Anda di halaman 1dari 5

NAMA: Paulo S Yunior Fernandez

NIM : 43120076
Pentingnya Literasi Ditengah Masyarakat
Sejak terbukanya kebebasan informasi dan teknologi media, pertumbuhan media massa dan
media baru mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Media komunikasi yang telah
bermetamorfosis menjadi media digital itu perkembangannya semakin beragam, lebih gampangnya
direpresentasikan oleh pertumbuhan smartphone dan sejenisnya. Dewasa ini penetrasi berbagai
jenis media tersebut telah merambah ke berbagai kalangan dan komunitas di masyarakat, tanpa
membedakan strata sosial dan ekonomi. Penggunaan media komunikasi smartphone dan sejenisnya
telah bergeser menjadi gaya hidup masyarakat tertentu. Dalam konteks ini dapat dianalogikan
bahwa teknologi media telah mengambil bagian dari peran-peran tertentu di masyarakat.
Dalam memberikan layanan informasi kepada konsumennya. Tingginya penetrasi media
komunikasi itu dampaknya semakin sulit terkontrol. Kini konsumen tidak sekedar mendapatkan
informasi, pengetahuan, dan hiburan, tetapi bisa berinteraktif langsung. Pada saat yang sama media
menanamkan nilai ideologi baru berupa gaya hidup, budaya konsumerime dan model peniruan sikap
dan perilaku para artis/actor tertentu yang dipopulerkan media. Maka dari itu sudah waktunya
penetrasi media yang semakin gencar dan bebas harus diimbangi dengan literasi media sebagai
budaya tangkal atas dampak negative media. Disamping itu literasi media juga bertujuan untuk
melindungi konsumen yang rentan dan lemah terhadap dampak media penetrasi budaya media
baru.

Bisa jadi progres literasi media didasarkan pada semakin pesatnya gempuran informasi
media yang tidak di-imbangi dengan kecakapan mengkonsumsinya. Maka dibutuhkanlah budaya
baru dalam mengkonsumsi media secara sehat. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi
dan komunikasi, maka literasi media juga berlaku pada konsumen media on-line, atau media baru
yang tersebar melalui jejaring internet. Literasi media tentu tidak bisa berjalan dengan baik tanpa
peran serta masyarakat. Peran itu dapat berupa individu, komunitas, kelompok, dan budaya lokal
setempat. Peran individu lebih di fokuskan pada bimbingan orang tua sebagai kepala keluarga atas
konsumsi media di lingkungannya. Demikian juga pengawasan di komunitas, kelompok masyarakat
tertentu yang peduli terhadap perkembangan konvergensi media, serta pemberdayaan kearifan
lokal yang berkembang di komunitas masyarakat.
Salah satu cara untuk meningkatkan awareness media literasi adalah melalui komunikasi
keluarga, karena keluarga merupakan unit terkecil tempat bersosialisasi. Peran ini terutama akan
banyak diambil oleh Ibu Rumah Tangga. Mendidik ibu rumah tangga pedesaan untuk “melek” media
penting untuk dilakukan untuk membuka wawasan mereka tentang hak masyarakat terhadap media,
bentuk-bentuk literasi, dan fungsi media bagi kehidupan sosial. Namun, untuk mencapai hal tersebut
ibu rumah tangga perlu didampingi dalam meliterasi tayangan TV karena perlu peningkatan
pemahaman tentang hak masyarakat terhadap tayangan TV.
Bagi mereka masyarakat dengan latar pendidikan dan pemahaman yang cukup tentang
media memungkinkan untuk memudahkan mereka menyaring informasi-informasi yang layak
mereka konsumsi. Sedangkan mereka dengan latar pendidikan yang minim, akan sulit membedakan
konten-konten yang benar maupun informasi yang positif. Dan disinilah peran literasi media
seharusnya muncul, yaitu untuk memberikan edukasi kepada masyarakat yang rentan terhadap
informasi palsu.

Selain itu media sebagai makanan sehari-hari masyarakat, seharusnya mampu menyaring
berita-berita yang tidak layak beredar. Namun, sekarang ini masih banyak media yang memberitakan
informasi palsu maupun konten yang tidak bermanfaat.

