B.Kejahatan Sebagai Bagian Dari Dampak Teknologi.................... 13
C.Globalisasi Kejahatan: Tantangan Bagi Indonesia...................... 23
BAB I Globalisasi Teknologi & Globalisasi Kejahatan Pernyataan tersebut sebagai deskripsi tentang salah satu sisi kebiadaban kejahatan perang (war crime) yang terjadi di Afrika dan belahan bumi lain, yang mengakibatkan derita kemanusiaan yang luar biasa bernama “kelaparan”, yang di era global sekarang ini tidak sulit untuk jadi konsumsi pemberitaan bangsa-bangsa lain di muka bumi akibat teknologi informasi dan komunikasi. Suatu bangsa yang hidup di satu pojok dunia akan bisa menyaksikan (bisa jadi sambil memakan roti dan kentang goreng) kondisi kehidupa bangsa lain yang sedang dilanda derita akibat konflik bersenjataan. Tiga negara atau kawasan negara yang kini merasa paling berkuasa adalah AS, Eropa, dan Israel. Mereka telah mengglobalkan kepentingannya melalui sejarah kolonialisme, imperialisme dan zionisme. Mereka mendirikan pangkalan-pangkalan militr di seluruh dunia, menguasai pasar global dengan membentuk perusahaan trans-nasional, mereka memiliki pesawat dan stasiun ruang angkasa, memiliki satelit yang berseliweran mengorbit bumi, dan memilik lembaga-lembaga riset dan proyek pengembangan di berbagai universitas dan lembaga pendidikan tinggi, semua ini merupakan bagian kegiatan yang bersinergi untuk mewujudkan tujuan globalisasi (A. Nawawi Rambe, 2004). Negara-negara besar yang memiliki satelit yang berseliweran mengorbit bumi telah berhasil memposisikan dirinya sebagai pelaku pasar global yang bukan hanya berkuasa, tetapi sudah pada tingkat menghegemoni. Bangsa-bangsa lain diseret masuk dalam perangkap pesonanya untuk menjadi konsumen, sekurang-kurangnya menjadi mitra bisnis, yang tentu saja kemudian bersedia menjadi penjual-penjual murahan dan makelar-makelarnya. Bangsa-bangsa lain yang berposisi konsumen berada dalam kondisi kesulitan moral, karena secara terus menerus dijadikan sasaran transaksi global, yang tentu saja tidak sedikit diantaranya yang berlawanan dengan nilai-nilai agama, susila, dan hukum. Pelaku pasar global, yang menguasai jaringan komunikasi seolah tampil sebagai “tuhan-tuhan” yang tidak terbantahkan. Terbukti, kita dengan santai bisa menonton televisi yang menayangkan berbagai corak neo- kanibalisme sebagian bangsa-bangsa lain yang dengan congkak dan kejinya mengobarkan perang. Kita juga bisa menikmati tayangan kekerasan yang secara terus menerus dijadikan santapan atau hidangan anak-anak yang masih dibawah umur. Kita pun bisa dengan mudah mengakses melalui internet, yang merupakan media istimewa globalisasi, tentang berbagai model penelanjangan moral lewat pose-pose nudis dan adegan seks berjenis promiskuitas (berganti-ganti pasangan dalam berhubungan biologis) dan berjenis zoofilia (hubungan seks antara manusia dengan binatang). Melalui globalisasi informasi yang benar-benar sudah memasuki rumah, sekolah, dan institusi agama, kita diseret menjadi pengakses dan penikmat berbagai bentuk informasi revolusi kultural di negara-negara atau bangsa-bangsa lain di muka bumi. Kita terus menerus diberi hidangan bernama “menu perubahan” yang mengarahkan kepada kita agar menjadi manusia lain; corak manusia yang sesuai dengan target-target dari “rezim” globalisasi. Kita dibuat oleh kekuatan globalisasi, terlebih yang mengkultuskan pola hedonistik- sekuleristik untuk menjadi manusia-manusia dan pelaku-pelaku sejarah yang mempunyai dan akrab terhadap imunitas dosa, pelanggaran moral dan nilai-nilai agama. Kita diseret oleh mereka agar dapat memandang dan menyikapi perubahan dunia dengan rasionalisme semata. Bahwa hubungan antara integrasi ke dalam perekonomian global dan peperangan itu umumnya tidak dimengerti karena globalisasi masa kini, sementara melanjutkan proyek kolonial abad ke-19, mewujudkan dirinya terutama sbagai program ekonimi. Senjata yang pertama dan yang paling tampak adalah program penyesuaian struktural, liberalisasi perdagangan, swastanisasi, hak pemilikan intelktual, serta semua kebijakan yang menyebabkan terjadinya pemindahan kekayaan besar-besaran dari Dunia Ketiga ke negara-negara metropolis (negara-negara industri maju). Proses ini tidak memerlukan penaklukan wilayah, dan karena itu dilihat berlangsung dengan cara-cara yang damai. Intervensi militer juga berubah bentuk, seringkali tampil di balik kedok niat baik bermurah hati, seperti “bantuan makanan” dan “bantuan kemanusiaan,” atau di Amerika latin, perang terhadap narkotika. Alasan lebih lanjut mengapa perkawinan antara perang dan globalisasi-yakni imperalisme dalam bentuknya yang mutakhir-kurang terlihat adalah karena kebanyakan “perang globalisasi” baru tersebut terjadi di benua Afrika, yang sejarah masa kininya didistorsi secara sistematis oleh media. Krisis yang terjadi belakangan ini dianggap sebagai akibat “keterbelakangan,” “ tribalisme”, dan ketidakmampuan bangsa-bangsa Afrika untuk membangun lembaga-lembaga yang demokratis (Silvia Federici, 1999). Paparan tersebut sudah mengingatkan tentang kekuatan media sebagai penentu utama perubahan kehidupan manusia dan bangsa-bangsa manapun di muka bumi. Lewat media yang menjadi media global, manusia bukan hanya akan menjadi pembelajar sejarah, tetapi juga mejadi pelaku sejarah. Persoalannya, sejarah diukir oleh manusia. Kekuatan media telah kita akui sebagai kekuatan fundamental yang bisa merubah dan menggerakkan mesin-mesin dalam kehidupan manusia, masyarakat, dan negara.
A.Perkembangan Kejahatan di Era Globalisasi
1.Globalisasi Melahirkan “Rumah Baru” Apa yang sekarang disebut sebagai “globalisasi” pada dasarnya bermula dari awal abad ke 20, yakni pada saat revolusi transportasi dan elektronika mulai memperluas dan mempercepat perdagangan antara bangsa. Di samping pertambahan dan kecepatan lalu lintas barang dan jasa, berkembang pula secara cepat globalisasi gagasan modern seperti negara, konstitusi, nasionalisme, kapitalisme, demokrasi, Sekularisme, Juga industri dan perusahaan media mass (Tholcan Hasan, 2000). Sebut miasalnya perusahaan multimedia sekarang ini, meraka sedang terlibat kompetisi memperebutkan pasar global. Mereka bersaing untuk menguasai dunia informasi, yang kemudian di jual ke pasar internasional. Bangsa-bangsa lain yang belum banyak mengenal informasi baru kemudian terlibat persaingan untuk membeli atau mengaksesnya dengan harga yang mahal, baik harga dengan pengertian ekonomi maupun “harga” moral, ideologi, dan agama. Sebagai fenomena baru, globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali cuman definisi kerja (Working Definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah atau yang akan membawa seluruh bangsa dan nrgara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan koeksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat(A. Nawawi Rambe,2004). Memang sejarah telah mengukir potret kehidupan manusia dan bangsa-bangsa lain di muka bumi dengan sangat mudah. Mengecilnya dan bahkan hilangnya batas-batas wilayah sama artinya dengan membuka dan memperluas kran terjadinya komunikasi atau dialog global. Sekat-sekat yang membedakan antara satu bangsa dengan bangsa lain telah digeser oleh pola lintas komunikasi global. Manusia dan bangsa-bangsa di muka bumi ini telah dibangunkan “rumah baru” oleh kemajuan teknologi informasi. “Rumah baru” yang dibangun melalui keunggulan teknologi satelit telah menjadi konstruksi yang berisi multi pluralitas bangsa-bangsa di muka bumi. Kita bisa berkenalan dan mengadakan komunikasi dengan gampang. Kita bisa mengakses model dan bangunan rumah tangga dari suatu bangsa lain. Kita pun dapat dengan mudah dijadikan sebagai bahan lelucon oleh bangsa-bangsa lain, karena mereka tahu tentang diri kita dan bahkan bukan tidak mungkin lebih tahu di bandingkan kita sendiri. Saat ini dunia tengah mengsksmi perubahan paradigmatik. Kita saksikan sendiri, apa yang terjadi dalam suatu negara bisa membawa pengaruh, minimal beritanya mejalar ke seluruh penjuru dunia dalam waktu sekejap. Tidak berlebihan agaknya jika dikatakan bahwa kita tengah memasuki gerbang rumah masa depan, sebuah “rumah global” yang berpenghuni semua bangsa dengan aneka budaya (Marwah Daud Ibrahim, 1994). Tarmidzi Thaher juga mengatakan, ketika sistem informasi dibantu dengan satelit, maka planet bumi seakan menjadi kecil. Barangkai hampir seluruh sudut bumi ini, bahkan perut bumi, dapat di potret oleh manusia dan dalam waktu yang bersamaan gambar dan berbagai penjelasan detailnya bisa disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia (Imaduddin Abdurrahim, 1997). Di sis lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang di usung oleh negara (negara-negara) adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti halnya budaya dan agama (A. Nawawi Rambe, 2004).
