Anda di halaman 1dari 6

Dunia jurnalistik sebagai bagian dari ilmu sosiologi yang selalu ber ubah dan berkembang pesat sesuai

dengan perkembangan zaman serta kepekaan pada konsumennya sendiri, menyebabkan gaya jurnalistik
menemukan jati dirinya yang tepat untuk selalu dibutuhkan. Jurnalisme tumbuh seiring banyaknya
permasalahan yang kompleks di dunia pada ma sing-masing negara. Kehidupan global terus berputar
dan selama itu pula kita dihadapkan pada permasalahan yang pelik untuk menyesuaikan diri. Sama
halnya dengan jurnalistik, pada hakikatnya, kualitas jurnalistik harus tetap dijaga apa pun bentuknya.
Menjaga kualitas jurnalistik itu sangat berharga karena bukan untuk kepentingan media itu sendiri me
lainkan juga untuk kebutuhan orang banyak. Masyarakat, terutama, perlu mendapatkan informasi yang
berbobot dengan kontrol kualitas yang baik. Dan media wajib menyediakan hal itu. Jurnalistik
diklasifikasikan berda sarkan media yang digunakan dibagi menjadi tiga kategori, sebagai berikut:

- Jurnalistik cetak, yaitu jurnalistik yang menggunakan media cetak sebagai media publikasinya, seperti
surat kabar, tabloid, dan majalah.

- Jurnalistik elektronik, yaitu jurnalistik yang menggunakan media elektronik sebagai media publikasinya,
seperti radio (berita radio), televisi (berita televisi), dan film (film dokumenter).

- Jurnalistik online, yaitu jurnalistik yang menggunakan internet sebagai media publikasi yang dikenal
dengan sebutan media online, media daring, media siber, situs berita atau portal berita.

Pers/media merupakan sarana atau wadah untuk menyiarkan produk produk jurnalistik yang sejak abad
ke-18 telah memasuki era jurnalisme modern seperti yang kita kenal sekarang. Perkembangan konsep
jurnalisme modern lebih menuju pada kepentingan bisnis dan politik, sehingga berdasarkan gaya, ruang
lingkup, topik pemberitaan dan ideologi, jenis jenis jurnalistik sangat beragam. Berikut ini akan dibahas
beberapa jenis jurnalisme.

1. Yellow Journalism

Berdasarkan realita sejarah perkembangan jurnalistik di dunia, era kebebasan pers dan ketatnya
persaingan bisnis media telah menjadi pemicu pemberitaan. i berbagai media yang menonjolkan atau
mengeksploitasi unsur kekerasan, kemiskinan, seksualitas, bahkan hedonisme. Berita demikian itulah
yang disebut sebagai karya jurnalisme kuning. Persaingan ketat dan cenderung tidak sehat adalah
sebagai awal munculnya yellow newspaper yang terjadi di Amerika Serikat pada pertengahan abad ke-
19. Ketika itu, tingkat persaingan antarkoran terjadi seperti pertarungan se ngit Pulitzer-Hearst hingga
ketegangan antara Spanyol-Amerika Serikat di Kuba yang telah dibumbui dan didramatisasi sedemikian
rupa hingga menimbulkan perang yang dikenal "The Dark Age of American Journalism".

Praktik jurnalisme kuning (yellow journalism) di Indonesia telah berlangsung sejak era Demokrasi Liberal
dan berlanjut di era Orde Baru seiring dengan kemunculan koran Pos Kota dengan trilogi informasi yang
disajikan: kriminalitas, kekerasan, dan seksualitas. Pasca diberlakukannya Undang-Undang Pers No. 40
Tahun 1999, praktik jurnalisme demikian semakin memperlihatkan peningkatan dengan munculnya
berbagai media serupa dengan Pos Kota. Pemberitaan yang bombastis penuh sensasi, vulgar, bahkan
cenderung sadistis menjadi tren di banyak media. Kondisi yang kemudian juga berlangsung pada media
berita online di era milenial. saat ini. Kebebasan pers yang didedikasikan untuk mencapai kemerdekaan
pers guna mewujudkan kedaulatan rakyat yang berasaskan demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum,
sesuai semangat Undang-Undang No. 40 Tahun 1999, pada sebagian media dan wartawan lebih
bermakna kebebas an tanpa batas (absolut) dan cenderung keluar dari koridor etis-profetis, sehingga
menimbulkan dampak negatif yang tidak kecil bagi masyarakat. Seyogianya seorang jurnalis memiliki
kebebasan yang tidak absolut dan tidak boleh bebas nilai namun terikat pada sikap dan tanggung jawab
etis. Karenanya, kode etik jurnalistik atau Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) dan sejenisnya harus
menjadi "lilin pemandu" bagi wartawan agar tidak terjebak pada praktik jurnalisme kuning. Sebab,
bagaimanapun jur nalisme kuning merupakan lampu kuning bagi etika komunikasi massa. Jurnalisme
kuning adalah jurnalisme pemburukan makna.

