Anda di halaman 1dari 6

Penatalaksanaan pada pasien gastropati NSAID, terdiri dari non-mediamentosa

dan medikamentosa. Pada terapi non-medikametosa, yakni berupa istirahat, diet dan jika
memungkinkan, penghentian penggunaan NSAID. Secara umum, pasien dapat dianjurkan
pengobatan rawat jalan, bila kurang berhasil atau ada komplikasi baru dianjurkan rawat
inap di rumah sakit.7

Pada pasien dengan disertai tukak, dapat diberikan diet lambung yang bertujuan
untuk memberikan makanan dan cairan secukupnya yang tidak memberatkan lambung,
mencegah dan menetralkan asam lambung yang berlebihan serta mengusahakan keadaan
gizi sebaik mungkin. Adapun syarat diet lambung yakni:9

1. Mudah cerna, porsi kecil, dan sering diberikan.

2. Energi dan protein cukup, sesuai dengan kemampuan pasien untuk menerima

3. Rendah lemak, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total yang ditingkatkan secara
bertahap hingga sesuai dengan kebutuhan.

4. Rendah serat, terutama serat tidak larut air yang ditingkatkan secara bertahap.

5. Cairan cukup, terutama bila ada muntah

6. Tidak mengandung bahan makanan atau bumbu yang tajam, baik secara termis,
mekanis, maupun kimia (disesuaikan dengan daya terima perseorangan)

7. Laktosa rendah bila ada gejala intoleransi laktosa; umumnya tidak dianjurkan
minum susu terlalu banyak.

8. Makan secara perlahan

9. Pada fase akut dapat diberikan makanan parenteral saja selama 24-48jam untuk
memberikan istirahat [ada lambung.

Evaluasi sangat penting karena sebagian besar gastropati NSAID ringan dapat
sembuh sendiri walaupun NSAID tetap diteruskan. Antagonis reseptor H2 (ARH2) atau
PPI dapat mengatasi rasa sakit dengan baik. Pasien yang dapat menghentikan NSAID, obat-
obat tukak seperti golongan sitoproteksi, ARH2 dan PPI dapat diberikan dengan hasil yang
baik. Sedangkan pasien yang tidak mungkin menghentikan NSAID dengan berbagai
pertimbangan sebaiknya menggunakan PPI. Mereka yang mempunyai faktor risiko untuk
mendapat komplikasi berat, sebaiknya dberikan terapi pencegahan mengunakan PPI atau
analog prostaglandin.3
Gambar 5. Alogaritma penatalaksanaan pada pasien yang menggunakan NSAID dan
terdapat gejala GastroIntestinal4

Tiga strategi saat ini diikuti secara rutin klinis untuk mencegah kerusakan yang
disebabkan gastropati NSAID: (i) coprescription agen gastroprotektif, (ii) penggunaan
inhibitor selektif COX-2, dan (iii) pemberantasan H. pylori.

Gastroprotektif.5

 Misoprolol

Misoprostol adalah analog prostaglandin yang digunakan untuk menggantikan


secara lokal pembentukan prostaglandin yang dihambat oleh NSAID. Menurut
analisis-meta dilakukan oleh Koch, misoprostol mencegah kerusakan GI: ulserasi
lambung ditemukan dikurangi secara signifikan dalam kedua penggunaan NSAID,
kronis dan akut, sedangkan ulserasi duodenum berkurang secara signifikan hanya
dalam pengobatan kronis. Dalam studi-co aplikasi mukosa misoprostol 200 mg
empat kali sehari terbukti mengurangi tingkat keseluruhan komplikasi NSAID
sekitar 40%. Namun, penggunaan misoprostol dosis tinggi dibatasi karena efek
samping terhadap GI. Selain itu, penggunaan misoprostol tidak berhubungan
dengan pengurangan gejala dispepsia.
 Sucralfat/Antasida

Selain mengurangi paparan asam pada epitel yang rusak dengan membentuk gel
pelindung (sucralfate) atau dengan netralisasi asam lambung (antasida), kedua
regimen telah ditunjukkan untuk mendorong berbagai mekanisme gastroprotektif.

Sukralfat dapat menghambat hidrolisis protein mukosa oleh pepsin. Sukralfat


masih dapat digunakan pada pencegahan tukak akibar stress, meskipun kurang
efektif. Karena diaktivasi oleh asam, maka sukralfat digunakan pada kondisi
lambung kosong. Efek samping yang paling banyak terjadi yaitu konstipasi.

