Anda di halaman 1dari 7

TEORI IMPERIALISME BUDAYA

Tugas Mata Kuliah Komunikasi Publik dan Massa

Dosen Pengampu : Nanang Mizwar Hasyim, S.Sos., M.Si

Disusun Oleh :
Maylafzafira Yuan (22102010010)
Rozanatu Dzil Izzati (22102010024)

Teori Imperialisme Budaya muncul sejak tahun 1960 dan telah menjadi topik
pembahasan di kalangan elit politik sejak tahun 1970. Perbincangan tersebut melahirkan istilah-
istilah seperti imperialisme media, imperialisme struktural, ketergantungan budaya dan dominasi,
sinkronisasi budaya, kolonialisme elektronik, imperialisme ideologis, dan imperialisme ekonomi.
Rauschenberger (2003) menyatakan bahwa pada awalnya cultural imperialism pertama kali
muncul pasca perang dunia II dengan berbagai macam nama pada saat itu, seperti halnya neo-
colonialisme, soft imperialism, dan economic imperialism. Dan istilah-istilah tersebut berubah
setelah beberapa tahun kemudian setelah mendapat pembenaran dari beberapa ahli sehingga
berubah menjadi media imperialism, structural imperialism, cultural dependency and
synchronization, electronic colonialism, ideological imperialism, dan communication
imperialism. Pernyataan Rauschenberger tersebut mengutip dari pemahaman Herbert Schiller
yang merupakan tokoh penemu teori tersebut dan tertuang dalam bukunya yang berjudul
Communication and Cultural Domination.1

Dalam bukunya, Herbert Schiller menyatakan bahwa fenomena-fenomena yang terjadi


dan memungkinkan bagi perusahaan ataupun media untuk menjadikan cara bagi negara-negara
maju untuk mendominasi negara-negara berkembang. Rumyeni (2012) menyatakan bahwa
imperialisme budaya pada umumnya juga disebut dengan imperialisme budaya Amerika Serikat
karena yang dianggap imperialisme budaya adalah berasal dari negara Amerika Serikat. Ini
seperti pendapat Rauschenberger (2003) yang mengatakan bahwa secara umumnya imperialisme
budaya merujuk kepada penyebaran dan kuasa dari produk dan budaya konsumen Amerika

1
Heldi, Y.A. (2017). Komunikasi dalam Perspektif Kebudayaan. Jurnal Perspektif Komunikasi, Vol. 01 (1).
Serikat keseluruh dunia, yang mana banyak negara mendakwa terkikisnya tradisi budaya dan
nilai lokal mereka.2

Sedangkan teori imperialisme budaya menurut Nuruddin (2007) pertama kali


dikemukakan oleh Herb Schiller pada tahun 1973. Tulisan pertama Schiller yang dijadikan dasar
bagi munculnya teori ini adalah Communication and Cultural Domination. Perspektif teori ini
menjelaskan bahwa media massa negara Barat mendominasi media di seluruh dunia.3 Teori ini
menyatakan bahwa negara Barat mendominasi mayoritas media di seluruh dunia seperti film,
berita, komik, dan lainnya.4 Ini berarti pula, media massa negara Barat juga mendominasi media
massa di dunia ketiga. Alasannya, media Barat mempunyai efek yang kuat untuk mempengaruhi
media dunia ketiga. Media Barat sangat mengesankan bagi media di dunia ketiga. Sehingga
mereka ingin meniru budaya yang muncul lewat media tersebut.

