Anda di halaman 1dari 135

FILM NASIONAL

INDONESIA
PERTAMA

Arda Muhlisiun
Daftar Isi

Kisah 1. FILM NASIONAL DI DARATAN EROPA


Kisah 2. AWAL MULA FILM DI INDONESIA
Kisah 3. MENGAPA HARUS MEMBUAT PENJELASAN FILM
NASIONAL
Kisah 4. IDENTITAS NASIONAL (Sebagai Panduan Membaca Film Darah
dan Do’a)
Kisah 5. MEMBICARAKAN F I L M DARAH DAN DO’A
Kisah 6. MENGURAI ELEMEN-ELEMEN DALAM FILM DARAH DAN
DO’A
Kisah 7. MEMBACA URAIAN ELEMEN FILM DARAH DAN DOA
Kisah 8. PENUTUPAN
Bonus Kisah. USMAR ISMAIL DAN FILMNYA

Daftar Pustaka
Data Teknis Film
Tentang Penulis
Kisah 1
FILM NASIONAL DI DARATAN EROPA

FILM-FILM EROPA MEMPERTAHANKAN DIRI DARI


SERANGAN FILM-FILM AMERIKA
Perusahaan-perusahaan film Amerika sampai tahun 1912 mulai tumbuh
berkembang sebagai sebuah industri film. Hal itu terutama dipicu atas persaingan
para pembuat film dalam negerinya sendiri yang semakin meningkat. Peningkatan
produksi film terjadi untuk memenuhi permintaan pasar yang semakin besar. Dari
sana kemudian bertumbuhan panggung-panggung pertunjukan, yang disebut sebagai
Nickelodeon. Istilah ini berasal dari penggabungan dua kata yaitu Nickel, yang
berarti setiap penonton yang ingin menyaksikan film pendek berdurasi 15 – 60 menit
di Nickelodeon ini diharuskan membayar 1 nickel ; dan Odeon, yang berarti teater
atau ruang pertunjukan. Dalam satu Nickelodeon ada tiga film dalam satu
programnya, dan akan terus diganti tiga kali dalam satu minggunya. Sehingga jika
dihitung dalam satu tahun terdapat sebanyak 450 judul film Amerika saat itu. Luar
biasa bukan.
Film Amerika saat ini dikenal dengan sebutan film Hollywood. Istilah
Hollywood sengaja dihindari diawal tulisan ini karena pada periode ketika negara-
negara Eropa sedang bergejolak dengan ekspansi film impor dari luar, terutama
Amerika, nama Hollywood juga sedang berproses menjadi sebuah tempat yang
mapan bagi industri film di Amerika. Awalnya, perusahaan-perusahaan film Amerika
menempati suatu wilayah di New Jersey dan New York. Ada juga yang di Chicago
dan Philadelphia. Sekitar tahun 1910, beberapa perusahaan film mulai beralih ke
wilayah Los Angeles dengan pertimbangan artistik film yang sangat baik.
Hollywood sebagai salah satu wilayah yang berada di pinggiran Los Angeles, lebih
tepatnya bagian selatan California, menjadi pilihan utama bermukimnya perusahaan-
perusahaan film Amerika, karena ide atas berbagai pilihan lokasi produksi film diluar
studio mudah diwujudkan disana dengan adanya pemandangan luas, pantai, hutan,
gunung, gurun pasir, bukit dan sebagainya.
Mengenai perfilman Amerika ini, Usmar Ismail seorang tokoh besar film
Indonesia dalam satu artikelnya berjudulInilah Hollywood yang diterbitkan tahun
1953, pernah mencatatkan beberapa alasan kenapa perfilman Amerika (yang
kemudian dikenal sebagai Hollywood) berkembang dengan baik. Beberapa yang bisa
dikutip tentang (orang-orang) Hollywood :

“…mereka mempunyai kesanggupan-kesanggupan luar biasa dalam


menjelajah lapangan penghiburan dengan hidung mereka yang tajam
dan lekas menangkap keinginan masyarakat banyak”.

“Karena mereka bukan orang-orang lepasan sekolah tinggi, maka


mereka begitu tak acuh terhadap keinginan golongan kecil para
intelegensia. Meladeni rakyat banyak darimana mereka juga berasal,
itulah yang menjadi tujuan mereka pertama-tama.”

“Perasaan kepercayaan pada diri sendiri dan kebenaran cara mereka


bekerja amatlah tebal. Akan tetapi yang menjadi ukuran bagi mereka
adalah dua huruf b.o. (box office) alias penghasilan.”

Menurut Usmar, atas dasar itulah Hollywood dapat berkembang. Bahkan


Usmar dengan sedikit “mengejek” mencoba menggambarkan bagaimana orang-
orang Hollywood menjalani hidupnya :

“Merekalah yang tidur, makan, minum dan pembicaraannya tidak


lain daripada movie (film). Jika sudah agak lama juga tinggal di
antara mereka, barulah orang sadar, bahwa bagi mereka yang
terpenting di dunia ini adalah movie. Mereka hidup seolah-olah
terasing sendiri dari dunia luaran. Apa yang terjadi di luar itu bagi
mereka cuma penting, jika ada hubungannya dengan mereka sebagai
pembuat-pembuat film.”

Dengan kata lain, Usmar ingin menyampaikan bahwa bagi orang-orang di


Hollywood semua hidupnya mengabdi untuk film. Ia berkembang karena totalitas
yang terus menerus dipertahankannya.
Bahkan film Amerika sejak tahun 1937 juga telah memberikan pengaruh
pada film-film yang ada di Indonesia. Kondisi ini juga yang menurut banyak orang
akhirnya mendorong pembuat film di Indonesia kala itu untuk memperjuangkan
lahirnya film nasional.Hal ini dikarenakan film Indonesia harus mempertahankan
dirinya dari pengaruh film asing. Mempertahankan dirinya dengan cara membuat
film yang selalu memperlihatkan orang-orang Indonesia (aktor maupun aktrisnya)
yang berbahasa Indonesia (dialognya), bergaya (aktingnya) seperti orang Indonesia.
Pokoknya semua harus “Indonesia”.
Sementara pendapat seorang teoritikus film yang bernama Andrew Tudor
mengenai kehebatan Hollywood ini disebabkan karena mereka (Hollywood)
memiliki formule picture atau “resep” berupa genre(jenis film). Karena menurutnya
genre adalah bagian dari film populer, yang berarti juga sebagai kebudayaan massa
yang memiliki kesanggupan sebagai penentu tingkah laku massa. Dari sinilah
kebutuhan/hasrat masyarakat terbaca dan dikendalikan atau diformulakan melalui
resep-resep tadi.
Perfilman Amerika akhirnya tidak hanya tumbuh berkembang di dalam
negerinya saja. Industri film Amerika juga terus melakukan ekspansi keluar
negaranya. Semua itu dalam upaya meningkatkan peluang bisnis. Dari sinilah
kemudian dilakukan ekspor film keluar negeri sebagai suatu cara ekspansi, dan
terbukti berhasil. Perusahaan film Vitagraph melakukan upaya pertama dengan
mendistribusikan film ke Eropa (yang pertama ke Inggris dan disusul kemudian ke
Paris). Dari situlah kemudian satu per satu perusahaan film Amerika lainnya
menyusul ekspor film-filmnya. Atas dasar itulah film-film Amerika menjadi sangat
populer di berbagai negara di Eropa. Ekspansi ini kemudian juga dilanjutkan
terhadap negara di kawasan lain, seperti Amerika Selatan, Australia dan juga
Selandia Baru.
Di belahan bumi lainnya, terutama Eropa, juga mengupayakan produksi film
di negaranya sendiri. Namun efek Perang Dunia I sangat berdampak pada ekonomi
negara-negara Eropa yang terlibat dalam perang tersebut. Akhirnya beberapa negara
kolaps menghadapi situasi seperti ini. Disinilah perusahaan film Amerika semakin
mendapatkan peluang lebih besar dalam mendominasi pasar film di Eropa. Hal ini
juga dikarenakan semakin mudahnya film-film Amerika masuk. Ini terjadi karena
biaya untuk membeli film-film produksi Amerika lebih murah ketimbang negara-
negara Eropa itu harus memproduksi film sendiri.
Tahun 1916 adalah era dimana ekspor film Amerika tumbuh secara pesat.
Dalam waktu singkat perusahaan film Amerika telah memiliki banyak agen di
London. Kemudian dibuka lagi cabangnya di Amerika Selatan, kemudian Australia,
Timur Jauh dan juga beberapa negara Eropa lainnya. Disinilah industri film Amerika
meraup berbagai keuntungan yang luar biasa. Sebagai gambaran, sekitar 60 persen
impor film di Argentina selama tahun 1916 adalah film-film Amerika. Begitupun
untuk negara-negara di kawasan Amerika Selatan selalu membeli film-film
Hollywood. Bahkan 95 persen film yang diputar di Australia dan Selandia Baru
adalah film-film Hollywood.
Dampak Perang Dunia I sangat terasa bagi negara-negara di Eropa, terutama
dalam bidang ekonomi. Bahkan dalam industri film di Perancis hampir semua orang,
termasuk para pekerja dalam industri perfilman Perancis, dikerahkan dan
dimobilisasi untuk maju ke medan perang. Namun beberapa negara Eropa juga
mengambil keuntungan dengan tetap berusaha membuat film produksi domestik
mereka masing-masing. Mereka tidak mau berlarut-larut tenggelam dalam dominasi
ekspor film-film asing, termasuk film-film buatan Amerika. Beberapa negara itu
adalah Swedia, Jerman, Rusia, Italia, Denmark dan Perancis. Mereka mengambil
sikap dengan menghentikan impor film dari luar negaranya, seraya berusaha
mendapatkan kembali pasar penonton mereka sendiri pada tayangan film-film yang
dahulu mereka (masyarakatnya) kenal sebelum perang terjadi.
Mereka menganggap bahwa dominasi impor atas film-film Amerika hanya
bisa dihentikan jika mereka mampu memberikan tontonan film buatan negaranya
sendiri -pada masyarakatnya sendiri. Inilah yang menjadi salah satu pemicu
semangat akan lahirnya film nasional. Mari kita simak beberapa peristiwa penting di
Eropa terkait perfilmannya :
Perfilman Jerman. Sebelum tahun 1912 industri film Jerman cenderung
dipandang sebelah mata. Bahkan ada yang menyebut bahwa sinema sebagai
lowbrow (orang yang tidak tahu-menahu). Kebangkitan film Jerman dimulai ketika
mulai diperkenalkannya istilah Autorenfilm atau authors’ film.Artinya film yang
dihasikan atas sistem adaptasi dari karya-karya teater.Cara-cara ini mulai menarik
simpati masyarakatnya terhadap film. Ini hanyalah sekedar pemicunya, karena
lambat laun perfilman Jerman dengan produk domestiknya mulai populer dan
sukses. Pada tahun 1916, Pemerintah Jerman menutup semua aliran film-film impor
masuk ke negaranya. Aksi ini ternyata berhasil mendorong industri film dalam
negerinya untuk berkembang. Dariperaturan pemerintah inilah kemudian perfilman
Jerman bangkit.
Perfilman Italia. Setelah Perang Dunia I berakhir, negara Italia mencoba
untuk mendapatkan tempat di pasar film dunia, meskipun ternyata belum mampu
juga menghadang laju film-film Amerika. Tahun 1919 dibentuk sebuah perusahaan
yang dinamakan Unione Cinematografica Italiana. Tujuannya untuk mengupayakan
penyegaran kembali atas produksi film Italia. Karena sejarah awal perfilman Italia
tumbuh dengan tema-tema yang khas menggambarkan karakter perfilman Italia dan
sangat dikenal di dunia, terutama tema-tema epik. Bahkan mereka juga memiliki
sebuah sistem bintang (star system) melalui peran-peran perempuan cantik, yang
kemudian dikenal sebagai divas. Film-film divas ini cukup populer pada pertengahan
tahun 1910-an. Sementara untuk sosok laki-laki dalam film dikenal juga istilah
strongman film. Satu lagi yang cukup populer dalam perfilman Italia adalah peplum
film, atau kisah-kisah epik yang berlandaskan sejarah kepahlawanan. Dari sinilah
kemudian lahir film semisal Hercules (1957).
Perfilman Rusia. Perfilman Rusia juga berusaha mempertegas perfilman
nasionalnya. Hal ini karena Perang Dunia I telah mengisolasi negara Rusia. Tahun
1916 industri film Rusia mulai berkembang. Terbukti kemudian dengan berdirinya
hampir tiga puluh perusahaan film di Rusia. Namun memang belakangan
pertumbuhannya berjalan agak lambat dikarenakan adanya Revolusi Bolshevik.
Meskipun kemudian prinsip revolusi tersebut banyak berdampak dalam tema yang
diangkat dalam film-film Rusia.
Perfilman Perancis. Perang Dunia I hampir membuat kekosongan produk
bagi industri film di Perancis. Bahkan mobilisasi besar-besaran awal agustus 1914
terhadap penyiapan tenaga untuk turut berperang telah membuat aktifitas dalam
industri sinema di Perancis terhenti. Dua perusahaan besar yaitu, Pathe
Freres&Leon Gaumont mencoba mengisinya dengan film-film dari Amerika. Film-
film Amerika yang masuk ke Perancis, dan mendominasi pasar hingga akhir tahun
1917. Beberapa bintang film sangat populer di kalangan penonton Perancis seperti
Charlie Chaplin, Douglas Fairbanks, Willian S. Hart dan Lilian Gish. Pada akhirnya
pemerintah Perancis melakukan upaya untuk mengurangi film-film Amerika masuk
negara mereka. Industri film Perancis berusaha kembali mencoba menarik kembali
pasarnya dengan membuat film-film yang kebanyakan dengan membuat tiruan dari
tema film-film produksi Hollywood.
Penjelasan tentang sejarah perfilman di Eropa diatas memberikan satu
gambaran umum bahwa insiatif untuk menghadang masuknya ekspansi film-film
impor dari Amerika telah mendorong mereka atas kesadaran nasionalismenya.
Kesadaran inilah yang menciptakan semangat bagi setiap negara untuk memiliki
filmnya sendiri sekaligus menciptakan karakter kuat atas pembedaan film-filmnya.
Disinilah perfilman nasional di Eropa bermula, yaitu sinema perlawanan atas
dominasi film Amerika.
Sinema nasional bagi beberapa negara di Eropa bisa disimpulkan bahwa yang
dinamakan sinema nasional adalah “not-Hollywood” (asal bukan-Hollywood).
Seorang penulis buku bernama Susan Hayward dalam bukunya Cinema Studies :
The Key Concept menjabarkan tentang Hollywood dan film-film negara Eropa ini.
Menurutnya bahwa setiap negara Eropa berhak untuk melindungi pendapatan
keuangan dalam negerinya, dengan industri yang menghasilkan produk asli
(pribumi) yang sangat spesifik sesuai kebutuhan penonton negara yang
bersangkutan, karena dimungkinkan sanggup menghadirkan budaya nasional secara
lebih jelas dan spesifik. Sesuatu yang dianggapnya tidak sanggup dilakukan oleh
pihak manapun, terutama Hollywood. Perancis, Jerman dan juga Spanyol adalah
negara-negara yang mempraktekkan hal ini. Dari sini nampak jelas bahwa film di
negara-negara Eropa sangat melindungi segala sesuatunya dari hal yang berbau
“Hollywood”.

Lalu, bagaimana dengan film nasional di Indonesia? Bagaimana rupa film


nasionalnya? Identitas nasional apa saja yang bisa ditemukan dalam film ini? Jika
wacana nasional (kuasa-kuasa pendapat) sudah terlanjur terlegitimasi terhadap film
ini, bagaimana secara tekstual film ini turut mendukung wacana tersebut?
Kisah 2

AWAL MULA FILM DI INDONESIA

PENJAJAHAN MELAHIRKAN USAHA DAN UPAYA UNTUK


MERUMUSKAN FILM NASIONAL INDONESIA

Perkenalan film (dahulu disebut sebagai gambar idoep) terhadap masyarakat


di Indonesia (Hindia Belanda) dibarengi dengan kondisi sosial politik yang sedang
terjadi, yakni fase-fase pendudukan kolonial Belanda di negara ini.
Antropolog bernama Karl G. Heider membagi-bagi fase sinema Indonesia
yang merupakan bentukan dari refleksi situasi politik sebagai : periode kolonial
Belanda sampai tahun 1942, pendudukan Jepang sampai tahun 1945 dan masa
perjuangan kemerdekaan 1945-1949. Sementara menurut tokoh film Indonesia
Gayus Siagiaan dalam bukunya Sejarah Film Indonesia, kehadiran orang-orang
dalam kapasitas kolonialisasi (selain termasuk juga para pengusaha Tionghoa) telah
memberikan arah bagi sineas Indonesia.Dalam catatan Gayus, dua tokoh sineas
Belanda Mannus Franken dan Albert Balink telah membuat landasan bagi pembuatan
film seni di Indonesia. Lain lagi pendapat Krishna Sen, yang mengatakan bahwa
sketsa perkembangan mendasar sinema Indonesia dalam limapuluh tahun pertama,
selain karena dominasi finansial pengusaha (Tionghoa) juga sedikitnya disebabkan
hadirnya Sinema Amerika.
Dari sejarah awal perkenalan film di Indonesia itulah kemudian
berkembanglah gagasan tentang “sinema nasional”. Disusul kemudian muncul
berbagai wacana bahwa tonggak sejarah film nasional di Indonesia dimulai ketika
Usmar Ismail melalui rumah produksinya Perfini (Perusahaan Film Nasional
Indonesia) memproduksi film Darah dan Doa (1950).
Sebutan film nasional pertama di Indonesia yang dialamatkan film Usmar
Ismail ini karena dianggap sebagai film yang memenuhi kriteria sebagai film
nasional dengan sejumlah persyaratan nasionalisme didalamnya. Dengan kata lain,
dalam film ini sudah memiliki cara pandang berbasis nasionalisme, baik modal
pembuatannya, tim produksinya ataupun tema filmnya. Beberapa pendapat yang bisa
dibaca antara lain :

“Film inilah yang secara resmi dianggap sebagai tonggak sejarah


sinema Indonesia. Pasalnya, karena film ini secara keseluruhan
betul-betul mencuatkan karya utuh bangsa kita. Mulai dari modal
produksi, penyutradaraan, sampai pada tetek bengek lainnya.
Semuanya ditangani oleh orang-orang pribumi, bukan orang asing.
Sungguh suatu peristiwa yang menarik, istimewa dan amat
membanggakan, tentu!” (dikutip dari artikel berjudul “Darah &
Doa” Tonggak Sejarah Sinema Indonesia, Pikiran Rakyat, Minggu,
3 April 1988)

“Diberi predikat nasional karena berbeda dengan film-film


sebelumnya, modal untuk film ini (Darah dan Do’a) adalah modal
nasional (pemimpin perusahaan, pemimpin produksi,
penyutradaraan, cerita, artis, juru kamera, penulis skenario, editor
dll).” (Dikutip dari pernyataan Gayus Siagian dalam bukunya
Sejarah Film Indonesia).

“Film buatan dalam negeri mulai dibuat pada tahun 1926 (Loetoeng
Kasaroeng, film yang bercerita tentang kehidupan pribumi lewat
dongeng Sunda. Perusahaan yang membuat film cerita pertama ini
adalah N.V. Java Film Company yang didirikan oleh L. Heuveldrop
dari Batavia dan G. Krugers dari Bandung –pen.). Namun, film-film
yang dibuat sampai tahun 1949 belum bisa disebut sebagai film
Indonesia. Hal ini disebabkan film yang dibuat pada masa itu tidak
didasari kesadaran nasional. Pembuatan film yang sudah didasari
oleh kesadaran nasional adalah sejak Usmar Ismail membuat Darah
dan Do’a/Long March (1950). Seperti diucapkannya dalam
wawancara, bahwa ia akan membuat film yang bisa mencerminkan
national personality, kepribadian bangsa.” (Dikutip dari pernyatan
tokoh film Indonesia H. Misbach Yusa Biran).

“Semangat nasionalis Usmar tidak hanya ditunjukkan lewat


upayanya membangun industri film Indonesia, namun juga dalam
soal isi film-filmnya. Darah dan Do’a, menjadi sebuah dokumen
bersejarah atas pembasmian pemberontaan Madiun (1948) oleh
Divisi Siliwangi. Film ini juga secara luas menjangkau peristiwa
bersejarah masa lampau (konfrontasi fisik). Akibatnya film ini
menyinggung banyak pihak (terutama komunitas Belanda di
Indonesia).” (Dikutip dari tulisan Khrisna Sen).

Dari sekian pernyataan yang berkembang dan semua tertuju pada sosok
Usmar Ismail dan filmnya, kemudian hari pertama produksi film Usmar ini
dicetuskannya sebagai Hari Film Nasional. Hal ini tercetus dalam Rapat Kerja
Dewan Film Indonesia (Dewan Film Nasional) dengan organisasi-organisasi
perfilman di Jakarta pada 11 Oktober 1962 memutuskan antara lain (keputusan No.4)
: “…menetapkan hari shooting dalam pembuatan film nasional yang pertama Darah
dan Doa (The Long March) sebagai hari film Indonesia (30 Maret 1950)…”
Pengakuan resmi yang menyatakan bahwa 30 Maret telah diakui sebagai Hari
Film Nasional ditandai dengan ditandatanganinya UU Perfilman oleh Presiden
Soeharto pada 30 Maret 1992. Kemudian diperkuat oleh Keppres No.25, yang
dikeluarkan BJ Habibie pada 29 Maret 1999.
Predikat sebagai “film nasional” dalam film ini setidaknya dilandasi pada
kelahiran film ini yang diproduksi secara kolektif atas nama nasionalisme. Untuk
itulah bisa diambil kesimpulan bahwa ada 3 (tiga) hal terkait nasionalismenya yaitu :
modal yang berasal dari saku orang Indonesia, pembuatnya adalah para orang
Indonesia dan tema yang diangkat berlandaskan pada sikap nasionalisme-kebangsaan
Indonesia, yaitu tentang revolusi perjuangan Indonesia melawan Belanda.
Modal untuk pembuatan film, Usmar Ismail menyebutkan bahwa sebagian
modal itu diambil dari pesangonnya sebagai mantan tentara, yang berkisar 30.000
rupiah. Ditambah juga dengan bantuan pihak lain, seperti Menteri Penerangan RI Mr.
Syamsuddin yang memungkinkan digunakannya alat-alat bekas Multifilm, sebuah
perusahaan film milik Belanda. Jika ditotal biaya seluruh produksi film ini sejumlah
350.000 rupiah.
Begitupula dengan sumber daya manusia yang terlibat, semuanya adalah
orang-orang pribumi. Bahkan pemain-pemainnya bukan berasal dari pemain film.
Hal ini dilakukan karena memang minimnya biaya produksi sehingga tidak
dimungkinkan untuk membayar pemain-pemain profesional.
Kisah 3

MENGAPA HARUS MEMBUAT PENJELASAN


FILM NASIONAL

MERUMUSKAN PENGERTIAN “NASIONAL” DALAM FILM


INDONESIA

Menyebut kata “nasional” pada film ini (Darah dan Do’a) merupakan upaya
legitimisasi yang harus dilakukan saat itu oleh berbagai pihak yang berkepentingan
merumuskannya. Karena Usmar Ismail pun sesungguhnya tidak pernah meniatkan
agar filmnya menjadi film nasional, ataupun nantinya sebagai tonggak sejarah
perfilman nasional, sekaligus menjadi penanda Hari Film Nasional. Hal ini
dipertegas oleh Asrul Sani, seorang pembuat film Indonesia kawakan yang
berpandangan lain perihal predikat “nasional” pada film Usmar :

“…tanpa ia sadari dan tanpa ia sebutkan dengan kata-kata, telah ia


berikan suatu definisi bagi pengertian “film nasional Indonesia”,
yaitu film yang menjuru-bicarai perjuangan rakyat Indonesia, film
yang lahir dari perjuangan itu sendiri dan film yang merupakan
bagian integral dari kehidupan dan perjuangan seluruh rakyat
Indonesia.”

Atau juga mengutip pendapat dari peneliti Salim Said yang tidak dengan
tegas menyatakan “nasional” atas film ini. Dalam buku Profil Film Indonesia, Salim
Said menuliskannya sebagai berikut :
“Berbeda dengan kebiasaan pembuatan film Tionghoa, sebelum
maupun setelah Perang – yang waktu itu bangkit kembali – Usmar
Ismail membuat film dari cerita yang digalinya dari kenyataan hidup
disekelilingnya. Maka wajah Indonesia memang bisa terlihat lewat
film-film buatan Usmar dan kawan-kawannya yang bergabung
dalam Perusahan Film Nasional Indonesia (Perfini).”

Usmar hanya membuat film, bukan membuat film nasional, apalagi ingin
menjadi film nasional. Ia hanya ingin mandiri sebagai pembuat film, tanpa
dikendalikan dan ditunggangi oleh motif-motif tertentu dari pihak lain, terutama
Belanda. Bisa dilihat dari catatan dalam artikelnya, Film Saya yang Pertama, yang
judulnya saja seolah ingin menegaskan dirinya dan karya filmnya :

“Meskipun (film –pen.) “Tjitra” mendapat sambutan yang baik dari


pihak pers, terus terang film itu terlalu banyak mengingatkan saya
kepada ikatan-ikatan yang saya rasakan sebagai pengekangan
terhadap daya kreasi saya. Karena itu saya lebih senang menganggap
“Darah dan Doa” sebagai film saya yang pertama, yang seratus
persen saya kerjakan dengan tanggungjawab sendiri”

Kemudian juga mengutip pernyataannya dalam artikel yang sama -Film Saya
yang Pertama :

“…Waktu Sitor datang kepada saya dengan beberapa halaman cerita


yang mengisahkan pengalaman seorang perwira Tentara Nasional
Indonesia dalam mars yang bersejarah dari timur ke barat pulau
Jawa, yang kemudian disebut seperti pengalaman Tentara Merah
Tiongkok “The Long March”, saya dengan segera tertarik kepada
cerita itu.”