Ciri khas jurnalisme kuning yaitu pemberitaannya yang bombastis, sensasional, dan pembuatan judul
utama yang berlebihan untuk menarik perhatian publik. Tujuannya hanya satu, agar masyarakat tertarik.
Setelah tertarik diharapkan masyarakat membelinya. Ini sesuai dengan psikologi komunikasi massa.
Orang akan tertarik untuk membaca atau membeli koran, yang diperhatikan pertama kali yaitu judulnya.

2. War Journalism

War journalism atau jurnalisme perang cenderung fokus pada peristiwa kekerasan sebagai penyebab
konflik, tidak berupaya menyelami struktur asal muasal konflik, cenderung memusatkan pada akibat
langsung yang bisa dilihat dari terbunuhnya seseorang, terluka dan kerugian materiel, bukannya
kerugian psikologis, struktur, dan kultur masyarakat. Ia juga cenderung mereduksi kompleksitas
persoalan menjadi siapa kawan, lawan, pemenang, dan pecundang. Jurnalisme perang memainkan
peran memicu peningkatan konflik, karena itu perlu perubahan dalam menangani peris tiwa konflik
dengan melaksanakan jurnalisme alternatif yang berorientasi kepada perdamaian, lebih menonjolkan
aspek-aspek apa yang mendorong bagi penyelesaian konflik, yang diangkat yaitu hal-hal yang sifatnya
mendorong ke arah perdamaian. Jurnalis perlu memedomani suatu standar ideal dalam meliput konflik,
yang merupakan pedoman ideal bagi praktik jurnalisme yang bertanggung jawab.

Berita tentang perang di Sudan, dapat juga diambil sebagai contoh; surat kabar Kompas, mengutip
tulisain dari kantor berita AP/AFP/REUTERS yang menceritakan tentang kematian seorang anak laki-laki
di Sudan Selatan. Disebutkan seorang anak laki-laki yang bernama Gakuoth Duop telah membeli sepatu
baru, lalu menyeruput secangkir teh manis dan ber siap pulang ketika satu pesawat tempur MiG-29
Sudan mengebom Pasar Rubkona, Bentiu. Anak laki-laki berusia 12 tahun itu tewas seketika dan
tubuhnya gosong. Dalam hal objek pemberitaan, jurnalisme perang tertarik pada konflik, kekerasan,
korban yang tewas, dan kerusakan materiel. Tentang Presiden Sudan Omar al-Bashir, wartawan Kompas
menulis, saat pertikaian mendidih selama dua pekan di Heglig, Bashir ingin agar perang tidak boleh
berakhir di kota minyak tu saja, tetapi juga harus sampai menusuk Juba, Ibukota Sudan Selatan...
Selanjutnya, Bashir me ngatakan pasukan Selatan sebagai "serangga" yang harus dibasmi tuntas. Berikut
kita telaah pemilihan kata-kata dalam contoh perang di Sudan, seperti "tewas seketika dan tubuhnya
gosong", "Bashir ingin agar perang tidak boleh berakhir", "pasukan Selatan sebagai "serangga" yang
harus dibasmi tuntas
Pemberitaan dengan penekanan makna yang emosional seperti ini dapat mengarah kepada perang yang
berkepanjangan. Jurnalisme seperti ini, dapat disebut sebagai jurnalisme perang atau jurnalisme konflik
yakni jurnalisme yang tidak memperhatikan aspek-aspek kemanusiaan dalam peliputan fakta-fakta di
lapangan. Mereka yang berkonflik, salah satunya ingin ditempatkan pada posisi tidak bersalah oleh
media. Adapun orientasi pemberitaan jurnalis perang dibagi menjadi empat, yaitu jurnalist berorientasi
pada perang atau kekerasan, jurnalis yang berorientasi propaganda, jurnalis yang berorientasi pada
kelompok elite dan jurnalis yang berorientasi pada kemenangan."

