Anda di halaman 1dari 13

JURNALISTIK DAN DEHUMANISASI

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah:


Jurnalistik

Dosen Pengampu:
Rizqi Akbarani, M. Pd.

Disusun oleh:
Al Fina Shoffatul Azizah (301200002)

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB, DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
TAHUN 2022
A. Latar Belakang
Jurnalistik seperti yang kita ketahui erat kaitannya dengan media massa.
Jurnalistik dalam setiap kegiatannya memerlukan media massa dalam
penyaluran informasi yang diproduksi. Bahkan media massa menjadi
komponen penting dalam jurnalistik. Karena dalam salah satu buku yang
paling terkenal yakni buku "Mass Communication Theory: An Introduction"
karya Denis McQuail dan Sven Windahl. Buku ini membahas tentang teori-
teori komunikasi massa dan termasuk jurnalistik sebagai bagian dari
komunikasi massa. Dalam buku ini, Mc Quail dan Windahl membahas
tentang proses komunikasi massa, pengaruh media massa dalam masyarakat,
dan teori-teori komunikasi massa yang berhubungan dengan jurnalistik.1
Media kini punya peranan yang begitu dahsyat bagi kehidupan umat
manusia. Media massa mampu menggiring manusia akan ke arah mana di
masa mendatang. Karena saat ini media bukan saja menjadi alat komunikasi
antar sesama, namun menjadi kiblat tingkah laku manusia. Maka, media
massa sebenarnya punya dua pilihan yakni memperpuruk sisi kemanusiaan
seseorang (dehumanisasi) atau memperkuat sense of humanity (humanisasi).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk-bentuk dehumanisasi dalam jurnalistik?
2. Darimana munculnya dehumanisasi jurnalistik?
C. Tujuan
1. Mengetahui bentuk-bentuk dehumanisasi dalam jurnalistik
2. Mengetahui munculnya dehumanisasi jurnalistik.
D. Pembahasan
Dehumanisasi
Ada banyak cara yang bisa dijadikan indikator bahwa media ikut
berperan dalam menciptakan dehumanisasi di masyarakat. Beberapa diantara-
nya akan dilihat dari sudut pandang pornokitch, zelotisme media,
menghancurkan peradaban manusia, dan trial by the press.

1
McQuail, Denis. 2010. McQuail's Mass Communication Theory. Sage Publications Ltd.

2
Pornokitsch
Menurut Yasraf Amir Piliang pornokitsch adalah wilayah bahasa dalam
pers untuk memenuhi selera rendah masyarakat. Ia adalah salah satu bahasa
visual yang sering digunakan untuk menghasilkan efek-efek sensualitas yang
segera dan dianggap paling mudah dicerna oleh tingkat selera rata-rata
masyarakat.2
Pornokitsch inilah dampak dari pornografi atau dalam bahasa pers
diistilahkan jurnalisme "lher". Jurnalisme "lher" sendiri adalah suatu bentuk
pemberitaan/foto/judul yang di samping menampilkan paha dan dada wanita
dari berbagai pose yang mencolok juga disertai judul judul asosiatif buat
pembacanya yang mengarah pada seks. Meskipun bisa jadi judul itu hanya
berhubungan dengan profesi keartisan." Meskipun berhubungan dengan
profesi keartisan, kita yakin seks lebih berbicara dalam benak pembaca.
Lihat pula kasus yang dialami majalah Jakarta (1) Majalah JJ ini
(majalah terpanas di Jakarta) pernah menurunkan cover dengan judul "Bikini
Kuda Binal untuk terbitan no. 167 (17/ 9/89). Sedangkan di halaman 1 sampai
8 termuat judul "Parada Kuda Binal" dengan gambar wanita yang berpakaian
minim, yang menonjolkan ba- gian-bagian/lekuk tubuh wanita seperti ketiak,
pinggul, paha, pusar dan dada yang dapat menimbulkan selera rendah
pambaca. Akibat pemberitaan seperti itu, JJ pernah mendapat peringatan
pemerintah dengan nomor 220/Ditjen-PPG/K/ X/89 karena dianggap
melanggar delik pornografi pasal 281, 282 dan 283 KUHP.3
Majalah Liby selalu menampilkan foto artis "panas" dalam setiap
edisinya. Sarah Azhari (untuk menyebut contoh) berfoto "transparan" untuk
sampul majalah Matra (majalah trend pria) pada edisi no. 155, Juni 1999.
Juga pernuatan foto vul- gar Sophia Latjuba di majalah Popular (edisi Mei
1999). Kontan saja, Pemred Matra dan Popular diadukan ke polisi dan dijerat