Ternyata memang begitu sulit mendefinisikan tentang nasional-tidaknya film


ini. Sehingga perlu dilakukan upaya penjabaran dan pembahasan lebih lanjut
mengenai hal-hal yang dikandung dalam teks film.
Penjabaran dan pembahasan atas seluruh “tubuh” film (teks) ini merupakan
satu pekerjaan berat dalam memahami film Usmar sebagai tonggak disahkannya
pengertian film nasional. Menganalisa teks untuk memperlihatkan representasi
identitas nasional(isme) dalam film Usmar belum pernah dilakukan banyak orang.
Yang pernah ditemukan adalah catatan singkat saja dalam kisah rentetan panjang
sejarah film Indonesia. Bahkan tulisan agak panjang yang ditemukan dalam sub
artikel Salim Said tahun 1977 berjudul Manusia dalam kemelut revolusi tentang
pengamatannya terhadap film Darah dan Doa, berupa analisa sinopsis dengan
karakter-karakternya, yang oleh Salim Said dalam catatan lainnya disebut film
Darah dan Doa ini sebagai film tentang manusia dan revolusi.
Termasuk analisa film Darah dan Doa yang ditemukan dalam sebuah
penelitian tesis karya Sofian Purnama (tahun 2011), berjudul Usmar Ismail dan Tiga
Film Tentang Revolusi Indonesia (1950-1954). Sudut pandang analisa dalam tesis
yang menggunakan pendekatan kajian sejarah ini berdasarkan pandangan yang
cenderung subyektif tentang Usmar sebagai pembuat film di jaman revolusi.
Termasuk perannya sebagai pelopor film “idealis” Indonesia ditengah film-film yang
selama itu masih dianggap komoditi dagangan.
Satu lagi tulisan yang mencoba menganalisa film Darah dan Doa berasal dari
buku Indonesian Cinema : National Culture on Screenkarya Karl Heider(1995).
Namun analisa film itu digunakan untuk mengkomparasi (membandingkan) dengan
film lain berjudul Mereka Kembali (Sutradara Imam Tantowi, 1975) dalam hal
kesamaan tema yang diangkat, yaitu mengenai Long March Pasukan Siliwangi ke
Jawa Tengah setelah dilakukannya Perjanjian Renville pada Januari 1948.
Dalam komparasinya, Heider memecah-mecah kedua film itu menjadi
adegan (scene) yang kemudian dianalisa persamaan dan perbedaannya. Hasil
analisanya juga beberapa berupa kajian disekitar tubuh film itu saja, salah satunya
tentang alasan dibuangnya gambaran komunis dalam film Mereka Kembali, yang
dalam Darah dan Doa terlihat begitu nyata. Heider memiliki satu pandangan bahwa
tahun 1951 sebagai time for healing (periode “penyehatan”) bagi Republik (Negara
Indonesia) yang baru saja berdiri, sehingga dikhawatirkan mengingatkan sejarah
kelam komunis di Madiun.

Tentang pengertian sinema nasional, beberapa teoritisi mencoba


menerjemahkan kedalam berbagai konsep pemikirannya tentang Sinema Nasional.
Hal ini bisa dijadikan ukuran pertimbangan suatu negara dalam menyebut
perfilmannya sebagai sinema nasional, sekaligus bisa memperjelas apa sebenarnya
yang dimaksud sebagai “Sinema Nasional”.
Teoritisi film Jinhee Choi memberikan 3 (tiga) pendekatan atas upayanya
merumuskan sinema nasional. Dia mengatakan bahwa :

Saya menawarkan tiga cara untuk mendekati pemahaman sinema


nasional : pertimbangan teritori, pertimbangan fungsional dan
pertimbangan relasional

Penjelasannya adalah pertimbangan teritori (a territorial account) salah satu


cara paling sederhana untuk mengidentifikasi tentang identitas nasional atas sebuah
film, dengan mempertimbangkan dimana film itu diproduksi. Sehingga sinema
nasional adalah merupakan keseluruhan aktifitas dari institusi film dalam sebuah
negara-bangsa asalnya. Jika pertimbangan teritori lebih menekankan pada pengertian
produksi/industri sebuah film, maka pertimbangan fungsional (a functional account)
adalah sebuah upaya untuk mengidentifikasi teks sebuah film, apakah teks tersebut
berfungsi membedakan dengan film produk dari negara lainnya. Sementara
pertimbangan relasional (a relational account) lebih sebagai upaya menegaskan
kedudukan identitas nasional atas film yang dilahirkan itu berdasarkan sejarah
nasional sebuah Negara, dimana sejarah film itu juga turut dilahirkan.
Maka dengan demikian pendapat yang ditemukan dalam berbagai tulisan
beberapa orang yang telah dipaparkan diatas lebih berpusat pada pertimbangan
kategori teritori (a territorial account) dalam mendekati dan menyebut film Usmar
sebagai film nasional.
Sementara untuk kategori fungsional maupun relasional, lebih menawarkan
pemahaman akan fungsi film dalam konteks sosiologi-sejarah, bukan body of film
(istilah yang dinyatakan oleh Jinhee Choi, yang artinya sebagai teks sebuah film).
Perihal para pembuatnya, yang dalam berbagai catatan tulisan dilakukan oleh orang-
orang pribumi, yang dalam konsep teritori ala Choi, bisa dimasukkan sebagai
penjelasan lanjutan dalam konteks kewilayahan sebuah negara-bangsa. Artinya,
penjelasannya bisa diperluas menjadi “lokasi film dibuat” dan “status
kewarganegaraan pembuatnya”.
Sebagai landasan untuk lebih memahami sinema nasional, tentu pengertian
atas hal yang disebut “nasional” akan diperjelas. Dalam pandangan Chris Barker
melalui bukunya Cultural Studies : Theory and Practice, negara-bangsa modern,
nasionalisme dan identitas sosial adalah sebentuk organisasi dan identifikasi yang
bersifat kolektif (masyarakat). Semua itu bukan tiba-tiba saja lahir secara alamiah,
tapi tercipta karena sejarah panjang yang mengikutinya, termasuk berbagai praktik
budaya ikut menentukan bagi terbentuknya bangsa.
Menurut Barker, terbentuknya sebuah negara-bangsa bersumber atas konsep
politik yang didasari pada kedaulatan atas ruang atau wilayah, maupun representasi
kultural tempat dimana identitas nasional terus menerus diupayakan.
Pengertian negara-bangsa dan identitas budaya bangsa juga sebenarnya bisa
dibedakan atas masing-masing penjelasannya. Negara-bangsa sangat terikat pada
batas-batas wilayah yang disepakati, sementara identitas budaya bangsa tidak terikat
pada batas-batas yang ditentukan, bahkan bisa dianggap melintasi batas-batas
negara.
Sementara menurut Stuart Hall –seorang ahli kajian budaya- identitas
nasional adalah cara mempersatukan keragaman budaya. Menurutnya dengan
identitas nasional menciptakan kesatuan atas perbedaan. Kesatuan itu tercipta
melalui berbagai macam narasi tentang bangsa yaitu, cerita, citra, simbol maupun
ritual yang merepresentasikan tentang makna kebersamaan sebagai bangsa.
Sama halnya dengan pengertian identitas nasional yang dibangun oleh
seorang profesor bidang internasional bernama Benedict Anderson, dikatakan bahwa
bangsa adalah sesuatu yang “terbayang” karena para anggota bangsa terkecil pun
tidak bakal kenal dengan anggota yang lainnya. Namun dalam pikiran setiap orang
yang menjadi anggota bangsa itu, ada sebuah bayangan tentang kebersamaan
mereka. Ini menjadi semacam konstruksi bahwa setiap orang akan selalu
mengidetifikasikan dirinya dengan orang yang dibayangkannya sama dengan
dirinya. Dari sinilah identitas nasional bermula, karena setiap anggota sebuah bangsa
merasa berada dalam wilayah yang sama, merasa memiliki bahasa yang sama,
merasa memiliki kebudayaan yang sama dan sebagainya.
Anderson memberikan satu argumen bahwa kesadaran nasional bagi
penciptaan bayangan atas identitas yang sama itu berasal dari faktor mulai adanya
peran media cetak.
Dengan kata lain (menurut Anderson) bahwa asal muasal kesadaran nasional
(nasionalisme) bermula dari bahasa cetakan yang tersebar ke penjuru wilayah. Ini
melahirkan kesepahaman dan kesatuan atas terbayangnya diri masing-masing
anggota bangsa dalam satu identitas yang sama. Dalam satu “bahasa” cetakan itu
setiap anggota bangsa saling memahami.
Meskipun demikian, “kapitalisme cetakan” bagi terciptanya kesadaran
nasional ini penuh tentangan. Karena menurut J. Thompson apa yang diungkapkan
oleh Anderson barulah sebatas prasyarat-prasyarat bagi kesadaran nasional, belum
menyentuh pada kepastian atas kesadaran nasional tersebut. Hal itu karena tidak
terjelaskannya bagaimana bentuk-bentuk cetakan itu sanggup melahirkan rasa
kebangsaan. Begitu pula tidak ditemui bagaimana para anggota bangsa itu
menggunakan produk-produk cetakan itu sehingga kemudian melahirkan kesadaran
nasional itu.
Untuk itulah nasionalisme menjadi satu istilah yang sesungguhnya tidak bisa
didefinisikan secara mutlak. Pengertiannya tergantung bagaimana setiap penjelasan
mampu menerangkan secara meyakinkan. Termasuk didalamnya bagaimana
pengertian nasionalisme itu kemudian terbentuk dari identitas-identitas yang
diarahkan pada pengertian nasional tersebut.
Dengan demikian maka upaya mendefiniskan film nasional tidak sekedar
berangkat pada segala sesuatu yang berada dalam wilayah negara dengan berbagai
elemen didalamnya seperti masyarakat pembuatnya, tema-tema yang kerap terdapat
dalam satu wilayah Negara. Karena pengertian bangsa atas eksistensi sebuah negara
juga semakin mempersulit pengertian nasional. Yang paling memungkinkan adalah
ketika unsur-unsur yang terkandung dalam film diupayakan analisa tekstualnya.
Tujuannya untuk mendapatkan jawaban tentang nasionalitas sebuah film. Inilah
substansi paling mendasar dari tulisan di buku ini melalui sejumlah pemeriksaan
menyeluruh terhadap film Usmar Ismail berjudul Darah dan Do’a (Produksi tahun
1950).

TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan ini adalah untuk melihat bagaimana identitas nasional


digambarkan dan direpresentasikan dalam film Darah dan Doa. Hal ini dilakukan
dalam upaya memenuhi tuntutan dalam melengkapi berbagai pendapat tentang
predikat nasional terhadap film ini.
Tulisan ini tentunya merupakan sumbangan pemikiran baru bagi perfilman
Indonesia dalam membuka wawasan dan memandang film ini dengan cara lain.
Analisa dan kajian atas teks film ini berupaya melihat film Usmar Ismail secara lebih
mendalam. Karena sekian lama orang hanya mengenalnya sebagai cikal-bakal
lahirnya film nasional, termasuk telah menjadi bagian penting dari bermulanya film
nasional Indonesia.
Kisah 4
IDENTITAS NASIONAL
(Sebagai Panduan Membaca Film Darah dan Do’a)

SEKELUMIT TENTANG IDENTITAS

Sebelum masuk pada pembicaraan mengenai film, akan dijabarkan terlebih


dahulu mengenai identitas nasional. Dua kata kunci ini perlu dipahami pembaca
terlebih dahulu untuk melihat film dengan sudut pandang yang mungkin agak sedikit
lebih berbeda dari biasanya. Dalam pembacaan atas film Darah dan Do’a ini
tuntutannya adalah melihat dengan kritis unsur-unsur identitas dalam teks sebuah
film yang mendukung ke arah nasionalitas-tidaknya sebuah film. Artinya, untuk
sementara pembaca melepaskan dahulu harapannya untuk mendapatkan hiburan dari
film ini.

Identitas merupakan sebuah konstruksi, ada sesuatu yang dibentuk,


diharapkan dan dikehendaki untuk dikenali sebagai “sesuatu”. Sehingga yang terjadi
adalah “bagaimana kita melihat diri kita sendiri” dan “bagaimana orang lain melihat
diri kita”. Inilah urgensi untuk memulai pemahaman tentang “identitas”.
Kehendak konstruksi ini memungkinkan untuk membawanya pada suatu
kepentingan atas identitas tersebut. Stuart Hall menjelaskan bahwa identitas
terbentuk melalui investasi emosional fantasi. Prinsipnya, setiap orang memiliki
keinginan untuk menjadi sesuatu, dimana hal itu terus menerus diusahakan dan
diupayakan. Ini sejalan juga dengan pernyataan Jeremy Butler yang merupakan
seorang teoritikus media. Dia menyebutkan bahwa identifikasi atas identitas
dipahami semacam afiliasi dan ekspresi ikatan emosional atas sesuatu yang ideal,
fantasi atas objek (orang, bagian tubuh) atau ideal normatif. Identitas diri diyakini
dibentuk oleh seseorang sebagai proyek pribadi. Ada satu keinginan dari seseorang
untuk menjadikannya dirinya sebagai apa dan siapa. Artinya, ada satu motif
penciptaan berkelanjutan narasi identitas diri sebagai “baju” yang akan
mempersepsikan diri kita. Identitas diri terbentuk oleh kemampuan untuk
mempertahankan narasi diri dari waktu ke waktu ; masa lampau, sekarang dan masa
depan.
Identitas dimengerti dalam dua pemahaman. Yang pertama, identitas yang
dikategorisasikan sebagai gender dan etnis. Disini berarti identitas gender sebagai
hal yang terbawa dan melekat semenjak sesuatu terlahir. Sementara identitas etnis
terwujud melalui bentuk-bentuk adat-istiadat yang menjadi kesehariannya. Meskipun
akhirnya dalam proses sosial dan budaya yang terus bergerak, identitas ini juga
menjadi sesuatu yang lambat laun bisa memudar. Bisa melihat buku Imagined
Communities (penulisnya Benedict Anderson), dimana identitas bisa berubah dengan
berbagai cara demi sebuah kepentingan. Pedro Fermin de Vargas, seorang tokoh
liberal Kolombia pernah menyatakan bahwa orang-orang Indian lambat laun akan
kehilangan identifikasi atas identitas mulanya karena percampuran genetika yang
dilakukan dengan orang kulit putih. Proses inilah yang menurut Ben Anderson
sebagai “konversi”, yang dijelaskannya sebagai penyerapan alkimiawi. Lebih lanjut,
proses konversi inilah yang kemudian menurutnya memungkinkan seorang “Inggris”
memiliki peluang untuk dinobatkan menjadi Sri Paus (terjadi ketika Nicholas
Brakespear dari Inggris memegang jabatan ini antara tahun 1154 – 1159 dengan
nama Paus Adrian IV). Atau mungkin yang lebih populer kita bisa melihat tim
sepakbola Indonesia yang pernah memperkenalkan kepada public sebuah konsep
naturalisasi sekitar akhir 2009, dimana orang berkewarganegaraan non-Indonesia
bisa menjadi warga Negara Indonesia, untuk menjadi bagian pemain tim nasional
sepakbola Indonesia. Tentu saja yang mengikuti proses naturalisasi ini sekaligus
menanggalkan identitas-identitas lamanya dan menggunakan identitas baru seperti
logo burung garuda dalam kaos yang dikenakannya sebagai satu contoh.
Yang kedua, tentang plastisitas identitas, yaitu kemampuan untuk berbicara
tentang diri kita sendiri dalam berbagai cara, yang membawa kita kepada suatu
bentuk “politik budaya”. Identitas menjadi sesuatu yang berubah bentuk dari waktu
ke waktu, tanpa pernah ada sesuatu yang bisa dikenali secara tepat. Identitas
seringkali berada dalam keadaan asumtif –tetap atau berubah. Nyatanya, identitas
selalu membebani seseorang secara plastis, bukan merupakan “sesuatu” (esensi)
yang abadi melekat.
Chris Barker secara lebih detil menuliskan identitas sebenarnya sebagai
“esensi” diri tetap, yang tercermin melalui feminitas, maskulinitas, orang Asia,
remaja dan kategori sosial lainnya, yang disebut sebagai esensialisme. Yang lainnya,
identitas dianggap sebagai produk kultural, dimana identitas bisa ditukar-tukar dan
terkait dengan keadaan sosial dan kultural tertentu, yang disebut sebagai anti-
esensialisme. Pertukaran ini terjadi karena identitas tidak “dibendakan”, tapi
digambarkan melalui serangkaian pembahasaan (dimaknai). Kedudukan identitas
yang pertama ssungguhnya juga dimungkinkan untuk dipertukarkan, sehingga
pengertian esensi diri sebenarnya masih bisa dipertanyakan. Inilah yang memicu
lahirnya anti-esensialisme.
Dari sini bisa dipahami bahwa menjadi “seseorang” adalah sangat bersifat
sosial dan kultural. Dengan kata lain bahwa identitas tidak dapat dengan sendirinya
“ada” (exist) tanpa campur tangan faktor sosial dan kultural. Itulah sebabnya Julia
Kristeva pernah mengatakan, “identitas-identitas kita dalam hidup tak putus-
putusnya dipersoalkan, digugat, dibatalkan”. Julia Kristeva adalah seorang
teoritikus, ahli linguistik dan juga seorang kritikus sastra.
Atas dasar “kehendak” itulah maka nilai-nilai subjektivitas akan menjadi
yang paling besar dalam proses dan kondisi menjadi “seseorang” –menjadi identitas
tertentu, atau menjadi sesuatu. Artinya, “bagaimana kita menjadi” merupakan proses
sosial yang secara terus menerus bergerak, atau dengan kata lain setiap orang
“menjadi” karena adanya faktor konstruksi dalam masyarakatnya.
Jeremy Butler menyebut identitas sebagai diskursif-performatif (discursive-
performative), dalam arti bahwa seseorang bisa “menjadi sesuatu” melalui praktik
wacana (didengung-dengungkan secara terus menerus) yang kemudian didukung
melalui penciptaan nama-nama, bentuk-bentuk, lambang-lambang, simbol-simbol
yang ditandakan secara performa, yang bertujuan untuk dikenali.
Karena memiliki identitas dalam tujuannya untuk sesuatu yang ingin
dikenali, maka esensi dari diri yang ingin dikenali oleh diri kita sendiri dan orang
lain dinyatakan melalui representasi tanda-tanda (nama-nama, bentuk-bentuk,
lambang-lambang, simbol-simbol tadi).
Untuk memperjelas ini, penulis mencoba memaparkannya melalui cuplikan
tulisan sebuah buku yang cukup menarik dan dengan gamblang bisa menjelaskan
tentang identitas yang dikehendaki tersebut. Buku ini berjudul Becoming White :
Representasi Ras, Kelas, Feminitas dan Globalisasi dalam Iklan Sabun. Ditulis oleh
Aquarini Priyatna Prabasmoro, yang berasal dari desertasinya di Institute for
Women’s Studies, Lancaster University, Britania Raya. Dalam buku ini digambarkan
bahwa representasi “putih” (berkulit putih) menjadi satu tanda (identitas) yang
diharapkan, berisi makna-makna penting bagi setiap wanita, terutama “cantik”.
Sehingga jika ingin cantik haruslah berkulit putih. Dalam penelitiannya, sabun
menjadi faktor yang menentukan (determinan) dalam pembentukan identitas
tersebut. Ini satu contoh betapa identitas adalah kehendak –diciptakan, bukan terjadi
begitu saja.
Untuk itulah “menjadi” identitas ternyata harus melalui proses akulturasi,
dimana didalamnya terjadi dinamisasi nilai-nilai, makna dan pengetahuan. Dengan
begitu, identitas dibentuk menjadi kepribadian-kepribadian melalui peran bahasa
(pembahasaan) dan campur tangan budaya, melalui konvensi sosial sehingga ketika
identitas telah hadir dalam subjek maka itu dianggap menjadi “kebenaran”. Dan
“putih” adalah sebuah konvensi sosial yang terus menerus dipertahankan untuk
memaknai tentang kecantikan, yang dalam buku ini juga turut dikatakan bahwa hal
ini tidak lebih sebagai praktek kolonialisme dan faktor globalisasi, bahwa Eropa,
terutama kulit putih adalah segalanya (hegemonik).

A. Proyek Identitas
Proses terbentuknya identitas atas kepribadian ini merupakan
pengejawantahan bahwa manusia lahir (ada) ke dunia sebelum adanya
identitas “aku” manusia (pre-exists). Dalam keadaan ini manusia bisa
menjadi subjek apapun, melalui proses panjang dalam lingkungan sosial dan
kultural yang melingkupinya. Anthony Giddens seorang teoritikus sosial
Inggris menyebut bahwa identitas tidak ubahnya sebagai proyek. Ia
menyatakan :
Identitas merupakan ciptaan kita, sesuatu yang selalu berproses, suatu
gerak menuju dan bukan suatu kedatangan. Proyek identitas tersusun
dari : apa yang kita pikirkan tentang diri kita sekarang dengan dasar
situasi masa lalu dan masa sekarang kita, dan juga apa yang kita
pikirkan tentang akan menjadi apakah kita, dengan garis lintasan masa
depan yang kita inginkan)

Seperti penjelasan pada paragraf awal, identitas tidak dipahami


sebagai sesuatu yang universal, tapi terus menerus berada dalam proses yang
dikonstruksi (diciptakan). Bahasa tidak sekedar menjelaskan identitas
tersebut, tetapi lebih sebagai alat untuk mencapai maksud. Melalui bahasa,
konstruksi sosial itu “membuat” daripada “menemukan” identitas, sehingga
representasi bukan cuma gambaran sebuah dunia, tapi justru membentuk
gambaran tersebut, yang dibahasakan melalui “bahasa” demi sebuah makna.
Dengan begitu bahasa dapat dianggap sebagai alat untuk menjelaskan
identitas yang dikehendaki melalui representasi simbolis.
Makna identitas juga diproduksi dalam proses kemiripan dan
perbedaan melalui peran personal dan sosial. Identitas selalu diperjuangkan,
dan itu tidak lebih sebagai upaya untuk membedakan dengan yang lain secara
personal, sekaligus untuk membentuk suatu kemiripan/kesamaan atas
identitas dalam satu lingkungan sosial yang sama. Untuk itulah makna
sebuah identitas sebenarnya tidak pernah tetap (selesai) atau diselesaikan,
selalu diperjuangkan dalam proses kemiripan dan perbedaan. Perjuangan
inilah yang disebut sebagai politik identitas, yang dijelaskan oleh Stuart Hall
sebagai produksi dengan kemungkinan yang beragam, mengalami pergeseran
dan terfragmentasi, yang dapat diartikulasikan secara bersama-sama dalam
berbagai cara.
Melalui pandangan semiotika-lingusitik, praktek berbahasa
menghasilkan makna melalui serangkaian upaya relasional antar berbagai
komponen melalui sistem. Stabilitas identitas dipertahankan oleh praktek
sosial secara teratur, sehingga dapat diprediksi setiap perilakunya melalui
sistem bahasa ini. Dengan demikian identitas juga bisa diasumsikan sebagai
konstruksi pribadi melalui bentuk keadaan (sebenarnya konstruksi) sosial
yang ada. Karena itulah maka peng-identitas-an adalah sebuah sistem untuk
(membayangkan) “menjadi” dalam hubungan (relasi) sosial sebagai praktek
implementasi atas identitas tersebut. Setiap orang membangun “sesuatu” dari
dirinya dan kepada dunia, sehingga melalui pertimbangan, konteks sosial,
atribut tertentu, seseorang membuat rancangan bagi “jati diri” orang tersebut.
Namun untuk dimengerti oleh dunia luar, identitas harus melalui campur
tangan konvensi sosial (kesepakatan masyarakat) yang berlangsung dalam
dunia luar tersebut. Hal ini sebagai upaya agar pemaknaan atas identitas
tersebut dipahami secara tuntas -bukan sekedar selesai melakukan konstruksi
diri.
Pemahamannya adalah keadaan sosial yang berbeda akan
mendapatkan konsekuensi yang berbeda pula. Lihatlah sebuah contoh
kegagalan sistem relasi identitas, ketika film Usmar Ismail berjudul Tiga
Dara diputar dalam festival film di Venezia Itali. Film yang sukses menjadi
box office di Singapura dan Malaysia, begitu diabaikan oleh penonton pada
festival itu karena tidak memiliki teks bahasa Itali sehingga tidak dipahami
oleh penontonnya. Kondisi ini disebut Usmar sebagai “ironi nasib”, karena
setelah beberapa waktu film itu diputar, penonton yang menyaksikan film itu
mulai terdengar batuk mendehem dan bisik-bisik.
Disini terjadi hubungan (relasi) yang tidak berfungsi karena bahasa
sebagai “penghubung” komunikasi antara film dengan penonton tidak
ditemukan. Usaha untuk mengidentifikasi yang dibutuhkan oleh penonton
berupa subtitle tidak terpenuhi. Untuk itulah “menjadi” identitas merupakan
proses menghubungkan secara bersama diskursif dari luar dengan
internalisasi personal yang terakomodasi melalui proses-proses identifikasi
atas identitas. Dari sinilah identitas dianggap sebagai sebentuk refleksi
kehidupan manusia, yang memang harus diciptakan (dibuat) untuk
menampilkan karakter performatif dan membawanya dalam penamaan
sehingga akan dipahami sebagai “apa” dan “siapa”.
Dengan sifatnya yang “tidak pasti”, maka penciptaan/ pembentukan
identitas merupakan tanggungjawab “bahasa” untuk menghasilkan “apa” tadi.
Dan perlu ditambahi bahwa “apa” itu bisa menjadi “apa” lainnya lagi,
tergantung bagaimana membahasakan dan mepresentasikannya. Dan ini
adalah wilayah linguistik-semiotika untuk menjelaskannya.
Beberapa alasan yang bisa dikemukakan bahwa identitas ternyata
adalah suatu tindakan konstruksi (menyusun) :
1. Penanda menciptakan makna bukan karena kaitannya dengan ojek-objek
tetap, melainkan karena kaitannya dengan penanda-penanda lain. Inilah
yang dimaksud bahwa setiap teks tidaklah otonom (dalam hal ini
identitas) karena bisa bermakna sesuatu ketika ia berada dalam konteks
tertentu. Tidaklah mengherankan jika logo burung garuda dalam kaos
yang dikenakan oleh pemain sepakbola Indonesia memiliki “makna”
yang berbeda ketika berpindah pada pemain dari negara lainnya. Tidak
bisa dikenali lagi identitasnya –karena telah dipertukarkan sebagai makna
sekedar gambar logo saja ketimbang melambangkan ke-Indonesia-an
dalam pertandingan sepakbola.
2. Bahasa bersifat relasional. Kata menciptakan makna bukan karena
merujuk pada ciri-ciri khusus atau esensial dalam suatu objek atau
kualitas, tetapi melalui jejaring hubungan permainan bahasa yang kita
pakai. Dari sini bisa ditentukan bahwa identitas itu bukanlah objek
(pasif), tapi lebih kepada subjek, karena sifatnya yang berkehendak
secara aktif.

