Anda di halaman 1dari 13

POLITIK SEKSUAL

DALAM INDUSTRI FILM INDONESIA, 1950-1992

RINGKASAN TESIS

Untuk memenuhi sebagian persyaratan


mencapai gelar Master dalam Ilmu Sejarah

Oleh:
INDIRA ARDANARESWARI
13/356082/PSA/07641

PROGRAM MASTER DEPARTEMEN SEJARAH


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016
POLITIK SEKSUAL DALAM INDUSTRI FILM INDONESIA, 1950-1992
Oleh: Indira Ardanareswari

Seksualitas di dalam media tidak dapat dipisahkan dari cara

berpikir industrialis. Sejak fotografi pertama kali di temukan di negara-

negara Barat, semenjak itu pula representasi seksual mulai dibentuk

terutama dengan menggunakan tubuh perempuan. Erotisme pada media

tidak dapat dipisahkan dari citra, tanda dan konsumsi.

Di dalam lingkungan masyarakat industri, hal demikian dapat

dipahami secara sederhana dengan terdesaknya kaum laki-laki untuk

meningkatkan dan mempertahankan status sosial dengan jalan menahan

sifat “liar”-nya terhadap bentuk-bentuk petualangan seksual di luar

pernikahan. Demi mengkampanyekan hal ini, perempuan direduksi

semata-mata berdasarkan tubuh yang dierotiskan melalui industri media

yang dipenuhi tenaga kerja pria sehingga menciptakan ekonomi libido.

Kemenangan seksualitas laki-laki ini dapat diketemukan di pelbagai

instrumen seperti film dan sastra.

Selain berkaitan dengan ekonomi, wacana tentang seks kemudian

dapat dikaitkan dengan konstruksi tingkah laku politis. Proses demikian

dapat ditelusuri pada sejarah perfilman dan politik Indonesia sejak pasca

kemerdekaan. Bermula dari kesulitan industri film di masa-masa awal

1950an kemudian berubah menjadi persaingan yang dikelola di bawah

politik kebudayaan Orde Baru.

Demi tujuan mempertahankan diri dari bentuk-bentuk ideologi

asing, negara merasa bertanggungjawab mengarahkan ide dan gagasan

masyarakat, dimulai dari media populer seperti film. Dari titik ini, imaji

1
seks mulai diatur demi membentuk perilaku dengan menekan pemikiran

kritis generasi muda (mahasiswa) untuk melupakan hasrat melawan

kepada rezim yang berkuasa.

Daya Tarik Seksual dalam Industri Film Modern

Membicarakan perfilman pada konteks global tidak luput menyoal

jaringan industri film dunia yang rumit dan kompleks. Indonesia mulai

aktif berkontribusi pada kanal industri film global ketika kesadaran

berbangsa mulai disematkan sebagai identitas pada industri kesenian di

tahun 1950an. Orang-orang film aktif membaur dalam forum film dan

festival film Internasional untuk memperkenalkan identitas nasional.

Aspek ekonomi perfilman menjadi hal pertama yang dinasionalkan demi

tujuan ini. Hasilnya ialah bermunculannya nama-nama serta ciri-ciri

Indonesia pada fiksi gambar bergerak yang disebut sebagai film nasional.

Alih-alih menampilkan identitas nasional, kondisi ekonomi dan

politik yang masih sulit tidak mengijinkan perfilman Indonesia masuk ke

taraf kesenian realis. Pemerintahan kala itu belum terlampau menaruh

perhatian besar di bidang film. Oleh karenanya, permodalan datang dari

swasta khususnya kelompok pengusaha minoritas. Percampuran usaha

dengan minoritas Tionghoa dan India terjadi dengan segera dan film

menjadi komoditas industri yang kompleks seiring terciptanya rantai

jaringan usaha dan permodalan. Akibatnya corak perfilman menjadi

beragam antara menurut kekuatan kapital produser minoritas atau

idealisme kesenian bangsa Indonesia. Kompromi pun dilaksanakan dan

perusahan-perusahaan film di Indonesia yang terdiri dari importir,

2
distributor dan produser, baik yang komersialis maupun yang idealis

membaur ke dalam wadah PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia).

