Anda di halaman 1dari 4

Jurnalis Beralih Profesi Menjadi Seorang Pengembala

Oleh : Ilyas Perdana Warsa

Salah satu pekerjaan yang paling mulia di muka bumi ini adalah seorang jurnalis. Mereka
seperti guru yang selalu memberikan informasi dan mengklarifikasi (menasehati) jika terdapat
suatu hal yang keliru. Bisa dikatakan bahwa seorang jurnalis adalah orang yang paling setia
untuk terus menuliskan berita dan segala tulisannya untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Semua
kebutuhan informasi akan dicari dan diberi demi kelangsungan kebutuhan informasi.

Pada era sekarang masyarakat tidak harus menunggu berita tertentu dari sebuah lembaran
koran. Cukup membuka smarphone dan pilih salah satu aplikasi penyedia berita. Di dalamnya
tersedia puluhan bahkan ribuan berita terkini yang jelas memberikan pencerahan bagi para
pembacanya.

Profesi sebagai jurnalis merupakan pekerjaan yang berat, seorang wartawan akan
mencari, mengumpulkan, memilih, mengolah berita, dan menyajikan. Dibalik itu semua jerih
payah seorang jurnalis sangat berbahaya untuk mencari narasumber kadang mereka harus
berhadapan dengan pelaku kejahatan atau bahkan terjun ke lapangan Ketika bertugas meliput
kerusuhan atau bencana alam.

Beberapa tulisan jurnalis yang dimuat dalam bulletin yang sekiranya tidak berlebihan
dapat menciptakan atau membentuk opini di dalam masyarakat luas, sehingga mampu
menggerakan kekutan perspektif yang sangat besar. Terdapat sebuah pendapat bahwa peran
wartawan meruapakan kekuatan keempat dalam sebuah negara setelah legislative, eksekutif, dan
yudikatif.

Karena kuatnya pengaruh seorang wartawan dalam menggiring opini masyarakat, banyak
dari para pejabat tertentu yang memesan seorang jurnalis untuk meliputnya baik itu aktivitas,
program kerja, dan berhubungan terkait perkejaannya yang sekiranya dapat viral. Jurnalis
pesanan tersebut diminta untuk membuat berita berlebih – lebih supaya dirinya terkenal dan
dikenal masyarakat entah itu hanya sebuah gimik ataupun pecitraan semata.

Tidak sampai situ, dikala pemberitaan dianggap sedang sepi. Jurnalis sekarang banyak
memberitakan apapun walaupun itu tidak bermanfaat ataupun tidak akurat. Mereka biasa akan
menulis sebuah headline / judul yang sekiranya membuat animo masyarakat untuk membaca
tinggi terutama berita terkait hal kontroversi atau berita yang sensitive seperti kaitannya dengan
agama, suku, ras,dan budaya. Kebiasaan masyarakat yang hanya membaca judul tanpa
mengetahui isinya kemudian meng-share ke orang lain dan akhirnya membuat gejolak atau
miscommunication di tengah masyarakat. Jumlah komentar dan share yang tinggi akan
meningkatkan pendapatan ataupun kunjungan ke penyedia berita tersebut, jelas sangat
menguntungkan.

Peralihan Profesi Jurnalis Menjadi Pengembala

Minimnya minat literasi masyrakat terhadap informasi yang didapatkan dapat


mempersubur pembuatan dan penyebaran hoax. Masyarakat senang membaca berita yang
hiperbola, mereka yang memiliki akun seperti WhatsApp, Facebook, Twitter, TikTok, dan media
sosial lainnya dapat menyebar link ataupun gambar/video dengan supaya mendapatkan feedback
berupa perasaan bahwa dia adalah orang paling update terhadap suatu hal.

Diruspsi media sosial ini sangat ampuh untuk menggeser jurnalis yang beralih dari berita
konvensional (koran) ke digital (media sosial) dengan jurnalis instan. Katakanlah Buzzer, profesi
ini memiliki peluang yang cukup besar karena pasarnya besar dan cukup mudah. Hanya
bermodalkan media sosial dengan digital presence yang baik serta followers yang luamayan
banyak sehingga followers tersebut dapat mendengarkan. Pergerakan buzzer yang umum terjadi
di media sosial seperti Instagram adalah postingan dengan caption ambigu dan kontroversi serta
chat kolom komentar.