Stuart Hall juga mengidentifikasi tiga konsep untuk menjelaskan


pengertian identitas, yaitu : “subjek pencerahan” (enlightenment subject),
“subjek sosiologis” (sociological subject) 'dan “subjek postmodern”
(postmodern subject). Subjek pencerahan mengggambarkan bahwa subjek
yang dikenali secara individu sadar melalui rasionalitasnya yang
memungkinkan dia untuk mengalami dan memahami dunia sesuai dengan
sifat sebenarnya dari dunia itu, dengan kata lain setiap manusia berikhtiar
untuk kemajuannya. Dalam inilah setiap subjek akan membentuk dirinya
sesuai dengan kepentingannya berdasarkan dunia yang dikenalinya, dan
meng-identitas menjadi pusat bagi proses kemajuannya dari waktu ke waktu.
Subjek sosiologis merupakan internalisasi sosial nilai-nilai dan peran yang
diperoleh melalui proses akulturasi untuk menstabilkan individu dan
memastikan bahwa mereka cocok dengan struktur sosial. Ini terbentuk secara
interaktif antara dunia dalam dan dunia sosial (luar) yang ditempatinya. Bagi
Hall, tidak ada identitas tunggal karena identitas berada dalam pengaruh
sosial, sehingga manusia ditempatkan sebagai subjek sosiologis. Proses
pembentukan identitasnya disesuaikan dengan struktur-struktur sosial yang
memungkinkan dirinya bisa membentuk identitas, termasuk ketika
kepentingan atas identitas itu bisa terwujud dalam struktur masyarakat
(sosial) yang ada. Postmodern subjek adalah konsekuensi dari konstruksi
identitas yang melalui praktek representasi simbolik. Pengertiannya, kita
tidak memiliki identitas tunggal, melainkan kita adalah serangkaian deskripsi
dalam bahasa sehingga identitas dimengerti dalam keadaan jamak (multiple
identities). Identitas tidak terperangkap dalam tubuh seseorang, tapi terus
bergeser, terpecah dan berubah. Simaklah pernyataan berikut :

Setiap subjek selalu memiliki identitas yang berbeda dalam


waktu yang berbeda. Sehingga identitas dalam subjek
menjadi selalu bertentangan, yang membuat proses-proses
meng-identitas selalu mengalami pergeseran. Jika dianggap
bahwa identitas adalah bawaan diri sejak lahir sampai mati,
maka itu tidak lebih konstruksi yang terus menerus
dinarasikan dalam diri tentang diri kita.

Tidaklah mengherankan jika seorang pemain bulutangkis wanita


muda berkewarganegaraan Indonesia keturunan Cina bisa diidentifikasi
melalui berbagai cara : sebagai pemain dari Indonesia - etnis Cina - anak
muda - feminisme dan sebagainya.

B. Politik Identitas
Ada sesuatu yang harus dipahami bahwa identitas bukan cuma
konstruksi diri sepihak, tapi ada perangkat narasi yang memungkinkan
identitas bisa terbaca. Karena identitas seringkali berwujud dalam tanda-
tanda, dan membacanya seringkali secara subjektif. Itulah mengapa sekali
lagi perlu ditegaskan bahwa bahwa identitas itu sesungguhnya selalu berada
dalam ke-tidakpasti-an. Dia menjadi ada ketika diterjemahkan melalui
seperangkat “alat pembaca”, yaitu bahasa. Identitas berada dalam pengaruh
permainan politik. Inilah yang dikenal sebagai politik identitas.
Makna identitas, atas peran politik identitas, mengalir dan berhenti
sebagai “sementara”, sehingga identifikasi atas identitas sebenarnya fiksi.
Tanda yang mengikat pada identitas untuk dikenali tersebut menjadi ajang
perjuangan makna, karena apa yang disebut identitas dipahami sebagai
produksi terus menerus atas tanda.
Produksi identitas dilalui dengan operasi kekuatan hegemonik. Ada
faktor kekuasaan sehingga identitas selalu terproduksi sesuai dengan
kekuataan yang menguasai. Oleh sebab itu ketika rezim Orde Barunya Pak
Harto runtuh, identitas menjadi hal yang sangat terbuka untuk ditafsirkan
ulang, dan dikembalikan pada pengertiannya dalam ruang kultural tradisi.
Mengenai Orde Baru ini, ada satu catatan yang bisa dibaca :

“Nasionalisme sering dijadikan alat oleh rezim otoriter untuk


menyatukan individu, kelompok, atau budaya yang berbeda
ke dalam satu bentuk budaya nasional. Kebangsaan versi
Orde Baru berusaha menyembunyikan identitas etnis untuk
membentuk nasionalisme. Menurut Hibber (1999) Orde Baru
menafsir Konstitusi Indonesia sebagai bagian rencana
pengembangan sebagai cara strategis baik untuk
melenyapkan budaya etnis yang “tua” dan “asli” maupun
menyerapnya ke dalam budaya nasional, yang diartikan
sebagai “sesuatu yang timbul dari usah kreatif seluruh rakyat
Indonesia”.

Mengenai ini, Stuart Hall menuliskan dengan sangat nyata


penjelasannnya melalui analisa sebuah karya iklan yang menurutnya penuh
dengan problematika ideologi dan hegemoni. Hall menulis :

analisa tekstual dan ideologi terhadap iklan menekankan


pada penjualan, yang bukan hanya sebagai komoditas, tapi
juga cara memandang dunia. Tugas iklan adalah menciptakan
‘identitas’ sebuah produk…
Dari sini dipahami bahwa identitas tercipta (diciptakan) bukan
sekedar sebagai “tanda pengenal” semata, tapi ada motif “kekuasaan”
bagaimana identitas dikehendaki tercipta dan bagaimana identitas
“seharusnya” tercipta, sehingga identitas adalah permainan politik tentang
bagaimana seharusnya kita dipandang dan diterima masyarakat (pembaca
identitas). Disinilah ada usaha untuk meyakinkan para pembaca identitas
untuk “menerima” karena mereka tengah mengalami “persetujuan sadar”.
Disinilah sedang berlangsung sebuah rezim kebenaran –yang seolah-olah
benar. Misalkan, film-film aksi Superhero Hollywood semacam Superman,
Spiderman, Batman dan sebagainya sebagai protagonis yang berjuang
seorang diri dalam kepungan dunia yang “rusak” menjadi identitas yang terus
menerus diproduksi pembuat film Hollywood sebagai personifikasi bangsa
Amerika yang “ingin dipandang” heroik. Ada motif dibalik jubah-jubah para
Superhero tersebut yang menggantikan peran Amerika “sementara”,
setidaknya dengan simbol warna merah-biru (Superman, Spiderman, Wonder
Woman, Captain America dsb) yang khas sebagai warna bendera Amerika.
Belum lagi berbicara tentang film-film yang berlatar belakang pasca perang
Vietnam, dimana lahir sosok Rambo yang “tak-terkalahkan”, juga sarat
dengan kekuatan dan kekuasaan Amerika atas manusia-manusia dan bangsa-
bangsa (yang dianggap) dibawahnya. Politik identitas, menjadi sebuah teknik
bagaimana setiap manusia bertindak demi tujuan-tujuan tertentu.

Dalam konsep anti-esensialisme, identitas dilahirkan dari wacana dan


materialitas. Dua hal ini menjadi sesuatu yang tak terpisahkan. Wacana
diselenggarakan untuk membangun, mendefinisikan dan menghasilkan objek
pengetahuan dengan cara yang dimengerti. Dari wacana inilah kemudian membawa
dan menjadikan sesuatu sebagai benda-benda material yang tampil kemuka. Dan
jadilah identitas sebagai wacana yang mewujud (berbentuk). Mengutip L. Nicholson,
penjelasan itu bisa diistilahkan sebagai coat-rack (rak jas) dimana tubuh disebut
sebagai tempat dimana makna-makna kultural digantungkan (dilekatkan).
Merangkum apa yang sudah dijelaskan diatas, bahwa identitas cakupannya
adalah identitas diri dan identitas sosial, bahwa selain bersifat personal, identitas
juga bersifat sosial dimana konsep identitas diri kita memiliki hubungan dengan
orang lain dalam wilayah sosial tertentu dengan karakteristik kultur yang tertentu
pula.

Gambar 1. Lukisan di tembok sekolah seni ISI Surakarta (gambar atas)


dan sekolah seni Institut Kesenian Jakarta (gambar bawah)
ingin menegaskan seperti apa masing-masing kampus itu “ingin” dilihat dan
dikenali

Sumber Foto : Koleksi Pribadi

SEKELUMIT TENTANG NASIONAL – NASIONALISME -


NASIONALITAS

Pengertian nasionalisme bukan cuma merujuk pada konteks sebuah Negara-


bangsa. Mengutip kata pengantar dalam buku terjemahan berjudul Komunitas-
Komunitas Terbayang, Daniel Dhakidae menulis, “nasionalisme menjadi perumus
tindak dan memiliki konsekuensi sangat serius –sepadan dengan kesungguhan
mempertahankan darah dan tanah dalam kekerabatan dan tanah air –dan
mempertahankan agama”.
Begitupula pernyataan Grosby yang menyebutkan bahwa :

Nasionalisme merujuk pada sekelompok keyakinan mengenai


bangsa. Bangsa tertentu memiliki pandangan yang berbea terhadap
karakternya; karenanya, setiap bangsa akan memiliki keyakinan
berbeda dan akan saling berkompetisi, yang termanifestasi sebagai
perbedaan politik).

Sementara sebuah buku karya Francis Gouda menuliskan, kedatangan


nasionalisme membutuhkan lompatan kepercayaan, dimana “perasaan kabur”
seseorang tentang kelompok masyarakat diubah menjadi solidaritas dengan sebuah
bangsa yang terdefinisikan dengan jelas.
Nasionalisme menjadi sikap mental atas suatu rasa kebangsaan setiap
manusia. Menjadi medan bagi perjuangan yang sama atas dasar kesamaan identitas
kebangsaannya (identitas nasional). Mengutip Anderson yang menyatakan sikap itu
sebagai “kesetiakawanan”, yang seringkali mengakibatkan sikap brutal dengan cara
melenyapkan nyawa banyak orang yang dianggapnya tidak sepaham-sebangsa.
Keadaan ini pernah direpresentasikan dalam sebuah film berjudul Romeo dan
Juliet (2009) yang disutradarai oleh Andi Bachtiar Yusuf. Sebuah film yang
memperlihatkan tentang pertarungan atas identitas “oranye” (sebuah penanda atas
klub sepakbola profesional Persija Jakarta) dan “biru” (Persib Bandung) sebagai dua
identitas warna klub sepakbola terbesar Indonesia, yang memang selalu bersaing
dalam setiap pertandingan sepakbola di Indonesia. Rangga (Edo Borne) sebagai
tokoh dalam film tersebut adalah seorang pendukung klub Persija (yang menamakan
dirinya The Jak). Ia tewas ditusuk oleh seorang bobotoh (sebutan lain bagi
pendukung klub Persib -selain Viking) karena identitas (oranye) yang melekat dan
amat tidak disukai oleh oleh para pendukung Persib Bandung. Semangat untuk
mempertahankan nasionalisme terjadi disini antara paham ke-Jakarta-an dan paham
ke-Bandung-an, yang sebenarnya representasi dari nasionalisme ke-suku-an, dan
menjadi bertentangan karena bertarung dalam ajang sepakbola. Bahkan dalam
posternya, dua warna (oranye dan biru) itu yang dipahami sebagai “kemiripan
sekaligus perbedaan” pun tidak berdaya mengatasi pertarungan identitas atas
pahamnya masing-masing. Hubungan atas nama “cinta” yang kemudian terjadi
antara Rangga dan Desi (Sissy Prescillia) sebagai representasi Persib juga harus
terkubur dibawah nama “nasionalisme suku”, dan terlihat sebagai segala-galanya.

Gambar 2. Poster film Romeo dan Juliet

Sumber : Cover (DVD) film koleksi Perpustakaan FFTV-IKJ

Nasioalisme menyerupai ideologi, dimana dalam keberadaan bangsa-bangsa


dalam perbedaannya, setiap orang (bangsa) merasa konsep diri merekalah yang
paling “ideal” sehingga akhirnya memungkinkan pertentangan kerap terjadi –bahwa
bangsa bagi seseorang merupakan “lawan” bagi bangsa lainnya. Untuk menjelaskan
secara sederhana pengertian ideologi, Chris Barker mengutip pernyataan Gramsci
bahwa ideologi merupakan gagasan, makna dan praktik yang dianggap sebagai
kebenaran universal.
Disinilah setiap orang, setiap bangsa -yang bergabung atas nama negara atau
tidak, menjadikan nasionalisme sebagai senjata yang melindungi atas pemahaman
ideal-nya. Seperti pernyataan Grosby :
Nasionalisme mengakui kesopanan dan perbedaan serta bersikap
mentolerir seraya mencoba untuk menghilangkan semua pandangan
dan kepentingan yang berbeda demi satu visi dari apa yang dituntut
dan diharuskan sebagai sebuah bangsa. Misalnya, nasionalisme
Perancis mungkin menuntut keyakinan bahwa untuk menjadi bagian
dari bangsa Perancis, salah satu yang harus dipenuhinya adalah
membenci segala yang di luar Perancis, seperti bahasa Inggris dan
Jerman. Dan siapa yang tidak menaatinya, berarti ia tidak ' benar-
benar' Perancis.

Nasionalisme tidak menoleransi perbedaan, yang sebenarnya bisa diartikan


bahwa nasionalisme melihat gagasan perbedaan atas bangsa-bangsa. Dan
nasionalisme menjadi satu upaya bagaimana setiap orang merasa telah menjadi
bagian dari keyakinan mengenai nasionalitasnya, keyakinan mengenai komunitas
maupun bangsanya, termasuk negaranya. Nasionalisme menjadi arena dimana
perbedaan keyakinan dengan keyakinan yang lainnya semakin diperlebar, melalui
berbagai praktek dan tanda-tanda lain yang bisa dikenali sebagai pembedanya.
Karena faktor “berbeda” inilah maka mengenali nasionalisme akan
melibatkan diri dalam kontestasi (perselisihan). Ada sesuatu yang mesti
diperlawankan demi membedakan dirinya sebagai komunitas, bangsa atau negara
tertentu.
Sebagai ilustrasi, pertikaian atas klaim kesenian Reog Ponorogo antara
Negara Indonesia dan Negara Malaysia menjadi satu contoh bagaimana nasionalisme
mencuat kepermukaan dalam konteks dua Negara yang berselisih atas kebenaran dan
keyakinannya masing-masing. Reog Ponorogo ini diklaim oleh Malaysia sebagai
miliknya, yang tercantum dalam akta budaya Malaysia pada November 2007
(Sumber : http:/m.tempo.co/read/news).
Sikap nasionalisme warga Negara Indonesia meningkat ketika peristiwa ini
terjadi karena keyakinannya atas kepemilikan reog merasa diusik. Apalagi ada kata
“Ponorogo” dibelakangnya yang mengidentifikasi atas suatu tempat daerah di
Indonesia (Ponorogo-Jawa Timur). Sikap yang ditunjukkan warga Negara Indonesia
ini merupakan kesadaran atas keberadaan Ponorogo yang secara legal dan
adminsitratif menjadi bagian dari “pagar” wilayah teritori Negara Indonesia,
sehingga dasar gerak nasionalismenya adalah Indonesia, bukan Ponorogo. Dan kalau
bisa ditambahkan, secara lebih spesifik-lokal orang-orang di Ponorogo atau orang
“asli” Ponorogo dimungkinkan bergerak atas rasa nasionalisme ke-Ponorogo-annya,
karena didasari keyakinannya bahwa kesenian reog itu adalah bagian dari ritus-ritus
dan identitas budaya yang terlahir secara turun temurun kepadanya. Mengenai klaim
reog antara Indonesia, bisa ditemui dua sikap nasionalisme ; nasionalisme politik
(Negara) dan nasionalisme kultural (Suku-Bangsa). Ada paradoks sebenarnya, antara
nasionalisme yang mengarah pada universalitas –yang diterima semua orang
Indonesia sebagai bagian “diri”nya, namun sebenarnya juga terjadi nasionalisme
etnis, dan ini bersifat partikular. Nasionalisme yang ke dua sebenarnya terlihat lebih
kuat karena mengakar sangat kuat dari level paling bawah masyarakat ketimbang
nasionalisme yang pertama, yang cenderung perasaan empati sesama “penghuni”
wilayah administrasi Negara Indonesia.
Maka tidak heran ketika Jepang yang datang ke Indonesia tahun 1942,
mengatasnamakan solidaritas sesama bangsa Asia –tanpa sekat formal yang terikat
secara administratif, dan kemudian membentuk “Gerakan Tiga A” ; Jepang adalah
pemimpin Asia, pelindung Asia, dan cahaya Asia. Maka orang-orang Indonesia
dengan gegap gempita menyambutnya kedatangannya atas dasar kesamaan “bangsa”
Asia, dan ingin membebaskan masyarakat Indonesia dari kolonialisasi Belanda.
Dalam film Sang Kiai (2013) yang disutradarai Rako Prijanto, kegegap-gempitaan
ini juga bisa dilihat ketika pasukan Jepang datang ke Surabaya, masyarakat
menyambutnya sambil mengibar-kibarkan bendera Jepang disepanjang jalan.
Ini seperti pendapat Anderson, bahwa nasionalisme itu bisa berupa
“nasionalisme resmi” (official nationalism) dan nasionalisme kerakyatan” (popular
nationalism). Mengenai nasionalisme resmi, Anderson menyatakan bahwa model
nasionalisme ini terjadi dalam sebuah negara, dimana (kelas) penguasa, ataupun
unsur pimpinannya merasa terancam oleh persebaran global komunitas terbayang
kebangsaan. Artinya, paham-paham kebangsaan (nasionalisme) memang diciptakan
sedemikian rupa oleh penguasa suatu negara dirasa perlu untuk mempertahankan
eksistensinya. Paham ini menjadi pemersatu atas rasa kebangsaan satu negara, yang
memang terdiri atas berbagai komunitas, bangsa dengan paham nasionalitasnya
sendiri-sendiri. Dan inilah yang dikenal sebagai nasionalisme kerakyatan –keyakinan
atas rasa nasionalitas yang memang lahir dan tumbuh dari kesadaran pada level
bawah (masyarakat) dan bersifat spontan.
Untuk kasus berdirinya Negara Indonesia, upaya itu juga direpresentasikan
melalui penggunaan suatu bahasa pemersatu bagi kesadaran nasionalitas Indonesia,
yaitu bahasa Indonesia diantara eksistensi bahasa-bahasa daerah yang tumbuh
terlebih dahulu. Lalu dicetuskan juga bendera Negara ataupun lagu Nasional
(National Anthem). Bahasa (salah satu elemen pemersatu kesadaran menjadi Negara)
berperan mengatasi keberagaman bahasa setiap daerah yang telah bernaung dalam
wilayah Negara Indonesia. Tapi hal ini sekaligus juga seperti mengambil alih peran-
peran kerakyatan yang memang sudah terlahir dengan karateristiknya identitasnya.
Namun pengelolaan seperti itu menjadi sebuah masalah baru. Mengutip yang ada
dalam kata pengantar oleh Daniel Dhakidae, apa yang disampaikannya begini :
“’Satu bahasa’ tidak lagi dengan sendirinya mengharuskan Indonesia jadi ‘satu
bangsa’”. Namun nyatanya kehadiran bahasa Indonesia seolah telah mengambil alih
peran yang ada pada tingkatan local, yaitu bahasa daerah. Dalam sudut pandang
kuasa negara, semua mesti bermuara pada kesadaran nasionalisme negara. Inilah
mengapa Jawa, Minang, Batak, Sunda dan sebagainya disebut sebagai suku bangsa,
karena ia telah menjadi bagian dari kehendak negara untuk menciptakan kehadiran
nama sebuah bangsa yang sejajar dengan Negara Indonesia, yaitu bangsa Indonesia.
Ini konsekuensinya karena ketiadaan sesuatu diatas bangsa sehingga daerah-daerah
yang ada sebagai bagian Negara Indonesia diturunkan penamaannya dengan sebutan
“suku-bangsa.” Ini juga sekaligus menjawab kata pengantar yang ada diatas, bahwa
bangsa yang dimaksud sebagai “bangsa Indonesia”, sebagai gabungan suku-suku
bangsa yang ada didalamnya.
Kisah 5
MEMBICARAKAN F I L M DARAH DAN DO’A

PERSIAPAN MENUJU LAHIRNYA FILM NASIONAL


Pada masa-masa kemerdekaan, kesadaran nasional tumbuh dikalangan orang-
orang politik Indonesia. Semua elemen yang ada di Indonesia juga turut bergerak
pada kesadaran yang sama, termasuk dalam bidang kesenian maupun kesastraan.
Dari sinilah kemudian lahir generasi sastrawan Angkatan 45, antara lain Chairil
Anwar, Pramoedya Ananta Toer maupun Mochtar Lubis. Dalam bidang kesenian,
pelukis Affandi dan Sudjojono juga ikut menuangkan semangat revolusi dalam
karya-karya lukisnya, termasuk membuat poster-poster anti-Belanda.
Tidak terkecuali pada orang-orang Indonesia yang merupakan perintis
perfilman Indonesia. Semangat nasionalisme mulai nampak pada film Darah dan
Do’a (1950) karya Usmar Ismail. Kesadaran untuk memiliki film sendiri ini sangat
berkaitan erat dengan faktor sosial politik yang terjadi terhadap rakyat Indonesia
yang berada dalam pengaruh film-film Belanda saat itu. Baik orang-orang yang
berkecimpung dalam politik maupun orang-orang film Indonesia ingin melepaskan
diri dari belenggu hegemoni Belanda, sekaligus menegaskan identitas sebagai bangsa
dalam Negara Indonesia yang merdeka.
Mungkin ini yang dinamakan semacam “euforia revolusi”, yang juga dialami
oleh hampir semua negara yang baru lepas dari koloni penjajah (disebut sebagai
Negara Dunia Ketiga). Dari sinilah kemudian muncul istilah “sinema baru” seperti
yang terjadi di Brazil dengan cinema novo-nya, Argentina dengan nueva ola-nya,
maupun di Chili dengan cinema of popular unity.
Dalam konteks pasca-revolusi, terjadiupaya-upaya untuk memantapkan
industri-industri baru yang sedang dirintis dengan berbasis pada kesadaran
nasionalitasnya. Maka tidak heran jika Soekarno pernah melarang beredarnya kaset-
kaset The Beatles dan Elvis Presley di Indonesia sebagai upaya mencegah masuknya
budaya asing yang disinyalir akan menyingkirkan budaya nasional yang baru berusia
muda perintisannya.
Dalam catatan tokoh film Indonesia Misbach Yusa Biran, masyarakat di tanah
Hindia Belanda telah diperkenalkan tontonan “gambar hidup” mulai tahun 1900.
Asumsi ini lahir seiring ditemukannya sebuah iklan dari De Nederlandsche Bioscope
Maatschappij yang tertera dalam surat kabar Bintang Betawi (4 Desember 1900)
yang tertulis, “…besok hari Rebo 5 Desember PERTOENDJOEKAN BESAR JANG
PERTAMA di dalam satoe roemah di Tanah Abang Kebondjae (MANEGE) moelain
poekoel TOEDJOE malem…”.

