INDONESIA
PERTAMA
Arda Muhlisiun
Daftar Isi
Daftar Pustaka
Data Teknis Film
Tentang Penulis
Kisah 1
FILM NASIONAL DI DARATAN EROPA
“Film buatan dalam negeri mulai dibuat pada tahun 1926 (Loetoeng
Kasaroeng, film yang bercerita tentang kehidupan pribumi lewat
dongeng Sunda. Perusahaan yang membuat film cerita pertama ini
adalah N.V. Java Film Company yang didirikan oleh L. Heuveldrop
dari Batavia dan G. Krugers dari Bandung –pen.). Namun, film-film
yang dibuat sampai tahun 1949 belum bisa disebut sebagai film
Indonesia. Hal ini disebabkan film yang dibuat pada masa itu tidak
didasari kesadaran nasional. Pembuatan film yang sudah didasari
oleh kesadaran nasional adalah sejak Usmar Ismail membuat Darah
dan Do’a/Long March (1950). Seperti diucapkannya dalam
wawancara, bahwa ia akan membuat film yang bisa mencerminkan
national personality, kepribadian bangsa.” (Dikutip dari pernyatan
tokoh film Indonesia H. Misbach Yusa Biran).
Dari sekian pernyataan yang berkembang dan semua tertuju pada sosok
Usmar Ismail dan filmnya, kemudian hari pertama produksi film Usmar ini
dicetuskannya sebagai Hari Film Nasional. Hal ini tercetus dalam Rapat Kerja
Dewan Film Indonesia (Dewan Film Nasional) dengan organisasi-organisasi
perfilman di Jakarta pada 11 Oktober 1962 memutuskan antara lain (keputusan No.4)
: “…menetapkan hari shooting dalam pembuatan film nasional yang pertama Darah
dan Doa (The Long March) sebagai hari film Indonesia (30 Maret 1950)…”
Pengakuan resmi yang menyatakan bahwa 30 Maret telah diakui sebagai Hari
Film Nasional ditandai dengan ditandatanganinya UU Perfilman oleh Presiden
Soeharto pada 30 Maret 1992. Kemudian diperkuat oleh Keppres No.25, yang
dikeluarkan BJ Habibie pada 29 Maret 1999.
Predikat sebagai “film nasional” dalam film ini setidaknya dilandasi pada
kelahiran film ini yang diproduksi secara kolektif atas nama nasionalisme. Untuk
itulah bisa diambil kesimpulan bahwa ada 3 (tiga) hal terkait nasionalismenya yaitu :
modal yang berasal dari saku orang Indonesia, pembuatnya adalah para orang
Indonesia dan tema yang diangkat berlandaskan pada sikap nasionalisme-kebangsaan
Indonesia, yaitu tentang revolusi perjuangan Indonesia melawan Belanda.
Modal untuk pembuatan film, Usmar Ismail menyebutkan bahwa sebagian
modal itu diambil dari pesangonnya sebagai mantan tentara, yang berkisar 30.000
rupiah. Ditambah juga dengan bantuan pihak lain, seperti Menteri Penerangan RI Mr.
Syamsuddin yang memungkinkan digunakannya alat-alat bekas Multifilm, sebuah
perusahaan film milik Belanda. Jika ditotal biaya seluruh produksi film ini sejumlah
350.000 rupiah.
Begitupula dengan sumber daya manusia yang terlibat, semuanya adalah
orang-orang pribumi. Bahkan pemain-pemainnya bukan berasal dari pemain film.
Hal ini dilakukan karena memang minimnya biaya produksi sehingga tidak
dimungkinkan untuk membayar pemain-pemain profesional.
Kisah 3
Menyebut kata “nasional” pada film ini (Darah dan Do’a) merupakan upaya
legitimisasi yang harus dilakukan saat itu oleh berbagai pihak yang berkepentingan
merumuskannya. Karena Usmar Ismail pun sesungguhnya tidak pernah meniatkan
agar filmnya menjadi film nasional, ataupun nantinya sebagai tonggak sejarah
perfilman nasional, sekaligus menjadi penanda Hari Film Nasional. Hal ini
dipertegas oleh Asrul Sani, seorang pembuat film Indonesia kawakan yang
berpandangan lain perihal predikat “nasional” pada film Usmar :
Atau juga mengutip pendapat dari peneliti Salim Said yang tidak dengan
tegas menyatakan “nasional” atas film ini. Dalam buku Profil Film Indonesia, Salim
Said menuliskannya sebagai berikut :
“Berbeda dengan kebiasaan pembuatan film Tionghoa, sebelum
maupun setelah Perang – yang waktu itu bangkit kembali – Usmar
Ismail membuat film dari cerita yang digalinya dari kenyataan hidup
disekelilingnya. Maka wajah Indonesia memang bisa terlihat lewat
film-film buatan Usmar dan kawan-kawannya yang bergabung
dalam Perusahan Film Nasional Indonesia (Perfini).”
Usmar hanya membuat film, bukan membuat film nasional, apalagi ingin
menjadi film nasional. Ia hanya ingin mandiri sebagai pembuat film, tanpa
dikendalikan dan ditunggangi oleh motif-motif tertentu dari pihak lain, terutama
Belanda. Bisa dilihat dari catatan dalam artikelnya, Film Saya yang Pertama, yang
judulnya saja seolah ingin menegaskan dirinya dan karya filmnya :
Kemudian juga mengutip pernyataannya dalam artikel yang sama -Film Saya
yang Pertama :
TUJUAN PENULISAN
A. Proyek Identitas
Proses terbentuknya identitas atas kepribadian ini merupakan
pengejawantahan bahwa manusia lahir (ada) ke dunia sebelum adanya
identitas “aku” manusia (pre-exists). Dalam keadaan ini manusia bisa
menjadi subjek apapun, melalui proses panjang dalam lingkungan sosial dan
kultural yang melingkupinya. Anthony Giddens seorang teoritikus sosial
Inggris menyebut bahwa identitas tidak ubahnya sebagai proyek. Ia
menyatakan :
Identitas merupakan ciptaan kita, sesuatu yang selalu berproses, suatu
gerak menuju dan bukan suatu kedatangan. Proyek identitas tersusun
dari : apa yang kita pikirkan tentang diri kita sekarang dengan dasar
situasi masa lalu dan masa sekarang kita, dan juga apa yang kita
pikirkan tentang akan menjadi apakah kita, dengan garis lintasan masa
depan yang kita inginkan)
B. Politik Identitas
Ada sesuatu yang harus dipahami bahwa identitas bukan cuma
konstruksi diri sepihak, tapi ada perangkat narasi yang memungkinkan
identitas bisa terbaca. Karena identitas seringkali berwujud dalam tanda-
tanda, dan membacanya seringkali secara subjektif. Itulah mengapa sekali
lagi perlu ditegaskan bahwa bahwa identitas itu sesungguhnya selalu berada
dalam ke-tidakpasti-an. Dia menjadi ada ketika diterjemahkan melalui
seperangkat “alat pembaca”, yaitu bahasa. Identitas berada dalam pengaruh
permainan politik. Inilah yang dikenal sebagai politik identitas.
Makna identitas, atas peran politik identitas, mengalir dan berhenti
sebagai “sementara”, sehingga identifikasi atas identitas sebenarnya fiksi.
Tanda yang mengikat pada identitas untuk dikenali tersebut menjadi ajang
perjuangan makna, karena apa yang disebut identitas dipahami sebagai
produksi terus menerus atas tanda.
Produksi identitas dilalui dengan operasi kekuatan hegemonik. Ada
faktor kekuasaan sehingga identitas selalu terproduksi sesuai dengan
kekuataan yang menguasai. Oleh sebab itu ketika rezim Orde Barunya Pak
Harto runtuh, identitas menjadi hal yang sangat terbuka untuk ditafsirkan
ulang, dan dikembalikan pada pengertiannya dalam ruang kultural tradisi.
Mengenai Orde Baru ini, ada satu catatan yang bisa dibaca :
Begitupun dalam tagline iklan pemutaran filmnya Darah dan Do’a ini.