2.Informasi Sebagai Komoditi
Informasi merupakan inti globalisasi, khususnya bagi negara-negara yang berambisi membangun dan mewujudkan perubahan. Disebutkan Sardar (1989), bahwa sebagaimana negara-negara dewasa ini yang berupaya mengendalikan sumber-sumber daya dan harga-harga komiditi, maka di dalam waktu yang tidak terlalu lama, informasi, sebagai suatu komoditi yang sangat diperlukan oleh kekuatan produktif, akan menjadi penentu daya saing di seluruh dunia untuk meraih kekuasaan. Menurut Rambe (2004) secara teoritis, globalisasi bertujuan menciptakan interdependensi ekonomi antar negara di seluruh dunia, melalui peningkatan volume dan transaksi perdagangan lintas negara serta arus modal internasional. Namun ada yang memandang realitas globalisasi dengan sikap kurang optimistik-untuk tidak di katakan pessimistik. Globalisasi cenderung pada pemutasan kapitalisme di antara beberapa negara kaya sehingga memperlebar jarak antara apa yang di sebut ‘negara-negara plasma’ dan ‘negara-negara inti’. Aspek negatif lainnya adalah peningkatan ekspor negara-negara inti dan peningkatan konsumerisme dan impor negara-negara lemah. Aspek penting lainnya dari globalisasi menyangkut masalah budaya. Dengan makin meningkatnya perkembangan teknologi informasi yang menembus batas-batas geografis negara, diharapkan bangsa-bangsa akan menjadi lebih manyatu dalam menyikapi kehadiran dunia baru dan mendorong mereka mengidentifikasi diri dengan cara-cara baru. Globalisasi ekonomi juga menekankan kesejahteraan ekonomi, perdagangan bebas, dan keuntungan lebih besar bagi setiap bangsa. Banyak yang menilai ini sebagai penekanan yang lebih besar pada sisi duniawi dan mengabaikan sisi ukhrawi, sedangkan agama menginginkan di samping kebahagiaan duniawi juga kebahagiaan ukhrawi (A. Nawawi Rambe, 2004). Globalisasi sebagai suau proses yang ada akhirnya akan membawa seluruh penduduk planet bumi menjadi suatu “world society”. Selanjutnya “global society” harus di pandang dan dipahami sebagai proses yang wajar yang tidak terhindarkan yang di akibatkan oleh semakin majunya perbedaan manusia dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), khususnya teknologi komunikasi dan informasi. Sebab, bagaimana pun “global soci-ety” yang oleh Miriam L. Campanella dalam Transition to e global society di artikan “an idealistic cosmopolitan and universal society that includes all the pehaple, living on earth, without regard to curtural and ethical beliefes” lambat maupun cepat akhirnya akan menjadi kenyataan (Tarmidzi Taher dalam Nurcholis Majid, 1996). Globalisasi telah di deskripsikan sebagai masyarakat desa dunia (a global village), yang karakteristiknya tentulah gampang saling mengetahui dan mengenal di antara satu denga lainnya. Hidup layknya di desa, seseorang yang berada di pojok desa selatan sulit untuk tidak mengenal seseorang lainnya di pojok utara. Hal ini didsari oleh mudahnya informasi dan komunikasi yang bisa di serap dan dilakukan oleh masing-masing orang. Begitu pula warga bangsa di belahan bumi paling utara misalnya tidak akan kesulitan untuk mengenal corak budaya kehidupan warga bangsa di belahan bumi paling selatan. Mudahnya warga bangsa saling mengenal ini adalah akibat globalisasi informasi yang bisa di perolehnya. Jhon Naisbitt & P. Aburdene, penulis buku Megatrens 2000 yang terkenal itu, mengemukakan dalam salah satu bagian bukunya tentang gaya Hidup Global, antara lain: “Dewasa ini, berkat ekonomi dunia yang berkembang dengan pesat, telekomunikasi global, dan transportasi yang berkembang, pertukaran di antara Eropa, Amerika Utara da tepi Pasifik Tengah berlangsung langkah yang tidak ada bandingannya. Di pusat-pusat kota dunia yang tenga berkembang tanda-tanda kultur kaum muda internasional terhadap hampir dimana-mana dunia menjadi semakin kosmopolitan, dan kita semua saling mempengaruhi satu sama lainnya. Pada dua dasawarsa ini, arus globalisasi itu bergerak begitu cepat, besar, kuat dan sering kali radikal. Ia datang menembus batas kedaulatan nasional setiap negara, baik itu di alami oleh negara- negara maju da lebih-lebih lagi terhadap negara-negara berkembang. Negara-negara itu semakin terkait satu sama lainnya dalam pintalan ekonomis, teknologis, dan juga politis. Dari sana dapat dirasakan bagaimana distribusi dari human capital dan juga sumber-sumber teknologi serta informasi bergerak dan berpindah-pindah secara lebih deras dan lancar dari suatu negara ke negara lainnya, atau dari satu wilayah ke wilayah lain (Tholbah Hasan, 2000). Gambaran aktual dari fenomena globalisasi ini dapat kita amati dari apa yang pernah terjadi di Uni Soviet. Kudeta yang gagal terhadap Gorbachev telah mempengaruhi pasar modal dan harga minyak seluruh Dunia, telah menggerakan pusat-pusat studi politik dan ekonomi untuk mengkaji kembali thesis-thesis yang selama ini di pakai, telah menggerakan semangat ethni untuk ikut muncul dalam percaturan politik global (kasus negara-negara Baltik, Armenia, kelompok-kelompok ethnis Yugoslavia), juga pemisahan-pemisahan diri masyarakat-masyarakat muslim di Turkistan, Azerbeijen dan lain-lain. Peristiwa politik yang terjadi di indonesia dapat kita jadikan sebagai objek diskusi sambil mata kita tetap lurus kedepan melihat tayangan anak-anak dan perempuan irak di jadikan sasaran mortil atau rudal oleh kekuatan sekutu. Kita bisa saja disodori pemberitaan tentang berbagai sisi kehidupan antara bangsa yang bercorak paradokasal, termasuk kehidupan kita yang di satu sisi ada komunitas yang berusaha menegakan ajaran kebenaran dan keadilan, sementar di sisi lain ada sekelompok orang yang giat melakukan tindakan kejahatan. Globalisasi teknologi elektronika,dan informasi komputer telah mempersempit wilayah dunia dan memperpendek jarak komunikasi, di samping memperpadat mobilisasi orang dan barang. Jika sekarang ini di perkirakan 1 miliar penumpang pesawat terbang melewati rute penerbangan dunia setiap tahun, maka menjelang tahun 2000 diperkirakn menjadi 2 miliar penumpang. Setiap hari 3 juta orang terbang dari satu tempat ke tempat lain di pelanet ini. Di sisi lain lagi, selama 24 jam dunia dihubungkan oleh jaringan satelit, setiap detik kita dapat melihat dan mendengar