Anda di halaman 1dari 80

DEFINISI DARI TUKAK LAMBUNG

Tukak lambung atau tukak usus adalah luka pada lapisan bagian dalam
dari lambung atau usus. Yang dirasakan penderita adalah nyeri di saluran
pencernaannya. Berdasarkan sifatnya, tukak lambung dan tukak usus
dapat dibedakan sebagai berikut:
Tukak Lambung : lebih sering terjadi pada pria usia lanjut (60 tahun
atau lebih). Penyembuhannya memerlukan waktu lebih lama
dibandingkan tukak usus, karena luka di lambung terus-menerus
bersentuhan dengan asam lambung.
Tukak Usus : muncul di bagian awal usus kecil, lebih sering terjadi pada
wanita. Jumlah penderitanya lebih banyak dibandingkan tukak lambung,
dan lebih sering muncul pada usia lebih muda dibandingkan tukak
lambung (30 tahun atau lebih).
Tukak lambung atau Peptic Ulcer Disease (PUD) dapat diartikan sebagai
luka pada lambung atau usus duodenum karena terjadi
ketidakseimbangan antara faktor agresif seperti sekresi asam lambung,
pepsin dan infeksi bakteri Helicobacter pylori dengan faktor
defensif/faktor pelindung mukosa seperti produksi prostaglandin, gastric
mucus, bikarbonat dan aliran darah mukosa. Singkatnya, tukak lambung
merupakan suatu penyakit pada saluran pencernaan yang ditunjukkan
dengan terjadinya kerusakan mukosa lambung bisa karena sekresi asam
lambung berlebih, infeksi H. pylori, maupun produksi prostaglandin yang
berkurang. Dari namanya, tukak lambung biasa terjadi di perut (lambung)
dan usus duodenum proximal. Meskipun angka kejadiannya sedikit, tukak
lambung dapat terjadi di esofagus bagian bawah, duodenum distal atau
jejunum.

PENYEBAB TUKAK LAMBUNG


Infeksi bakteri H. pylori dan penggunaan obat anti inflamasi non
steroid (NSAID) menjadi penyebab utama terjadinya tukak lambung. H.
pylori merupakan bakteri gram negatif berbentuk spiral yang hidupnya
pada bagian gastrum antrum. Bakteri ini bersifat patogen. H. pylori
menghasilkan sitotoksin yang dapat memecah pertahanan mukus
kemudian menempel di sel epitel lambung atau usus 12 jari. Di lambung,
bakteri akan menghasilkan karbondioksida, amonia dan produk lain

seperti protease, katalase, dan fosfolipase yang bersifat toksik. Produkproduk yang dihasilkan akan terakumulasi sehingga merusak pertahanan
mukosa lambung dan menyebabkan ulcerasi atau tukak. Selain H. pylori,
penggunaan obat NSAID (contohnya aspirin, piroxicam, ibuprofen,
meloxicam, celecoxib, trisalicylate, dll) menjadi penyebab lain dari tukak
lambung. Menurut Dipiro, obat NSAID dapat menyebabkan tukak lambung
melalui 2 cara, mengiritasi epitelium lambung secara langsung atau
melalui penghambatan sintesis prostaglandin. Namun, penghambatan
sintesis prostaglandin merupakan faktor dominan penyebab tukak
lambung oleh NSAID. Prostaglandin merupakan senyawa yang disintesis di
mukosa lambung yang melindungi fungsi fisiologis tubuh seperti fungsi
ginjal, homeostasis, dan mukosa lambung. Faktor lain yang memicu tukak
lambung adalah kebiasaan merokok dan stress. Bagaimana rokok memicu
tukak lambung? Berdasarkan pustaka, mekanisme yang terjadi belum
diketahui pasti namun diduga produksi prostaglandin pada lambung
dihambat sehingga perlindungan terhadap mukosa lambung berkurang
dan resiko tukak meningkat. Stress dapat memicu tukak lambung karena
dalam kondisi stress sangat dimungkinkan orang akan melakukan
tindakan yang beresiko terjadinya tukak lambung seperti merokok,
mengkonsumsi obat NSAID atau alkohol. Selain itu diperkirakan dalam
kondisi stress, hormon adrenalin akan meningkat produksinya
mengakibatkan produksi asam oleh reseptor asetilkolin meningkat pula,
efeknya asam lambung pun juga meningkat.

PENGOBATAN DAN CARA TERAPI PADA PENDERITA TUKAK


LAMBUNG
Tujuan dari terapi tukak lambung adalah untuk mengurangi serta
menetralkan asam lambung, menghilangkan faktor penyebab,
meringankan atau menghilangkan nyeri epigastrik, mencegah
kekambuhan, memperkuat sistem perlindungan mukosa, dan mencegah
terjadinya komplikasi yang serius (hemoragi, perforasi, obstruksi). Sasaran
dari terapi tukak lambung adalah faktor penyebab terjadinya tukak yaitu

bakteri H. pylori dan asam lambung berlebih. Selain itu pertahanan


mukosa juga menjadi sasaran terapi. Untuk mencapai tujuan terapi
tersebut dapat dilakukan beberapa strategi dalam terapi, antara lain
penggunaan obat untuk hipersekresi dan penetralan asam lambung,
penggunaan obat yang memperkuat sistem perlindungan mukosa,
penggunaan obat yang dapat mencegah senyawa pencetus dan faktor
penyebab, penggunaan obat untuk menghilangkan nyeri epigastrik,
penggunaan obat untuk mencegah kekambuhan dan penggunaan obat
untuk mencegah komplikasi. Terapi yang digunakan ada 2 cara, yaitu
terapi nonfarmakologis dan farmakologis. Untuk terapi nonfarmakologis
dengan cara mengurangi atau menghilangkan stress, berhenti merokok
dan menggunakan obat NSAID, menghindari makanan pencetus tukak
seperti makanan pedas, kafein, dan alkohol. Apabila terjadi komplikasi
dilakukan operasi. Sedangkan terapi farmakologisnya dapat menggunakan
beberapa golongan obat yaitu, golongan Pompa Proton Inhibitor (PPI),
Antagonis Reseptor Histamin H2, Sucralfate, Antasida, Analog
Prostaglandin. Selain itu, kombinasi dua antibiotik dengan PPI untuk
eradikasi (pembasmian) H. pylori. Sesuai dengan judulnya, artikel ini akan
membahas lebih lanjut mengenai obat golongan antasid. Sebelum
lahirnya obat PPI dan Antagonis Reseptor Histamin H2, antasid digunakan
untuk mengobati tukak lambung dan dispepsia (gangguan pencernaan).
Hingga saat ini antasid masih digunakan untuk menghilangkan rasa panas
dalam

1.3.2 Tujuan khusus

Mengetahui alasan-alasan farmakologis pemilihan P-drug tersebut secara rasional, termasuk


efek samping dan konsekuensinya, terutama karena pasien memiliki riwayat ulkus pepticum
(tukak lambung).

1.4 Manfaat diskusi


1.4.1 Manfaat teoritis
Diharapkan dapat menggunakan hasil diskusi ini sebagai rujukan dan sumber data atas
masalah pengobatan terhadap penderita migraine.

1.4.2 Manfaat praktis


Diharapkan akan mampu memilih obat yang efektif untuk penderita migraine dengan efikasi
yang baik, efek samping seminimal mungkin, mudah penggunaannya, serta murah harganya.

Bab II
Tinjauan Pustaka

2.1 Kerja NSAID


Menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2
terganggu. Enzim siklooksigenase terdapat dalam 2 isoform disebut:
a. COX-1
Menjaga homeostasis, dalam keadaan normal selalu ada
Terdapat dalam banyak jaringan: platelet, GIT, uterus, bronchus
b. COX-2
Ada karena diinduksi oleh oleh sel radang
Menghasilkan mediator radang: prostaglandin dan tromboksan

2.1 Klasifikasi NSAID

2.1.1 Non Selective COX Inhibitors


2.1.1.1 Salicylic Acid Derivatives
2.1.1.1.1 Salisilat
Lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin adalah analgesic antipiretik dan anti inflamasi
yang sangat luas digunakan dan digolongkan dalam obat bebas. Selain sebagai prototip, obat
ini merupakan standar dalam menilai efek obat sejenis.
Farmakodinamik.
Dosis toksik obat memperlihatkan efek piretik sehingga pada keracunan berat terjadi demam
dan hiperhidrosis. Untuk memperoleh efek anti inflamasi yang baik kadar plasma perlu
dipertahankan antara 250-300 g/ml. Kadar ini tercapai dengan dosis aspirin oral 4 gram per
hari untuk orang dewasa.
Efek terhadap pernapasan. Pada dosis terapi salisilat mempertinggi konsumsi oksigen dan
produksi CO2. Peninggian P CO2 akan merangsang pernapasan sehingga pengeluaran CO2
melalui alveoli bertambah dan PCO2 dalam plasma turun. Meningkatnya ventilasi ini pada
awalnya ditandai dengan pernapasan yang lebih dalam sedangkan frekuensi hanya sedikit
bertambah. Salisilat yang mencapai medula, merangsang langsung pusat pernapasan sehingga
terjadi hiperventilasi dengan pernapasan yang dalam dan cepat. Pada keadaan intoksikasi,
berlanjut menjadi alkalosis respiratoar.
Efek terhadap keseimbangan asam basa. Dalam dosis terapi yang tinggi, salisilat
menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen dan produksi CO2 terutama di otot rangka
karena perangsangan fosforilasi oksidatif. Karbondioksida yang dihasilkan mengakibatkan
perangsangan pernapasan sehingga karbondioksida dalam darah tidak meningkat.ekskresi
bikarbonat yang disertai Na+ dan K+ melalui ginjal meningkat, sehingga bikarbonat dalam
plasma menurun dan pH darah kembali normal.
Efek urikosurik. Dosis kecil (1 g atau 2 g sehari) menghambat ekskresi asam urat, sehingga
kadar asam urat dalam darah meningkat. Dosis 2 atau 3 g sehari biasanya tidak mengubah
ekskresi asam urat. Pada dosis lebih dari 5 g per hari terjadi peningkatan ekskresi asam urat
dalam darah menurun. Hal ini terjadi karena pada dosis rendah salisilat menghambat sekresi
tubuli sedangkan pada dosis tinggi salisilat menghambat reasorbsinya dengan hasil akhir
peningkatan ekskresi asam urat.
Efek terhadap darah. Pada orang sehat, aspirin menyebabkan perpanjangan masa perdarahan.
Hal ini bukan karena hipoprotrombinemia, tetapi karena asetilasi siklooksigenase trombosit
sehingga pembentukan TXA2 terhambat. Aspirin tidak boleh diberikan pada pasien dengan
kerusakan hati berat, hipoprotrombinemia, defisiensi vitamin K dan hemofilia, sebab dapat
menimbulkan perdarahan.
Farmakokinetik
Pada pemberian oral, sebagian salisilat diasorpsi dengan cepat dalam bentuk utuh di lambung,
tetapi sebagian besar di usus halus bagian atas. Kadar tertinggi dicapai kira-kira 2 jam setelah
pemberian. Kecepatan absorpsinya tergantung dari kecepatan disintegrasi dan dan disolusi

tablet, pH permukaan mukosa dan waktu pengosongan lambung. Asam salisilat diabsorpsi
cepat dari kulit sehat, terutama bila dipakai sebagai obat gosok atau salep. Keracunan dapat
terjadi dengan olesan pada kulit yang luas.
Setelah diabsorpsi, salisilat segera menyebar ke seluruh jaringan tubuh dan cairan traseluler
sehingga ditemukan dalam cairan sinovial, cairan spinal, cairan peritoneal, liur dan air susu.
Mudah menembus sawar darah otak dan sawar darah uri. Kira-kira 80% sampai 90% salisilat
plasma terikat dalam albummin. Aspirin diserap dalm bentuk utuh, dihidrolisis menjadi asam
salisilat terutama dalam hati, sehingga kira-kira 30 menit terdapat dalam plasma.

2.1.1.1.2 Salisilamid
Salisilamid merupakan amida asam salisilat yang memperlihatkan efek analgesic dan
antipiretik mirip asetosal, walaupun dalam badan salisilamid tidak diubah menjadi salisilat.
Farmakodinamik
Dalam mukosa usus mengalami metabolisme lintas pertama, mudah diabsorpsi usus dan
cepat didistribusi ke jaringan. Obat ini menghambat glukoronidasi obat analgesik lain.

2.1.1.1.3 Diflunisal
Obat ini merupakan derivat diflurofenil dari asam salisilat, tetapi in vitro tidak diubah
menjadi asam salisilat. Bersifat analgesik dan anti inflamasi.
Farmakokinetik
Setelah pemberian oral, kadar puncak dicapai dalam 2-3 jam. 99% diflunisal terikat albumin
plasma dan waktu paruh berkisar 8-12 jam.

2.1.1.2 Para Amino Fenol


Derivat para amino fenol yaitu fenasetin dan asetaminofen. Efek antipiretik ditimbulkan oleh
gugus aminobenzen.
Farmakodinamik
Efek obat ini adalah menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang.
Parasetamol merupakan penghambat biosintesis PG yang lemah.
Farmakokinetik
Diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma
dicapai dalam waktu jam dan masa paruh plasma antara 1-33 jam. Dimetabolisme oleh

enzim mikrosom hati. Metabolit hasil hidroksil dapat menimbulkan methemoglobinemia dan
hemolisis eritrosit. Diekskresi melalui ginjal.
Efek samping
Fanasetin dapat menyebabkan anemia hemolitik, terutama pada pemakaian kronik. Anemia
hemolitik dapat terjadi berdasarkan mekanisme autoimun, defisiensi enzim G6PD dan adanya
metabolit yang abnormal.

2.1.1.3 Pirazolon dan derivat


Antipirin (fenazon) adalah 5-okso-1-fenil-2, 3-dimetilpirazolidin. Aminopirin (amidopirin)
adalah derivat 4-dimetilamino dari antipirin. Dipiron adalah derivat metansulfonat dari
aminopirin yang larut baik dalam air dan dapat diberikan secara suntikan.
Indikasi
Dipiron sebagai analgesik-antipiretik karena efek anti inflamasinya lemah.
Efek samping dan intoksikasi
Dapat menyebabkan agranulositosis, anemia aplastik dan trombositopenia.

2.1.1.4 Analgesik anti-inflamasi non steroid lainnya


2.1.1.4.1 Asam Mefenamat dan Meklofenamat
Asam mefenamat sebagai analgesik dan terikat sangat kuat pada protein plasma.
Meklofenamat sebagai obat anti inflamasi pada terapi artritis reumatoid dan osteoartritis.

2.1.1.4.2 Diklofenak
Absorpsi obat ini melaui saluran cerna berlangsung cepat dan lengkap. Obat ini terikat 99%
pada protein plasma dan mengalami efek metabolisme lintas pertama sebesar 40-50%. Walau
waktu paruh singkat yakni 1-3 jam, obat ini diakumulasi di cairan sinovial yang menjelaskan
efek terapi di sendi jauh lebih panjang dari waktu paruh obat tersebut.

2.1.1.4.3 Fenbufen
Fenbufen merupakan pro_drug, jadi fenbufen bersifat inaktif dan metabolit aktifnya adalah
asam-4-bifeil-asetat. Zat ini mempunyai waktu paruh 10 jam sehingga cukup diberikan kali

sehari. Absorpsi obat melalui lambung baik, dan kadar puncak metabolit aktif dicapai dalam
7,5 jam.

2.1.1.4.4 Ibuprofen
Bersifat analgesik dengan daya anti inflamasi yang tidak terlalu kuat. Absorpsi cepat melalui
lambung dan kadar maksimum dalam plasma dicapai setelah 1-2 jam. Waktu paruh dalam
plasma sekitar 2 jam. Ekskresi berlangsung cepat dan lengkap.

2.1.1.4.5 Naproksen
Insiden efek samping obat lebih rendah dibandingkan derivat asam propionat lain. Absorpsi
obat baik melaui lambung dan kadar puncak plasma dicapai dalam 2-4 jam. Waktu paruh 14
jam. Tidak terdapat korelasi antara efektivitas dan kadar plasma. Ekskresi terutama dalam
urin.

2.1.1.4.6 Indometasin
Memiliki efek antiinflamasi dan analgesik-antipiretik yang kira-kira sebanding dengan
aspirin. Indometasin memiiki efek analgesik perifer maupun sentral. In vitro, menghambat
enzim siklooksigenasi. Metabolisme terjadi di hati. Indometasin diekskresi dalam bentuk asal
maupun metabolit melalui urin dan empedu. Waktu paruh plasma kira-kira 2-4 jam.

2.1.1.4.7 Piroksikam dan Meloksikam


Peroksikam adalah struktur baru yaitu oksikam, derivat asam enolat. Waktu paruh dalam
plasma lebih dari 45 jam sehingga dapat diberikan hanya sekali sehari. Absorpsi berlangsung
cepat di lambung, terikat 99% pada protein plasma. Obat ini menjalani siklus enterohepatik.
Kadar taraf mantap dicapai sekitar 7-10 hari dan kadar dalam plasma kira-kira sama dengan
kadar di cairan sinovia.Efek samping tersering adalah gangguan saluran cerna.
Melosikam cenderung menghambat koks-2 lebih dari koks-1 tetapi penghambatan KOKS-1
pada dosis terapi tetap nyata.

2.1.1.4.8 Nabumeton
Nabumeton merupakan pro-drug memiliki sifat selektif menghamabat prostasiklin yang
bersifat sitoprotektif
Farmakokinetik

Diserap cepat dari saluran cerna dan di hati akan dikinversi ke satu atau lebih zat aktifnya,
terutama 6-methoxy-2naphylacetic acid (6-MNA). Merupakan penghambat kuat dari enzim
siklooksigenase. Zat aktif tersebut diinaktivasi di hati secara o-demetilasi dan kemudian
dikonjugasi untuk diekskresi. Dengan dosis 1 gram/hari didaptkan waktu paruh sekitar 24
jam. Pada usia lanjut, t ini bertambah panjang dengan 3-7 jam

2.1.2 Selective COX-2 Inhibitors


2.1.2.1 Diaryl-substituted Furanone
Rofecoxib
Rofecoxib menghambat kerja COX-2, dan tidak menghambat COX-1, sehingga berefek
meredakan nyeri sama dengan AINS dengan menurunkan risiko terjadinya atau
meningkatnya tukak peptic. Namun, beberapa efek samping pada AINS lain didapatkan pada
pengunaan rofecoxib. Antara lain adalah meningkatnya risiko kardiovaskuler.
Kardiotoksisitas disebabkan karena supresi PGI2 (prostasiklin) yang berakibat pada
inefisiensi vasodilatasi dan declumping. Walaupun begitu, pada percobaan pada hewan, tidak
ditemukan adanya perubahan kadar prostasiklin dalam darah. Studi lain mengemukakan
kardiotoksisitas rofecoxib berhubungan dengan terbentuknya metabolit maleat anhidrida.
Dibandingkan dengan penggunaan naproxen, efek kardiotoksisitas untuk menimbulkan infark
miocard ini 4 kali lebih tinggi pada rofecoxib setelah 12 bulan. Penggunaan ini
mengakibatkan risiko kardivaskuler yang berkaitan dengan trombosis.Kontraindikasi untuk
pasien dengan penyakit jantung iskemik atau CVD, dan juga PAD. Dan juga pada hipertensi,
hiperlipidemia, diabetes mellitus, dan merokok. Rofecoxib juga mengakibatkan premenstrual
acne vulgaris.

2.1.2.2 Diaryl substituted Pyrazole


Celecoxib
Celecoxib digunakan pada osteoarthritis, rheumatoid arthritis, nyeri akut, nyeri haid, dan
gejala menstruasi, dan untuk menurunkan jumlah kejadian poli rectal dan colon pada pasien
dengan familial adenomatous polyposis.Indikasi utama penggunaan celecoxib adalah untuk
mengatasi nyeri jangka panjang yang reguler. Efeknya sama kuat dengan parasetamol.
Celecoxib sangat selektif terhadap COX-2 dan terutama menghambat produksi prostaglandin
dengan mengeblok isoform COX ini. Celecoxib tujuh kali lebih selektif pada COX-2
dibanding COX-1.
Reaksi alergi pada sulfonamide dan AINS lain diakibatkan adanya cincin sulfonamide. Perlu
diperhatikan pemberiannya pada pasien dengan riwayat asma dan urtikaria. Penggunaan
semua COX-2 selective inhibitor dapat meningkatkan risiko gangguan pada sistem
kardiovaskuler dan GIT. Meningkatkan risiko berkembangnya penyakit jantung pada
pemakaian 400 mg atau lebih per hari.

Penggunaan ini perlu diperhatikan pada pasien dengan retensi cairan, hipertensi, gagal
jantung, asma karena snsitif aspirin, disfungsi hepar, gangguan fungsi ginjal, pasien dengan
diuretic, pasien dengan ACE inhibitor, usia lanjut, hamil, dan laktasi.
Efek samping celecoxib pada GIT berupa nyeri abdomen, diare, dyspepsia, flatulens, ulcus
GI, dan perdarahan. Celecoxib juga mengakibatkan nausea, nyeri pinggang, edema perifer,
dizziness, nyeri kepala, insomnia, faringitis, rhinitis, sinusitis, skin rash, hipertensi
eksaserbasi, dan angina pectoris.
Interaksi terjadi pada penggunaan bersama ACE inhibitor, furosemide, tiazid, aspirin,
fluconazole, lithium, dan warfarin.

2.1.2.3 Indole Acetic Acid


Etodolac
Indikasi pemakaian etodolac untuk terapi inflamasi dan nyeri karena osteoarthritis dan
rheumatoid arthritis. Pemakaiannya perlu dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat
asma, urtikaria, atau reaksi alergi lain pada penggunaan aspirin. Penggunaan pada pasien
dengan penyakit ginjal dan tukak peptic dapat meningkatkan keadaan tersebut.
Efek samping berupa konstipasi, emesis, diare, flatulence, dizziness, tinnitus, rhinorrhea,
nyeri tenggorokan, penglihatan kabur.

2.1.2.4 Sulfonanilides
Nimesulide
Indikasi penggunaan pada osteoarthritis, penyakit rheumatoid ekstra-artikular, nyeri dan
inflamasi pascabedah dan setelah trauma akut dan dysmenorrheal. Kontraindikasi pada tukak
peptic, insufisiensi hepar sedang sampai berat, disfungsi ginjal berat, riwayat
hipersensitivitas, riwayat perdarahan dan ulkusGI, gangguan koagulasi yang berat, trimester
ketiga gravida, laktasi, dan anak-anak. Dengan abnormalitas pada tes faal hepar dan/atau tes
fungsi ginjal, nimesulide sebaiknya segera dihentikan. Efek samping berupa rash, urtikaria,
pruritus, eritema, angioedema, nausea, nyeri lambung, nyeri abdomen, diare, konstipasi,
somnolens, nyeri kepala, dizziness, vertigo, oligouria, edema, isolated hematuria, gagal
ginjal, reaksi anafilaksis, dyspnea, asma. Terjadi interaksi dengan obat-obat yang terikat
dengan protein, AINS lain, heparin, ticlopidine, litium, dosis tinggi metroxat, diuretic,
pentoksifilin, antihipertensi, dan trombolitik.