Tercantum kata-kata yang berusaha mengikat semua penonton dalam semangat
identitas kebangsaan yang sedang berusaha dibangun melalui film ini. Kata-kata itu
berbunyi : ”semua pentjinta bangsa”. Usmar seperti sedang berusaha memberikan
satu pengantar bahwa film ini ingin menunjukkan identitas bangsa Indonesia dalam
semangat nasionalisme, sebagai satu bangsa yang sedang berjuang melawan
intimidasi penjajah.
Dari sini terlihat bahwa diikrarkannya proklamasi kemerdekaan tahun 1945
memang menjadi satu stimulasi tersadarnya pribumi sebagai bangsa dan manusia
dalam sebentuk Negara Indonesia.
Mannus Franken menulis bahwa di tahun 1950 setelah Perang Dunia II,
melonjaknya kebutuhan film-film cerita diantaranya disebabkan oleh meningkatnya
rasa nasionalisme. Termasuk kesimpulan dari Salim Said melalui analisa kritisnya
tentang film dan revolusi. Hal itu menurutnya sebagian kecilnya tertangkap dalam
film-film Indonesia. Itu sebabnya yang banyak tampil adalah adegan pertempuran,
adegan konfrontasi antar Belanda dengan pihak pejuang, Belanda digambarkan amat
“hitam”, sedang sifat yang agung menjadi monopoli para pejuang. Inilah sebentuk
nasionalisme atas identitas nasional yang ingin dibentuk dan diperjuangkan oleh
pembuat-pembuat film Indonesia.
Bahkan dibentuknya BFI (Berita Film Indonesia) yang dipimpin oleh R.M.
Soetarto dan Rd. Arifin beberapa bulan setelah proklamasi kemerdekaan, juga turut
mempertegas hasrat merancang identitas ke-indonesia-an tersebut. BFI ini bertugas
untuk membuat film cerita dan dokumenter. Film yang dibuatnya berdasarkan
rekaman peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam ranah politik perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Beberapa film yang dibuat dikumpulkan dan dinamai
sebagai Indonesia Fight for Freedom dan dikirim ke PBB serta ke berbagai negara.
Tujuannya jelas, menunjukkan Indonesia masih ada dan eksis sebagai sebuah
Negara.
Ketika Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) dibentuk, selain sebagai
perusahaan yang memroduksi Darah dan Do’a, perusahaan ini disebut sebagai
perusahaan film yang identik predikat nasional. Hal ini menurut Gayus Siagian
karena semua modalnya memakai modal nasional. Meskipun juga dalam tulisannya
selanjutnya Gayus menyebut bahwa alat-alat studio dan laboratorium juga masih
sewa. Memang tidak ada catatan lain mengapa ini disebut sebagai modal nasional,
selain didirikan oleh orang Indonesia dan nama perusahaan yang memperlihatkan
sebuah identitas nasional. Justru istilah “modal nasional” lahir kemudian, ketika
Usmar sedang belajar film di Amerika tahun 1952 (dua tahun berlalu sejak Darah
dan Do’a diproduksi) ingin membeli peralatan-peralatan untuk Perfini. Modal
pembeliannya diusahakan dengan bersumber dari pinjaman pada Bank Negara
Indonesia maupun Bank Industri Negara. Meskipun juga modal awal ini merupakan
hasil jerih payah pengumpulan dari beberapa orang hasil usaha Usmar Ismail dan
Sumanto, yang kemudian terkumpul sebanyak Rp. 30.000,-. Sementara Akte Notaris
pendiriannya pada Pasal 2 Sub a yang berbunyi : “Mendirikan dan mengusahakan
perusahaan pembikinan film dengan maksud ikut membina kebudayaan Nasional
Indonesia terutama kesenian film nasional bermutu Internasional”, lebih bisa
mempertegas posisi Perfini sebagai sebuah perusahaan yang memiliki orientasi
nasional. Yang kemudian diperkuat dengan pernyataan sang pemilik perusahaan
(Usmar Ismail sendiri) yang menyatakan :
Meskipun dalam satu catatan dari Krishna Sen pernah tertulis bahwa Hiburan
Mataram Stichting yang didirikan di Yogyakarta pada 1948 sebagai perusahaan
nasional yang pertama dikarenakan pendanaannya juga berasal dari berasal dari
Bank Indonesia. Pimpinan organisasi perusahaan adalah Hinatsu Heitaro, seorang
mantan pejabat Jepang yang memilih kewarganegaraan Indonesia dan mengubah
namanya menjadi Dr. Huyung. Stiching Hiburan Mataram akhirnya menjadi suatu
arena tempat belajar dan tempat berpraktek seniman-seniman muda.
Dari hadirnya Perfini itu berturut-turut juga lahir beberapa perusahaan film
dengan semangat dan label nasional yang sama seperti Perfini, yaitu Persari
(Perseroan Artis Republik Indonesia) tanggal 23 April 1951 dan PFN (Perusahaan
Film Nasional) tahun 1950. Terkait yang terjadi saat itu, Krishna Sen turut mencatat
kondisi ini :
“Diranah sinema, ini tidak hanya diartikan sebagai upaya pendirian
perusahaan-perusahaan film pribumi, tetapi juga sebuah upaya untuk
menuliskan kembali sejarah bersama perusahaan-perusahaan yang
dipandang sebagai titik kelahiran sinema Indonesia yang
‘sesungguhnya’.”
Cara-cara yang dilakukan Usmar maupun pola dagang yang telah dipelopori
oleh orang Tionghoa, keduanya menjadi pola-pola awal perfilman Indonesia. Kedua
pola itu nampak saling bertolak belakang. Pengusaha film yang menganut pola
dagang ini tidak merasa “bersalah” karena yang tertanam dalam keyakinannya
adalah film sebagai barang dagangan, dan sama sekali tidak ada urusan dengan
“wajah Indonesia” yang sebenarnya. Untuk itulah kehadiran Usmar dengan semangat
idealismenya tidak mendominasi keseluruhan lahirnya film-film Indonesia kala itu.
Berbagai catatan, kutipan dan pendapat serta wacana diatas mengisyaratkan
beberapa kata kunci : konstruksi identitas nasional, nasionalisme dalam film, yang
tujuannya ingin mengesahkan kedudukan film-film (sinema) Indonesia sebagai film
yang mandiri sebagai milik bangsa Indonesia, tidak tercampur tangan pihak lain.
Sehingga wacana ini untuk menegaskan bahwa inilah film nasional Indonesia yang
digagas secara muasal.
Pada Bab sebelumnya dituliskan bahwa wacana dan bentuk tidak terpisahkan.
Sehingga wacana akhirnya membawa pada konstruksi bentuk yang nampak jelas.
Ketika masyarakat politik Indonesia (Hindia Belanda –kala jaman itu berlangsung)
telah melembagakan kesadaran (kebangkitan) atas nasionalitasnya pada bentuk yang
tercantum dalam ikrar Sumpah Pemuda, dan kemudian memerdekakan diri dalam
bentuk ikrar Proklamasi yang diikuti seperangkat simbol bendera merah putih dan
lagu kebangsaan Indonesia Raya, maka wacana atas Usmar dan filmnya tentu harus
mendapatkan wujud dalam bentuknya. Untuk itulah film Usmar sebagai
implementasi konstruksi wacana sebagai “yang nasional” harus dibicarakan dan
dimaknai elemen-elemen pembentuknya, sekaligus melihat bagaimana elemen-
elemen itu mampu mendukung wacana yang sudah menjadi ideologi film nasional
Indonesia, dan dirayakan setiap tanggal 30 Maret sebagai Hari Film Nasional.
ELEMEN-ELEMEN YANG MENGONSTRUKSI FILM DARAH
DAN DO’A
Film dilahirkan menjadi sedemikian rupa bentuknya bukan hanya didasari
sekedar usaha memasukkan dan meletakkan berbagai elemen didalamnya. Membuat
film adalah membuat organisasi antar elemen yang mendukung, sehingga setiap
elemen (parts) itu akhirnya menciptakan bentuk secara keseluruhan (whole).
Merujuk pada konsep David Bordwell seorang penulis buku-buku film ternama, cara
mengorganisasikan inilah yang dinamakan sebagai system of the total film.