pristiwa yang terjadi di dunia melalui radio dan TV berkat kecanggihan antena parabolanya. Dunia menjadi transparan. Pidato tokoh dunia di pusat gedung PBB dapat di ikuti petani di sebuah desa dalam waktu yang sama, demikian pula khutbah seorang Imam Masjid dan Iran dapat di dengar oleh eksekutip di London, peragan pakaian di paris dapat di nikmati ibu rumah tangga di Jedah atau di Hongkong (Tholhah Hasan, 2000). Dampak globalisasi dunia memang sedang berjalan dimana kita tidak tahu apa akibat yang lebih mengenaskan nasib manusia dalam kebudayaan modern. Jika negara-negara besar pencetak teknologi canggih telah membuka jalan bagi proses globalisasi dunia tampak tidak siap menghadapi arus balik proses globalisasi yang di ciptakannya sendiri, lalu bagaimana negara-negara dan bangsa- bangsa berperan sebagai konsumen? Apakah mereka bernasib lebih baik atau kah lebih buruk, belum ada kajian tuntas dalam hal ini. Yang jelas dampak negatif arus balik globalisasi tersebut juga dirasakan oleh bangsa-bangsa dunia ke tiga, termasuk di dalamnya negara-negara berpenduduk mayoritas muslim (Amin Abdullah,1997). Namun ada hal yang menarik, bahwa di tengah berkembangannya globalisasi ekonomi, teknologi dan politik tersebut, timbul fenomena nasionalisme kultural, seperti istilah yang di pakai John Naisbitt. Dikatakannya, walau pun gaya hidup kita tumbuh semakin sama, namun terhadap tanda-tanda yang tidak mungkin salah dari munculnya “Contertrend” yang kuat suatu hasrat untuk menegaskan keunikan kultur dan bahasa seseorang, dan penolakan terhadap pengaruh asing(Tholhah Hasan, 2000). 3.Kejahatan Sebagai “Harga” Globalisasi Jelas sekali bahwa globalisasi membawa dua akibat atau makna. Pada satu sisi melahirkan “dunia tanpa batas”, menimbulkan keunggulan kompetitif, dimana faktor-faktor lintas benua seperti teknologi, pendidikan, manajemen, di samping modal semakin menampilkan peranannya, sementara di sisi lain globalisasi membangkitkan reaksi baik atau countertrend seperti nasionalisme, gerakan kebangkitan kesukuan, atau kedaerahan, karena interaksi dengan budaya global memberi dampak budaya secara luas dengan akibat untung rugi (Tholihah Hasan, 2000). Barang kali itulah yang pernah diramalkan oleh Alvin Toffler (1984), bahwa peradaban baru tengah muncul di tengah-tengah kehidupan kita dan membawa serta gaya keluarga baru, perubahan cara kerja, cara bercinta dan cara hidup, ekonomi baru, konflik politik baru dan di atas segalanya membawa perubahan kesadaran baru. Fajar peradaban baru ini adalah kenyataan yang paling gagap gempita dalam zaman kita sekarang. Abad informasi (nama lain dari globalisasi), sama sekali bukanlah rahmat. Bagi masyarakat barat saja, ia telah menghasilkan sejumlah besar problem, yang pemecahan terhadapnya terbukti tumpul. Bagi dunia muslim, revolusi informasi menghadirkan tantangan-tantangan khusus yang harus di atasi demi kelangsungan hidup fisik maupun budaya umat (Ziauddin Sardar, 1989). Bagi negara-negara berkembang, khususnya seperti indonesia, menghadapi globalisasi demikian ini, persoalannya bukan lagi menerima atau menolak kehadirannya, tetapi memanfaatkannya secara positif demi maksimalisasi keuntungan dan mengurangi ekses negatifnya demi minimalisasi kerugian. Lebih khusus lagi bagi umat islam di indonesia sebagai mayoritas, masalah globalisasi ekonomi, teknologi, politik, sosial, dan budaya merupakan tantangan( challenge), dan tantangan tersebut membutuhkan jawaban ( response ) yang tepat, kritis, dan penuh kearifan ( Tholha Hasan, 2000). Tantangan yang tersedia di "rezim" global tersebut tentu saja pola-pola kehidupan bangsa lain, khususnya perkembangan pola hidup, kondisi ekonomi, ideologi, dan cara bereaksi sosial, yang sangat niscaya di antar bangunan pola hidupnya ini, tersedia "ranjau" yang meniscayakan bangsa- bangsa lain terjebak menjadi korbannya. Bangsa-bangsa lain bukannya menghindari dari "ranjau", melainkan memilih masuk dalam jebakan dengan dalih sebagai eksperimen gaya hidup dan resiko hidup di era globalisasi. Di sisi lain, pesan kepentingan yang di pertarungkan, dipertaruhkan, dan di perebutkan oleh kapitalis-kapitalis global telah menempatkan bangsa-bangsa yang kelasnya sedang berkembang, apalagi terbelakang, sebagai objeknya atau konsumen pasifnya. Di antara pelaku kapitalis, yang di dasari oleh ideologi kepentingan mengamankan dan mengembang-biakkan modalnya, mereka pun tidak segan-segan menempuh cara-cara yang berlawanan dengan moral, di samping berani mengorbankan kepentingan hak-hak asasi manusia. Sementara negara yang berposisi sebagai sasaran tembak globalisasi juga terjerumus jadi parasit yang mengikuti gaya kriminalitas kapitalis- kapitalis global. Di sebutkan oleh mansour faqih, bahwa globalisasi yang tengah melanda kini saat ini membuat negara yang dalam "kontra sosialnya" menetapkan sebagai pelindung hak asasi warga negara, tidak lagi sanggup melaksanakan tugas akibat dari kesepakatan internasional yang di tetapkan oleh rezim pasar bebas globalisasi saat ini ( Eko Prasyetyo, 2000). Dampak globalisasi dunia memang sedang berjalan dimana kita tidak tahu apa akibat yang lebih mengenaskan nasib manusia dalam kebudayaan modern. Jika negara-negara besar pencetak teknologi canggih telah membuka jalan bagi proses globalisasi dunia tampak tidak siap menghadapi arus balik proses globalisasi yang diciptakannya sendiri, lalu bagaimana negara-negara dang bangsa- bangsa berperan sebagai konsumen? Apakah mereka bernasib baik ataukah lebih buruk, belum ada kajian tuntas dalam hal ini. Yang jelas dampak negatif arus balik globalisasi tersebut juga dirasakan oleh negara-negara dunia ketiga, termasuk didalamnya negara-negara berpenduduk mayoritas muslim (Amin Abdullah, 1997). Namun ada hal yang menarik, bahwa di tengah perkembangan globalisasi ekonomi, teknologi dan politik tersebut, timbul fenomena nasionalisme kultural, seperti istilah yang di pakai Jhon Naisbitt. Dikatakannya walaupun gaya hidup kita tumbuh semakin sama, namun terdapat tanda tanda yang tidak mungkin salah dari munculnya "Countertrend" yang kuat suatu hasrat untuk menegaskan keunikan kultural dan bahasa seseorang, dan penolakan terhadappengaruh asing (Tholhah Hasan, 2000).