2.2

MIGRAINE

Migrain adalah jenis sakit kepala umum yang mungkin terjadi dengan gejala seperti mual,
muntah, atau sensitif terhadap cahaya. Pada banyak orang, nyeri dirasakan hanya pada satu
sisi kepala.

Penderita migraine mempunyai peringatan yang disebut aura yaitu peringatan sebelum
sakit kepala yang sebenarnya dimulai. Aura adalah sekelompok gejala, biasanya gangguan
penglihatan, yang berfungsi sebagai tanda peringatan bahwa sakit kepala yang buruk akan
datang. Kebanyakan orang, tidak memiliki tanda-tanda peringatan yang sama

2.2.1 Patofisiologi Migraine:


Migraine adalah sebuah penyakit yang belum benar-benar dipahami. Ada beberapa Hipotesis
yang dikeluarkan untuk menjelaskan bagaimana migraine dapat terjadi.

2.2.1.1 Vascular Teory


Teori ini menyatakan bahwa Vasokonstriksi Intrakranial bertanggung jawab terjadinya
Aura pada migraine kemudian setelah itu terjadi vasodilatation dan aktivasi perivascular
nociceptive nerves yang menghasilkan hedache. Menurut data yang ada , sekelompok orang
coba yang diberikan PGE1 menghasilkan sebuah gejala migraine, pada pasien migraine
didapati peningkatan PGE. Pada percobaan hewan dan infuse manusia, PGE menyebabkan
vasodilatation dan hyperalgesia. Menurut data-data ini maka ada sebuah relevansi
menyatakan bahwa obat yang menghambat PGE terbukti dapat mengobati migraine. Namun
penyebab dari vasokonstriksi masih dalam penelitian, banyak riset membuktikan banyak
factor yang dapat memicu vasokonstriksi intrakranial.
2.2.1.2

Neurovascular Teory

Pada teori ini menyatakan adanya hyperactivity yang menyebabkan sebuah headache.
Hyperactivity ini di picu dan diinisiasi oleh cortical spreading depression (CSD) yaitu
berhubungan dengan pelepasan kalium dan neurotransmitter Glutamat serta release
neurochemical proinflamatory ( Calcitonin gener- related peptide).

Obat analgetik, antipiretik, serta Obat Anti Inflamasi non Steroid (OAINS) merupakan
suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia.
Walaupun demikian, obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek terapi
maupun efek samping. Prototipe obat golongan ini adalah aspirin. Karena itu, banyak
golongan dalam obat ini sering disebut obat mirip aspirin (Aspirin-like drugs).

Klasifikasi kimiawi OAINS sebenarnya tidak banyak manfaat kimianya karena ada
OAINS dari subgolongan yang sama memiliki sifat yang berbeda. Sebaliknya ada OAINS
yang berbeda subgolongan tapi memiliki sifat yang serupa. Kemajuan penelitian dalam
dasawarsa terakhir ini memberi penjelasan mengapa kelompok heterogen tersebut memiliki
kesamaan efek terapi dan efek samping. Ternyata sebagian besar efek terapi dan efek
sampingnya berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG).
Mekanisme kerja dan yang berhubungan dengan system biosintesis. Prostaglandin ini
mulai diperlihatkan secara invitro bahwa dosis rendah aspirin dan indometasin menghambat
produksi enzimatik Prostaglandin. Penelitian lanjutan membuktikan bahwa Prostaglandin
akan dilepaskan bilamana sel mengalami kerusakan. Walaupun secara invitro OAINS
diketahui menghambat obat berbagai reaksi biokimiawi, hubungan dengan efek analgetic,
antipiretik dan anti inflamasinya belum jelas. Selain itu, OAINS secara umum tidak
menghambat biosintesis leukotrien yang diketahui ikut berperan dalam inflamasi.
Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam
arakhidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase dengan cara
yang berbeda. Khusus parasetamol, hambatan biosintesis prostaglandin hanya terjadi bila
lingkungannya rendah kadar peroksid seperti di hipotalamus. Lokasi inflamasi biasanya
mengandung banyak peroksid yang dihasilkan oleh leukosit. Ini menjelaskan mengapa antiinflamasi parasetamol praktis tidak ada aspirin sendiri menghambat dengan mengasetiliasi
gugus aktifserin dan enzim ini.Trombosit sangat rentan terhadap penghambatan ini karena
selain tidak mampu mengadakan regenerasi enzim sehingga dosis tunggal aspirin 40 mg
sehari telah cukup untuk menghambat siklooksigenase trombosit manusia selama masa hidup
trombosit yaitu 8-11 hari.
Mekanisme rasa nyeri yaitu perangsangan nyeri baik mekanik, kimiawi, panas
maupun listrik akan menimbulkan kerusakan pada jaringan sel sehingga sel-sel tersebut
melepaskan suatu zat yang disebut mediator nyeri yang akan merangsang reseptor nyeri.
Mediator nyeri ini juga disebut zat autanoid yaitu, histamine, serotonin, plasmakinin,
bradikinin (asam lemak) prostaglandin dan ion kalium. Mekanisme kerja penghambatan rasa
nyeri
ada
tiga
yaitu:
1. Merintangi pembentukkan rangsangan dalam reseptor rasa nyeri, seperti pada anastesi
local.
2. Merintangi penyaluran rangsangan nyeri dalam saraf sensoris, seperti pada anastesi local.
3. Blokade rasa nyeri pada system saraf pusat seperti pada analgetik sentral (narkotika) dan
anastesi umum.

Ulkus Peptikum
Posted on 15 February 2011 by ArtikelBedah
DEFINISI

Disebut tukak robekan mukosa berdiameter 5 mm kedalaman sampai submukosa dan


muskularis mukosa atau secara klinis tukak adalah hilangnya epitel superfisial atau lapisan
lebih dalam dengan diameter 5 mm yang dapat diamati secara endoskopis atau radiologis.
Robekan mukosa < 5 mm disebut erosi dimana nekrosis tidak sampai ke muskularis mukosa
dan submukosa.
ETIOPATOGENESIS
Terjadinya oleh karena ketidakseimbangan antara faktor agresif yang dapat merusak mukosa
dan faktor defensif yang memelihara keutuhan mukosa lambung dan duodenum.
1. Infeksi Helicobacter Pylori
Sekitar 90% dari tukak duodenum dan 75 % dari tukak lambung berhubungan dengan infeksi
Helicobacter pylori.Helicobacter Pylori,adalah bakteri gram (-),hidup dalam suasana asam
pada lambung /duodenum,bentuk kurva S,ukuran panjang sekitar 3m dan diameter 0,5m,
punya 1 flagel pada salah satu ujungnya, terdapat hanya pada lapisan mucus permukaan
epitel antrum lambung, karena pada epithelium lambung terdapat reseptor adherens in vivo
yang dikenali oleh H.Pylori, dan dapat menembus sel epitel/antar epitel. Tiga mekanisme
terjadinya tukak peptik adalah :

Memproduksi toksik local tissue injury

Sitotoksin(vacuolating cytotoxinVac A Gen) rusak mukosa gastroduodenal.

Enzim(urease, protease, lipase dan fospolipase) Merusak sel epitel.

Urease memecahkan urea menjadi amonia sel epitel rusak.


Protease & fospolipasemenekan sekresi mukus daya tahan mukosa menurun asam
lambung berdifusi balik nekrosis tukak peptik.
N-Histamin methyltranferase Enzim ini menghasilkan N-methylhistamin,yang
menstimulasi sekresi asam lambung dan pepsin permeabilitas kapiler terhadap protein
Mukosa edema dan ptotein plasma menghilang perdarahan interstitial. Diduga kadar
asam yang rendah pada analisis lambung akibat meningkatnya difusi balik bukan karena
berkurangnya produksi.

Menginduksi respon imun lokal pada mukosa.

Terjadi kegagalan respon inflamasi dan reaksi imun untuk mengeliminasi bakteri ini melalui
mobilisasi melalui mediator inflamasi & sel-sel limfosit/PMN.

Meningkatkan level gastrin meningkatkan sekresi asam.

Kerusakan sel D yang mengeluarkan somatostatin,untuk mengerem produksi gastrin


produksi gastrin meningkat rangsang sel parietal mengeluarkan >> asam lambung
masuk duodenum Tukak Duodenum.
2. Sekresi Asam Lambung
Normal kira-kira 20 mEq/jam. Pasien tukak duodenum dapat mencapai 40 mEq/jam. Pasien
tukak duodenum memiliki dalam Basal Acid Output dan Maximal Acid Output.
3. Pertahanan Mukosal Lambung
Obat Antiinflamasi Non Steroid (OAINS),alkohol,garam empedu,dan zat-zat lain dapat
menimbulkan kerusakan pada mukosa lambung Difusi balik asam klorida kerusakan
jaringan,khususnya pembuluh darah.
Penggunaan OAINS, menghambat kerja dari enzim siklooksigenase (COX) pada asam
arakidonat sehingga menekan produksi prostaglandin. Kerusakan mukosa akibat hambatan
produksi prostaglandin pada penggunaan OAINS melalui 4 tahap yaitu :
Menurunkan sekresi mukus dan bikarbonat yang dihasilkan oleh sel epitel pada lambung
dan duodenumpertahanan lambung dan duodenum
Terganggunya sekresi asam dan proliferasi sel-sel mukosa.
Berkurangnya aliran darah mukosa.Hambatan COX-1 akan menimbulkan vasokonstriksi
sehingga aliran darah menurun dan terjadi nekrosis sel epitel.
Kerusakan mikrovaskuler yang diperberat oleh kerjasama platelet dan mekanisme
koagulasi. Hambatan pada COX-2 peningkatan perlekatan leukosit PMN pada endotel
vaskuler gastroduodenal dan mesentrik, dimulai dengan pelepasan protease,radikal bebas
oksigen kerusakan epitel & endotel statis aliran mikrovaskular iskemia tukak
peptik.

Tukak lambung memiliki beberapa tipe,yaitu :

Tipe 1,yang paling sering terjadi.Terletak pada kurvatura minor atau proximal
insisura,dekat dengan junction mukosa onsitik dan antral.

Tipe 2, lokasi yang sama dengan tipe 1 tapi berhubungan dengan tukak duodenum

Tipe 3,terletak pada 2 cm dari pilorus (pyloric channel ulcer)

Tipe 4,terletak pada proksimal abdomen atau pada cardia

DIAGNOSIS
Gejala Klinis
Sekitar 90% dari penderita mengeluh nyeri pada epigastrium, seperti terbakar disertai mual,
muntah, perut kembung, berat badan, Hematemesis, Melena dan anemia.
Pemeriksaan Penunjang
Gold Standar adalah pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas ( UGIE-Upper
Gastrointestinal Endoscopy) + biopsi lambung (untuk deteksi kuman H.Pylori, massa
tumor?,kondisi mukosa lambung?
1. Pemeriksaan Radiologi.
Barium Meal Kontras Ganda dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis tukak peptik
berupa kawah, batas jelas disertai lipatan mukosa teratur dari pinggiran tukak dan niche.
Filling defect curiga ganas tepi tukak tidak teratur.
2. Pemeriksaan Endoskopi
Berupa luka terbuka dengan pinggiran teratur,mukosa licin dan normal disertai lipatan yang
teratur yang keluar dari pinggiran tukak.Gambaran tukak akibat keganasan adalah :
Boorman-I/polipoid, B-II/ulcerative, B-III/infiltrative, B-IV/linitis plastika (scirrhus).
Dianjurkan untuk biopsi & endoskopi ulang 8-12 minggu setelah terapi eradikasi.
Keunggulan endoskopi dibanding radiologi adalah : dapat mendeteksi lesi kecil diameter <
0,5 cm, dapat melihat lesi yang tertutupi darah dengan penyemprotan air,dapat memastikan
suatu tukak ganas atau jinak, dapat menentukan adanya kuman H.Pylori sebagai penyebab
tukak.
3. Invasive Test :

Rapid Urea Test : Tes kemampuan H.pylori untuk menghidrolisis urea. Enzim urea
katalase menguraikan urea menjadi amonia bikarbonat,membuat suasana menjadi
basa,yang diukur dengan indikator pH. Spesimen biopsi dari mukosa lambung
diletakkan pada tempat yang berisi cairan atau medium padat yang mengandung urea
dan pH indikator, jika terdapat H.Pylori pada spesimen tersebut maka akan diubah
menjadi ammonia,terjadi perubahan pH dan perubahan warna.

Histologi: Biopsi diambil dari pinggiran dan dasar tukak min.4 sampel untuk 2
kuadran, bila ukuran tukak besar diambil sampel dari 3 kuadran dari dasar,pinggir dan
sekitar tukak (min. 6 sampel).

Kultur : Untuk kultur tidak biasa dilakukan pada pemeriksaan rutin

4. Non Invasive Test.

Urea Breath Test: Mendeteksi adanya infeksi H.pylori dengan keberadaan urea yang
dihasilkan H.pylori, labeled karbondioksida (isotop berat,C-13,C-14) produksi dalam
perut,diabsorpsi dalam pembuluh darah,menyebar dalam paru-paru dan akhirnya
dikeluarkan lewat pernapasan.

Stool antigen test : Test ini juga mengidentifikasi adanya infeksi H.Pylori melalui
mendeteksi keadaan antigen H.Pylori dalam faeces.

TERAPI
1. Terapi non medikamentosa

Istirahat: Dianjurkan rawat jalan, bila gagal/ada komplikasi rawat inap.

Diet: Air jeruk yang asam,coca cola,bir,kopi,tidak mempunyai pengaruh userogenik


pada mukosa lambung tapi dapat menambah sekresi asam lambung.

Stop Merokok ok ganggu penyembuhan tukak gaster kronik, menghambat sekresi


bikarbonat pancreas,menambah keasaman bulbus dudeni,menambah refluks
duodenogastrik akibat relaksasi sfingter pylorus sekaligus meningkatkan kekambuhan
tukak.

2. Terapi medikamentosa

Antasida: Antasida mengurangi keasaman lambung, bereaksi dengan asam


hidroklorik,membentuk garam dan air untuk menghambat aktivitas peptik dengan
meningkatkan pH.

Antagonis Reseptor H2/ARH2.

Struktur homolog dengan histamine Mekanisme kerjanya memblokir efek histaminsel


parietal tidak dapat dirangsang untuk mengeluarkan asam lambung.Inhibisi bersifat
reversible. Dosis terapeutik :

Simetidin : 2 x 400 mg/800 mg malam hari,dosis maintenance 400 mg

Ranitidine : 300 mg malam hari,dosis maintenance 150 mg

Nizatidine : 1 x 300 mg malam hari,dosis maintenance 150 mg

Famotidine : 1 x 40 mg malam hari

Roksatidine : 2 x 75 mg / 150 mg malam hari,dosis maintenance 75 mg malam hari.

Proton Pump Inhibitor/PPI: mekanisme kerja adalah memblokir kerja enzim


K+H+ATPase yang akan memecah K+H+ATP menghasilkan energi yang digunakan
untuk mengeluarkan asam HCL dari kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung.
PPI mencegah pengeluaran asam lambung dari sel kanalikuli,menyebabkan
pengurangan rasa sakit pasien tukak, mengurangi aktifitas faktor agresif pepsin
dengan pH >4 serta meningkatkan efek eradikasi oleh regimen triple drugs. Dosis :
Omeprazol 2 x 20 mg atau 1 x 40 mg, Lansprazol/pantoprazol 2 x 40 mg atau 1 x 60
mg.

Koloid Bismuth (Coloid Bismuth Subsitrat/CBS dan Bismuth Subsalisilat/BSS)

Membentuk lapisan penangkal bersama protein pada dasar tukak dan melindunginya terhadap
pengaruh asam dan pepsin dan efek bakterisidal terhadap H.Pylori.

Sukralfat: Mekanisme kerja berupa pelepasan kutub alumunium hidroksida yang


berikatan dengan kutub positif melekul proteinlapisan fisikokemikal pada dasar
tukakmelindungi tukak dari asam dan pepsin. Membantu sintesa prostaglandin,
kerjasama dengan EGF ,menambah sekresi bikarbonat &mukus,daya pertahanan dan
perbaikan mukosal.

Prostagandin: Mengurangi sekresi asam lambung, sekresi mukus, bikarbonat,


aliran darah mukosa, pertahanan dan perbaikan mukosa. Digunakan pada tukak
lambung akibat komsumsi OAINS.

Penatalaksanaan Infeksi H.Pylori.

Tujuan Eradikasi H.Pylori adalah untuk mengurangi keluhan, penyembuhan tukak dan
mencegah kekambuhan.

Terapi dual antara PPI/ARH2 dengan salah satu antibiotik tidak dianjurkan karena
efek eradikasi minimal dan cepat menimbulkan resisten kuman

Terapi triple,yang banyak digunakan saat ini adalah :


o PPI 2 x1 + Amoksisilin 2 x 1000 + Klaritromisin 2 x 500 (regimen terbaik )
o PPI 2 x 1 + Metronidazol 3 x 500 + Klaritromisin 2x 500 (if alergi penisilin)
o PPI 2 x 1 + Metronidazol 3 x 500 + Amoksisilin 2 x 1000
o PPI 21+ Metro 3500+Tetrasiklin4x500(if alergi amok & Klaritromisin)

Lama pengobatan eradikasi H.Pylori adalah 2 minggu,untuk kesembuhan tukak,bisa


dilanjutkan pemberian PPI selama 3 4 minggu lagi.

Terapi Kuadrupel; jika gagal dengan terapi triple maka dianjurkan dengan terapi
kuadrupel yaitu PPI 2 x sehari,Bismuth subsalisilat 4 x 2 tab,MNZ 4 x 250
mg,Tetrasiklin 4 x 500 mg.Pada resistensi dapat dianjurkan PPI,Amoksisilin,dan
Rifabutin selama 10 hari.Pada tukak refrakter bisa sembuh bila dosis PPI
ditingkatkan/dosis ganda Omeprazol 40 mg,lansoprazole 60 mg,bila gagal maka
dilakukan operasi elektif.

3. Tindakan Operasi.
Indikasi: Terapi medik gagal atau ada komplikasi (perdarahan, perforasi, obstruksi).Hal ini
dapat dilakukan dengan :

Vagotomy

- Vagotomi trunkus (truncal vagotomy): Pemotongan cabang saraf vagus yang menuju
lambungmenghilangkan fase sefalik sekresi lambung tidak hanya mengurangi sekresi
asam lambung, tapi juga mengurangi pergerakan dan pengosongan lambung perlu drainase
untuk cegah retensi lambung (gastrojejunustomi atau piloroplasti).
- Vagotomi selektifhanya potong cabang saraf vagus yang menuju lambung, kekambuhan
berkurang dan komplikasi pasca vagotomi minimal.
- Vagotomi superselektif (high selective vagotomy / parietal cell vagotomy /proximal gastric
vagotomy) hanya potong saraf bagian lambung yang mensekresi asam, cabang saraf
antrum tetap berfungsi tidak perlu drainase lambung.

Antrektomi adalah pembuangan seluruh antrum lambung,jadi menghilangkan fase


hormonal atau fase gastric lambung sekresi lambung

Vagotomi dan Antrektomi,menghilangkan fase sefalik dan gastric sekresi


lambung.Jadi perangsangan saraf diputuskan,drainase diperbesar,dan tempat utama
pembentukan gastrin dibuang

Gastrektomi Parsial/distal gastrektomi,merupakan pembuangan 50-75% bagian distal


lambung dibuang,jadi membuang sebagian besar mukosa yang mensekresi asam dan
pepsin.Setelah reseksi lambung,kontinuitas lambung lambung-usus diperbaiki dengan
melakukan anastomosis sisa lambung dengan duodenum (gastroduodenostomi atau
operasi Billroth I) atau dengan jejunum (gastrojejunostomi atau operasi Billroth II)

KOMPLIKASI

Intraktibilitas/tukak yang membandel ; yang berarti bahwa terapi medik telah gagal
mengatasi gejala-gejala tukak peptik secara secara adekuat.Teknik operasi yang
menjadi pilihan pada intraktibilitas adalah high selective vagotomy.

Perdarahan ; Perdarahan adalah komplikasi tersering pada tukak peptik,perdarahan


yang tersering adalah pada dinding posterior bulbus duodenum,karena pada tempat ini
dapat terjadi erosi arteria pankreatikaduodenalis atau arteria gastroduodenalis.
Indikasi operasi pada perdarahan adalah perdarahan masif dan transfusi yang

membutuhkan darah lebih dari 4 -6 kantong pada saat pemeriksaan endoskopi.Teknik


operasi yang paling bagus untuk perdarahan pada lambung adalah distal gastrektomi

Perforasi Peritonitis. Diagnosis dipastikan melalui adanya udara bebas dalam


rongga peritoneal, dinyatakan sebagai bulan sabit translusen antara bayangan hati dan
diafragma.Untuk perforasi lambung paling baik dioperasi dengan teknik distal
gastrektomi.Sedangkan untuk tukak peptik tipe II dan III dengan vagotomi

Obstruksi ; Tukak prepilorik dan duodeni bisa menimbulkan gastric outlet obstruction
melalui terbentuknya fibrosis/oedem dan spasme.Mual,kembung setelah makan
merupakan gejala-gejala yang sering timbul.Apabila obstruksi bertambah berat dapat
timbul nyeri dan muntah.Operasi yang paling sering dilakukan pada obstruksi tukak
peptik adalah vagotomi dan antrektomi.

DIAGNOSIS BANDING
1.Dispepsia non ulcer atau dispepsia idiopatik adalah dispepsia kronis atau berulang
berlangsung lebih dari 1 bulan dan sedikitnya selama 25 % dalam kurun waktu tersebut gejala
dispepsia muncul,tidak ditemukan penyakit organik yang bisa menerangkan gejala tersebut
secara klinis,biokimia,endoskopi (tidak ada ulkus,tidak ada oesofagitis dan tidak ada
keganasan) atau radiografi.
2. Gastritis,merupakan suatu peradangan mukosa lambung yang dapat bersifat
akut,kronik,difus atau loka,.Gejala-gejalanya tidak khas dapat berupa nyeri dan panas pada
uluhati diserta mual dan muntah.Diagnosa ditegakkan dengan endoskopi.Didapatkan mukosa
memerah,edematosa ditutpi oleh mukus yang melekat.
PROGNOSIS
Apabila penyebab yang mendasari dari tukak peptik ini diatasi maka akan memberikan
prognosa yang bagus.Kebanyakan penderita sembuh dengan terapi untuk infeksi
H.Pylori,menghindari OAINS dan meminum obat antisekretorus pada lambung.
pengertian ibuprofen
Ibuprofen 400mg

Indikasi

Karena efek analgesik dan antiinflamasinya maka dapat digunakan untuk


meringankan gejala-gejala penyakit rematik tulang, sendi dan non-sendi.

Juga dapat digunakan untuk meringankan gejala-gejala akibat trauma otot


dan tulang/ sendi (trauma muskuloskeletal).

Karena efek analgesiknya maka dapat digunakan untuk meringankan nyeri


ringan sampai sedang antara lain nyeri pada dismenore primer (nyeri
haid), nyeri pada penyakit gigi atau pencabutan gigi, nyeri setelah
operasi, sakit kepala.

Kontra Indikasi

Penderita dengan ulkus peptikum (tukak lambung dan duodenum) yang


berat dan aktif.