Membentuk film itu melalui perpaduan antara elemen (part) yang digunakan
sebagai sebuah sistem (form as system). Sistem yang dikonstruksi didasari atas
pertimbangan “harapan penonton” atas sebuah film. Harapan yang timbul karena
adanya persepsi dari setiap penonton (manusia) yang telah mengarungi berbagai
aktifitas hidupnya dengan berbagai pengalaman. Penonton membanding-bandingkan
untuk kemudian disesuaikan dengan film yang disaksikannya. Dengan kata lain,
sistem ini berlangsung karena dipengaruhi satu persepsi adanya keterkaitan berbagai
kebiasaan cara berfikir manusia yang memiliki pengalaman memandang perjalanan
hidupnya dengan karya seni.
Sistem untuk menyatukan berbagai elemen ini –dengan mengatasnamakan
harapan penonton tadi- mengikuti hukum-hukum dan aturan-aturan yang
mengorganisasikannya. Namun perlu dipertegas bahwa perihal harapan penonton
bukan berarti harus terpenuhinya harapan itu, sehingga kenyataan yang diterima
penonton bisa berbentuk apapun, (expectations may also be cheated). Hukum dan
aturan yang berlaku adalah berdasarkan kehendak film.
Disinilah timbul pertimbangan antara konvensi atas pengalaman dan sistem
harapan dalam film. Konvensi itu berdiri dalam lingkaran normatif, sementara
bentuk-bentuk seni justru melahirkan konvensi baru (new conventions), karena
memang sistem yang dijalankannya bisa melahirkan sebuah realitas yang tidak
realis, atau bisa juga dipahami secara terbalik.
Untuk itulah dalam menjalankan sistem digunakan prinsip-prinsip yang
berfungsi menghidupkan elemen-elemen dalam film. Inilah yang dinamakan sebagai
formal system. Prinsip itu adalah : keberfungsian elemen-elemen yang ada di dalam
film untuk saling menyatu dan menjelaskan, kemiripan dan pengulangan atas satu
hal yang sesuai dengan pengalaman setiap orang sehingga kemudian menyadarkan
orang akan hal tersebut, pembedaan dan variasi atas sesuatu yang bisa
menimbulkan dampak ketertarikan penonton sebagai cara menyentuh harapan-
harapan yang akan terjadi dalam film, pengembangan dari setiap bagian segmen
film dari awal menuju akhir dan terakhir adalah penyatuan/ketidakmenyatuan atas
bagian-bagian yang tercecer (seolah-olah bukan bagian dari film) menjadi logika
film.
Prinsip-prinsip itu dijalankan melalui konstruksi atas bentuk narrative,
categorical, rhetorical, abstract dan associational.
Selain formal system, yang lainnya lagi adalah stylistic system. Ini merupakan
suatu sistem gaya yang diaplikasikan melalui berbagai teknik yang digunakan dalam
membentuk film. Sistem teknik ini digunakan untuk mengemas dan menggiring
“harapan penonton” atas sebuah film, membangun perhatian pada film, menggiring
perhatian penonton, dan juga bisa menekankan berbagai macam makna yang
dikandung film. Teknik tersebut adalah mise-en-scene, cinematography, editing dan
sound.
A. Mise-en scene
Mise-en-scene berarti menempatkan “sesuatu” ke dalam adegan (yang
terdapat dan terlihat dalam frame). Sesuatu yang ditempatkan itu meliputi aspek-
aspek film seperti : penataan dan pengaturan tempat berlangsungnya adegan,
pencahayaan, kostum dan gerak dari tokoh.
Mengelola mise-en-scene itu berdasarkan pada “standar realisme”, artinya
segala sesuatu yang mesti ditampilkan (ditempatkan) dalam frame tadi merujuk pada
hal-hal yang terdapat dalam kenyataan umum dan kehidupan sehari-hari. Namun
bisa juga hal yang bersifat realita itu dibuat menyerupai dan meniru keadaan yang
sebenarnya. Pengaturan itu bisa disiasati dengan sejumlah pembuatan miniatur.
Pengaturan terang-gelap cahaya juga dapat mendekatkan pada standar realita
sebenarnya. Untuk sumber pencahayaan dalam film, dikenal konsep available light-
cahaya yang tersedia (biasanya untuk film dokumenter) dan artificial light-cahaya
yang dikonstruksi atau buatan (biasanya untuk film fiksi). Pencahayaan juga dapat
mengartikulasikan tekstur karena bentuk pencahayaan terhadap objek dapat
menciptakan highlight dan bayangan. Highlights akan memberikan isyarat penting
untuk tekstur permukaan. Jika permukaan halus, seperti kaca atau krom, highlights
cenderung mengkilat atau sparkle, permukaan kasar.
Untuk fitur pencahayaan film didasari pada kualitas cahaya ; keras atau
lembut, dengan arah datangnya secara frontal, back, under, top (dari depan,
belakang, bawah atau atas subjek/objek). Termasuk pengaturan sejumlah warna –
yang semua ini akan berkaitan dengan ruang dan waktu peristiwa (pagi, siang, sore,
malam). Konsep pencahayaan dikenal dengan three point lighting (key light, fill
light, back light) dan underlighting (biasanya menyerupai cahaya yang bersumber
dari sebuah senter tangan). Filosofis menata cahaya adalah menjatuhkan cahaya dari
atas (toplighting) yang merupakan duplikasi cahaya menyerupai realita cahaya
matahari atau lampu penerangan ruangan.
Pengaturan gaun dan kostum akan menciptakan pakaian yang bisa
menanamkan suasana dan penguatan karakter yang tepat bagi aktor (Misalkan dalam
film Oliver Twist [Sutadara : Roman Polanski-2005], baju penuh tambalan menjadi
simbol kemiskinan yang dikenakan para karakter gelandangan).
Untuk itulah kostum juga harus diatur satu sama lain dalam pemahaman
warna, tekstur dan bahkan gerakan mereka (aktor), karena kostum dapat memainkan
peran motivasi dan kausal penting dalam naratif.
Pengaturan make-up digunakan untuk meningkatkan peran ekspresi karakter
(tua, muda, seram, jahat, baik, lucu). Untuk film tertentu, ini bisa menciptakan
peniruan atas tokoh tertentu yang biasanya terbuat dari karet dan plastik senyawa
untuk menciptakan benjolan, tonjolan, organ ekstra, dan lapisan kulit buatan.
Untuk itulah, mise-en-scene memungkinkan tokoh tersebut untuk
mengungkapkan perasaan dan pikiran, juga secara dinamis dapat menciptakan
berbagai pola kinetik (pemanfaatan ruang) berdasarkan ruang dalam frame yang
telah ditata oleh seperangkat properti, penataan cahaya dan didukung oleh kostum
atau make up yang digunakan.
B. Cinematography (Sinematografi)
Istilah ini dikenal sebagai penataan perekaman dengan kamera. Dalam
pengelolaan sinematografi ada dua elemen penting ; pencahayaan dan pewarnaan.
Sinematografi berkaitan erat dengan tata cahaya. Dalam penataan cahaya itu
dikenal dengan available lighting dan artificial lighting. Kedua teknik itu berkaitan
dengan prinsip adanya kedekatan/kemiripan atas realita dan ekspresi film. Namun
keduanya juga bisa dipertukarkan dimana cahaya buatan pun bisa dikondisikan
menyerupai cahaya alami.
Ada konsep tata cahaya yang dikenal dengan tata cahaya Rembrandt dan
Caravaggio. Tata cahaya ini digunakan untuk menciptakan terang-gelap secara
kontras yang tujuan bersifat psikologis, (high key – low key) dimana kontras terang-
gelap bisa dibuat sangat melebar atau dengan kata lain daerah hitam dan putih jelas,
wilayah abu-abu kecil. Kontras juga bisa dibuat sangat sempit, dimana daerah hitam
dan putih samar, wilayah abu-abu luas. Permainan cahaya melalui range of colors ini
bertujuan untuk menciptakan look (apa yang nantinya akan terlihat dalam frame) dan
mood (berkaitan dengan perasaan penonton ketika melihat gambar yang dihasilkan).