Antasida diberikan untuk menetralkan asam lambung dengan mempertahankan PH


cukup tinggi sehingga pepsin tidak diaktifkan, sehingga mukosa terlindungi dan
nyeri mereda. Preparat antasida yang paling banyak digunakan adalah campuran
dari alumunium hidroksida dengan magnesium hidroksida. Efek samping yang
sering terjadi adalah konstipasi dan diare.

 H2 Receptor Agonis

H 2 reseptor antagonis (H2RA) merupakan standar pengobatan ulkus sampai


pengembangan PPI. Mereka adalah obat pertama yang efektif untuk
menyembuhkan esofagitis refluks serta tukak lambung. Namun, dalam pencegahan
Gastropati NSAID, H2RA pada dosis standar tidak hanya kurang efektif tetapi juga
dapat meningkatkan risiko ulkus pendarahan. Menggandakan dosis standar
(famotidin 40 mg dua kali sehari) secara signifikan menurunkan kejadian 6 bulan
ulkus lambung.

 Proton Pump Inhibitor

Supressi asam oleh PPI lebih efektif dibandingkan dengan H2RA dan sekarang
terapi standar untuk pengobatan baik tukak lambung dan refluks gastro-esofageal-
penyakit (GERD). Jika diberikan dalam dosis yang cukup, produksi asam harian
dapat dikurangi hingga lebih dari 95%. Sekresi asam akan kembali normal setelah
molekul pompa yang baru dimasukkan ke dalam membran lumen. Omeprazol juga
secara selektif menghambat karbonat anhidrase mukosa lambung yang
kemungkinan turut berkontribusi terhadap sifat supresi asamnya. Proton Pump
Inhibitor yang lain diantaranya lanzoprazol, esomeprazol, rabeprazol dan
Pantoprazol. Kelemahan dari PPI mungkin bahwa mereka tidak mungkin untuk
melindungi terhadap cedera mukosa di bagian distal lebih dari usus (misalnya di
colonopathy NSAID). Namun, dalam ringkasan, PPI menyajikan comedication
pilihan untuk mencegah NSAID-induced gastropathy.

Gambar 6. Perbandingan medikasi terhadap penggunaan NSAID 5

Tindakan operasi saat ini frekuensinya menurun akibat keberhasilan terapi


medikamentosa. Indikasi operasi terbagi 3 yaitu :7

 Elektip (tukakak refrakter/gagal pengobatan)

 Darurat ( komplikasi : perdarahan massif, perforasi, senosis polorik)

 Tukak gaster dengan sangkutan keganasan.


KOMPLIKASI

Pada gastropati NSAID, dapat terjadi ulkus, yang memiliki beberapa komplikasi
yakni:

1. Hemoragi-gastrointestinal atas, gastritis dan hemoragi akibat ulkus


peptikum adalah dua penyebab paling umum perdarahan saluran GI.

2. Perforasi, merupakan erosi ulkus melalui mukosa lambung yang


menembus ke dalam rongga peritoneal tanpa disertai tanda.

3. Penetrasi atau Obstruksi, penetrasi adalah erosi ulkus melalui serosa


lambung ke dalam struktur sekitarnya seperti pankreas, saluran bilieratau
omentum hepatik.

4. Obstruksi pilorik terjadi bila area distal pada sfingter pilorik menjadi
jaringan parut dan mengeras karena spasme atau edema atau karena
jaringan parut yang terbentuk bila ulkus sembuh atau rusak.

Selain terjadinya gangguan di saluran gastrointestinal, penggunanaan NSAID yang


berlebihan, dapat menyebabkan berbagai efek samping lain, baik di ginjal, pada kulit,
maupun sistem syaraf.