Penderita dengan riwayat hipersensitif terhadap Ibuprofen dan obat


antiinflamasi non-steroid lain.

Penderita sindroma polip hidung, angioedema dan penderita dimana bila


menggunakan asetosal atau obat antiinflamasi non-steroid lainnya akan
timbul gejala asma,rinitis atau urtikaria.

Kehamilan tiga bulan terakhir.

Cara Kerja Obat


Ibuprofen adalah golongan obat antiinflamasi non- steroid yang mempunyai efek
antiinflamasi, analgesik dan antipiretik. Obat ini menghambat prostaglandin dan
dengan kadar 400 mg atau lebih digunakan dimana rasa nyeri dan inflamasi
merupakan gejala utama.
Dosis
Dewasa :
Untuk analgesik dan antiinflamasi (rematik tulang, sendi dan non-sendi, trauma
otot dan tulang / sendi) :
Dosis yang dianjurkan : sehari 3 4 x 400 mg.
Pada permulaan pemakaian sebaiknya menggunakan dosis minimum yang
efektif yaitu 400 mg 3 kali sehari.
Untuk analgesik :
Dosis yang dianjurkan : 200 mg sampai 400 mg 3 4 kali sehari.
Efek Samping

Walaupun jarang terjadi, tapi timbul efek samping sebagai berikut :


gangguan saluran pencernaan termasuk mual, muntah, gangguan
pencernaan, diare, konstipasi dan nyeri lambung.

Juga pernah dilaporkan terjadi ruam pada kulit, bronchospasme


(penyempitan bronkus), trombositopenia (penurunan sel pembeku darah).

Peringatan dan Perhatian

Pada uji klinis, dosis lebih besar dari 400 mg tidak lebih efektif dibanding
dosis 400 mg.

Tidak boleh melebihi dosis yang dianjurkan.

Penggunaan Ibuprofen harus hati-hati pada penderita : Lupus


eritematosus sistematik dan Gangguan fungsi hati dan ginjal.

Karena Ibuprofen dapat menyebabkan penyempitan bronkhus


(bronchospasme) maka hati-hati pada penderita asma.

Karena pernah dilaporkan terjadi retensi cairan dan edema, maka hati-hati
pada penderita yang pernah menderita penyakit gagal jantung.

Pada umumnya pendarahan pada lambung dan/ atau ulcer atau perforasi
pada pasien usia lanjut akan lebih berat.

Tidak dianjurkan untuk wanita hamil dan menyusui.

Selama menggunakan obat ini jangan minum asetosal, juga obat


antikoagulan (anti pembekuan darah) golongan warfarin.

Penurunan ketajaman penglihatan dan kesulitan membedakan warna


dapat terjadi, tetapi sangat jarang dan akan sembuh bila obat dihentikan.
Apabila terjadi gangguan penglihatan maka obat harus segera dihentikan
dan memeriksakan mata ke dokter.

Guna memperkuat analgetik dapat dikombinasikan dengan co-analgetikum, seperti


psikofarmaka (amitriptilin, levopromazin atau prednisone). Obat-obat golongan analgetik
dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu: parasetamol, salisilat, (asetasol, salisilamida, dan
benorilat), penghambat Prostaglandin (NSAID); ibuprofen, derivate-derivat antranilat
(

mefenamilat,

(aminofenazon,

asam

niflumat

isoprofilpenazon,

glafenin,

floktafenin,

derivate-derivat

isoprofilaminofenazon),

lainnya

pirazolinon

benzidamin.Obat

golongan analgesic narkotik berupa, asetaminofen dan fenasetin.Obat golongan anti-inflamasi


nonsteroid berupa aspirin dan salisilat lain, derivate asam propionate, asam indolasetat,
derivate oksikam, fenamat, fenilbutazon.
Nyeri merupakan gejala yang berfungsi melindungi atau merupakan tanda bahwa
adanya gangguan-gangguan ditubuh seperti peradangan (rheumatic/encok), infeksi, maupun
kejang otot.
Mekanisme rasa nyeri yaitu perangsangan nyeri baik mekanik, kimiawi, panas
maupun listrik akan menimbulkan kerusakan pada jaringan sel sehingga sel-sel tersebut
melepaskan suatu zat yang disebut mediator nyeri yang akan merangsang reseptor nyeri.
Mediator nyeri ini juga disebut zat autanoid yaitu, histamine, serotonin, plasmakinin,
bradikinin (asam lemak) prostaglandin dan ion kalium.
Mekanisme kerja penghambatan rasa nyeri ada tiga yaitu:
a. Merintangi pembentukkan rangsangan dalam reseptor rasa nyeri, seperti pada anastesi
local.
b. Merintangi penyaluran rangsangan nyeri dalam saraf sensoris, seperti pada anastesi
local.
c.

Blokade rasa nyeri pada system saraf pusat seperti pada analgetik sentral (narkotika) dan
anastesi umum.

Adapun jenis nyeri beserta terapinya, yaitu:

1. Nyeri ringan
Contohnya: sakit gigi, sakit kepala, sakit otot karena infeksi virus, nyeri haid, keseleo.Pada
nyeri dapat digunakan analgetik perifer seperti parasetamol, asetosal dan glafenin.
2. Rasa nyeri menahun
Contohnya: rheumatic dan arthritis.
Pada nyeri ini dapat digunakan analgetik anti-inflamasi, seperti: asetosal, ibuprofen dan
indometasin.
3. Nyeri hebat
Contoh: nyeri organ dalam, lambung, usus, batu ginjal, batu empedu. Pada nyeri ini dapat
digunakan analgetik sentral berupa atropine, butilskopolamin (bustopan), camylofen
( ascavan).
4. Nyeri hebat menahun
Contoh: kanker, rheumatic, neuralgia berat.
Pada nyeri ini digunakan analgetik narkotik, seperti fentanil, dekstromoramida, bezitramida.
Obat-obat yang dapat mengurangi nyeri antara lain:

ngan Para amino fenol a asetaminopen (parasetamol), fenasetin

ngan pirazolon a dipiron (antalgin)

rat Asam Salisilat a Aspirin, Benorilat, Diflusinal, Salsalat


1. Devirat As Fenamat a As Mefenamat, Meklofenamat
2. Devirat Asam Propionat a As Tioprofenat, Fenbufen, Flurbiprofen, Ibuprofen,
Ketoprofen, Naproksen
3. Devirat As Fenilasetat a Diklofenak, Fenklofenak
2.

ANTIPIRETIK
Antipiretik adalah zat-zat yang dapat mengurangi suhu tubuh (suhu tubuh yang
tinggi). Pada umumnya (sekitar 90%) analgesik mempunyai efek antipiretik.
1.

ANADEX
Untuk meringankan gejala-gejala flu seperti demam, sakit kepala, hidung tersumbat dan
bersin-bersin yang disertai batuk.(PT. Interba)

3. Anakonidin OBH

Untuk meredakan batuk dan gejala flu seperti demam, sakit kepala, hidung tersumbat serta
bersin-bersin.( PT. Konimex )
4. Antalgin
Karena resiko efek sampingnya, penggunaannya sebagai analgesic-antipiretik sangat dibatasi
yaitu :

Nyeri akut hebat sesudah luka atau pembedahan

Nyeri karena tumor atau kolik

Nyeri hebat akut atau kronik bila analgasik lain tidak menolong

Demam tinggi yang tidak bias diatasi antipiretik lain


( PT. Kimia Farma )
5. Aspirin
Untuk meringankan rasa sakit, terutama sakit kepala dan pusing, sakit gigi dan nyeri otot
serta menurunkan demam. ( PT. Bayer Indonesia )
6. Biogesic Syrup 60 ml
Menurunkan demam, meredakan rasa sakit seperti sakit kepala, sakit gigi, dan nyeri pada
otot. ( PT. Medifarma Lab )
7. Bodrex Flu dan Batuk
Meredakan gejala flu seperti demam, sakit kepala, hidung tersumbat dan bersin-bersin yag
disertai batuk. ( PT. Bode )
8. Bodrex Tablet
Meringankan sakit kepala, sakit gigi, dan menurunkan demam. ( PT. Tempo Scan Pasific )
9. Calapol Forte
Calapol diindikasikan untuk pengobatan terhadap rasa sakit yang ringan sampai sedang dan
sebagai antipiretika, untuk menghilangkan gejala-gejala seperti: sakit kepala, sakit gigi, dan
sakit pada tumbuh gigi, sakit tenggorokan, dan demam. Calapol juga untuk menghilangkan
rasa sakit pada menstruasi / haid
( PT. Buroughs Wellcome Indonesia )
10. Calapol Suspensi
Calapol diindikasikan untuk pengobatan terhadap rasa sakit yang ringan sampai sedang dan
sebagai antipiretika, untuk menghilangkan gejala-gejala seperti: sakit kepala, sakit gigi, dan
sakit pada tumbuh gigi, sakit tenggorokan, dan demam. Calapol juga untuk menghilangkan
rasa sakit pada menstruasi / haid
( PT. Buroughs Wellcome Indonesia )
11. Calapol Tablet

Calapol diindikasikan untuk pengobatan terhadap rasa sakit yang ringan sampai sedang dan
sebagai Antipiretika, untuk menghilangkan gejala-gejala seperti: sakit kepala, sakit gigi dan
sakit pada saat tumbuh gigi, sakit tenggorokan, dan demam.Calapol juga untuk
menghilangkan rasa sakit pada saat menstruasi/haid.
(PT Burroughs Wellcome Indonesia)
3. ANALGETIK-ANTIPIRETIK
Analgetik adalah obat yang mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri tanpa
menghilangkan kesadaran. Sedangkan antipiretik adalah obat yang dapat menurunkan suhu
tubuh yang tingi. Jadi, analgetik-antipiretik adalah obat yang mengurangi rasa nyeri dan
serentak menurunkan suhu tubuh yang tinggi.
Sebagai mediator nyeri, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Histamin
2. Serotonin
3. Plasmokinin (antara lain Bradikinin)
4. Prostaglandin
5. Ion Kalium
Analgetik diberikan kepada penderita untuk mengurangi rasa nyeri yang dapat
ditimbulkan oleh berbagai rangsang mekanis, kimia, dan fisis yang melampaui suatu nilai
ambang tertentu (nilai ambang nyeri). Rasa nyeri tersebut terjadi akibat terlepasnya mediatormediator nyeri (misalnya bradikinin, prostaglandin) dari jaringan yang rusak yang kemudian
merangsang reseptor nyeri di ujung saraf perifer ataupun ditempat lain. Dari tempat-tempat
ini selanjutnya rangsang nyeri diteruskan ke pusat nyeri di korteks serebri oleh saraf sensoris
melalui sumsum tulang belakang dan thalamus.
4.

NSAID (Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs) / OAINS (Obat Antiinflamasi Nonsteroid)


Pengobatan pasien dengan inflamasi mempunyai dua tujuan utama, pertama
meringankan rasa nyeri yang sering kali merupakan gejala awal yang terlihat dan keluhan
utama yang terus menerus dari pasien, kedua memperlambat atau membatasi proses
kerusakan jaringan. Pengurangan inflamasi dengan obat-obat anti inflamasi non steroid
(AINS, nonsteroidal anti-inflammatory drugs = NSAIDs ) seringkali berakibat meredanya
rasa nyeri selama periode yang bermakna. Lebih jauh lagi, sebagian besar dari nonopioid

analgesic (aspirin, dll) juga mempunyai efek anti inflamasi, jadi mereka tepat digunakan
untuk pengobatan inflamasi akut maupun kronis.
1.

NON STEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID)


Berbagai salicylate dan agen-agen lain yang mirip yang dipakai untuk mengobati
penyakit reumatik sama-sama memiliki kemampuan untuk menekan tanda-tanda dan gejalagejala inflamasi. Obat-obat ini mempunyai efek antipiretik dan analgesik, tetapi sifat-sifat
anti inflamasi merekalah yang membuat mereka paling baik dalam menangani gangguangangguan dengan rasa sakit yang dihubungkan dengan intensitas proses inflamasi.
Meskipun semua NSAID tidak disetujui oleh FDA untuk semua rentang penyakit
reumatik, semuanya mungkin efektif pada atritis rheumatoid, berbagai spondiloartropati
seronegatif (misalnya atritis psoriatis dan atritis yang dikaitkan dengan penyakit usus
meradang), osteroartritis, muskuloskeletal terlokalisir (misalnya terkilir dan sakit punggung
bawah) dan pirai (kecuali tolmetin yang nampaknya tidak efektif pada pirai). Karena aspirin,
permulaan NSAID, mempunyai beberapa efek yang merugikan, banyak NSAID lainnya telah
dikembangkan dalam usaha untuk memperbaiki efektifitas dan toksisitasnya.
KIMIA DAN FARMAKOKINETIK
NSAID dikelompokkan dalam berbagai kelompok kimiawi, beberapa di antaranya
(propionic acid deretivative, inodole derivative, oxicam, fenamate,dll.) keanekaragaman
kimiawi ini memberi sebuah rentang karakteristik farmakokinetik yang luas. Sekalipun ada
banyak perbedaan dalam kinetika NSAID , mereka mempunyai beberapa karakteristik yang
sama. Sebagian besar dari obat ini diserap dengan baik, dan makanan tidak mempengruhi
biovailabilitas mereka secara substansial. Sebagian besar dari NSAID sangat di metabolism,
beberapa oleh mekanisme fase I dan fase II dan lainnya hanya oleh glukuronidasi langsung
(fase II). Metabolisme dari seberapa besar NSAID berlangsung sebagian melalui enzim P450
kelompok CYP3A dan CYP2P dalam hati. Sekalipun ekskresi ginjal adalah rute yang paling
penting untuk eliminasi terakhir, hampir semuanya melalui berbagai tingkat ekskresi empedu
dan penyerapan kembali (sirkulasi enterohepatis). Kenyataanya tingkat iritasi seluruh cerna
bagian bawah berkolerasi dengan jumlah sirkulasi enterohepatis. Sebagian besar dari NSAID
berikatan protein tinggi , biasanya dengan albumin.
FARMAKODINAMIKA

Aktivitas anti inflamasi dari NSAID terutama diperantari melalui hambatan


biosintesis prostaglandin. Berbagai NSAID mungkin memiliki mekanisme kerja tambahan,
termasuk hambatan komitaksis, regulasi rendah, produksi interleukin-1, penurunan produksi
redaikal bebas dan superoksida, dan campur tangan dengan kejadian-kejadian intraseluler
yang diperantari kalsium. Aspirin secara ireversibel mengasetilasi dan menyekat platelet
cyloxigenase., tetapi NSAID yang lain adalah penghambat- penghambat yang
reversible. Selektivitas COX-1 versus COX-2 dapat bervariasi dan tidak lengkap bagi bahanbahan yang lebih lama, tetapi penghambat-penghambat COX-2 yang sangat selektif sekarang
bisa di dapat. Dalam pengujian dengan memakai darah utuh manusia, entah mengapa, aspirin,
indomethacine, pirixicam, dan sulindac lebih efektif dalam menghambat COX-1, ibuprofen
dan mectofenamate menghambat kedua isozim yang kurang lebih sama. Hambatan sintesis
lipoxigenase oleh NSAID yang lebih baru, suatu efek yang di inginkan untuk obat anti
inflamasi , adalah terbatas tetapi mungkin lebih besar daripada dengan aspirin. Benoxaprofen,
NSAID lain yang lebih baru, diperlihatkan menghambat sintesisi leuxotriene dengan baik
tetapi di tarik kembali karena sifat toksiknya. Dari NSAID yang sekarang ini bisa didapat ,
indomethacine dan diclofanac telah dilaporkan mengurangi sintesis prostaglandin dan
leukotriene. Kepentingan klinis dari selektivitas COX-2 sekarang ini sedang diselidiki.
Keefektifan mungkin tidak terpengruh tetapi keamanan gastrointestinal mungkin dapat di
tingkatkan. Gunakan NSAID secara hati-hati pada pasien pasien dengan riwayat gangguan
perdarahan / perdarahan gastrointestinal, penyakit hati, ginjal , dan cardiofaskuler berat.
Sedangkan keamanan NSAID pada kehamilan belum di tetapkan.
A.

ASPIRIN
Pemakaian aspirin yang lama dan kemudahan memprolehnya tanpa resep telah
menghapus daya tariknya di bandingkan dengan NSAID yang lebih baru. Akan tetapi, aspirin
adalah standart ukuran bagi semua agen-agen antiinflamasi, hingga mulai adanya ibuprofen
bebas yang seefektif aspirin tetepi lebih aman. Aspirin sekarang kurang dipakai sebagai
pengobatan antiinflamasi daripada sebelumnya. Ibuprofen dan naproxen mengikuti aspirin
sebagai NSAID bebas di Amerika Serikat. Keduanya memiliki catatan keamanan yang baik
hingga baik sekali., dan khusus ibuprofen sekarang merupakan setandart umum terhadap
NSAID lain yang dibandingkan.
Farmakokinetika

Asam salisilat adalah asam organic sederhana dengan pKa 3,0. Aspirin mempunyai
pKa 3,5. Sodium salisilat dan aspirin adalah obat antiinflamasi yang sama efektifnya ,
walaupun aspirin mungkin lebih efektif sebagai analgesik. Salicylate dengan cepat diserap
oleh lambung dan usus kecil bagian atas, menghasilkan kadar puncak plasma salysilate dalam
1-2 j1m. Aspirin diserap dalam cara yang sama dan dihidrolisis cepat menjadi acetic acid dan
salicylate oleh esterase-esterase dalam jaringan dan darah.
Farmakodinamika
1)

Efek-efek anti inflamasi. Aspirin adalah penghambat non-selektif kedua isoform COX ,
tetapi salicylate jauh lebih kurang efektif dalam menghambat kedua isoform. Salicylate
yang tidak di asetilasi mungkin bekerja sebagai pemangsa (scavenger) radikal oksigen.
Dari catatan diketahui bahwa berbeda dari kebanyakan AINS lainnya, aspirin
menghambat COX secara irreversible, dan bahkan dosis rendah bisa efektif dalam
keadaan tertentu, misalnya penghambatan agregasi platelet.
Selain mengurangi sintesis mediator-mediator eicosanoid, aspirin juga mempengaruhi
mediator-mediator

kimia

dari

sistem

kallikrein.

Sebagai

akibatnya,

aspirin

menghambat melekatnya granulosit pada vasculature yang rusak, menstabilkan


lysosome, dan menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear danb makrofag ke
dalam daerah inflamasi.
2)

Efek-efek analgesik. Aspirin paling efektif untuk mengurangi nyeri dengan intensitas
ringan sampai sedang. Ia bekerja secara perifer melalui efeknya terhadap inflamasi, tetapi
mungkin juga menghambat rangsangan nyeri pada daerah subkortikal.

3)

Efek-efek antipiretik. Aspirin menurunkan suhu yang meningkat, sedangkan suhu badan
normal hanya terpengaruh sedidkit. Efek antipiretik aspirin mungkin diperantarai oleh
hambatan kedua COX dalam sistem saraf pusat dan hambatan IL-1 (yang dirilis dari
makrofag selama episode inflamasi). Turunnya suhu, dikaitkan dengan meningkatnya panas
yang hilang karena vasodilatasi dari pembuluh darah permukaan (superfisial) dan disertai
keluarnya keringat yang banyak.

4)

Efek-efek platelet. Aspirin mempengaruhi hemostasis. Dosis rendah tunggal aspirin (kirakira 80 mg sehari) menyebabkan sedikitnya perpanjangan waktu pendarahan, yang menjadi
dua kali lipat bila pemberiannya dilanjutkan selama seminggu. Perubahan disebabkan oleh
hambatan platelet COX yang irreversible, sehingga efek antiplatelet dari aspirin berlangsung
8-10 hari (umur platelet). Secara umum, aspirin harus dihentikan satu minggu sebelum
pembedahan untuk menghindari komplikasi perdarahan.

Pemakaian Klinis
Aspirin adalah salah satu dari obat-obat yang paling sering dipakai untuk meredakan
nyeri ringan sampai nyeri sedang yang sebabnya beragam,tetapi tidak efektif untuk nyeri
organ dalam, seperti infraktus miokardium atau kolik ginjal atau empedu. Aspirin sering
dikombinasikan dengan analgesik ringan lain dal lebih dari 200 produk semacam itu bisa
dibeli tanpa resep. Kombinasi yang lebih mahal ini tidak pernah menunjukkan lebih efektif
atau kurang toksik daripada aspirin saja. Aspirin dan NSAID lainnya telah dikombinasikan
dengan analgesik opoid untuk meredakan nyeri pada kanker, yang efek antiinflamasi mereka
bekerja secara sinergis dengan opoid untuk menungkatkan analgesia.
Dosis
Dosisi analgesik atau antipiretik yang optimal dari aspirin yang secara umum
dipergunakan adalah kurang dari 0,6 gram dosisi oral. Dosis yang lebih besar mungkin
memprpanjang efek. Dosisi biasa tersebut bisa di ulang setiap 4 jam dan dosisi yang lebih
kecil (0,3 g) setiap 3 jam sekali. Dosisi untuk anak-anak adalah 50-75 mg/kg/hari dalam
dosisi yang terbagi.
Dosis antiinflamasi rata-rata dapat sampai 4 gram per hari. Untuk anak-anak 50-75
mg/kg/hari. Kadar dalam darah 15-30 mg/dl. Waktu paro 12 jam. Biasanya dosi terbagi 3
kali/hari, sesudah makan.
Pemilihan Obat
Aspirin dapat diperoleh dari berbagai macam pabrik, dan meskipun bisa bervariasi
dalam tekstur dan penampilan, kandungn aspirin tetap. Tes disintegrasi adalah bagian dari
standart resmi, dan sedikit bukti yang menunjukkan bahwa perbedaan antara tablet tersebut
memiliki keamanan klinis. Buffered Aspirin yang paling popular tidak mengandung cukup
alkali untuk mengurangi iritasi lambung dan tidak ada bukti bahwa preparat yang lebih mahal
ini dikaitkan kadar darah yang lebih tinggi atau evektivitas klinis yang lebih besar.
Efek Samping Obat
Pada dosis yang biasa, efek aspirin yang paling berbahaya adalah gangguan lambung.
Efek ini bisa dikurangi denggan penyanggaan yang sesuai (menelan aspirin bersamaan
dengan makanan diikuti dengan segelas air atau antacid).

Dengan dosisi lebih tinggi , pasien-pasien mungkin mengalami salicylism, muntah muntah, tinnitus, pendengaran yang berkurang, dan vertigo yang reversible dengan
mengurangi dosis. Dosis salicylate yeng lebih tinggi menyebabkan hiperpne melalui efek
langsung pada medulla batang otak, sedangkan dosis salicylate yang lebih rendah alkalosisi
respiratorik mungkin terjadi.
Terkadang juga dapat menyebabkan hepatitis ringan dan penurunan filtrasi glomeruli.
Pada dosisi harian 2 gr atau kurang, akan menaikan kadar asam urat dalam serum.

Obat Obat Antiinflamasi Yang Lebih baru


Obat antiinflamasi dapat dikelompokkan dalam 7 kelompok besar :
1.

Derivat asam propionate

2.

Derivat inidol

3.

Fenamat

4.

Asam pirolalkanoat

5.

Derivate Pirazolon

6.

Aksikam

7.

