Anda di halaman 1dari 6

Saring Sebelum Sharing, Melawan Hoax Di Tahun Politik

Teks: Tiarma L. Gaol, Esra Simamora dan Rosdina Hasibuan

Jelang tahun politik mendatang, gesekan antar-masyarakat mulai banyak terjadi karena
merebaknya berita palsu, fitnah atau yang biasa disebut hoaks. Tahun Politik yang dimaksud
ialah tahun diselenggarakannya pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif 2019. Merebaknya
hoaks di media sosial tentu semakin meningkat menjelang pemilihan Umum. Hal itu terlihat jelas
dengan begitu banyaknya informasi hoaks. Berita-berita hoaks yang menyesatkan beredar lewat
berbagai jalur digital, termasuk situs media online, blog, website, media sosial, email, dan
aplikasi pesan instan. Hal ini semakin menunjukkan pengaruh dan efek yang negatif bagi
persatuan dan kesatuan bangsa. Terlebih, berita palsu atau fitnah yang tersebar, sengaja
dimanfaatkan oleh Pihak-pihak tertentu demi kepentingan politik dan ekonomi yang bertujuan
menciptakan kerusakan dalam hidup bermasyarakat.

Bangsa Indonesia semakin melek terhadap perkembangan teknologi, hal ini


mempengaruhi peningkatan pengguna Internet. Meningkatnya perkembangan pengguna internet
di Indonesia ini memiliki dampak positif antara lain semakin meningkatnya pertumbuhan e-
commerce di Indonesia. Namun, di sisi lain pertumbuhan pengguna yang semakin meningkat ini
justru membuka peluang meningkatnya berita palsu, ujaran kebencian, radikalisme digital, dan
cyberbullying.Kini media social yang semestinya menjadi wadah berinteraksi dengan
menyebarkan konten-konten positif malah dimanfaatkan oleh pihak tak bertanggung jawab untuk
menyebarkan informasi yang mengandung konten negative. Kita tidak bisa menutup mata bahwa
ada sekian banyak media yang dibangun semata-mata untuk berburu uang sehingga semakin
diakses banyak orang semakin rusak dunia media. Tentu hal ini sangat membahayakan generasi
bangsa apabila terus-terusan di biarkan.

Beredarnya berita hoaks yang sudah menjadi konsumsi sehari-hari masyarakat, telah
dianggap sebagai informasi atau berita yang benar akibat minimnya pengetahuan masyarakat
dalam memilah-milah berita yang diterima.Salah satu penyebab cepatnya hoaks menyebar ialah
karena otak seseorang sudah terprogram untuk mencari berita-berita yang memuaskan diri
sendiri. Berita-berita yang lain malah dianggap hoaks. Misalkan seseorang yang tidak suka
dengan Salah satu pasangan Calon, entah mengapa dalam pemikiran seseorang tersebut hanya
mengharapkan berita-berita jelek tentang paslon tersebut yang tersebar di medsos. Terlepas dari
benar atau tidaknya berita tersebut seseorang yang sudah membenci paslon tersebut akan percaya
dan ikut menyebarkannya lagi.

Hoaks adalah usaha untuk menipu atau mengakali pembaca/pendengarnya untuk


mempercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut
adalah palsu. Salah satu contoh pemberitaan palsu yang paling umum adalah mengklaim sesuatu
barang atau kejadian dengan suatu sebutan yang berbeda dengan barang/kejadian sejatinya.
Suatu pemberitaan palsu berbeda dengan misalnya pertunjukan sulap; dalam pemberitaan palsu,
pendengar/penonton tidak sadar sedang dibohongi, sedangkan pada suatu pertunjukan sulap,
penonton justru mengharapkan supaya ditipu (Wikipedia, n.d.).