Dengan demikian, sampai pada tengah tahun 1950an gagasan industri

perfilman dapat mencapai taraf yang lebih baik.

Pada tengah periode 1950an, impor film Amerika meningkat berkat

serangkaian lobi yang dilakukan serikat distributor film Amerika. Berkat

keinginan partisipasi pada kanal perfilman global, perfilman di dalam

negeri turut berkiblat pada tradisi perfilman Hollywood. Kocondongan ini

berperan menggeser norma masyarakat film dimulai dari para karyawan

film sampai para bintang film. Secara tidak disadari mereka menjadi

agen-agen budaya pop dan gaya hidup modern selayaknya yang

digambarkan melalui film-film impor. Produser dan sutradara populer

berduyun-duyun membuat kisah-kisah percintaan dengan menggali

keintiman antara laki-laki dengan perempuan serta memanfaatkan

kecantikan dan kelincahan perempuan muda agar film terasa menarik.

Kecondongan ini salah satunya ditunjukan melalui film populer Tiga Dara

di tahun 1956, yang disebut sebagai hasil kompromi Usmar Ismail akibat

sulitnya meloloskan film-film aliran realis dari pengawasan sensor film.

Kesulitan industri menemukan formula yang tepat di hadapan

sensor film di era Seokarno ini tergambar pada film yang dibuat segera

setelah berakhirnya revolusi. Tepat di tahun 1950, muncul sebuah film

berjudul Antara Bumi dan Langit, hasil kerja sutradara bernama Huyung

bersama penulis Armijn Pane. Sebagaimana kisahnya mengenai kisah

cinta antara gadis Indo bermana Grace dengan pribumi Abidin, publikasi

filmnya pun berupaya menangkap kemesraan antar keduanya. Namun,

3
usaha ini menjadi sandungan ketika sebuah foto publikasi saat kedua

tokohnya berpelukan dan berciuman diterpa gelombang protes pemuda

Islam di Medan. Lembaga Sensor Film berinisiatif menahan peredarannya

serta menganjurkan pembuat film untuk melakukan revisi.

Berkaca pada beberapa format di atas, jelang pertengahan 1950an,

daya tarik seksual pada publisitas film sudah menjadi gagasan yang

menarik perhatian para pengusaha film. Para pemeran perempuan

menikmati proses ini sebagai bagian dunia kerja pada wilayah publik dan

mulai bersikap terbuka terhadap masalah-masalah seksualitas dan

keintiman yang sebelumnya tabu. Dalam hal ini, Nurnaningsih

merupakan aktris Indonesia pertama yang mengutarakan gagasan ini di

tahun 1954. Sebagai hasilnya karirnya meredup saat ideologi komunis

menjadi semakin populer pasca tahun 1955. Saat terjadi duplikasi

massal film dalam negeri dari film asing pasca rekapitalisasi industri

perfilman di bawah Orde Baru, penyerapan tradisi ini tidak terlampau

sulit dicapai.

Dari Apresiasi ke Restriksi

Pada akhir 1950an, infiltrasi serikat distributor Amerika terhadap

perfilman dalam negeri menimbulkan pertentangan dengan kelompok

kiri. Kalangan pengusaha yang tergabung dalam PPFI dituduh sebagai

agen-agen perusak yang menggerus moral menggunakan tradisi kapitalis

Amerika melalui film. Kondisi ini diperkeruh setelah melewati tengah

tahun 1950an, saat-saat klasifikasi film-film impor mulai dilakukan

4
pemerintahan yang terdiri dari simpatisan PKI, terutama film-film dari

negara Old Established Forces seperti Amerika lebih diawasi.