Gambar 3. Iklan dalam surat kabar Bintang Betawi

Sumber : Buku Film Indonesia Bagian I (1993) karya Taufik Abdullah,


H. Misbach Yusa Biran dan S.M. Ardan,

Meskipun tidak ada data lanjutan apakah memang penonton pribumi


mendatangi pertunjukan itu atau tidak (Ini menjadi salah satu pertanyaan yang telah
dipersiapkan penulis untuk dikirim ke email Bapak Misbach Yusa Biran atas
sarannya. Jawaban tidak bisa didapatkan sampai akhir hayat pak Misbach Yusa Biran
(meninggal tanggal 11 April 2012 di Tangerang, Banten). Namun dari catatan
Misbach itu bisa menunjukkan bahwa sejarah film masuk ke Hindia Belanda
(Indonesia) telah dimulai pada masa itu, berselisih 5 (lima) tahun sejak Lumiere
Bersaudara (Louis dan Auguste) memamerkan alat proyeksi film bernama
sinematografi untuk ditonton, yang diklaim sebagai cikal bakal penemuan konsep
pertunjukan film yang memiliki elemen-elemen ; penonton, materi film, ruang
proyeksi dan karcis masuk. Louis dan Auguste Lumiere melakukan pemutaran film
pertama kalinya kepada publik pada tanggal 28 Desember 1895 melalui alat bernama
sinematograf di Café de Paris.
Berangkat dari tahun 1900 itulah kemudian film mulai menjadi bagian
apresiasi penonton di Hindia Belanda. Film-film buatan Amerika juga ambil bagian
sebagai materi tontonan. Film-film Amerika ini menjadi tontonan favorit bagi
pribumi terpelajar. Termasuk juga mulai pertengahan tahun 1930-an film-film
Jerman mulai mendapatkan tempat pada penonton pribumi, khususnya kalangan
menegah atas. Hal ini dikarenakan adanya gerakan NSB (National Sosialistiche
Beweging), sebuah gerakan pro Nazi Jerman di Belanda. Sementara film Belanda
masuk ke Hindia Belanda sekitar tahun 1926 berupa film dokumenter tentang per-
kereta api-an, yang memperlihatkan tentang kerja pegawai kereta api, lokomotif
kereta serta pembangunan jalan kereta api. Kemudian ada juga film dokumenter
berjudul Lentefilm yang memperlihatkan kehidupan masyarakat Belanda pada musim
semi.
Dengan kata lain film-film awal yang masuk ini menjadi model pembentuk
apresiasi masyarakat Hindia Belanda untuk mengenal film, meskipun masih sebatas
sebagai penonton. Untuk itulah para pengusaha film memanfaatkan ini untuk
memberi sentuhan pada selera penonton. Tidak heran jika genre film menjadi
rujukannya terutama hadirnya film-fim dari Hollywood, seperti film-film aksi, film
koboi dan bandit, termasuk mengganti judul-judulnya dengan yang mudah dipahami
(menarik) penonton pribumi seperti Rasia Ampat, Oedjan Djotosan, Adoe Mobil,
Radja Pemboeian, Ditoeloeng Singa dan sebagainya.
Sementara film-film Shanghai (Cina) di Hindia Belanda juga turut mewarnai
kehidupan di Hindia Belanda. Cerita-cerita yang diangkat berkisar tentang kehidupan
modern, mungkin tepatnya konflik antara paham tradisi lama dan paham modern.
Namun seiring perkembangan kebutuhan tontonan, terutama untuk mengakomodasi
penonton Cina di Hindia Belanda maka cerita-ceritanya diganti dengan cerita klasik
Tiongkok populer.
Film-film buatan Belanda memang menjadi satu perbincangan tersendiri,
terutama ihwal mula produksi film di Hindia Belanda. Film-film yang dibuat itu
lebih sebagai dokumentasi yang dilakukan oleh orang-orang Belanda. Tujuannya
agar bisa ditonton oleh orang-orang Belanda di negerinya sendiri dalam mengenal
tanah jajahannya di belahan bumi lain bernama Hindia Belanda. Memang pada
awalnya para pembuatnya bukanlah orang-orang Belanda, tapi tenaga ahli Perancis.
Para pembuat film dari Belanda melakukan perekaman negeri jajahannya, alam
tropisnya, hewan-hewan liarnya, keadaan orang pribumi, adat istiadat dan
sebagainya. Para pembuat film ini disebut sebagai operator, karena tugasnya adalah
merekam melalui kamera.
Namun apa yang dibuat ini tidak terlalu menarik perhatian banyak orang,
terutama orang-orang di Negeri Belanda. Adalah F. Carli seorang Belanda yang
berdomisili di Hindia Belanda dan seorang indo bernama G. Krugers yang mulai
tertarik untuk membuat film di Indonesia. Film-film yang dibuatnya lebih kepada
film non-cerita, seperti rekaman film dari Carli tentang meletusnya Gunung Kelud.
Namun eksistensi keduanya tergeser karena kehadiran Willy Mullens. Hal ini
disebabkan karena Perusahaan Carli ataupun Krugers masih dianggap sebagai
perusahaan Belanda yang ideologinya terlalu memperlihatkan situasi domestik
(Hindia Belanda), sehingga identitas ke-Belanda-annya masih patut dipertanyakan.
Disini terjadi benturan legitimasi ide tentang nasionalitas Belanda sejati dan tidak-
sejati. Ini tentu berkaitan dengan kolonialisme dengan tanah jajahannya –kekuasaan.
Apalagi jika melacak akar biologis Carli yang tercatat sebagai keturuan Italia, namun
berkewarganegaraan Belanda. Sementara Kruger, dalam catatan buku Film
Indonesia Bagian I disebut merupakan peranakan Eropa dan telah menjadi penduduk
di Bandung.
Film cerita yang dibuat di Indonesia dimulai tahun 1926, begitu yang dicatat
Misbach Yusa Biran. Ini tentu berkaitan dengan prospek yang cukup besar terhadap
film. Tidak mengherankan jika sekitar delapan puluh persen pemasukan bisokop
berasal dari dari penonton pribumi. Sesuatu yang telah dirintis sejak masuknya film
ke Hindia Belanda tahun 1900 itu.
Namun jauh sebelumnya, tahun 1923, sebuah informasi akan dibuatnya film
cerita sudah beredar. Sebuah perusahaan film yang dipimpin seorang Inggris
bernama Joe Fisher bernama Middle East Film Coy (Surabaya) diberitakan akan
membuat sebuah film cerita. Cerita yang diangkat akan mengeksplorasi kehidupan
masyarakat Hindia Belanda, berupa dongeng Sunda atau Jawa. Namun pembuatan
film ini tidak pernah terealisasi. Barulah tahun 1926 N.V. Java Film Company yang
didirikan oleh L. Heuveldrop dan Krugers membuat sebuah film yang berasal dari
dongeng Sunda, Lutung Kasarung, dengan judul film yang sama, Loetoeng
Kasaroeng.
Pembuatan ini didukung sepenuhnya oleh tokoh-tokoh daerah Sunda, seperti
Raden Kartabrata, guru kepala yang bertugas memimpin pemain dari golongan
priyayi dan Bupati Bandung, Wiranatakikusumah V. Dalam sejarah pembuatan film
ini, ada satu gejala nasionalisme yang tercatat dalam buku Misbach mengenai para
pemainnya. Dengan ketiadaan modal cukup sebagai pemain, para pemain dalam
Loetoeng Kasaroeng termotivasi untuk tampil “menyerupai” kemampuan pemain-
pemain yang kerap dilihat dalam film-film asing yang telah beredar di bumi Hindia
Belanda. Motivasi ini bertujuan sebagai ajang pembuktian kepada bakal penonton,
baik penonton Eropa maupun penonton pribumi, bahwa pemain lokal juga mampu
melakukan adegan dalam film layaknya pemain dalam film-film asing. Meskipun
nasionalisme-nya masih mengatasnamakan “nasionalisme lokal”, namun setidaknya
disinilah eksistensi identitas lokal telah berusaha diperjuangkan berdiri sejajar
ditengah hegemoni film-film Eropa dan Amerika yang sedang terjadi, terutama
dalam konteks kolonialisme yang pada tahun itu juga masih berlangsung. Termasuk
dengan ekspansi yang dilakukan oleh orang-orang non-film. Wartawan, pengarang,
sastrawan, penyair serta para aktor dan aktris dari kelompok sandiwara tertarik
bekerjasama dengan industri film, yang selama ini dianggap “kerjaan” kelas bawah.
Dari sinilah lahir film-film yang berdasarkan karya sastra klasik, seperti Siti
Nurbaya (1941), yang diadaptasi dari karya Marah Roesli (1922) dengan judul yang
sama.
Semangat ingin diakui atas identitas nasional dalam film yang
mengatasnamakan “Indonesia” paling besar bisa didengar melalui film Usmar Ismail
Darah dan Do’a (1950). Selain beberapa catatan yang sudah dituliskan pada Bab I,
bisa disimak juga beberapa kutipan dibawah ini :

“Perlu diketahui pula bahwa Darah dan Do’a tak sekedar


mencuatkan karya bangsa Indonesia yang utuh, tetapi juga betul-
betul menunjukkan kesungguhan dan idealisme yang tidak terdapat
pada produksi-produksi sebelumnya. Pendek kata, Darah dan Doa
adalah film Indonesia pertama yang sarat bobot dan benar-benar
mencerminkan citra seni yang mandiri, dalam arti bukan barang
dagangan semata.
Film inilah yang secara resmi dianggap sebagai tonggak sejarah
sinema Indonesia. Pasalnya, karena film ini secara keseluruhan
betul-betul mencuatkan karya utuh bangsa kita. Mulai dari modal
produksi, penyutradaraan, sampai pada tetek bengek lainnya.
Semuanya ditangani oleh orang-orang pribumi, bukan orang asing.
Sungguh suatu peristiwa yang menarik, istimewa dan amat
membanggakan, tentu!” (Sumber : “Darah & Doa” Tonggak
Sejarah Sinema Indonesia, Pikiran Rakyat, Minggu, 3 April 1988).

“’Darah dan Doa’ sesungguhnya adalah film Indonesia yang pertama


tentang manusia Indonesia dalam revolusi” (Sumber : Pengantar
Pada Pertunjukan Film Retrospektif Usmar Ismail di FFI : DARAH
DAN DOA (LONG MARCH SILIWANGI) Oleh : H. Rosihan
Anwar, Jakarta 29 Juli 1986).

“Mengikuti perjalanan obor PON (PON X Jakarta, 19-30 September


-pen) itu termasuk film “Darah & Do’a” (1950) produksi pertama
Perfini yang disutradarai Usmar Ismail yang sesekali bermalam di
kota-kota tertentu untuk dihidangkan kepada penduduk setempat.
Pemutaran film yang dibintangi Del Yuzar, Aedy Moward,
Awalludin Djamin, kini Kapolri dan lain-lain itu dimaksud untuk
menggugah semangat patriotism/heroism, terutama kalangan muda
generasi mendatang, sesuai dengan semangat olahraga yang
dikandung PON sebagai salah satu cara membina watak.” (Sumber :
Kompas, “Darah dan doa” dan api PON, 13 September 1981).

“’Darah & Do’a’ (Long March) dimulai pembikinannya pada 30


Maret 1950. Tanggal 30 Maret itulah yang sedang diperjuangkan
oleh sebagian masyarakat film Indonesia agar dijadikan sebagai Hari
Film Nasional. Tapi kemudian “muncul” tanggal-tanggal lain
sehingga terjadi pro dan kontra yang mengakibatkan belum dapat
dipastikan tanggal manakah paling tepat sebagai Hari Film Nasional
itu.” (Sumber : Kompas, “Darah dan doa” dan api PON, 13
September 1981).

Begitupun dalam tagline iklan pemutaran filmnya Darah dan Do’a ini.
Tercantum kata-kata yang berusaha mengikat semua penonton dalam semangat
identitas kebangsaan yang sedang berusaha dibangun melalui film ini. Kata-kata itu
berbunyi : ”semua pentjinta bangsa”. Usmar seperti sedang berusaha memberikan
satu pengantar bahwa film ini ingin menunjukkan identitas bangsa Indonesia dalam
semangat nasionalisme, sebagai satu bangsa yang sedang berjuang melawan
intimidasi penjajah.
Dari sini terlihat bahwa diikrarkannya proklamasi kemerdekaan tahun 1945
memang menjadi satu stimulasi tersadarnya pribumi sebagai bangsa dan manusia
dalam sebentuk Negara Indonesia.

Gambar 4. Poster film Darah dan Doa


Sumber : Majalah aneka No.13 Th. I, 1 September 1950, H.16

Mannus Franken menulis bahwa di tahun 1950 setelah Perang Dunia II,
melonjaknya kebutuhan film-film cerita diantaranya disebabkan oleh meningkatnya
rasa nasionalisme. Termasuk kesimpulan dari Salim Said melalui analisa kritisnya
tentang film dan revolusi. Hal itu menurutnya sebagian kecilnya tertangkap dalam
film-film Indonesia. Itu sebabnya yang banyak tampil adalah adegan pertempuran,
adegan konfrontasi antar Belanda dengan pihak pejuang, Belanda digambarkan amat
“hitam”, sedang sifat yang agung menjadi monopoli para pejuang. Inilah sebentuk
nasionalisme atas identitas nasional yang ingin dibentuk dan diperjuangkan oleh
pembuat-pembuat film Indonesia.
Bahkan dibentuknya BFI (Berita Film Indonesia) yang dipimpin oleh R.M.
Soetarto dan Rd. Arifin beberapa bulan setelah proklamasi kemerdekaan, juga turut
mempertegas hasrat merancang identitas ke-indonesia-an tersebut. BFI ini bertugas
untuk membuat film cerita dan dokumenter. Film yang dibuatnya berdasarkan
rekaman peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam ranah politik perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Beberapa film yang dibuat dikumpulkan dan dinamai
sebagai Indonesia Fight for Freedom dan dikirim ke PBB serta ke berbagai negara.
Tujuannya jelas, menunjukkan Indonesia masih ada dan eksis sebagai sebuah
Negara.
Ketika Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) dibentuk, selain sebagai
perusahaan yang memroduksi Darah dan Do’a, perusahaan ini disebut sebagai
perusahaan film yang identik predikat nasional. Hal ini menurut Gayus Siagian
karena semua modalnya memakai modal nasional. Meskipun juga dalam tulisannya
selanjutnya Gayus menyebut bahwa alat-alat studio dan laboratorium juga masih
sewa. Memang tidak ada catatan lain mengapa ini disebut sebagai modal nasional,
selain didirikan oleh orang Indonesia dan nama perusahaan yang memperlihatkan
sebuah identitas nasional. Justru istilah “modal nasional” lahir kemudian, ketika
Usmar sedang belajar film di Amerika tahun 1952 (dua tahun berlalu sejak Darah
dan Do’a diproduksi) ingin membeli peralatan-peralatan untuk Perfini. Modal
pembeliannya diusahakan dengan bersumber dari pinjaman pada Bank Negara
Indonesia maupun Bank Industri Negara. Meskipun juga modal awal ini merupakan
hasil jerih payah pengumpulan dari beberapa orang hasil usaha Usmar Ismail dan
Sumanto, yang kemudian terkumpul sebanyak Rp. 30.000,-. Sementara Akte Notaris
pendiriannya pada Pasal 2 Sub a yang berbunyi : “Mendirikan dan mengusahakan
perusahaan pembikinan film dengan maksud ikut membina kebudayaan Nasional
Indonesia terutama kesenian film nasional bermutu Internasional”, lebih bisa
mempertegas posisi Perfini sebagai sebuah perusahaan yang memiliki orientasi
nasional. Yang kemudian diperkuat dengan pernyataan sang pemilik perusahaan
(Usmar Ismail sendiri) yang menyatakan :

“Keragu-raguan itu, Insja Allah tidak pernah mendjadi sebab bagi


Perfini untuk ingkar kepada tjita-tjitanja : menghasilkan film2
Indonesia jang nasional tjoraknja, tinggi mutu teknik dan nilai
artistiknja dan dapat disedjadjarkan dengan film2 dari manapun
didunia ini.”

Semangat itu diimplementasikan dengan merekrut seratus persen pekerjanya


yang merupakan orang-orang Indonesia, termasuk juga membuat simbol banteng
kekar-bertanduk dalam logo perusahaannya yang mengisyaratkan persepsi kekuatan
dan kemampuan mendobrak (atas hegemoni asing).

Meskipun dalam satu catatan dari Krishna Sen pernah tertulis bahwa Hiburan
Mataram Stichting yang didirikan di Yogyakarta pada 1948 sebagai perusahaan
nasional yang pertama dikarenakan pendanaannya juga berasal dari berasal dari
Bank Indonesia. Pimpinan organisasi perusahaan adalah Hinatsu Heitaro, seorang
mantan pejabat Jepang yang memilih kewarganegaraan Indonesia dan mengubah
namanya menjadi Dr. Huyung. Stiching Hiburan Mataram akhirnya menjadi suatu
arena tempat belajar dan tempat berpraktek seniman-seniman muda.

Dari hadirnya Perfini itu berturut-turut juga lahir beberapa perusahaan film
dengan semangat dan label nasional yang sama seperti Perfini, yaitu Persari
(Perseroan Artis Republik Indonesia) tanggal 23 April 1951 dan PFN (Perusahaan
Film Nasional) tahun 1950. Terkait yang terjadi saat itu, Krishna Sen turut mencatat
kondisi ini :
“Diranah sinema, ini tidak hanya diartikan sebagai upaya pendirian
perusahaan-perusahaan film pribumi, tetapi juga sebuah upaya untuk
menuliskan kembali sejarah bersama perusahaan-perusahaan yang
dipandang sebagai titik kelahiran sinema Indonesia yang
‘sesungguhnya’.”

Cara-cara yang dilakukan Usmar maupun pola dagang yang telah dipelopori
oleh orang Tionghoa, keduanya menjadi pola-pola awal perfilman Indonesia. Kedua
pola itu nampak saling bertolak belakang. Pengusaha film yang menganut pola
dagang ini tidak merasa “bersalah” karena yang tertanam dalam keyakinannya
adalah film sebagai barang dagangan, dan sama sekali tidak ada urusan dengan
“wajah Indonesia” yang sebenarnya. Untuk itulah kehadiran Usmar dengan semangat
idealismenya tidak mendominasi keseluruhan lahirnya film-film Indonesia kala itu.
Berbagai catatan, kutipan dan pendapat serta wacana diatas mengisyaratkan
beberapa kata kunci : konstruksi identitas nasional, nasionalisme dalam film, yang
tujuannya ingin mengesahkan kedudukan film-film (sinema) Indonesia sebagai film
yang mandiri sebagai milik bangsa Indonesia, tidak tercampur tangan pihak lain.
Sehingga wacana ini untuk menegaskan bahwa inilah film nasional Indonesia yang
digagas secara muasal.
Pada Bab sebelumnya dituliskan bahwa wacana dan bentuk tidak terpisahkan.
Sehingga wacana akhirnya membawa pada konstruksi bentuk yang nampak jelas.
Ketika masyarakat politik Indonesia (Hindia Belanda –kala jaman itu berlangsung)
telah melembagakan kesadaran (kebangkitan) atas nasionalitasnya pada bentuk yang
tercantum dalam ikrar Sumpah Pemuda, dan kemudian memerdekakan diri dalam
bentuk ikrar Proklamasi yang diikuti seperangkat simbol bendera merah putih dan
lagu kebangsaan Indonesia Raya, maka wacana atas Usmar dan filmnya tentu harus
mendapatkan wujud dalam bentuknya. Untuk itulah film Usmar sebagai
implementasi konstruksi wacana sebagai “yang nasional” harus dibicarakan dan
dimaknai elemen-elemen pembentuknya, sekaligus melihat bagaimana elemen-
elemen itu mampu mendukung wacana yang sudah menjadi ideologi film nasional
Indonesia, dan dirayakan setiap tanggal 30 Maret sebagai Hari Film Nasional.
ELEMEN-ELEMEN YANG MENGONSTRUKSI FILM DARAH
DAN DO’A
Film dilahirkan menjadi sedemikian rupa bentuknya bukan hanya didasari
sekedar usaha memasukkan dan meletakkan berbagai elemen didalamnya. Membuat
film adalah membuat organisasi antar elemen yang mendukung, sehingga setiap
elemen (parts) itu akhirnya menciptakan bentuk secara keseluruhan (whole).
Merujuk pada konsep David Bordwell seorang penulis buku-buku film ternama, cara
mengorganisasikan inilah yang dinamakan sebagai system of the total film.
Membentuk film itu melalui perpaduan antara elemen (part) yang digunakan
sebagai sebuah sistem (form as system). Sistem yang dikonstruksi didasari atas
pertimbangan “harapan penonton” atas sebuah film. Harapan yang timbul karena
adanya persepsi dari setiap penonton (manusia) yang telah mengarungi berbagai
aktifitas hidupnya dengan berbagai pengalaman. Penonton membanding-bandingkan
untuk kemudian disesuaikan dengan film yang disaksikannya. Dengan kata lain,
sistem ini berlangsung karena dipengaruhi satu persepsi adanya keterkaitan berbagai
kebiasaan cara berfikir manusia yang memiliki pengalaman memandang perjalanan
hidupnya dengan karya seni.
Sistem untuk menyatukan berbagai elemen ini –dengan mengatasnamakan
harapan penonton tadi- mengikuti hukum-hukum dan aturan-aturan yang
mengorganisasikannya. Namun perlu dipertegas bahwa perihal harapan penonton
bukan berarti harus terpenuhinya harapan itu, sehingga kenyataan yang diterima
penonton bisa berbentuk apapun, (expectations may also be cheated). Hukum dan
aturan yang berlaku adalah berdasarkan kehendak film.
Disinilah timbul pertimbangan antara konvensi atas pengalaman dan sistem
harapan dalam film. Konvensi itu berdiri dalam lingkaran normatif, sementara
bentuk-bentuk seni justru melahirkan konvensi baru (new conventions), karena
memang sistem yang dijalankannya bisa melahirkan sebuah realitas yang tidak
realis, atau bisa juga dipahami secara terbalik.
Untuk itulah dalam menjalankan sistem digunakan prinsip-prinsip yang
berfungsi menghidupkan elemen-elemen dalam film. Inilah yang dinamakan sebagai
formal system. Prinsip itu adalah : keberfungsian elemen-elemen yang ada di dalam
film untuk saling menyatu dan menjelaskan, kemiripan dan pengulangan atas satu
hal yang sesuai dengan pengalaman setiap orang sehingga kemudian menyadarkan
orang akan hal tersebut, pembedaan dan variasi atas sesuatu yang bisa
menimbulkan dampak ketertarikan penonton sebagai cara menyentuh harapan-
harapan yang akan terjadi dalam film, pengembangan dari setiap bagian segmen
film dari awal menuju akhir dan terakhir adalah penyatuan/ketidakmenyatuan atas
bagian-bagian yang tercecer (seolah-olah bukan bagian dari film) menjadi logika
film.
Prinsip-prinsip itu dijalankan melalui konstruksi atas bentuk narrative,
categorical, rhetorical, abstract dan associational.
Selain formal system, yang lainnya lagi adalah stylistic system. Ini merupakan
suatu sistem gaya yang diaplikasikan melalui berbagai teknik yang digunakan dalam
membentuk film. Sistem teknik ini digunakan untuk mengemas dan menggiring
“harapan penonton” atas sebuah film, membangun perhatian pada film, menggiring
perhatian penonton, dan juga bisa menekankan berbagai macam makna yang
dikandung film. Teknik tersebut adalah mise-en-scene, cinematography, editing dan
sound.

A. Mise-en scene
Mise-en-scene berarti menempatkan “sesuatu” ke dalam adegan (yang
terdapat dan terlihat dalam frame). Sesuatu yang ditempatkan itu meliputi aspek-
aspek film seperti : penataan dan pengaturan tempat berlangsungnya adegan,
pencahayaan, kostum dan gerak dari tokoh.
Mengelola mise-en-scene itu berdasarkan pada “standar realisme”, artinya
segala sesuatu yang mesti ditampilkan (ditempatkan) dalam frame tadi merujuk pada
hal-hal yang terdapat dalam kenyataan umum dan kehidupan sehari-hari. Namun
bisa juga hal yang bersifat realita itu dibuat menyerupai dan meniru keadaan yang
sebenarnya. Pengaturan itu bisa disiasati dengan sejumlah pembuatan miniatur.
Pengaturan terang-gelap cahaya juga dapat mendekatkan pada standar realita
sebenarnya. Untuk sumber pencahayaan dalam film, dikenal konsep available light-
cahaya yang tersedia (biasanya untuk film dokumenter) dan artificial light-cahaya
yang dikonstruksi atau buatan (biasanya untuk film fiksi). Pencahayaan juga dapat
mengartikulasikan tekstur karena bentuk pencahayaan terhadap objek dapat
menciptakan highlight dan bayangan. Highlights akan memberikan isyarat penting
untuk tekstur permukaan. Jika permukaan halus, seperti kaca atau krom, highlights
cenderung mengkilat atau sparkle, permukaan kasar.
Untuk fitur pencahayaan film didasari pada kualitas cahaya ; keras atau
lembut, dengan arah datangnya secara frontal, back, under, top (dari depan,
belakang, bawah atau atas subjek/objek). Termasuk pengaturan sejumlah warna –
yang semua ini akan berkaitan dengan ruang dan waktu peristiwa (pagi, siang, sore,
malam). Konsep pencahayaan dikenal dengan three point lighting (key light, fill
light, back light) dan underlighting (biasanya menyerupai cahaya yang bersumber
dari sebuah senter tangan). Filosofis menata cahaya adalah menjatuhkan cahaya dari
atas (toplighting) yang merupakan duplikasi cahaya menyerupai realita cahaya
matahari atau lampu penerangan ruangan.
Pengaturan gaun dan kostum akan menciptakan pakaian yang bisa
menanamkan suasana dan penguatan karakter yang tepat bagi aktor (Misalkan dalam
film Oliver Twist [Sutadara : Roman Polanski-2005], baju penuh tambalan menjadi
simbol kemiskinan yang dikenakan para karakter gelandangan).
Untuk itulah kostum juga harus diatur satu sama lain dalam pemahaman
warna, tekstur dan bahkan gerakan mereka (aktor), karena kostum dapat memainkan
peran motivasi dan kausal penting dalam naratif.
Pengaturan make-up digunakan untuk meningkatkan peran ekspresi karakter
(tua, muda, seram, jahat, baik, lucu). Untuk film tertentu, ini bisa menciptakan
peniruan atas tokoh tertentu yang biasanya terbuat dari karet dan plastik senyawa
untuk menciptakan benjolan, tonjolan, organ ekstra, dan lapisan kulit buatan.
Untuk itulah, mise-en-scene memungkinkan tokoh tersebut untuk
mengungkapkan perasaan dan pikiran, juga secara dinamis dapat menciptakan
berbagai pola kinetik (pemanfaatan ruang) berdasarkan ruang dalam frame yang
telah ditata oleh seperangkat properti, penataan cahaya dan didukung oleh kostum
atau make up yang digunakan.