Berdasarkan riset Mastel (Masyarakat Telematika Indonesia) yang dikutip dari jurnal
Analisis Penyebaran Berita Hoax Di Indonesia (M. Ravii Marwan) dengan melibatkan 1.116
responden menunjukkan bahwa isu politik dan SARA merupakan hal yang paling sering
diangkat menjadi materi untuk konten hoax. Isu sensitif soal sosial, politik, lalusuku, agama, ras,
dan antar golongan, dimanfaatkan para penyebar hoax untukmemengaruhi opini publik,
sebanyak 91,8% responden mengaku paling seringmenerima konten hoax tentang sosial politik,
seperti pemilihan kepala daerah dan pemerintahan. Tidak beda jauh dengan sosial politik, isu
SARA berada di posisi keduadengan angka 88,6%. Bentuk konten hoaks yang paling banyak
diterima responden adalah teks sebanyak 62,1%, sementara sisanya dalam bentuk gambar
sebanyak 37,5%, dan video 0,4%. Sebanyak 92,4 responden menyatakan mendapatkan konten
hoax melalui media sosial, diantaranya Facebook, Twitter, Instagram, dan Path. Angka ini cukup
jauh jika dibandingkan dengan situs web (34,9%), televisi (8,7%), media cetak(5%), email
(3,1%), dan radio (1,2%).

Sementara dari penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan melibatkan 170 responden
masyarakat kota Medan didapat 59% sering menerima berita hoaks, 33 % pernah menerima
berita hoaks dan hanya 8 % yang belum pernah menerima berita hoaks seperti terlampir
dalam grafik berikut :
Analisis Data Penerima Hoaks

Sering
Pernah
Tidak Pernah

Adapun penyebab munculnya hoaks dilansir dari hasil Penelitian yang dilakukan oleh
Ruri Rosmalinda (2017) adalah karena beberapa factor diantaranya :

1. Kemudahan bagi masyarakat dalam memiliki alat komunikasi yang modern dan murah,
dalam hal ini adalah penggunaan smartphone sebagai media pencarian informasi
2. Masyarakat mudah terpengaruh oleh isu-isu yang belum jelas tanpamemverifikasi atau
mengkonfirmasi kebenaran informasi/berita tersebut,sehingga langsung melakukan tindakan
share informasi yang belu jelas kebenarannya.
3. Kurangnya minat membaca, sehingga ada kecenderungan membahas berita tidak
berdasarkan data akurat, hanya mengandalkan daya ingat atau sumber yang tidak jelas.

Hasil penelitian yang dilakukan Atik Astrini (2017) dalam jurnal Transformasi no.32
tahun 2017 “hoax dan Banalitas Kejahatan” mengemukakan bahwa penyebaran hoax dimedia
social dan media online tidaklah terjadi begitu saja tanpa kepentingan yang melatarbelakanginya.
Ada kepentingan dibaliknya baik politik kekuasaan, ekonomi (industry dan bisnis hoax),
ideologis, sentiment pribadi dan iseng.

Pemerintah sendiri sudah berupaya untuk mengurangi penyebaran hoaks dengan cara
menyusun undang-undang yang didalamnya mengandung sanksi bagi penyebar hoaks, hal ini
sesuai dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik
pada pasal 28, (1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. (2) Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan
rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan
atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Selanjutnya terdapat dalam Undang-undang
Nomor 1 tahun 1946 Tentang peraturan Hukum pidana pada pasal 14, (1) Barangsiapa, dengan
menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran
dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun. (2)
Barangsiapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat
menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan la patut dapat menyangka bahwa berita atau
pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun. Lalu
pada pasal 15 yang menyatakan “Barangsiapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang
berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat
menduga bahwa kabar demikian akan atau sudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat,
dihukum dengan hukuman penjara setinggi, tingginya dua tahun”.