Jurnalis pesanan / buzzer akan terus menyampaikan pendapat yang berlawanan dan terus
berupaya menjatuhkan lawan. Segala upaya mereka jalankan mulai dari memfitnah, menyebar
hoax dan hatespeech sesuai dengan pesanan sehingga dapat menggiring opini khalayak. Kehalian
seorang buzzer bukanlah seperti orang biasa hanya orang tertentu saja yang mampu menggiring
opini. Dengan strategi tepat yang mampu memancing rasa penasaran dari para pengguna media
sosial sendiri hingga menyentuh klimaks (trending) dari pesan yang dibahas.

Masyarakat banyak yang menyayangkan banyaknya aksi onkum jurnalis yang rela
merendahkan kredibilitasnya sebagai jurnalis demi borjuis. Alasan lain mengapa jurnalis lebih
suka meliput berita pesanan dikarenakan minat masyarakat yang tinggi dari hal tersebut. Jurnalis
televisi pun demikian, pembawaan acara televisi hanya berdasarkan apa yang viral semata.
Banyak program terkini yang hanya meng-upload ulang dari media sosal ke televisi dengan
pembawaan kontroversi. Bahkan demi menggaet penonton anak muda, mereka akan
membawakannya dengan bahasa yang tidak baku atau kaidah berbahasa yang benar. Hal ini
mungkin tidak terlalu terlihat karena sudah terlanjurnya apa yang salah dianggap biasa – biasa
saja dan akhirnya menjadi kebiasaaan.

Bebas atau Ditebas

Profesi jurnalis merupakan salah satu pekerjaan paling berbahaya dan syarat akan
ancaman. Tekanan kepentingan politik dan ekonomi terhadap pers menjadi wujud kekerasan
terhadap insan pers. Kekerasan fisik dan ancaman terror tehadap pekerja jurnalis/pers adalah
kasus yang paling banyak terjadi, bahkan pembunuhan sempat mewarnai dan menghantui laju
pers dalam negeri ini. Belum lagi lingkaran jeratan tangan jurnalis terpaku terhadap kebebasan
sejak berlakunya Undang – undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada tahun
2008.

Kebebasan pers basisnya telah diatur dalam Undang – undang Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers. Pasal 2 menyebutkan bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan
rakyat yang berasaskan prinsip – prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.

Tantangan terberat bagi pers adalah bentuk dari independsi, tarikan kepentingan ekonomi
dan politk menjadi godaan tersulit untuk tetap menjaga keadilan dan kebenaran. Namun, tidak
sedikit yang terjatuh dan memilih untuk menjadi jurnalis pesanana /buzzer.

Pilihan mereka sekarang sangat sempit, perusahaan menginginkan hal yang bersebrangan
dan hanya mengejar rating saja. Ini menjadi tantangan sulit bagi jurnalis. Sulit baginya untuk
merdeka karena kuasa dipegang sama perusahaan.

Masyarakat Harus Cerdas

Banjirnya berita di tengah disrupsi media sosial ini sering dimanfaatkan oleh orang yang
tidak bertanggung jawab. Sekarang terkenal anggapan “jurnalis pesanan”, hal tersebut tercuat
saat ramainya berita tentang politik. Mulai dari pemberitaan politik yang sedang pamer pecitraan
di tengah sawah, memberi bantuan kemanusiaan berupa bansos, mengangkat anak muda sebagai
kader, hingga berita saling sindir antar kubu politik. Berita seperti itu sepertinya kurang layak
menjadi konsumsi masyarakat, namun nyatanya berita seperti itu banyak disukai oleh masyarakat
dalam tanda kutip pensanan “buzzer” untuk memanas – manaskan suasana hingga berujung pada
menggiring opini masyarakat.

Berita hoax lebih laku dari pada liputan yang berkaitan dengan alam nusantara, budaya
yang mulai dikenal bahkan dicuri oleh negara asing, perekonomian negara kritis, bahkan puta –
putri bangsa yang berprestasi berhasil mengharumkan nama bangsa. Oleh sebab itu banyak para
jurnalis berpandangan demikian mereka lebih suka meliput hal yang sedang viral dan
kontrorversial daripada liputan yang aktual.

Pemerintah sebagai pengontrol melalui Kominfo dan stakeholder terkait harus


mengedukasi masyarakat agar dapat memilah informasi yang benar dengan selalu mengecek
kebenarannya kembali/verifikasi sebelum meng-share. Dengan demikian disrubsi media sosial
dapat menjadi ruang publik yang sejuk dengan terjadinya dialog sehat dan mendukung publikasi
publik yang berkelanjutan dan berkemanfaatan.

Anda mungkin juga menyukai