Kegaduhan politik berlarut hingga jelang pertengahan 1960an

dengan jalan menyerang komponen-komponen perfilman yang bertalian

dengan perfilman Amerika, salah satunya didapat dari para pembuat

filmnya yang mengenyam sekolah film di Hollywood seperti para pejabat

PPFI. Orasi-orasi kebudayaan meluncur dengan menyerang unsur-unsur

Hollywood dengan merinci kejahatan film Amerika dengan sebutan

propaganda perang, raja rasialis internasional, politik garong dan cabul.

Di tengah kekacauan politik, industri film hanya berjalan di tempat.

Publisitas film yang semula meningkat berkat upaya industri menjual

daya tarik paras dan tubuh perempuan melalui opini tentang ekspresi

seksual serta foto-foto publikasi dengan segera berhenti. Sikap represif

ini salah satunya berkat suara tidak berkenan Soekarno terhadap krisis

kesusilaan pengusaha film Indonesia saat membuat film-film dansa yang

menampilkan keelokan tubuh perempuan, dalam malam resepsi PARFI

(Persataun Artis Film Indonesia) di tahun 1956.

Transisi Zaman, Transisi Perfilman

Menurut sejumlah seniman film Orde Baru, kebebasan ekspresi

begitu sulit didapat pada periode pemerintahan Soeharto. Pendapat ini

tidak seharusnya hanya ditujukan pada represi masa Orde Baru. Sebab

perfilman modern Indonesia sejak tahun 1950 pada hakikatnya bersifat

resistens terhadap kondisi sosial-politik ditunjukan dengan pertaruhan

para pembuat film berhadapan dengan sensor dengan jalan membuat

5
film impor sebagai standar. Pada masa Orde Baru, resistensi itu dibentuk

dengan mengkritik otoritas melalui industri kesenian. Jadi, keluhan dan

peluang resistensi seniman Orde Baru pada hakikatnya merupakan

pengulangan dari periode-periode sebelumnya.

Pembentukan sikap resistensi dapat dijelaskan apabila dikaitkan

dengan restriksi disambung perbaikan ekonomi di masa-masa peralihan

ke Orde Baru pada tengah 1960an. Puncak restriksi di masa Demokrasi

Terpimpin terjadi pada saat AMPAI ditumbangkan tahun 1964. Pada

saat-saat itu pula, perusahaan film lokal berjatuhan karena dukungan

permodalan yang semula didapat dari importir film beserta pengusaha

bioskop harus terpangkas setelah film impor tidak dapat masuk.

Pembuatan film lantas terkonsentrasi pada sutradara-sutradara Lekra

serta atas sponsor bank dan unit lembaga pemerintah. Sistem produksi

sosialis ini ditinggalkan begitu saja ketika film impor masuk kembali

mengikuti peningkatan aktivitas impor sejak tahun 1967.

Kembali perfilman berdiri di bawah kekuatan kapital pengusaha

swasta di sektor ekspor-impor. Kondisi yang terjadi di tahun-tahun awal

Orde Baru lebih intens dibandingkan penguasaan modal minoritas pada

periode sebelumnya. Kebijakan melibatkan diri ke tingkat ekonomi global

membawa masuk investasi-investasi asing di bidang perfilman terutama

yang berasal dari Hong Kong dan Taiwan. Dampak kemunculan film-film

Indonesia bercorak asing pun tidak terelakan sebagai akibat penerapan

pola produksi perfilman global.

Unsur perfilman global yang nampak jelas ialah toleransi pada isu

dan permasalahan seksualitas. Sekitar tahun 1960an, perfilman Amerika

6
dilanda krisis yang kemudian menciptakan pola produksi film eksploitasi

dengan mengetengahkan tema seks. Pola produksi berlandas pemenuhan

kesenangan ini dibawa masuk ke Indonesia bersama gelombang film

impor. Sebagaimana unsur seksual itu dikelola di Hollywood, industri

perfilman dalam negeri pun memanfaatkannya untuk mengentaskan

krisis industri pasca blokade film asing di tahun 1964 sampai 1967. Di

penghujung 1960an, film-film buatan swasta seperti Djakarta – Hong

Kong – Macao, Orang-orang Liar, serta beberapa hasil kerja DPFN tidak

dapat menutup diri dari unsur seksualitas.