3. Kejahatan Sebagai “Harga” Globalisasi
Jelas sekali bahwa globalisasi membawa dua kali atau makna. Pada satu sisi melahirkan "dunia tanpa batas", menimbulkan ke unggulan kompetitif, dimana faktor-faktor lintas benua seperti teknologi, pendidikan, manajemen, di samping modal semakin menampilkan perannya, sementara di sisi lain globalisasi membangkitkan reaksi balik atau countertrend seperti nasionalisme, gerakan kebangkitan kesukuan, atau kedaerahan, karen interaksi dengam budaya global memberi dampak budaya secara luas dengan akibat untung rugi (Tholhah Hasan, 2000). Barangkali itulah yang pernah diramalkan oleh Alvin Toffler(1984), bahwa perbedaan baru telah muncul di tengah-tengah kehidupan kita dan membawa serta gaya keluarga baru, perubahan cara kerja, cara bercinta dan cara hidup, ekonomi baru, konflik politik baru dan di atas segalanya membawa perubahan kesadaran baru. Fajar peradaban baru ini adalah kenyataan yang paling gegap gembita dalam zaman kita sekarang. Abad informasi (nama lain dari globalisasi), sama sekali bukanlah rahmat. Bagi masyarakat barat saja, ia telah menghasilkan sejumlah besar problem, yang pemecahan terhadapnya terbukti tumpul. Bagi dunia muslim, diatas demi kelangsungan hidup fisik maupun budaya uma (Ziauddin Sardar, 1989). Bagi negara-negara berkembang khususnya seperti di indonesia, menghadapi globalisasi demikian ini, persoalanya bukan lagi menerima atau menolak kehadirannya, tetapi memanfaatkannya secara positif demi maksimalisasi keuntungan dan mengurangi akses negatifnya demi minimalisasi kerugian. Lebih khusus lagi demi umat islam di indonesia sebagai mayoritas, masalah globalisasi ekonomi, teknologi, politik, sosial, dan budaya merupakan tantangan (challenge), dan tantangn tersebut membutuhkan jawaban (response) yang tepat, kritis dan penuh kearifan (Tholhah Hasan, 2000). Tantangan yang tersedia di “rezim” global tersebut tentu saja pola-pola kehidupan bangsa lain, khususnya perkembangn gaya hidup, kondisi ekonomi, ideologi, dan cara berrelasi sosial, yang sangat niscaya diantara bangunan pola hidupnya ini, tersedia “ranjau” yang memiscayakan bangsa- bangsa lain terjebak menjadi korbannya. Bangsa-bangsa lain bukannya menghindar dari “ranjau”, melainkan memilih masuk dalam jebakan dengan dalih sebagai eksperimen gaya hidup dan resiko hidup di era globalisasi. Di sisi lain, pesan kepentingan yang di pertarungkan, pertaruhkan, dan diperebutkan oleh kapitalis-kapitalis global telah menempatkan bangsa-bangsa yang kelasnya sedang berkembang, apa lagi terbelakang, sebagai objeknya atau konsumen pasifnya. Diantara prilaku kapitalis, yang di dasari oleh ideologi kepentingan mengamankan dan mengembangbiakan modalnya, mereka pun tidak segan-segan menempuh cara-cara yang berlawanan dengan moral, disamping berani mengorbankan kepentingan hak-hak asasi manusia. Sementara negara yang berposisi sebagai sasaran tembak globalisasi juga terjurumus jadi parasit yang mengikuti gaya kriminalitas kapitalis-kapitalis global. Di sebutkan oleh Mansour Faqih, bahwa globalisasi yang tengah melanda kita saat ini membuat negara yang dalam “kontrak sosialnya” menetapkan sebagai pelindung hak-hak asasi warga negara, tidak lagi sanggup melaksanakan tugas akibat dari kesepakatan internasional yang di tetapkan oleh razim pasar bebas globalisasi saat ini (Eko Prasetyo, 2001). “Ranjau-ranjau” yang menyeruak dari kehidupan masyarakat global itulah yang dalam tingkat nasional maupun regional memunculkam apa yang di golongkan sebagai gejala sosial yang sakit. Disebut patologis karena di dalam dirinya ada unsur penyimpangan norma, mengancam keharmonisan sosial, dan mengacaukan tatanan-tatanan masyarkat beradab. Satu gejala sosial yang biasanya dinamakan kejahatan, sebenarnya merupakan suatu prilaku yang dianggap menyimpang atau membahayakan masyarakat. Namun tidak dapat disangkal, bahwa kejahatan tersebut merupakan realitas yang dikerjakn manusia di dalam proses interaksi sosial yang menjadi inti pergaulan hidup. Juga sulit untuk menyangkal pendapat ahli-ahli ilmu sosial, bahwa kejahatan merupakan suatu prilaku yang relatif dianggap menyimpang (Soeryono Soekanto, 1986). Ditengah pergaulan hidup manusi tersebut, ada seseorang yang punya ketahanan melimpas yang tinggi dan stabil, meskipun kondisi ekonominya sulit, sehingga tidak sampai menempuh jalan yang menyimpang dan melanggar hukum untuk menghadapi pergauln sosialnya, akan tetapi ada komunitas yang gagal menyesuaikan diri dengan norma-norma positif, sehingga untyk menyesuaikan dengan pergaulan sosialnya, digunakanlah cara-cara yang menyimpang dan melanggar hukum. Perbuatan menyimpang ini ada yang merugikan kehidupan masyarkat secara langsung dan jangka pendek, namun ada pula yang secara tidak langsung dan berjangka panjang. Perusakan terhadap suatu kawasan hutan misalnya sering kali menimbulkan kerugian pada masyarakat secara tidak langsung, tetapi kerugiannya dapat dirasakan di kemudian hari. Begitupun ketika suatu masyarakat gagal beradaptasi ditengah pengaruh informasi global dan menyerah menjadi budak globalisai, ada akibat yang langsung dirasakan, namun juga ada yang berjangka panjang. Laccasagne berpendapat, bahwa yang terpanting adalah keadaan sosial lingkungan kita, karena lingkungan merupakan suatu wadah pembenihan untuk kejahtan dan kuman adalah penjahatnya (Abdul Wahid, 2000). Lingkungan sosial yang membentuk pribadi manusia sekarang adalah lingkungan global, yang salah satunya bernama lingkungan “jagad maya”, yang didalamnya menyampaikan banyak hal, termasuk pesan-pesan dan tawaran kontra-produktif, membius dan menjurumuskan. Sosiolog-kriminolog G. Tarde juga menyatakan bahwa kejahtan bukanlah gejala antropologik, melainkan gejala sosiologik dimana semua perbuatan penting manusia dilakukan karena proses peniruan atau imitasi, dilakukan di bawah kekuasaan contoh sebagaimana kejadian-kejadian di dalam masyarakat yang lain. Karena itu R. Owen mengatakan, bahwa lingkungan yang tidak baik membuat prilaku seseorang menjadi jahat (Nurjaya, 1985). Pendapat itu menunjukan adanya hubungan antara kejahatan yang terjadi dengan faktor- faktor tertentu yang mempengaruhinya atau mendorngnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh negatif ini dapat saja membentuk prilaku seseorang yang semula tidak jahat, akhirnya cendrung berlaku jahat, atau yang semula kejahatan yang dilakukan tergolong ringan, namun kemudian setelah di pengruhi oleh kondisi lingkungan global bercorak negatif seperti berkumpul dengan orng-orng jahat, akibatnya prilaku jahatnya makin vulgar dan canggih (Profesional). Dengan kata lain, kehidupan masyarakat dari hari kehari banyak menghadapi masalah yang serius. Masalah yang dianggap masyarakat ini bermacam-macam yang didampaknya hingga dapat meresahkan. Gejala-gejala buruk yang mresahkan tumbuh berkembang seperti tidak bisa dikendalikan oleh aparat yang