaan film, Java Film Coy di Bandung dan pada tahun yang sama mereka
memproduksi film pertamanya berjudul Loetoeng Kasarung (1926), yang diangkat dari
legenda Sunda. Film ini tercatat sebagai film pertama yang diproduksi di Indonesia dan ini
dianggap sebagai sejarah awal perfilman Indonesia. Film ini diputar perdana pada 31
Desember 1926. Film berikutnya yang diproduksi adalah Eulis Atjih (1927) berkisah tentang
istri yang disia-siakan oleh suaminya yang suka foya-foya.

Setelah L.Heuveldorp menarik diri, G.Kruger mendirikan perusahaan film sendiri


bernama Kruger Filmbedriff, yang memproduksi, Karnadi Anemer Bangkong (1930) dan
Atma De Visher (1931).

2. Wong Brothers

Dalam perkembangan berikutnya banyak bermunculan studio film yang dinominasi


oleh orang-orang Cina. Pada tahun 1928 Wong Brothers dari Cina (Nelson Wong, Joshua
Wong, dan Othniel Wong) mendirikan perusahaan film bernama Halimun Film dan
memproduksi film pertamanya Lily Van Java (1928). Film ini berkisah tentang seorang gadis
Cina yang dipaksa untuk menikah dengan laki-laki pilihan orangtuanya, padahal ia telah
memiliki kekasih. Film ini sendiri kurang disukai oleh penonton pada masa itu. Wong
Brothers akhirnya mendirikan perusahaan film baru bernama Batavia Film.

3. The Teng Chun

The Teng Chun adalah seorang pengusaha yang bergerak di bidang perfilman. Ia
adalah pendiri perusahaan Java Industrial Film atau JIF. Selain bertindak sebagai produser
dari film – filmnya, ia juga bertindak sebagai sutradara. Selain itu ia juga seorang fotografer
di era tahun 1930an. Film – filmnya banyak dimainkan oleh actor dan aktris terkenal pada
waktu itu, antara lain Moh Mochtar, Hadidjah, Lo Tjin Nio, dan Bissu.

9
Film – film yang diproduksi :

 Boenga Roos Dari Tjikembang (1931)


 Sam Pek Eng Tai (1931)
 Pat Bie To (1933)
 Delapan Djago Pedang (1933)
 Ouw Phe Tjoa (Ular Hitam dan Putih) (1934)
 Ang Hai DJie (1935)
 Pan Sie Tong (1935)
 Tie Pat Kai Kawin (1935)
 Anaknja Siloeman Oeler Poeti (1936)
 Lima Siloeman Tikoes (1936)
 Pembakaran Bio Hong Lina Sie (1936)
 Gadis Jang Terdjoeal (1937)
 Oh Iboe (1938) dibintangi oleh Bissu dan Lo Tjin Nio
 Tjiandjoer (1938) dibintangi oleh Bissu dan Lo Tjin Nio
 Alang-Alang (1939) dibintangi oleh Moh Mochtar dan Hadidjah
 Roesia Si Pengkor (1939) dibintangi oleh Hadidjah dan Bissu
 Rentjong Atjeh (1940) dibintangi oleh Dewi Mada, Moh Mochtar, dan Hadidjah
 Djantoeng Hati (1941) dibintangi oleh Ariani dan RR Anggraini
 Genangan Air Mata (1955) dibintangi oleh Roostijati dan Djoni Sundaw

4. Raden Mochtar

Raden Mochtar lahir di Cianjur pada tahun 1918 adalah aktor yang terkenal pada 1900an.
Ia telah mengawali karier di film layar lebar sejak dekade tahun 1930 hingga tahun 1990an.
Film pertamanya pada tahun 1935 yang berjudul Pareh, Het Lied Van Der Rijst dengan
sutradara Mannus Franken dari Belanda. Filmnya didukung oleh Doenaesih, Soekarsih, dan
T. Effendy.

Film – film yang telah dibintangi :

1930 – 1949

10
 Terang Boelan (1937)
 Fatimah (1938)
 Gagak Item (1939)
 Boejoekan Iblis (1941)
 Moetika Dari Djenar (1941)
 Garoeda Mas (1941)
 Bengawan Solo (1949)

5. Roekiah

Roekiah sering ditulis sebagai Miss Roekiah, adalah aktris dan penyanyi keroncong
Indonesia. Seorang putri dari pasangan pemain sandiwara, ia memulai kariernya pada usia
tujuh tahun; pada tahun 1932 ia terkenal di Batavia, Hindia Belanda (kini Jakarta, Indonesia),
sebagai penyanyi dan pemain sandiwara. Pada masa ini, ia bertemu dengan Kartolo, yang ia
nikahi pada tahun 1934. Pasangan ini bermain dalam film Terang Boelan pada tahun 1937.
Dalam film tersebut, Roekiah dan Rd Mochtar berperan sebagai sepasang kekasih.