Asam salisilat
Aktifitas anti inflamasi dari obat NSAID tersebut mempunyai mekanisme yang sama
dengan aspirin, terutama karena kemampuannya menghambat biosintesis prostaglandin.
Proses inflamasinya dikurangi dengan penurunan pelepasan mediator dari
granulosit, basofil, dan sel must. Obat-obat NSAID juga menurunkan sensitivitas
pebuluh darah terhadap bradikinin dan histamine, mempengaruhi produksi limfokin
dari limfosit T dan meniadakan vasodilatasi. Semuanya ialah penghambat sintesis
protrombin, walau derajatnya berbeda-beda. Mereka semua juga :

1.

Analgesik

2.

Antiinflamasi

3.

Antipiretik

4.

Menghambat agregasi platelet

5.

Menyebabkan iritasi lambung

6.

Bersifat nofrotoksik

1.

Ibuprofen

Ibuprofen merupakan derivate dari asam fenilpropionat. Pada dosis 2400 mg,
efekantiinflamasinya setara dengan 4gr aspirin. Pada dosis lebih rendah, hanya efek
analgesiknya yang jelas, sedangkan efek antiinflamasinya sedikit. Waktu paro 2 jam ,
metabolism di hati, 10% diekskresi tanpa di ubah.
2.

Fenoprofen
Merupakan derivate asam propionate. Waktu paronya 2 jam . Dosis anti atritis (inflamasi)
ialah 600-800 mg, 4 kali sehari. Efek smpingnya menyerupai ibuprofen yaitu nefrotoksis,
interik, nausea, dispepsi, udema perifer, rash pruritas, efek sistem saraf pusatdan
kardiovaskuler.

3.

Indomethacin
Indometasin merupakan derifat indol. Walaupun lebih toksik dari aspirin, tetapi
efektivitasnya juga lebih tinggi. Ia juga penghambat sintesis prostaglandin. Metabolisme di
hati. Waktu paro serum 2 jam.

4.

Sulindac
Suatu obat sulfosid, yang baru aktif setelah di ubah oleh enzim hati menjadi sulfide,
duraksi aksi 16 jam. Indikasi dan reaksi buruknya menyerupai obat NSAID yang lain. Dapat
juga terjadi sindrom Stevens-Jhonson, trombositipenia, agranulositosi dan sindrom nefrotik.
Dosis rata-rata untuk arthritis inflamasi ialah 200mg, 2 kali sehari.

5.

Maclofenamate
Derifat fenamat, mencapai kadar puncak dalam plasma darah 30-60 menit, waktu paro 2
jam. Ekskresi lewat urin sebagai besar dalam bentuk konjungasi glukuronid. Efek
sampingnya menyerupai obat NSAID lain, nampaknya tidak mempunyai keistimewaan
disbanding yang lain.
Kontraindikasi : hamil, belum terbukti keamanan dan efekasinya pada anak. Dosis untuk
atritis inflamasi ialah 200-400 mg/hari, terbagi dalam 4 dosis.

6.

Asam Mefenamat
Juga drifat fenamat, mempunyai efek analgesik, tapi sebagai antiinflamasi kurang kuat
disbanding aspirin serta lebih toksik. Obat ini tidak boleh di berikan berturut-turut lebih dari

1 minggu dan tidak diindikasikan untuk anak-anak. Dosis awal 500mg 9dewasa), selanjutnya
250 mg.
7.

Tolmetin
Suatau derivate dari asam pirololkanoat, menyerupai aspirin dalam efektivitasnya
terhadap arthritis rematoid dan osteortritis pada penderita dewasa dan remaja. Waktu paronya
pendek 1 jam. Rata-rata dosis dewasanya ialah 400mg, 4 kali sehari

8.

Fenilbutazon
Merupakan derifat pirazolon, mempunyai efek antiinflamasi yang kuat. Akan tetapi di
temukan berbagai pengaruh buruknya seperti : agranulositosis, anemia aplastika, anemia
hemolitik, sindrom nefrotik, neuritis optic, tuli, reaksi alergi serius, dermatitis eksfoliotif serta
nekrosis hepar dan tubuler ren.

9.

Piroxicam
Waktu paronya 45 jam, oleh karena itu pemakaiannya cukup sekali sehari. Obat ini cepat
diabsorbsidari lambung, dan dalam 1 jam konsentrasi dalam plasma mencapai 80% dari kadar
puncaknya. Keluhan gastrointestinal di alami oleh sekitar 20 % penderita, efek buruk lainnya
ialah dizziness, tinnitus, nyeri kepala dan ruam kulit.

10. Diflunisal
Diflunsial ialah derivate difluorofenil asam salisilat. Waktu paronya dalam plasma ialah
8-12 jam dan mencapai steady state setelah beberapa hari. Seperti halnya aspirin, ia
mempnyai efek analgesik dan antiinflamasi akan tetapi efek antipiretiknnya kecil.
Indikasinya ialah nyeri dan osteoarthritis. Efek buruknya menyerupai NSAID yang lain
11. Meloxicam
Merupakan generasi baru NSAID. Suatu penghambat sikloogsigenase-2 selektif (COX2). Banyak study menunjukkan bahwa meloxicam mempunyai efek samping pada saluran
gastrointestinal lebih renfdah di banding dengan NSAID yang lain, dengan kekuatan
antiinflamasi, analgetik dan antipiretik. Pemakaian meloxicam 15 mg tidak memperlihatkan
perbedaan dalam hal efek sampingnya terhadap saluran gastrointestinal yang dinilai sebelum
dan sesudah pengobatan.

2.

ANALGESIK LAIN
Acethaminophen adalah salah satu obat yang paling penting untuk mengobati nyeri
ringan sampai sedang bilaman efek antiinflamasi tidak diperlukan. Phenacetin, sebuah produk
yang dimetabolisme menjadi acetaminophen, lebih toksik daripada metebolit aktifnya dan
tidak mempunyai indikasi rasional.

A.

ACETAMINOPHEN
Acetaminophen adalah metabolit aktif dari phenacetin yang bertanggung jawab akan
efek analgesiknya. Ia adalah penghambat prostaglandin lemah dalam jaringan perifer dan
tidak memiliki efek inflamasi yang signifikan.
Farmakokinetik
Acetaminophen di berikan secara oral. Penyerapan dihubungkan dengan tingkat
pengosongan perut, dan konsentrasi daerah puncak biasanya tercapai dalam 30 60 menit.
Acetaminophen sedikit terikat pada protein plasma dan sebagian di metabolism oleh enzim
mikrosomal hati dan di ubah menjadi sulfat dan glukoronida acetaminophen, yang secara
farmakologis tidak aktif. Kurang Dari 5 % di ekskresikan dalam keadaan tidak berubah.
Metabolit minor tetapi sangat aktif adalah penting dalam dosis besar karena efek toksiknya
terhadap hati dan ginjal. Waktu paruh acetaminophen adalah 2 3 jam dan relative tidak
terpengaruh oleh fungsi ginjal.
Indikasi
Sekalipun ekuifalen dengan aspirin sebagai agen analgesik dan antipiretik yang
efektif, acetaminophen berbeda karena sifat antiinflamasinya lemah. Ia tidak mempengaruhi
kadar asam urat dan sifat penghambatan platelatnya lemah. Obat ini berguna untuk nyeri
ringan sampai sedang seperti sakit kepala, mialgia, nyeri pada pascapersalinan dan keadaan
lain dimana aspirin efektif sebagai analgesik. Aceteminophen saja adalah terapi yang tidak
adekuat untuk inflamasi seperti atritis rheumatoid, sekalipun ia dapat di pakai sebagai
tambahan analgesik terhadap terapi anti inflamasi. Untuk analgesik ringan acetaminophen
adalah obat yang lebih disukai pada pasien yang alergi terhadap aspirin atau bilaman
salicylate tidak bisa di toleransi.

Efek Efek Yang Tidak Diinginkan


Dalam dosisi terapeutik, sedikit peningkatan enzim enzim hati kadang kadang bisa
terjadi tanpa adanya ada ikterus : obat ini reversible bila obat dihentikan. Denga dosis yang
lebih besar, pusing pusing, ketegangan, dan disorentasi bisa terlihat. Menelan 15 g
acethaminophen bisa fatal, kematian disebabkan oleh hepatotoksisitas yang hebat dengan
nekrosis lobules sentral, kadang kadang dikaitkan dengan nikrosis tubulus ginjal akut.
Dosis
Nyeri akut dan demam bisa di atasi dengan 325 500 mg empat kali sehari dan secara
proporsional di kurangi untuk anak-anak. Keadaan tunak (steady state) dicapai dalam sehari.
B.

PHENACETIN
Phenacetin tidak lagi dipakai di Amerika Serikat dan telah di tarik dari berbagai
kombinasi analgesik bebas (OTC) seperti Anacin dan Empirin Compound. Akan tetapi
phenacetin masih ada dalam sejumlah analgesik di Amerika Serikat dan masih banyak di
pakai di Negara lain. Kaitan antara pemakaian berlebih dari kombinasi analgesik terutama
yang mengandung phenacetin dan perkembangan kegagalan ginjal telah di ketahui selama
hampir 30 tahun. Perkiraan presentase pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir yang
merupakan akibat dari pemakaian analgesik yang salah adalah 5 % hingga 15%. Setelah
larangan pemakaian phenacetin dalam analgesik di Finlandia, Skotlandia, dan Canada,
Jumlah kasus baru dari nefropati analgesik di Negara-negara tersebut berkurang secara
signifikan.
Penggunaan
NSAID biasanya diindikasikan untuk pengobatan kondisi akut atau kronik di mana nyeri dan
peradangan hadir. Penelitian dilanjutkan ke potensi mereka untuk pencegahan kanker
kolorektal , dan perawatan kondisi lain, seperti kanker dan penyakit jantung .
NSAID umumnya diindikasikan untuk mengurangi gejala-gejala kondisi berikut:

Rheumatoid arthritis

Osteoartritis

Arthropathies inflamasi (misalnya ankylosing spondylitis , arthritis psoriatis , 's


sindrom Reiter )

Akut gout

Dismenorea ( haid nyeri)

Metastasis tulang nyeri

Sakit kepala dan migrain

Nyeri pasca operasi

karena cedera peradangan dan jaringan ringan-sampai sedang sakit

Pireksia ( demam )

Renal kolik

Mereka juga diberikan kepada neonatus bayi yang ductus arteriosus tidak ditutup
dalam waktu 24 jam setelah kelahiran

Aspirin , NSAID hanya mampu ireversibel menghambat COX-1, juga diindikasikan


untuk penghambatan platelet agregasi. Hal ini berguna dalam pengelolaan arteri
trombosis dan pencegahan kejadian kardiovaskular yang merugikan. Aspirin
menghambat agregasi platelet dengan menghambat aksi tromboksan-A.
III. Penutup
Kesimpulan:
Analgetik diberikan kepada penderita untuk mengurangi rasa nyeri yang dapat
ditimbulkan oleh berbagai rangsang mekanis, kimia, dan fisis yang melampaui suatu nilai
ambang tertentu (nilai ambang nyeri). Rasa nyeri tersebut terjadi akibat terlepasnya mediatormediator nyeri (misalnya bradikinin, prostaglandin) dari jaringan yang rusak yang kemudian
merangsang reseptor nyeri di ujung saraf perifer ataupun ditempat lain. Dari tempat-tempat
ini selanjutnya rangsang nyeri diteruskan ke pusat nyeri di korteks serebri oleh saraf sensoris
melalui sumsum tulang belakang dan thalamus.

Antipiretik digunakan untuk menurunkan suhu tubuh. Pada umumnya (sekitar 90%)
analgesik mempunyai efek antipiretik.
Anti-inflamasi adalah obat atau zat-zat yang dapat mengobati peradangan atau
pembengkakan.
Obat analgesik, antipiretik serta Obat Anti Inflamasi non Steroid (OAINS) merupakan
suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara
kimia.Walaupun demikian, obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek
terapi maupun efek sam

Pemberian terapi PPI bersamaan dengan antiplatelet menuai kontroversi. Diduga ada
interaksi yang mengurangi efek antiplatelet.

Clopidogrel adalah obat antiplatelet dengan mekanisme kerja yang dimediasi melalui
penghambatan reseptor platelet adenosine diphosphat, P2Y12, yang ireversibel. Clopidogrel
digunakan luas untuk menghambat komplikasi trombosis pada pasien dengan sindrom
koroner akut, dengan atau tanpa percutaneous coronary intervention (PCI). Obat ini juga
bermanfaat untuk pasien yang telah menjalani pemasangan drug eluting stent.
Meski demikian, monoterapi Clopidogrel telah dihubungkan dengan meningkatnya risiko
perdarahan. Bahkan, beberapa penelitian klinis memperlihatkan bahwa risiko perdarahan,
terutama perdarahan saluran cerna, meningkat pada pasien jantung koroner berisiko tinggi
yang mendapat terapi ganda, menggunakan clopidogrel dan aspirin. Sementara guideline
pencegahan atau pengobatan cidera saluran cerna akibat penggunaan antiplatelet,
menganjurkan penggunaan obatobatan kelas proton pump inhibitor (PPI) sebagai obat lini
pertama.
Belakangan ini, kekhawatiran muncul mengenai interaksi antara Clopidogrel dan PPI, yang
dapat mengurangi efektifitas efek antiplatelet clopidogrel. Beberapa penelitian
memperlihatkan adanya implikasi klinis serius, dari penurunan respon antiplatelet pada
pasien koreoner berisikotinggi. Maka, laporan interaksi antara Clopidogrel dengan PPI harus
dieksplorasi lebih jauh.

Mekanisme Interaksi
Clopidogrel adalah suatu prodrug yang butuh aktifasi di liver, oleh isoenzim cytochrome
P450 (CYP), terutama CYP2C19. Peran penting CYP2C19 dalam konversi clopidogrel ke
dalam bentuk aktif terapeutik, telah terdokumentasi dengan baik. Isoenzim CYP2C19 I
memilikii polimorfisme terkait. Penelitian in vitro memperlihatkan, pasien dengan alel
CYP2C19 tertentu memiliki respon antiplatelet yang lebih rendah terhadap clopidogrel.
Terutama, individu dengan alel CYP2C19*2 terbukti memiliki resistensi terhadap
Clopidogrel, yang diberikan setelah pemasangan sten di pembuluh darah koroner, dan setelah
terjadinya infark miokard dengan peningkatan ST-segment.
Dua penelitian lain meningkatkan pemahaman kita, mengenai pentingnya hubungan antara
aktivitas antiplatelet clopidogrel dan fungsi isoenzim CYP. Simon dan kawan-kawan
mengevaluasi 2208 pasien, yang diatasi dengan Clopidogrel setelah mengalami infark
miokard akut (IMA). Kejadian klinis yang meliputi kematian akibat berbagai sebab, stroke
non fatal atau IMA selama 1 tahun, meningkat pada pasien dengan penurunan fungsi dua alel
dari CYP2C19 (*2, *3, *4, atau *5), dibandingkan noncarriers (21,5% vs 13,3%, adjusted
hazard ratio [HR] 1,9; 95% CI 1,10, 3,58).
Di antara 1535 pasien yang menjalani PCI, kejadian kardiovaskular 3,58 kali lebih tinggi
pada mereka dengan penurunanfungsi dua alel CYP2C19, dibanding mereka yang tidak.
Carriers varian ABCB1, yang mengganggu penyerapan obat, juga mengalami peningkatan
angka kejadian. Sebaliknya, tidak ada hubungan buruk dengan polomorfisme P2Y12 atau
glycoprotein IIb/IIIa. Yang menarik, tidak satu pun pasien yang menggunakan PPI, dalam hal
ini omeprazole.
Pada penelitian kedua, Mega dan kawan-kawan menyelidiki hubungan antara varian genetik
CYP, konsentrasi plasma metabolit clopidogrel aktif dan fungsi platelet pada sukarelawan
sehat.
Mereka menemukan bahwa pada pasien carriers, setidaknya satu alel penurunan fungsi
CYP2C19, memiliiki penurunan metabolit clopidogrel aktif dan sedikit penurunan agregasi
platelet, dibandingkan pasien non carriers.
Para peneliti kemudian melihat hubungan antara varian genetik CYP dan outcome
kardiovaskular pada kelompok terpisah, yang terdiri dari 1477 pasien sindrom koroner akut
yang diobati dengan Clopidogrel pada TRITON-TIMI (Trial to Assess Improvement in
Therapeutic Outcomes by Optimizing Platelet Inhibition with Prasugrel Thrombolysis
inMyocardial Infarction). Terjadi peningkatan risiko kematian kardiovaskular, IMA atau
stroke pada carriers alel penurunan fungsi, dibandingkan non carriers.
Terlebih lagi, subyek dengan alel CYP2C19*2 mengalami peningkatan risiko strombosis
stent 3 kali lipat, dibandingkan non carriers. Perbedaan antara kelompok, yang terlihat setelah
pemberian clopidogrel, menunjukkan efek penurunan penghambatan platelet. Temuan-

temuan ini memperlihatkan peran penting fungsi enzim CYP dalam farmakologis
Clopidogrel. Para peneliti menyimpulkan, interaksi obat yang mengganggu fungsi CYP,
terutama CYP2C19, juga bisa berdampak pada aktivitas antiplatelet clopidogrel.Suatu
penelitian komparatif in vitro menggunakan sediaan mikrosomonal liver manusia,
menunjukkan berbagai tingkat inhibisi CYP2C19 dari berbagai PPI berbeda.
Dalam penelitian ini, omeprazole, esomeprazole, dan lansoprazole terlihat merupakan
penghambat CYP2C19 terkuat, diikuti pantoprazole dan yang terakhir rabeprazole. Temuan
ini memberikan penjelasan hipotesis bahwa ada perbedaan, dalam bagaimana PPI berbeda
mengurangi efek antiplatelet clopidogrel. Bagaimana pun, hasil-hasil inhibisi enzim dalam
penelitian in vitro tidak selalu sama dengan penelitian in vivo.
Misalnya, meski lansoprazole dalam penelitian in vitro setidaknya setara di tingkat inhibisi
CYP2C19, omeprazole dilaporkan lebih banyak mengalami interaksi yang melibatkan
inhibisi CYP2C19. Karenanya, para peneliti kemudian berspekulasi bahwa ada faktor lain
yang memegang peranan, seperti potensi obat, kisaran dosis, konsentrasi obat dalam serum,
dan kecepatan eliminasi obat. Semuanya mempengaruhi besar dan lama paparan obat.
Dampak terapi PPI pada Aktivitas Antiplatelet Clopidogrel
Gilard dan kawan-kawan melakukan satu dari penelitian pertama, yang menunjukkan
hubungan antara penggunaan PPI dan menghilangnya aktivitas Clopidogrel. Penelitian ini
berdasarkan fakta, inhibisi platelet oleh Clopidogrel dimediasi oleh penghambatan reseptor
platelet P2Y12. Aktifasi reseptor ini dihubungkan dengan defosforilasi intraplatelet
vasodilatorstimulated phosphoprotein (VASP).
Ketika fosforilasi VASP meningkat, risiko trombosis juga meningkat. Uji VASP dilakukan
pada 105 pasien yang mendapat aspirin dan Clopidogren, untuk pasien angioplasti koroner
risiko tinggi. Sebagain besar pasien adalah pria (61%) dengan usia rerata 63,7 tahun.
Penelitian ini menemukan bahwa pasien yang menggunakan PPI (n = 24), memiliki nilasi
VASP yang secara signfikan lebih besar (61,4 23,2 vs 49,516,3, secara berurutan, p =
0,007) dibanding bukan pengguna (n = 81).
Dalam suatu penelitian follow up, Gilard dan kawan-kawanmelakukan penelitian buta ganda
melibatkan 124 pasien, yang menjalani pemasangan sten pada pembuluh darah koroner.
Mereka diberi aspirin 75 mg/hari dan suatu loading dose Clopidogrel, diikuti 75 mg/hari.
Pasien secara acak diberi omeprazole 20mg/hari atau plasebo selama 7 hari. Aktivitas
antiplatelet Clopidogrel diukur dengan uji VASP pada kedua kelompok di hari 1 dan 7,
dilaporkan sebagai platelet reactivity index (PRI).
Pada hari pertama, tidak ada perbedaan signifikan pada PRI antara penerima placebo dan
omeprazole (83.2%SD 5.6% vs 83.9%4.6%). Sebaliknya, pada hari ke tujuh, PRI secara
signifikan lebih besar pada pasien yang mendapat omeprazole (51,4% 16,4% vs 39,8%
15,4%; p< 0.0001), mengindikasikan peningkatan risikko trombosis.

Karena semua PPI dimetabolisme sampai tingkat tertentu oleh CYP2C19, peneliti lain
melakukan penelitian untuk mengetahui, apakah interaksi Clopidogrel dan omeprazole
sebagaimana dilaporkan adalah suatu efek kelas obat. Respon terhadap efek antiplatelet
Clopidogrel dinilai menggunakan pemeriksaan VASP dan aggregometri platelet, yang
diinduksi ADP pada 300 pasien yang menjalani PCI dan diberi pantoprazole, esomeprazole,
atau tanpa PPI.
Sebagaimana diukur menggunakan pemeriksaan VASP, tidak ada perbedaan signifikan PRI
rerata antara pasien dengan atau tanpa pengobatan PPI (51% vs 49%; p = 0,724). Secara
serupa, agregasi platelet tidak berbeda secara signifikan, antara pasien dengan atau tanpa
terapi PPI (45U vs 41U; p = 0.619). Secara keseluruhan, tidak ada perbedaan signifikan pada
PRI atau agregasi platelet di semua kelompok pasien (p = 0.382), yang menggunakan
pantoprazole (PRI 50%, agregasi 47 U), esomeprazole (PRI 54%, agregasi 42U), atau tidak
menggunakan PPI (PRI 49% agregasi 41U).