berwenang, karna “jagad maya” telah menjadi dan di jadikan sebagai “rumah baru”. Aparat yang berwenang (khususnya polisi) sudah sangat berat menghadapi tindak kejahatan yang terjadi di masyarakat, mengingat sudah begitu banyaknya dan beragamnya tindak kejahatan yang terjadi, yang kadang-kadng terjadiny di suatu masyarakat yang tidak di duga sama sekali kalau akan manjadi sasaran tindak kejahatan, atau tiba-tiba dimasyarakat itu sudah terjadi tindak kejahatan. Apalagi di tengah kehidupan yang di kendalikan oleh kapitalis-kapitalis global ini, tindak kejahatan sudah merambah dan memasuki kelas trans-nasional: lintas bangsa-bangsa. Ibarat sebuah penyakit, maka penyakit yang bernama kejahatan itu demikian gampang menyerang penduduk(masyarakat) yang sebenarnya diperkirakan dapat dijadikan sebagai masyarakat yang bersih atau minim tindak kejahtan yang terjadi, tapi kenyataanya tiba-tiba terjadi kejahatan yang mengancam kelangsungan hidupnya atau membahayakan kondisi sosial geografisnya. Kejahatan dapat terjadi dimana saja baik dikota besar maupun dikota kecil bahkan di desa -desa dan dikawasan alam maya.Demikian juga dengan para pelakunya mulai dari anak-anak sampai orang yang sudah dewasa.Berbicara mengenai kejahatan maka tidak dapat merupakan masyarakat sebagai tempat timbul kejahatan atau dengan kata lain bahwa kejahatan selalu ada dalam masyarakat dan berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan manusia. Ketika sekarang kita memasuki era globalisasi,maka jenis kejahatan nya juga menunjukan jenis kejahatan yang mendeskripsikan karakter masyarakat global. Bangsa indosesia tidak bisa melepaskan diri dari globalisasi. Era global ini dintai dengan munculnya masyarakat dunia,dengan nilai-nilai universal yang dianut bersama. Terdapat beberapa isu atau jargon di era global ini,seperti demokratisasi,hak asasi manusia (HAM),lingkungan hidup, penggunaan standar internasional dan hak atas kekayaan intelektuan (HaKI). Betapa kita terpuruk dalam menghadapi masalah HAM. Sementara dibidang ekonomi, kita tidak bisa melepaskan diri dari ketergantungan campur tangan internasional. Begitu pula dibidang polotik,dunia internasional memantau jalannya demokrasi di indonesia (Imam Sudjoko, 2004). Kasus tersebut menjunjukan,bahwa di era global ini selain ada hal positif yang bisa dimanfaatkan oleh setiap bangsa khususnya di bidang teknologi,juga menyimpan kerawanan yang tentunya sangat membahayakan. Bukan hanya soal kejahatan konvesional yang gagal di berantas akibat terimbas oleh pola-pola moderitas yang gagal mengedepankan prinsip humanitas,tetapi juga munculnya kejahatan di alam maya yang telah menjadi realitas masyarakat dunia. Munculnya kejahtan bernama “Cyberspace” atau dengan nama lain “Cybercrime” merupakan suatu pembenaran, bahwa era global ini identik dengan era ranjau ganas. Sebuah ruang imajiner dan maya, area atau zona bagi setiap orang untuk melakukan aktivitas yang bisa dilakukan dalam kehidupan sosial sehari-hari dengn cara artifisial. Setiap orang bisa saling berkomunikasi, menikmati hiburan, dan mengakses apa saja yang menurutnya bisa mendatangkan kesenangan atau barangkali kepuasan. Ada beragam tawaran diruang maya sesuai dengan informasi global yang dijual oleh kapitalis-kapitalis yang rela menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan. Bahkan inorisnya, mereka juga bermaksud meruntuhkan ketahanan moral, ideologo, dan agama bangsa- bangsa lain di mika bumi yang berbeda dengan dirinya.
B. Kejahatan Sebagai Bagian dari Dampak Teknologi
1. Teknologi dan Globalisasi “Teknologi pada dirinya sendiri adalah tindak baik maupun tindak jahat, dan menyalahkannya adalah seperti mancela gunung es, karena telah menenggdlamkan kapal Titanic. Jelaslah, dosa itu tidak dapat di temukan pada teknologi, melainkan dalam penggunaan yang tepat dapat dilakukan padanya “(technology of itself is neither good nor evil, and the blame it is like reproacingthe iceberg for having sunk the Titanic. Obviously, the sin is not to be found in technology but in the use to O’Gorman). Kita ketahui bahwa salah satu kata yang sedang “in” masa kini adalah kata “global” atau sejagad-raya. Dunia dewasa ini sedang di warnai oleh global politics, global technology, global economy, global market, dan global strategy. Bahkan bumi tempat kita berada pun tidak terlepas dari predikal global, yakni global village (Alwi Shihab, 1997). Global teachnology merupakan bagian dari warna seka;igus elemen utama globalisasi, karena globalisasi esensinya terletak pada konsep “desa dunia” tindaklah akan berjalan dan bergerak mengepakan sayap-sayapnya jika tidak menggunakan kekuatan teknologi. Teknologi global adalah nama lain bangunan peradaban dunia yang tidak terpisahkan dari produk kemajuan teknologi. Kekhawatiran kita semakin jelas, manusia telah terlena dalam kehidupan teknologi, mendewakan teknologi, atau menurut istilah Jhon Neisbith, manusia telah mabuk teknologi. Salah satu gejalanya, kita takut, tapi sekaligus memuja teknologi (Otje Salman dan Anthon F. Susanto, 2004). Walapun konsep globalisasi di nilai positif, bagi sementara pohak juga terkandung didalamnya dimensi negatif. Sebagai contoh, ciri positif global market yang membawa peluang peruasan pasar dan keragaman konsumen, juga mengandung dimensi negatif dengan kerasnya kompetisi antar produsen dunia. Sama halnya dengan arus informasi global yang akurat dan cepat, bagi sementara pihak merupakan sarana infiltrasi kurtular ideologis yang membawa dampak negatif terhadap nilai-nilai budaya dibatasi, bahkan dilarang (Alwi Shihab, 1997). Hegemoni negara-negara adik kuasa berbagai bidang adalah bagian lain dari perubahan yang terus berlangsung, akspanasi ekonomi dalam bentuk neo-imperialisme berkedok bantuan merupakan contoh tak terbantahkan. Jargon ekonomi global (ekonomi tanpa batas), telah membuka peluang yang sangat bebas dan leluasa bagi negara bermodal kuat untuk menghisap negara potensial namun lemah (Otje salman dan Anthon F. Susanto, 2004). Kecanggihan teknologi dan perkembangan sistem trasportasi dan komunikasi yang menghasilkan ketergantungan antara bangsa telah mengakibatkan menciutnya dunia ini, sehingga menjelma menjadi suatu desa sejagat atau global village. Tidak ada satu bagian dunia pun yang terlepas dari pengamatan dan pemantauan., Dari kamar tidur, seseorang dapat mengikuti peristiwa yang sedang terjadi di ujung penjuru dunia, di desa kecil Afrika misalnya, melalui satelit atau berkat alat yang merupakan produk teknologi canggih (Alwi Shihan, 1997). Kita telah atau sedang dimanjakan oleh produk teknologi, karena kita dengan gampang bisa mengunjungi belahan bumi lain dari yang kita tempati dan menjalani komunikasi global, atau bercengkerama dengan orang lain, mencari pacar baru, dan bahkan belajar bagaimana menjadi teroris, menjadi anggota jaringan mafia, atau menjadi bagian dari kejahatan terorganisir.