Setelah film tersebut sukses secara komersial, Roekiah, Kartolo, dan sebagian besar
pemeran dan kru Terang Boelan dikontrak oleh Tan's Film, dan pertama kali bermain dalam
film Fatima yang diproduksi oleh perusahaan tersebut pada tahun 1938. Roekiah dan
Mochtar kembali beradu akting dalam dua film sebelum Mochtar hengkang dari Tan's Film
pada tahun 1940; melalui film-film ini, Roekiah dan Mochtar menjadi pasangan layar lebar
pertama di Hindia Belanda. Pengganti Mochtar, Rd Djoemala, beradu akting dengan Roekiah
dalam empat film, meskipun film-film tersebut tidak begitu sukses. Setelah Jepang
menduduki Indonesia pada tahun 1942, Roekiah hanya bermain dalam satu film menjelang
kematiannya sebagian besar waktunya ia habiskan untuk menghibur para tentara Jepang.

Semasa hidupnya, Roekiah adalah seorang ikon mode dan kecantikan, penampilannya
dalam sejumlah iklan dan lukisan kerap dibandingkan dengan Dorothy Lamour dan Janet
Gaynor. Meskipun sebagian besar film-film yang ia bintangi saat ini sudah hilang, ia tetap
dikatakan sebagai seorang pelopor perfilman, dan sebuah artikel tahun 1969 menyatakan
bahwa pada zamannya, Roekiah telah mencapai suatu popularitas yang boleh dikatakan
sampai sekarang belum ada bandingannya.

11
Bab III

Penutup

Seperti yang sudah dibahas di Bab I film merupakan salah satu media komunikasi
massa yang terbagi berdasarkan sifat dan jenisnya, yaitu, film cerita, film berita, film
dokumenter, dan film kartun. Pada Bab II, kami membahas mengenai sejarah, contoh film,
dan tokoh-tokoh yang berjasa dalam perfilman di Hindia Belanda. Seperti yang sudah
dijelaskan, perfilman di Hindia Belanda sudah ada sejak tahun 1900. Hal ini dibuktikan
dengan adanya iklan pertunjukkan gambar hidup yang diselenggarakan oleh Nederlandsch
Bioscoop Maatschappij pada 5 Desember 1900. Awalnya pertunjukkan gambar hidup ini
jarang ditonton oleh masyarakat, namun tetap berkembang hingga pada tahun 1905 tercatat
ada tiga gedung pertunjukkan di Batavia. Pada tahun 1920-an perkembangan film di Hindia
Belanda semakin pesat, hal ini dikarenakan importir film semakin banyak di Hindia Belanda,
terutama Universal Hollywood dari Amerika Serikat yang paling mendominasi. Pada tahun
1924 masyarakat pribumi mulai aktif menonton film, lalu diikuti dengan masyarakat Cina
pada tahun 1926 yang juga mulai menjadi penonton aktif.

Pada tahun 1924 orang Belanda di Hindia Belanda mulai memproduksi film yang
berjudul Loetoeng Kasaroeng yang distrudarai oleh G. Kruger. Pada tahun 1927, G. Kruger
kembali membuat film yang berjudul Eulis Atjih. Pada tahun 1928, orang Cina mulai ikut
andil dalam memproduksi film, yaitu film Lily van Java yang disutradarai oleh Nelson Wong.
Tokoh-tokoh yang sangat menonjol di perfilman Hindia Belanda antara lain: L. Heuveldorp
dan G. Kruger dari Belanda, Wong Brothers yang terdiri dari Nelson Wong, Joshua Wong,
dan Othniel Wong dari Cina, serta The Teng Chun dari Cina. Orang pribumi pun juga tak
ingin kalah dan ingin ikut andil dalam perfilman, salah satunya adalah Raden Mochtar.

12
Daftar Pustaka

Hutari, Fandy. Sejarah Awal Industri Film di Hindia Belanda. 3 Oktober 2017.
<https://www.jakartabeat.net/kolom/konten/sejarah-awal-industri-film-di-hindia-belanda?
lang=id>

Anoniem. Inilah 7 Film Tertua di Indonesia. 3 Oktober 2017.


<https://suaratangsel.com/inilah-7-film-tertua-di-indonesia/>

Arief, Moh. Sarief. 1992. Skripsi: Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda mengenai Perfilman
(1900 – 1942). Depok.

Effendy, Onong Uchjana.. 2000. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung : PT. Citra  
Aditya Bakti.

McQuail, Dennis. 1997.Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga.

Ardianto, Elvinaro dan Lukiati Komala Erdinaya. 2004. komunikasi Massa Suatu Pengantar.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Kridalaksana, Harimurti. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

13
14

Anda mungkin juga menyukai