Timbulnya seksualitas sebagai kecenderungan baru perfilman Orde

Baru bertepatan dengan hadirnya negara sebagai pengatur sekaligus

penyalur kredit industri. Perhatian ini tidak terbatas pada masalah

kapital, namun juga fasilitasi. Produser-saudagar Tionghoa Hendrick

Gozali sampai terheran sekaligus takjub saat Ali Sadikin membebaskan

pajak rekreasi untuk film buah produksinya bersama sutradara Turino

Djunaidy di tahun 1970 berjudul Bernafas dalam Lumpur yang bertutur

tentang seks dan pelacuran. Seolah-olah euforia seksual turut

menghinggapi pejabat pemerintahan Orde Baru. Sebelumnya sepanjang

periode pemerintahan Soekarno, pemerintah cenderung memunggungi

bidang ekonomi dan industri film sehingga perfilman lebih banyak

bergerak secara swasta. Fakta ini menyangga asumsi bahwa kedekatan

pemerintah Orde Baru di bidang industri film andil dalam membuka

apresiasi seksualitas.

Bagi seniman film murni mempertunjukan seks berdiri di antara

apresiasi dan hasil kompromi dengan pengusaha yang memegang akses

7
kapital produksi. Kompromi ini harus dilakukan lantaran latarbelakang

pemerintahan militeristik Orde Baru yang menolak ideologi-ideologi yang

dapat mengguncang stabilitas sosial-politik. Di lain pihak, produser dan

pemodal terdesak persaingan yang timbul akibat kebijakan ekonomi Orde

Baru yang reaktif, sehingga terpaksa melicinkan pemasaran film-filmnya

dengan mengedepankan unsur romantis dan cenderung seksual. Maka

bagi para tenaga ahli pembuat film pilihan berkarya cukup terbatas

sehingga terpaksa turut mengecap kebudayaan populer yang menjadi

dasar-dasar industri perfilman mutakhir. Mulai dari penulis novel,

jurnalis dan kelompok tenaga autodidak yang padat memenuhi posisi-

posisi kreatif perfilman nampak menanamkan sikap apresiatif kepada

imaji seksual.

Politik Seksual

Untuk memperkokoh tradisi keluarga inti dan kebiasaan masyarakat

kapitalis, pemerintah memiliki kepentingan tersendiri terkait seksualitas.

Hal ini berdasar pada keinginan untuk mengenyahkan ancaman sosial-

politik di tingkat sipil, sehingga membentuk masyarakat konsumeris

merupakan pilihan terbaik. Anak muda mulai diarahkan menjadi seorang

petualang cinta, salah satunya ditunjukan melalui diadakannya lomba

mengarang cerpen roman yang rutin diselenggarakan di TIM sejak awal

tahun 1970an.

Ledakan industri novel roman pop pada periode yang sama juga

dilatarbelakangi misi serupa. Film-film bertemakan percintaan anak

muda dan segala bentuk pergaulan intimnya ikut bertumbuh berkat

8
pemekaran kultur roman dan sastra populer yang dengan segera ditarik

ke layar lebar. Di atas bentuk-bentuk media pupuler, film menjadi media

yang paling ampuh membentuk pola pikir romantis generasi muda yang

kala itu duduk sebagai konsumen utama film bioskop.

Awal dasawarsa 1970an menjadi periode yang menentukan pola

penerapan kebijakan tentang seks khsusnya pada media. Kondisi ini

melahirkan inisasi penertiban seks remaja dari tingkat pemerintahan

militer sampai penolakan terhadap variasi seksual lesbianisme yang

digagas pada tema film produksi Tuty Soeprapto Romlah. Politik seksual

pada industri film ini tergambar jelas di dalam pidato Menteri Penerangan

Budiarjo di bulan Mei tahun 1971. Melaluinya tercermin keinginan

pemerintah menertibkan perilaku seksual melalui pembuatan film-film

pendidikan seks.