2. Dilema Menjatuhkan Pilihan
Kata teknologi diuraikan terdiri dari kata teknik atau technique, dari kata Yunani technikos yang berarti kesenian atau keterampilan dan logos adalah ilmu atau asas-asas utama. Oleh karena itu, teknologo leboj berarti ilmu di belakang keterampilan (Hartono, 1981). Dalam Meriam Webster Dictionary, technology disamakan dengan applied science atau a technical methode of achieving a practical purpose. Sehingga dalam bidang ekonomi, teknologi berarti the application if scientivic knowladge to the production of industrial goods and improvement ofservice (Hartono, 1981). Hampir sama dengan rumusan diatas seperti di kemukakan oleh Ita Gambiro, teknologi berarti seluruh knowhow,pengetahuan (knowledge),pengalaman dan keterampilan yang dibutuhkan untuk membuat (Manufacturing) suatu produk dan untuk pendirian suatu perusahaan untuk tujuan tersebut (Gambiro, 1981). Teknologi dapat di umpamakan sebagai perpanjangan tubuh manusia( Van Peursen). Dengan bantuan teknologi,kemudahan teknis diperoleh. Dari pada kita menulisa artikel dengan tulisan tangan yang mungkin sulit dibaca oleh orang lain,kita gunakan mesin tik atau bahkan komputer bermesin cetak (printer). Semakin canggih semakin efisien,tulisan dapat direkam di disket,mudah di edit,di cetak ulang dengan semakin sedikit kesalahan tulis (jaman pena) atau kesalahan ketik (jaman mesin ketik). Untuk teknologi komunikasi,perpanjangan mulut dengan tangan. Selanjutnya,dari pada kita datang jauh-jauh untuk membicarakan suatu hal,dibuatlah signal- signal elektris (Telegraf),lalu telepon,kita akan dapat saling memandang lewat kamera yang di sambungkan dengan seluruh telepon itu. Ini teknologi perpanjangan mulut,telinga,dan mata kita. Semakin jauh tubuh kita dapat diperpanjang lewat teknologi semakin nikmat hidup kita tampaknya (Adji A. Sutama,1996). Menurut Williand poppy dan leland wilson,bahwa teknologi adalah kegiatan yang dengannya manusia merencanakan dan menciptakan benda-benda material yang bernilai praktis. Mobil,pesawat,televisi,serbuk sabun buatan,kendaraan ruang angkasa,dan serat buatan adalah hasil-hasil teknologi (Technology is the activity by which man devises and creates material objects of practical value. Automobiles, Television sets, Syntetics detergents, spacecraft, and syntetic fibers products of technology) (The Liang Gie, 1996). Tetapi, teknologi selalu berisi ganda. Contoh sederhananya, motor dan mobil. Dari pada berjalan kaki sejauh ratusan kilometer untuk menjankau suatu tempat, manusia telah membuat kendaraan bermotor agar tempat tersebut terjangkau dalam waktu singkat mungkin dan dengan tenaga sehemat mungkin. Tetapi, kendaraan yang dapat laris di atas 40 KM/jam itu juga telah terbukti merupakam teknologi trasportasi yang paling banyak (=efisien?) mengantar orang ke tempat terakhir yang tak di inginkan (=kubutan). Menduduki ranking tertinggi sebagai penyebab kematian masyarakat, apakah kita dapat menyingkirkan alat itu atau membatasi kecepatan larinya hanya 20 KM/jam? Ternyata tidak dapat, sebab teknologi transportasi di dukung oleh ideologi modern bahwa “semakin cepat semakin baik”. Suatu ideologi yang di terima begitu saja tanpa sikap kritis (Adji A. Sutama, 1996). Semua teknologi adalah pedang bermata dua. Ia dapat digunakan untuk tujuan baik dan jahat sekaligus. Tetapi, teknologi mutakhir menimbulkan manfaat yang banyak, dan madharat (aspek kerusakan) yang jauh lebih banyak lagi. Teknologi nuklir dapat memberikan sumber energi, ketika sumber energi lain mulai menyusut. Dunia kedokteran telah menggunakan teknologi nuklir, bukan saja untuk mediagnosis penyakit, tetapi juga untuk membunuh sel-sel kanker. Pion cancer therapy, misalnya menggunakan tembakan pertikal poin untuk membunuh tumor ganas. Tetapi, seperti kita ketahui, lebih dari 50.000 senjata nuklir yang ada di dunia sekarang ini memiliki daya penghancur jutaan kali bom yang jatuh di hiroshima. Biologi dan kimia telah melahirkan teknologi yang mempertahankan struktur kehidupan modern, seperti purifikasi air, pembuangan sampah, imunisasi, peningkatan pertaniaan, kesehatan, pengobatan, pengolahan, dan penyimpanan makanan. Sekarang ini, biokteknologi sudah sanggup dengan teknik pembelahan gen atau recombinant-DNA, menjatikan bakteri-bakteri semacam pabrik kimia yang menghasilkan insulin di perlukan oleh mereka yang menderita diabetis, dan interferon di perlukan oleh mereka yang mengidap kanker. Tetapi bioteknologi juga telah dipakai untuk mengembangkan senjata-senjata biokimia yang dapat memusnahkan ternak, tanaman dan bahkan manusia (Jalaludin Rahmat, 1996). Kita boleh saja mempunyai pengandaian positif bahwa teknologi selalu di ciptakan untuk lebih memudahkan atau lebih mensejahterakan kehidupan kita. Tetapi perkembanga dan penggunaanya di tangan manusia (berdosa) membuktian bahwa kehadiran dan pengunaan suatu teknologi tidak selalu positif. Teknologi dapat di manfaatkan oleh sekelompok orang untuk menguasai orang banyak. Teknologi militer digunakan untuk menekan baik secara fisik maupun mental sekelompok orang agar takluk pada kemauan pemilik teknologo tersebut. Teknologi komunikasi di gunakan untuk memanipulasi informasi dan mengubah prilaku massa agar sesuai dengan keinginan penguasa teknologi tersebut, misalnya pemerintah dan industri. Manusia bukan hanya saja menciptakan Alat untu kesehjateraan sesama tetapi juga untuk memper-Alat sesamanya lewat alat yang di ciptakannya (Adju A. Sutama, 1996). Teknologi ruang angkasa telah melahirkan satelityang dapat di gunakan untuk navigasi, ramalan cuaca, memonitor sember-sumber alam, menunjukan masalah polusi, kegagalan panen, atau penyakit hewan. Pada saat yang sama, lebih dari 1800 satelit yang berad adi luar angkasa telah di pakai untuk tujuan-tujuan militer, di samping untuk menghancurkan sesama satelit, sehingga ruang angkasa penuh dengan sampah-sampah radioaktif. Teknologi perubahan lingkungan dapat dipakai untuk menyamatkan suatu daerah dari bahaya banjir, mencegah disertifikasi (meluasnya gurun pasir), atau menyediakan air bagi daerah yang kekeringan. Namun teknologi ini juga telah dapat digunakan untuk peperangan geografis, menimbulkan kebakaran hutan, penyimpangan air sungai, gempa bumi, gelombang laut, atau ledakan vulkanis (Jalaludin Rahmat, 1996). Di singguh olrh Eric Fromm, bahwa manusia telah menciptakan dunia benda-benda buatan manusia seperti belum pernah ada sebelumnya. Manusia telah mengkonstruksikan suatu mesin sosial yang rumit untuk menjelaskan mesin teknis yang ia bangun. Namun keseluruhan ciptaannya itu akhirnya melampui dan mengatasi dirinya sendiri. Manusia tidak merasakan dirinya sebagai pencipta dan sebuah pusat, tetapi sebagai abdi dari suatu Golem yang ia ciptaka sendiri. Semakin kekutan itu membesar dan menjadi kekuatan raksasa yang tidak dapat dikendalikn lagi, semakin manusia tidak berdaya sebagai manusia. Manusia berkonfreontasi dengan kekuatan-kekuatanya sendiri yang mewujudkan di dalam benda-benda ciptaannya, yang terasing dalam dirinya. Manusia diperbudak oleh ciptaananya sendiri dan telah kehilangan rasa memiliki dirinya. Manusia telah membangun sebuah anak lembu emas tuangan dan berkata “inilah tuhan0tuhanmu yang telah membawa engkau keluar dari tanah Mesir” (Marzuki Umar