RESUME
Disusun Oleh:
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2022
INTERAKSI OBAT
“ANTAGONIS RESEPTOR”
2. Patofisiologi penyakit
GERD terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara faktor ofensif dan defensif dari
sistem pertahanan esofagus dan bahan refluksat lambung. Yang termasuk faktor defensif
sistem pertahanan esofagus adalah LES (Lower Esophageal Sphincter) , mekanisme
bersihan esofagus, dan epitel esofagus.
LES merupakan strukur anatomi berbentuk sudut yang memisahkan esofagus dengan
lambung. Pada keadaan normal, tekanan LES akan menurun saat menelan sehingga
terjadi aliran antegrade dari esofagus ke lambung. Pada GERD, fungsi LES terganggu dan
menyebabkan terjadinya aliran retrograde dari lambung ke esofagus. Terganggunya
fungsi LES pada GERD disebabkan oleh turunnya tekanan LES akibat penggunaan obat-
obatan, makanan, faktor hormonal, atau kelainan struktural.
Mekanisme bersihan esofagus merupakan kemampuan esofagus membersihkan dirinya
dari bahan refluksat lambung; termasuk faktor gravitasi, gaya peristaltik esofagus,
bersihan saliva, dan bikarbonat dalam saliva. Pada GERD, mekanisme bersihan esofagus
terganggu sehingga bahan refluksat lambung akan kontak ke dalam esofagus; makin lama
kontak antara bahan refluksat lambung dan esofagus, maka risiko esofagitis akan makin
tinggi. Selain itu, refluks malam hari pun akan meningkatkan risiko esofagitis lebih besar.
Hal ini karena tidak adanya gaya gravitasi saat berbaring.
Mekanisme ketahanan epitel esofagus terdiri dari membran sel, intercellular junction
yang membatasi difusi ion H+ ke dalam jaringan esofagus, aliran darah esofagus yang
menyuplai nutrien-oksigen dan bikarbonat serta mengeluarkan ion H+ dan CO2, sel
esofagus mempunyai kemampuan mentransport ion H+ dan Cl- intraseluler dengan Na+
dan bikarbonat ekstraseluler. (Monica dan widi, 2017).
Proses terjadinya gastritisa atau maag yaitu awalnya karena obat-obatan, alkohol, empedu
atau enzim-enzim pankreas yang dapat merusak mukosa lambung menggangu pertahanan
mukosa lambung dan memungkinkan difusi kembali asam dan pepsin ke dalam jaringan
lambung, hal ini menimbulkan peradangan. Respon mukosa lambung terhadap
kebanyakan penyebab iritasi tersebut adalah dengan regenerasi mukosa, karena itu
gangguan-gangguan tersebut seringkali menghilang dengan sendirinya. Dengan iritasi
yang terus menerus, jaringan menjadi meradang dan dapat terjadi perdarahan. Masuknya
zat-zat seperti asam dan basa kuat yang bersifat korosif dapat mengakibatkan peradangan
pada dinding lambung (Priyanto, 2008)
4. Interaksi obat
- Interaksi antara famotidine dan salbutamol (albuterol).
Kategori interaksi : moderate
Interaksi yang terjadi : Famotidine dapat menyebabkan perpanjangan QTc. Secara
teoritis, pemberian bersama dengan agen lain yang dapat memperpanjang interval QT
dapat menyebabkan efek aditif dan peningkatan risiko aritmia ventrikel termasuk
torsade de pointes dan kematian mendadak. Menurut produsen, perpanjangan interval
QT telah dilaporkan sangat jarang pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal yang
dosis/interval dosis famotidine mungkin tidak disesuaikan dengan tepat. Secara
umum, risiko suatu agen individu atau kombinasi dari agen-agen ini yang
menyebabkan aritmia ventrikel sehubungan dengan pemanjangan QT sebagian besar
tidak dapat diprediksi tetapi dapat ditingkatkan oleh faktor-faktor risiko tertentu yang
mendasari seperti sindrom QT panjang bawaan, penyakit jantung, dan gangguan
elektrolit (mis. hipokalemia, hipomagnesemia). Selain itu, tingkat perpanjangan QT
yang diinduksi obat tergantung pada obat tertentu yang terlibat dan dosis obat.
Penanganan : Perhatian dan pemantauan klinis dianjurkan jika famotidine digunakan
dalam kombinasi dengan obat lain yang dapat memperpanjang interval QT. Pasien
harus disarankan untuk mencari perhatian medis segera jika mereka mengalami gejala
yang dapat mengindikasikan terjadinya torsade de pointes seperti pusing, kepala
terasa ringan, pingsan, palpitasi, irama jantung tidak teratur, sesak napas, atau sinkop.