Agar tidak mudah terjebak berita hoaks, ada baiknya masyarakat memperhatikan ciri-ciri
berita hoaks diantaranaya :

1. Hoaks berisi tulisan ataupun informasi yang tidak memiliki Sumber dan
narasumber yang jelas, medianya tidak terverifikasi.
2. Hoaks berisikan Informasi yang menyudutkan salah satu pihak
3. Hoaks berisikan berita yang berusaha memprovokatif pembacanya
4. Hoaks berisikan berita yang seakan-akan menyembunyikan data dan fakta.

Hal ini disampaikan oleh Hermansyah Selaku Ketua Persatuan Wartawan Indonesia, Sumatera
Utara saat diwawancarai oleh Kru Pers Kreatif Unimed yang merupakan penulis.

Sejalan dengan maraknya berita Hoaks yang tersebar di beragam media, masyarakat
dituntut untuk harus lebih cermat dalam menyaring suatu Informasi dan tidak dengan gamblang
men-Sharing suatu berita. Masyarakat dituntut untuk kritis dan selalu mengecek ulang apakah
informasi-informasi yang diterima benar adanya. Begitu pula dengan Wartawan maupun
Jurnalis. Pembuat berita harus memikirkan efek dari pesan yang hendak di sampaikan, Wartawan
maupun jurnalis harus lebih literate dari masyarakat.

“Media cetak biasanya kemungkinan menyebarkan berita bohong karena terdapat hak jawab bagi
si korban hoax. Maka peluang besar penyebaran Hoaks ialah melalui media online, dimana
selain tidak ada hak jawab media online juga dibuat tanpa adanya data yang jelas dan
narasumber yang jelas, oleh sebab itu untuk masyarakat yang menerima berita dari Situs Online
diharapkan untuk tidak terlalu mudah percaya dan ikut menyebarkan berita yang belum jelas
kebenarannya” Ujar Ketua Persatuan Wartawan Indonesia, Sumatera Utara.

Hal ini sejalan dengan Tips yang diungkapkan Hermansyah dalam melawan Hoaks di
Tahun politik, diantaranya:

1. check dan re-check berita yang diterima. Membandingkan berita yang diterima dari
satu sumber dengan sumber yang lain. Untuk mencegah diri sendiri menjadi penyebar
hoaks, hilangkanlah kebiasaan membagikan konten tanpa membaca isinya secara
menyeluruh dan Jangan langsung ikut menyebarkan tanpa tahu kepastian kebenaran
berita. Saat ini sudah tersedia Google yang banyak membantu mencari tahu segala
macam informasi. Selanjutnya berita hoaks bisa muncul tiap saat, tetapi Masyarakat
mampu menghindari jebakannya dengan berhati-hati dalam melihat sebuah situs,
minimal dengan mencari referensi dari situs lainnya. Ada baiknya masyarakat
menaruh rasa curiga terhadap segala berita yang menghampiri sehingga rasa ingin
tahu untuk mengulik berita tersebut akan selalu ada.
2. Memahami kode etik jurnalistik. Ketika menerima hoaks Kode Etik dapat menjadi
panduan atau pedoman bagi Wartawan maupun Jurnalis ketika menghadapi sejumlah
berita yang membingungkan dan terkait dengan konflik kepentingan.
3. Ikut sosialisasi anti Hoaks. Dengan ikut serta dalam sosialisasi anti Hoaks, seseorang
dapat memperkaya ilmu dan pengetahuan dalam membedakan mana berita yang
Hoaks dan bukan hoaks.
“Pemerintah perlu memperkuat regulasi, khususnya Undang-Undang tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (ITE). Semakin berkembangnya teknologi maka regulasi pun harus
terus di sesuaikan” Ujar Hermansyah.

Sebagai masyrarakat kita juga harus lebih bijak dan lebih selektif dalam menerima berita
maupun informasi terutama menjelang tahun politik. Agar kita tidak mudah tersulut dan
menyebabkan perpecahan karena informasi yang salah. Apalagi ketika kita hendak men share
informasi, pastikan terlebih dahulu kita saring. Jadilah netizen bijak, saring sebelum sharing.

Anda mungkin juga menyukai