Pendahuluan
Dewasa ini masalah hak asasi manusia menjadi isu yang hangat dibicarakan di
hampir semua belahan dunia. Sebenarnya sudah dari zaman dulu masalah hak
asasi dikenal di banyak kawasan di dunia, tetapi yang paling banyak sumber
tertulisya sehingga dengan demikian lebih terkenal ialah negara-negara Barat.
Meskipun banyak di negara lain, termasuk negara-negara dunia ketiga, kebudayaan
setempat telah mengenal hak-hak terterntu warganya, sekali pun tidak begitu
eksplisit dirumuskan seperti di Barat. Dengan demikian konsepsi negara-negara
Barat dari semula telah mendominasi pemikiran negara-negara yang tergabung
dalam PBB yang seusai Perang Dunia II, telah merumuskan suatu dokumen yang
dapat diterima secara universal. Hal tersebut dewasa ini masih berlangsung, sekali
pun dunia sudah banyak berubah dan proses globalisasi telah menyentuh hampir
semua aspek kehidupan manusia.
Deklarasi HAM yang dicetuskan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10
Desember 1948 mengandung makna ganda, baik ke luar (antar negara-bangsa)
maupun ke dalam (intra negara-bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan
pemerintahan di negaranya masing-masing (Rudy, 2003, hal. 46). Makna ke luar
adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat
dan martabat kemanusiaan antar negara-bangsa, agar terhindar dan tidak
terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai
kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa
deklarasi HAM sedunia itu harus senantiasa menjadi kriteria objektif oleh rakyat dari
masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintahnya. Pelanggaran HAM (Violence of Human Rights) bukan yang
dilakukan dalam rangka pemeliharaan ketertiban, tetapi penculikan, penyanderaan,
penyiksaan, larangan beribadah, dan sebagainya.
Era kontemporer sekarang ini sebagai akibat dari proses globalisasi yang
sedang “terjadi di hampir semua bidang”, kita membedakan tiga generasi hak asasi
manusia (Rudy, 2003). Generasi pertama adalah hak-hak politik dan sipil, yang
1
sudah lama dikenal dan selalu diasosiasikan dengan pemikiran di negara-negara
Barat. Generasi kedua adalah hak ekonomi dan sosial yang gigih diperjuangkan oleh
negara-negara sosialis di PBB, dengan dukungan negara-negara dunia ketiga.
Terakhir, generasi ketiga adalah hak atas perdamaian dan pembangunan
(development), yaitu pemikiran bahwa hak asasi harus dilihat dalam konteks
kebudayaan masing-masing negara, karena hal ini dapat menyebabkan perbedaan
dalam pelaksanaan hak asasi manusia itu.
Di era globalisasi neoliberal sekarang ini, periode Westphalia berada dalam
persimpangan jalan. Tantangan terbesar dari negara-negara dan pemerintahan-
pemeritntahan nasional tampaknya tidak lagi apakah mereka melakukan represi
ataukah tidak. Negara-negara, seperti Singapura, Malaysia, China, dan beberapa
yang lain memang masih melakukan represi politik meskipun tidak sampai pada
pelanggaran HAM dalam skala besar yang bersifat serius. Selain itu, di banyak
negara, diskriminasi masih sering terjadi. Bahkan, di negara-negara Eropa sekalipun
yang mana isu HAM berawal dan diperdebatkan. Di negara-negara AS, Perancis,
Inggris, dan juga Jerman masih diliputi prasangka etnis yang merisaukan.
Sayangnya, di banyak negara maju dan demokratis, pemerintahan nasional tidak
lagi mempunyai kemampuan yang memadai untuk mendorong perlindungan dan
penghormatan HAM karena peran mereka yang semakin tergerus oleh pasar global.
Dalam konteks inilah, persoalan HAM dewasa ini menjadi semakin kompleks dan
penting. Privatisasi air bersih, misalnya, telah menyulitkan penduduk miskin untuk
mendapatkan layanan air bersih, dan jelas hal ini bermasalah ditinjau dari segi HAM.
Fakta paling mencolok terjadi dalam dunia pendidikan. Privatisasi di sektor ini telah
membuat hanya orang-orang kaya mengenyam pendidikan tinggi berkualitas.
Masyarakat miskin menikmati pendidikan seadanya, dan kadang malah tidak
mendapatkan. Pelanggaran HAM bidang sosial budaya pun tak bisa dielakkan.
Revolusi komunikasi dan peran media massa juga membuat pelanggaran HAM,
bahkan yang terjadi di wilayah terpencil sekali pun, tidak dapat ditutup-tutupi.