Film-film awal masih memiliki warna hitam-putih (BW-Black White), dan
itu tidak lebih disebabkan teknologi yang belum memungkinkan menghadirkan
warna dalam film. Ditemukannya pewarnaan atas film akhirnya dianggap untuk
menciptakan konsep realis (dekat dengan kenyataan sebenarnya). Dalam era film
bisu dulu, sinematografi juga banyak dimanfaatkan oleh pembuat film dengan
menggunakan teknik pewarnaan pada semua frame untuk menunjukkan suasana hati
yang berbeda ketika adegan berlangsung (Misalnya film The Birth of a Nation yang
disutradarai oleh D.W. Griffith tahun 1915, yang menggambarkan pembakaran kota
Atlanta dengan menggunakan warna merah, biru untuk adegan malam dan adegan
cinta dengan warna kuning pucat).
Ini menandakan bahwa menggunakan warna bisa untuk tujuan simbolis.
Termasuk digunakannya lagi pewarnaan hitam-putih dalam era film berwarna yang
lebih bersifat kebutuhan ekspresif, seperti yang pernah dilakukan terhadap film
berjudul The Artist, sebuah film yang sering mendapat penghargaan di berbagai
festival film.
Namun secara umum, warna-warna dingin (biru, hijau, ungu) cenderung
menunjukkan ketenangan, sikap acuh tak acuh, dan ketenangan. Warna-warna hangat
(merah, kuning, oranye) menunjukkan agresivitas, kekerasan.
Untuk perekaman gambar dikenal juga komposisi dan sudut pandang (angle).
Ada jenis-jenis komposisi dalam menciptakan ruang layar (dikenal dengan types of
shot) yaitu (1) the extreme long shot, (2) the long shot, (3) the full shot, (4) the
medium shot, (5) the close-up, dan (6) the extreme close-up. Untuk itulah komposisi
sangat memperhitungkan ukuran dan bentuk frame karena inilah yang akan
termaknai oleh penonton.
Sementara dalam penataan perekaman kamera juga mempertimbangkan
angle (sudut pengambilan gambar). Sudut itu ditentukan oleh faktor dimana kamera
ditempatkan, bukan berdasarkan subjek yang akan direkam, sehingga subjek
mengikuti penempatan kamera dan bukan sebaliknya (ini berlaku untuk film-film
fiksi).
Lima sudut pandang yang umum dikenal: (1) the bird's-eye view, (2) the high
angle, (3) the eye-level shot, (4) the low angle, dan (5) the oblique angle (miring –
garis horizontal dan vertikal dirubah menjadi garis diagonal)
C. Editing
Editing sebenarnya bukan sekedar menggabungkan shot dengan shot saja.
Tapi sesungguhnya mengkonstruksi shot-shot menjadi sebuah makna. Dengan
editing akan memastikan kontinuitas naratif secara utuh, tanpa harus menyertakan
semua peristiwa dalam adegan. Hal inilah kemudian yang akan menciptakan
konversi real time (waktu sebenarnya) kedalam film time (waktu film). Sehingga
dalam1 (satu) jam waktu sebenarnya bisa digambarkan menjadi 1 (satu) menit dalam
waktu film.
Dalam pemahaman naratif sebuah film, setiap shot dilahirkan dari shot
sebelumnya, setiap scene lahir dari scene sebelumnya, setiap sequence lahir dari
sequence sebelumnya. Dari sinilah maka hukum kausalitas dalam naratif bisa
diberlakukan. Dan editing yang memungkinkan ini bisa dipadu-padankan.
Editing memainkan peran secara lebih sentral yaitu menciptakan keterpaduan
(coherence) dan menjaga kesinambungan (continuity). Tujuannya agar mampu
membimbing pikiran, emosi dan menghadirkan sejumlah asosiasi berdasarkan
pertimbangan psikologis penonton. Peran itu juga bisa dihasilkan melalui sejumlah
teknik-teknik wipe, dissolve, fade in-out dan sebagainya.
Dalam tipe editing, DW Griffith memperkenalkan sebuah konsep M-C-C
(Master-Cover-Cover) tahun 1915 melalui film The Birth of a Nation. Hal ini untuk
meningkatkan dramatisasi sebuah adegan (dinamakan classical cutting). Tipe editing
ini yang paling umum dilakukan oleh para pembuat film, dimana mula-mula
diperlihatkan suasana sebuah tempat yang berisi satu atau beberapa orang. Lambat
laun gambar semakin diarahkan untuk memperlihatkan sosok-sosok tokoh dalam
film dengan jelas. Bahkan gambar bisa semakin detil lagi memperlihatkan setiap
gerakan terkecil sekalipun dari tokoh. Hal ini bertujuan untuk menggeser dan
membawa perhatian penonton pada hal-hal yang dikehendaki oleh (pembuat) film
karena diasumsikan bahwa penonton butuh waktu untuk memahami apa yang sedang
dilihatnya sehingga untuk membawanya pada hal-hal yang lebih spesifik (close up).
Mereka (penonton) harus diberikan penjelasan yang lebih umum terlebih dahulu
(long shot).
Tipe editing lainnya adalah thematic montage dimana ide dan tema
memegang peran penting sehingga penggabungan setiap shot kadangkala
menghilangkan keberadaan ruang dan waktu. Yang terjadi adalah memberikan
kebebasan pada penonton untuk “membaca” apa yang diterimanya dari gabungan
dua imaji yang disandingkan (juxtaposition). Dan ini berkaitan dengan teknik-teknik
dalam teori ilmu semiotika dimana makna lahir dari pembacaan atas teks-teks yang
dipadukan.
Ada juga cutting to continuity dimana teknik ini meringkas ruang dan waktu,
seraya membiarkan film berjalan terus kedepan.
Dalam filosofi editing, ada sebuah cara mengkombinasikan shot melalui
teknik kontras dan paralel. Teknik kontras ini akan menempatkan dua hal (shot) yang
berbeda –bahkan tidak berkaitan sama sekali, yang kemudian menjadi satu
pemahaman atas makna baru. Sementara paralel adalah teknik yang digunakan untuk
menghadirkan dua adegan dalam ruang yang berbeda dalam satu jalan untuk
menciptakan makna kesepahaman yang saling menguatkan dari masing-masing
adegan itu.
Merangkai antar shot juga bisa dilandasi pada aturan logika matching action
-180 derajat rule. Dalam penyutradaran diterjemahkan dengan teknik screen
direction. Ini akan menciptakan logika atas ruang dimana setiap karakter menempati
tempat yang “sebenarnya” sehingga pemahaman penonton atas ruang yang sedang
berlangsung bisa diperkirakan secara tepat (yang paling mudah dikenali adalah : jika
subjek bergerak dari kiri ke kanan frame –dan kemudian diasumsikan bahwa subjek
itu sedang pergi dari rumahnya, maka ketika subjek itu diasumsikan pulang, maka
subjek itu harus bergerak dari kanan ke kiri frame).
Dalam editing, seringkali juga dilakukan pemotongan adegan (content curve),
karena diasumsikan bahwa penonton telah menyerap informasi. Untuk itulah tidak
semua adegan harus ditampilkan dalam film karena film itu sesungguhnya dalam
naratif film ada “hukum-hukum cerita” yang bisa berlangsung di kepala penonton
ketika melihat adegan dan dimungkinkan merangkainya ke dalam asumsinya
masing-masing menjadi “adegan lain” di kepala –di ingatan.
Flash-back, flash-forward, dan cutaways juga bisa berlaku dalam editing. Hal
ini memungkinkan pembuat film untuk mengembangkan ide-ide secara tematis,
karena film tidak selamanya harus bersifat kronologis untuk dipahami dan
dimengerti, tapi pemahaman secara menyeluruh dari film yang telah dibentuk dan
dikonstruksi oleh berbagai elemen pembentuknya.