2
Hadi, Ido Prijana. 2021. Komunikasi Massa. Pasuruan: Qiara Media
3
Nurudin. 2008. “Media Massa dan Dehumanisasi”. Jurnal Ilmiah Besari No. 37 th XXI

3
dengan pasal 282 KUHP tentang kejahatan terhadap kesusilaan dengan
ancaman pidana paling lama dua tahun delapan bulan. Sophia Latjuba sen-
diri akhirnya diperiksa Mabes Polri lima jam, begitu juga dengan fotografer
media yang bersangkutan, Welly dan Andy, diperiksa sekitar enam jam.
Menyusul kemudian Sarah Azhari dan Ayu Azhari atas tuduhan serupa. Ka-
sus-kasus semacam itu belum termasuk yang dipertontonkan di layar kaca
kita.
Memang, masalah pornografi masih menjadi kontroversi di masyarakat.
Ada yang menganggap bahwa pornografi itu seni, jadi tak perlu di larang.
Ada sementara orang yang mengatakan membuka aurat saja sudah termasuk
pornografi. Tetapi yang jelas, sesuatu bisa dikatakan pomografi jika bentuk
gambar, tulisan dan apalagi benda bergerak itu bisa mengarah pada asosiasi
pada pikiran seseorang atau bahkan punya keinginan untuk menirunya.4
Yang perlu ditekankan adalah bahwa pornokitsch telah mendorong
libido syahwat manusia. Seolah-olah urusan manusia hanya pada masalah
syahwat. Kasus semacam ini mempunyai indikator memperkuat dehumanisasi
di masyarakat. Masyarakat menjadi tumpul pikirannya untuk membangun
humanisasi karena pornokitsch justru memperlemah sisi kemanusiaan
seseorang.
Zelotisme Media
Orang yang berhasrat memenuhi kebutuhan, meraih sampai merebut
sesuatu sesuai kebutuhan atau keinginan dirinya sering disebut sebagai
zelotes. Sedangkan jika zelotes dijadikan suatu paham, pendirian bahkan
keyakinan disebut sebagai zelotisme.5 Dalam pergaulan masyarakat, paham
ini kemudian menjiwai sekelompok orang dalam mengejar sesuatu.
Kelompok yang menganut paham ini berkeyakinan bahwa yang dicita-
citakanya adalah sesuatu yang paling baik untuk semua lapisan masyarakat.
Oleh karena itu ia tidak akan tinggal diam manakala berbagai kenyataan di
sekitarnya tidak sejalan dengan pemikiran yang diyakininya tersebut. Sesuatu
4
Yasraf Amir Piliang, “Pornokitsh” (artikel), Kompas, 29 Juli 2023
5
Herzt, Noreena. 2005. Perampok Negara, Kuasa Kapitalisme Global dan Matinya Demokrasi.
Yogyakarta: Penerbit Alenia

4
yang berbeda dengan yang lain, memunculkan "gaya" tersendiri yang
membedakannya dengan yang lain.
Tak bisa dipungkiri paham seperti ini tengah hidup pada kayakinan
masyarakat kita. Adanya hasrat untuk memenuhi kebutuhan sampai mengejar
ambisi diri dan kelompok saling berhimpitan. Sehingga sikap ini sering
diklaim sebagai sikap yang paling baik.
Ternyata zelotes juga hinggap di media massa kita. Media massa yang
menganut paham ini akan melakukan apa saja untuk meraih tujuan. Beberapa
indikator yang bisa dijadikan bukti antara lain pemberitaan tabloid Demokrat
edisi no. 49 tahun 2000. Tabloid itu menuduh" Amien Rais sebagai "Vampir
Politik Indonesia". Tabloid ini menampilkan gambar Amien Rais yang
menyeringai memperlihatkan gigi taringnya yang panjang, meneteskan darah
dan berdiri di samping tiga onggok mayat dengan genangan darah.6
Kata kata yang dipilih oleh media itu bukan bebas nilai. Namun, sarat
nilai yang berusaha mempengaruhi opini publik untuk mendukung kelompok
tertentu dan tidak mendukung kelompok yang lain secara berlebihan. Media
sangat jelas dan transparan dalam memilih bahasa atau kata-kata yang
digunakan ketika menyajikan berita tentang konflik di masyarakat. Seringkali
tanpa sadar media terseret arus pada kelompok yang bertikai. Terseret ini
artinya ikut membela satu kelompok dan tidak membela kelompok yang lain.
Hal demikian tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Eriyanto dan kawan-kawan tentang kasus Sampit. Di Kalimantan Tengah
Kalteng Pos dan Dayak Pos yang mula-mula netral akhirnya tidak bisa
mengambil jarak dengan pihak yang bertikai (terutama warga Dayak). 7 Kata
kata seperti koran Kalteng Pos "Malam itu, setelah dua hari etnis Madura
"menjajah" Sampit, Panglima dayak merengsek masuk kota". Atau "Aparat
siaga dan berlapis-lapis menjaga sarang kaum begal bergundal etnis Madura
di sana". Jelas keberpihakan ini sebuah kesengajaan dan bukan tak sengaja.
Bisa dimaklumi karena Kalteng Pos adalah koran di wilayah suku etnis
6
Tabloid Demokrat. (2000). Edisi no. 49 tahun 2000.
7
Eriyanto. (2003). Kekerasan Sosial dalam Masyarakat Multi Etnis: Studi Kasus Kasus Suku Dayak
dan Madura di Sampit, Kalimantan Tengah. Jakarta: Kompas.

5
Dayak. Namun demikian, terlalu membela salah satu pihak dengan memberi
sebutan buruk pada kelompok tertentu bukan teknik jurnalisme yang baik.
Dari sinilah usaha merebut sesuatu kebutuhan atau kepentingan dirinya nyata
terlihat.
Menghancurkan peradaban manusia
Media, secara tidak langsung ikut berperan dalam menghancurkan
sejarah peradaban manusia. Seperti ikut andil dalam mengobarkan perang.
Bukan berarti mengimplikasi bahwa media massa terindikasi perspektif
negatif. Akan tetapi media massa tidak dapat menghindar dari tuduhan itu,
karena memang media massa memiliki kepentingan di dalamnya baik melalui
kepentingan karena mendukung elit politik yang senang perang atau pemilik
media berkepentingan terhadap perang itu sendiri.
Akibat selanjutnya apa yang diberitakan di media massa mengalami
bias informasi ini tentu saja akan disesuaikan dengan kepentingan dan
kebutuhan media atau pemilik media dengan memakai elit politik sebagai alat
saja. Kenyataan ini jelas mematikan demokratisasi media. Seperti halnya
negara yang tidak lagi memadai kepentingan rakyat tetapi mewadahi
kepentingan kalangan bisnis karena ada politik tunduk pada mereka titik
alasannya mereka inilah sponsor utama elit politik. Margareth Teacher dan
Ronald Reagen di awal akhir tahun 70-an adalah dua orang pelopor
munculnya neoliberalisme yang mendudukkan mereka sebagai pelaku
ekonomi pasar yang sudah digerakkan oleh kalangan perusahaan.8
Tidak adanya demokrasi media tentu saja mematikan demokrasi itu
sendiri. Matinya demokrasi adalah matinya sejarah peradaban manusia. Lepas
dari kekurangan yang melekat pada demokrasi saat ini hanya demokrasi lah
yang dianggap sebagai satu-satunya proses mengatur negara dengan
masyarakat, meskipun seringkali ia dicederai untuk kepentingan-kepentingan
pihak tertentu.
Oleh karenanya media yang hanya digunakan untuk kepentingan-
kepentingan pihak tertentu telah mengarahkan media menghancurkan sejarah

8
Harvey, D. (2005). A brief history of neoliberalism. Oxford University Press.

6
peradaban manusia itu sendiri. Pada akhirnya media berperan dalam
menciptakan dehumanisasi dunia ini.
Trial by the press
Trial by the press singkatnya berarti pers menuduh atau tepatnya
mengadili seseorang sebagai pihak yang bersalah sebelum pengadilan
memutuskan ia bersalah atau tidak. Artinya seseorang divonis bersalah oleh
media, dan dia merasa sebagai pihak yang punya legitimasi mengadili.9
Lepas dari niat baik media untuk mengupas masalah-masalah tidak
sedikit media massa telah menuduh seseorang terlibat dalam kasus tindak
pidana pengadilan belum memutuskan bersalah atau masih dalam taraf proses
penyidikan kasus. Ini tentu saja sebuah perilaku yang berat sebelah karena
media massa bukan lembaga pengadilan.
Walaupun media tidak sepenuhnya salah dalam mengungkap kasus
namun media terlibat terlalu jauh dalam mengungkap satu kasus titik tugas
media adalah memberikan fakta-fakta konkrit di lapangan memberikan ulasan
bahwa seseorang dalam "diduga" terlibat korupsi misalnya. Tetapi media
harus menghindari sebuah tuduhan ia hanya boleh menduga saja.
Dalam hal ini memang ada dua pilihan dilematis. Jika tidak melakukan
trial by the press maka kasus-kasus akan tetap merajalela atau saat ini
memang kasus besar yang tidak diviralkan tidak akan diselesaikan atau
dituntaskan. Namun ketika melakukan trial by the press sehingga kasus bisa
dimunculkan ke publik hal itu membuat media bertindak terlalu jauh sehingga
tidak berada pada kondisi yang ideal. Idealnya media memang tidak boleh
menuduh. Tugasnya adalah memicu kasus tersebut, memunculkan secara
gencar di media massa untuk mempengaruhi opini publik (public opinion).
Kebebasan pers yang cenderung liberal permasalahan di atas memang
banyak ditemui khususnya di Indonesia. Begitu reformasi tiba tidak lagi
dikekang seperti zaman orde Baru. Seperti kuda lepas dari kandang media
massa memaknai kebebasan kelak batas masalah-masalah yang berkaitan

9
Anand, D. (2018). Trial by Media: A Critical Analysis. International Journal of Advanced Legal
Research, 3(2), 90-94.

7
dengan etika banyak dilanggar. Misalnya pers punya kewajiban tidak
memberikan identitas seseorang atau off the record jika diminta oleh para
narasumber tetapi faktanya ini sering dilanggar. 10 Buntutnya menimbulkan
gejolak di masyarakat.
Masyarakat tentu saja menikmati tuduhan-tuduhan tersebut karena
memang ada dalam suasana euforia. Yang menjelekkan orde Baru karena
mereka pernah menjadi korban pada masa orde baru. Meskipun hal tersebut
melanggar kode etik tetapi semua itu sudah menjadi hal yang lumrah. Bukan
bermaksud membela orde baru dan menyalahkan masyarakat hanya melihat
sisi lain yang selama ini kurang diperhatikan menyangkut perilaku pers kita.
Jika pada akhirnya media massa melanggar atau melakukan trial by the
press secara tidak langsung media telah melanggar wilayah yang bukan
menjadi haknya. Dalam posisi demikian media tidak saja melakukan
dehumanisasi, tetapi media telah menjadi agen kepentingan pihak tertentu.
Meskipun media tidak bisa diakui seratus persen lepas dari kepentingan
misalnya pemilik modal.
Karena media diedarkan pada publik yang secara tidak langsung
menjadi milik publik titik kepentingan publik sudah selayaknya menjadi titik
tekan kepentingannya. Dehumanisasi kelihatan dalam trial by the press
karena manusia sudah pantasnya dihormati hak hukum dan politiknya.
Alienasi sosial
Dalam banyak kasus media massa berperan dalam menciptakan alienasi
atau keterasingan manusia. Sebelumnya di masa hadir dan mewabah seperti
saat ini manusia menjadi mutlak harus bergaul dengan sesama untuk
memenuhi memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain seorang
individu memerlukan kehadiran orang lain untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Ia meminta bantuan orang lain untuk melengkapi kehidupannya.
Misalnya ia bisa meminta nasihat seorang kyai, pastur, biksu dalam soal
keagamaan. Ia membutuhkan nasihat dokter tentang penyakit alergi yang

10
Sihaloho, P. (2016). Dehumanisasi pada Media Sosial. Jurnal Sosial Humaniora

8
dideritanya. Dengan perantaraan media, semua fungsi-fungsi interaksi dengan
orang lain tersebut sudah mulai terkikis bahkan pudar.
Banyak hal yang bisa kita lihat seperti peran yang semua dilakukan oleh
manusia saat ini bisa diperankan oleh media massa. Kita akan menjadi orang
individualis karena pengaruh media massa. Proses penyampaian informasi
sekarang tidak perlu menunggu bertemu. Namun bisa lewat sosial media
bahkan bisa chatting dengan leluasa. Sekarang pun bisa memesan barang
lewat internet. Barang yang dibutuhkan akan diantar sesuai permintaan
pemesan tanpa perlu bepergian.
Artinya dengan perantaraan media massa telah mengarahkan
terelienansinya dari komunitas. Implikasinya kita diarahkan untuk menjadi
manusia yang mementingkan diri kita sendiri secara sadar atau tidak. Semua
itu bisa terjadi karena manusia menganggap media massa seolah seperti
manusia. Teori media equation teori atau teori persamaan media bisa
menjelaskannya teori yang pernah dikemukakan oleh piron rifs dan clevord
Nash ini ingin menjawab persoalan mengapa manusia secara tidak sadar dan
bahkan secara otomatis merespon apa yang dikomunikasikan media seolah-
olah itu adalah manusia.11
Teori yang dikemukakan oleh Byron Reeves dan Clifford Nass ingin
menjawab persoalan mengapa manusia. Dengan demikian, teori ini berasumsi
media diibaratkan manusia.
Media saat ini bisa menjadi lawan bicara individu seperti dalam
komunikasi interpersonal yang melibatkan dua orang dalam situasi face to
face. Misalnya kita berbicara dengan komputer seolah komputer itu manusia.
Kita juga menggunakan media lain untuk berkomunikasi bahkan kita
berperilaku secara tidak sadar seolah-olah media itu manusia.
Dalam hal ini komputer diberlakukan sebagai aktor sosial di mana
aturan yang mempengaruhi perilaku setiap individu dalam interaksi dengan
orang lain relatif sama seperti sedang berinteraksi dengan komputer.
Pernyataan tersebut mendorong kuat munculnya alienasi manusia terhadap

11
Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, Jakarta: PT Raja Garfindo Persada (2007)

9
lingkungan sosialnya. Manusia merasa telah terpenuhi kebutuhan melalui
media massa. Alienasi akan semakin terasa ketika manusia lebih
mempercayai media massa daripada kenyataan yang sebenarnya.
Agama baru
Suatu fakta yang tidak dapat dipungkiri masyarakat sini memiliki pola
pikir rasa dan penilaian berdasarkan apa yang pernah Mereka melihat di
media sosial atau media massa. Artinya apa yang sesuai dengan yang
dilihatnya maka dianggap baik. Hal itu disebabkan masyarakat kini sudah
banyak belajar dari media massa. Seperti anak-anak meminta makanan atau
mainan kesukaannya sesuai dengan apa yang dilihat pada media massa.
Realitas yang terjadi dan berlarut dapat mengakibatkan timbulnya
agama baru dalam masyarakat. Hal demikian bisa terjadi karena dilihat dari
realitas agama yang merupakan dasar pijakan manusia yang berhubungan
dengan Allah atas sesama manusia. Agama merupakan tempat bergantung
manusia agar tidak terombang-ambing titik melalui agama manusia diarahkan
dituntut bahkan diharuskan untuk melakukan sesuatu dan tidak melakukan
sesuatu yang lain.12
Ketergantungan yang demikian besar pada agama merupakan ciri pokok
manusia religius. Kalau manusia sudah menggantungkan dirinya pada hal lain
yang sama dengan agama bisa jadi dalam tubuh manusia itu telah bersemi
akan baru di luar keyakinan pokoknya.
Dalam posisi demikian ada yang perlu mendapat perhatian serius
kaitannya dengan kemerosotan keyakinan manusia yang berhubungan dengan
agama. Karena telah terbiasa melakukan sesuatu berdasarkan agama baru
maka agama pokoknya akan dihitung secara matematis. Mereka akan
menggunakan agama kalau agama itu menguntungkan bagi dirinya.
Di samping itu agama baru juga akan menurunkan kritis nilai-nilai
rohani. Sebab yang menjadi acuannya saat ini lebih banyak berhubungan
dengan atribut fisik mulai dari makan make up rumah mobil mewah buku dan
sebagainya padahal agama banyak menekankan nilai-nilai rohani.

12
Nurudin, Televisi Agama Baru Masyarakat Modern (artikel), Suara Merdeka, 28 Mei 2023

10
Buntutnya kemudian dalam masyarakat timbul krisis rohani yakni
lunturnya sifat kejujuran kesopanan moralitas dan kepribadian maka tak aneh
jika saat ini timbul praktik korupsi dan kolusi yang berkepanjangan alasannya
masyarakat telah luntur nilai-nilai rohaninya.
Sumber dehumanisasi
Penting kiranya kita mengetahui dari mana saja sumber dehumanisasi
sehingga kita mampu mengidentifikasi gejala munculnya dehumanisasi untuk
mempersiapkan antisipasi. Adapun sumber dehumanisasi sebagai berikut:
1. Media lebih mementingkan orientasi pasar daripada ideal. Bisa dilihat
saat ini presentasi tayangan sifatnya untuasik hiburan hiburan lebih tinggi
daripada tayangan yang bersifat edukatif. Dalam kasus ini tayangan di
media massa bukan satu-satunya yang bisa dituduh bersalah namun
masyarakat sendiri juga memformat dirinya untuk menyukai hiburan pada
jam-jam yang produktif jadi kepentingan tayangan media massa dengan
kebutuhan khalayak bertemu pada titik itu.
2. Pengelola media punya kepentingan terhadap medianya tentu saja
kepentingan media akan disesuaikan dengan kepentingan dirinya pemilik
yang punya latar belakang pengusaha punya kecenderungan menjadikan
media sebagai lahan bisnis pemilik yang punya kepentingan politik juga
akan menggunakan medianya untuk tujuan-tujuan politik pula. Artinya
apapun yang dilakukan harus menghasilkan keuntungan.
3. Sistem politik menghendaki hal demikian terjadi karena dengan
munculnya dehumanisasi, sistem politik merasa diuntungkan dengan
kondisi tersebut. Beberapa kasus yang ada di Indonesia dicurigai sengaja
di desain oleh elit politik. Munculnya kasus ninja di daerah tapal kuda
Jawa Timur membuat masyarakat begitu sadis membunuh sesamanya
pernah dicurigai didesain oleh elit politik pembunuhan sadis terhadap
sesamanya merupakan bentuk dari dehumanisasi yang diciptakan oleh elit
politik dan diberitakan oleh media massa. Maka media massa dalam hal
ini punya andil menciptakan di humanisasi.13