Perkembangan teknologi melaju sangatlah pesat, dengan adanya perkembangan-


perkembangan itulah semua orang mulai merasakan baik dampak negatif maupun dampak
positifnya. Kini informasi-informasi dapat kita dapatkan dengan mudah, dengan mengakses media
sosial. Mungkin bukan hanya hanya persoalan informasi namun sekarang ini kita bisa mendapatkan
apa yang kita inginkan hanya dengan mengotak-atik smartphone milik kita, misalkan berbelanja,
membeli makanan tanpa harus datang ke toko maupun ke kafe.

Menurut B.K Lewis (2010) media sosial sendiri merupakan label bagi teknologi digital yang
memungkinkan orang berhubungan, berinteraksi, memproduksi, dan berbagi isi pesan. Kapanpun
dan dimanapun kita berada, sekarang ini kita bisa dengan mudahnya mengakses informasi secara
cepat. Namun informasi-informasi yang kita dapatkan belum tentu benar adanya, banyak orang yang
memanfaatkan teknologi untuk menyebarkan berita-berita palsu (hoax). Mereka memiliki tujuan
sendiri dalam menyebarkan berita-berita palsu tersebut, salah satunya untuk melakukan provokasi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut adalah minimnya pengetahuan masyarakat


mengenai penggunaan teknologi secara bijak. Dengan beranggapan bahwa semua orang bisa
menggunakan media dengan bebas, maka mereka membuat opini-opini dan menyebarkan kepada
publik. Opini-opini tersebut yang kemudian dilihat oleh orang lain dan menyebar sebagai berita
palsu (hoax). Membangun literasi media bukan hanya dalam kalangan masyarakat saja, namun
pemerintah juga harus memperhatikan adanya informasi hoax. Karena berita-berita tersebut tidak
hanya berkembang dikalangan masyarakat tetapi sudah menjadi isu global. Hal tersebut mampu
membuat perselisihan anatar kelompok bahkan anatar negara, untuk menyikapi hal tersebut ada
baiknya kita paham tentang literasi media.

Pakar teknologi informasi dan komunikasi sebelumnya tidak pernah membayangkan bahwa
perkembangan teknologi dan persebaran media akan menyebabkan hal yang sangat serius, bahkan
kini telah menjadi salah satu isu global. Karena pada dasarnya mereka menciptakan media sosial
atau media-media baru tersebut untuk mempermudah menyampaikan suatu informasi maupun
berita yang sedang terjadi di muka bumi saat itu, namun nyatanya berita-berita maupun informasi
tersebut bisa berubah baik data maupun isinya oleh pihak-pihak yang tidak bertanggug jawab.
Mereka membuat informasi tersebut seolah-olah nyata dan asli agar masyarakat mempercayainya.
Menurut ‘National Leadership Conference on Media Education’ (Aufderheide, 1992) literasi media
memang sangatlah penting, digunakan sebagai kemampuan mengakses, mengevaluasi maupun
mengkomunikasikan informansi dengan berbagai bentuk.

Sementara itu di Indonesia sendiri, terdapat regulasi yang membahas tentang literasi media
yaitu dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2003 tentang Penyiaran, dalam Pasal 52 yang memaknai
literasi media sebagai “kegiatan pembelajaran untuk meningkatkan sikap kritis masyarakat”
(Iriantara, 2009: 25). Tujuan literasi media sendiri adalah untuk memberi kita kontrol yang lebih
besar atas interpretasi terhadap muatan pesan media yang merupakan hasil dari suatu konstruksi
kepentingan. Jika kita paham akan makna literasi media dengan baik, maka kita tidak akan
sepenuhnya menelan mentah-mentah berita yang beredar di media. Semakin kita memahami, maka
semakin mudah kita menganalisna tentang isi dari berita yang beredar. Namun pada kenyataannya
masih banyak diantara kita yang masih percaya dengan berita-berita hoax. Pengetahuan yang kurang
akan literasi media sangat mempengaruhi manusia percaya akan berita palsu, selain itu rendahnya
pendidikan juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi hal-hal tersebut.

Bagi mereka masyarakat dengan latar pendidikan dan pemahaman yang cukup tentang
media memungkinkan untuk memudahkan mereka menyaring informasi-informasi yang layak
mereka konsumsi. Sedangkan mereka dengan latar pendidikan yang minim, akan sulit membedakan
konten-konten yang benar maupun informasi yang positif. Dan disinilah peran literasi media
seharusnya muncul, yaitu untuk memberikan edukasi kepada masyarakat yang rentan terhadap
informasi palsu.