Film-film pendidikan seks mulai diberdayakan di tengah periode

1970an setelah pemerintah mengeluarkan ketetapan yang mengatur

perkawinan. Format film ini ditetapkan dalam surat keputusan Menteri

Penerangan sebagai film yang dapat membantu program pemerintah.

Dengan berpartisipasi membuat film-film demikian, produser film yang

mayoritas merangkap importir akan diberi kelebihan jatah impor. Berkat

kebijakan ini, produksi film pendidikan seks serta yang bertemakan

pergaulan bebas terus dipacu atas dasar keuntungan industri di atas

keyakinan memberi pembelajaran anak-anak muda. Didapati beberapa

judul yang mengetengahkan pendidikan seks pada penghujung 1970an

antara lain: Menanti Kelahiran (1976), Cacat dalam Kandungan (1978),

Bahaya Penyakit Kelamin (1978), kemudian film yang bertutur tentang

9
pergaulan bebas di antaranya: Akibat Pergaulan Bebas (1977), Akibat

Godaan (1978), Pelajaran Cinta (1979), Buah Terlarang (1979). Sebagian

besar judul-judul ini justru berupaya menampilkan aktivitas seks pada

posisi horizontal sebagai keyakinan mempertegas misi pendidikan seks.

Representasi-representasi pada film-film sepanjang tahun 1970an

kemudian menimbulkan kecondongan seksual yang akut saat memasuki

tahun 1980an. Beberapa saat setelah Kode Etik Produksi Film di sahkan

pada tahun 1981, monopoli perfilman asing kembali atas izin pemerintah

RI melalui pertalian badan-badan swasta. Indonesia kembali masuk lebih

dalam ke wilayah perfilman global yang semakin menarik film sebagai

entitas bisnis. Pada kapasitas komersialnya, perfilman hanya mampu

menyimbolkan perempuan berdasarkan kadar erotis dan sensual, di

samping itu laki-laki sebagai sosok pahlawan dan pembela, atau bahkan

hidung belang, kasar dan berkuasa. Akibatnya, film-film eksploitasi yang

membaurkan aktivitas seks dan kekerasan dengan tema-tema lokal

bermunculan dan menjadi sangat populer sepanjang 1980an. Sebut saja

judul-judul seperti Pose Beracun (1983), Permainan Tabu (1984),

Permainan yang Nakal (1986).

Demi mempertahankan kepentingan bisnis, media gambar bergerak

dijadikan arena industri raksasa dengan jalan menarik kepentingan-

kepentingan dari luar perfilman. Industri media secara umum terpusat

menjadi pendukung sektor perfilman. Tidak mengherankan perfilman

lantas dikuasai kepentingan-kepentingan pemodal dan konglomerat

sebagai hasil ekspansi industri. Mendukung jaringan yang telah tersusun

rapi, diupayakan peran jurnalis sebagai agen publikasi komersial yang

10
bertugas menyebarkan tradisi sinematik dengan merekonstruksi simbol-

simbol seksual.

Pada tahap kronis representasi seksual pada film, secara visual

tubuh perempuan hanya dibentuk secara seksual dengan menanggalkan

sifat estetika visual. Maraknya eksploitasi tubuh pada film-film sepanjang

tahun 1980an dan 1990an dilatarbelakangi akibat kepentingan ini. Di

lain tempat, kompetisi antar perempuan dalam industri film meningkat

diakibatkan adanya penyerapan tenaga perempuan besar-besaran untuk

kebutuhan peran yang menuntut keelokan tubuh. Saat industri televisi

menggambil alih perhatian tenaga-tenaga ahli perfilman, film-film pada

paruh pertama periode 1990an kehilangan warnanya dan hanya mampu

bertahan menggunakan simbol-simbol seksual yang tersisa. Selebihnya,

produser film layar lebar sepanjang sisa dasawarsa 1990an sampai

Reformasi hanya mampu membuat film-film eksploitasi. Agar sirkulasi

film produksi dalam negeri nampak ramai, film-film eksploitasi hasil

produksi sepanjang 1980an turut diedarkan kembali.

11

Anda mungkin juga menyukai