Teori ini juga menerangkan bahwa ada satu kebenaran yang diyakininya. Sepanjang
negara dunia ketiga terus menerus menyiarkan atau mengisi media massanya berasal dari negara
Barat, orang-orang dunia ketika akan selalu percaya apa yang seharusnya mereka kerjakan, pikir
dan rasakan. Perilaku ini sama persis seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari
kebudayaan Barat.5

Teori imperialisme budaya terbagi ke dalam dua model. Pertama, model Schiller yang
lebih ideologis dan yang kedua adalah model yang generik atau bersifat umum. Masing-masing
kelompok ini membangun tradisi program riset dengan jalan yang berbeda. Model pertama
dibangun oleh kelompok pendekatan ekonomi-politik yang didasarkan pada tradisi neoMarxis.
Paradigma dependensia misalnya, banyak mewarnai pendekatan awal program riset imperialisme
budaya. Sedangkan kelompok yang kedua, datang dari para ilmuwan mazhab behavioristik yang
menyodorkan program riset komunikasi dengan penekanan pada efek media, studi analisis isi
dan studi arus berita.6

2
Ibid.
3
Muntadliroh, M. (2018). Komunikasi multikultural di media televisi Indonesia: Kontrol pemerintah atas
imperialisme budaya. Jurnal Penelitian Komunikasi dan Opini Publik, Vol. 22(1).
4
Melisa, A. (2017). Imperialisme budaya melalui perangkulan budaya lokal di balik film Java Heat. Jurnal
Komunikasi, Vol. 11 (2).
5
Noviana, S. (2016). Imperialisme budaya dalam media. Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan,
Vol. 19 (3).
6
Malik, D.M. (2014). Globalisasi dan imperialisme budaya di Indonesia. Journal Communication, Vol. 01 (2).
Dalam perspektif teori ini, ketika terjadi proses peniruan media negara berkembang dari
negara maju, saat itulah terjadi penghancuran budaya asli di negara ketiga. Kebudayaan Barat
memproduksi hampir semua mayoritas media massa di dunia ini, seperti film, berita, komik, foto
dan lain-lain. Dominasi ini dapat terjadi didukung oleh:

1. Dunia Barat mempunyai uang atau modal.

Dengan uang, mereka akan bisa berbuat apa saja untuk memproduksi berbagai ragam sajian yang
dibutuhkan media massa. Bahkan media Barat sudah dikembangkan secara kapitalis. Dengan
kata lain, media massa Barat sudah dikembangkan menjadi industri yang juga mementingkan
laba atau keuntungan.

2. Dunia Barat mempunyai kemapanan atas teknologi.

Dengan teknologi modern yang mereka punya memungkinkan sajian media massa diproduksi
secara lebih baik, meyakinkan dan seolah terlihat nyata. Contohnya saja dalam penciptaan film-
film produksi Amerika Serikat yang bersifat pencitraan bagi Amerika Serikat itu sendiri. Semua
sudah bisa dikerjakan dengan teknologi komputer yang seolah kejadian nyata. Semua itu bisa
diwujudkan karena negara Barat mempunyai teknologi modern. Sehingga negara dunia ketiga
tertarik untuk membeli produk Barat tersebut. Oleh karena itu, membeli produk itu jauh lebih
murah jika dibandingkan dengan membuatnya sendiri.

Dampak selanjutnya, orang-orang di negara dunia ketiga yang melihat media massa di
negaranya akan menikmati sajian-sajian yang berasal dari gaya hidup, kepercayaan dan
pemikiran. Kalau kita menonton film Amerika, berbagai gaya hidup masyarakatnya, kepercayaan
dan pemikiran orang Amerika ada dalam film itu. Semua itu dipengaruhi oleh sajian media
massa Barat yang masuk ke dunia ketiga.

Selanjutnya, negara dunia ketiga tanpa sadar meniru apa yang disajikan media massa
yang sudah banyak diisi oleh kebudayaan Barat tersebut. Saat itulah terjadi penghancuran
budaya asli negaranya untuk kemudian mengganti dan disesuaikan dengan budaya Barat.
Kejadian ini bisa dikatakan terjadinya imperialisme budaya Barat. Imperialisme itu dilakukan
oleh media massa Barat yang telah mendominasi media massa dunia ketiga. Salah satu yang
mendasari munculnya teori ini adalah bahwa pada dasarnya manusia tidak mempunyai
kebebasan untuk menentukan bagaimana mereka berpikir, apa yang dirasakan dan bagaimana
mereka hidup. Beberapa gejala yang menandakan keadaan suatu negara yang telah terdampak
imperialisme budaya adalah:

1. Pengalaman negara-negara maju dalam bidang ilmu dan teknologi tentang media
massa selama puluhan tahun telah menyebabkan anggapan bahwa hanya ada satu macam arus
informasi yang sudah dianggap normal dan satu-satunya pembawa pesan yang tidak pernah
berubah yang diproduksi oleh segelintir namun diterima oleh semua khalayak, yang dimaksud
dengan munculnya upaya-upaya seperti memperbanyak jumlah koran, pesawat penerima,
televisi, radio, internet atau pun bioskop, terutama pada negara-negara yang sedang berkembang
tanpa menyadarinya.

2. Adanya arus satu arah dalam komunikasi pada dasarnya adalah pencerminan struktur
ekonomi dan politik dunia yang cenderung untuk memelihara dan memperkuat ketergantungan
negara miskin kepada negara kaya.

3. Hegemoni dan dominasi tersebut terbukti pada ketidakpedulian media negara maju
terutama Barat terhadap keluhan dan keinginan negara berkembang. Dasarnya adalah kekuatan
teknologi, kultural, industri, dan keuangan, yang mengakibatkan hampir semua negara
berkembang jatuh menjadi menjadi konsumen informasi.

Perkembangan Imperialisme Budaya di Indonesia

Hegemoni budaya hadir dari proses imperialisme budaya yang terjadi karena adanya
globalisasi. Hal ini menunjang terjadinya penjajahan dalam segala aspek kehidupan. Kita dapat
merasakan dominasi budaya barat dalam merepresentasikan kekuatan mereka, dan menyatakan
bahwa budaya mereka adalah budaya adiluhur dunia. Masyarakat di negara-negara berkembang
dipaksa untuk menjadi bagian dari budaya yang dominan tersebut. Kita dapat melihat hal ini dari
betapa banyaknya tayangan asing yang mendominasi stasiun televisi atau media lainnya.
Biasanya masyarakat dunia ketiga tidak menyadari proses imperialisme budaya yang terjadi.
Sebagai contoh yaitu imperialisme budaya dalam film “Java Heat”.

Film “Java Heat" pada dasarnya hampir sama dengan film Hollywood lainnya yang
mengarah pada suatu bentuk ideologi bahwa masyarakat barat (dalam hal ini Amerika) adalah
pahlawan yang memiliki kekuatan, kecerdasan dan kecepatan luar biasa untuk mengalahkan
musuh-musuhnya. Di dalam film “Java Heat” ini, menggambarkan sosok Jake (pemeran utama)
merupakan tokoh yang kuat dan sempurna. Pemeran pahlawan di dalam film “Java Heat” tetap
saja mengambil aktor dari aktor Hollywood Amerika sehingga ideologi yang tetap tertanam di
benak penonton atau masyarakat bahwa masyarakat Amerika merupakan pahlawan bagi seluruh
dunia dan dalam cerita ini menjadi pahlawan bagi masyarakat Indonesia. Sedangkan
kebalikannya, masyarakat lokal di Indonesia ditampilkan menjadi anggota atau suruhan
(bawahan) dari penjahat utama (Malik) dalam film “Java Heat” ini. Terlihat di dalam film ini
penjahat yang mengenakan salah satu baju tradisional Indonesia. Adegan ini seakan-akan ingin
menyampaikan kepada penonton bahwa masyarakat lokal di Indonesia adalah penjahat atau
suruhan yang mau dan menurut saja apa yang diperintahkan oleh penjahat utamanya.

Dalam film ini, penonton secara tidak sadar menganggap bahwa film “Java Heat”
merupakan film yang mengangkat setting dan budaya Indonesia, namun ternyata di balik film
tersebut ada doktrin dan ideologi yang ingin ditanamkan berupa imperialisme budaya secara
implisit dalam film tersebut. Imperialisme budaya yang secara implisit disebarkan dalam setiap
adegan dalam film ini melalui adegan laga, peperangan dan penembakan khas Hollywood meski
dengan menggunakan aktor Indonesia dan setting lokasi di Indonesia tetap menegaskan dan
melanggengkan bahwa film-film Hollywood sangat berkualitas dan layak menjadi standar
perfilman dunia. Film ini merupakan fenomena baru Hollywood untuk melebarkan sayap-sayap
kapitalis dan memperluas supremasi Amerika dengan melakukan imperialisme budaya melalui
film-filmya. Mayoritas film yang diproduksi oleh Hollywood membuat masyarakat negara dunia
ketiga tidak mempunyai pilihan lain untuk memproduksi film-film tersebut.

Selain itu, selera pasar lokal Indonesia perlahan tapi pasti berhasil diubah menjadi selera
pasar Barat. Standar nilai budaya asli Indonesia pun perlahan luntur, mengikuti terpaan media
film-film Hollywood. Di sinilah teori imperialisme budaya menggambarkan efek daripada film
produksi Hollywood terhadap audiens lokal. Masyarakat disini seakan-akan mendapatkan
kesadaran palsu bahwa perangkulan budaya sepenuhnya dapat mempromosikan Indonesia dan
masyarakat merasa bangga bahwa Indonesia masuk ke dalam cerita perfilman Hollywood.
Perangkulan budaya lokal hanya sebagai tameng mereka dalam melakukan imperialisme budaya
pada negara dunia ketiga termasuk Indonesia.

Dari pembahasan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa teori atau konsep imperialisme
budaya sangatlah penting karena menyadarkan orang-orang bahwa penguasaan terjadi
berdasarkan konsensus. Konsekuensinya, revolusi fisik tidak cukup. Harus ada revolusi gagasan
untuk melawan hegemoni kultural. Tentang ini, Gramsci memakai analogi perang. Ada dua jenis
perang, yakni perang gerak dan perang posisi. Perang gerak adalah revolusi yang selalu
diidamkan Marx, sedangkan perang posisi ada di tataran ideologi. Perang posisi adalah strategi
yang bisa digunakan untuk menghadapi imperialisme budaya. Jika kita telah sadar bahwa kita
dijajah melalui media, kita harus memiliki strategi yang lebih canggih untuk melawannya.

Namun, tentu saja hal ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, jika kaum
intelektual organik tersebut lemah modal. Setidaknya jalan alternatif yang dapat ditempuh yaitu
dengan segera melakukan sosialisasi dan realisasi melalui gerakan media literacy (melek media)
untuk dapat menangkal pengaruh buruk globalisasi media. Hal ini penting karena akan
mendorong individu untuk secara aktif menafsirkan pesan dan menguatkan individu dalam
menghadapi atau mengakses media. Positif atau negatif dampak dari globalisasi salah satunya
ditentukan oleh sikap kita dalam menggunakan media tadi. Oleh karena itu, dibutuhkan yang
namanya literasi media, agar kita dapat melihat mana yang baik dan mana yang buruk dari isi
yang dibawa media sehingga kita tidak terseret dalam arus globalisasi.
DAFTAR PUSTAKA

Heldi, Y.A. (2017). Komunikasi dalam Perspektif Kebudayaan. Jurnal Perspektif Komunikasi,
Vol. 01 (1).
Muntadliroh, M. (2018). Komunikasi multikultural di media televisi Indonesia: Kontrol
pemerintah atas imperialisme budaya. Jurnal Penelitian Komunikasi dan Opini Publik,
Vol. 22(1).
Melisa, A. (2017). Imperialisme budaya melalui perangkulan budaya lokal di balik film Java
Heat. Jurnal Komunikasi, Vol. 11 (2).
Noviana, S. (2016). Imperialisme budaya dalam media. Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi
Pembangunan, Vol. 19 (3).
Malik, D.M. (2014). Globalisasi dan imperialisme budaya di Indonesia. Journal Communication,
Vol. 01 (2).

Anda mungkin juga menyukai