Dalam editing, ada 4 (empat) dimensi yang harus dipahami. Yang pertama
graphic, bahwa dalam proses merangkai dan menjalin gambar harus berdasarkan
pada kesepadanan terang-gelap gambar, garis-bentuk yang terdapat dalam gambar,
serta pergerakan-statisnya sebuah objek/subjek dalam gambar. Yang kedua rhythmic,
bahwa melakukan proses editing berkaitan dengan penciptaan tempo/irama melalui
penyesuaian panjang shot dengan shot berikutnya yang akan disandingkan, termasuk
juga menyesuaikan pergerakan gambar yang dihasilkan atas camera position dan
movement. Yang ketiga adalah spatial, yang bertujuan untuk menghadirkan orientasi
ruang di kepala penonton. Oleh sebab itu seringkali film diawali dengan konsep
spatial whole yang diimplementasikan dengan adanya establishment shot sebelum
masuk pada shot-shot yang lebih padat (seperti konsep Griffith). Yang terakhir
adalah temporal, berkaitan dengan pengelolaan waktu dalam film. Disini bisa
digunakan flashback, flashforward, elliptical editing –dimana terjadi pengurangan
waktu yang dikonsumsi penonton (misalnya adegan 1 diselingi dengan adegan 2,
dengan asumsi bahwa adegan 1 tetap berjalan dan kemudian selesai tanpa harus
diperlihatkan), overlapping editing –yang bertujuan untuk memanjangkan cerita dari
dugaan semula (adegan 1 diselingi adegan 2, dan kembali pada adegan 1 dengan
kelanjutannya).
Untuk itulah, teknik editing sebenarnya menghadirkan makna yang bersifat
asosiasional –makna yang pemahaman maknanya diserahkan kepada penonton
melalui berbagai macam konstruksi yang telah dilakukan editing.
D. Sound (Suara)
Dalam era film bisu, suara berfungsi sebagai pengiring (biasanya dlm bentuk
narasi, musik orkestra, efek suara) yang diperdengarkan ketika film sedang diputar
(mengiringi pemutaran film). Untuk dialog yang memang harus disampaikan,
biasanya dalam bentuk teks dalam frame yang berlaku sebagai komunikasi antara
film dengan penonton.
Ketika film sudah mampu mengakomodasi faktor suara, dialog maupun
musik digunakan sebagai penghubung kontinuitas secara naratif, bahkan bisa juga
untuk mempersiapkan adegan berikutnya.
Namun elemen-elemen suara (musik misalnya) terkadang bisa menjadi
“alarm palsu” ketika nada berubah seketika. Inilah yang dinamakan “harapan yang
tertunda” dari film, bisa dikatakan mengecoh, atau mengejutkan (surprise) – ini
sebagai ironi adegan. Yang paling dipahami secara umum bahwa suara, baik berupa
musik ataupun lagu bisa memperkuat maupun mengiringi suasana.
Kelebihan suara (musik) yang memiliki intonasi nada tinggi-rendah, tempo
cepat-lambat bisa menciptakan intensitas psikologi penonton, yang tentunya sebagai
kekuatan lain selain intensitas yang dihadirkan melalui berbgai elemen visual yang
terlihat. Untuk itulah suara (musik) bukan cuma mengiringi, tapi memiliki integritas
sendiri, dimana suara bisa sangat menentukan persepsi dan asumsi gambar-gambar
yang tampil dalam film.
Berdasarkan prinsip-prinsip form and style yang dijabarkan diatas, film
Usmar Ismail coba untuk “dibedah” berdasarkan elemen-elemen pembentuknya.
Kisah 6
MENGURAI ELEMEN-ELEMEN DALAM FILM DARAH DAN DO’A
Elemen-elemen yang berfungsi untuk menciptakan film ini perlu untuk disajikan dan dibuatkan deskripsi analisanya. Hal ini
selain berfungsi untuk mendefinisikan film secara tekstual, juga berfungsi untuk melacak lebih dalam dan mendetil bagaimana unsur-
unsur nasionalitas dalam film. Pelacakan ini dimaksudkan untuk melihat sejauh mana identitas-identitas nasional yang dikandungnya.
Karena wacana film nasional atas film ini sudah terlampau mendapatkan pengesahannya, maka yang diperlukan adalah mengetahui
seperti apa nasionalitas mewujud dalam bentuknya. Disinilah wacana akan berupaya mendapatkan bentuknya.
Istri : Tidak
Istri : Sudah
Suami : Betul?
Teknologi belum
memungkinkan bendera
Indonesia terwarnai sebagai
merah dan putih
Screen Direction
64
Screen Direction
66
Elemen-elemen yang
berlangsung dalam anti-klimaks
79 Kapt Sudarto : Lebih baik aku Sikap Kapten Sudarto yang tidak
mati daripada membunuh pernah menyetujui perang
saudaraku. saudara.
Kapt Sudarto : Bunuh aku, bagiku
hidup ini sudah tidak ada arti
lagi. Barangkali aku yang tolol
80 Kapt Sudarto : Jangan diulang Kapten Sudarto memegangi
lagi. Biar aku saja perutnya yang ditembak PKI
Dalam film ini juga digunakan narasi. Namun fungsi narasi lebih untuk
menceritakan masing-masing bagian, bukan sebagai Suara Tuhan (Voice of God)
yang tahu segala-galanya. Narasi seperti untuk mempertegas setiap adegan yang
sedang dan telah berlangsung, termasuk menjaga film agar tidak tergelincir pada
pemahaman yang salah pada penonton atas film yang dikehendaki pembuatnya,
sebagai film revolusi. Lihatlah sebuah contoh. Ketika Sudarto masih dalam usaha
mendapatkan fantasi cintanya dengan Noni Jerman, narasi yang mengikutinya justru
terlalu cepat melegitimasi Sudarto sebagai prajurit pengemban revolusi. Karena
justru semakin jauh kedalam, peran Sudarto malah semakin menempatkan posisinya
jauh dari harapan revolusi. Ada hubungan sebab-akibat yang tidak berjalan disini,
karena Sudarto seperti “sukar dikendalikan” oleh film. Film ini terlalu
memperlihatkan keberpihakannya pada revolusi tentara Indonesia, yang sebenarnya
ingin direpresentasikan melalui sosok Sudarto, namun gagal. Pilihan kata “musuh”
untuk menyebut Belanda, dalam sebuah narasi yang menceritakan tentang perjalanan
sulit pasukan Sudarto diantara kepungan tentara Belanda memperlihatkan
keberpihakan itu. Dengan kata lain, Usmar ingin menegaskan identitas filmnya
sebagai film yang nasionalisme, yang ingin duduk dalam sudut pandang tentara
revolusi Indonesia.
Namun sekali lagi, Sudarto yang dihadirkan menjadi tokoh sentral dalam
film, sebagai representasi identitas nasional dan sebagai prajurit yang berjuang atas
nama nasionalitasnya melalui perjuangan fisik mempertahankan Negara nasional
Indonesia, justru malah memudarkan semangat revolusi yang dipertahankan dari
setiap narasi yang diciptakan. Dan ini bisa berimplikasi pada pudarnya semangat
nasionalisme pada diri Sudarto.
Penggunaan narasi dalam film sebenarnya untuk membantu penonton
menginterpretasikan kejadian. Dan narasi dalam film memang tidak pernah dalam
posisi netral karena narasi sebenarnya adalah sebagai “orang pertama” yang
fungsinya menceritakan seluruh kejadian. Dari sinilah narasi menjadi representasi
pikiran karakter utama.
Narasi dalam film Darah dan Doa ini seperti menyuarakan pikiran Usmar
atas upayanya membuat film yang memiliki identitas nasional melalui perjuangan
Indonesia yang juga sedang memperjuangkan legitimasi atas identitas nasional yang
telah diproklamasikan. Namun sudut pandangnya seringkali berubah-ubah, bisa
sebagai narasi “aku” (slide 25, 59, 82), kadangkala berubah menjadi “dia” yang
mengetahui kejadian (slide 7, 16, 17, 19, 26, 49, 57), dan “dia” yang tidak
mengetahui kejadian (slide 21, 49).
Jika narasi yang menurut David Bordwell sebagai penuntun penonton dalam
membangun cerita dari proses peristiwa ke peristiwa lainnya yang tergambar dan
terlihat dalam plot, maka narasi dalam film Usmar ini tidak berlaku demikian.