Temuan penelitian
ini menunjukkan, interaksi antara Clopidogrel dan PPI sebagaimana dilaporkan bukan efek
kelas obat. Para peneliti menduga, temuan ini mungkin dapat dijelaskan oleh metabolisme
stereoselektif omeprazole oleh CYP2C19, yang tidak terjadi dengan pantoprazole atau
esomeprazole. Temuan penelitian ini diperkuat dengan penggunaan dua metode untuk
mengevaluasi interaksi obat, tetapi dibatasi oleh disain penelitian yang tidak acak, potensi
terjadinya bias, dan tidak menyertakan omeprazole sebagai suatu komparator.
Dampak kombinasi Clopidogrel dan terapi PPI pada outcome cardiovascular.
Sebagai respon terhadap laporan interaksi obat, beberapa peneliti telah mencoba menilai efek
kombinasi clopidogrel, dan terapi PPI pada outcome cardiovascular. Pezalla dan kawankawan, misalnya, mengevaluasi data basis medis dan farmasi untuk melihat angka kejadian
IMA selama follow up 1 tahun, untuk pasien yang menggunakan Clopidogrel dengan atau
tanpa PPI.
Analisa akhir melibatkan lebih 5.000 pasien berusia <65 tahun, yang telah menggunakan
terapi Clopidogrel. Berdasarkan kepatuhan menggunakan PPI, pasien diklasifikasi menjadi

paparan rendah atau tinggi atau tanpa paparan. Angka kasar satu tahun untuk IMA adalah
1,38% untuk kelompok kontrol, 3,08% untuk mereka dengan paparan rendah, dan 5,03%
untuk paparan PPI tinggi. Dibanding pasien kontrol, perbedaan angka kejadian IMA secara
signifikan lebih tinggi pada kelompok dengan paparan PPI yang tinggi (p < 0.05), suatu
perbedaan yang menetap setelah dilakukan penyesuaian untuk perbedaan dalam komorbiditas
di antara 1010 pasien (11,38% vs 2,60%, p< 0.05).
Meski temuan ini memperlihatkan adanya interaksi, penelitian ini dipublikasikan hanya
sebagai surat. Dan, publikasinya tidak mencantumkan metode yang digunakan, termasuk
definisi kepatuhan pasien dan besarnya paparan terhadap PPI. Juga tidak membahas
kemungkinan adanya faktor perancu.
Dua penelitian yang dipresentasikan di pertemuan American Heart Association (AHA) tahun
2008, menilai dampak terapi Clopidogrel-PPI pada outcome cardiovascular, dan memberikan
hasil yang bertentangan. Dunn dan kawan-kawan melakukan analisa pada data dari penelitian
CREDO (Clopidogrel for the Reduction of events During Observation), yang menunjukkan
manfaat terapi Clopidogrel selama 1 tahun versus 1 bulan setelah pemasangan sten di
pembuluh darah koroner.
Analisa data sub kelompok dari penelitian klinis acak ini mengevaluasi risiko kematian, AMI
atau stroke pada 2116 pasien yang mendapat Clopidogrel atau placebo, dengan atau tanpa
PPI. Sedangkan pasien yang mendapat PPI, berisiko lebih tinggi dan outcome keseluruhan
yang lebih buruk. Clopidogrel menurunkan outcome cardiovascular yang buruk dalam 1
tahun dengan hasil serupa, apa pun PPI yang digunakan.
Sebaliknya, penelitian kedua yang dipresentasikan di pertemuan tersebut sekali lagi
menunjukkan dampak negatif terapi PPI pada efek antiplatelet Clopidogrel. Clopidogrel
Medco Outcomes Study adalah penelitian restrospektif menggunakan file data dari National
Medco Integrated Database, yang mencakup 19 juta pasien. Para penelitian mempelajari
pasien yang diberi Clopidogrel, setelah pemasangan sten di pembuluh darah koroner dan
setidaknya 80% patuh terhadap pengobatan dalam setahun.
Pasien yang menggunakan Clopidogrel (n = 9862) dibandingkan yang menggunakan
Clopidogrel plus PPI (4521) selama 1 tahun untuk menilai kejadian kardiovaskular mayor,
berupa rawat inap karena stroke, IMA, angina, atau menjalani operasi coronary artery bypass.
Penyesuaian
dibuat untuk perbedaan baseline dalam usia, jenis kelamin dan komorbiditas. Di antara pasien
yang telah dipasangi sten tanpa penyakit sebelumnya, kejadian jantung mayor terjadi pada
32,5% pada mereka yang mendapat terapi kombinasi, versus 21,2% pada yang mendapat
Clopidogrel saja (adjusted odds ratio [OR] 1,79; CI 1,62, 1,97). Efeknya bahkan lebih besar
pada pasien yang pernah mengalami kardiovaskular sebelumnya (39,8% vs 26,2%, secara
berurutan; adjusted OR 1,86; CI 1,63, 2,12). Temuan ini membuat para peneliti

berkesimpulan, interaksi
kardiovaskular serius.

antara

clopidogrel

and

PPIs

menyebabkan

konsekuensi

Analisa data dari Clopidogrel Medco Outcomes Study dipresentasikan tahun 2009 di
Scientific Sessions of the Society of Cardiovascular Angiography and Interventions (SCAI).
Analisa yang menyertakan 16.690 pasien dan difollow up selama 1 tahun, menunjukkan
peningkatan 50% kejadian kardiovaskular mayor untuk pasien yang menggunakan
Clopidogrel dengan PPI, dibandingkan pasien yang tidak menggunakan PPI (25,1%vs 17,9%;
HR 1,51; 95%CI 1,39, 1,64; p < 0.0001).
Saat dianalisa secara terpisah, peningkatan signifikan terlihat pada semua komponen endpoin
terkombinasi, termasuk IMA atau angina tidak stabil (70%), stroke (48%), dan kebutuhan
dilakukannya prosedur koroner berulang (35%). Peningkatan risiko didapatkan pada semua
pasien yang menggunakan PPI, mencakup omeprazole, esomeprazole, lansoprazole, dan
pantoprazole. Akhirnya peneliti melaporkan tidak ada peningkatan kejadian kardiovaskular
pada pasien menggunakan PPI, tanpa Clopidogrel, dibandingkan kelompok kontrol yang
tidak menggunakan Clopidgorel atau PPI.
Penelitian epidemiologis berskala besar lain, yang mengevaluasi potensi interaksi
clopidogrel-PPI dilakukan oleh Ho dan kawan-kawan, menggunakan pasien dari Veterans
Affairs (VA) nasional yang dipulangkan setelah sindrom koroner akut. Outcome primer
adalah endpoin terkombinasi, yang meliputi mortalitas akibat berbagai sebab atau
rehospitalisasi akibat sindrom koroner akut, termasuk IMA dan angina tidak stabil, untuk
pasien yang menggunakan Clopidogrel dengan atau tanpa PPI.
Didapat data dari Cardiac Care Followup Clinical Study. Dalam penelitian restrospektif ini,
semua pasien sindrom koroner akut dipulangkan antara 1 Oktober 2003, dan 31 Januari 2006
dimasukkan dalam penelitian. Dalam periode ini, 8205 pasien menggunakan Clopidogrel. Di
antara pasien-pasien ini, 5244 (63,9%) diberi PPI saat dipulangkan, saat follow up, atau
keduanya. Sementara, 2961 (36,1%) tidak. Follow up median setelah dipulangkan adalah 521
hari. Penelitian ini menggunakan disain nested case control, untuk mengonfirmasi temuan
dari analisa kohort primer dan berbagai analisa untuk menguji data tersebut. Endpoin primer
terjadi pada 20,8%(n = 615) pasien, yang mendapat clopidogrel tanpa PPI dibanding
29,8%(1561) pada kelompok yang mendapat Clopidogrel dan PPI.
Berdasarkan data multivariabel, penggunaan Clopidogrel dengan suatu PPI, dihubungkan
dengan peningkatan risiko kematian atau rehospitalisasi untuk sindrom koroner akut,
dibandingkan Clopidogrel tanpa PPI (adjusted OR 1,25; 95% CI 1,11, 1,41). Analisa
multivariabel outcome sekunder menemukan bahwa penggunaan Clopidogrel plus PPI,
dibandingkan Clopidogrel tanpa PPI, dihubungkan dengan peningkatan risiko berulangnya
sindrom koroner akut. (adjusted OR 1,86; 95% CI 1,57, 2,20) dan revaskularisasi (adjusted
OR 1,49; 95% CI 1,30, 1,71), tetapi tidak kematian akibat berbagai sebab (adjusted OR 0,91;
95% CI 0,80, 1,05).

Perkembangan terakhir dalam perdebatan ini adalah keluarnya data dari penelitian COGENT
(Clopidogrel and the Optimization of Gastrointestinal Events), pada pertemuan Transcatheter
Cardiovascular Therapeutics (TCT) tahun 2009. Penelitian klinis fase III ini didisain untuk
menyelidiki dampak kombinasi Clopidogrel 75 mg plus omeprazole 20 mg, versus
Clopidogrel pada pasien yang juga mendapat aspirin setelah sindrom koroner akut atau
pemasangan stent. Penelitian ini dihentikan lebih awal oleh sponsor, sehingga hanya 3627
dari 5000 pasien yang direncanakan yang terlibat dalam penelitian ini. Data kemudian
dianalisa dan dipresentasikan, dengan lama follow up 133 hari. Analisa ini melibatkan 136
kejadian kardiovaskular yang telah disesuaikan dan 105 kejadian saluran cerna yang telah
disesuaikan.
Secara keseluruhan, penelitian ini tidak menemukan perbedaan dalam risiko kejadian
kardiovaskular (3,8% vs 3,7%; HR 1,0; 95% CI 0,70, 1,51), risiko IM (HR 0,96; 95% CI
0,59, 1,56), atau kebutuhan revaskularisasi (HR 0,95; 95% CI 0,59, 1,55) untuk pasien yang
menggunakan Clopidogrel dengan atau tanpa omeprazole. Terlebih lagi, omeprazole memiliki
manfaat besar dalam menurunkan perdarahan saluran cerna dibandingkan placebo (2,0%vs
3,5%;HR 0,55; 95% CI 0,36, 0,85; p = 0.007).

Para

pe

neliti memperlihatkan, temuan ini sekali lagi memperlihatkan keterbatasan dan bahayanya
membuat keputusan klinis, hanya berdasarkan data observasi. Mereka juga mengindikasikan
bahwa temuan ini memberikan bukti definitive, bahwa terapi PPI secara bersamaan tidak
berbahaya. Bahkan, bermanfaat untuk pasien yang mendapat terapi antiplatelet ganda.

Read more...
Published in: Diagnosis - Terapi
PPI pada Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas
Subscribe to this RSS feed
Written by Ethical Digest

Wednesday, 30 May 2012 02:41

Bany
ak penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas. Menurunkan keasaman lambung
sampai pH di atas 6, dapat membantu penyembuhan dan mencegah perdarahan
saluran cerna bagian atas.

Perdarahan saluran cerna, merupakan salah satu masalah kegawatdaruratan di bidang gastro
enterologi. Angka kematiannya relative tinggi, meski modalitas terapeutik sudah semakin
berkembang. Laporan di negara-negara maju memperlihatkan, ada sekitar 10% angka
kematian akibat perdarahan saluran cerna bagian atas. Sedangkan di Indonesia, angka
kematiannya lebih tinggi (data 1987-1988 sebesar 26%).
Di negara barat, menurut dr. Marcellus Simadibrata Sp.PD-KGEH, penyebab utamanya
adalah ulkus peptikum. Sedangkan di Indonesia, penyebab terbanyak adalah rupture varises

esofageal. Ulkus peptikum merupakan 45% penyebab perdarahan saluran cerna, yang
membutuhkan perawatan di negara barat. Sedangkan penyebab perdarahan non varises di
FKUI/RSCM (1996-1998) adalah gastritis erosif.
Penyebab ulkus peptik tersering, adalah infeksi helicobacter pylori, pemakaian obat
antiinflamasi non steroid (OAINS), termasuk aspirin (asam aminosalisilat/ ASA). Ulkus
duodenum lebih banyak berhubungan dengan H.pylori, daripada ulkus peptikum (49,6% vs.
45,3%) dalampublikasi Triadapafilopoulos G. Sebaliknya, ulkus lambung lebih banyak
berhubungan dengan obat OAINS/ASA, dibandingkan ulkus peptikum. Penyebab gastritis
erosive terbanyak adalah pemakaian OAINS.
Manifestasi klinik yang paling klasik, adalah adanya hematemesis (muntah darah segar dan
atau disertai hematin/ hitam), yang kemudian dilanjutkan dengan timbulnya melena. Hal ini
terutama pada kasus dengan sumber perdarahan di esofagus dan gaster. Sedangkan sumber
perdarahan di duodenum, relative lebih sering bermanifestasi dalam bentuk melena. Hal ini
banyak dipengaruhi oleh jumlah darah yang keluar persatuan waktu dan fungsi pilorus.
Terkumpulnya darah dalam volume banyak dalam waktu singkat, akan menimbulkan refleks
muntah sebelum komponen darah tersebut bercampur dengan asam lambung (sehingga
muntah darah segar). Berbeda dengan perdarahan yang memberi kesempatan darah yang
keluar, terpapar lengkap dengan asam lambung, sehingga membentuk hematin hitam.
Perdarahan yang massif, terutama yang berasal dari duodenum, kadang tidak terpapar asam
lambung dan keluar per anum dalam bentuk darah segar.
Berat ringannya perdarahan, dapat dinilai dari manifestasi klinik yang ada, derajat turunnya
kadar hemoglobin, serta yang paling penting adalah ada tidaknya manifestasi gangguan
hemodinamik. Saluran cerna dapat menampung darah yang keluar dalam volume yang
banyak, sebelum adanya manifestasi klinik hematemesis atau melena. Tidak jarang, kasus
datang dalam keadaan renjatan walau manifestasi darah yang keluar tidak banyak dan kadar
hemoglobin relative masih baik (belum mengalami proses hemodilusi).
Teridentifikasinya gangguan hemodinamik dan cepatnya respon dalam memberikan
penanganan, merupakan langkah awal yang paling penting dan berkaitan dengan faktor
prognostik kasus tersebut, disamping upaya menghentikan perdarahan itu sendiri.

Peran penurunan asam lambung


Seperti dikatakan dr. Marcellus, ada peran penting dari penurunan asam lambung dalam
perbaikan perdarahan ulkus peptikum. Asam lambung yang tinggi, dapat menghambat
hemostasis dalam perdarahan ulkus peptikum. Dan, pH diatas 6 diperlukan untuk menjaga
agregasi platelet.
Dalam pH 4, terjadi pemecahan klot fibrin melalui aktivitas peptik. Pada pH 5, koagulasi
plasma terhambat secara total. Sedangkan pada pH 5,4, agregasi platelet terhambat secara
total. Pada pH 6,77% agregasi platelet larut dan pada pH 6,7-7 terjadi koagulasi normal.

Peran PPI pada perdarahan saluran cerna bagian atas


Karena H+K+ATPase pada lambung merupakan satu jalur utama dalam produksi asam
lambung, memberi penghambat jalur ini telah merevolusi pengobatan penyakit pada saluran
cerna. PPI merupakan penghambat paling manjur, dalam sekresi asam lambung. Lima jenis
PPI yang ada di pasaran saat ini (omeprazole, esomeprazole, lansoprazole, pantoprazole dan
rabeprazole)
serta yang baru disetujui FDA dexlansoprazole, tersedia dalam bentuk oral. Yang tersedia
dalam bentuk intravena antara lain pantoprazole, lansoprazole, esomeprazole dan
omeprazole.
Karena fungsi trombosit dan koagulasi plasma sensitive terhadap pH serta pepsin melisiskan
bekuan darah pada Ph rendah, usaha menstabilkan pH mendekati netral dapat mengurangi
frekuensi perdarahan. Obat penghampat pompa proton (proton pump inhibitor [PPI]),
diperlukan untuk mengurangi sekresi asam lambung, sehingga tercapai pH diatas 6.
PPI memiliki 2 mekanisme kerja, yaitu menghambat H+K+ATPase dan enzim carbonic
anhydrase mukosa lambung. Dengan menghambat H+K+ATPase, sekresi asam lambung
terhambat, sehingga pH meningkat. Dengan menghambat enzim carbonic anhydrase mukosa
lambung, terjadi perbaikan vaskuler dan peningkatan mikrosirkulasi lambung, meningkatkan
aliran darah mukosa lambung.
Beberapa penelitian menunjukkan, PPI efektif dalam menghentikan perdarahan karena ulkus
peptikum dan mencegah perdarahan berulang. Omeprazole merupakan obat penghambat
pompa proton yang pertama kali dibuat, dan telah dipakai secara luas di dunia sampai saat
ini. Esomeprazole merupakan s-isomer dari omeprazole. Formula intravena obat ini telah
dibuat dan digunakan pada pasien yang tidak memakai obat-obatan oral.
Pada sukarelawan sehat, esomerazole intravena memberikan efek kontrol asam lambung yang
lebih cepat dan lebih efektif dibandingkan pantoprazole intravena (40mg sekali sehari selama
5 hari). Selain itu, kontrol sekresi asam lambung pada waktu basal dan yang distimulasi

pentagastrin lebih baik pada pemberian esomeprazol intravena, dibandingkan omeprazole


40mg intravena (studi dosis tunggal).
Sebuah penelitian meta analisa dari Khuro dan kawan-kawan terhadap beberapa penelitian
PPI pada perdarahan saluran cerna bagian atas non varises, mendapatkan bahwa pengobatan
PPI secara bermakna menurunkan frekuensi perdarahan lebih lanjut (OR 0,48; 95% Cl; 0,400,57) dan bedah (OR 1,02; 95% Cl; 0,48-0,76). Kematian karena semua penyebab tidak
dipengaruhi (OR 1,02; 95% Cl: 0,76-1,37). Terlihat adanya penurunan kematian karena ulkus
peptikum yang bermakna (OR 1,60; 95% Cl; 0,35-0,96), pada kelompok PPI. Sedangkan
kematian non tukak menunjukkan peningkatan yang bermakna. Total jumlah pasien yang
dimasukkan dalam penelitian ini 4.670 orang (2.317 pada kelompok pengobatan dan 2.353
pada kelompok kontrol). Sebanyak 18 penelitian pada etnis Eropa dan 8 penelitian pada etnis
Asia.
Khuro MS dan kawan-kawan pernah melakukan penelitian pada 220 pasien ulkus peptikum
berdarah, yang secara acak diberi omeprazole (40mg setiap 12 jam selama 5 hari) atau
plasebo. Sebanyak 12 dari 110 pasien dalam kelompok omeprazole, tetap mengalami
perdarahan (tidak berhenti). Sedangkan pada kelompok plasebo, 40 orang yang tetap
mengalami perdarahan. Delapan pasien kelompok omeprazole dan 26 pasien kelompok
placebo, memerlukan operasi untuk menghentikan perdarahan. Dua pasien dari kelompok
omeprazole, dan 6 pasien dalam kelompok plasebo meninggal. Tiga puluh dua pasien dalam
kelompok omeprazole dan 78 pasien dalam kelompok placebo, membutuhkan tranfusi.
Hasil berbagai penelitian selama beberapa dekade terakhir, mengonfirmasi bahwa proton
pump inhibitor lebih baik dari H2 reseptor antagonist, dalam menurunkan asam lambung dan
memberikan penghambatan asam lambung secara menetap.
Bila dilihat dari beberapa penelitian, seperti penelitian Lin Hj dan kawan-kawan terlihat
bahwa efek efek H2RA bisa ditoleransi, pada kasus-kasus perdarahan saluran cerna bagian
atas. Sedangkan PPI tidak. Sebuah penelitian oleh Freston dan kawan-kawan
memperlihatkan, lansoprazole kurang dapat ditoleransi setelah diberikan intravena dan
dilanjutkan dengan oral selama 14 hari. Dalam penelitian ini terlihat, kadar lansoprazole
dalam plasma sama setara antara hari 1 dan 7. Dan, sekresi asam setara antara sebelum dan
setelah 7 hari.

Pemberian
PPI
memungkinkan dapat meningkatka pH sampai 6, sejak hari pertama, dalam hal ini
menggunakan lansoprazole intravena 30mg dan konsisten sampai hari kelima, menggunakan
lansoprazole intravena 30mg. Sebagaimana dalam penelitian, lansoprazole intreavena
konsisten mempertahankan pH di atas 6, pada pasien dengan perdarahan ulkus peptikum.
Read more...
Published in: Masalah Diagnosa
PAK AMIR
Subscribe to this RSS feed
Written by Ethical Digest

Wednesday, 30 May 2012 02:34

Pak Amir dilarikan ke Unit Gawat Darurat sebuah RS di Tanggerang empat bulan yang lalu,
setelah mengeluarkan darah saat buang air besar. Tiga bulan sebelumnya, dia dirawat di
rumah sakit karena sindrom koroner akut dan menjalani pemasangan 4 stent berselaput obat,
melalui prosedur percutaneous coronary intervention (PCI). Dari riwayat penyakit yang
pernah diderita, Pak Amir tercatat menderita hipertensi, dislipidemia dan merokok.
Saat dipulangkan dari rumah sakit, bapak dari tiga anak ini diberi beberapa obat, antara lain
terapi antiplatelet ganda dengan aspirin 325 mg/hari dan clopidogrel 75 mg/ hari. Tetapi, tiga
minggu setelah menggunakan obat-obatan tersebut, ia mulai keluar darah saat buang air
besar. Dari pemeriksaan laboratorium diketahui, hematokritnya berjumlah 23% (sebelumnya
36%) dan memerlukan 3 unit kantong sel darah merah. Pemeriksaan endoskopi
memperlihatkan adanya perdarahan ulkus lambung dengan perlekatan gumpalan darah.

Kami memberikan terapi antiplatelet ganda dengan aspirin dan clopidogrel, untuk mencegah
dan mengobati penyakit kardiovaskular, dan penyakit arteri periferal, kata dokter yang
menangani. Tetapi, pemberian antiplatelet diakui memiliki risiko, yaitu menyebabkan
perdarahan pada saluran cerna, perforasi dan bahkan kematian, terutama pada kelompok
berisiko tinggi di mana usia lanjut merupakan salah satu faktor risikonya.
Apa yang dialami Pak Amir, merupakan masalah yang sering dialami klinisi
dalam praktik. Karena memiliki berbagai faktor risiko dan harus menjalani pemasangan 4
stent berbalur obat, dia harus mendapat terapi antiplatelet. Dan, karena ia mendapat
perdarahan saluran cerna akibat ulkus di lambung, dokter menghentikan penggunaan terapi
antiplatelet sementara waktu, sambil dokter mengobati ulkus yang terjadi. Selang satu hari,
karena perdarahan sudah berhenti, dokter memberikan kembali terapi antiplatelet, walau
ulkus yang terjadi belum sembuh sepenuhnya.
Pak Amir kemudian dipulangkan ke rumah, dengan dibekali terapi antiplatelet dan terapi PPI.
Karena Pak Amir tergolong kelompok berisiko tinggi mengalami perdarahan saluran cerna,
kami berikan terapi PPI sebagai pendamping terapi antiplatelet, kata dokter yang
menangani. Dan, kedua terapi ini diberikan dalam waktu berbeda, selang 4 jam lebih, untuk
mengurangi interaksi obat yang mungkin terjadi.
Kini Pak Amir sudah berada di rumah. Dia tetap menggunakan obat yang diberikan dokter,
dan dapat melakukan semua aktivitas kegemarannya, seperti membaca sampai bermain bola.
Walau sudah tidak sekuat dulu, mantan pemain bola professional di akhir tahun 1960-an ini,
masih tetap bermain bola. Yah, walau lari sebentar sudah ngos-ngosan, bola itu hidup

ETIOLOGI DAN PENANGANAN GASTRITIS


Dr. Suparyanto, M.Kes

Pengertian Gastritis
Gastritis berasal dari kata gaster yang artinya lambung dan itis yang berarti
inflamasi/peradangan. Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 127), gastritis adalah proses
inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung, yang berkembang bila mekanisme
protektif mukosa dipenuhi dengan bakteri atau bahan iritan lain. Secara hispatologi dapat
dibuktikan dengan adanya infiltrasi sel-sel. Sedangkan, menurut Lindseth dalam Prince
(2005: 422), gastritis adalah suatu keadaan peradangan atau perdarahan mukosa lambung
yang dapat bersifat akut, kronis, difus, atau lokal.
Gastritis adalah suatu peradangan mukosa lambung paling sering diakibatkan oleh
ketidakteraturan diet, misalnya makan terlalu banyak dan cepat atau makan makanan yang
terlalu berbumbu atau terinfeksi oleh penyebab yang lain seperti alkohol, aspirin, refluks
empedu atau terapi radiasi (Brunner, 2000 : 187).
Dari defenisi-defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa gastritis adalah suatu
peradangan atau perdarahan pada mukosa lambung yang disebabkan oleh faktor iritasi,
infeksi, dan ketidakteraturan dalam pola makan, misalnya telat makan, makan terlalu
banyak, cepat, makan makanan yang terlalu banyak bumbu dan pedas. Hal tersebut dapat
menyebabkan terjadinya gastritis.
Gastritis berarti peradangan mukosa lambung. Peradangan dari gastritis dapat hanya
superficial atau dapat menembus secara dalam ke dalam mukosa lambung, dan pada
kasus-kasus yang berlangsung lama menyebabkan atropi mukosa lambung yang hampir
lengkap. Pada beberapa kasus, gastritis dapat menjadi sangat akut dan berat, dengan
ekskoriasi ulserativa mukosa lambung oleh sekresi peptik lambung sendiri (Guyton, 2001).
Secara garis besar, gastritis dapat dibagi menjadi beberapa macam berdasarkan pada
manifestasi klinis, gambaran hispatologi yang khas, distribusi anatomi, dan kemungkinan
patogenesis gastritis. Didasarkan pada manifestasi klinis, gastritis dapat dibagi menjadi akut
dan kronik. Harus diingat, bahwa walaupun dilakukan pembagian menjadi akut dan kronik,
tetapi keduanya tidak saling berhubungan. Gastritis kronik bukan merupakan kelanjutan
gastritis akut (Suyono, 2001).