Sa’abah, 1997). Teknologi pun mempunyai mekanisme atau denamika kerjanya sendiri. Mekanisme itu dapat mengubah manusia penggunaanya sehungga manusianya ikut menjadi alat. Contohnya Ban-berjalan yang di ciptakan manusia di pabrik-pabrik besar, seperti pabrik roko, peralahn-lahan mengubah para pekerja di Ban-berjalan itu menjadi salah satu bagian dari Ban-berjalan itu. Manusia yang hakikatny adalah mahluk yang mengekpresikan keunikan dirinya lewat pekerjaanya(homo fabe), akhirnya kehilangan kemanusiaanya dan menjadi alat belaka atau salah satu komponen saja dari sistem pekerjaan atau produksinya(Maex). Dan karena merupakan suatu kesatuan sistem, teknologi bukan sekeder alat tak berjiwa melainkan ia mampu juga menciptakan dunianya sendiri seperangkat sistem nilainya. Itu sebabnya sekalipun kita mengetahui bahwa suatu teknologi itu bersifat destruktif, misalnya membuat polusi dan merusak lingkungnan hidup atau menganvam keselamatan orang banyak, kita tetap tidak dapat menanggalkannya semudah kita menanggalkan popok bayi sekali- pakai buang (displosabe diapers) dan memakainya hanya selama 1 tahun (pertama) saja (Adji A. Sutama, 1996). Sebagai contohnya, menurut muhammad al’Asi, Cendikiawan muslim dari Amerika Serikat, di dunia yang cenderung bergerak kearah suatu skema yang lebih besar selalu saja terdapat kekuatan “ekspansi” sedang berjalan. Ungkapan paling tepat untuk ketentuan ketentuan ‘ekpansionis ini adalah politik dan strategi dari pemerintah dan negara supra-nasional. “Pada awal abad ke-21 ini kita menyaksikan strategi dan kebijakan pemerintah AS yang getol menguasai tanah pijakan baru sekaligus memancangkan batas-batas peta baru dalam rangka mewujudkan Pax Americana ke seluruh jagad yang dipromosikan sebagai ‘Globalisasi’”,katanya di depan konferensi (A. Nawawi Rambe,2004). Contoh tersebut juga menunjukan,bahwa globalisasi yang di bangun AS dengan politik ekspansionisnya sebenarnya tidak akan sukses di lakukan jika tidak mengandalkan kacanggih produk teknologinya. Sebagai negara adidaya,AS bermaksud juga mendemonstrasikan produk-produk teknologi persenjataan yang berkategori unggulan kepada bangsa-bangsa lain dimuka bumi. Bahkan sebagai kapitalis global,AS tentulah berambisi menjual produk teknologinya itu kepada negara- negara lain dengan cara menunjukan lebih dulu eksperimen keadidayaan produk teknologinya. Kita telah disodori oleh suatu pilihan ganda yang serba menyulitkan. Kesalahan dalam menjatuhkan pilihan sama dengan menjerumuskan diri. Intinya,kita perlu bersikap kritis terhadap kehadiran teknologi yang berwajah ganda di satu sisi, eksistensi teknologi dapat menolong manusia,namun di sisi lain dapat memperbudak manusia, bahkan menghilangkan jiwa kema -nusiaanya karena digeser oleh semangat dehumanisasi.
3 Teknologi,perubahan dan kejahatan
Memang tidak bisa yang diingkari oleh siapapun,bahwa teknologi itu dapat menjadi alat perubahan di tengah masyarakat. Demikian pentingnya fungsi teknologi, hingga sepertinya masyarakat dewasa ini sangat tergantung dengan teknologi,baik untuk hal-hal positip maupun negatif. Ditulis oleh Sardar (1989) yang mengutip pendapatnya jean Francois Lyotard,bahwa “ada kemungkinan negara-negara bangsa pada suatu hari akan berjuang untuk dapat menguasai informasi,persis seperti mereka berjuang untuk dapat menguasai wilayah,dan menguasai akses ke- dan mengeksploitasi bahan-bahan mentah dan tenaga murah. Sebuah bidang baru terbuka bagi strategi-strategi politis serta kemiliteran di pihak lain”. Perjuangan atau kegigihan untuk menguasai, memperebutkan,dan mengeksploitasi informasi telah mengisi kehidupan manusia. Mereka seperti akan menjadi manusia-manusia yang kalah, konservatif, dan jauh dari kemoderenan jika tidak menjadi pendahulu dan penguasa informasi. Dengan menguasai informasi, kita memposisikan atau diposisikan oleh kekuatan teknologi sebagai “rezim” lain di dunia ini, yang tentu saja kemudian menuntut pembenaran melalui jaringan- jaringan strategis. Misalnya, apa yang dilakukan AS sekarang sebenarnya merupakan pengulangan sejarah lama. AS bukanlah negara ‘superpower’ pertama yang menguasai kawasan baru, pasar baru, dan tanah baru bagi kepentingan ekploitasi, manipulasi,dan tindakan opressif. Di zaman dulu baik zaman kuno maupun abad pertengahan sudah ada negara-negara Superpower yang ‘mengglobal’ melalui kekuatan militer dan pasar uang. Romawi , Persia dan Mongol pernah mengglobalkan kekuasaannya, namun kemudian mengalami kehancuran dan tidak terdengar lagi (A. Nawawi Rambe, 2004). Kasus AS tersebut menunjukan bahwa,apa yang dilakukan AS dengan cara menancapkan akar akar hegemoninnya melalui globalisasi informasi, adalah cara AS menunjukan kepada bangsa- bangsa lain di muka bumi kalau AS sekarang layak dan perlu dijadikan sebagai pusat paradigma peradaban bangsa-bangsa lain dimuka bumi. Bangsa-bangsa lain digiring oleh informasi globalnya untuk menjadi bangsa-bangsa yang percaya sepenuhnya,bahwa apa yang menyelamatkan dan mendamaikan kehidupan. AS mencoba membangun opini dunia melalui teknologi informasinya supaya bangsa bangsa lain mengakui kalau “rezim global” yang di bangunnya adalah kebutuhan yang tidak terelakkan. Tentu saja, bangsa-bangsa lain di muka bumi, khususnya di Indonesi aini, tidak bisa serta merta menerima,mengakui, dan apalagi mengadopsi penetrasi informasi global yang di jual AS. Ibarat sebagai konsumen yang cerdas, maka kita harus bisa menimbang kerugian dan keuntungan saat kita menjatuhkan pilihan. Dengan menjatuhkan pilihan,kita memang bisa melakukan perubahan,tetapi apalah artinya perubahan,jika kita menyerahkan moralitas diri ke model-model perbuatan bercorak a-normatif dan kriminalitas. Kata Ibnu Khaldun, “tiada masyarakat/manusia yang tidak berubah”. Ada perubahan yang mempunyai akibat menguntungkan atau membawa pengaruh positif.,tetapi ada juga perubahan yang membawa pengaruh negatif, yang membawa kepada kemunduran (regresif). Banyak terjadi perubahan sosial yang menjadikan manusia tenggelam dalam persoalan-persoalan yang dihadapinya dan tidak dapat mengambil suatu sikap yang tepat terhadap keadaan baru (Tholhah Hasan, 2000). Setiap orang dan bangsa sangatlah wajar mendambakan suasana baru, kondisi yang berada dengan sebelumnya. Tetapi suasana baru ini tidaklah tepat jika asal berbeda dengan sebelumnya. Perubahan yang ideal tentulah yangmempertimbangkan eksintensi yang berlaku. Kalau pilihan kepada suatu produk teknologi memang sudah mengharuskannya,maka pilihan ini sudahlah dengan pertimbangan rasionalistas dan dukungan pembenaran moral. Apalagi pilihan terhadap suatu teknologi sama artinya dengan pilihan terhadap dunia yang penuh “ranjau” yang ganas dan berpotensi membunuh. Kemajuan teknologi dan industri yang merupakan hasil dari budaya manusia di samping membawa dampak positif, dalam arti dapat di dayagunakan untuk kepentingan umat manusia juga membawa dampak negatif yang di maksud adalah yang berkaitan dengan dunia kejahatan. J .E. Sahetapy menyatakan dalam tulisannya,bahwa kejahatan erat kaitannya dengan perkembangan masyarakat. Semakin maju kehidupan masyarakat,maka kejahatan juga ikut semakin maju. Kejahatan juga menjadi sebagian dari hasil budaya itu sendiri. Hal ini berarti seamkin tinggi tingkat budaya dan semakin