Seperti ada kekhawatiran pada Usmar bahwa setiap adegan yang dieksekusinya
belum mampu menerjemahkan pesannya secara utuh dan tuntas. Maka peran narasi
disini untuk memperkuat setiap adegan dan kejadian yang hadir, bukan mendukung
naratif yang dibangunnya.
Dalam poster film maupun dalam judul yang tertera dalam filmnya, nampak
dengan jelas bahwa film ini –melalui ukuran huruf- ingin dikenali dengan judul The
Long March, sementara judul lainnya (dalam tanda kurung) berbunyi Darah dan
Doa ditampilkan dalam ukuran lebih kecil. Namun belakangan Darah dan Doa
ditemukan lebih mendominasi sebagai judul, termasuk yang ada dalam berbagai
komentar, pendapat dan tulisan beberapa orang. Namun dalam film –tema tentang
darah dan tentang doa- hanya bisa ditemui dalam dua adegan saja. Yang pertama
ketika seorang lurah memanjatkan doa ketika akan memulai penjamuan makan
malam pada pasukan Sudarto (tanda “darah” sebagai konotasi perang dalam konteks
film) yang diundang untuk bermalam diwilayahnya. Yang kedua adalah doa yang
dipanjatkan Sudarto dalam penjara ketika menerima kabar bahwa seorang tahanan
telah dieksekusi hukaman mati. Dalam hal ini tanda “darah” ada dalam sosok
Sudarto. Sementara tema long march justru menjadi bagian yang dari perjalanan
film, mulai dari awal sampai akhir.
Disinilah Usmar seperti ingin menampilkan sikap nasionalisme perjuangan
Indonesia melalui komparasi elemen doa dan perang. Namun disisi lainnya ia seperti
takut terjebak dalam anti-nasionalisme karena konsep long march yang ditawarkan
oleh penulisnya (Sitor Situmorang) justru berdasarkan inspirasinya pada perjalanan
(long march) pasukan Tentara Merah Tiongkok. Dan ini seperti menjauhkan filmnya
dari motif-motif nasionalitasnya. Hadirnya “dua judul” dalam film ini menjadi
semacam kompromi dari Usmar untuk menyiasati filmnya yang tidak melulu tentang
darah dan doa, maupun kekhawatiran atas kehilangan identitas nasional, yang
berimplikasi pada hilangnya nasionalisme dalam film ini.
Dalam visualisasi (unsur mise en scene), ada beberapa identitas-identitas
yang mengarah pada konsep besar revolusi perjuangan Indonesia. Antara lain
bendera merah-putih, tentara-prajurit, perang, rakyat, lagu perjuangan, senapan,
pakaian tentara, sepatu tentara. Namun yang terjadi, identitas itu tidak berhasil
seluruhnya menggambarkan konsep besar itu. Karakter tentara –selain Sudarto-
justru banyak digambarkan sebagai manusia lemah, bahkan terlalu banyak. Sikap itu
terjadi karena setiap hari mereka berhadapan dengan situasi kelaparan, kematian dan
guncangan mental lainnya. Dalam satu adegan ada seorang tentara yang mengubah
lirik lagu menjadi “air matanya berlinang karena tak ada nasi”. Hal yang
sebenarnya merupakan problem paling mendasar yang kerap ditemui dalam
peperangan. Bahkan beberapa nampak menyerah atas situasi, kalau tidak mau
dikatakan menyesal telah menggadaikan dirinya untuk jadi tentara.
Kenyataan ini memperlihatkan –setidaknya- mental tentara Indonesia.
Identifikasi yang melemahkan perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan
Negara bernama Indonesia, dan ini tergambarkan dengan jelas dalam film. Meskipun
Usmar juga berupaya melakukan keseimbangan untuk menutup kelemahan karakter
tentara itu dengan simbol-simbol yang menguatkan identitas tersebut seperti sepatu
tentara yang menginjak dada seorang PKI yang tertembak, senjata sebagai solusi
bagi setiap prajurit-tentara dalam mempertahankan harga dirinya yang terampas
karena cacat anggota tubuhnya, siasat-siasat perang gerilya yang begitu diagungkan
melalui konfrontasi kamuflase sergap “belakang” musuh dan sebagainya. Dalam
konstruksi identitas, Usmar sedang melakukan proyek identitas untuk dikenali
sebagai identitas nasional Indonesia melalui sosok tentara dalam revolusi Indonesia
yang pemberani, meskipun ia juga tidak kuasa menghindari adanya relasi dengan
berbagai kenyataan yang melemahkan dalam filmnya. Kekuatan dan kelemahan
saling bergantian memainkan perannya.
Pasukan Sudarto dalam film mungkin juga perlu diurai ulang sebagai
miniatur identitas Indonesia yang sedang berjuang. Kehadirannya ditengah
masyarakat justru membuat keberadaan pasukan ini sebagai “yang lain”, bahkan
seperti terkucil dalam masyarakatnya sendiri. Komponen masyarakat dan tentara
(Sudarto) seperti malah saling berhadap-hadapan sebagai “aku” dan “dia”, dua hal
yang memiliki identifikasi secara berbeda. Sebuah narasi yang menyatakan bahwa
tanpa bantuan orang-orang desa, perjuangan tak akan bisa dipikul sendiri, seperti
“norma” nasionalisme perjuangan saja dari pembuatnya, karena dalam sebuah narasi
sebelumnya justru terdapat satu penjelasan berlawanan, yang menyebutkan bahwa
kehadiran keluarga (masyarakat) malah menjadi beban berat. Lalu, masyarakat mana
yang dimaksud Usmar sebagai penolongnya?
Beberapa adegan dalam film yang memperlihatkan “kontestasi” masyarakat
dan tentara bisa dilihat berikut ini. Sebuah adegan tentang masuknya pasukan
Sudarto di sebuah desa malah menimbulkan keraguan atas penerimaan masyarakat,
sebelum akhirnya seorang menyatakan bahwa desa itu merupakan bagian darinya.
Pasukan Sudarto seperti sedang berdiri diluar ruang bangsanya sendiri, cenderung
teralienasi dari bangsanya yang justru sedang diperjuangkannya dari intimidasi
Belanda. Padahal dalam konteks teritorial, justru Belanda yang harus ditempatkan
sebagai “yang lain”. Atau sebuah adegan yang memperlihatkan seorang tentara yang
lebih memilih untuk tidura-tiduran ketika masuk pada sebuah desa, karena
dikhawatirkan setiap gerakannya (dalam film disebut dengan ‘ekspedisi’) tidak
mudah diterima masyarakat setempat. Sekali lagi, pasukan Sudarto seperti
kehilangan orientasi, yang seolah tidak tahu mereka sedang sebenarnya berjuang
untuk siapa.
Identitas-identitas lainnya juga seperti tidak ditempatkan dalam porsi untuk
dikenali sebagai materi yang bisa diidentifikasi secara kuat dalam konsep besar
revolusi perjuangan. Bendera Indonesia hanya melambai-lambai tanpa makna
disebuah sudut kanan bawah sebuah frame dalam adegan pertempuran (slide 60),
yang seharusnya melalui teknik sinematografi dengan komposisi close up ataupun
medium shot bisa dimaksimalkan dalam memaknainya. Begitu juga pakaian tentara
seperti tak-bermakna apapun bagi sebagian prajurit sehingga seorang komandannya
menegur atas “kelalaian” pasukannya tersebut ketika menjemur pakaiannya di
tempat terbuka. Sang komandan mengkhawatirkan bahwa apa yang dilakukan para
prajurit ini malah mengetalase mereka untuk dijadikan sasaran tembak Belanda, PKI
ataupun DI (maksudnya DI-TII). Di sini terlihat ada dua beban yang diemban
‘pakaian’ ; fungsional (penutup badan) dan simbolik (petanda ‘musuh’ bagi yang
lain), yang berada dalam konteksnya masing-masing.