Selama ini, meningkatnya jumlah dan pengaruh organisasi-organisasi non-
pemerintah yang bergerak secara transnasional menjadi salah satu penyebab
kemunculan HAM sebagai isu global. Selain itu, keberadaan mereka juga menjadi
faktor penting dalam meningkatkan dan mempertahankan keberadaan HAM. Mereka
yang menentang pelanggaran-pelanggaran HAM itu akan memasukkan isu tersebut
ke dalam forum-forum internasional atau ke dalam opini masyarakat internasional.
2
Kontribusi globalisasi dan penegakan HAM tampaknya berada dalam dua
sudut yang saling berseberangan. Pada satu sisi, globalisasi mempromosikan
banyak usaha-usaha demokratisasi dalam skala luas. Di banyak negara, reformasi
terjadi karena keterbukaan informasi yang mereka dapatkan dari internet. Melalui
teknologi informasi juga masyarakat di belahan dunia manapun bisa saling
berhubungan, bertukar informasi, dan juga membangun apa yang sering disebut
sebagai “solidaritas dunia maya”. Dalam konteks semacam ini, teknologi informasi
mampu mempromosikan demokratisasi politik dan sosial dalam skala luas. Dengan
kata lain, globalisasi mempromosikan HAM, terutama di bidang kebebasan sipil,
gender, dan juga perlindungan terhadap anak-anak. Meskipun demikian, globalisasi
juga mempunyai sisi buruk yang bisa menjadi ancaman kapan saja bagi usaha-
usaha menegakkan HAM.
Penutup
Di samping beragamnya ancaman bagi HAM yang secara nyata di depan mata,
juga terhampar beberapa harapan akan terjaminnya penrapan HAM. Pertama, HAM
telah menjadi topik utama dalam agenda politik global. Kedua, meskipun sistem
negara-negara masih merupakan bentuk dominan organisasi politik dewasa ini, tidak
satu pun pemerintah yang berani menyatakan bahwa persoalan HAM tidak sah
untuk dibicarakan secara internasional. Ketiga, sebagai akibat dari kecenderungan
tadi, negara-negara telah menunjukkan kemauan politik untuk paling tidak
melaporkan tindakan-tindakan yang mereka jalankan menyangkut pelaksanaan dan
perlindungan HAM kepada badan-badan internasional. Keempat, kedinamisan yang
terlihat dalam vialitas lembaga-lembaga internasional, salah satunya Komisi HAM
PBB plus badan-badan di bawahnya telah membuktikan peningkatan potensi
mereka. Kelima, vitalitas yang telah diperlihatkan oleh sistem HAM Eropa dan Inter-
Amerika dan prospek perkembangan mekanisme serupa di bagian yang lain
(Mochtar Mas’oed dalam Isu-Isu Global Masa Kini). Maka dari kelima hal ini dapat
kita lihat bahwa dari tantangan-tantangan yang dihadapi terkait HAM sebagai proses
globalisasi, negara sebagai aktor dan aktor non-negara lainnya dalam hal ini
sebagaimasih memungkinkan adanya tingkat kesadaran akan pentingnya
memperoleh dan melindungi hak-hak masyarakat sipil.
Referensi
Barr, M. (2000). Lee Kuan Yew and the 'Asia Values' Debate. Asian Studies Review
, 310-311.
Brown, C. (2001). Human Rights. In J. Baylis, & S. Smith, The Globalization of World
Politics: An Introduction to International Relations (pp. 610-611). Oxford: Oxford
University Press.
8
Donnelly, J. (2007). The Relative Universality of Human Rights. Human Rights
Quarterly (29), 294.
Feyter. (2005). Human Rights: Social Justice in the Age of the Market. London: Zed
Books.
Keohane, R. O., & Nye, J. S. (1977). Power and Interdepedence: World Politics in
Transition. Boston: Little, Brown, and Company (Inc.).
Langlois, A. J. (2002). Human Rights: The Globalization and Fragmentation of Moral
Discourse. Review of International Studies , 28 (3), 485.
Mas'oed, M., & Arfani, R. N. Isu-Isu Global Masa Kini. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada.
Ohmae, K. (1995). The End of Nation State. (p. 3). Jakarta: The 1995 Panglaykim
Memorial Lecture.
Priyono, H. (2004). Marginalisasi ala Neoliberal. Basis , 18.
Rudy, T. M. (2003). Hubungan Internasional Kontemporer dan Masalah-Masalah
Global. Bandung: PT Refika Aditama.
Winarno, B. (2014). Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta: CAPS.
_______. (2009). Pertarungan Negara vs Pasar. Yogyakarta: Media Pressindo.