Anda di halaman 1dari 7

TUGAS

RESUME

Disusun Oleh:

LENI FITRIANI HAMDU


O1A118005

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2022
INTERAKSI OBAT
“ANTAGONIS RESEPTOR”

1. Definisi antagonis reseptor


Antagonis reseptor adalah istilah dalam bidang ilmu farmakologi, terutama berhubungan
dengan farmakodinamik yaitu ilmu yang mempelajari efek-efek biokimia dan fisiologi
obat serta mekanisme kerja obat dalam tubuh. Antagonisme reseptor berkaitan dengan
suatu keadaan ketika efek dari suatu obat menjadi berkurang atau hilang sama sekali yang
disebabkan oleh keberadaan satu obat lainnya. Prosesnya berikatan dengan reseptor
namun tidak menyebabkan aktivasi, menurunkan kemungkinan agonis akan berikatan
pada reseptor, sehingga menghalangi kerjanya dengan secara efektif dengan cara
melemahkan atau melepaskan dari sistem reseptor (Negus, 2006).
Antagonis reseptor H2 adalah salah satu golongan obat saluran pencernaan /
gastrointestinal yang paling banyak diresepkan ; obat – obatan yang digunakan untuk
mengobati gejala dan kondisi yang disebabkan oleh produksi asam lambung yang
berlebihan. Antagonis reseptor H2 berperan dalam mengurangi sekresi asam lambung
dengan menghambat pengikatan histamin secara selektif pada reseptor H2 dan
menurunkan kadar cyclic-AMP dalam darah (Aziz, 2020). Antagonis H2 atau histamine 2
blocker adalah kelompok obat yang digunakan untuk meredakan gejala penyakit asam
lambung atau gastroesphageal reflux disease (GERD). Adapun contoh antagonis reseptor
H2 meliputi : simetidin, famotidine, ranitidine, nizatidine.

2. Patofisiologi penyakit
GERD terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara faktor ofensif dan defensif dari
sistem pertahanan esofagus dan bahan refluksat lambung. Yang termasuk faktor defensif
sistem pertahanan esofagus adalah LES (Lower Esophageal Sphincter) , mekanisme
bersihan esofagus, dan epitel esofagus.
LES merupakan strukur anatomi berbentuk sudut yang memisahkan esofagus dengan
lambung. Pada keadaan normal, tekanan LES akan menurun saat menelan sehingga
terjadi aliran antegrade dari esofagus ke lambung. Pada GERD, fungsi LES terganggu dan
menyebabkan terjadinya aliran retrograde dari lambung ke esofagus. Terganggunya
fungsi LES pada GERD disebabkan oleh turunnya tekanan LES akibat penggunaan obat-
obatan, makanan, faktor hormonal, atau kelainan struktural.
Mekanisme bersihan esofagus merupakan kemampuan esofagus membersihkan dirinya
dari bahan refluksat lambung; termasuk faktor gravitasi, gaya peristaltik esofagus,
bersihan saliva, dan bikarbonat dalam saliva. Pada GERD, mekanisme bersihan esofagus
terganggu sehingga bahan refluksat lambung akan kontak ke dalam esofagus; makin lama
kontak antara bahan refluksat lambung dan esofagus, maka risiko esofagitis akan makin
tinggi. Selain itu, refluks malam hari pun akan meningkatkan risiko esofagitis lebih besar.
Hal ini karena tidak adanya gaya gravitasi saat berbaring.
Mekanisme ketahanan epitel esofagus terdiri dari membran sel, intercellular junction
yang membatasi difusi ion H+ ke dalam jaringan esofagus, aliran darah esofagus yang
menyuplai nutrien-oksigen dan bikarbonat serta mengeluarkan ion H+ dan CO2, sel
esofagus mempunyai kemampuan mentransport ion H+ dan Cl- intraseluler dengan Na+
dan bikarbonat ekstraseluler. (Monica dan widi, 2017).
Proses terjadinya gastritisa atau maag yaitu awalnya karena obat-obatan, alkohol, empedu
atau enzim-enzim pankreas yang dapat merusak mukosa lambung menggangu pertahanan
mukosa lambung dan memungkinkan difusi kembali asam dan pepsin ke dalam jaringan
lambung, hal ini menimbulkan peradangan. Respon mukosa lambung terhadap
kebanyakan penyebab iritasi tersebut adalah dengan regenerasi mukosa, karena itu
gangguan-gangguan tersebut seringkali menghilang dengan sendirinya. Dengan iritasi
yang terus menerus, jaringan menjadi meradang dan dapat terjadi perdarahan. Masuknya
zat-zat seperti asam dan basa kuat yang bersifat korosif dapat mengakibatkan peradangan
pada dinding lambung (Priyanto, 2008)