Dalam konteks dua bangsa-Negara yang berkonfrontasi, Indonesia dengan
Belanda, Usmar justru membuka peluang pada semua pihak atas klaim yang sama
sebagai ‘pahlawan’ bangsa atas mereka. Semua merasa berjuang mempertahankan
Indonesia, sehingga semua juga menjadi merasa paling nasionalis, pembela
bangsanya. Lihat bagaimana ketika pasukan DI-TII yang menyerbu masuk kedalam
rumah dimana pasukan Sudarto sedang tidur. Mereka dengan lantang menyebut
bahwa peran mereka seperti ‘kambing’ yang digemukkan untuk disembelih. Mereka
menyebut dirinya juga sebagai pejuang yang turut mempertahankan Indonesia.
Dengan demikian maka semua sebagai pemilik kesadaran nasionalitas yang anti-
Belanda. Potensi pasukan Sudarto sebagai pemegang kendali utama bagi gagasan
identitas nasional dalam film ini malah menjadi samar. Usmar tidak sedang berusaha
mempertahankan sudut pandangnya melalui representasi pasukan Sudarto sebagai
deskripsi identitas nasional.
Secara umum, justru identitas nasional dalam film (teks) bisa diidentifikasi
dengan tema perjuangan Indonesia melawan Belanda, terlepas dari adanya konflik
dalam bangsa-Negara Indonesia sendiri –yang disebut berulang-ulang oleh Sudarto
sebagai ‘perang saudara’. Sehingga jika identitas nasional dalam teks film melalui
proyek konstruksi kehadiran para pejuang (identitas) Indonesia (nasional) dalam
konfrontasi melawan Belanda (yang bukan “nasional” –identitas diperjuangkan
sebagai perbedaan), yang harus diakui sebagiannya memiliki kegagalan
mempertahankan identifikasi sebagai yang nasional atas nasionalismenya. Maka
dalam teks yang berlangsung diluar film, sebagai film yang “bukan Belanda”, tapi
tidak “bukan Hollywood” seperti proteksi yang dilakukan perfilman negara-negara
di Eropa. Apalagi tidak “bukan Tionghoa”, karena sebuah catatan pernah
menyebutkan bahwa seorang Tionghoa memberi bantuan finansial terhadap film ini,
termasuk mendistribusikannya.
Kisah 8
PENUTUPAN
Melalui teori Choi tentang kategori teritori, film Darah dan Do’a menjadi
satu pertimbangan penting ketika dengan jelas menyajikan “Indonesia” secara utuh –
pemain, orang pembuat, perusahaan (Perfini), kisah, latarbelakang tempat dan
sebagainya. Persyaratan “teritori" bisa dikatakan terpenuhi, sehingga kemudian
klaim akan perfilman nasional dimulai disini juga akhirnya terpenuhi juga. Namun
klaim itu juga dengan mudahnya akan tergugat ketika film itu digali lebih jauh,
termasuk film dalam bentuk teks. Konsep neorealisme, struktur yang diterapkan,
konsep dan teknik editing, maupun tema global (bukan nasional) yang ditemukan
dalam film, membuat nasionalisasi atas film ini menjadi terbuka atas pemaknaan
baru.
Tentang neorealisme, bisa disimak ketika ia menginginkan muka-muka baru
(dalam film ini -penulis) dengan bakat-bakat yang segar. Mengenai konsep
neorealisme ini juga diakui oleh D. Djajakusuma bahwa Usmar Ismail memang
sangat terinspirasi oleh kelompok neorealisme yang lahir setelah perang dunia II.
Apa yang dilakukannya (konsep neorealisme) ternyata tidak lebih berbeda dengan
konsep-konsep film yang sudah ada sebelumnya. Sama halnya seperti yang dialami
oleh Andjar Asmara –bahkan lebih menyakitkan- ketika dengan “gelar” sutradara
yang disandangnya, tapi jabatannya tidak lebih berkuasa atas film yang dibuat itu. Ini
menjadi sebuah pertanyaan besar akan konsep perfilman nasional yang terhubungkan
dengan auteurs. Identitas “nasional” seperti apa, karena nyatanya Usmar
sesungguhnya tidaklah otonom sebagai pembuat –tidak menawarkan sesuatu yang
baru, dalam arti lain bahwa “karakter” yang dianut dalam film itu tenyata tidak
membedakan.
Hal ini ditambah lagi dengan konsep neorealisme ala Usmar ini
sesungguhnya kontraproduktif. Beberapa menyebut bahwa penggunaan pemain non-
aktor ini agar tumbuh idealisme dari pemain, menyerupai idealisme pembuatnya
yang hanya 5 (lima) orang. Beberapa juga menyebut ini sebagai teknik menyiasati
ketiadaan biaya untuk membayar pemain-pemain profesional, sehingga disebut
bahwa Usmar anti-star system. Dalam tulisannya, Salim Said yang turut
meneguhkan konsep neorealisme ini bahkan mengutip bahwa semboyan neorealisme
Italia begitu digemari oleh Perfini –“bawa kamera ke jalan raya, pakai orang biasa,
bukan bintang”. Bahkan menurutnya lagi “kesetiaan membawa kamera” itulah yang
akhirnya menjadi kekuatan film Usmar dalam menampilkan wajah Indonesia yang
sebenarnya. Kata “sebenarnya” juga menjadi dipertanyakan manakala dalam teks
awal filmnya tertera bahwa cerita, nama dan pelaku dalam film ini tidak ada
hubungannya dengan yang pernah ada.
Termasuk ketika dalam sebuah narasi dalam film dinyatakan sebagai
“pasukan tak bernama” –jadi bukan tentang Divisi Siliwangi. Film ini seperti
bermain dalam ruang abu-abu antara fakta dan fiksi.
Disatu sisi apa yang terjadi ini menjadi satu pendorong tergugahnya
kesadaran menjadi bangsa Indonesia melalui “wajah” yang tertera dalam film Usmar
–sehingga ia merasa “nasionalisme” turut hadir disana. Namun dalam sisi lainnya,
Usmar mematahkan semua ini melalui artikel yang ditulisnya, berjudul Pengantar ke
Dunia Film. Terinspirasi oleh David W. Griffith, Usmar menyebut bahwa membuat
film adalah montage, dimana ruang dan waktu bisa disatukan dalam sebuah asumsi
yag dibentuk film. Untuk itulah ketika seorang temannya yang melihat film Usmar,
Kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Djogya, mempertanyakan alasan
diambilnya adegan kehancuran rumah-rumah di Jogja akibat agresi Belanda, justru
bukan keadaan Jogja yang direkam, tapi daerah Kaliurang dan Prambanan. Usmar
hanya tertawa membayangkan ketidakpahaman sang teman atas potensi montage.
Keadaan ini memperlihatkan betapa neorealisme bukanlah konsep yang
mapan ditangan Usmar. Konsep itu hanya bersifat situasional karena ketiadaan biaya
produksi atas filmnya, yang kemudian diatasnamakan berbagai hal ; idealisme,
neorealisme atau apapun yang menegaskannya.
Mungkin benar bahwa Usmar dan Darah dan Doa sebagai pencitraan film
nasional awal adalah produk wacana. Karena dalam tulisannya yang lain lagi Usmar
menuliskan bahwa film yang dibuatnya ini praktis merupakan dorongan idealisme,
dan jika kemudian banyak pengusaha film lain yang mencari bentuk bagi pembuatan
film yang bercorak kebangsaan, itu hanya “seolah-olah” saja.
Jika teks adalah penting, maka Loetoeng Kasaroeng, film yang disebut
sebagai produksi film cerita pertama kali di Indonesia ini sebenarnya patut menjadi
perhatian juga. Dalam upaya menunjukkan tentang identitas nasional, maka film ini
rasanya mampu menunjukkan akan ke-identitas-an itu, paling tidak identitas budaya
(hikayat) bangsa Sunda –yang secara teritori berada dalam batas wilayah Indonesia.
Sebagai identitas (khas) yang dikandung bangsa Indonesia, rasanya masih bisa
diterima –minimal sebagai konsep yang bisa diolah untuk memahami tentang
perfilman nasional.