B. Cinematography (Sinematografi)
Istilah ini dikenal sebagai penataan perekaman dengan kamera. Dalam
pengelolaan sinematografi ada dua elemen penting ; pencahayaan dan pewarnaan.
Sinematografi berkaitan erat dengan tata cahaya. Dalam penataan cahaya itu
dikenal dengan available lighting dan artificial lighting. Kedua teknik itu berkaitan
dengan prinsip adanya kedekatan/kemiripan atas realita dan ekspresi film. Namun
keduanya juga bisa dipertukarkan dimana cahaya buatan pun bisa dikondisikan
menyerupai cahaya alami.
Ada konsep tata cahaya yang dikenal dengan tata cahaya Rembrandt dan
Caravaggio. Tata cahaya ini digunakan untuk menciptakan terang-gelap secara
kontras yang tujuan bersifat psikologis, (high key – low key) dimana kontras terang-
gelap bisa dibuat sangat melebar atau dengan kata lain daerah hitam dan putih jelas,
wilayah abu-abu kecil. Kontras juga bisa dibuat sangat sempit, dimana daerah hitam
dan putih samar, wilayah abu-abu luas. Permainan cahaya melalui range of colors ini
bertujuan untuk menciptakan look (apa yang nantinya akan terlihat dalam frame) dan
mood (berkaitan dengan perasaan penonton ketika melihat gambar yang dihasilkan).
Film-film awal masih memiliki warna hitam-putih (BW-Black White), dan
itu tidak lebih disebabkan teknologi yang belum memungkinkan menghadirkan
warna dalam film. Ditemukannya pewarnaan atas film akhirnya dianggap untuk
menciptakan konsep realis (dekat dengan kenyataan sebenarnya). Dalam era film
bisu dulu, sinematografi juga banyak dimanfaatkan oleh pembuat film dengan
menggunakan teknik pewarnaan pada semua frame untuk menunjukkan suasana hati
yang berbeda ketika adegan berlangsung (Misalnya film The Birth of a Nation yang
disutradarai oleh D.W. Griffith tahun 1915, yang menggambarkan pembakaran kota
Atlanta dengan menggunakan warna merah, biru untuk adegan malam dan adegan
cinta dengan warna kuning pucat).
Ini menandakan bahwa menggunakan warna bisa untuk tujuan simbolis.
Termasuk digunakannya lagi pewarnaan hitam-putih dalam era film berwarna yang
lebih bersifat kebutuhan ekspresif, seperti yang pernah dilakukan terhadap film
berjudul The Artist, sebuah film yang sering mendapat penghargaan di berbagai
festival film.
Namun secara umum, warna-warna dingin (biru, hijau, ungu) cenderung
menunjukkan ketenangan, sikap acuh tak acuh, dan ketenangan. Warna-warna hangat
(merah, kuning, oranye) menunjukkan agresivitas, kekerasan.
Untuk perekaman gambar dikenal juga komposisi dan sudut pandang (angle).
Ada jenis-jenis komposisi dalam menciptakan ruang layar (dikenal dengan types of
shot) yaitu (1) the extreme long shot, (2) the long shot, (3) the full shot, (4) the
medium shot, (5) the close-up, dan (6) the extreme close-up. Untuk itulah komposisi
sangat memperhitungkan ukuran dan bentuk frame karena inilah yang akan
termaknai oleh penonton.
Sementara dalam penataan perekaman kamera juga mempertimbangkan
angle (sudut pengambilan gambar). Sudut itu ditentukan oleh faktor dimana kamera
ditempatkan, bukan berdasarkan subjek yang akan direkam, sehingga subjek
mengikuti penempatan kamera dan bukan sebaliknya (ini berlaku untuk film-film
fiksi).
Lima sudut pandang yang umum dikenal: (1) the bird's-eye view, (2) the high
angle, (3) the eye-level shot, (4) the low angle, dan (5) the oblique angle (miring –
garis horizontal dan vertikal dirubah menjadi garis diagonal)

C. Editing
Editing sebenarnya bukan sekedar menggabungkan shot dengan shot saja.
Tapi sesungguhnya mengkonstruksi shot-shot menjadi sebuah makna. Dengan
editing akan memastikan kontinuitas naratif secara utuh, tanpa harus menyertakan
semua peristiwa dalam adegan. Hal inilah kemudian yang akan menciptakan
konversi real time (waktu sebenarnya) kedalam film time (waktu film). Sehingga
dalam1 (satu) jam waktu sebenarnya bisa digambarkan menjadi 1 (satu) menit dalam
waktu film.
Dalam pemahaman naratif sebuah film, setiap shot dilahirkan dari shot
sebelumnya, setiap scene lahir dari scene sebelumnya, setiap sequence lahir dari
sequence sebelumnya. Dari sinilah maka hukum kausalitas dalam naratif bisa
diberlakukan. Dan editing yang memungkinkan ini bisa dipadu-padankan.
Editing memainkan peran secara lebih sentral yaitu menciptakan keterpaduan
(coherence) dan menjaga kesinambungan (continuity). Tujuannya agar mampu
membimbing pikiran, emosi dan menghadirkan sejumlah asosiasi berdasarkan
pertimbangan psikologis penonton. Peran itu juga bisa dihasilkan melalui sejumlah
teknik-teknik wipe, dissolve, fade in-out dan sebagainya.
Dalam tipe editing, DW Griffith memperkenalkan sebuah konsep M-C-C
(Master-Cover-Cover) tahun 1915 melalui film The Birth of a Nation. Hal ini untuk
meningkatkan dramatisasi sebuah adegan (dinamakan classical cutting). Tipe editing
ini yang paling umum dilakukan oleh para pembuat film, dimana mula-mula
diperlihatkan suasana sebuah tempat yang berisi satu atau beberapa orang. Lambat
laun gambar semakin diarahkan untuk memperlihatkan sosok-sosok tokoh dalam
film dengan jelas. Bahkan gambar bisa semakin detil lagi memperlihatkan setiap
gerakan terkecil sekalipun dari tokoh. Hal ini bertujuan untuk menggeser dan
membawa perhatian penonton pada hal-hal yang dikehendaki oleh (pembuat) film
karena diasumsikan bahwa penonton butuh waktu untuk memahami apa yang sedang
dilihatnya sehingga untuk membawanya pada hal-hal yang lebih spesifik (close up).
Mereka (penonton) harus diberikan penjelasan yang lebih umum terlebih dahulu
(long shot).
Tipe editing lainnya adalah thematic montage dimana ide dan tema
memegang peran penting sehingga penggabungan setiap shot kadangkala
menghilangkan keberadaan ruang dan waktu. Yang terjadi adalah memberikan
kebebasan pada penonton untuk “membaca” apa yang diterimanya dari gabungan
dua imaji yang disandingkan (juxtaposition). Dan ini berkaitan dengan teknik-teknik
dalam teori ilmu semiotika dimana makna lahir dari pembacaan atas teks-teks yang
dipadukan.
Ada juga cutting to continuity dimana teknik ini meringkas ruang dan waktu,
seraya membiarkan film berjalan terus kedepan.
Dalam filosofi editing, ada sebuah cara mengkombinasikan shot melalui
teknik kontras dan paralel. Teknik kontras ini akan menempatkan dua hal (shot) yang
berbeda –bahkan tidak berkaitan sama sekali, yang kemudian menjadi satu
pemahaman atas makna baru. Sementara paralel adalah teknik yang digunakan untuk
menghadirkan dua adegan dalam ruang yang berbeda dalam satu jalan untuk
menciptakan makna kesepahaman yang saling menguatkan dari masing-masing
adegan itu.
Merangkai antar shot juga bisa dilandasi pada aturan logika matching action
-180 derajat rule. Dalam penyutradaran diterjemahkan dengan teknik screen
direction. Ini akan menciptakan logika atas ruang dimana setiap karakter menempati
tempat yang “sebenarnya” sehingga pemahaman penonton atas ruang yang sedang
berlangsung bisa diperkirakan secara tepat (yang paling mudah dikenali adalah : jika
subjek bergerak dari kiri ke kanan frame –dan kemudian diasumsikan bahwa subjek
itu sedang pergi dari rumahnya, maka ketika subjek itu diasumsikan pulang, maka
subjek itu harus bergerak dari kanan ke kiri frame).
Dalam editing, seringkali juga dilakukan pemotongan adegan (content curve),
karena diasumsikan bahwa penonton telah menyerap informasi. Untuk itulah tidak
semua adegan harus ditampilkan dalam film karena film itu sesungguhnya dalam
naratif film ada “hukum-hukum cerita” yang bisa berlangsung di kepala penonton
ketika melihat adegan dan dimungkinkan merangkainya ke dalam asumsinya
masing-masing menjadi “adegan lain” di kepala –di ingatan.
Flash-back, flash-forward, dan cutaways juga bisa berlaku dalam editing. Hal
ini memungkinkan pembuat film untuk mengembangkan ide-ide secara tematis,
karena film tidak selamanya harus bersifat kronologis untuk dipahami dan
dimengerti, tapi pemahaman secara menyeluruh dari film yang telah dibentuk dan
dikonstruksi oleh berbagai elemen pembentuknya.
Dalam editing, ada 4 (empat) dimensi yang harus dipahami. Yang pertama
graphic, bahwa dalam proses merangkai dan menjalin gambar harus berdasarkan
pada kesepadanan terang-gelap gambar, garis-bentuk yang terdapat dalam gambar,
serta pergerakan-statisnya sebuah objek/subjek dalam gambar. Yang kedua rhythmic,
bahwa melakukan proses editing berkaitan dengan penciptaan tempo/irama melalui
penyesuaian panjang shot dengan shot berikutnya yang akan disandingkan, termasuk
juga menyesuaikan pergerakan gambar yang dihasilkan atas camera position dan
movement. Yang ketiga adalah spatial, yang bertujuan untuk menghadirkan orientasi
ruang di kepala penonton. Oleh sebab itu seringkali film diawali dengan konsep
spatial whole yang diimplementasikan dengan adanya establishment shot sebelum
masuk pada shot-shot yang lebih padat (seperti konsep Griffith). Yang terakhir
adalah temporal, berkaitan dengan pengelolaan waktu dalam film. Disini bisa
digunakan flashback, flashforward, elliptical editing –dimana terjadi pengurangan
waktu yang dikonsumsi penonton (misalnya adegan 1 diselingi dengan adegan 2,
dengan asumsi bahwa adegan 1 tetap berjalan dan kemudian selesai tanpa harus
diperlihatkan), overlapping editing –yang bertujuan untuk memanjangkan cerita dari
dugaan semula (adegan 1 diselingi adegan 2, dan kembali pada adegan 1 dengan
kelanjutannya).
Untuk itulah, teknik editing sebenarnya menghadirkan makna yang bersifat
asosiasional –makna yang pemahaman maknanya diserahkan kepada penonton
melalui berbagai macam konstruksi yang telah dilakukan editing.

D. Sound (Suara)
Dalam era film bisu, suara berfungsi sebagai pengiring (biasanya dlm bentuk
narasi, musik orkestra, efek suara) yang diperdengarkan ketika film sedang diputar
(mengiringi pemutaran film). Untuk dialog yang memang harus disampaikan,
biasanya dalam bentuk teks dalam frame yang berlaku sebagai komunikasi antara
film dengan penonton.
Ketika film sudah mampu mengakomodasi faktor suara, dialog maupun
musik digunakan sebagai penghubung kontinuitas secara naratif, bahkan bisa juga
untuk mempersiapkan adegan berikutnya.
Namun elemen-elemen suara (musik misalnya) terkadang bisa menjadi
“alarm palsu” ketika nada berubah seketika. Inilah yang dinamakan “harapan yang
tertunda” dari film, bisa dikatakan mengecoh, atau mengejutkan (surprise) – ini
sebagai ironi adegan. Yang paling dipahami secara umum bahwa suara, baik berupa
musik ataupun lagu bisa memperkuat maupun mengiringi suasana.
Kelebihan suara (musik) yang memiliki intonasi nada tinggi-rendah, tempo
cepat-lambat bisa menciptakan intensitas psikologi penonton, yang tentunya sebagai
kekuatan lain selain intensitas yang dihadirkan melalui berbgai elemen visual yang
terlihat. Untuk itulah suara (musik) bukan cuma mengiringi, tapi memiliki integritas
sendiri, dimana suara bisa sangat menentukan persepsi dan asumsi gambar-gambar
yang tampil dalam film.
Berdasarkan prinsip-prinsip form and style yang dijabarkan diatas, film
Usmar Ismail coba untuk “dibedah” berdasarkan elemen-elemen pembentuknya.
Kisah 6
MENGURAI ELEMEN-ELEMEN DALAM FILM DARAH DAN DO’A

Elemen-elemen yang berfungsi untuk menciptakan film ini perlu untuk disajikan dan dibuatkan deskripsi analisanya. Hal ini
selain berfungsi untuk mendefinisikan film secara tekstual, juga berfungsi untuk melacak lebih dalam dan mendetil bagaimana unsur-
unsur nasionalitas dalam film. Pelacakan ini dimaksudkan untuk melihat sejauh mana identitas-identitas nasional yang dikandungnya.
Karena wacana film nasional atas film ini sudah terlampau mendapatkan pengesahannya, maka yang diperlukan adalah mengetahui
seperti apa nasionalitas mewujud dalam bentuknya. Disinilah wacana akan berupaya mendapatkan bentuknya.

Slide Visual Audio Deskripsi


1 Logo Banteng dalam opening

2 Cerita, nama-nama serta


pelaku-pelaku dalam film ini
tidak ada hubungannya dengan
yang ada atau yang pernah
ada – konsep film fiksi
3 Dibantu oleh ribuan tentara
dan rakyat yang berjuang –
relasi periode waktu revolusi
dengan karakter dalam film
(film dibuat) yang relatif
berdekatan

4 Penasehat teknis (film) adalah


seorang Kapten-tentara
5
6 (Berada dalam satu frame –roll
up text)
Dipersembakan pada para
patriot Indonesia yang dengan
segala kejujuran telah
mengorbankan jiwa dan raga
memperjuangkan cita-cita
kemerdekaan. Persatuan dan
kebahagiaan Nusa dan Bangsa.
Serta Satuan Batalyon 23 & 37
Divisi . Batalyon 3 BeX Divisi III
Tentara Nasional Indonesia
dengan tiada bantuan siapa
film ini tak dapat
terselenggarakan –ucapan
terima kasih pembuat film
7 N : Ini adalah kisah perjalanan Pembukaan film (establishment
sepasukan Tentara Nasional shot)
Indonesia. Juga kisah perjalanan
kisah hidup manusia dalam
revolusi

8 Slide 8 dan 9 adalah shot yang


didudukkan secara paralel
9

10 Seorang Tentara Republik


dengan ikat kepala putih
menyerukan agar pihak PKI
menyerah
10 PKI 1 : Barangkali dia sudah Suasana pengepungan Tentara
berubah pak… PKI oleh Tentara Republik

PKI 2 : Sudarto tidak pernah dan


tidak akan berubah. Dia seorang
yang baik

11 Sepatu Tentara Republik


menginjak dada seorang
tentara PKI yang ditembak oleh
Tentara Republik karena ia
mengkhianati pengibaran
bendera putih (petanda :
menyerah) yang dilakukannya
sendiri.
12 Kapt. Sudarto : Saya tidak mau
tentara dipakai sebagai alat
untuk membalas dendam

Anak buah : Tapi kan itu…

Kapt. Sudarto : Tidak ada tapinya

13 Kapt Adam : Aku kira kau Diskusi yang terjadi karena


berlebih-lebihan bung Darto. Ini Kapten Sudarto merasa
revolusi, teman bunuh teman, keberatan dengan apa yang
saudara bunuh saudara dilakukan oleh anak buahnya
dengan membunuh seorang
Kapt. Sudarto : Kalau itu yang Tentara PKI
kau namakan revolusi, kirim saja
saya ke Jawa Barat, tau siapa
yang dihadapi

Kapt Adam : Kalau begitu, aku


akur seratus persen bung Darto
14 Kapt Sudarto : Anda fasih bahasa Konsep identitas kulit putih atas
Indonesia? identifikasi yang mengikutinya
tidak berlaku dalam hal ini,
Noni Jerman : Ibu saya orang karena konsep kebangsaan
Bandung secara biologis telah terkonversi

15 Tentara : Kalau aku hidup lagi, Kritik sosial atas kekuasaan


aku lebih baik jadi komandan
saja, naik mobil kesana kemari,
dapat rumah bagus, bisa
gandeng-gandeng noni lagi!
16 N : Berkilometer panjangnya Slide 16 – 20 menjadi gambaran
barisan yang tak bernama ini yang memperlihatkan tentara
berangkat hanya dengan satu berjuang dalam posisi ambigu
keyakinan, memenuhi tugas, terhadap kehadiran masyarakat
menjadikan tanah yang suci ini di sekitarnya –sebagai
neraka bagi segala penjajah dan pendukung sekaligus sebagai
penindas penghambat

17 N : Tidak selalu para keluarga ini Dalam shot ini dilanjutkan


membantu gerakan-gerakan dengan kejadian jatuhnya
ketentaraan. Malahan dalam seorang ibu dalam rombongan
banyak hal mereka menjadi dari sebuah tebing yang tinggi
beban yang berat karena sukar
mengaturnya. Mereka lekas Slide 17 dan 18 diperlihatkan
terpengaruh oleh kabar-kabar dalam adegan yang kontras
angin, lekas kaget dan lekas produktif
jatuh panik.
18 Tentara Republik nampak
sukacita disambut oleh
masyarakat dalam suatu daerah
yang dilewatinya dengan
memberi makanan dan
minuman pada tentara

19 N : Tiap kali mereka melewati


desa, tiap kali pula timbul pada
Sudarto perasaan bahwa dengan
tiada bantuan orang-orang desa
ini, perjuangan takkan pernah
bisa terpikul sendirian…
20 Kapt Adam : Jaga saya sudah
lipatgandakan…

Kapt. Sudarto : Kenapa?


Lurah bilang bahwa kita tidak
usah kuatir bukan…?!

Kapt Adam : Karena itu saya


tidak mau ambil resiko…

Kapt Sudarto : Asal saja mereka


karena itu tidak merasa dihina…
Rakyat kita terhadap soal yang
kayak gitu sangat halus
perasaannya…
21 N : Apa yang dapat dikatanya Cinta (pilihan pribadi) dalam
selain menerima waktu dan aktifitas revolusi (kewajiban
ruang hanya diisi perjuangan.. kolektif)
Sekali lagi perjuangan..
Tak ada tepat bagi yang lain…
Itu undang-undang revolusi…
22 Kapt. Sudarto : Aku prajurit,
sekarang jamannya perjuangan…

Jerman : Aku bosan mendengar


alasan-alasan itu, perjuangan,
revolusi…
Tak ada alasan lebih baik untuk
mengusir aku dari sini…

23 Kapt. Sudarto : Saya merasa Karakter pejuang, karakter


gembira anak-anak dapat suasana revolusi
bernafas lagi…
Mula-mulanya saya sudah takut
akan terjadi apa-apa…
Mereka tidak banyak minta…

Suster : Mereka prajurit…


Prajurit tak minta bayaran untuk
kesejahteraannya

Kapt. Sudarto : Karena itu saya


merasa malu tak dapat
memberikan apa-apa…

Suster : Pak Darto orang baik…


Kapt Sudarto : Adam juga
mengatakan demikian, saya
orang baik. Maksudnya, tidak
pantas saya jadi prajurit, apalagi
opsir, banyak pantangan, banyak
mestinya
24 Kapt. Sudarto : Sekarang, baik,
kita nyanyikan lagu perjuangan.
Tapi yang mana yang baik ya?

Anak buah : Rebut Bandung


Kembali, pak!

Kapt. Sudarto : Oh iya

25 N : Dan perjalanan pun semakin Kata “musuh” menyatakan


lama semakin sulit juga. Dan posisi film (Usmar)
semakin dalam masuk ke daerah
yang dikuasai penuh oleh
MUSUH. Semakin berbahaya
26 N : Perasaan Sudarto terhadap
Widia tumbuh sunyi sepi
perlahan-lahan. Bukan cinta,
bukan kasih mesra. Hanya jauh
didalam, Sudarto merasakan
nyala api kecil memanas didalam
dada.

27 Tentara 1 : Desa itu masuk Kisah-kisah yang terjadi dalam


bagian kita. Jadi boleh kita lalui revolusi fisik (slide 27 – 32)

Tentara 2 : Makanan sudah habis

Kapt Sudarto : Gak ada yang


tahu?

Tentara 1 : Beberapa orang

Tentara 2 : Tapi disini kita pasti


dapat makanan
28 Tulisan : Lapar…

29 Beberapa tentara sedang


memperebutkan rokok
30 Para tentara sedang berbagi
singkong untuk mengisi
perutnya sementara

31 Tentara (Suami) : Aku disuruh Kisah keluarga yang terlibat


patroli oleh Pak Kapten. dalam perjalanan perang
Mengapa? Sakit?

Istri : Tidak

Suami : Sudah makan?

Istri : Sudah

Suami : Betul?

Istri : Pergilah kamu. Tidak apa-


apa
32 Tentara : (bernyanyi) Kulihat Dilema : berperang
prajurit TNI sedang bersusah (nasionalisme) dan hasrat diri
hati…

Tentara 1 : Apa prajurit TNI


sehati?

Tentara : (bernyanyi) Air


matanya berlinang karna tak ada
nasi
33 Kisah yang terjadi dalam
revolusi, sosok pengkhianat
yang membawa pasukan TNI
pada perangkap Belanda
(penanda : tank –sebagai
kendaraan modern,
berkebalikan dengan pola jalan
kaki (long march) yang diakukan
pasukan Kapten Sudarto)
34 Taktik perang, menyusup dari
belakang pasukan Belanda,
bukan cuma dengan cara
berhadap-hadapan (konfrontasi
fisik secara langsung)

35 Perkelahian yang tidak


“meyakinkan”. Menunjukkan
permainan aktor yang tidak
terlatih untuk beradegan
(neorealisme?)
36 Tentara : Dimana kaki saya? Kaki Senjata merupakan solusi bagi
saya dipotong tentara

Suster : Bung Nurdin tidak boleh


terlalu bergerak banyak-banyak

Tentara : Siapa yang berani


potong kaki saya? Mana senjata
saya? Saya tembak

Suster : Aku yang potong kakimu


bung Nurdin
37 Tentara : Pak Darto, tembak aku, Tidak menerima kenyataan
tembak aku, tolong aku pak karena tidak memiliki kaki lagi
atau siap berani mati atas
ketidakmampuannya untuk
terus turut berperang
38 Tentara 1 : Aku sudah bosan, Sikap pesimis tentara dalam
sudah capek. Aku tak sanggup medan pertempuran karena
lagi selalu berhadapan dengan
keadaan ; kelaparan, kematian,
Tentara 2 : Jangan berkata guncangan mental
begitu ‘min

Tentara 1 : Ya. Sersan selalu enak


bicara, tetapi aku bagaimana.
Siapa yang perhatikan aku. Lebih
baik aku pergi saja

Tentara 2 : Tutup mulut


39 Lurah : Disinilah desa kami pak.
Bapak-bapak gak usah khawatir.
Semuanya aman
40 Para tentara dijamu makan
malam oleh warga dengan
diawali bait-bait do’a yang
dipimpin oleh lurah

Disinilah ditemukan secara awal


letak tema cerita “Darah” dan
“Doa”

41 Tentara : Ada apa pak dam? Sikap pesimis tentara Indonesia


atas peran PBB mengatasi
Kapt Adam : Tidak ada yang masalah Indonesia
penting bagi kita. Dewan
Keamanan katanya mulai
omong-omong lagi. Kalo bagi
saya berikan saja kapal terbang
dan meriam. Itu kan lebih baik
bukan?

Tentara : Dari dulu bicara saja


42 Kapt Sudarto : Apapun yang akan Dialog yang terjadi bisa
terjadi bila perjuangan kelak ditempatkan dalam dua konteks
sudah selesai, maukah saudara yang berbeda ; tentang masa
tetap bersahabat dengan saya? depan revolusi atau tentang
masa depan kisah cinta pria dan
Suster : Tentu. Tapi mengapa pak wanita
Darto berkata begitu?

Kapt Sudarto : Barangkali karena


membicarakan masa depan.
Kadang-kadang menimbulkan
harapan baru

Suster : Kelak itu masih lama


pak. Siapa tahu apa yang dapat
menimpa diri kita, besok atau
lusa

Kapt Sudarto : Saya ngawur lagi.


Selamat tidur dek Widia.
Bolehkah saya katakan dek?

Suster : Tentu. Selamat malam


mas Darto

Kapt Sudarto :: Selamat malam


43 Suster : Merdeka Shot lanjutan dari shot
sebelumnya (slide 42)

44 Tentara 1 : Sekarang ni molek Peran tentara seperti


saja termarjinalkan, bahkan bagi
masyarakatnya sendiri. Tentara
Tentara 2 : Molek lagi seperti tidak tahu berjuang
untuk siapa –untuk bangsa
Tentara 1 : Kalo aku ni lebih baik mana, karena ada kekhawatiran
malam ini dirumah saja. bahwa perang yang dilakuannya
Mungkin orang disini gak suka tidak mudah diterima oleh
main ekspedisi-ekspedisian itu setiap orang

Tentara 2 : Ah kau, kau tahu apa


kau
45 Tentara : Tobat, tobat,tobat jadi Nasionalisme dipertanyakan
serdadu republik. Lama-lama oleh sosok tentara yang tampil
kutingalkan juga tentara ini dalam film

46 Kapt Adam : Bung Darto, boleh Keberatan atas sikap-sikap


aku bicara sedikit? individu dalam kolektif
komunitas tentara –antara hak
Kapt Sudarto : Tentu saja. dan kewajiban
Silahkan, ada apa?

Kapt Adam : Barangkali tidak


baik kalo bung sebagai
komandan disini terlalu sering
kelihatan berdekatan dengan…
dengan gadis itu. Orang nanti
bisa salah sangka
47 Ada alasan dibalik senyum
diwajah suster widia.

Merupakan lanjutan dari shot


sebelumnya (slide 46) yang
dirangkai melalui teknik
dissolve

48 Tentara : Apa itu? DI? Terdengar latar suara Laa ilaha


illallah –berulang-ulang
Tentara DI : Angkat tangan.
Serahkan semua senjata. Kami Konflik sesama bangsa
yang berhak memegang senjata. Indonesia. Ada klaim sebagai
Kami yang berjuang, kami yang pihak yang juga turut berjasa
mempertahankan. Memangnya berjuang
kita dianggap macam kambing,
baru aja dikasih makan suruh
gemuk, lalu mau disembelih
49 N : Serbuan rakyat desa yang Revolusi menciptakan
tiba-tiba itu bagi kebanyakan pahlawan-pahlawan dalam
dari mereka datang sangat berbagai versi dan sudut
mendadak, terutama bagi pandang
Sudarto. Waktu masih di Jawa
Tengah ada mereka mendengar
satu dan lain hal tentang gerkan-
gerakan DI. Tetapi apa DI itu
sebenarnya bagi mereka tak
pernah jelas betul. Dimanakah
letak salahnya. Bapak-bapak di
Jogja-kah yang kurang bijaksana,
ataukah mereka sendiri karena
kelakuan dan tindakan-tindakan
selama ini yang tidak selalu
diawasi ataukah memang ini
sudah sewajarnya sebagai ekor
revolusi yang tidak dapat
dielakkan lagi
50 Kapt Adam : Itu salahnya sendiri. Ekses negatif wanita -cinta-
Seorang komandan kalau sudah dalam revolusi perjuangan.
campur-campur dengan Komandan menjadi kehilangan
perempuan begitu akibatnya orientasi

51 Tentara : Ini pakaian siapa ini? Identitas pakaian tentara yang


tergantung dijemuran sebagai
Tentara 1 : Punya saya pak elemen akan mengidentifikasi
keberadaan tentara pada suatu
Tentara : Sudah berapa kali saya tempat
bilang, semua gantung pakaian
didalam. Apa semuanya mau
mati?
52 Kapt Sudarto : Mula-mula aku Dilema perang bagi seorang
tak percaya mereka akan tentara yang tidak pernah
menyerang kita. Madiun belum menyetujui pertumpahan darah
terlupakan, sekarang ini pula lagi dalam perang –terutama
(DI –penulis) perang dalam tajuk “saudara”

Suster : Bukankah mereka TNI


juga pak? Mengapa mereka
menyerang kita?

Kapt Sudarto : Tak tahu aku. Saya


lebih ingin mati daripada
mengalami perang saudara
sekali lagi
53 Tentara : Pesakitan ini Berada dalam dua konteks ;
mengatakan, dia ikut dengan pengkhianatan atau kebutuhan
Belanda semata-mata oleh hidup layak
karena dorongan hidup belaka
54 Tentara : Kau prajurit, Karta. Dilema seorang tentara yang
Disiplin diatas segala-galanya. harus melakukan tugasnya
Kerjakanlah perintah itu. Tuhan sebagai “manusia” dalam peran
selalu melindungi kebenaran tentara atau sebagai “manusia”
dalam peran sebenarnya.
Berlaku sebagai eksekutor
penembak mati, sekalipun yang
harus dihadapi adalah ayahnya
yang disebut pengkhianat bagi
perjuangan tentara
55 Kapt Sudarto : Jangan kau Menjadi “tentara” dan menjadi
campuri urusanku “manusia”

Kapt Adam : Aku tidak ambil


pusing apa yang akan kau
kerjakan sebagai Sudarto. Tetapi
sebagai teman sejawatmu, aku
wajib turut campur
56 Kapt Sudarto : Tapi jangan kau Tentara bertindak atas prinsip
coba mempersempit ruanganku naluri manusia, meniadakan
bernafas. Aku berjuang untuk prinsip aturan militer – tentara
kebebasan. Bergerak dan berfikir
dengan cara yang kusuka

Kapt Adam : Kau bukan prajurit.