1.1 Gastritis Akut


Gastritis akut merupakan penyakit yang sering ditemukan, biasanya bersifat jinak dan
sembuh sempurna (Prince, 2005: 422). Gastritis akut terjadi akibat respons mukosa
lambung terhadap berbagai iritan lokal. Inflamasi akut mukosa lambung pada sebagian
besar kasus merupakan penyakit yang ringan.

Bentuk terberat dari gastritis akut disebabkan oleh mencerna asam atau alkali kuat,
yang dapat menyebabkan mukosa menjadi ganggren atau perforasi. Pembentukan jaringan
parut dapat terjadi yang mengakibatkan obstruksi pylorus (Brunner, 2000).
Salah satu bentuk gastritis akut yang manifestasi klinisnya dapat berbentuk penyakit
yang berat adalah gastritis erosif atau gastritis hemoragik. Disebut gastritis hemoragik
karena pada penyakit ini akan dijumpai perdarahan mukosa lambung dalam berbagai
derajat dan terjadi drosi yang berarti hilangnya kontinuitas mukosa lambung pada beberapa
tempat, menyertai inflamasi pada mukosa lambung tersebut (Suyono, 2001: 127).
1.1.1 Gastritis Akut Erosif
Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 127), gastritis akut erosif adalah suatu
peradangan permukaan mukosa lambung yang akut dengan kerusakan-kerusakan erosi.
Disebut erosi apabila kerusakan yang terjadi tidak lebih dalam dari pada mukosa muskularis.
Penyakit ini dijumpai di klinik, sebagai akibat efek samping dari pemakaian obat, sebagai
penyulit penyakit-penyakit lain atau karena sebab yang tidak diketahui.
Perjalanan penyakitnya biasanya ringan, walaupun demikian kadang-kadang dapat
menyebabkan kedaruratan medis, yakni perdarahan saluran cerna bagian atas. Penderita
gastritis akut erosif yang tidak mengalami pendarahan sering diagnosisnya tidak tercapai
(Suyono, 2001).
Untuk menegakkan diagnosis tersebut diperlukan pemerisaan khusus yang sering
dirasakan tidak sesuai dengan keluhan penderita yang ringan saja. Diagnosis gastritis akut
erosif, ditegakkan dengan pemeriksaan endoskopi dan dilanjutkan dengan pemeriksaan
histopatologi biopsi mukosa lambung (Suyono, 2001).
2.1.1.2 Gastritis Akut Hemoragik
Ada dua penyebab utama gastritis akut hemoragik; Pertama diperkirakan karena
minum alkohol atau obat lain yang menimbulkan iritasi pada mukosa gastrik secara
berlebihan (aspirin atau NSAID lainnya). Meskipun pendarahan mungkin cukup berat, tapi
pendarahan pada kebanyakan pasien akan berhenti sendiri secara spontan dan mortalitas
cukup rendah. Kedua adalah stress gastritis yang dialami pasien di Rumah Sakit, stress
gastritis dialami pasien yang mengalami trauma berat berkepanjangan, sepsis terus
menerus atau penyakit berat lainnya (Suyono, 2001).
Erosi stress merupakan lesi hemoragika pungtata majemuk pada lambung proksimal
yang timbul dalam keadaan stress fisiologi parah dan tak berkurang. Berbeda dengan
ulserasi menahun yang lebih biasa pada traktus gastrointestinalis atas, ia jarang menembus
profunda ke dalam mukosa dan tak disertai dengan infiltrasi sel radang menahun. Tanpa
profilaksis efektif, erosi stress akan berlanjut dan bersatu dalam 20% kasus untuk
membentuk beberapa ulserasi yang menyebabkan perdarahan gastrointestinalis atas dari
keparahan yang mengancam nyawa. Keadaan ini dikenal sebagai gastritis hemoragika
akuta (Sabiston, 1995: 525).
1.2 Gastritis Kronik
Disebut gastritis kronik apabila infiltrasi sel-sel radang yang terjadi pada lamina propria
dan daerah intra epitelial terutama terdiri atas sel-sel radang kronik, yaitu limfosit dan sel

plasma. Gastritis kronis didefenisikan secara histologis sebagai peningkatan jumlah limfosit
dan sel plasma pada mukosa lambung. Derajat paling ringan gastritis kronis adalah gastritis
superfisial kronis, yang mengenai bagian sub epitel di sekitar cekungan lambung. Kasus
yang lebih parah juga mengenai kelenjar-kelenjar pada mukosa yang lebih dalam, hal ini
biasanya berhubungan dengan atrofi kelenjar (gastritis atrofi kronis) dan metaplasia
intestinal (Chandrasoma, 2005 : 522).
Sebagian besar kasus gastritis kronis merupakan salah satu dari dua tipe, yaitu tipe A
yang merupakan gastritis autoimun yang terutama mengenai tubuh dan berkaitan dengan
anemia pernisiosa; dan tipe B yang terutama meliputi antrum dan berkaitan dengan infeksi
Helicobacter pylori. Terdapat beberapa kasus gastritis kronis yang tidak tergolong dalam
kedua tipe tersebut dan penyebabnya tidak diketahui (Chandrasoma, 2005 : 522).
Gastritis kronik dapat dibagi dalam berbagai bentuk tergantung pada kelainan
histologi, topografi, dan etiologi yang menjadi dasar pikiran pembagian tersebut (Suyono,
2001).
Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 128), klasifikasi histologi yang sering digunakan
membagi gastritis kronik menjadi :
1.

Gastritis kronik superficial


Apabila dijumpai sebukan sel-sel radang kronik terbatas pada lamina propria mukosa
superfisialis dan edema yang memisahkan kelenjar-kelenjar mukosa, sedangkan sel-sel
kelenjar tetap utuh. Sering dikatakan gastritis kronik superfisialis merupakan permulaan
gastritis kronik.

2.

Gastritis kronik atrofik


Sebukan sel-sel radang kronik menyebar lebih dalam disertai dengan distorsi dan
destruksi sel kelenjar mukosa lebih nyata. Gastritis atrofik dianggap sebagai kelanjutan
gastritis kronik superfisialis.

3.

Atrofi lambung
Atrofi lambung dianggap merupakan stadium akhir gastritis kronik. Pada saat itu
struktur kelenjar menghilang dan terpisah satu sama lain secara nyata dengan jaringan ikat,
sedangkan sebukan sel-sel radang juga menurun. Mukosa menjadi sangat tipis sehingga
dapat menerangkan mengapa pembuluh darah menjadi terlihat saat pemeriksaan
endoskopi.

4.

Metaplasia intestinal
Suatu perubahan histologis kelenjar-kelenjar mukosa lambung menjadi kelenjarkelenjar mukosa usus halus yang mengandung sel goblet. Perubahan-perubahan tersebut
dapat terjadi secara menyeluruh pada hampir seluruh segmen lambung, tetapi dapat pula
hanya merupakan bercak-bercak pada beberapa bagian lambung.
Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 129), distribusi anatomis pada gastritis kronik
dapat dibagi menjadi tifa bagian, yaitu :

1.

Gastritis Kronis Tipe A

Gastritis kronis tipe A merupakan suatu penyakit autoimun yang disebabkan oleh
adanya autoantibodi terhadap sel parietal kelenjar lambung dan faktor intrinsik, dan
berkaitan dengan tidak adanya sel parietal dan chief cell, yang menurunkan sekresi asam
dan menyebabkan tingginya kadar gastrin. Dalam keadaan sangat berat, tidak terjadi
produksi faktor intrinsik. Anemia pernisiosa seringkali dijumpai pada pasien karena tidak
tersedianya faktor intrinsik untuk mempermudah absorpsi vitamin B 12 dalam ileum (Prince,
2005: 423).
Jadi, anemia pernisiosa itu disebabkan oleh kegagalan absorpsi vitamin B12 karena
kekurangan faktor intrinsik akibat gastritis kronis autoimun. Autoimunitas secara langsung
menyerang sel parietal pada korpus dan fundus lambung yang menyekresikan faktor
intrinsik dan asam (Chandrasoma, 2005 : 522).
Reaksi autoimun bermanifestasi sebagai sebukan limfo-plasmasitik pada mukosa
sekitar sel parietal, yang secara progresif berkurang jumlahnya. Netrofil jarang dijumpai dan
tidak didapati Helicobacter pylori. Mukosa fundus dan korpus menipis dan kelenjar-kelenjar
dikelilingi oleh sel mukus yang mendominasi. Mukosa sering memperlihatkan metaplasia
intestinal yang ditandai dengan adanya sel goblet dan sel paneth. Pada stadium akhir,
mukosa menjadi atrofi dan sel parietal menghilang (gastritis kronis tipe A) (Chandrasoma,
2005 : 522).
2.

Gastritis Kronis Tipe B


Gastritis kronis tipe B disebut juga sebagai gastritis antral karena umumnya mengenai
daerah antrum lambung dan lebih sering terjadi dibandingkan dengan gastritis kronis tipe A.
Gastritis kronis tipe B lebih sering terjadi pada penderita yang berusia tua. Bentuk gastritis
ini memiliki sekresi asam yang normal dan tidak berkaitan dengan anemia pernisiosa. Kadar
gastrin yang rendah sering terjadi. Penyebab utama gastritis kronis tipe B adalah infeksi
kronis oleh Helicobacter pylori. Faktor etiologi gastritis kronis lainnya adalah asupan alkohol
yang berlebihan, merokok, dan refluks empedu kronis dengan kofaktor Helicobacter pylori
(Prince, 2005: 423).
Gastritis kronis tipe B secara maksimal melibatkan bagian antrum, yang merupakan
tempat predileksi Helicobacter pylori. Kasus-kasus dini memperlihatkan sebukan
limfoplasmasitik pada mukosa lambung superfisial. Infeksi aktif Helicobacter pylori hampir
selalu berhubungan dengan munculnya nertrofil, baik pada lamina propria ataupun pada
kelenjar mukus antrum. Pada saat lesi berkembang, peradangan meluas yang meliputi
mukosa dalam dan korpus lambung. Keterlibatan mukosa bagian dalam menyebabkan
destruksi kelenjar mukus antrum dan metaplasia intestinal (gastritis atrofik kronis tipe B)
(Chandrasoma, 2005 : 523).
Pada 60-70% pasien, didapatkan Helicobacter pylori pada pemeriksaan histologis atau
kultur biopsi. Pada banyak pasien yang tidak didapati organisme ini, pemeriksaan
serologisnya memperlihatkan antibodi terhadap Helicobacter pylori, yang menunjukkan
sudah ada infeksi Helicobacter pylori sebelumnya (Suyono, 2001).
Helicobacter pylori adalah organisme yang kecil dan melengkung, seperti vibrio, yang
muncul pada lapisan mukus permukaan yang menutupi permukaan epitel dan lumen
kelenjar. Bakteri ini merupakan bakteri gram negatif yang menyerang sel permukaan,
menyebabkan deskuamari sel yang dipercepat dan menimbulkan respon sel radang kronis

pada mukosa lambung. Helicobacter pylori ditemukan lebih dari 90% dari hasil biopsi yang
menunjukkan gastritis kronis. Organisme ini dapat dilihat pada irisan rutin, tetapi lebih jelas
dengan pewarnaan perak Steiner atau Giemsa. Keberadaan Helicobacter pylori berkaitan
erat dengan peradangan aktif dengan netrofil. Organisme dapat tidak ditemukan pada
pasien gastritis akut inaktif, terutama bila terjadi metaplasia intestinal (Chandrasoma, 2005 :
524).
3.

Gastritis kronis tipe AB


Gastritis kronis tipe AB merupakan gastritis kronik yang distribusi anatominya
menyebar keseluruh gaster. Penyebaran ke arah korpus tersebut cendrung meningkat
dengan bertambahnya usia (Suyono, 2001: 130).

Anatomi dan Fisiologi

2.1 Anatomi Lambung


Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat di daerah
epigastrik, di bawah diafragma dan di depan pankreas. Dalam keadaan kosong, lambung
menyerupai tabung bentuk J, dan bila penuh, berbentuk seperti buah pir raksasa. Kapasitas
normal lambung adalah 1 samapi 2 L (Prince, 2005). Secara anatomis lambung terdiri atas
empat bagian, yaitu: cardia, fundus, body atau corpus, dan pylorus. Adapun secara
histologis, lambung terdiri atas beberapa lapisan, yaitu: mukosa, submukosa, muskularis
mukosa, dan serosa. Lambung berhubungan dengan usofagus melalui orifisium atau kardia
dan dengan duodenum melalui orifisium pilorik (Ganong, 2001).
Mukosa lambung mengandung banyak kelenjar dalam. Di daerah pilorus dan kardia,
kelenjar menyekresikan mukus. Di korpus lambung, termasuk fundus, kelenjar mengandung
sel parietal (oksintik), yang menyekresikan asam hidroklorida dan faktor intrinsik, dan chief
cell (sel zimogen, sel peptik), yang mensekresikan pepsinogen. Sekresi-sekresi ini
bercampur dengan mukus yang disekresikan oleh sel-sel di leher kelenjar. Beberapa
kelenjar bermuara keruang bersamaan (gastric pit) yang kemudian terbuka kepermukaan
mukosa. Mukus juga disekresikan bersama HCO3- oleh sel-sel mukus di permukaan epitel
antara kelenjar-kelenjar (Ganong, 2001).
Persarafan lambung sepenuhnya berasal dari sistem saraf otonom. Suplai saraf
parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan ke dan dari abdomen melalui saraf
vagus. Persarafan simpatis melalui saraf splanchnicus major dan ganglia seliaka. Serabutserabut aferen menghantarkan impuls nyeri yang dirangsang oleh peregangan, kontraksi
otot, serta peradangan, dan dirasakan di daerah epigastrium abdomen. Serabut-serabut
eferen simpatis menghambat motilitas dan sekresi lambung. Pleksus saraf mienterikus
(auerbach) dan submukosa (meissner) membentuk persarafan intrinsik dinding lambung dan
mengoordinasi aktivitas motorik dan sekresi mukosa lambung (Prince, 2005).
Seluruh suplai darah di lambung dan pankreas (serta hati, empedu, dan limpa)
terutama berasal dari arteri siliaka atau trunkus seliakus, yang mempercabangkan cabangcabang yang menyuplai kurvatura minor dan mayor. Dua cabang arteri yang penting dalam
klinis adalah arteria gastroduodenalis dan arteria pankreatikoduodenalis (retroduodenalis)
yang berjalan sepanjang bulbus posterior duodenum (Prince, 2005).
2.2 Fisiologi Lambung

Lambung merupakan bagian dari saluran pencernaan yang berbentuk seperti kantung,
dapat berdilatasi, dan berfungsi mencerna makanan dibantu oleh asam klorida (HCl) dan
enzim-enzim seperti pepsin, renin, dan lipase. Lambung memiliki dua fungsi utama, yaitu
fungsi pencernaan dan fungsi motorik. Sebagai fungsi pencernaan dan sekresi, yaitu
pencernaan protein oleh pepsin dan HCl, sintesis dan pelepasan gastrin yang dipengaruhi
oleh protein yang dimakan, sekresi mukus yang membentuk selubung dan melindungi
lambung serta sebagai pelumas sehingga makanan lebih mudah diangkut, sekresi
bikarbonat bersama dengan sekresi gel mukus yang berperan sebagai barier dari asam
lumen dan pepsin. Fungsi motorik lambung terdiri atas penyimpanan makanan sampai
makanan dapat diproses dalam duodenum, pencampuran makanan dengan asam lambung,
hingga membentuk suatu kimus, dan pengosongan makanan dari lambung ke dalam usus
dengan kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan absorbsi dalam usus halus (Prince,
2005).
Lambung akan mensekresikan asam klorida (HCl) atau asam lambung dan enzim
untuk mencerna makanan. Lambung memiliki motilitas khusus untuk gerakan pencampuran
makanan yang dicerna dan cairan lambung, untuk membentuk cairan padat yang
dinamakan kimus kemudian dikosongkan ke duodenum. Sel-sel lambung setiap hari
mensekresikan sekitar 2500 ml cairan lambung yang mengandung berbagai zat,
diantaranya adalah HCl dan pepsinogen. HCl membunuh sebagian besar bakteri yang
masuk, membantu pencernaan protein, menghasilkan pH yang diperlukan pepsin untuk
mencerna protein, serta merangsang empedu dan cairan pankreas. Asam lambung cukup
pekat untuk menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal mukosa lambung
tidak mengalami iritasi atau tercerna karena sebagian cairan lambung mengandung mukus,
yang merupakan faktor perlindungan lambung (Ganong, 2001).
Sekresi asam lambung dipengaruhi oleh kerja saraf dan hormon. Sistem saraf yang
bekerja yatu saraf pusat dan saraf otonom, yakni saraf simpatis dan parasimpatis. Adapun
hormon yang bekerja antara lain adalah hormon gastrin, asetilkolin, dan histamin. Terdapat
tiga fase yang menyebabkan sekresi asam lambung. Pertama, fase sefalik, sekresi asam
lambung terjadi meskipun makanan belum masuk lambung, akibat memikirkan atau
merasakan makanan. Kedua, fase gastrik, ketika makanan masuk lambung akan
merangsang mekanisme sekresi asam lambung yang berlangsung selama beberapa jam,
selama makanan masih berada di dalam lambung. Ketiga, fase intestinal, proses sekresi
asam lambung terjadi ketika makanan mengenai mukosa usus. Produksi asam lambung
akan tetap berlangsung meskipun dalam kondisi tidur. Kebiasaan makan yang teratur
sangat penting bagi sekresi asam lambung karena kondisi tersebut memudahkan lambung
mengenali waktu makan sehingga produksi lambung terkontrol (Ganong, 2001).

2.3

Faktor-faktor Penyebab Gastritis

2.3.1 Pola Makan


Menurut Yayuk Farida Baliwati (2004), terjadinya gastritis dapat disebabkan oleh pola
makan yang tidak baik dan tidak teratur, yaitu frekuensi makan, jenis, dan jumlah makanan,
sehingga lambung menjadi sensitif bila asam lambung meningkat.
1.

Frekuensi Makan

Frekuensi makan adalah jumlah makan dalam sehari-hari baik kualitatif dan kuantitatif.
Secara alamiah makanan diolah dalam tubuh melalui alat-alat pencernaan mulai dari mulut
sampai usus halus. Lama makanan dalam lambung tergantung sifat dan jenis makanan.
Jika rata-rata, umumnya lambung kosong antara 3-4 jam. Maka jadwal makan ini pun
menyesuaikan dengan kosongnya lambung (Okviani, 2011).
Orang yang memiliki pola makan tidak teratur mudah terserang penyakit gastritis. Pada
saat perut harus diisi, tapi dibiarkan kosong, atau ditunda pengisiannya, asam lambung
akan mencerna lapisan mukosa lambung, sehingga timbul rasa nyeri (Ester, 2001).
Secara alami lambung akan terus memproduksi asam lambung setiap waktu dalam
jumlah yang kecil, setelah 4-6 jam sesudah makan biasanya kadar glukosa dalam darah
telah banyak terserap dan terpakai sehingga tubuh akan merasakan lapar dan pada saat itu
jumlah asam lambung terstimulasi. Bila seseorang telat makan sampai 2-3 jam, maka asam
lambung yang diproduksi semakin banyak dan berlebih sehingga dapat mengiritasi mukosa
lambung serta menimbulkan rasa nyeri di seitar epigastrium (Baliwati, 2004).
Kebiasaan makan tidak teratur ini akan membuat lambung sulit untuk beradaptasi. Jika
hal itu berlangsung lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga dapat
mengiritasi dinding mukosa pada lambung dan dapat berlanjut menjadi tukak peptik. Hal
tersebut dapat menyebabkan rasa perih dan mual. Gejala tersebut bisa naik ke
kerongkongan yang menimbulkan rasa panas terbakar (Nadesul, 2005). Produksi asam
lambung diantaranya dipengaruhi oleh pengaturan sefalik, yaitu pengaturan oleh otak.
Adanya makanan dalam mulut secara refleks akan merangsang sekresi asam lambung.
Pada manusia, melihat dan memikirkan makanan dapat merangsang sekresi asam lambung
(Ganong 2001).
2.

Jenis Makanan
Jenis makanan adalah variasi bahan makanan yang kalau dimakan, dicerna, dan
diserap akan menghasilkan paling sedikit susunan menu sehat dan seimbang. Menyediakan
variasi makanan bergantung pada orangnya, makanan tertentu dapat menyebabkan
gangguan pencernaan, seperti halnya makanan pedas (Okviani, 2011).
Mengkonsumsi makanan pedas secara berlebihan akan merangsang sistem
pencernaan, terutama lambung dan usus untuk berkontraksi. Hal ini akan mengakibatkan
rasa panas dan nyeri di ulu hati yang disertai dengan mual dan muntah. Gejala tersebut
membuat penderita makin berkurang nafsu makannya. Bila kebiasaan mengkonsumsi
makanan pedas lebih dari satu kali dalam seminggu selama minimal 6 bulan dibiarkan terusmenerus dapat menyebabkan iritasi pada lambung yang disebut dengan gastritis (Okviani,
2011).
Gastritis dapat disebabkan pula dari hasil makanan yang tidak cocok. Makanan tertentu
yang dapat menyebabkan penyakit gastritis, seperti buah yang masih mentah, daging
mentah, kari, dan makanan yang banyak mengandung krim atau mentega. Bukan berarti
makanan ini tidak dapat dicerna, melainkan karena lambung membutuhkan waktu yang
labih lama untuk mencerna makanan tadi dan lambat meneruskannya kebagian usus
selebih-nya. Akibatnya, isi lambung dan asam lambung tinggal di dalam lambung untuk
waktu yang lama sebelum diteruskan ke dalam duodenum dan asam yang dikeluarkan
menyebabkan rasa panas di ulu hati dan dapat mengiritasi (Iskandar, 2009).

3.

Porsi Makan
Porsi atau jumlah merupakan suatu ukuran maupun takaran makanan yang dikonsumsi
pada tiap kali makan. Setiap orang harus makan makanan dalam jumlah benar sebagai
bahan bakar untuk semua kebutuhan tubuh. Jika konsumsi makanan berlebihan,
kelebihannya akan disimpan di dalam tubuh dan menyebabkan obesitas (kegemukan).
Selain itu, Makanan dalam porsi besar dapat menyebabkan refluks isi lambung, yang pada
akhirnya membuat kekuatan dinding lambung menurun. Kondisi seperti ini dapat
menimbulkan peradangan atau luka pada lambung (Baliwati, 2004).

3.2 Kopi
Menurut Warianto (2011), kopi adalah minuman yang terdiri dari berbagai jenis bahan
dan senyawa kimia; termasuk lemak, karbohidrat, asam amino, asam nabati yang disebut
dengan fenol, vitamin dan mineral.
Kopi diketahui merangsang lambung untuk memproduksi asam lambung sehingga
menciptakan lingkungan yang lebih asam dan dapat mengiritasi lambung. Ada dua unsur
yang bisa mempengaruhi kesehatan perut dan lapisan lambung, yaitu kafein dan asam
chlorogenic.
Studi yang diterbitkan dalam Gastroenterology menemukan bahwa berbagai faktor
seperti keasaman, kafein atau kandungan mineral lain dalam kopi bisa memicu tingginya
asam lambung. Sehingga tidak ada komponen tunggal yang harus bertanggung jawab
(Anonim, 2011).
Kafein dapat menimbulkan perangsangan terhadap susunan saraf pusat (otak), sistem
pernapasan, serta sistem pembuluh darah dan jantung. Oleh sebab itu tidak heran setiap
minum kopi dalam jumlah wajar (1-3 cangkir), tubuh kita terasa segar, bergairah, daya pikir
lebih cepat, tidak mudah lelah atau mengantuk. Kafein dapat menyebabkan stimulasi sistem
saraf pusat sehingga dapat meningkatkan aktivitas lambung dan sekresi hormon gastrin
pada lambung dan pepsin. Hormon gastrin yang dikeluarkan oleh lambung mempunyai efek
sekresi getah lambung yang sangat asam dari bagian fundus lambung. Sekresi asam yang
meningkat dapat menyebabkan iritasi dan inflamasi pada mukosa lambung (Okviani, 2011).
Jadi, gangguan pencernaan yang rentan dimiliki oleh orang yang sering minum kopi
adalah gastritis (peradangan pada lapisan lambung). Beberapa orang yang memilliki
gangguan pencernaan dan ketidaknyamanan di perut atau lambung biasanya disaranakan
untuk menghindari atau membatasi minum kopi agar kondisinya tidak bertambah parah
(Warianto, 2011).
3.3 Teh
Hasil penelitian Hiromi Shinya, MD., dalam buku The Miracle of Enzyme menemukan
bahwa orang-orang Jepang yang meminum teh kaya antioksidan lebih dari dua gelas secara
teratur, sering menderita penyakit yang disebut gastritis. Sebagai contoh Teh Hijau, yang
mengandung banyak antioksidan dapat membunuh bakteri dan memiliki efek antioksidan
berjenis polifenol yang mencegah atau menetralisasi efek radikal bebas yang merusak.
Namun, jika beberapa antioksidan bersatu akan membentuk suatu zat yang disebut tannin.
Tannin inilah yang menyebabkan beberapa buah dan tumbuh-tumbuhan memiliki rasa sepat
dan mudah teroksidasi (Shinya, 2008).

Tannin merupakan suatu senyawa kimia yang memiliki afinitas tinggi terhadap protein
pada mukosa dan sel epitel mukosa (selaput lendir yang melapisi lambung). Akibatnya
terjadi proses dimana membran mukosa akan mengikat lebih kuat dan menjadi kurang
permeabel. Proses tersebut menyebabkan peningkatan proteksi mukosa terhadap
mikroorganisme dan zat kimia iritan. Dosis tinggi tannin menyebabkan efek tersebut berlebih
sehingga dapat mengakibatkan iritasi pada membran mukosa usus (Shinya, 2008).
Selain itu apabila Tannin terkena air panas atau udara dapat dengan mudah berubah
menjadi asam tanat. Asam tanat ini juga berfungsi membekukan protein mukosa lambung.
Asam tanat akan mengiritasi mukosa lambung perlahan-lahan sehingga sel-sel mukosa
lambung menjadi atrofi. Hal inilah yang menyebabkan orang tersebut menderita berbagai
masalah lambung, seperti gastritis atrofi, ulcus peptic, hingga mengarah pada keganasan
lambung (Shinya, 2008).
3.4 Rokok
Rokok adalah silinder kertas yang berisi daun tembakau cacah. Dalam sebatang
rokok, terkandung berbagai zat-zat kimia berbahaya yang berperan seperti racun. Dalam
asap rokok yang disulut, terdapat kandungan zat-zat kimia berbahaya seperti gas karbon
monoksida, nitrogen oksida, amonia, benzene, methanol, perylene, hidrogen sianida,
akrolein, asetilen, bensaldehid, arsen, benzopyrene, urethane, coumarine, ortocresol,
nitrosamin, nikotin, tar, dan lain-lain. Selain nikotin, peningkatan paparan hidrokarbon,
oksigen radikal, dan substansi racun lainnya turut bertanggung jawab pada berbagai
dampak rokok terhadap kesehatan (Budiyanto, 2010).
Efek rokok pada saluran gastrointdstinal antara lain melemahkan katup esofagus dan
pilorus, meningkatkan refluks, mengubah kondisi alami dalam lambung, menghambat
sekresi bikarbonat pankreas, mempercepat pengosongan cairan lambung, dan menurunkan
pH duodenum. Sekresi asam lambung meningkat sebagai respon atas sekresi gastrin atau
asetilkolin. Selain itu, rokok juga mempengaruhi kemampuan cimetidine (obat penghambat
asam lambung) dan obat-obatan lainnya dalam menurunkan asam lambung pada malam
hari, dimana hal tersebut memegang peranan penting dalam proses timbulnya peradangan
pada mukosa lambung. Rokok dapat mengganggu faktor defensif lambung (menurunkan
sekresi bikarbonat dan aliran darah di mukosa), memperburuk peradangan, dan berkaitan
erat dengan komplikasi tambahan karena infeksi H. pylori. Merokok juga dapat menghambat
penyembuhan spontan dan meningkatkan risiko kekambuhan tukak peptik (Beyer, 2004).
Kebiasaan merokok menambah sekresi asam lambung, yang mengakibatkan bagi
perokok menderita penyakit lambung (gastritis) sampai tukak lambung. Penyembuhan
berbagai penyakit di saluran cerna juga lebih sulit selama orang tersebut tidak berhenti
merokok (Departemen Kesehatan RI, 2001).
3.5 AINS ( Anti Inflamasi Non Steroid)
Obat-obatan yang sering dihubungkan dengan gastritis erosif adalah aspirin dan
sebagian besar obat anti inflamasi non steroid (Suyono, 2001).
Asam asetil salisilat lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin. Asam asetil salisilat
merupakan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) turunan asam karboksilat derivat asam

salisilat yang dapat dipakai secara sistemik. Golongan aspirin ini dapat dilihat pada gambar
1.

Gambar 2.1. Obat Analgetik Anti Inflamasi Non Steroid (obat AINS) (Arifa, 2008)
Obat AINS adalah salah satu golongan obat besar yang secara kimia heterogen
menghambat aktivitas siklooksigenase, menyebabkan penurunan sintesis prostaglandin dan
prekursor tromboksan dari asam arakhidonat. Siklooksigenase merupakan enzim yang
penting untuk pembentukkan prostaglandin dari asam arakhidonat. Prostaglandin mukosa
merupakan salah satu faktor defensive mukosa lambung yang amat penting, selain
menghambat produksi prostaglandin mukosa, aspirin dan obat antiinflamasi nonsteriod
tertentu dapat merusak mukosa secara topikal, kerusakan topikal terjadi karena kandungan

asam dalam obat tersebut bersifat korosif sehingga dapat merusak sel-sel epitel mukosa.
Pemberian aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid juga dapat menurunkan sekresi
bikarbonat dan mukus oleh lambung, sehingga kemampuan faktor defensif terganggu. Jika
pemakaian obat-obat tersebut hanya sesekali maka kemungkinan terjadinya masalah
lambung akan kecil. Tapi jika pemakaiannya dilakukan secara terus menerus atau
berlebihan dapat mengakibatkan gastritis dan ulkus peptikum. Pemakaian setiap hari
selama minimal 3 bulan dapat menyebabkan gastritis (Rosniyanti, 2010).
3.6 Stress
Stress merupakan reaksi fisik, mental, dan kimia dari tubuh terhadap situasi yang
menakutkan, mengejutkan, membingungkan, membahayakan dan merisaukan seseorang.
Definisi lain menyebutkan bahwa stress merupakan ketidakmampuan mengatasi ancaman
yang dihadapi mental, fisik, emosional, dan spiritual manusia, yang pada suatu saat dapat
mempengaruhi kesehatan fisik manusia tersebut (Potter, 2005).
1.

Stress Psikis
Produksi asam lambung akan meningkat pada keadaan stress, misalnya pada beban
kerja berat, panik dan tergesa-gesa. Kadar asam lambung yang meningkat dapat
mengiritasi mukosa lambung dan jika hal ini dibiarkan, lama-kelamaan dapat menyebabkan
terjadinya gastritis. Bagi sebagian orang, keadaan stres umumnya tidak dapat dihindari.
Oleh karena itu, maka kuncinya adalah mengendalikannya secara efektif dengan cara diet
sesuai dengan kebutuhan nutrisi, istirahat cukup, olah raga teratur dan relaksasi yang cukup
(Friscaan, 2010).

2.

Stress Fisik
Stress fisik akibat pembedahan besar, luka trauma, luka bakar, refluks empedu atau
infeksi berat dapat menyebabkan gastritis dan juga ulkus serta pendarahan pada lambung.
Perawatan terhadap kanker seperti kemoterapi dan radiasi dapat mengakibatkan
peradangan pada dinding lambung yang selanjutnya dapat berkembang menjadi gastritis
dan ulkus peptik. Ketika tubuh terkena sejumlah kecil radiasi, kerusakan yang terjadi
biasanya sementara, tapi dalam dosis besar akan mengakibatkan kerusakan tersebut
menjadi permanen dan dapat mengikis dinding lambung serta merusak kelenjar-kelenjar
penghasil asam lambung (Anonim, 2010).
Refluks dari empedu juga dapat menyebabkan gastritis. Bile (empedu) adalah cairan
yang membantu mencerna lemak-lemak dalam tubuh. Cairan ini diproduksi oleh hati. Ketika
dilepaskan, empedu akan melewati serangkaian saluran kecil dan menuju ke usus kecil.
Dalam kondisi normal, sebuah otot sphincter yang berbentuk seperti cincin (pyloric valve)
akan mencegah empedu mengalir balik ke dalam lambung. Tapi jika katup ini tidak bekerja
dengan benar, maka empedu akan masuk ke dalam lambung dan mengakibatkan
peradangan dan gastritis.

3.7 Alkohol
Alkohol sangat berperangaruh terhadap makhluk hidup, terutama dengan
kemampuannya sebagai pelarut lipida. Kemampuannya melarutkan lipida yang terdapat
dalam membran sel memungkinkannya cepat masuk ke dalam sel-sel dan menghancurkan
struktur sel tersebut. Oleh karena itu alkohol dianggap toksik atau racun. Alkohol yang

terdapat dalam minuman seperti bir, anggur, dan minuman keras lainnya terdapat dalam
bentuk etil alkohol atau etanol (Almatsier, 2002).
Organ tubuh yang berperan besar dalam metabolisme alkohol adalah lambung dan
hati, oleh karena itu efek dari kebiasaan mengkonsumsi alkohol dalam jangka panjang tidak
hanya berupa kerusakan hati atau sirosis, tetapi juga kerusakan lambung. Dalam jumlah
sedikit, alkohol merangsang produksi asam lambung berlebih, nafsu makan berkurang, dan
mual, sedangkan dalam jumlah banyak, alkohol dapat mengiritasi mukosa lambung dan
duodenum. Konsumsi alkohol berlebihan dapat merusak mukosa lambung, memperburuk
gejala tukak peptik, dan mengganggu penyembuhan tukak peptik. Alkohol mengakibatkan
menurunnya kesanggupan mencerna dan menyerap makanan karena ketidakcukupan
enzim pankreas dan perubahan morfologi serta fisiologi mukosa gastrointestinal (Beyer
2004).
3.8 Helicobacter pylori
Helicobacter pylori adalah kuman Gram negatif, basil yang berbentuk kurva dan
batang. Helicobacter pylori adalah suatu bakteri yang menyebabkan peradangan lapisan
lambung yang kronis (gastritis) pada manusia. Sebagian besar populasi di dunia terinfeksi
oleh bakteri Helicobacter pylori yang hidup di bagian dalam lapisan mukosa yang melapisi
dinding lambung. Walaupun tidak sepenuhnya dimengerti bagaimana bakteri tersebut dapat
ditularkan, namun diperkirakan penularan tersebut terjadi melalui jalur oral atau akibat
memakan makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh bakteri ini. Infeksi Helicobacter
pylori sering terjadi pada masa kanak-kanak dan dapat bertahan seumur hidup jika tidak
dilakukan perawatan. Infeksi Helicobacter pylori ini sekarang diketahui sebagai penyebab
utama terjadinya ulkus peptikum dan penyebab tersering terjadinya gastritis (Prince, 2005).
3.9 Usia
Usia tua memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita gastritis dibandingkan
dengan usia muda. Hal ini menunjukkan bahwa seiring dengan bertambahnya usia mukosa
gaster cenderung menjadi tipis sehingga lebih cenderung memiliki infeksi Helicobacter
Pylory atau gangguan autoimun daripada orang yang lebih muda. Sebaliknya,jika mengenai
usia muda biasanya lebih berhubungan dengan pola hidup yang tidak sehat.
Kejadian gastritis kronik, terutama gastritis kronik antrum meningkat sesuai dengan
peningkatan usia. Di negara Barat, populasi yang usianya pada dekade ke-6 hampir 80%
menderita gastritis kronik dan menjadi 100% pada saat usia mencapai dekade ke-7. Selain
mikroba dan proses imunologis, faktor lain juga berpengaruh terhadap patogenesis Gastritis
adalah refluks kronik cairan penereatotilien, empedu dan lisolesitin (Suyono, 2001).
4

Patofisiologi
Patofisiologi dasar dari gastritis adalah gangguan keseimbangan faktor agresif (asam
lambung dan pepsin) dan faktor defensif (ketahanan mukosa). Penggunaan aspirin atau
obat anti inflamasi non steroid (AINS) lainnya, obat-obatan kortikosteroid, penyalahgunaan
alkohol, menelan substansi erosif, merokok, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut dapat
mengancam ketahanan mukosa lambung. Gastritis dapat menimbulkan gejala berupa nyeri,
sakit, atau ketidaknyamanan yang terpusat pada perut bagian atas (Brunner, 2000).

Gaster memiliki lapisan epitel mukosa yang secara konstan terpapar oleh berbagai
faktor endogen yang dapat mempengaruhi integritas mukosanya, seperti asam lambung,
pepsinogen/pepsin dan garam empedu. Sedangkan faktor eksogennya adalah obat-obatan,
alkohol dan bakteri yang dapat merusak integritas epitel mukosa lambung, misalnya
Helicobacter pylori. Oleh karena itu, gaster memiliki dua faktor yang sangat melindungi
integritas mukosanya,yaitu faktor defensif dan faktor agresif. Faktor defensif meliputi
produksi mukus yang didalamnya terdapat prostaglandin yang memiliki peran penting baik
dalam mempertahankan maupun menjaga integritas mukosa lambung, kemudian sel-sel
epitel yang bekerja mentransport ion untuk memelihara pH intraseluler dan produksi asam
bikarbonat serta sistem mikrovaskuler yang ada dilapisan subepitelial sebagai komponen
utama yang menyediakan ion HCO3- sebagai penetral asam lambung dan memberikan
suplai mikronutrien dan oksigenasi yang adekuat saat menghilangkan efek toksik metabolik
yang merusak mukosa lambung. Gastritis terjadi sebagai akibat dari mekanisme pelindung
ini hilang atau rusak, sehingga dinding lambung tidak memiliki pelindung terhadap asam
lambung (Prince, 2005)
Menurut Brunner dan Suddart (2000 : 187), perjalanan penyakit gastritis bisa dilihat
dari skema gambar di bawah ini :
F. Imunologi, F. Bakteriologik, Faktor lain

Infiltrasi sel-sel radang

Atropi progresif sel epitel kelenjar mukosa

Kehilangan sel parietal dan chief cell

Produksi asam klorida, pepsin dan faktor intrinsik menurun

Dinding lambung menipis

Kerusakan mukosa lambung

Nyeri ulu hati, Mual, Muntah, Anoreksia

Gambar 2.2 Phatway gastritis

Pada skema di atas, dijelaskan bahwa obat-obatan, alkohol, pola makan yang tidak
teratur, stress, dan lain-lain dapat merusak mukosa lambung, mengganggu pertahanan
mukosa lambung, dan memungkinkan difusi kembali asam pepsin ke dalam jaringan
lambung, hal ini menimbulkan peradangan. Respons mukosa lambung terhadap
kebanyakan penyebab iritasi tersebut adalah dengan regenerasi mukosa, karena itu
gangguan-gangguan tersebut seringkali menghilang dengan sendirinya. Dengan iritasi yang
terus menerus, jaringan menjadi meradang dan dapat terjadi perdarahan. Masuknya zat-zat
seperti asam dan basa kuat yang bersifat korosif mengakibatkan peradangan dan nekrosis
pada dinding lambung. Nekrosis dapat mengakibatkan perforasi dinding lambung dengan
akibat berikutnya perdarahan dan peritonitis.
Gastritis kronik dapat menimbulkan keadaan atropi kelenjar-kelenjar lambung dan
keadaan mukosa terdapat bercak-bercak penebalan berwarna abu-abu atau kehijauan
(gastritis atropik). Hilangnya mukosa lambung akhirnya akan mengakibatkan berkurangnya
sekresi lambung dan timbulnya anemia pernisiosa. Gastritis atropik boleh jadi merupakan
pendahuluan untuk karsinoma lambung. Gastritis kronik dapat pula terjadi bersamaan
dengan ulkus peptikum (Suyono, 2001).
5

Manifestasi Klinis
Sindrom dispepsia berupa berupa nyeri epigastrium, mual, kembung dan muntah
merupakan salah satu keluhan yang sering muncul. Ditemukan pula perdarahan saluran
cerna berupa hematemesis dan melena, kemudian disesuaikan dengan tanda-tanda anemia
pasca perdarahan. Biasanya, jika dilakukan anamnesis lebih dalam, tanpa riwayat
penggunaan obat-obatan atau bahan kimia tertentu (Suyono, 2001).
Ulserasi superfisial dapat terjadi dan dapat menimbulkan hemoragi, ketidaknyamanan
abdomen (dengan sakit kepala, mual dan anoreksia) dan dapat terjadi muntah, serta
cegukan beberapa pasien adalah asimtomatik, kolik dan diare dapat terjadi jika makanan
pengiritasi tidak dimuntahkan, tetapi jika sudah mencapai usus besar, pasien biasanya
sembuh kira-kira dalam sehari meskipun nafsu makan kurang atau menurun selama 2
sampai 3 hari (Ester, 2001).

Komplikasi Gastritis

Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 129), komplikasi yang timbul pada gastritis, yaitu
perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) berupa hematemesis dan melena, berakhir
dengan syok hemoragik, terjadi ulkus, kalau prosesnya hebat dan jarang terjadi perforasi.
Jika dibiarkan tidak terawat, gastritis akan dapat menyebabkan ulkus peptikum dan
pendarahan pada lambung. Beberapa bentuk gastritis kronis dapat meningkatkan resiko
kanker lambung, terutama jika terjadi penipisan secara terus menerus pada dinding
lambung dan perubahan pada sel-sel di dinding lambung (Prince, 2005).
Kebanyakan kanker lambung adalah adenocarcinoma, yang bermula pada sel-sel
kelenjar dalam mukosa. Adenocarcinoma tipe 1 biasanya terjadi akibat infeksi Helicobacter
pylori. Kanker jenis lain yang terkait dengan infeksi akibat Helicobacter pylori adalah MALT
(mucosa associated lyphoid tissue) lymphomas, kanker ini berkembang secara perlahan
pada jaringan sistem kekebalan pada dinding lambung. Kanker jenis ini dapat disembuhkan
bila ditemukan pada tahap awal (Anonim, 2010).
7

Penatalaksanaan Gastritis
Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 129), penatalaksanaan medikal untuk gastritis
akut adalah dengan menghilangkan etiologinya, diet lambung dengan posisi kecil dan
sering. Obat-obatan ditujukan untuk mengatur sekresi asam lambung berupa antagonis
reseptor H2 inhibition pompa proton, antikolinergik dan antasid juga ditujukan sebagai
sifoprotektor berupa sukralfat dan prostaglandin.
Penatalaksanaan sebaiknya meliputi pencegahan terhadap setiap pasien dengan
resiko tinggi, pengobatan terhadap penyakit yang mendasari dan menghentikan obat yang
dapat menjadi kuasa dan pengobatan suportif. Pencegahan dapat dilakukan dengan
pemberian antasida dan antagonis H2 sehingga mencapai pH lambung 4. Meskipun hasilnya
masih jadi perdebatan, tetapi pada umumnya tetap dianjurkan.
Pencegahan ini terutama bagi pasien yang menderita penyakit dengan keadaan klinis
yang berat. Untuk pengguna aspirin atau anti inflamasi nonsteroid pencegahan yang terbaik
adalah dengan Misaprostol, atau Derivat Prostaglandin Mukosa.
Pemberian antasida, antagonis H2 dan sukralfat tetap dianjurkan walaupun efek
teraupetiknya masih diragukan. Biasanya perdarahan akan segera berhenti bila keadaan si
pasien membaik dan lesi mukosa akan segera normal kembali, pada sebagian pasien biasa
mengancam jiwa. Tindakan-tindakan itu misalnya dengan endoskopi skleroterapi, embolisasi
arteri gastrika kiri atau gastrektomi. Gastrektomi sebaiknya dilakukan hanya atas dasar
abolut (Suyono, 2001).
Penatalaksanaan untuk gastritis kronis adalah ditandai oleh progesif epitel kelenjar
disertai sel parietal dan chief cell. Dinding lambung menjadi tipis dan mukosa mempunyai
permukaan yang rata, Gastritis kronis ini digolongkan menjadi dua kategori tipe A (altrofik
atau fundal) dan tipe B (antral).
Pengobatan gastritis kronis bervariasi, tergantung pada penyakit yang dicurigai. Bila
terdapat ulkus duodenum, dapat diberikan antibiotik untuk membatasi Helicobacter Pylory.
Namun demikian, lesi tidak selalu muncul dengan gastritis kronis alkohol dan obat yang
diketahui mengiritasi lambung harus dihindari. Bila terjadi anemia defisiensi besi (yang
disebabkan oleh perdarahan kronis), maka penyakit ini harus diobati, pada anemia

pernisiosa harus diberi pengobatan vitamin B12 dan terapi yang sesuai (Chandrasoma,
2005 : 522).
Gastritis kronis diatasi dengan memodifikasi diet dan meningkatkan istirahat,
mengurangi dan memulai farmakoterapi. Helicobacter Pylory dapat diatasi dengan antibiotik
(seperti Tetrasiklin atau Amoxicillin) dan garam bismut (Pepto bismol). Pasien dengan
gastritis tipe A biasanya mengalami malabsorbsi vitamin B12 (Chandrasoma, 2005 : 522).
8

Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosa gastritis, dilakukan dengan berbagai macam tes,
diantaranya :
1.