Peter Roffman dan Jim Purdy selanjutnya juga menulis, “apabila sebuah film
disenangi oleh banyak orang, jelas film tersebut mencerminkan sesuatu terhadap
penonton yang banyak itu melakukan identifikasi diri mereka”.
Bahkan menilik lagi sejarah lahirnya Darah dan Doa, menurut Krishna Sen
ternyata juga banyak problem tentang “nasional-bukan nasional”. Pengambilan
gambar Darah dan Doa pada 30 Maret 1950 disebut terancam gagal karena
kehabisan uang. Namun seorang Tionghoa pemilik bioskop bernama Tuan Tong
tidak menyelamatkannya dengan bantuan finansial. Dia bukan hanya memberi
jaminan terselesaikannya film itu, tapi juga jaminan akan mendistribusikannya di
Jakarta. Bahkan upaya Usmar Ismail untuk “mencanangkan” sinema nasional
Indonesia takkan mungkin terjadi tanpa dukungan finansial dan pemasaran dari
kelompok Tionghoa.
“Usmar sangat malu dengan film itu. Niatnya menjual Tiga Dara
ketik masih dalam tahap pembikinan memperlihtkan betapa
beratnya bagi dia menerima kenyataan harus membuat film seperti
itu.”
Selanjutnya,
“Sesekali memang tampil juga Usmar sebagai sutradara, dan
hasilnya adalah film seperti Pedjuang. Dengan Pedjuang itu Usmar
sebenarnya hanya ingin mengingatkan masyarakat bahwa ia masih
Usmar lama yang tidak semata-mata mencari duit”.
Hal ini juga terjadi ketika Usmar berada di Amerika (sekolah), ketika Perfini
melalui Asrul Sani membuat skenario Terimalah Laguku, yang disutradarai D.
Djajakusuma dan diproduseri Rosihan Anwar, Usmar amat merisaukannya karena
cita-citanya membuat film yang realistis nampaknya semakin sulit menjadi
kenyataan.
Usmar Ismail, yang mulai masuk dunia film melalui dunia teater (panggung)
yang selama ini ia geluti juga banyak berhutang jasa pada Andjar Asmara. Bersama
teman-temannya ia mendirikan grup sandiwara bernama penggemar Maya. Dalam
sebuah data yang ditemukan penulis tentang daftar riwayat hidup yang
ditandatanganinya sendiri, Usmar Ismail juga tercatat sebagai tentara berpangkat
Mayor TNI. Kemudian ia mendirikan koran Patriot. Dan tahun 1947 ia terpilih
sebagai Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat.
l
Sumber foto : www.ganlob.com
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdullah, Taufik, Dr., et al., 1993. Film Indonesia Bagian I (1900-1950), Jakarta :
Dewan Film Nasional
Barker, Chris, 2004. Cultural Studies : Theory and Practice 2nd edition, London :
SAGE Publications Ltd
Barker, Chris & Galasinski, Dariusz, 2001. Culutral Studies and Discourse Analysis
: a dialoque on language and identity, London : SAGE Publications Ltd
Biran, Misbach Yusa, 2009. Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film di Jawa, Jakarta :
Komunitas Bambu dan Dewan Kesenian Jakarta
Bordwell, David and Kristin Thompson, 1994. Film Art : An Introduction, USA :
McGraw-Hill Inc.
Boswell, David & Evans, Jessica (eds.). 2002. Representing the Nation : Histories,
Heritage and Museums, London And New York : Routledge
Carroll, Noel & Jinhee Choi (eds.). 2006. Philosophy of Film and Motion Picture :
An Antology, Blackwell Publishing
Cheng, Khoo Gaik & Barker, Thomas, 2011, Mau Dibawa ke Mana Sinema Kita?,
Jakarta : Salemba Humanika
Gronemeyer, Andrea, 1998. Film, New York : Barron’s Educational Series, Inc.
Grosby, Steven, 2005. Nationalism : a very short introduction, New York : Oxford
University Press
Hayward, Susan, 2000. Cinema Studies : The Key Concepts, London and New York
: Routledge
Heider, Karl G., 1991. Indonesian Cinema : National Culture on Screen, Honolulu :
University of Hawaii Press
Kristanto, JB., 2007. Katalog Film Indonesia 1926-2007, Jakarta : Penerbit Nalar
Poeze, Harry A., 2008. Di Negeri Penjajah : Orang Indonesia di Negeri Belanda
1600 – 1950 (terjemahan dari In Het Land van de Overheerser :
Indonesiërs in Nederland 1600 – 1950, Koninklijk Instituut voor Taal-,
land- en Volkkendunde, Leiden, 1986) Jakarta : Kepustakaan Populer
Gramedia dan KKITLV
Sen, Khrisna, 2009. Kuasa Dalam Sinema : Negara, Masyarakat dan Sinema Orde
Baru, Yogyakarta : Penerbit Ombak
Smith, Geoffrey Nowell, 1996. The Oxford History of World Cinema, New York :
Oxford University Press
Storey, John, 1996. Cultural Studies And The Study Of Popular Culture : Theories
And Methods, Edinburgh : Edinburgh Univ. Press
Artikel
Aneka, 1950. Long March : Darah dan Do’a, Majalah Aneka No.14/Th.I/15
September 1950, Hlm.14
Aneka, 1950. The Long March (Darah dan Do’a) (Iklan Pertunjukan Film –
Penulis), Jakarta : Majalah Aneka No.13/Th.I/1 September 1950, Hlm.16
Aneka, 1950 The Long March of Siliwangi (Darah dan Do’a), Jakarta : Majalah
Aneka No.12/Th.I/17 Agustus 1950, Hlm.10
Aneka, 1950. Tjiptaan Pertama “Perfini” Darah dan Do’a, Jakarta : Majalah Aneka
No.2/Th.I/1Maret 1950, Hlm.16
Anwar, H. Rosihan, Refleksi Hari Film Nasional, Jakarta : Kompas, 30 Maret 1998
Api, Hari Film Nasional, Kelahiran Film Pertama tg. 30 Maret, Harian Api, 1
Oktober 1965
Pikiran Rakyat, 1988. “Darah & Do’a” Tonggak Sejarah Sinema Indonesia, Pikiran
Rakyat, Minggu 3 April 1988
Ismail, Usmar, 1963. Film Saja Jang Pertama, Jakarta : Intisari No.7/Th.I/17
Agustus 1963, Hlm.121
Kompas, 1981. “Darah dan Do’a” dan Api PON, Jakarta : Kompas, 13 September
1981
Sinar Harapan, Sekitar Persoalan Hari Film Nasional, Jakarta : Sinar Harapan, 5
Agustus 1972
Wahjoe, L. Imam, 2003. Usmar Ismail : Pelopor dan Bapak Film Indonesia, Profil
Maestro Indonesia Vol.1, PT. Indonesia Raya Audivisi, 2003, Hlm.96
DATA TEKNIS FILM
Sinopsis :
Menceritakan tentang perjalanan pasukan Indonesia dari Yogyakarta menuju
Jawa Barat. Pasukan itu dipimpin seorang Kapten bernama Sudarto. Dalam
perjalanannya banyak terjadi peristiwa pertempuran, baik dengan tentara Belanda,
PKI maupun pasukan DI (TII).
Dalam film ini juga terdapat sebuah plot yang mengisahkan sosok pribadi
Kapten Sudarto. Digambarkan Sudarto sebagai lelaki yang mudah jatuh cinta pada
wanita. Bahkan beberapa anak buahnya merasa Sudarto tidak pantas sebagai seorang
pemimpin karena sikapnya yang lemah dalam menghadapi musuh-musuhnya. Ia
justru dianggap lebih asik dengan kesenangan pribadinya.
Di akhir film Sudarto tertembak oleh seorang PKI, yang berusaha
membalaskan dendamnya karena sahabatnya ditembak mati oleh pasukan Sudarto.
Dalam keadaan kritis Sudarto menyesali sikap lemahnya tersebut, sekaligus bangga
dengan dirinya karena sampai menjelang akhir hayatnya ia tidak pernah menyetujui
adanya perang saudara sesama bangsa Indonesia. Karena menurutnya musuh
sesungguhnya adalah Belanda.
TENTANG PENULIS