3. Farmakodinamik & Farmakokinetik


- Farmakodinamik
Farmakologi ranitidin sebagai antagonis reseptor histamin yang mensupresi sekresi
asam lambung.
Ranitidin merupakan antagonis kompetitif reversibel reseptor histamin pada sel
parietal mukosa lambung yang berfungsi untuk mensekresi asam lambung. Ranitidin
mensupresi sekresi asam lambung dengan 2 mekanisme:Histamin yang diproduksi
oleh sel ECL gaster diinhibisi karena ranitidin menduduki reseptor H2 yang berfungsi
menstimulasi sekresi asam lambungSubstansi lain (gastrin dan asetilkolin) yang
menyebabkan sekresi asam lambung, berkurang efektifitasnya pada sel parietal jika
reseptor H2 diinhibisi.
Sekali pemberian ranitidin oral dengan dosis 50,100, 150, dan 200 mg mengurangi
produksi asam lambung dari stimulasi pentagastrin berturut-turut sebanyak 42%,
75%, 85%, dan 95% pada subjek sehat. Pemberian ranitidin 150 mg dosis tunggal
produksi asam lambung basal terinhibisi sebanyak 70% pada 5 jam setelah pemberian
dan 38% setelah 10 jam. Pada pasien ulkus duodenal, pemberian ranitidin 150 mg
b.i.d mengurangi 70% tingkat keasaman lambung selama 24 jam, serta mengurangi
produksi asam lambung nokturnal sebanyak 90%.
- Farmakokinetik
1) Absorbsi
Ranitidin dapat diadministrasi lewat injeksi oral, intramuskular, dan intravena. Penyerapan
ranitidin lewat rute oral (bioavailabilitas) 50% diabsorbsi dan mencapai peak plasma
concentration dicapai dalam waktu 1-2 jam. Absorbsi tidak dipengaruhi oleh makanan atau
antasida. Setelah pemberian oral, dosis 150 mg mean plasma concentration sekitar 400
ng/ml.[6]Penyerapan ranitidin lewat rute injeksi intramuskular dosis 50 mg sangat cepat
dengan mean plasma concentration 576 ng/ml dalam 15 menit atau kurang. Bioavailabilitas
mencapai 90-100%.[5]Penyerapan ranitidin lewat rute injeksi intravena mencapai mean
plasma concentration 440-545 ng/mL dalam 2-3 jam.
2) Distribusi
Didistribusikan secara luas, termasuk ASI, menyeberangi sawar darah otak dan
plasenta. Konsentrasi ranitidin di cairan serebrospinal 1/20 sampai 1/30 konsentrasi di
plasma pada waktu yang sama. Volume distribusi 1,4 L/kg (1,2-1,8 L/kg). Ikatan
plasma protein 15%.
3) Metabolisme
Metabolisme ranitidin terjadi di hepatik, dengan total pembersihan sebanyak 30% dari
total body clearance setelah pemberian IV, dan 73% setelah pemberian oral. Hasil
metabolisme ranitidin adalah N-oksida sebagai metabolit utama sebanyak <4% dari
total osis yang diadministrasi, S-oksida (1%) dan desmetil ranitidin (1%) yang
ditemukan di urin. Sisa dari dosis yang diberikan ditemukan pada feses. Pada pasien
dengan disfungsi hepar (sirosis) terdapat gangguan metabolisme ranitidin (waktu
paruh, distribusi, pembersihan, dan bioavailabilitas) namun bersifat minor dan
insignifikan.
4) Ekskresi
Ekskresi ranitidin dilakukan via renal dengan rata-rata 530 mL/menit hingga 760
mL/menit yang menandakan ekskresi tubular aktif. Waktu paruh eliminasi berkisar 2
hingga 3 jam. Ekskresi ranitidin (unchanged form) di urin pada pemberian oral 30%
dan 70% pada pemberian IV dalam 24 jam, sisanya dieksresikan lewat feses. Pasien
dengan gangguan fungsi renal (pembersihan kreatinin 25-35 ml/menit) pemberian
ranitidin IV dosis 50 mg memiliki waktu paruh 4,8 jam, eksresi ranitidin 29 ml/menit.

4. Interaksi obat
- Interaksi antara famotidine dan salbutamol (albuterol).
Kategori interaksi : moderate
Interaksi yang terjadi : Famotidine dapat menyebabkan perpanjangan QTc. Secara
teoritis, pemberian bersama dengan agen lain yang dapat memperpanjang interval QT
dapat menyebabkan efek aditif dan peningkatan risiko aritmia ventrikel termasuk
torsade de pointes dan kematian mendadak. Menurut produsen, perpanjangan interval
QT telah dilaporkan sangat jarang pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal yang
dosis/interval dosis famotidine mungkin tidak disesuaikan dengan tepat. Secara
umum, risiko suatu agen individu atau kombinasi dari agen-agen ini yang
menyebabkan aritmia ventrikel sehubungan dengan pemanjangan QT sebagian besar
tidak dapat diprediksi tetapi dapat ditingkatkan oleh faktor-faktor risiko tertentu yang
mendasari seperti sindrom QT panjang bawaan, penyakit jantung, dan gangguan
elektrolit (mis. hipokalemia, hipomagnesemia). Selain itu, tingkat perpanjangan QT
yang diinduksi obat tergantung pada obat tertentu yang terlibat dan dosis obat.
Penanganan : Perhatian dan pemantauan klinis dianjurkan jika famotidine digunakan
dalam kombinasi dengan obat lain yang dapat memperpanjang interval QT. Pasien
harus disarankan untuk mencari perhatian medis segera jika mereka mengalami gejala
yang dapat mengindikasikan terjadinya torsade de pointes seperti pusing, kepala
terasa ringan, pingsan, palpitasi, irama jantung tidak teratur, sesak napas, atau sinkop.