Selain itu media sebagai makanan sehari-hari masyarakat, seharusnya mampu menyaring
berita-berita yang tidak layak beredar. Namun, sekarang ini masih banyak media yang memberitakan
informasi palsu maupun konten yang tidak bermanfaat. Seperti halnya akhir-akhir ini banyak sekali
media yang memberitahan informasi yang palsu, terkait dengan pandemi Covid-19 dan juga bencana
alam yang sedang terjadi. Agar kita tidak terpengaruh dengan berita-berita tersebut, kita bisa
membandingkan berita di satu media dengan media lain agar kita mempunyai data-data yang kuat
sehingga kita tidak terpengaruh dengan berita palsu. Masifnya peredaran informasi palsu (hoax)
melalui media sosial hendaknya menyadarkan para pengelola media arus utama untuk bekerja lebih
profesional dengan standar jurnalistik tinggi. Masyarakat butuh rujukan informasi yang terpercaya
dan pada sisi itulah media massa dapat menjawabnya melalui suguhan informasi yang terverifikasi.
Media massa harus memperjelas fungsinya sebagai penyaji fakta empiris dan kebenaran.

Sekarang ini semua orang adalah wartawan (citizen journalist), mereka saling mencari,
menerima, mengolah, dan menyebarkan informasi yang telah mereka dapat. Perhatian utama
wartawan terleteak pada etika. Kemampuan literasi media yang tinggi ditandai oleh hal-hal berikut:

1. Kritis dalam menerima maupun memaknai pesan.

2. Mampu mencari dan memverifikasi pesan dengan baik.

3. Mampu menganalisis pesan kedalam sebuah diskursus.

4. Memahami logika penciptaan realitas yang dibentuk oleh media.

5. Mampu mengkonstruksi pesan positif dan mampu mendistribusikannya ke


pihak lain.

Menurut Wijetunge dan Alahakoon (2009) melalui model Empowering 8 (E8), kemampuan
melakukan literasi informasi terhadap penelusuran suatu berita hoax dilakukan melalui 8 tahapan
praktik melalui langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi subjek, sasaran audiens yang dituju, serta menggunakan
sumber-sumber yag relevan.
2. Mencari sumber serta informasi yang sesuai dengan topic.
3. Menyeleksi informasi serta data-data yang relevan.
4. Menyusun informasi serta data-data tersebut sebagai susunan yang logis.
Mampu membedakan antara fakta maupun opini.
5. Menciptakan informasi menggunakan kata-kata sendiri, dan membuat
daftar pustaka.
6. Informasi yang ditampilkan mampu menunjukan perbandingan dari kedua
kelompok sehingga dinilai keakurasiannya.
7. Penilaian berupa masukan dan masukan orang lain.
8. Penilaian yang didapat digunakan untuk kegiatan yang akan datang.

Literasi media sering diartikan sebagai ‘melek media’. Hal semacam ini dianggap
menyerderhanakan arti dari literasi media sendiri. Karena ketika di sambungkan dengan melek huruf
maka literasi media diartikan sebagai ‘sekedar’ tidak buta akan media. Peerkembangan media yang
sangat cepat seharusnya dibarengi dengan berkembangnya gerakan literasi media yang
komprehensif. Agar masyarakat memanfaatkan media massa sebagai kemajuan dan kesejahteraan
bangsa. Melalui literasi media, diharapkan masyarakat mampu membedakan konten yang
bermanfaat dan yang menyebabkan kerugian bagi kehidupan.

Dengan adanya literasi media diharapkan masyarakat dapat menilai informasi-informasi


yang ada, dengan membandingkan dengan sumber-sumber lain yang kemungkinan memiliki akurasi
kebenaran yang tinggi. Dan melalui model literasi media tersebut, diharapkan masyarakat mampu
memfilter informasi dari berbagai belahan dunia.

Penyebaran informasi maupun berita palsu membuat masalah yang cukup serius, bukan
hanya menjadi persoalan nasional bahkan sudah menjadi persoalan global. Perkembangan media
yang sangat cepat membuat semua orang mampu menguasai perkembangan-perkembangan yang
ada. Ada yang memanfaatkan perkembangan tersebut sebagai suatu hal yang positif da nada juga
yang memanfaatkan perkembangan media sebagai sesuatu yang negatif.

Anda mungkin juga menyukai