Kau adalah…

Kapt Sudarto : Baik, aku bukan


prajurit
57 N : Itulah yang dinamakan Adam Proses penembakan yang
revolusi. Revolusi yang dilakukan seorang tentara
mempersatukan mahluk manusia terhadap pengkhianat yang
yang tadinya bermusuhan, juga ayahnya sendiri
revolusi yang menceraikan
mereka yang tadinya berkasih- Revolusi ala “adam” yang
kasihan. Anak bunuh bapak, konvensional berhadap-
saudara bunuh saudara. Hal-hal hadapan dengan revolusi ala
inilah yang sukar diterima oleh “sudarto” yang sangat personal
Sudarto
58

59 N : Tetapi revolusi berjalan terus. Film statement : revolusi


Tidak memberi kesempatan “adam” dimenangkan, sekaligus
untuk memajukan pertanyaan- menempatkan revolusi
pertanyaan yang sentimental. “sudarto” pada posisi tersingkir
Sekejap pun tidak. Semboyannya
ialah hancur atau
menghancurkan. Jalan lain tidak
ada
60 Identitas bendera hanya tampil
dalam penampilan singkat dan
tidak dominan

Teknologi belum
memungkinkan bendera
Indonesia terwarnai sebagai
merah dan putih

61 Suster Widia tertembak ketika


akan menyelamatkan Kapten
Sudarto (sebagai Komandan
atau sebagai kekasihnya?)
62 Kapten Sudarto menyelamatkan
Suster Widia (sebagai Kapten
atau sebagai kekasihnya?)

Jawaban slide 61 dan 62 bisa


dijelaskan melalui kausalitas
naratif film dari adegan
sebelumnya

63 Dalam satu adegan (scene)


pertempuran, penempatan
Tentara Belanda disebelah kiri
(slide 63) dan kanan (slide 64).

Screen Direction
64

65 Dalam satu adegan (scene)


pertempuran, penempatan
Tentara Republik disebelah kiri
(slide 65) dan kanan (slide 66).

Screen Direction
66

67 Meskipun banyak yang terluka


di barak, Kapten Sudarto hanya
khawatir terhadap Suster
Widia. Ia menghampiri Kapten
Adam (slide 68) yang berada
beberapa meter disamping
ranjang Suster Widian setelah
ada informasi dari seorang anak
buahnya yang menyebut bahwa
Kapten Adam sedang kritis.

Konsep ruang (spatial) turut


merusak “sosok” Sudarto
68

69 Tentara : Hei nyo, kalo begini Sikap pesimis tentara atas


naga-naganya republik alamat keadaan dan kondisi
gulung tikar, rokok saja kertas perjuangan
koran, baju bau gak ditukar-
tukar, di tentara disuruh disiplin,
disiplin, disiplin melulu
70 Tentara 1 : Kadang-kadang aku
eneg mendengar omonganmu.
Mengapa tidak memihak saja
sama Belanda, ada Kapten, baju
nika (NICA –penulis), ada keju

Tentara : Jadi usulmu itu? Kalo


gitu, baik, kupikirkan nanti. Kau
pikir aku senang diburu-buru
macam babi hutan. Keadaan
macam begini, macam-macam
aja mau merdeka
71 Kapt Sudarto : Tuhanku, mungkin Kematian Adam dan Suster
aku bukan seorang prajurit Widia menjadi penanda
seperti yang dikatakan Adam. bermulanya kesadaran revolusi
Berilah aku kekuatan tuk dapat dan berakhirnya cinta
melanjutkan perjuangan ini,
walaupun mereka tak ada
disampingku lagi.
72 Dalam misinya membeli
senjata, Kapten Sudarto
mampir ke rumah Noni Jerman.
Ini berakibat jadwal
pengangkutan senjata yang
direncanakan sebelum jam
malam menjadi berantakan,
karena waktu yang tidak
diperkirakan oleh Kapten
Sudarto telah melewati batas.
73 Dalam penjara, seorang
tahanan harus menghadapi
tembakan mati. Semua
penghuni penjara, termasuk
Kapten Sudarto memanjatkan
doa keselamatan dalam
melanjutkan perjuangan.

Tema darah dan doa kedua


yang ditemukan dalam film
74 Kapt Sudarto : Dia meninggalkan Istri Adam memberi tahu
saya. Sudah saya sangka dari bahwa istri Kapten Sudarto
dulu. Saudara tidak usah cerita telah pergi meninggalkannya –
lagi. Saya sudah tahu tanpa informasi apapun yang
bisa menjelaskan alasan
kepergiannya.

Plot dalam naratif yang ada


tidak mencerminkan kausalitas

Sikap Kapten Sudarto yang


mudah jatuh cinta pada
wanita?
75 Kapt Sudarto : Saya sendiri pun Alasan yang disampaikan
tidak tahu apa sebabnya. Kapten Sudarto atas
Barangkali karena suasana, kedekatannya dengan suster
keadaan bahaya, penderitaan Widia
yang sama. Saya dan dia jadi
rapat sekali
Kapt Sudarto : Kadang-kadang Kapten Sudarto seperti tidak
saya seperti tidak mengerti mengenal dirinya, dan tidak
perjuangan ini. Barangkali mengerti apa yang
karena saya terlalu mencari jauh, dilakukannya
sedangkan soalnya gampang
saja
76 Penanya : Nama saudara? Dalam film tidak pernah tegas
tentang nama kesatuan Kapten
Kapt Sudarto : Sudarto Sudarto.

Penanya : Pangkat? Korelasi dengan teks


pembukaan film (slide 2) :
Kapt Sudarto : Kapten Cerita, nama-nama serta
pelaku-pelaku dalam film ini
Penanya : Dari Batalion X? tidak ada hubungannya dengan
yang ada atau yang pernah
Kapt Sudarto : Ya ada
77 Kapten Sudarto dihukum
karena pemerintah Indonesia di
Jogja menerima laporan apa
yang telah dilakukan Kapten
Sudarto.

Menjadi klimaks atas segala


tindakannya dalam pasukan,
sebagai komandan yang lebih
banyak menghabiskan waktu
untuk mencari kesenangannnya
sendiri.

Klimaks seperti penyelesaian


dalam struktur Hollywood
Klasik
78 Dalam posisi terhukum, Kapten
Sudarto mengenang dan apa
yang telah terjadi dahulu ;
cinta, perjuangan, kematian
melalui buku catatan hariannya,
dengan latar suara pidato
Presiden Sukarno yang
menggelorakan semangat
perjuangan revolusi

Elemen-elemen yang
berlangsung dalam anti-klimaks
79 Kapt Sudarto : Lebih baik aku Sikap Kapten Sudarto yang tidak
mati daripada membunuh pernah menyetujui perang
saudaraku. saudara.
Kapt Sudarto : Bunuh aku, bagiku
hidup ini sudah tidak ada arti
lagi. Barangkali aku yang tolol
80 Kapt Sudarto : Jangan diulang Kapten Sudarto memegangi
lagi. Biar aku saja perutnya yang ditembak PKI

PKI yang tetap “membaca”


Kapten Sudarto sebagai
komandan pasukan yang
membunuh temannya, Karseno,
sekalipun Kapten Sudarto telah
menyatakan bahwa sebagai
manusia ia juga keberatan
dengan revolusi yang
membunuh sesama bangsanya
sendiri (slide 79).
81 Dalam keadaan sekarat ia
memegangi buku catatan
hariannya.

Buku catatan harian menjadi


petanda rekam jejak kehidupan
dan kejadian yang telah
dilaluinya dalam periode
perjuangan. Kematian menjadi
resiko yang setiap waktu harus
dihadapinya. Ini menjadi anti-
klimaks perjalanan Kapten
Sudarto
82 N : Disini berbaring sahabat kita Teks “Kapten Sudarto” dan teks
yang kita cintai, bekas Kapten “revolusi” yang saling bertolak
Sudarto. Dia telah gugur untuk belakang mulai dari awal film.
membuktikan percintaan dan
perang saudara tiada gunanya Akhir film menjadi milik
revolusi, ketika Kapten Sudarto
menyatakan kekeliruannya
dalam perannya sebagai
prajurit dan komandan. Ia
kembali menjadi bagian
revolusi, dan menjadi sosok
pahlawan yang diampuni
83 Sepasukan tentara memberi
penghormatan pada
pemakaman Kapten Sudarto,
karena kematiannya dalam
konteks sebagai tentara –
sebagai komandan yang
dibunuh oleh PKI karena
pasukannya memerangi
(menembak) PKI
Kisah 7
MEMBACA URAIAN ELEMEN
FILM DARAH DAN DOA

Pembahasan Struktur Film


Struktur naratif yang ada di film Darah dan Doa, polanya mengikuti struktur
3 (tiga) babak, yang berisi pendahuluan, permasalahan dan penyelesaian masalah.
Istilah ini dikenal sebagai the classical paradigm dimana berisi urut-urutan : Act I
(Setup), Act II (Confrontation) dan Act III (Resolution).
Permulaan film dibuka dengan pengantar narasi (voice over) tentang situasi
revolusi perjuangan Indonesia berupa establishment shot suasana daerah yang
nampak seperti kawasan pegunungan dan perbukitan. Dalam pengantar tersebut juga
diberikan sebuah penanda : “Juga kisah perjalanan hidup manusia dalam revolusi”,
yang seolah ingin memberikan satu petunjuk film ini “nantinya” menceritakan
tentang siapa, bukan tentang apa.
Film kemudian dirangkai dengan shot-shot yang lebih padat tentang adegan
pertempuran antara Tentara Republik dengan PKI. Konsep editing M-C-C sebagai
metode editing klasik digunakan dalam pembukaan film melalui konfrontasi perang
fisik. Dari sini bisa dilihat betapa revolusi yang dinarasikan pada pengantar awal
merujuk pada revolusi Pasukan Tentara Republik dengan musuh-musuhnya, bukan
semata-mata perang antara Indonesia melawan Belanda. Lebih menyerupai revolusi
perjuangan sekelompok kecil pasukan Indonesia. Jika dikaitkan dengan teks awal
film (credit title) yang menyebutkan bahwa film ini dipersembahkan pada para
patriot Indonesia yang memperjuangkan cita-cita kemerdekaan, maka pengertian
maknanya bahwa beban kemerdekaan –salah satunya- berada di pundak pasukan ini.
Maka maknanya, pasukan ini menjadi miniatur bagi perjuangan Indonesia dalam
mempertahankan kemerdekaan, tidak peduli lawannya Belanda ataupun PKI.
Secara teknis, dalam pengambilan gambar long shot, gambar kemudian
dikombinasikan dengan komposisi frame secara medium shot yang memperlihatkan
dua pasukan sedang bertempur. Namun dalam penerapan konsep editing ini Usmar
masih nampak belum menguasai sepenuhnya logika filmis dalam membentuk
persepsi ruang di kepala penonton. Sebuah adegan pertempuran antara pasukan
Republik dengan tentara Belanda belum mampu mengadopsi konsep screen
direction secara memadai karena dalam ruang dan waktu yang sama pasukan
Republik yang awalnya berada di sisi kanan frame, bisa berpindah ke kiri frame,
sehingga mengacaukan pemahaman penonton. Begitupun yang terjadi dengan
kedudukan shot pasukan Belanda.
Terlihat bahwa Usmar selain titik fokusnya pada pengembangan penceritaan,
juga secara bersamaan melakukan pratek-praktek membuat film. Satu impian besar
sedang digagas pada pembuatan film ini, bermain dengan teknik (teknologi) untuk
menciptakan sebuah ideologi nasionalisme.
Selanjutnya, adegan kemudian mulai mengerucut pada sosok Kapten Sudarto
sebagai pimpinan pasukan tentara Republik. Problem karakter dan kisah manusia
dalam revolusi mulai terjadi disini ketika Sudarto dan pasukannya memiliki konsep
revolusi masing-masing. Ini menjadi pemicu awal terjadinya konflik. Sudarto tidak
menyetujui revolusi “asal bunuh”. Dia beranggapan bahwa tentara juga harus
berperang secara benar, artinya rakyat yang masih bersatus sebagai satu bangsa tidak
layak diperlakukan secara semena-mena. Ini berkebalikan dengan konsep revolusi
konvensional yang direpresentasikan oleh kehadiran Kapten Adam dan pasukan
lainnya, yang dalam teori representasi diartikan sebagai objek manipulatif atas
makna yang digagas. Tegasnya, Kapten Adam sebagai pembawa makna tentang
revolusi konvensional. Ia menjadi ikonik bagi keseluruhan pikiran tentara. Kapten
Adam beranggapan bahwa dalam revolusi bahkan teman membunuh teman, saudara
membunuh saudara adalah hal yang lumrah dan memungkinkan terjadi.
Praktek atas konsep revolusi ini kemudian juga bisa dilihat ketika seorang
yang dianggap pengkhianat harus menjalani hukuman mati yang dilakukan oleh
seorang tentara, yang adalah anaknya sendiri. Disini terjadi dua pemahaman atas
revolusi dalam pasukan ini, sebutlah “revolusi sudarto” yang sangat personal
sehingga nampak subyektif dan “revolusi adam” yang lebih konvensional sehingga
terlihat lebih obyektif dan dekat dengan makna revolusi yang berlaku secara umum.
Disini terlihat Usmar (sebagai pembuat) terperangkap dalam ambiguitas revolusi
yang diciptakannya dalam film ini. Namun di penghabisan film akhirnya hanya ada
satu pilihan revolusi yang harus dimenangkannya. Konsep revolusi yang diinginkan
Sudarto adalah revolusi yang akan mempersatukan manusia yang awalnya
bermusuhan, karena yang terjadi dihadapannya berlangusng sebaliknya dimana
revolusi justru menceraikan mereka yang saling berkasih-kasihan, dimana anak
membunuh bapaknya, saudara yang membunuh saudaranya.
Dengan konsep revolusinya masing-masing, konflik semakin memuncak
ketika Sudarto sebagai sosok pria yang pandai merayu wanita, mulai dari seorang
Noni Jerman dan seorang suster perang. Hal ini menimbulkan satu gambaran bahwa
Sudarto sesungguhnya bukanlah seorang yang ingin berperang. Ia terbebani dalam
balutan seragam tentara, termasuk kedudukannya sebagai komandan perang, hal
yang sebenarnya banyak diimpikan oleh anak buahnya, sekaligus menjadi problem
dalam konteks kekuasaan-penguasa. Sebuah adegan memperlihatkan hal itu ketika
seorang anak buah Sudarto –dan ini menyerupai kritik sosial atas kekuasaan-
menyatakan bahwa menjadi seorang komandan begitu menyenangkan karena bisa
naik mobil kemanapun, bisa mendapatkan rumah bagus, dan juga bisa mendapatkan
wanita yang diinginkan.
Kehadiran Sudarto dalam film ini, justru menjadi paradoks sebagai tentara
dan sebagai manusia, bahkan menjadi tema utama film. Dalam permainan tanda –
semiotika- atas komponen : “Sudarto”, “manusia”, “revolusi” dan “tentara”, terjadi
pergulatan makna yang membuat film ini nyaris kehilangan pengertian revolusi
sebenarnya, yang diawal film dengan jelas sebenarnya ingin dicetuskan semangat
revolusi melalui teks pendahuluan (credit title). Bahkan disana juga tertulis sebuah
nama sebagai penasehat teknis (?) yang diemban oleh seorang Kapten R. Sardono –
tentunya tentara. Jauh lebih kebelakang, film ini justru lebih memperlihatkan pada
sosok manusia dalam revolusi, dimana perang revolusi terkesan hanya sebagai latar
belakang situasi saja.
Pada penanda “tentara” dalam konteks revolusi tentunya ada “sesuatu” yang
bisa menjelaskan tentang praktek-praktek ketentaraan yang dijalankan oleh penanda
lainnya, yakni “Sudarto” dalam perannya sebagai komandan. Namun penanda
“Sudarto” malah lebih memerankan diri sebagai manusia dengan segala makna yang
mengikutinya, hasrat pribadi berupa ; seksualitas, ketidakmampuan menjalankan
peran atas “tentara” yang dibebankan kepadanya.
Sehingga jika ketika poros sintagmatiknya berbunyi : Sudarto adalah tentara
dalam revolusi, maka ternyata relasinya bisa dipertukarkan menjadi Sudarto adalah
manusia dalam revolusi. Artinya, dalam ruang (latar) manapun Sudarto bisa
menjalankan perannya, tanpa harus diletakkan dalam konteks revolusi, karena ia
lebih menyerupai “manusia” ketimbang “tentara”. Dengan kata lain, komponen
“Sudarto” tetap bisa berlangsung dalam situasi manapun. Karena dalam
peletakannya pada ruang revolusi Ini, ia seperti “mengkhianati” film yang
semestinya bisa menjadi lebih tepat dalam menggambarkan revolusi perjuangan
Indonesia –yang jika disebut sebagai penanda- maka petandanya adalah menjadi
representasi revolusi Usmar dalam memperjuangkan bentuk film nasional, yang
selama ini berada dalam hegemoni tontonan Belanda, Hollywood ataupun “bisnis”
film Tionghoa, sekaligus juga hegemoni kolonial Belanda, dalam konteks perjuangan
sebenarnya yang ada dalam representasi film Darah dan Doa.
Untuk itulah sebenarnya pengertian film nasional lebih kuat berada dalam
pengaruh kehadiran sosok Usmar dalam perfilman Indonesia, karena ia menjadi
semacam juru bicara “nasionalisasi” atas film Indonesia (inilah yang dinamakan
sebagai representasi intentional approach), bahwa makna-makna atas representasi
tergantung pada siapa yang berbicara, menciptakannya, menekankannya dan
mengartikulasikannya. Dalam hal ini Usmar memiliki peran penting.
Dalam film, dimana terjadi situasi revolusi yang berlangsung, Sudarto malah
lebih banyak melampiaskan hasrat atas kesenangan pribadinya. Ada beberapa adegan
yang diulang (repetition) untuk mengingatkan kehadiran Sudarto dalam film ini.
Dalam satu adegan Sudarto mengutarakan bahwa banyak teman seperjuangannya
yang menyebutnya sebagai orang baik, bahkan terlalu baik karena tidak kuasa untuk
membunuh salah seorang musuh revolusi –PKI- sehingga ia dianggap tidak memiliki
mental prajurit, yang kemudian diakuinya sendiri dihadapan Suster Widia dengan
mengatakan bahwa ia malu tidak dapat memberikan apa-apa sehingga ia merasa
tidak pantas menjadi prajurit, karena sikapnya yang terlalu baik untuk “ukuran”
tentara. Satu adegan lainnya. Sudarto juga “menyerah” atas mental pribadinya dalam
menghadapi revolusi ini, seraya menyebut bahwa mati adalah jalan terbaik baginya
ketimbang harus mengalami perang saudara. Bahkan dalam adegan lainnya, konflik
antara manusia “tentara” dengan manusia yang “manusia” makin kentara ketika
Sudarto berseteru dengan Kapten Adam yang menyatakan bahwa Sudarto tidak
menyadari kedudukannya sebagai tentara. Hal inilah yang ditentang oleh Sudarto
bahwa ia lebih memilih berjuang dengan caranya –untuk itulah kedudukannya
sebagai tentara menjadi subyektif- sehingga Sudarto (sekali lagi) disebut “bukan
prajurit” oleh Kapten Adam.
Selain konflik Sudarto dan pasukannya atas konsep revolusinya masing-
masing, konflik lainnya yang ada dalam film terjadi karena Sudarto yang
“manusiawi” dengan hasrat seksualitasnya seperti mengumbar kesenangannya. Ada
dua sosok wanita yang menjadi objek hasratnya. Yang pertama adalah seorang Noni
Jerman yang ditemuinya sedang menangis disebuah makam ayahnya. Meskipun pada
awalnya idnetifikasi atas identitas “kulit putih” yang membawa pada makna kolonial
dalam diri Noni Jerman ini, Sudarto sekali lagi seperti terjebak dalam paradoks
tentara dan manusia. Namun Usmar menyiasatinya dengan satu penjelasan dari Noni
Jerman ini bahwa ia ternyata ber-ibu orang Bandung sehingga Sudarto terlepas dari
kompromi revolusi yang berhadap-hadapan antara pribumi dan kolonial. Inilah yang
menurut Chris Barker bahwa identitas bukan lagi dipahami dalam pengertian
“tempat”, tapi juga bisa dimengerti sebagai “perjalanan”. Noni Jerman telah
tercampur (hibriditas) dalam identitas setempat (Hindia Belanda – Bandung) karena
dalam tubuh biologisnya telah mengalir darah “bangsa” yang sama, meskipun bukan
tentang Negara. Untuk itulah, disini identitas dimengerti bukan lagi sebatas
performatif (kulit putih – bule).
Namun perjalanannya kemudian malah membawa pada problem yang sama,
manusia dengan segenap hasrat seksualitasnya (pilihan pribadi) dalam konteks
revolusi (kewajiban kolektif). Termasuk juga perhatiannya yang terlalu dalam
terhadap Suster Widia, yang akhirnya juga membawanya pada konflik pada
pasukannya –sekali lagi, yang direpresentasikan oleh Kapten Adam. Praktek-praktek
seksual yang dilakukan Sudarto sebagai komandan dianggap akan menjadi bumerang
pada pasukan dan diri Sudarto sendiri, yang akan menghilangkan kredibiltasnya
dimata semua prajurit yang sedang berjuang dalam revolusi. Apalagi menjelang
penghabisan film ada sebuah adegan yang menjelaskan bahwa Sudarto ternyata telah
beristri, yang dilanjutkan dengan satu informasi bahwa istrinya telah pergi
meninggalkannya tanpa penjelasan apapun. Ini menjadi satu petanda baru bahwa apa
yang dilakukan Sudarto, selain menyalahgunakan kedudukannya sebagai prajurit-
komandan, juga telah menyalahkangunakan statusnya sebagai seorang suami.
Menggunakan model semiotika pragmatis, maka Sudarto sebagai representamen
sebenarnya adalah tentara (object) dengan segala dinamikanya. Sehingga
tuntutannya adalah sebagai tentara, prajurit, sebagai seseorang yang berperang.
Namun proses penafsiran (interpretant) atas diri Sudarto –yang tuntutannya tidak
terpenuhi- menjadikannya manusia paling bersalah sebagai tentara yang “bukan”
berperang, tapi malah cenderung sebagai pria perayu.
Jika dalam semiotika pragmatis ini dikenal proses semiosis, maka hadir
representamen baru : Sudarto sebagai pria perayu yang telah beristri. Dan jika
dikaitkan dengan seluruh peristiwa dari awal sampai akhir (ketika informasi sebagi
pria beristri), maka Sudarto memang menjadi “tersangka” atas ketidakmampuannya
menjalankan perannya sebagai tentara.
Oleh sebab itu dalam adegan tertembaknya Suster Widia ketika akan
menolong Sudarto yang “diisukan” tertembak membawa pada dua pengertian yang
sama benarnya (paradoks). Ketika dalam situasi tembak-menembak yang
mengakibatkan banyak tentara terluka, termasuk isu tertembaknya Sudarto, upaya
Suster Widia untuk mencari Sudarto beradadalam dua pengertian : apakah ia
menyelamatkan Sudarto sebagai komandan perang atau sebagai kekasihnya. Dan
juga ketika Sudarto menemui Widia yang sedang terluka tembak dikepalanya dengan
cucuran darah, dan membawanya dalam rangkulan, juga membawa pada dua
pengertian : tanggungjawabnya sebagai komandan atau sebagai kekasihnya. Dua
pengertian yang sampai adegan film berikutnya tetap berada dalam pengertian yang
sama benarnya. Dalam adegan selanjutnya yang memperlihatkan beberapa pasukan
yang terluka dalam barak, termasuk Suster Widia, barulah dapat dipahami bagaimana
Sudarto memerankan dirinya. Dalam kedudukannya sebagai komandan, yang
tuntutannya adalah perhatian pada semua korban secara “adil”, justru ia lebih banyak
mengkhawatirkan pada Suster Widia. Padahal dalam jarak beberapa meter
dibelakangnya, Kapten Adam juga sedang meregang nyawa, yang akhirnya
meninggal. Hukum kausalitas dalam naratif film barulah dapat dimengerti pada
adegan ini atas adegan-adegan sebelumnya.
Penyelesaian (resolution) film atas berbagai konflik karakter manusia dalam
revolusi yang ada disepanjang film ini akhirnya memperlihatkan bahwa Sudarto –
yang diakuinya sendiri- sebagai pihak yang salah membawa dirinya, baik sebagai
tentara maupun sebagai komandan. Perannya sebagai manusia biasa menjadi “salah
tempat”. Pada menjelang akhir film menjadi “puncak tertinggi” bagi akhir perjalanan
pribadi Sudarto, meskipun bukan akhir bagi cerita revolusi dalam film ini. Klimaks
bisa dilihat pada beberapa adegan. Di pekuburan dimana Suster Widia dan Kapten
Adam berbaring jasadnya, Sudarto mulai menyadari kekeliruannya. Ia mengadu pada
Tuhan atas ketidakmampuannya menjadi prajurit. Adegan ini menjadi makna yang
bisa dikenali atas bermulanya kesadaran revolusi pada pemikiran Sudarto, revolusi
yang sebenarnya –“revolusi adam”. Klimaks lainnya diperlihatkan secara nyata
ketika Sudarto mendapatkan hukuman dari Pemerintah Pusat di Jogjakarta karena
selama ini “bermain-main” dengan revolusi. Dan ini membawa akibat pada dirinya
dimana ia harus mendekam di dalam penjara. Klimaks yang paling tinggi terlihat
dalam sebuah adegan melalui teknik superimpose. Dalam posisi terhukum atas
perbuatannya, adegan sosok Sudarto “ditumpang-tindihkan” dengan lembaran-
lembaran kertas catatan hariannya yang berisi tentang kisah cintanya, kematian
beberapa anggota pasukannya dan sebagainya.
Dalam teknik superimpose itu dimasukkan latar suara pidato Presiden
Sukarno yang berisi semangat dalam menggelorakan perjuangan revolusi. Disinilah
titik tertinggi penyesalan dan kesadaran Sudarto atas dirinya dan atas revolusi fisik
yang sedang diemabnnya dlam kedudukannya sebagai komandan. Dan adegan
ditembaknya Sudarto oleh seorang PKI, yang sahabatnya pernah ditembak pasukan
Sudarto –hal yang sebenarnya tidak pernah disetujui oleh Sudarto- menjadi anti-
klimaks perjalanan hidup Sudarto sebagai prajurit, komandan perang, manusia dan
seorang suami. Sambil memegang dadanya yang tertembus peluru, ia berujar,
“Jangan diulang lagi. Cukup aku saja”. Pesan yang sesungguhnya juga bisa
dilamatkan pada semua siapapun, bahwa setiap manusia yang terlibat dalam revolusi,
janganlah bermain-min didalamnya. Meskipun penembakan yang diterimanya, jika
dianalisa dari struktur naratifnya adalah sebab-akibat dari kematian seorang PKI
terdahulu, namun ini juga menjadi “hukuman” yang dilakukan film atas dirinya.
Akhirnya Sudarto dimakamkan dengan penghormatan militer yang dihadiri
oleh barisan pasukan revolusi. Ia menjadi prajurit yang “kembali” dan terampuni. Ia
menjadi pahlawan bagi mata penonton yang mengikutinya sejak awal sampai akhir
film. Namun nampaknya tidak demikian bagi pasukan tentara revolusi. Sehingga
seremoni pemakaman yang dilakukan lebih sebagai penghormatan pada seorang
komandan.
Secara umum, mulai dari awal sampai akhir film, “revolusi adam” akhirnya
menjadi pemenangnya, dan itulah yang diharapkan dalam revolusi perjuangan
sebenarnya. Hal Ini juga yang dalam adegan awal dinarasikan, bahwa dalam undang-
undang revolusi, ruang dan waktu hanya diisi oleh perjuangan, tidak ada tempat bagi
yang lain. Tentu maksudnya tidak seharusnya ada “kelemahan” manusia sebagai
tentara, maupun hasrat yang sangat personal. Semestinya hak untuk berhasrat-hasrat
dikesampingkan karena segala sesuatunya lebih berorientasi pada kepentingan
kolektif. Inilah yang dinamakan kewajiban atas revolusi.
Mengenai tampilnya Sudarto secara dominan, Heider pernah menyatakan :

“Meskipun Darah dan Doa temanya adalah Long March,


namun nasib Sudarto malah nampak lebih penting daripada Divisi
Siliwangi. Sudarto tidak hanya digambarkan pergi ke kota untuk
mencari suplai obat-obatan tapi juga mengunjungi wanita Indo. Film
akhirnya meninggalkan pasukan Siliwangi dan mengikuti Sudarto
untuk menuju kematiannya dalam tindakan balas dendam pribadinya.
Bahkan dalam catatan pibadinya, ia menulis bahwa, ’kadangkala
saya tidak mengerti dengan perjuangan”.