- Ranitidine dan ibu profen


Kategori interaksi : minor
Interaksi yang terjadi : Antagonis H2 dapat mengubah disposisi obat antiinflamasi
nonsteroid (NSAID), yang mengakibatkan peningkatan atau penurunan konsentrasi
plasma. Data bervariasi, bahkan untuk NSAID yang sama. Mekanismenya mungkin
berhubungan dengan penghambatan metabolisme, perubahan pH lambung yang
menurunkan absorpsi, dan/atau penurunan eliminasi urin. Perubahan signifikan secara
statistik kecil dan signifikansi klinis terbatas. Pemantauan klinis respon pasien dan
toleransi dianjurkan.

Pada interaksi Antacida-Ranitidin, interaksi farmakokinetik terjadi karena penurunan


efek bioavailabilitas ranitidine oleh antacid sehingga kemungkinan besar tukak
lambung tidak dapat diobati dengan baik. Perubahan pH lambung yang disebabkan
oleh antacid dan pergerakan lambung yang diperlambat merupakan mekanisme
potensial yang mempengaruhi terjadinya penurunan efek biovailabilitas ranitidine.
Sangat penting untuk berhati-hati dengan interaksi ini karena kedua obat tersebut
sering dipergunakan secara bersama-sama pada pengobatan tukak lambung. Untuk
mencegah interaksi yang merugikan maka sebaiknya ranitidine diberikan minimal 1
jam sebelum antacid.
Pada interaksi Antacida-Amoxicillin, interaksi farmakokinetik terjadi karena
terganggunya absorpsi amoxicillin oleh antacid. Hal ini terjadi karena dalam keadaan
alkalis, amoxicillin tidak dapat terabsorpsi sempurna sehingga efektivitas amoxicillin
akan menurun. Untuk mencegah interaksi seperti ini maka pemberian antacid
sebaiknya tidak berlebihan. Pemilihan antibiotik juga perlu diperhatikan agar tidak
terjadi interaksi yang merugikan.
Pada interaksi Antacida-Digoxin, interaksi farmakokinetik juga terjadi karena
terhambatnya absorpsi Digoxin, Digoxin merupakan obat untuk mengobati layu
jantung dan menormalkan kembali denyut jantung. Jika digoxin diberikan bersama
antacid maka kondisi jantung yang diobati mungkin tidak terkendali dengan baik.
Semua antasida dapat berinteraksi dengan digoxin, kecuali antasida yang mengandung
natrium karbonat. Agar interaksi yang tidak dikehendaki tidak terjadi maka pemberian
kedua obat ini sebaiknya tidak dilakukan secara bersamaan.
Pada interaksi Ranitidin-Nifedipin, interaksi farmakokinetik tejadi karena ranitidine
meningkatkan bioavailabilitas nifedipin dengan menurunkan keasaman lambung. Hal
ini kemungkinan besar akan mengakibatkan nifedipin menjadi toksik sehingga efek-
efek yang tidak diinginkan seperti takikardia, hipotensi, edema kaki dan efek-efek
buruk lainnya mungkin terjadi. Untuk mencegah interaksi tersebut maka sebaiknya
ranitidine diberikan minimal 1 jam sesudah pemberian nifedipin (Sukirawati dan
Yusriyani, 2021).

- Interaksi obat dengan makanan


Merokok dan konsumsi kafein yang berlebihan dapat mengubah kadar teofilin dalam
darah, yang dapat mempengaruhi dosis. Asap tembakau dan ganja (termasuk paparan
bekas) umumnya mengurangi, sementara kafein meningkatkan kadar darah. Selain itu,
kafein adalah stimulan dan dapat menambah efek samping teofilin seperti sakit
kepala, insomnia, dan peningkatan tekanan darah dan detak jantung. Yang terbaik
adalah menghindari merokok dan membatasi konsumsi kafein selama terapi teofilin.
Bicaralah dengan profesional kesehatan jika Anda memiliki pertanyaan atau masalah.
Jika Anda mulai merokok atau menjalani penghentian merokok, dokter Anda
mungkin perlu memantau kadar darah Anda lebih dekat untuk menentukan apakah
Anda memerlukan penyesuaian dosis teofilin. Anda harus berhenti minum teofilin dan
mencari bantuan medis jika Anda mengalami tanda dan gejala potensial dari tingkat
obat yang berlebihan seperti mual, muntah, sakit kepala terus menerus, insomnia, dan
detak jantung yang cepat. Penting untuk memberi tahu dokter Anda tentang semua
obat lain yang Anda gunakan, termasuk vitamin dan herbal. Jangan berhenti
menggunakan obat apa pun tanpa terlebih dahulu berbicara dengan dokter Anda.

Anda mungkin juga menyukai