13
Nurudin. 2008. “Media Massa dan Dehumanisasi”. Jurnal Ilmiah Besari No. 37 th XXI. h. 84

11
Kesimpulan
Strategi media
Dihumanisasi adalah bentuk penyimpangan eksistensi manusia. Jika
media massa dituduh sebagai agen munculnya dehumanisasi maka ada
beberapa hal yang seharusnya diperhatikan dan dijadikan bahan pertimbangan
media. Pertama media sudah seharusnya selalu menentukan prinsip peliputan
dari dua sisi yang berbeda secara seimbang (cover both sides). Ini merupakan
standar kode etik bagi para jurnalis pedoman yang mengatur liputan secara
akurat adil dan berimbang dari seluruh pihak yang terlibat dalam sebuah isu.
Kedua media dan para jurnalis juga perlu untuk mempresentasikan
orang-orang tanpa memberikan label yang tidak adil, cenderung emosional,
dan bias kepentingan terhadap objek berita.
Ketiga menyarankan agar para jurnalis memberikan konteks bukan
sekedar liputan peristiwa konflik kerap terjadi perlawanan dengan latar
belakang proses historis yang kompleks dengan berbagai interpretasi yang
berbeda tentang identitas kelompok klaim atas wilayah. Prinsip jurnalisme
yang dikembangkan perlu memperhatikan latar belakang sebuah peristiwa
dan bukan peristiwanya sendiri.
Keempat mengharap para jurnalis mendidik para pembaca bahwa
konflik-konflik etnis bersifat global dan bahwa konflik selalu mungkin untuk
dikelola. Untuk menghindari suatu perasaan antipati media hendaknya
memfokuskan pada kenyataan bahwa sejumlah konflik etnis telah berhasil
dikelola secara efektif posisi ini penting agar menghindari tuduhan bahwa
media adalah agen kekerasan dan konflik.
Kelima menuntut para jurnalisme yang bertanggung jawab karena
selama ini mereka cenderung memprovokasi saja.

12
DAFTAR PUSTAKA

Anand, D. (2018). Trial by Media: A Critical Analysis. International Journal of


Advanced Legal Research, 3(2), 90-94.
Eriyanto. (2003). Kekerasan Sosial dalam Masyarakat Multi Etnis: Studi Kasus
Kasus Suku Dayak dan Madura di Sampit, Kalimantan Tengah.
Jakarta: Kompas.
Hadi, Ido Prijana. 2021. Komunikasi Massa. Pasuruan: Qiara Media
Harvey, D. (2005). A brief history of neoliberalism. Oxford University Press.
Herzt, Noreena. 2005. Perampok Negara, Kuasa Kapitalisme Global dan Matinya
Demokrasi. Yogyakarta: Penerbit Alenia
McQuail, Denis. 2010. McQuail's Mass Communication Theory. Sage
Publications Ltd.
Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, Jakarta: PT Raja Garfindo Persada
(2007)
Nurudin, Televisi Agama Baru Masyarakat Modern (artikel), Suara Merdeka, 28
Mei 2023
Nurudin. 2008. “Media Massa dan Dehumanisasi”. Jurnal Ilmiah Besari No. 37
th XXI
Sihaloho, P. (2016). Dehumanisasi pada Media Sosial. Jurnal Sosial Humaniora
Tabloid Demokrat. (2000). Edisi no. 49 tahun 2000.
Yasraf Amir Piliang, “Pornokitsh” (artikel), Kompas, 29 Juli 2023

13

Anda mungkin juga menyukai