Dalam film ini juga digunakan narasi. Namun fungsi narasi lebih untuk
menceritakan masing-masing bagian, bukan sebagai Suara Tuhan (Voice of God)
yang tahu segala-galanya. Narasi seperti untuk mempertegas setiap adegan yang
sedang dan telah berlangsung, termasuk menjaga film agar tidak tergelincir pada
pemahaman yang salah pada penonton atas film yang dikehendaki pembuatnya,
sebagai film revolusi. Lihatlah sebuah contoh. Ketika Sudarto masih dalam usaha
mendapatkan fantasi cintanya dengan Noni Jerman, narasi yang mengikutinya justru
terlalu cepat melegitimasi Sudarto sebagai prajurit pengemban revolusi. Karena
justru semakin jauh kedalam, peran Sudarto malah semakin menempatkan posisinya
jauh dari harapan revolusi. Ada hubungan sebab-akibat yang tidak berjalan disini,
karena Sudarto seperti “sukar dikendalikan” oleh film. Film ini terlalu
memperlihatkan keberpihakannya pada revolusi tentara Indonesia, yang sebenarnya
ingin direpresentasikan melalui sosok Sudarto, namun gagal. Pilihan kata “musuh”
untuk menyebut Belanda, dalam sebuah narasi yang menceritakan tentang perjalanan
sulit pasukan Sudarto diantara kepungan tentara Belanda memperlihatkan
keberpihakan itu. Dengan kata lain, Usmar ingin menegaskan identitas filmnya
sebagai film yang nasionalisme, yang ingin duduk dalam sudut pandang tentara
revolusi Indonesia.
Namun sekali lagi, Sudarto yang dihadirkan menjadi tokoh sentral dalam
film, sebagai representasi identitas nasional dan sebagai prajurit yang berjuang atas
nama nasionalitasnya melalui perjuangan fisik mempertahankan Negara nasional
Indonesia, justru malah memudarkan semangat revolusi yang dipertahankan dari
setiap narasi yang diciptakan. Dan ini bisa berimplikasi pada pudarnya semangat
nasionalisme pada diri Sudarto.
Penggunaan narasi dalam film sebenarnya untuk membantu penonton
menginterpretasikan kejadian. Dan narasi dalam film memang tidak pernah dalam
posisi netral karena narasi sebenarnya adalah sebagai “orang pertama” yang
fungsinya menceritakan seluruh kejadian. Dari sinilah narasi menjadi representasi
pikiran karakter utama.
Narasi dalam film Darah dan Doa ini seperti menyuarakan pikiran Usmar
atas upayanya membuat film yang memiliki identitas nasional melalui perjuangan
Indonesia yang juga sedang memperjuangkan legitimasi atas identitas nasional yang
telah diproklamasikan. Namun sudut pandangnya seringkali berubah-ubah, bisa
sebagai narasi “aku” (slide 25, 59, 82), kadangkala berubah menjadi “dia” yang
mengetahui kejadian (slide 7, 16, 17, 19, 26, 49, 57), dan “dia” yang tidak
mengetahui kejadian (slide 21, 49).
Jika narasi yang menurut David Bordwell sebagai penuntun penonton dalam
membangun cerita dari proses peristiwa ke peristiwa lainnya yang tergambar dan
terlihat dalam plot, maka narasi dalam film Usmar ini tidak berlaku demikian.
Seperti ada kekhawatiran pada Usmar bahwa setiap adegan yang dieksekusinya
belum mampu menerjemahkan pesannya secara utuh dan tuntas. Maka peran narasi
disini untuk memperkuat setiap adegan dan kejadian yang hadir, bukan mendukung
naratif yang dibangunnya.
Dalam poster film maupun dalam judul yang tertera dalam filmnya, nampak
dengan jelas bahwa film ini –melalui ukuran huruf- ingin dikenali dengan judul The
Long March, sementara judul lainnya (dalam tanda kurung) berbunyi Darah dan
Doa ditampilkan dalam ukuran lebih kecil. Namun belakangan Darah dan Doa
ditemukan lebih mendominasi sebagai judul, termasuk yang ada dalam berbagai
komentar, pendapat dan tulisan beberapa orang. Namun dalam film –tema tentang
darah dan tentang doa- hanya bisa ditemui dalam dua adegan saja. Yang pertama
ketika seorang lurah memanjatkan doa ketika akan memulai penjamuan makan
malam pada pasukan Sudarto (tanda “darah” sebagai konotasi perang dalam konteks
film) yang diundang untuk bermalam diwilayahnya. Yang kedua adalah doa yang
dipanjatkan Sudarto dalam penjara ketika menerima kabar bahwa seorang tahanan
telah dieksekusi hukaman mati. Dalam hal ini tanda “darah” ada dalam sosok
Sudarto. Sementara tema long march justru menjadi bagian yang dari perjalanan
film, mulai dari awal sampai akhir.
Disinilah Usmar seperti ingin menampilkan sikap nasionalisme perjuangan
Indonesia melalui komparasi elemen doa dan perang. Namun disisi lainnya ia seperti
takut terjebak dalam anti-nasionalisme karena konsep long march yang ditawarkan
oleh penulisnya (Sitor Situmorang) justru berdasarkan inspirasinya pada perjalanan
(long march) pasukan Tentara Merah Tiongkok. Dan ini seperti menjauhkan filmnya
dari motif-motif nasionalitasnya. Hadirnya “dua judul” dalam film ini menjadi
semacam kompromi dari Usmar untuk menyiasati filmnya yang tidak melulu tentang
darah dan doa, maupun kekhawatiran atas kehilangan identitas nasional, yang
berimplikasi pada hilangnya nasionalisme dalam film ini.
Dalam visualisasi (unsur mise en scene), ada beberapa identitas-identitas
yang mengarah pada konsep besar revolusi perjuangan Indonesia. Antara lain
bendera merah-putih, tentara-prajurit, perang, rakyat, lagu perjuangan, senapan,
pakaian tentara, sepatu tentara. Namun yang terjadi, identitas itu tidak berhasil
seluruhnya menggambarkan konsep besar itu. Karakter tentara –selain Sudarto-
justru banyak digambarkan sebagai manusia lemah, bahkan terlalu banyak. Sikap itu
terjadi karena setiap hari mereka berhadapan dengan situasi kelaparan, kematian dan
guncangan mental lainnya. Dalam satu adegan ada seorang tentara yang mengubah
lirik lagu menjadi “air matanya berlinang karena tak ada nasi”. Hal yang
sebenarnya merupakan problem paling mendasar yang kerap ditemui dalam
peperangan. Bahkan beberapa nampak menyerah atas situasi, kalau tidak mau
dikatakan menyesal telah menggadaikan dirinya untuk jadi tentara.
Kenyataan ini memperlihatkan –setidaknya- mental tentara Indonesia.
Identifikasi yang melemahkan perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan
Negara bernama Indonesia, dan ini tergambarkan dengan jelas dalam film. Meskipun
Usmar juga berupaya melakukan keseimbangan untuk menutup kelemahan karakter
tentara itu dengan simbol-simbol yang menguatkan identitas tersebut seperti sepatu
tentara yang menginjak dada seorang PKI yang tertembak, senjata sebagai solusi
bagi setiap prajurit-tentara dalam mempertahankan harga dirinya yang terampas
karena cacat anggota tubuhnya, siasat-siasat perang gerilya yang begitu diagungkan
melalui konfrontasi kamuflase sergap “belakang” musuh dan sebagainya. Dalam
konstruksi identitas, Usmar sedang melakukan proyek identitas untuk dikenali
sebagai identitas nasional Indonesia melalui sosok tentara dalam revolusi Indonesia
yang pemberani, meskipun ia juga tidak kuasa menghindari adanya relasi dengan
berbagai kenyataan yang melemahkan dalam filmnya. Kekuatan dan kelemahan
saling bergantian memainkan perannya.
Pasukan Sudarto dalam film mungkin juga perlu diurai ulang sebagai
miniatur identitas Indonesia yang sedang berjuang. Kehadirannya ditengah
masyarakat justru membuat keberadaan pasukan ini sebagai “yang lain”, bahkan
seperti terkucil dalam masyarakatnya sendiri. Komponen masyarakat dan tentara
(Sudarto) seperti malah saling berhadap-hadapan sebagai “aku” dan “dia”, dua hal
yang memiliki identifikasi secara berbeda. Sebuah narasi yang menyatakan bahwa
tanpa bantuan orang-orang desa, perjuangan tak akan bisa dipikul sendiri, seperti
“norma” nasionalisme perjuangan saja dari pembuatnya, karena dalam sebuah narasi
sebelumnya justru terdapat satu penjelasan berlawanan, yang menyebutkan bahwa
kehadiran keluarga (masyarakat) malah menjadi beban berat. Lalu, masyarakat mana
yang dimaksud Usmar sebagai penolongnya?
Beberapa adegan dalam film yang memperlihatkan “kontestasi” masyarakat
dan tentara bisa dilihat berikut ini. Sebuah adegan tentang masuknya pasukan
Sudarto di sebuah desa malah menimbulkan keraguan atas penerimaan masyarakat,
sebelum akhirnya seorang menyatakan bahwa desa itu merupakan bagian darinya.
Pasukan Sudarto seperti sedang berdiri diluar ruang bangsanya sendiri, cenderung
teralienasi dari bangsanya yang justru sedang diperjuangkannya dari intimidasi
Belanda. Padahal dalam konteks teritorial, justru Belanda yang harus ditempatkan
sebagai “yang lain”. Atau sebuah adegan yang memperlihatkan seorang tentara yang
lebih memilih untuk tidura-tiduran ketika masuk pada sebuah desa, karena
dikhawatirkan setiap gerakannya (dalam film disebut dengan ‘ekspedisi’) tidak
mudah diterima masyarakat setempat. Sekali lagi, pasukan Sudarto seperti
kehilangan orientasi, yang seolah tidak tahu mereka sedang sebenarnya berjuang
untuk siapa.
Identitas-identitas lainnya juga seperti tidak ditempatkan dalam porsi untuk
dikenali sebagai materi yang bisa diidentifikasi secara kuat dalam konsep besar
revolusi perjuangan. Bendera Indonesia hanya melambai-lambai tanpa makna
disebuah sudut kanan bawah sebuah frame dalam adegan pertempuran (slide 60),
yang seharusnya melalui teknik sinematografi dengan komposisi close up ataupun
medium shot bisa dimaksimalkan dalam memaknainya. Begitu juga pakaian tentara
seperti tak-bermakna apapun bagi sebagian prajurit sehingga seorang komandannya
menegur atas “kelalaian” pasukannya tersebut ketika menjemur pakaiannya di
tempat terbuka. Sang komandan mengkhawatirkan bahwa apa yang dilakukan para
prajurit ini malah mengetalase mereka untuk dijadikan sasaran tembak Belanda, PKI
ataupun DI (maksudnya DI-TII). Di sini terlihat ada dua beban yang diemban
‘pakaian’ ; fungsional (penutup badan) dan simbolik (petanda ‘musuh’ bagi yang
lain), yang berada dalam konteksnya masing-masing.
Dalam konteks dua bangsa-Negara yang berkonfrontasi, Indonesia dengan
Belanda, Usmar justru membuka peluang pada semua pihak atas klaim yang sama
sebagai ‘pahlawan’ bangsa atas mereka. Semua merasa berjuang mempertahankan
Indonesia, sehingga semua juga menjadi merasa paling nasionalis, pembela
bangsanya. Lihat bagaimana ketika pasukan DI-TII yang menyerbu masuk kedalam
rumah dimana pasukan Sudarto sedang tidur. Mereka dengan lantang menyebut
bahwa peran mereka seperti ‘kambing’ yang digemukkan untuk disembelih. Mereka
menyebut dirinya juga sebagai pejuang yang turut mempertahankan Indonesia.
Dengan demikian maka semua sebagai pemilik kesadaran nasionalitas yang anti-
Belanda. Potensi pasukan Sudarto sebagai pemegang kendali utama bagi gagasan
identitas nasional dalam film ini malah menjadi samar. Usmar tidak sedang berusaha
mempertahankan sudut pandangnya melalui representasi pasukan Sudarto sebagai
deskripsi identitas nasional.
Secara umum, justru identitas nasional dalam film (teks) bisa diidentifikasi
dengan tema perjuangan Indonesia melawan Belanda, terlepas dari adanya konflik
dalam bangsa-Negara Indonesia sendiri –yang disebut berulang-ulang oleh Sudarto
sebagai ‘perang saudara’. Sehingga jika identitas nasional dalam teks film melalui
proyek konstruksi kehadiran para pejuang (identitas) Indonesia (nasional) dalam
konfrontasi melawan Belanda (yang bukan “nasional” –identitas diperjuangkan
sebagai perbedaan), yang harus diakui sebagiannya memiliki kegagalan
mempertahankan identifikasi sebagai yang nasional atas nasionalismenya. Maka
dalam teks yang berlangsung diluar film, sebagai film yang “bukan Belanda”, tapi
tidak “bukan Hollywood” seperti proteksi yang dilakukan perfilman negara-negara
di Eropa. Apalagi tidak “bukan Tionghoa”, karena sebuah catatan pernah
menyebutkan bahwa seorang Tionghoa memberi bantuan finansial terhadap film ini,
termasuk mendistribusikannya.
Kisah 8
PENUTUPAN

Usmar Ismail dan Wacana Film Nasional


Orang-orang Indonesia yang menjadi pelopor pembuatan film di Indonesia
tidak ada yang mengenyam “ilmu” film. Sebagian besar berlatar belakang penggiat
pertunjukan panggung/sandiwara dan penulis/wartawan. Namun posisi mereka
awalnya belum bisa dikatakan penentu sisi kreatifitas (artistik) film yang akan
dibuat. Dari sinilah tumbuh motivasi dari beberapa orang, terutama Usmar Ismail
untuk membuat film yang seluruhnya ditangani oleh sepenuhnya orang Indonesia.
Motivasi ini ditambah dengan kenyataan bahwa pada masa awal perfilman di
Indonesia hanya ada dua kubu besar yang menguasai, Tionghoa/Cina ; yang
berorientasi pada negerinya (Tionghoa/Cina) dan Belanda ; yang lebih dominan
membuat film-film dokumen(ter) tentang Indonesia.
Kelahiran semangat film nasional di Indonesia memang tidak bisa dipungkiri
melalui kehadiran Darah dan Doa tahun 1950. Dan ini terus menerus dilegitimasi
secara sistematis sehingga dianggap sebagai tonggak film nasional. Misbach Yusa
Biran pun menuliskan bahwa :

Sejarah film Indonesia barulah dimulai dari film Usmar tersebut.


Maka rentang sejarah pembuatan film dari 1926-1950 ini,
kita namakan : “Sejarah Pembuatan Film di Indonesia”.

Melalui teori Choi tentang kategori teritori, film Darah dan Do’a menjadi
satu pertimbangan penting ketika dengan jelas menyajikan “Indonesia” secara utuh –
pemain, orang pembuat, perusahaan (Perfini), kisah, latarbelakang tempat dan
sebagainya. Persyaratan “teritori" bisa dikatakan terpenuhi, sehingga kemudian
klaim akan perfilman nasional dimulai disini juga akhirnya terpenuhi juga. Namun
klaim itu juga dengan mudahnya akan tergugat ketika film itu digali lebih jauh,
termasuk film dalam bentuk teks. Konsep neorealisme, struktur yang diterapkan,
konsep dan teknik editing, maupun tema global (bukan nasional) yang ditemukan
dalam film, membuat nasionalisasi atas film ini menjadi terbuka atas pemaknaan
baru.
Tentang neorealisme, bisa disimak ketika ia menginginkan muka-muka baru
(dalam film ini -penulis) dengan bakat-bakat yang segar. Mengenai konsep
neorealisme ini juga diakui oleh D. Djajakusuma bahwa Usmar Ismail memang
sangat terinspirasi oleh kelompok neorealisme yang lahir setelah perang dunia II.
Apa yang dilakukannya (konsep neorealisme) ternyata tidak lebih berbeda dengan
konsep-konsep film yang sudah ada sebelumnya. Sama halnya seperti yang dialami
oleh Andjar Asmara –bahkan lebih menyakitkan- ketika dengan “gelar” sutradara
yang disandangnya, tapi jabatannya tidak lebih berkuasa atas film yang dibuat itu. Ini
menjadi sebuah pertanyaan besar akan konsep perfilman nasional yang terhubungkan
dengan auteurs. Identitas “nasional” seperti apa, karena nyatanya Usmar
sesungguhnya tidaklah otonom sebagai pembuat –tidak menawarkan sesuatu yang
baru, dalam arti lain bahwa “karakter” yang dianut dalam film itu tenyata tidak
membedakan.
Hal ini ditambah lagi dengan konsep neorealisme ala Usmar ini
sesungguhnya kontraproduktif. Beberapa menyebut bahwa penggunaan pemain non-
aktor ini agar tumbuh idealisme dari pemain, menyerupai idealisme pembuatnya
yang hanya 5 (lima) orang. Beberapa juga menyebut ini sebagai teknik menyiasati
ketiadaan biaya untuk membayar pemain-pemain profesional, sehingga disebut
bahwa Usmar anti-star system. Dalam tulisannya, Salim Said yang turut
meneguhkan konsep neorealisme ini bahkan mengutip bahwa semboyan neorealisme
Italia begitu digemari oleh Perfini –“bawa kamera ke jalan raya, pakai orang biasa,
bukan bintang”. Bahkan menurutnya lagi “kesetiaan membawa kamera” itulah yang
akhirnya menjadi kekuatan film Usmar dalam menampilkan wajah Indonesia yang
sebenarnya. Kata “sebenarnya” juga menjadi dipertanyakan manakala dalam teks
awal filmnya tertera bahwa cerita, nama dan pelaku dalam film ini tidak ada
hubungannya dengan yang pernah ada.
Termasuk ketika dalam sebuah narasi dalam film dinyatakan sebagai
“pasukan tak bernama” –jadi bukan tentang Divisi Siliwangi. Film ini seperti
bermain dalam ruang abu-abu antara fakta dan fiksi.
Disatu sisi apa yang terjadi ini menjadi satu pendorong tergugahnya
kesadaran menjadi bangsa Indonesia melalui “wajah” yang tertera dalam film Usmar
–sehingga ia merasa “nasionalisme” turut hadir disana. Namun dalam sisi lainnya,
Usmar mematahkan semua ini melalui artikel yang ditulisnya, berjudul Pengantar ke
Dunia Film. Terinspirasi oleh David W. Griffith, Usmar menyebut bahwa membuat
film adalah montage, dimana ruang dan waktu bisa disatukan dalam sebuah asumsi
yag dibentuk film. Untuk itulah ketika seorang temannya yang melihat film Usmar,
Kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Djogya, mempertanyakan alasan
diambilnya adegan kehancuran rumah-rumah di Jogja akibat agresi Belanda, justru
bukan keadaan Jogja yang direkam, tapi daerah Kaliurang dan Prambanan. Usmar
hanya tertawa membayangkan ketidakpahaman sang teman atas potensi montage.
Keadaan ini memperlihatkan betapa neorealisme bukanlah konsep yang
mapan ditangan Usmar. Konsep itu hanya bersifat situasional karena ketiadaan biaya
produksi atas filmnya, yang kemudian diatasnamakan berbagai hal ; idealisme,
neorealisme atau apapun yang menegaskannya.
Mungkin benar bahwa Usmar dan Darah dan Doa sebagai pencitraan film
nasional awal adalah produk wacana. Karena dalam tulisannya yang lain lagi Usmar
menuliskan bahwa film yang dibuatnya ini praktis merupakan dorongan idealisme,
dan jika kemudian banyak pengusaha film lain yang mencari bentuk bagi pembuatan
film yang bercorak kebangsaan, itu hanya “seolah-olah” saja.

Namun filmnya sebagai sebuah teks semestinya juga mampu mendorong


identitas nasional (ideologi) yang dikehendaki. Untuk itulah film selalu bersifat
ideologis karena produksi sebuah film selalu dibingkai oleh kepentingan ideologis
pembuatnya. Teks dalam film yang didalamnya tercantum identitas menjadi sebuah
ideologi yang dibangun karena ada suatu “selera” yang diharapkan untuk dinikmati
dan diterima oleh khalayak penonton. Pertimbangan ideologis ini memungkinkan
untuk memahami hubungan antara teks film dan film dalam konteks budaya. Dalam
memahami ideologi, permukaan teks seharusnya bisa sebagai landasannya. Film
Usmar belum sepenuhnya mampu mendukung ideologi yang dikehendaki karena
identitas nasional yang tidak begitu kentara didalamnya.

Jika teks adalah penting, maka Loetoeng Kasaroeng, film yang disebut
sebagai produksi film cerita pertama kali di Indonesia ini sebenarnya patut menjadi
perhatian juga. Dalam upaya menunjukkan tentang identitas nasional, maka film ini
rasanya mampu menunjukkan akan ke-identitas-an itu, paling tidak identitas budaya
(hikayat) bangsa Sunda –yang secara teritori berada dalam batas wilayah Indonesia.
Sebagai identitas (khas) yang dikandung bangsa Indonesia, rasanya masih bisa
diterima –minimal sebagai konsep yang bisa diolah untuk memahami tentang
perfilman nasional.

Konsep perfilman nasional bukan lagi membicarakan antara apakah film


yang “nasional” atau apakah film yang “transnasional”. Karena mengutip tulisan
Krishna Sen, Kracauer dan Arnold Hauser menuliskan bahwa semua media ekspresi
artistik mempunyai ciri-ciri nasional. Tak seorang seniman pun sanggup
menggunakan bahasa universal. Kracauer selanjutnya mengatakan bahwa dengan
demikian maka bahasa kesenian adalah hasil sebuah proses dialektika yang titik
tolaknya adalah idiom nasional dalam usaha dan perjalanannya menjadi suatu karya
yang universal.

Peter Roffman dan Jim Purdy selanjutnya juga menulis, “apabila sebuah film
disenangi oleh banyak orang, jelas film tersebut mencerminkan sesuatu terhadap
penonton yang banyak itu melakukan identifikasi diri mereka”.

Mengenali konsep perfilman nasional justru melebihi sekedar label-label


yang tertempel pada sistem produksinya –nasional atau transnasional-, tapi
bagaimana relasi atau hubungan antara film yang dibuat dengan sejarah nasionalnya,
yang tentunya bisa-tidak menunjukkan identitas nasionalnya. Disinilah film Usmar
melahirkan konsep awal film nasional.

Bahkan menilik lagi sejarah lahirnya Darah dan Doa, menurut Krishna Sen
ternyata juga banyak problem tentang “nasional-bukan nasional”. Pengambilan
gambar Darah dan Doa pada 30 Maret 1950 disebut terancam gagal karena
kehabisan uang. Namun seorang Tionghoa pemilik bioskop bernama Tuan Tong
tidak menyelamatkannya dengan bantuan finansial. Dia bukan hanya memberi
jaminan terselesaikannya film itu, tapi juga jaminan akan mendistribusikannya di
Jakarta. Bahkan upaya Usmar Ismail untuk “mencanangkan” sinema nasional
Indonesia takkan mungkin terjadi tanpa dukungan finansial dan pemasaran dari
kelompok Tionghoa.

Namun kegigihan Usmar Ismail-lah yang terus menerus mengusung


semangat kelahiran “perfilman Indonesia”, yang serta-merta menariknya menjadi
bagian tak-terpisahkan dari kelahiran perfilman nasional, termasuk mendirikan
Perusahaan Film orang Indonesia untuk kali pertama, bernama Perfini (Perusahaan
Film Nasional Indonesia) yang menjadi perusahaan film bagi pembuatan Darah dan
Do’a. Djajakusuma pernah menulis mengenai jiwa nasionalisme Usmar, tentang
suskesnya film Tiga Dara :

“Usmar sangat malu dengan film itu. Niatnya menjual Tiga Dara
ketik masih dalam tahap pembikinan memperlihtkan betapa
beratnya bagi dia menerima kenyataan harus membuat film seperti
itu.”
Selanjutnya,
“Sesekali memang tampil juga Usmar sebagai sutradara, dan
hasilnya adalah film seperti Pedjuang. Dengan Pedjuang itu Usmar
sebenarnya hanya ingin mengingatkan masyarakat bahwa ia masih
Usmar lama yang tidak semata-mata mencari duit”.

Hal ini juga terjadi ketika Usmar berada di Amerika (sekolah), ketika Perfini
melalui Asrul Sani membuat skenario Terimalah Laguku, yang disutradarai D.
Djajakusuma dan diproduseri Rosihan Anwar, Usmar amat merisaukannya karena
cita-citanya membuat film yang realistis nampaknya semakin sulit menjadi
kenyataan.