Prostaglandin E2 (PGE2) dan I2 (PGI2) yang dibentuk dalam glomerulus


mempunyai pengaruh terutama pada aliran darah dan tingkat filtrasi glomerulus. PGI1 yang
diproduksi pada arteriol ginjal juga mengatur aliran darah ginjal. Penghambatan biosintesis
prostaglandin di ginjal, terutama PGE2, oleh NSAID menyebabkan penurunan aliran darah
ginjal. Pada orang normal, dengan hidrasi yang cukup dan ginjal yang normal, gangguan
ini tidak banyak mempengaruhi fungsi ginjal karena PGE2 dan PGI2 tidak memegang
peranan penting dalam pengendalian fungsi ginjal. Tetapi pada penderita hipovolemia,
sirosis hepatis yang disertai asites, dan penderita gagal jantung, PGE2 dan PGI2 menjadi
penting untuk mempertahankan fungsi ginjal. Sehingga bila NSAID diberikan, akan terjadi
penurunan kecepatan filtrasi glomerulus dan aliran darah ginjal bahkan dapat pula terjadi
gagal ginjal. Penghambatan enzim siklooksigenase dapat menyebabkan terjadinya
hiperkalemia. Hal ini sering sekali terjadi pada penderita diabetes mellitus, insufisiensi
ginjal, dan penderita yang menggunakan β-blocker dan ACE-inhibitor atau diuretika yang
menjaga kalium (potassium sparing). Selain itu, penggunaan NSAID dapat menimbulkan
reaksi idiosinkrasi yang disertai proteinuria yang masif dan nefritis interstitial yang akut.
Efek samping lain adalah gangguan fungsi trombosit dengan akibat perpanjangan
waktu perdarahan. Ketika perdarahan, trombosit yang beredar dalam sirkulasi darah
mengalami adhesi dan agregasi. Trombosit ini kemudian menyumbat dengan endotel yang
rusak dengan cepat sehingga perdarahan terhenti. Agregasi trombosit disebabkan oleh
adanya tromboksan A2 (TXA2). TXA2, sama seperti prostaglandin, disintesis dari asam
arachidonat dengan bantuan enzim siklooksigenase. NSAID bekerja menghambat enzim
siklooksigenase. Aspirin mengasetilasi Cox I (serin 529) dan Cox II (serin 512) sehingga
sintesis prostaglandin dan TXA2 terhambat. Dengan terhambatnya TXA2, maka proses
trombogenesis terganggu, dan akibatnya agregasi trombosit tidak terjadi. Jadi, efek
antikoagulan trombosit yang memanjang pada penggunaan aspirin atau NSAID lainnya
disebabkan oleh adanya asetilasi siklooksigenase trombosit yang irreversibel (oleh aspirin)
maupun reversibel (oleh NSAID lainnya). Proses ini menetap selama trombosit masih
terpapar NSAID dalam konsentrasi yang cukup tinggi.

Dengan menggunakan meta analisis, dapat diketahui bahwa NSAID dapat


meningkatkan tekanan darah rata-rata (mean arterial pressure) sebanyak kurang lebih 5
mmHg. NSAID paling kuat mengantagonis efek antihipertensi β-blocker dan ACE-
inhibitor, sedangkan terhadap efek antihipertensi vasodilator atau diuretik efeknya paling
lemah. NSAID yang paling kuat menimbulkan efek meningkatkan tekanan darah ialah
piroksikam.

NSAID juga dapat menyebabkan reaksi kulit seperti erupsi morbiliform yang
ringan, reaksi-reaksi obat yang menetap, reaksi-reaksi fotosensitifitas, erupsi-erupsi
vesikobulosa, serum sickness, dan eritroderma exofoliatif. Hampir semua NSAID dapat
menyebabkan urtikaria terutama pada pasien yang sensitif dengan aspirin. Menurut studi
oleh Akademi Dermatologi di Amerika pada tahun 1984, NSAID yang paling sedikit
menimbulkan gangguan kulit adalah piroksikam, zomepirac, sulindak, natrium
meklofenamat, dan benaxoprofen.

Pada sistem syaraf pusat, NSAID dapat menyebabkan gangguan seperti, depresi,
konvulsi, nyeri kepala, rasa lelah, halusinasi, reaksi depersonalisasi, kejang, dan sinkope.
Pada penderita usia lanjut yang menggunakan naproksen atau ibuprofen telah dilaporkan
mengalami disfungsi kognitif, kehilangan personalitas, pelupa, depresi, insomnia, iritasi,
rasa ringan kepala, hingga paranoid.20 Pada beberapa orang dapat terjadi reaksi
hipersensitifitas berupa rinitis vasomotor, oedem angioneurotik, urtikaria luas, asma
bronkiale, hipotensi hingga syok.

Anda mungkin juga menyukai