Disfemisme Simbolik
Dengan mengadaptasi cerita dari St. Augustine, Noam Chomsky mengawali
penjelasannya tentang terminologi terorisme dengan membuat sebuah ilustrasi yang
sangat mengena. Di kisahkan, seorang bajak laut tertangkap dan dihadapkan kepada
Iskandar Agung. “Berani benar kau mengacau laut,” kata Sang Kaisar dengan nada
sinis. Tanpa disangka si bajak laut kontan menjawab dengan tak kalah sinis pula,
“Berani betul kau mengacau seluruh dunia. Karena saya melakukannya dengan hanya
dengan sebuah kapal kecil, maka saya disebut pencuri. Sedangkan kamu, yang sama-
sama pengacaunya, tapi karena menggunakan armada laut yang besar, maka kamu
disebut kaisar !”
Ilustrasi di atas secara “cerdas” memberi gambaran tentang bagaimana
penggunaan kata-kata yang berbeda untuk menjelaskan peristiwa yang sama, tapi
melahirkan makna yang jauh bertentangan. Dengan logika bahasa yang demikian
lanjut Comsky, maka tidak aneh jika opini publik dunia yang terbentuk berkenaan
dengan apa dan siapa terorisme dunia hanya melekat pada Palestina, Irak, Iran, Libia
dan negara-negara yang menentang AS dan kroninya. Sementara AS, Israel dan juga
Inggris yang menjadi biang pengacau tatanan dunia yang sebenarnya selalu
diposisikan sebagai dewa pengayom yang adil dan harum baunya.
Jika rangkaian kata-kata adalah sisi tajan dari suatu berita yang ditembakkan
oleh media massa, maka tak mengherankan apabila seorang Napoleon Bonapartaij
pun merasa kecut berhadapan dengan pemberitaan daripada dengan sepuluh peleton
serdadu bersenjata lengkap. Mungkin kita masih ingin bertanya, “Apakah ia lebih
tajam dibanding pedang? Jika bahasa berita hanyalah sebuah simbol dari suatu
makna, apakah sebuah makna memiliki kekuatan penghancur, sehingga diperlukan
keahlian, kesadaran dan kearifan atau bahkan pengendalian khusus (seperti
pengalaman jaman orba) untuk menyampaikannya?”
Kutipan di atas adalah cara penyajian judul atau lead dengan gaya pengerasan
(hard news). Cara ini mencerminkan keinginan redaksi untuk lebih menonjolkan
adanya unsur konflik dalam berita yang diketengahkan, daripada sekedar memberikan
informasi yang memadai dan membiarkan publik memberikan apresiasinya sendiri.
Artinya sejak pemilihan kata-kata untuk judul, pembaca sudah digiring pada
konstruksi pemahaman tertentu, yaitu berkenaan dengan konflik.
Mengapa nuansa konflik sangat disenangi oleh pers kita? Hal itu bisa
disebabkan dari beberapa factor. Pertama bisa dirunut dari konsep tentang nilai berita
yang diajarkan dan dipelajari oleh para jurnalis. Secara konsepsual, salah satu
peristiwa yang mengandung nilai berita (news event) adalah peristiwa yang di
dalamnya mengandung konflik. Kedua, faktor psikologis yaitu yang berkenaan
dengan selera rendah yang dimiliki oleh setiap manusia. Selera rendah ini sering
mendorong manusia untuk lebih senang menikmati konflik, kekerasan, gossip dan
seks di luar dirinya. Itulah sebabnya media yang mengkhususkan diri untuk berita-
berita tentang sex and crime yang disebut sebagai koran kuning, sering memiliki
oplagh yang tinggi.
Ketiga, dalam konteks Indonesia, jurnalis kita sedang mengalami euphoria on
freedom of the press, di mana selama 32 tahun dalam naungan pers pancasila yang
represif dan full sensorship. Lepasnya belenggu dari tangan pers yang dialaminya
bertahun-tahun tersebut, menyebabkan pers kita jadi serba gamang. Bahkan dalam
situasi konflik antar etnis, agama dan golongan (SARA) yang melanda tanah air
akhir-akhir ini, menurut Stanley Adi Prasetyo, pers Indonesia dapat dikatakan tak
1)
Baca Roger D.Wimmer dan Joseph R.Dominick, 1991, Mass Media Research, Belmont, California, Wardworth Inc. hal. 157-
179.
2)
Dengan konsep ini Noam Chomsky menemukan bagaimana media barat telah dengan sengaja menggunakan istilah-istilah
yang memutarbalikkan fakta. Untuk pengendalian makna oleh pemerintah Orba, baca Yudi Latif & Idi Subandi I (ed),
1996, Bahasa dan Kekuasaan Politik Wacana di Panggung Politik Orde Baru, Bandung, Mizan.