Merumuskan konsep perfilman nasional Indonesia memang tidak semudah


yang dibayangkan. Film Darah dan Doa (Long March) yang dianggap tonggak, mau
tidak mau sebutannya : Film Nasional Indonesia, bukan Film Indonesia, apalagi jika
disebut Film Negara Indonesia. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa dunia yang
semakin global dan universal telah menghilangkan batasan pengertian bangsa
dimana film turut hadir melintasi batasan negara. Sehingga lambat laun film akan
berlaku trans-nasional, dan ini sebenarnya sudah mulai terjadi namun belum terlalu
ingin dikenali. Inilah yang dimaksud sebagai ketiadaan esensi dalam identitas.
Bonus Kisah
USMAR ISMAIL DAN FILMNYA

Usmar Ismail, yang mulai masuk dunia film melalui dunia teater (panggung)
yang selama ini ia geluti juga banyak berhutang jasa pada Andjar Asmara. Bersama
teman-temannya ia mendirikan grup sandiwara bernama penggemar Maya. Dalam
sebuah data yang ditemukan penulis tentang daftar riwayat hidup yang
ditandatanganinya sendiri, Usmar Ismail juga tercatat sebagai tentara berpangkat
Mayor TNI. Kemudian ia mendirikan koran Patriot. Dan tahun 1947 ia terpilih
sebagai Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat.

Nama Andjar Asmara juga patut disebut sebagai orang


Indonesia yang masuk generasi paling mula menempati
posisi penting dalam pembuatan film di Indonesia –selain
tersebut juga nama Saerun, seorang wartawan yang
membuat skenario Terang Boelan (1938). Dalam buku
Usmar Ismail : Mengupas Film tertulis :

Saerun, seorang wartawan yang terkemuka


pada saat itu adalah orang pertama dalam
pembikinan cerita film. Kemudian datang Anjar
Asmara yang pada waktu itu juga wartawan
dan telah meninggalkan dunia sandiwara. Lalu
berturut-turut Arifin, Suska, Inu Perbatasari,
ketiga-tiganya wartawan tetapi tidak asing lagi
di atas panggung sandiwara Dapat dikatakan
dengan masuknya tokoh-tokoh ini ke dalam
dunia film, orang Indonesia mulai turut
memegang peranan dalam proses pembuatan
film, meskipun perusahaan-perusahaan
seluruhnya masih di tangan bangsa Tionghoa.

Andjar yang dahulunya dikenal sebagai pemimpin


majalah Doenia Film dan kemudian bergabung dalam
pertunjukan panggung, tepatnya sebagai pengarang
cerita pertunjukan, pada kelompok Darnadella pimpinan
A. Piedro pada November 1930. Keputusannya untuk
hijrah, mengikuti eksodus besar-besaran orang panggung
pertunjukan ke dunia pembuatan film, karena terjadi
fenomena sukses film melalui film Terang Boelan (1938).
Pengetahuannya dalam film konon karena ia seringkali
mengunjungi teman-temannya yang duduk dalam
organisasi Keimin Bunka Shidosho (Pusat Kebudayaan).
Karena itulah ia bersama dengan H.B. Jasin dan juga
Rosihan Anwar dengan leluasa bisa masuk ke
perpustakaan yang banyak mengoleksi buku-buku film
hasil rampasan dari Belanda.

Keuntungan ini nantinya sangat berguna, termasuk


menjadi bahan dalam bertukar pikiran dalam diskusi-
diskusi yang dilakukan di rumah Usmar. Di film ini
Andjar berhasil melahirkan “citra” baru dalam tontonan
film di Indonesia yakni diperkenalkannya pasangan
pemain Rd. Mochtar dan Roekiah. Gayus Siagiaan
menyebutnya sebagai love team layar putih. Bisa jadi
“sistem kebintangan –star system” sedang dilahirkan
disini.

Konon komposisi duet ini merupakan resep sukses film


Terang Boelan, yang dikemudian hari banyak
bermunculan film-film menggunakan resep duet serupa
seperti film Alang-Alang (1939) yang memasangkan Moh.
Mochtar dan Hadidjah. Menurut sutradara Terang Boelan
–Albert Balink- bahwa Rd. Mochtar merupakan orang
pribumi yang layak menjadi bintang film, dengan
prasyaratnya yang sudah terpenuhi, tinggi besar(?!).
Sungguh sangat paradoks bahwa keadaan ini tidak
membantu sama sekali posisi pemain-pemain pribumi
secara baik dalam perfilman di Indonesia kala itu karena
pernyataan tersebut jelas-jelas hanya menjadi semacam
upaya personifikasi fisik “Eropa” melalui sosok Rd.
Mochtar. Termasuk sosok Roekiah yang disebutkan
sangat identik dengan bintang Hollywood –Dorothy
Lamour –glamour girl.

Kembali pada Andjar Asmara. Ia masuk dunia film pada


tahun 1940 melalui perusahaan Java Industrial Film
(JIF). Dari beberapa catatan yang penulis temukan,
dengan jelas bisa disebutkan bahwa orang Indonesia
pertama yang menyutradari sebuah film adalah Bachtiar
Effendi dengan filmnya Njai Dasima (1931). Namun
catatan sepak terjang Bachtiar Effendi dalam dunia film
di Indonesia juga begitu minim untuk ditemui. Untuk
itulah nama Andjar Asmara menjadi begitu penting
karena upayanya mengkaderisasi para pembuat film di
Indonesia di kemudian hari (salah satunya Usmar Ismail
yang menjadi asistennya dalam film Gadis Desa -1949)
pada perusahaan film Belanda SPFC. Beberapa film yang
dibuatnya adalah Kartinah (1940), Noesa Penida (1941)
dan sebagainya.

Kedatangan Anjar dan teman-temannya itu ternyata juga


masih menyisakan keraguan akan peran orang Indonesia
dalam pembuatan film di Indonesia. Kehadiran mereka
ternyata tidak serta merta menjadikan penentu terhadap
film-film yang dibuatnya. Mengenai film-film yang dibuat
oleh orang Indonesia seperti Air Mata Mengalir di Tjitarum
(Rustam St Palindih-1948) dan Andjar Asmara, Djauh di
Mata (1948), Usmar Ismail menulis :
………..
Sebenarnya baik Rustam maupun Andjar
adalah adalah dari satu sekolah, tjuma pada
Roestam tampak lebih njata pengaruh
Tionghoa, sedang Andjar tidak bebas karena
pengaruh produser Belanda.

Juga yang dicatat oleh Armijn Pane :


……….
Djuga Andjar Asmara pada realitetnja hanja
mendjadi memegang pimpinan permainannja
sadja, sedang regie sebenernja dipegang oleh
pihak djuru kamera, merangkap pimpinan
produksi, jaitu orang Belanda.

Artinya bahwa masuknya orang-orang Indonesia ini


dalam dunia film pada tahun 1940-an memang belum
sepenuhnya bisa dikatakan sebagai penentu atau
pengambil keputusan secara artistik terhadap film yang
akan dibuat. Kehadirannya tidak lebih hanya sebagai
pelopor bagi masuknya orang-orang Indonesia lainnya
untuk masuk ke dalam dunia film selanjutnya. Namun
dalam sisi yang lainnya –bukan sisi pembuat film–
Misbach Yusa Biran menyatakan hal berbeda tentang
peran Andjar Asmara ini. Andjar dianggap berupaya
mempengaruhi pandangan akan posisi-posisi orang
Indonesia yang menjadi sama pentingnya dengan
pembuat film dari luar. Dalam iklan film Njai Dasima
tercantum kalimat : Semoa (semua –penulis) Rol
Dipegang oleh Bangsa Indonesia Sendiri.

Terlihat bahwa pada masa-masa ini peran pembuat film


Indonesia belum berada dalam posisi signifikan, namun
lebih kepada upaya meyakinkan orang-orang akan peran
Indonesia dalam film melalui upaya komunikasi media –
Andjar, melalui teks di iklan film maupun tulisannya di
media yang banyak sekali menulis tentang perusahaan
film Tan’s Film yang mulai disebutnya banyak
memanfaatkan peran-peran orang Indonesia.

Bermula dari diskusi-diskusi tentang film yang dilakukan di rumah Usmar,


jalan Sumbing No.5 Yogyakarta dan juga kekagumannya pada orang-orang Jepang
(yang datang ke Indonesia tahun 1942 dengan misi “membebaskan” negara-negara
asia dari penjajahan Barat) yang paham betul bagaimana memanfaatkan media film
sebagai perangkat propaganda, maka ketertarikan Usmar pada dunia film dimulai.
Bahkan Jepang punya peran besar dalam tumbuhnya kegiatan kesenian (film) dengan
dibentuknya Pusat Kebudayaan (dalam bahasa Jepang dinamakan Keimin Bunka
Sidhoso –Pusat Pendidikan Populer dan Pengembangan Kebudayaan) di Jakarta
April tahun 1943, yang beberapa tugasnya adalah mengembangkan kebudayaan
tradisi Indonesia dan mendidik dan melatih seniman Indonesia (Biran, 2009:326).
Profesor Kenichi Goto, Guru Besar Universitas Waseda, yang dikutip oleh Rosihan
Anwar bahkan melukiskan hubungan Indonesia-Jepang ini sebagai :

Hoeboengan antara Djepang-Indonesia pada periode 1942-


1945 ibarat doea orang sahabat jang begitu intim tidoer satu
randjang, dan bermimpi tentang doea hal jang sangat berbeda
(Tjasmadi, 2008:28-29).
(Hubungan antara Jepang-Indonesia pada periode 1942-1945
ibarat dua orang sahabat yang begitu intim tidur satu ranjang, dan
bermimpi tentang dua hal yang sangat berbeda -dibahasakan ulang
oleh penulis).
Namun memang pendirian organisasi ini kerap dituding hanya upaya Jepang
untuk mempengaruhi orang-orang Indonesia agar “kebaikan” Jepang. Karena
ternyata lembaga dibalik pendirian Pusat Kebudayaan ini adalah Sindenbu (Badan
Propaganda dan Penerangan Jepang).
Usmar mengawali kegiatannya di dunia film sebagai asisten sutradara Andjar
Asmara di SPFC. Selanjutnya ia dipercaya penuh untuk menjadi sutradara pada
perusahaan yang sama. Dari tangannya lahir 2 (dua) film, Harta Karun (1949) dan
Tjitra (1949), sebelum akhirnya ia memutuskan untuk membuat film dari perusahaan
sendiri (baca : Indonesia), Darah dan Doa (Long March).
Hari pertama pengambilan gambar untuk produksi film ini dilakukan tepat
pada tanggal 30 Maret tahun 1950. Tanggal ini kemudian menjadi hari istimewa bagi
perfilman Indonesia dengan ditetapkannya sebagai Hari Film Nasional. Dasar
pertimbanganya, seperti yang tertera dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia
adalah karena untuk pertama kalinya film cerita dibuat oleh orang dan perusahaan
Indonesia –hanya dua faktor pembentuk. Selain itu juga dalam butir keputusannya
dinyatakan bahwa penetapan Hari Film Nasional ini sebagai upaya meningkatkan
kepercayaan diri, motivasi para insan film Indonesia serta untuk meningkatkan prestasi
yang mampu mengangkat derajat film Indonesia secara regional, nasional dan
internasional. Ada jarak yang cukup jauh antara tahun pembuatan film ini -1950 dengan
ketetapan pemerintah -1999, sekitar 49 tahun. Hal ini memperlihatkan betapa
pengakuan negara terhadap perfilman nasional melalui proses periode waktu yang
panjang, hampir setengah abad.
Cerita film Darah dan Do’a ini berdasarkan kisah nyata yang ditulis Sitor
Situmorang tentang perjalanan panjang prajurit RI (long march) yang diperintahkan
kembali, dari Yogyakarta ke Jawa Barat, selain tentunya inspirasinya terhadap Tentara
Merah Tiongkok “The Long March”.
Banyak argumen yang menyatakan bahwa perfilman nasional Indonesia
dimulai dari film karya Usmar Ismail ini. Salah satunya dari Misbach Yusa Biran. Film-
film sebelum karya Usmar ini lahir disebutnya belum memiliki kesadaran nasional.
Kesadaran ini diterjemahkan penulis sebagai motif dari pembuatnya yang hampir
semuanya berlandaskan sikap nasionalis terhadap negaranya. Misbach mengutip hasil
wawancaranya dengan Usmar Ismail bahwa ia (Usmar Ismail -penulis) akan membuat
film yang bisa mencerminkan national personality, kepribadian bangsa.
Lainnya, dalam kumpulan tulisannya Usmar Ismail juga pernah menyatakan
bahwa film Darah dan Do’a ini merupakan film yang pertama kalinya menceritakan
tentang kejadian-kejadian yang nasional sifatnya. Dan tidaklah mengherankan ketika
akhirnya film ini mendapatkan kehormatan untuk diputar di tempat kediaman Bung
Karno (Soekarno –Presiden Indonesia Pertama) yang baru, pertengahan tahun 1950.
Disebutkan bahwa tempat putar yang dimaksud adalah Istana Merdeka yang baru
beberapa bulan ditempatinya.
Mengenai pembuatnya, H. Rosihan Anwar (meninggal dunia pada hari kamis,
14 April 2011) dalam makalah pengantar pada pertunjukan film retrospektif Usmar
Ismail di Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986 juga menuturkan bahwa sifat-sifat
utama dan nilai-nilai yang dianutnya (Usmar Ismail –pen.) ialah patriotisme atau cinta
tanah air, nasionalisme yang tinggi dan idealisme yang menyala-nyala atau hidup
dengan bercita-cita. Memang tidak ada korelasi langsung antara sifat dan sikapnya itu
dengan latar belakangnya sebagai tentara. Tapi setidaknya bisa dijelaskan bahwa
keberadaannya di medan pertempuran dengan Belanda telah menginiasinya menjadi
orang yang peduli terhadap tanah airnya. Usmar memang pernah tercatat sebagai
tentara Indonesia antara tahun 1945 sampai 1949 dengan pangkat Mayor TNI di
Yogyakarta.
Namun perlu diteliti lebih jauh bahwa dengan latar belakang seorang pembuat
film dengan serta merta menggiring pada hasil sebuah film yang sesuai dengan
karakteristik latar belakangnya. Bahkan hal ini pula yang pernah menjadi perdebatan
antara Usmar Ismail dan teman-temannya. Usmar dianggap kurang nasionalis karena
pernah bekerja dengan perusahaan film Belanda SPFC (South Pacific Film Corp).
Meskipun dibantah oleh Usmar melalui beberapa alasan bahwa ia menerima pinangan
dari SPFC karena merupakan persyaratan yang harus dijalaninya ketika ia dilepaskan
dari penjara. Selain itu ia juga memang ingin mempraktekkan teori-teori yang
diperolehnya dari masa pendudukan Jepang, dan kursus-kursus film selama di
Yogyakarta (1946-1947). Yang paling utama adalah pernyataan Usmar sendiri bahwa ia
dijanjikan untuk bisa bekerja secara merdeka di SPFC, meskipun akhirnya
menimbulkan pertikaian antara Usmar dan produser SPFC yang akhirnya membuatnya
meninggalkan SPFC (Ismail, 1983:57).
Nampaknya kemandirian menjadi satu kata untuk menemukan konsep
perfilman nasional Indonesia dimana semua tidak lagi terikat pada berbagai hal yang
sifatnya “Belanda”. Usmar menjadi pelopor kesadaran itu.
Tema-tema nasional-bangsa dalam film nampakya belum mampu menjawab
tuntutan atas konstruksi awal film nasional seperti yang ditemukan dalam Loetoeng
Kasaroeng. Termasuk pernyataan Usmar perihal “nasionalisme” dalam tema film yang
pernah dibuat sebelumnya. Ia menyebutkan bahwa kesadaran nasional justru telah
mulai ada dalam filmnya yang berjudul Tjitra (yang merupakan nama pahlawan
perempuan Indonesia). Film Tjitra menurutnya (Usmar) sebenarnya sudah mulai
menunjukkan wajah “nasional”. Lengkapnya Usmar menulis demikian :

“Film ‘Tjitra’ adalah yang pertama menjadi pertanyaan tentang


kesadaran kebangsaan seperti yang sudah lama kelihatan pada hasil-
hasil kesusteraan, seni rupa dan seni suara”.

Bisa disimak selanjutnya apa yang disampaikannya :

“Meskipun “Tjitra” mendapat sambutan yang baik dari pihak pers,


terus terang film itu terlalu banyak mengingatkan saya kepada ikatan-
ikatan yang saya rasakan sebagai pengekangan terhadap daya kreasi
saya. Karena itu saya lebih senang menganggap “Darah dan Do’a”
sebagai film saya yang pertama, yang seratus persen saya kerjakan
dengan tanggung jawab sendiri”.

Ketika tema-tema kebangsaan (nasional) tidak mampu menjawab tantangan


sebagai film nasional Indonesia, maka sikap-sikap Usmar Ismail yang otonom,
mandiri dan bebas dari campur tangan manapun dalam membuat film –selain
Indonesia- disinilah film nasional bermula. Sehingga ada dua elemen yang menjadi
pendukungnya : Usmar Ismail dan Darah dan Doa, sekalipun tema film ini
wujudnya dikenali secara universal, bukan tentang identitas budaya Indonesia. Untuk
itulah satu pendukung lain adalah wacana bagi film nasional yang diwujudkan dalam
performa global –tentang revolusi perjuangan, yang hampir dianut oleh seluruh
bangsa di dunia.
Gambar 5. Usmar Ismail

l
Sumber foto : www.ganlob.com
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Abdullah, Taufik, Dr., et al., 1993. Film Indonesia Bagian I (1900-1950), Jakarta :
Dewan Film Nasional

Anderson, Benedict, 1991. Imagined Communities ; Reflection on the Origin and


Spread of Natinalism, Revised Edition, London-New York, Verso

Anderson, Benedict, 2001. Imagined Communities (diterjemahkan menjadi


Komunitas-Komunitas Terbayang). Yogyakarta : Insist Press dan Pustaka
Pelajar

Barker, Chris, 2004. Cultural Studies : Theory and Practice 2nd edition, London :
SAGE Publications Ltd

Barker, Chris & Galasinski, Dariusz, 2001. Culutral Studies and Discourse Analysis
: a dialoque on language and identity, London : SAGE Publications Ltd

Biran, Misbach Yusa, 2009. Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film di Jawa, Jakarta :
Komunitas Bambu dan Dewan Kesenian Jakarta

Bordwell, David and Kristin Thompson, 1994. Film Art : An Introduction, USA :
McGraw-Hill Inc.

Boswell, David & Evans, Jessica (eds.). 2002. Representing the Nation : Histories,
Heritage and Museums, London And New York : Routledge

Carroll, Noel & Jinhee Choi (eds.). 2006. Philosophy of Film and Motion Picture :
An Antology, Blackwell Publishing
Cheng, Khoo Gaik & Barker, Thomas, 2011, Mau Dibawa ke Mana Sinema Kita?,
Jakarta : Salemba Humanika

Gouda, Frances, 2007. Dutch Culture Overseas : Praktik Kolonial di Hindia


Belanda, 1900-1942, Jakarta : Serambi

Gronemeyer, Andrea, 1998. Film, New York : Barron’s Educational Series, Inc.

Grosby, Steven, 2005. Nationalism : a very short introduction, New York : Oxford
University Press

Hall, Stuart (eds.). 1997. Representation : Cultural Representations and Signifying


Practices, London : The Open-University

Hayward, Susan, 2000. Cinema Studies : The Key Concepts, London and New York
: Routledge

Heider, Karl G., 1991. Indonesian Cinema : National Culture on Screen, Honolulu :
University of Hawaii Press

Ismail, Usmar, 1983. Mengupas Film, Jakarta : Penerbit Sinar Harapan

Kristanto, JB., 2007. Katalog Film Indonesia 1926-2007, Jakarta : Penerbit Nalar

Poeze, Harry A., 2008. Di Negeri Penjajah : Orang Indonesia di Negeri Belanda
1600 – 1950 (terjemahan dari In Het Land van de Overheerser :
Indonesiërs in Nederland 1600 – 1950, Koninklijk Instituut voor Taal-,
land- en Volkkendunde, Leiden, 1986) Jakarta : Kepustakaan Populer
Gramedia dan KKITLV

Ricklefs, M.C., 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta : Serambi


Said, Salim, 1989. Profil Film Indonesia, Jakarta : Pustakakarya Grafikatama

Sen, Khrisna, 2009. Kuasa Dalam Sinema : Negara, Masyarakat dan Sinema Orde
Baru, Yogyakarta : Penerbit Ombak

Siagian, Gayus, 2010. Sejarah Film Indonesia, Jakarta : FFTV IKJ

Smith, Geoffrey Nowell, 1996. The Oxford History of World Cinema, New York :
Oxford University Press

Storey, John, 1996. Cultural Studies And The Study Of Popular Culture : Theories
And Methods, Edinburgh : Edinburgh Univ. Press

Tjasmadi, HM Johan, 2008. 100 tahun Bioskop di Indonesia (1900-2000), Bandung


: Megindo Tunggal Sejahtera

Artikel
Aneka, 1950. Long March : Darah dan Do’a, Majalah Aneka No.14/Th.I/15
September 1950, Hlm.14
Aneka, 1950. The Long March (Darah dan Do’a) (Iklan Pertunjukan Film –
Penulis), Jakarta : Majalah Aneka No.13/Th.I/1 September 1950, Hlm.16

Aneka, 1950 The Long March of Siliwangi (Darah dan Do’a), Jakarta : Majalah
Aneka No.12/Th.I/17 Agustus 1950, Hlm.10

Aneka, 1950. Tjiptaan Pertama “Perfini” Darah dan Do’a, Jakarta : Majalah Aneka
No.2/Th.I/1Maret 1950, Hlm.16

Anwar, H. Rosihan, Refleksi Hari Film Nasional, Jakarta : Kompas, 30 Maret 1998
Api, Hari Film Nasional, Kelahiran Film Pertama tg. 30 Maret, Harian Api, 1
Oktober 1965

Baskara, Nusa, 1988. Usmar Ismail : Tragedi Sang Seniman, Angkatan


Bersenjata, Sabtu, 9 Januari 1988, Hlm.2

Pikiran Rakyat, 1988. “Darah & Do’a” Tonggak Sejarah Sinema Indonesia, Pikiran
Rakyat, Minggu 3 April 1988

Ismail, Usmar, 1963. Film Saja Jang Pertama, Jakarta : Intisari No.7/Th.I/17
Agustus 1963, Hlm.121

Kompas, 1981. “Darah dan Do’a” dan Api PON, Jakarta : Kompas, 13 September
1981

Kompas, 1998, Semangat, Kunci Gairahkan Perfilman Nasional, Jakarta : Kompas,


31 Maret 1998

Merdeka , 1994. Menyongsong Hari Film Nasional, 30 Maret : Rekonstruksi


Pemikiran Usmar Ismail, Merdeka, 30 Maret 1994

Purnama, Hari Film….., Madjalah Purnama, No.6 Tahun 1963

Sinar Harapan, Sekitar Persoalan Hari Film Nasional, Jakarta : Sinar Harapan, 5
Agustus 1972

Wahjoe, L. Imam, 2003. Usmar Ismail : Pelopor dan Bapak Film Indonesia, Profil
Maestro Indonesia Vol.1, PT. Indonesia Raya Audivisi, 2003, Hlm.96
DATA TEKNIS FILM

Darah dan Doa (The Long March)


Produksi tahun 1950, Perfini
Durasi 128 menit
Hitam – Putih

Produksi : Perfini, Spectra Film Exchange


Sutradara : Usmar Ismail
Skenario : Usmar Ismail
Ide Cerita : Sitor Situmorang
Kamera : Max Tera
Artistik : Basuki Resobowo
Editor : Max Tera
Musik : GRW Sinsu
Suara : Sjawaludin
Pemain : Del Juzar, Farida, Aedy Moward, Sutjipto, Awal, Johanna, Suzanna,
Rd. Ismail, Muradi, Muhsjirsani, Ella Bergen, A. Rachman

Sinopsis :
Menceritakan tentang perjalanan pasukan Indonesia dari Yogyakarta menuju
Jawa Barat. Pasukan itu dipimpin seorang Kapten bernama Sudarto. Dalam
perjalanannya banyak terjadi peristiwa pertempuran, baik dengan tentara Belanda,
PKI maupun pasukan DI (TII).
Dalam film ini juga terdapat sebuah plot yang mengisahkan sosok pribadi
Kapten Sudarto. Digambarkan Sudarto sebagai lelaki yang mudah jatuh cinta pada
wanita. Bahkan beberapa anak buahnya merasa Sudarto tidak pantas sebagai seorang
pemimpin karena sikapnya yang lemah dalam menghadapi musuh-musuhnya. Ia
justru dianggap lebih asik dengan kesenangan pribadinya.
Di akhir film Sudarto tertembak oleh seorang PKI, yang berusaha
membalaskan dendamnya karena sahabatnya ditembak mati oleh pasukan Sudarto.
Dalam keadaan kritis Sudarto menyesali sikap lemahnya tersebut, sekaligus bangga
dengan dirinya karena sampai menjelang akhir hayatnya ia tidak pernah menyetujui
adanya perang saudara sesama bangsa Indonesia. Karena menurutnya musuh
sesungguhnya adalah Belanda.
TENTANG PENULIS

Arda Muhlisiun. Lahir di Jakarta, 28 Januari 1976. Menyelesaikan kuliah pada


Program Studi film di Fakultas Film dan Televisi (FFTV-IKJ) peminatan kajian film
pada tahun 2001. Kemudian menyelesaikan Program Pascasarjana di Institut
Kesenian Jakarta pada tahun 2013. Saat ini (2016) mengajar dan menjabat sebagai
Wakil Dekan Bidang Akademik di FFTV-IKJ. Selain itu juga mengajar pada jurusan
Film dan Televisi (FTV) di President University.

Pernah membuat tulisan berjudul Film dan Persoalan Kemanusiaan : Dalam


Wacana Minoritas dan Wacana Dominan, yang tertuang dalam Himpunan Kertas
Kerja (Proceeding) di Universitas Sains Islam Malaysia pada tahun 2016, menjadi
tim penulis buku Penyemaian Indsutri Film Indonesia, FFTV-IKJ Press terbitan
tahun 2013, menulis artikel Recounting National Cinema of Indonesia, dalam buku
Antologi South-East Asian Cinema/Le cinema d’Asie du Sud-Est, AsiaExpo yang
diterbitkan di Lyon Perancis pada tahun 2012, menulis artikel berjudul Mengurai
(Ulang) Perfilman Nasional Indonesia, Majalah Moviegoers, edisi 005/Juni/2011,
menulis artikel Pentingnya Belajar Film di Sekolah, Majalah Delta Film, edisi
03/I/31 Juli 2010, menulis artikel di Majalah Gong edisi 108/X/2009 berjudul
Membaca Tanda : partai peserta pemilu dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai