Anda di halaman 1dari 3

Orang Muda, Hoax dan Pemilu !

Oleh DIKA MOEHAMMAD

Hoax adalah musuh bersama. Hoax harus diperangi secara bersama-sama. Kita
hidup di era digital. Salah satu sampah era ini adalah berita bohong alias hoax.
Lewat dunia maya hoax diproduksi untuk mempengaruhi dunia nyata. Tujuannya
adalah menimbulkan kesesatan di masyarakat. Dengan begitu si pembuat hoax
akan merasa berhasil.

Salah satu problem masyarakat kita hari ini adalah literasi. Seperti kita ketahui,
literasi bukan sebatas kemampuan membaca, namun juga meliputi kemampuan
memahami sebuah bacaan. Kemampuan inilah yang masih kurang sehingga sering
kegocek berita-berita hoax yang bertebaran. Seringakali masyarakat mudah
terhasut ketika hanya membaca judul berita tanpa melakukan pengecekan lebih
lanjut. Misalkan berita bahwa Pemilu disusupi kelompok komunis, atau salah satu
kandidat capres keturuan Tionghoa atau petugas KPPS banyak yang meninggal
karena diracun. Berita-berita semacam itu dimakan begitu saja judulnya. Akibatnya,
masyarakat pun menjadi tersesat.

Hoax sudah ada sejak lama namun sekarang penyebarannya lebih cepat karena
berkembangnya media sosial. Tak mengherankan kalau pemerintah pun perlu
membuat UU untuk menangkal penyebaran hoax. Di dalam hoax sering pula ujaran
kebencian yang bila dibiarkan bisa menyebakan keributan di masyarakat. Untuk
mencegahnya maka Negara Indonesia mengatur hukum ujaran kebencian dalam UU
ITE dan KUHP pasal 310 ayat 1 yang menyatakan bahwa "(1) Barang siapa sengaja
menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu
hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena
pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."

Ancaman hukuman tersebut memang masih rendah. Akibatnya penyebar berita hoax
maupun ujuran kebencian hanya diminta mengakui kesalahan dan meminta maaf di
atas materai. Akibatnya hal semacam itu akan terus terulang. Oleh karena itu, perlu
dilakukan langkah-langkah lain untuk mengantisipasinya. Sebelum membahasnya
perlu terlebih dahulu diuraikan kenapa Pemilu selalu dipenuhi oleh hoax.

UNESCO mengklasifikasikan jenis berita palsu menjadi tiga kategori: disinformasi,


misinformasi, dan malinformasi. Disinformasi didefinisikan sebagai informasi palsu
yang dibuat untuk merugikan seseorang, kelompok sosial, organisasi atau negara
dengan cara yang disengaja. Sedangkan misinformasi diartikan sebagai informasi
palsu yang tidak dibuat dengan maksud yang merugikan. Kedua hal semacam itu
yang sering beredar saat berlangsung Pemilu.

Salah satu misinformasi dan disinformasi yang sering berhembus saat Pemilu
adalah masalah kecurangan. Hal ini sering dilakukan oleh kelompok yang merasa
kalah dalam penghitungan suara. Masalah kecurangan dihembuskan untuk
memantik amarah masa pendukung agar melakukan kekerasan demi menggagalkan
hasil Pemilu. Kejadian ini tidak hanya terjadi di negara seperti Indonesia, namun
juga terjadi di negara yang sudah maju proses demokrasinya seperti Amerika
Serikat. Ketika Biden Vs Trump beberapa tahun lalu, berita hoax tentang kecurangan
Pemilu disebarkan oleh kubu Trump. Akibatnya pendukungnya melakukan aksi-aksi
kekerasan dengan tujuan mendelegitimasi Pemilu.

Pemilu merupakan ajang penting untuk memperebutkan kekuasaan dari arena


demokrasi borjuis. Oleh karena itu, masing-masing kubu akan bertarung mati-matian
untuk memperebutkan kekuasaan. Tak mengherankan kalau segala cara ditempuh,
termasuk menyebarkan hoax. Inilah mengapa rakyat yang menjadi korbannya. Bisa
jadi bahwa setelah pertarungan kubu-kubu bergandengan-tangan, sementara rakyat
masih terus bertarung sehingga pembelahan terus terjadi. Seperti kisah cebong dan
kampret dan kadrun yang sampai saat ini masih ada dan terus dipelihara.

Gejala pembelahan sosial inilah yang harus diwaspadai. Masyarakat Indonesia


merupakan masyarakat yang multikultural. Sebuah masyarakat yang bermacam-
macam suku, ras, budaya, agama, bahasa. Dengan kondisi seperti itu akan
gampang dipecah belah baik dengan politik identitas maupun isu-isu lain. Di sinilah
diperlukan kewaspadaan agar keretakan tersebut tidak terjadi.

Kebijakan massa mengambang pada era Orde Baru menyebkan rakyat berjarak dari
politik. Rakyat hanya digunakan sebagai obyek politik. Tak mengherankan kalau
kesadaran politik menjadi rendah karena rakyat tidak pernah mendapatkan
pendidikan politik. Setelah reformasi kran politik dibuka. Semua saja bebas
berbicara politik namun tanpa disertai adanya pendidikan politik. Akibatnya
kebebasan tersebut dipakai salah satunya untuk menyebarkan hoax.

Berita bohong menyebar sampai kemana-mana bahkan sudah sampai keluarga. Tak
menggherankan kalau kita mendengar satu keluarga cekcok hanya gara-gara
perbedaan pilihan politik. Gejaga seperti ini apabila dibiarkan akan menyebabkan
disintegrasi bangsa Indonesia sebagaimana pernah terjadi di negara lain.

Lantas apa yang bisa dilakukan angkatan muda? Pertama, orang muda harus sadar
politik. Organisasi perjuangan seperti SPRI harus memberikan pendidikan politik
kepada para pemuda. Sekolah politik harus dibuka sampai kampung-kampung agar
meliliki jangkuan yang luas. Adanya pendidikan politik akan membantu membuka
kesadaran bahwa politik bertujuan untuk memberikan kesejahteraan. Oleh karena
itu, dalam menentukan pilihan politik dilandaskan pada program, bukan pada
permainan isu politik identitas. Bila kesadaran semecam ini muncul, maka akan
menghapuskan fanatisme berlebihan terhadap kelompok tertentu.

Kedua, meningkatkan kemampuan literasi dikalangan generasi muda. Hal ini bisa
dilakukan dengan mengadakan diskusi-diskusi tentang berbagai pokok persoalan. Di
sinilah pentingnya perpustakaan kampung. Sebuah perpustakaan yang tidak hanya
menyediakan buku semata, tetapi juga merupakan tempat untuk melakukan diskusi.
Jika kemampuan literasi generasi muda meningkat, maka tidak akan mudah
terkecoh oleh hoax. Kemampuan untuk melakukan pengecekan tentang kebenaran
sebuah berita akan meningkat pula.

Pada Pemilu mendatang jumlah pemilih muda sangat besar. Mereka inilah yang
akan dijadikan sasaran untuk mendulang suara. Kenyataan ini akan membuat
kemungkinan sebagai sasaran hoax sangat besar karena dianggap masih awam.
Oleh karena itu, dua hal tersebut harus dikerjakan agar generasi muda memiliki
tameng untuk menangkal hoax.

Ketiga, generasi muda harus dilibatkan dalam kampanye-kampanye anti hoax.


Sebagai generasi yang melek dengan gadget, mereka perlu dilibatkan untuk
melawan hoax. Kemampuan mereka dalam menggunakan media sosial sangat
penting dalam menyebarkan informasi anti hoax. Keterlibatan ini juga termasuk
memberikan edukasi kepada keluarga dalam menanggapi berita-berita hoax.

Sebuah Pemilu yang sehat adalah Pemilu yang bebas hoax. Ini merupakan
tantangan kita bersama. Masalah hoax bukan masalah sepele yang bisa
dikesampingkan begitu saja. Oleh karena itu kita perlu bergerak bersama untuk
mengatasinya. Mari bersatu melawan hoax.***

DIKA MOEHAMMAD, Sekretaris Nasional Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia


(SPRI)

Anda mungkin juga menyukai