Media yang tidak memberikan persentase secara adil bagi mereka yang terlibat perselisihan, dapat
mendorong munculnya konflik atau memicu perang terbuka. Pertikaian bertambah parah ketika
wartawan atau media tertentu ikut terlibat dalam konflik karena mempunyai hubungan khusus dengan
salah satu pihak yang terlibat, misalnya pada waktu terjadi konflik di Maluku, surat kabar Suara Maluku
memberitakan kepentingan kelompok Kristen, sedangkan kepentingan kelompok Islam diwadahi oleh
surat kabar Ambon Ekpres. Mengorbankan kebencian antar-pemeluk agama, merupakan perilaku pers
yang tidak menjunjung tinggi jumnalisme - kemanusiaan Materi berita terlalu membela salah satu pihak
dengan. memberi sebutan buruk pada kelompok tertentu bukan teknik jurnalisme yang baik. Dari sinilah
usaha merebut sesuatu kebutuhan atau kepentingan kelompoknya nyata terlihat. Sesungguhnya profesi
jurnalis dalam bertugas di mana pun harus menjunjung tinggi profesionalitasnya sebagai wartawan
sesuai yang diungkapkan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, pada elemen-elemen jurnalisme yang harus
dipraktikkan wartawan, antara lain: 1) kewajiban pertama jurnalis adalah pada kebenaran; 2) loyalitas
pertama jurnalis adalah kepada warga; 3) intisari jurnalisme adalah disiplin dan verifikasi: 4) menjaga
independensi dari sumber berita; 5) jurnalisme harus berlaku sebagai perantau kekuasaan; 6) jurnalisme
harus menyediakan forum publik untuk kritik atau dukungan warga; 7) jurnalisme harus berupaya
membuat hal yang penting, menarik dan relevan; 8) jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif
dan proporsional; 9) para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka.

3. Embedded Journalism

Fenomena jurnalisme perang kembali marak setelah pemerintah In donesia mengumumkan status
darurat militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang juga sekaligus menandai mulainya
operasi militer. Euphoria Amerika Serikat saat menyerang Irak dengan embedded journalist, diikuti pula
oleh pemerintah Indonesia khususnya TNI dengan mengambil kebijakan untuk melibatkan jurnalis
selama operasi militer berlangsung dengan memberikan pengetahuan dan pelatihan dasar militer di
Pusat Latihan TNI Sanggabuana, Karawang, Jawa Barat. Pemberian pelatihan oleh TNI tersebut
kemudian menjadi kontroversial, ketika para jurnalis menggunakan seragam loreng lengkap dengan
sepatu lars sama dengan pakaian dinas tempur milik TNI. Selain itu, TNI mengharuskan penggunaan
seragam tersebut selama melakukan peliputan. Alusan yang dikemukakan oleh TNI yaitu, dengan
mengenakan seragam tersebut para jurnalis sekaligus sebagai perlindungan oleh TNI selama melakukan
peliputan.

Dalam Pasal 8 UU 40/1999 tentang Pers secara jelas menyatakan bahwa profesi jurnalis mendapatkan
perlindungan hukum dalam melak sanakan profesinya. Namun apakah hukum humaniter turut juga
mem berikan jaminan perlindungan bagi jurnalis selama konflik bersenjata. terjadi? Apakah mereka
mendapatkan perlindungan dari para pihak yang berkonflik dan khusus bagi embedded journalist
apakah mereka dapat di perlakuan sebagai kombatan (orang-orang yang berhak ikut serta dalam
peperangan) oleh para pihak yang beikonflik? Dan kemudian bagaimana starus jurnalis bila ditangkap
oleh salah satu pihak yang berkonflik? Hukum humaniter atau dahulu disebut sebagai hukum-hukum
perang (the laws of war) mengatur status dan kedudukan jurnalis selama konflik bersenjata. Jauh
sehelum konvensi Palang Merah atan Konvensi Jenewa 1949 inhir, status dan kedudukan jurnalis telah
diatur dalam annex dari Konvensi IV Den Haag 1907 tentang Penghormatan Hukum-hukum Perang serta
Kebiasaan Perang di Darat (Respecting the Laws and Customs of War on Land) Pasal 13 yang
menyatakan:

Individuals who follow an army without directly belonging to it such as newspa per correspondents and
reporters, sulters and contractors, who fall into enemy's hands and whom the latter thinks fit to detain,
are entiteld to be treated as prisoners of war, provided they are in possesion of certificate from the
military authorities of the army which they are accompanying.

Berangkat dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang jur nalis (dengan istilah: news paper
correspondent and reporters), yang jatuh ke tangan salah satu pihak berkonflik dan ditahan maka dia
diperlakukan (treated) sebagai tawanan perang. Jurnalis tersebut bukan dianggap (is) sebagai tawanan
perang. Untuk memenuhi syarat diperlakukan sebagai tawanan perang, para jurnalis harus memiliki
sertifikat yang dikeluarkan oleh pimpinan angkatan bersenjata yang mereka ikuti.

4. Peace Journalism

Sejarah singkat jurnalisme damai dimulai ketika sosiolog Norwegia, Johan Galtung memperkenalkan
istilah jurnalisme damai pada 1970. Membicarakan jurnalisme damai tidak akan lepas dari Johan
Galtung, seorang profesor studi perdamaian dan juga Direktur TRASCEND Peace and Development
Network. Profesor Johan Galtung selanjutnya menyampaikan serangkaian ceramah tentang "Konflik dan
Jurnalisme Damai" pada kuliah musim panas di Taplow Court (United Kingdom). Para peserta meliputi
para jurnatis, pokar media, dan mahasiswa yang datang dari Eropa, Afrika, Asia, dan Amerika Serikat
yang membagi waktu mereka untuk kuliah, lokakarya, dan deltat."

Jurnalisme damai merupakan paham dalam jurnalistik yang menerap kan konsep perdamaian dalam
setiap pemberitaannya. Ada banyak nama lain dari jurnalisme damal, antara lain, jurnalisme baru,
jurnalisme pasca realis, jurnalisme solusi, jurnalisme yang menguatkan, jumalisme analisis konflik,
jurnalisme perubahan, jurnalisme holistik, jurnalisme dengan ke rangka besar, jurnalisme sebagai
mediator (penengah), jurnalisme untuk masyarakat terbuka (open society), jurnalisme pembangunan,
jurnalisme analisis, jurnalisme reflektif, dan jurnalisme konstruktif.

Profesor Johan Galtung awalnya mencermati banyaknya Jurnalisme perang yang mendasarkan diri pada
asumsi yang sama seperti halnya wartawan peliput pertandingan olahraga. Isinya hanya berfokus pada
"kemenangan penting dalam sebuah "permainan menang-kalah" antara dua belah pihak. Jurnalisme
damai merupakan kritik terhadap jurnalisme. perang yang lebih memfokuskan pada konflik dan kejadian
kekerasan. Jurnalisme perang merupakan aliran jurnalistik yang dapat memunculkan konflik baru dan
kerugian bagi pihak tertentu akibat pemberitaan yang disiarkan. Media massa memiliki kekuatan untuk
memengaruhi publik melalui proses pembingkaian berita (framing), pengemasan dan penggambaran
fakta, pemilihan sudut pandang, serta penempatan foto ataupun audio video. Di sinilah media massa
dihadapkan pada dua realitas, yaitu sebagai peruncing konflik atau sebagai mediator untuk mengakhiri
konflik. Media bisa menjadi alat propaganda dan alat perdamaian. Semua itu tergantung pada lembaga
pers yang memberitakan. Untuk melihat bagaimana per bedaan antar-kedua paham tersebut, kita harus
melihat karakteristik dari masing-masing jurnalisme. Karakteristik jurnalisme damai, yaitu:

a. Memandang pertikaian maupun konflik sebagai sebuah masalah yang harus segera diatasi,

b. Konten pemberitaan selalu mencari tahu asal usul konflik dan alternatif penyelesaian.

c. Didasarkan pada pendekatan menang menang, tidak memandang siapa yang kalah dan siapa yang
menang.

d. Hal yang menarik untuk diangkat sebagai berita yaitu kerusakan dan kerugian psikologis, budaya, dan
penderitaan korban konflik.

e. Melaporkan setiap kejadian dengan frame yang lebih luas, lebih berimbang, dan lebih akurat. Hal ini
dilakukan karena media harus melihat satu persoalan dari berbagai perspektif, bukan melihat satu sudut
pandang saja. Semua pihak mendapat porsi yang sama dalam setiap pemberitaan.

f. Pemilihan judul, diksi kata, konten berita, dan narasumber yang meng hindari penggunaan kata yang
memicu konflik dan bersifat ambigi

g. Materi pemberitaan bukan menyembunyikan fakta, tetapi memilih fakta yang lebih bijaksana.
Tujuannya agar tidak terjadi perpecahan maupun konflik baru.

Dengan adanya pemberitaan yang menganut konsep perdamaian, media massa berpeluang untuk
mendekatkan kedua belah pihak untuk berdamai. Adapun pada jurnalisme perang, pers enggan
menggali usul konflik dan mengabaikan alternatif penyelesaian. Hal itu disebabkan karena persoalan
konflik, pertikaian, dan perang merupakan hal yang mengundang perhatian publik. Media massa
memang memiliki kekuatan untuk memengaruhi pemirsa. Narnum sebagai media yang profesional,
sudah seharusnya menerapkan prinsip jurnalisme damai dalam setiap pemberitaan demi terciptanya
perdamaian. Pers berperan aktif menjadi bagian dari sebuah solusi, bukan justru memperparah keadaan
dengan pemberitaan-pemberitaan yang berbau perang dan pertikaian. Cover both sides pada kondisi
konflik, juga harus direspona dengan mengakomodasi pihak-pihak lain yang terkait agar memperhalus isi
laporan karena meluas pada beberapa pendapat.

Bila hanya dua sisi yang bersitegang di-cross check pada suatu siaran akan menajamkan pisau
perselisihan di antara mereka. Tapi dianjurkan menam pilkan cover many sides (banyak pendapat) atau
multiangles (beberapa sudut pandang), misalnya kasus kerusuhan di Kalimantan 1999 2000 jangan suku
Dayak dan suku Madura saja yang disiarkan pernyataannya, tetapi kalangan pengusaha, pemerintah,
LSM, mahasiswa, dan lain sebagainya supaya tidak memperuncing konflik yang ada.. Pers membutuhkan
ruang kebebasan untuk menjalankan fungsinya secara optimal. Pers sebagai media penyampai informasi
mengambil peran yang sangat penting, jika pers tidak menyebarluaskan suatu berita, maka berita
tersebut tidak mempunyai arti apa pun. Sesuai dengan pilar keempat demokrasí, pers harus memahami
prinsip demokrasi dalam pemberitaannya. Oleh karena itu, aspek-aspek kedamaian, keadilan, dan tidak
melanggar HAM harus dikedepankan Peliputan di area konflik dapat muncul kapan saja dan di mana saja
dan harus dibarengi dengan semangat kuat untuk memerangi konflik itu sendiri. Dalam bahasa yang
lebih sederhana, peran media dalam memberitakan kasus-kasus pertikaian memiliki dua potensi yang
sama besarnya, yakni memberikan kesempatan kepada kedua pihak yang berkonflik untuk menempuh
jalan damai atau malah memperuncing keadaan atas pemberitaannya tersebut. Pada tahun 1990-an
bentuk jurnalisme damai didegungkan oleh seluruh wartawan di penjuru dunia khususnya di Asia yang
rawan konflik, untuk melaporkan fakta dengan bijaksana agar sesuai misi dan tujuan perdamaian.
Seorang jumalis harus menghindari nilai berita konflik yang akan memperkeruh suasana. Ketika menulis
berita alangkah baiknya. menganti dengan kata yang lebih halus misalnya; diamankan, rekonsiliasi.
Maka, jurnalisme damai tidak menyembunyikan fakta tetapi penegasan dari standar dan etika jurnalistik
yang telah berlaku. Apabila suatu daerah atau negara dalam kondisi konflik yang sangat tajam, peran
jurnalisme. damai dibutuhkan untuk menciptakan kesejukan dengan berita-berita yang membangkitkan
motivasi dan rasa perdamaian. Maka, misi perdamaian dibutuhkan pada wilayah konflik sekarang ini
seperti di Utara Afrika dan negara-negara Arab.

5. Precision Journalism

Jumalisme presisi berkembang seiring munculnya jurnalisme baru di Amerika, pada pertengahan 1970-
an. Fred Fedler, seorang komunikolog yang mencatat fenomena jurnalisme presisi ini, dalam
pengamatannya. menjelaskan:... precision journalism adalah kegiatan jurnalistik yang menekankan
ketepatan memaknakan informasi, yakni sebuah pola kerja pencarian data yang tertuju pada target
membentuk ukuran ketepatan informasi empirik," Precision journalism atau jurnalisme presisi
dikenalkan pertama kall oleh seorang profesor jurnalisme dari Garnett Center for Media Studiea,
Amerika Serikat, pada 1973." Sebelumnya jenis jurnalisme ini disebut sebagai new journa lism,
computer-asisted journalism (jurnalisme yang dibantu komputer). scientific journalism (jumalisme
ilmiah), atau quantitative journalism (jurnalisme kuantitatif). Karena itu, jurnalisme presisi memiliki
banyak definisi. Salah satu definisi jurnalisme presisi yaitu cara melakukan reportase (reporting)
jurnalistik dengan memakai metode penelitian sosial sebagai cara mengumpulkan keterangan dan
menggunakan content analysis sebagai sumber informasinya. Jenis jurnalisme ini tidak banyak berbeda
dengan reportase investigatif bedanya, jurnalisme presisi menggunakan metode ilmiah. Ada dua metode
penelitian utama yang umumnya dipakai yaitu content analysis dan riset survei. (survey research).

Anda mungkin juga menyukai