Tes Darah
Tes darah untuk melihat adanya antibodi terhadap serangan Helicobacter pylori. Hasil
test yang positif menunjukkan bahwa seseorang pernah mengalami kontak dengan bakteri
Helicobacter pylori dalam hidupnya, tetapi keadaan tersebut bukan berarti seseorang telah
terinfeksi Helicobacter pylori. Tes darah juga dapat digunakan untuk mengecek terjadinya
anemia yang mungkin saja disebabkan oleh perdarahan karena gastritis (Anonim, 2010).

2.

Breath Test
Test ini menggunakan tinja sebagai sampel dan ditujukan untuk mengetahui apakah
ada infeksi Helicobacter pylori dalam tubuh seseorang.

3.

Stool Test
Uji ini digunakan untuk mengetahui adanya Helicobacter pylori dalam sampel tinja
seseorang. Hasil test yang positif menunjukkan orang tersebut terinfeksi Helicobacter pylori.
Biasanya dokter juga menguji adanya darah dalam tinja yang menandakan adanya
perdarahan dalam lambung karena gastritis.

4.

Rontgen
Test ini dimaksudkan untuk melihat adanya kelainan pada lambung yang dapat dilihat
dengan sinar X. Biasanya akan diminta menelan cairan barium terlebih dahulu sebelum
dilakukan rontgen. Cairan ini akan melapisi saluran cerna dan akan terlihat lebih jelas ketika
di rontgen.

5.

Endoskopi
Test ini dimaksudkan untuk melihat adanya kelainan pada lambung yang mungkin tidak
dapat dilihat dengan sinar X. Tes ini dilakukan dengan cara memasukkan sebuah selang
kecil yang fleksibel (endoskop) melalui mulut dan masuk ke dalam esophagus, lambung dan
bagian atas usus kecil. Tenggorokan akan terlebih dahulu dimatirasakan (anestesi), sebelum
endoskop dimasukkan untuk memastikan pasien merasa nyaman menjalani tes ini. Jika ada
jaringan dalam saluran cerna yang terlihat mencurigakan, dokter akan mengambil sedikit
sampel (biopsy) dari jaringan tersebut. Sampel itu kemudian akan dibawa ke laboratorium
untuk diperiksa. Tes ini memakan waktu kurang lebih 20 sampai 30 menit. Pasien biasanya
tidak langsung disuruh pulang ketika tes ini selesai, tetapi harus menunggu sampai efek dari

anestesi menghilang, kurang lebih satu atau dua jam. Hampir tidak ada resiko akibat tes ini.
Komplikasi yang sering terjadi adalah

KEP ULKUS PEPTIKUM


Label: Askep medikal bedah, Perkuliahan

KONSEP DASAR
A. Pengertian
Ulkus peptikum adalah erosi mukosa gastro intestinal yang disebabkan oleh
terlalu banyaknya asam hidroklorida dan pepsin. Meskipun ulkus dapat terjadi
pada osofagus, lokasi paling umum adalah duodenum dan lambung (Wardell,
1990).
Ulkus kronis dapat menembus dinding muskular. Pemulihan mengakibatkan
pembentukan jaringan fibrosa dan akhirnya jaringan parut permanen. Ulkus
dapat pulih atau sembuh beberapa kali sepanjang hidup seseorang.
Komplikasi utama yang berkenaan dengan penyakit ulkus peptikum, pada
umumnya adalah:
1. Hemoragi, dibuktikan oleh hematemesis dan guaiak fesses positif.
2. Perporasi, dibuktikan oleh awitan tiba-tiba nyeri hebat disertai dengan
abdomen kaku seperti papan dan gejala syok.
3. Obstruksi. Komplikasi ini lebih umum pada ulkus duodenal yang terletak dekat
pilorus. Ini disebabkan oleh kontriksi jalan keluar gastrik sebagai akibat dari
edema dan jaringan parut dari ulkus yang berulang.
Pasien secara umum dapat rawat jalan. Perawatan di rumah sakit diperlukan
untuk mengatasi komplikasi.
B. Etiologi
1. Meningkatnya produksi asam lambung.
2. Stres.
3. Golongan darah.
4. Asap rokok.
5. Daya tahan lambung yang rendah.
C. Patofisiologi
Asam lambung dalam kondisi yang normal akan membantu dalam pencernaan
dengan produksi yang sesuai dengan keperluan sehingga akan berfungsi secara
fisiologis tapi dalam keadaan sekresi yang berlebihan akan menjadikan lambung
teriritasi atau walaupun sekresi asam lambung normal tapi daya tahan mukosa
lambung rendah juga akan menyebabkan iritasi.
D. Tanda Dan Gejala
1. Nyeri yang dirasakan setelah makan.
2. Nyeri tengah malam.
3. Hilang setelah makan.
4. Adanya perdarahan bila ulkus aktif.
E. Penatalaksanaan
Farmakoterapi:
Antagonis reseptor histamin seperti simetidin (Tagamet), ranitidin (Zantac),
famotidin (Pepcid), Nizatidin (Axid).
Antasida seperti antasida magnesium hidroksida (Maalox atau Mylanta), atau
antasida aluminium hidroksida (Amphojel atau Alternangel).

Sukralfat (Carafate).
Antikolinergik seperti propantelin bromida (Pro-Banthinne).
Penurunan atau penghilangan faktor ulserogenik, seperti merokok penghentian
obat ulserogenik sementara ulkus masih aktif.
Modifikasi diet.
Penatalaksanaan stres.
Pembedahan bila komplikasi terjadi:
Gastrektomi subtotal (pengangkatan bagian lambung).
Vagotomi (memotong saraf vagus untuk mengurangi sekresi asamhidroklorik)
dengan piroloplasti (pembesaran bedah terhadap sphincter pilorik untuk
memungkinkan peningkatan pengosongan lambung pada adanya penurunan
motilitas gastrik, yang terjadi setelah vagotomi).
F. Pertimbangan Pembedahan
1. Perfurasi.
2. Obstruksi organis
3. Perdarahan masif.
4. Ulkus yang besar sekali.
G. Pertimbangan Pemulangan
1. Perawatan lanjutan.
2. Tanda dan gejala yang dapat dilaporkan.
3. Obat-obatan untuk dilanjutkan di rumah.
4. Penatalaksanaan stres.
ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
1. Identitas Pasien.
Nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama, status marital, suku,
keluarga/orang terdekat, alamat, nomor register.
2. Riwayat Atau Adanya Faktor Resiko.
Riwayat garis pertama keluarga tentang ulkus peptikum.
Penggunaan kronis obat yang mengiritasi mukosa lambung (misal, aspirin,
steroid atau indometasin).
Perokok berat.
Stres emosi kronis.
3. Pengkajian Fisik.
Nyeri epigastrik. Ini gejala paling menonjol selama periode eksaserbasi. Pada
ulkus duodenal, nyeri terjadi 2-3 jam setelah makan dan sering disertai dengan
mual dan muntah. Pada ulkus gastrik, nyeri terjadi dengan segera setelah
makan. Nyeri dapat digambarkan sebagai nangging, tumpul, sakit, atau rasa
terbakar. Ini sering hilang dengan makanan dan meningkat dengan merokok dan
stres emosi.
Selama remisi pasien asimtomatik
Penurunan berat badan.

Perdarahan sebagai hematemesis atau melena (bila ulkus aktif).


4. Pemeriksaan diagnostik.
Seri gastro intestinal menunjukkan lubang ulkus tetapi tidak menandakan bila
ini benigna atau maligna. Ulkus maligna dan benigna menghasilkan gejala yang
sama. Sering ulkus benigna sembuh dengan terapi medis dalam beberapa
minggu, sedangkan ulkus maligna tidak sembuh dengan terapi.
Endoskopi dengan apusan sistologi dilakukan dengan tepat membedakan
antara ulkus benigna dan maligna bila gejala menetap.
Guaiak feses mungkin positif untuk darah samar bila ulkus aktif.
5. Kaji diet khusus dan pola makan selama 72 jam pra-perawatan di rumah sakit.
6. Kaji respons emosi pasien dan pemahaman tentang kondisi, rencana tindakan,
pemeriksaan diagnostik, dan tindakan perawatan diri preventif.
7. Kaji metode pasien dalam menerima peristiwa yang menimbulkan stres dan
persepsi tentang dampak penyakit pada gaya hidup.

Diagnosa Keperawatan.
1. Nyeri berhubungan dengan faktor penyakit ulkus peptikum aktif. Batasan
karakteristik mengungkapkan ketidaknyamanan, merintih, perilaku melindungi,
meringis.
Tujuan : Mendemonstrasikan ketidaknyamanan hilang.
Kriteria :
- Menyangkal nyeri
- Ekspresi wajah rileks
- Tak ada merintih
Intervensi :
Berikan obat-obat yang diresepkan (antagonis reseptor histamin, Carafate,
antasida atau kolinergik) dan evaluasi keefektifannya.
Beri tahu dokter bila nyeri gaster menetap atau memburuk. Tes guaiak semua
fesses bila nyeri menetap. Laporkan fesses guaiak positif.
Pertahankan puasa sesuai program bila perdarahan aktif terjadi.
Anjurkan perawatan oral:
Sikat gigi kit dan mencuci mulut dengan air dingin
Melumasi bibir dengan salep petrohum PRN
Mempertahankan kasa lembab di sisi tempat tidur untuk digunakan pasien
membasahi mulut
Bila diare berdarah terjadi, berikan perawatan perineal setelah setiap defekasi
- bersihkan dengan air hangat dan sabun ringan. Dengan izin dokter, berikan
salep anastesi seperti dibukain HCl (Nupercainal), Pada anus bila pasien
mengeluh sakit. Gunakan pengharum ruangan untuk mengontrol bau.
Rasionalisasi :
- Antasida dan carafate menyaluti ulkus. Antagonis reseptor histamin
mengurangi asiditas gastrik dengan menyekat sekresi histamin, suatu stimulan
sam gastrik. Antikolinergik mengurangi sekresi asam hidroklorida dan
memperlambat motilitas saluran gastro intestinal.
- Temuan ini, menandakan kebutuhan perhatian medis segera.

- Menyikat gigi menghilangkan plak. Pembatasan makanan per oral


menyebabkan mulut dan bibir kering. Pembasahan sering membantu
menghilangkan kekeringan.
- Diare yang sering menyebabkan iritasi pada anus. Fees berdarah dapat
menghasilkan bau tak sedap.
2. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan faktor
kehilangan darah berlebihan sekunder terhadap penyakit ulkus peptikum.
Batasan karakteristik: feses guaiak positif, pasase feses hitam, emesis berwarna
kopi, tekanan darah turun disertai dengan takikardi, takipnea, kulit lembab
basah, menyatakan haus, penurunan haluaran urine.
Tujuan : Mendemonstrasikan tak ada tanda peradangan akut.
Kriteria : Pasase feses coklat lunak, hemoglobin dan hematokrit dalam batas
normal.
Intervensi :
Pantau:
Tanda vital setiap 4 jam, bila feses guaiak positif
Warna dan konsistensi feses (guaiak semua feses bila perdarahan tidak
tampak)
Warna emesis berwarna kopi
Hasil laporan JDL
Beri tahu dokter tentang emesis berwarna kopi, feses hitam, emesis atau feses
merah terang, penurunan TD disertai dengan takikardi dan takipnea, kulit
lembab dingin, atau nilai hemoglobin dan hematokrit di bawah rentang normal.
Berikan transfusi darah sesuai program dan pantau reaksi merugikan.
Untuk mengontrol perdarahan, berikan obat yang diresepkan yang meliputi :
Vitamin K (aqua MEPHYTON) bila masa protrombin memanjang
Antagonis reseptor histamin seperti simetidine (Targamet), ranitidi (Zantac),
femotidin (Pepcid)
Vasopresin (Pitressin Synthetic, Pitressin Tannate)
Evaluasi keefektifan obat. Gunakan pompa infus bila memberikan obat ini
dengan drip kontinu.
Pasang selang NG dan sambungkan pada pengisap intermiten sesuai program
bila terjadi emesis merah terang. Pertahankan kepatenan selang dengan
mengiritasi dengan salin normal dingin, prn.
Berikan lavase gastrik sesuai program:
Masukkan kira-kira 60-100 ml agen yang diresepkan (salin es, antasida, atau
vasopresin)
Klem selang selama 10-15 menit, kemudian sambungkan pada penghisap
Ulangi lavase pada interval yang diprogramkan
Inspeksi warna haluaran gastrik bila penghisapan dilakukan
Pertahankan puasa sesuai pesanan bila terjadi muntah. Berikan terapi
intravena sesuai program. Gunakan jarum 18-G untuk memulai penginfusan
intravena bila transfusi darah diperlukan.
Bila pasien mengalami kelemahan dan pusing, tempatkan pispot di samping

tempat tidur dan bantu dalam toileting sesuai kebutuhan. Instruksikan pasien
untuk memberi tanda minta bantuan bila turun dari tempat tidur.
Pertahankan tirah baring bila perdarahan aktif terjadi.
Siapkan pasien untuk pembedahan atau sklerosing sesuai pesanan.
Rasionalisasi:
- Untuk mengevaluasi keefektifan terapi.
- Emesis warna kopi menunjukkan darah tercampur dengan getah lambung.
Feses hitam (melena) menandakan perdarahan saluran gastro intestinal. Emesis
atau feses merah terang menandakan perdarahan aktif. Kehilangan darah
berlebihan dapat menimbulkan anemia, dibuktikan oleh hemoglobin dan
hematokrit rendah dan gejala syok.
- Vitamin K membantu memperbaiki faktor pembekuan. Antagonis reseptor
histamin mengurangi produksi asam gastrik. Vasopresin menyebabkan kontriksi
pembuluh darah sehingga membantu mengontrol perdarahan.
- Intubasi NG memberi rute untuk lavase gastrik. Larutan dingin dan vasopresin
menyebabkan vasokontriksi. Antasida menyaluti lapisan lambung untuk
mencegah erosi lanjut dengan pemajanan pada asam hidroklorida.
- Kehilangan darah cepat menimbulkan hipovolemi. Cairan intravena membantu
memperbaiki volume intravaskuler sampai perdarahan dapat terkontrol. Transfusi
darah harus diberikan melalui jarum berdiameter besar karena viskositasnya
tinggi.
- Tirah baring mengurangi penggunaan energi dan aktivitas saluran
gastrointestinal.
- Pembedahan diperlukan bila terapi obat tidak efektif dalam mengontrol
perdarahan berat setelah 24 jam.
3. Resiko tinggi terhadap perubahan dalam penatalaksanaan pemeliharaan di
rumah berhubungan dengan faktor kurang pengetahuan tentang kondisi,
rencana tindakan dan perawatan diri pencegahan. Batasan karakteristik:
melaporkan kesulitan dalam koping terhadap penyakit kronis, riwayat
ketidakpatuhan, mengungkapkan kurang pemahaman, meminta informasi,
mengungkapkan takut perdarahan menyebabkan kematian.
Tujuan : Mendemonstrasikan keinginan untuk memenuhi perawatan diri,
pencegahan dan tindakan pemeliharaan pada saat pulang.
Kriteria : Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi dan tindakan yang
direncanakan, mengungkapkan rencana untuk mengubah gaya hidup untuk
mengurangi resiko eksaserbasi.
Intervensi :
Evaluasi pemahaman pasien tentang kondisi dan rencana therapeutic. Perbaiki
adanya kesalahan konsep. Tekankan bahwa terapi membantu memulihkannya.
Biarkan pasien mengetahui bahwa ulkus peptikum dapat kambuh bila rencana
tindakan tidak diikuti. Tinjau ulang tujuan tindakan yang diprogramkan.
Berikan instruksi tentang modifikasi diet untuk mencegah kekambuhan.
Instruksi harus meliputi menghindari makanan yang menyebabkan
ketidaknyamanan. Beberapa makanan yang menyebabkan ketidaknyamanan
adalah coklat, caffeine, bumbu pedas, alkohol, makanan gorengan, aspirin, dan
produk yang mengandung aspirin. Makan tiga makanan seimbang setiap hari,

dengan kudapan pada interval reguler sering. Rujuk pasien pada ahli diet untuk
bantuan dalam perencanaan diet seimbang bila riwayat diet menunjukkan
ketidakadekuatan. Hindari masukan jumlah besar dari produk susu.
Anjurkan pasien yang merokok untuk mengambil langkah untuk berhenti.
Tekankan pentingnya menggunakan obat yang diresepkan. Anjurkan untuk
menggunakan antasida atau antagonis reseptor hidramin dengan makan.
Bantu pasien dalam mengidentifikasi stress dan mengembangkan rencana
untuk mengubah gaya hidup untuk mengurangi stres. Tekankan pentingnya
mengekspresikan perasaan dengan seseorang. Rujuk pasien pada kelas
penatalaksanaan stres. Anjurkan pasien untuk mengikuti program latihan reguler
dan menggunakan waktu untuk aktivitas menyenangkan.
Berikan instruksi untuk menghilangkan konstipasi. Bila menggunakan antasida
aluminium hidroksida, minum sedikitnya delapan gelas cairan setiap hari dan
makan makanan tinggi serat.
Anjurkan pasien untuk mencari pertolongan medis bila hal berikut terjadi:
Awitan tiba-tiba dari nyeri gastrik yang tak hilang dengan obat yang
diresepkan
Emesis berwarna kopi atau berdarah
Fesses hitam
Rasionalisasi :
- Pemahaman tentang kondisi dan terapi yang diprogramkan meningkatkan
kepatuhan.
- Tidak terdapat bukti ilmiah bahwa diet khusus meningkatkan pemulihan.
Makanan tertentu merangsang sekresi gastrik dan mencetuskan
ketidaknyamanan. Aspirin mencegah adhesi trombosit dan dapat mencetuskan
perdarahan. Kelebihan kalsium dan protein dari masukan besar susu dan produk
susu merangsang produksi asam lambung. Ahli diet adalah spesialis nutrisi dan
dapat membantu pasien dalam perencanaan makan untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi setiap hari sesuai dengan status keuangan dan penyakit.
- Nikotin merangsang sekresi asam lambung yang mempengaruhi pemulihan
ulkus.
- Makanan memperlambat pengosongan gastrik, sehingga meningkatkan
keefektifan obat.
- Stres emosi mengaktifasi respons adrenergik. Sekresi asam hidroklorik
meningkat, yang selanjutnya meningkatkan mukosa gastrik yang telah
terinflamasi.
- Konstipasi adalah efek samping utama dari antasida aluminium hidroksida.
4. Ansietas berhubungan dengan faktor rasa takut mati karena perdarahan,
kehilangan beberapa aspek kemandirian karena penyakit kronis. Batas
karakteristik: mengeluh sulit menerima kondisi, melaporkan perasaan gugup
atau cemas, ekspresi wajah tegang.
Tujuan : Mendemonstrasikan ansietas hilang.
Kriteria : Ekspresi wajah rileks, perasaan cemas atau gugup berkurang.
Mengungkapkan pemahaman tentang rencana terapeutik
Intervensi :

Gunakan pendekatan tenang, menenangkan bila memberi informasi.


Beri dorongan untuk bertanya.
Jelaskan tujuan semua tindakan yang diprogramkan dan pemeriksaan
diagnostik yang meliputi :
Gambaran singkat tentang tes
Tujuan tes
Persiapan yang diperlukan sebelum tes
Perawatan setelah tes
Rasionalisasi :
- Pemecahan masalah sulit untuk orang yang cemas karena ansietas merusak
belajar dan persepsi. Penjelasan yang jelas, sederhana paling baik dipahami.
Istilah medis dan keperawatan dapat membingungkan pasien dan meningkatkan
ansietas.
- Pengetahuan tentang apa yang diharapkan membantu mengurangi ansietas.
DAFTAR PUSTAKA
A, Price, Silvya. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 2.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1991: Jakarta.
Engram Barbara. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume 1.
Penerbit Buku Penerbit Kedokteran. 1994: Jakarta
Soeparman. Dkk. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI. 1990: Jakarta
by Khaidir muhaj di 08:03
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
0 komentar:

Poskan Komentar
INVESTASI Rp. 25.000 SEKALI SEUMUR
HIDUP

MAU GAJI 20 JUTA ? KERJA 2 JAM MODAL


CUMA 95RIBU

BISNIS ONLINE UNTUK PEMULA

FOREDI UNTUK TAHAN LAMA


SEX,REKOM BOYKE,BPOM.

GASA HERBAL UNTUK EREKSI KERAS


ISTRI KETAGIHAN!

MODAL HANYA 25RIBU 1X SEUMUR


HIDUP

FOREDI ANTI EJAKULASI DINI BIKIN


ISTRI KETAGIHAN!

METODE ALAMIAH TAMBAH UKURAN


VITAL

INVESTASI 95 RIBU HASIL 30


JUTA/BULAN, MAU ?

GASA REKOM BOYKE UNTUK EREKSI


KERAS LEBIH KENCENG!

MAU GAJI 20 JUTA ? KERJA 2 JAM


MODAL CUMA 95RIBU

INVESTASI 95 RIBU HASIL 30


JUTA/BULAN, MAU ?

FOREDI UTK TAHAN LAMA SEX


REKOMENDASI BOYKE!
KumpulBlogger.com

[Make Your Own] by Khaidir Muhaj | [Close]

Selamat Datang !!
selamat berkunjung di blog saya yang sederhana ini, semoga yang teman cari
ada disini, silahkan copy paste artikel dalam blog ini, dgn menyertakan atau tdk
menyertakan sumbernya, dan jangan lupa sebagai tanda persahabatan &
terimakasih isilah buku tamu.

DHIVA & DHIKA

Alumni SPK Kesdam VI/TPR Banjarmasin. Alumnus Politeknik kesehatan


Banjarmasin program khusus PKM Rantau. Seorang PNS PemKab. Tapin, Unit
Kerja Puskesmas Lokpaikat - Rantau - Kalsel .

Yang Sedang Berkunjung


Anda Pengunjung Yang Ke

Ads Powered
by:KumpulBlogger.com

My Twitter

Khaidir Muhaj Blog'site.com

TERIMA KASIH
Telah berkunjung, mohon maaf jika terdapat kekurangan dan tidak sesuai dengan
apa yang diharapkan dan tidak dapat memenuhi permintaan & pertanyaan
teman teman, karena saya juga dalam proses pembelajaran dan terus akan
belajar. dan seandainya artikel ini bermanfaat itu semata-mata hanya karena
Allah SWT guna tercapainya keperawatan yang profesional. serta jangan lupa isi
buku tamu, semoga sukses!

Pengikut

Anda mungkin juga menyukai