modern suatu bangsa,maka semakin modern pula kejahatan itu dalam bentuk, sifat dan cara pelaksanaanya (Abdul Wahid, 2000). Didalam perkembangan kehidupan masyarakat seringkali ada sisi rawan kurang mendapatkan perhatian serius,sehingga menjadi celah yang memungkinkan bagi seseorang dan kelompok untuk menyikapinya secara negatif,apalagi jika dalam perkembangan ini , seseorang dan dan kelompok itu tidak berada dalam posisi di untungkan. Celah yang berkategori rawan ini menjadi sisi kelemahan yang logis di dalam setiap perubahan. Tidak ada yang namanya perubahan itu yang secara mutlak memberikan warna positif. Selalu atau seringkali ada sisi negatif yang mengikutinya, yang kondisi ini kemudian diterjemahkan dan disikapi sebagai peluang menguntungkan,meski dilakukan dengan cara ilegal dan a-normatif. Di negara maju seperti di Amerika serikat, telah disarankan bahwa pertumbuhan ekonomi dan penerapan teknologi yang semakin maju pada gilirannya dapan menimbulkan kejahatan- kejahatan,yang meliputi pencemaran udara, air dan tanah serta keracunan makanan serta kondisi- kondisi lain yang penuh dengan resiko yang membahayakan ( Quinney, 1975,dalam M. Hamdan , 2000). Teknonogi sebagaimana di gambarkan Mc Luhan dalam bukunya “Understanding of Media, The Ekstention of Man”, msrupakan media yang mampu menggantarkan kecepatan arus informasi menebus batas antara negara. Ironis, karena kecanggihan teknologi tersebut tidak saja berguna untuk kemaslahantan manusia. Nyatanya, perkembangan teknologi juga seringkali dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan untuk mempermudah perbuatannya(Siska, 2004). Pernyataan tersebut semakin membenar “Wajah ganda” teknologo, yang di satu sisi bisa menjadi alat dan pertanda bagi kemajuan masyarakat secara positif, namun di sisi lain dapat menjadi alat yang canggih dalam mempermudah dan memperluas berbagai bentuk perbuatan melanggar hukum dan hak-hak asasi manusia(HAM). Kita sydah saksikan betapa dasyatanya senjata-senjata mutakhir, yang dikategorekan sebagai teknologi perang, mempunyai kekuatan yang demikian cepat dan meluas, sehingga yang di sebut kejahatan “pembersih etnis” (cleaning ethnics) bukan hanya ada di alam maya, tetapi sudah ada benar-benar ada di alam nyata, yang cukup dilakukan oleh satu pleton tentara dengan senjata bio-teknologi yang mematikan. Kita juga di hadapkan dengan kasus semisal nasabah seseorang yang “dirampok” (dikuras habis) oleh seseorang dengan modus operandinya memanfaatkan teknologi komputer. Disebut juga oleh pakar hukum pidana, Andi Hamzah(1992), kita ketahui bersama bahwa perkembangan teknologi itu sangat berpengaruh terhadap sikap mental setiap anggota masyarakat. Kemajuan yang di capai di bidang teknologi akan mempengaruhi pula perubahan di dalam kehidupan masyarakat. Setiap masyarakat itu akan selalu berubah dari masa ke masa. Makin besar pengaruh dari lingkungannya akan semakin pesat pula perubahan di dalam masyarakat itu sendiri, baik perubahan secara positif maupun negatif. Perubahan yang mengarahkan pada sisi negatif itu, diingatkan pula oleh Slouka, “teknologi- teknologi baru menciptakan implikasi sosial, gugatan etnis, dan resiko yang belum pernah ada sebelumnya. Semua ini adalah rekayasa genetik versi budaya. Hanya saja dalam percobaan ini diri kitalah berpotensi menjadi hibrida baru, menjadi tikus percobaan di laboratorium “(Otje Salman dan Anthon F. Susanto, 2004). Pendapatan tersebut sudah memperingatkan kita tentang fungsi teknologi sebagai alat perubahan, kemampuannya untuk mendukung perubahan sudah diakui, tetapi kemampuannya untuk mendukung terjadinya dan menguatnya perkembangan kejahatan juga tidak bisa di ingkari.
C. Globalisasi Kejahatan; Tantangan Bagi indonesia
Pertama kali kemunculannya, modernitas telah menawarkan janji-janji yang sangat menarik umat manusia. Hal ini dikarenakan modernitas telah melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang amat membantu umat manusia. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah menghasilkan sarana- prasarana, piranti-piranti dan alat-alat yang memudahkan manusia dalam berbagai aktivitasnya. Pada intinya ilmu pengetahuan dan teknologi telah memberi sesuatu yang mempunyai nilai guna kepada umat manusia. Salah satu dari produk ilmu pengetahuan dan teknologi adalah teknologi informasi atau yang bisa dikenal dan teknologi telekomunikasi. Teknologi telekomunikasi telah membantu umat manusia dalam berinteraksi dengan manusia yang ada pada komunitas lain dengan lebih mudah, dalam arti hal ini dapat dilakukan dengan tanpa meninggalkan tempat atau komunitas di mana ia berada dan aktivitas ini bisa dilakukan dimana dan kapan saja. Interaksi sosial tidak lagi terkungkung dalam sekat-sekat teritorialsuatu negara. Teknologi telekomunikasi telah membawa manusia kepada suatu peradaban baru dengan strultur sosial beserta tata nilainya. Artinya, masyarakat berkembang menuju masyarakat baru yang berstruktur global di mana sekat-sekat negara mulai memudar. Sistem tata nilai dalam suatu masyarakat berubah, dari yang nersifat lokal-partikular menjadi global-universal . Hal ini pada akhirnya akan membawa dampak pada pergeseran nilai, norma, moral dan kesusilaan. Pada perkembangannya, dengan ditemukannya komputer sebagai produk ilmi pengetahuan dan teknologi, terjadi konvergensi antara teknologi telekomunikasi, media dan komputer. Konvergensi antara teknologi komunikasi, media dan komputer menghasilkan sarana baru yang disebut dengan internet. Internet telah memberikan sesuatu yang sama sekali baru pada umat manusia. Internet merupakan sekumpulang jaringan komputer yang menghubungkan situs akademik,pemerintah,komersial, organisasi maupun per orangan. Internet menyediakan akses untuk layanan telekomunikasi informasi untuk jutaan pemakainya yang tersebar di seluruh dunia (My personal library on line,tt). Internet yang telah didefinisikan oleh The US Supreme Court sebagai ”international network of interconnected computers” telah menghadirkan kemudahan-kemudahan bagi setaip orang, bukan saja untuk berkomunikasi tapi juga melakukan transaksi bisnis kapan saja dan dimana saja (Ari Juliano Gema,2000). Dengan internet manusia dapat melakukan aktivitas layaknya kehidupan di dunia nyata (real). Manusia dapat melakukan berbagai aktivitas disana seperti ngobrol,kongkow- kongkow,transaksi bisnis dan lain sebagainya. Internet seakan membentuk suatu realitas baru yang menjadikannya realitas kehidupan manusia terbagi secara dikotomis menjadi real life (kehidupan nyata) dan virtual life (kehidupan maya). Dengan semakin berkembangnya peradaban manusia, internet Seakan-akan menjadi tempat Perpindahan Realitas kehidupan, dari kehidupan nyata (Real) kehidupan maya (Virtual) .Hal ini dapat dipahami, dikarenakan dengan Internet Aktivita yang sulit dilakukan di Dunia Nyata (Real) dapat (Dengan Mudah) dilakukan di dunia maya (Maya). Seseorang Yang Ingin Membeli Barang Tak Perlu Datang Ke Tempat Penjual Untuk Melihat Orang Yang Gemar Shopping Tak Perlu Berusaha Payah Ke Mal,Tapi Cukup Di Depan Komputer Yang Tersambung Jaringan Internet (Di Mana Saja) Dengan Menekan Tuts-Tuts Pada Komputer Terlihatlah Barang Yang Diinginkan.Selanjutnya Bila Tertarik Dapat Dilakukan Transaksi Dengan Memasukkan Nomor Kartu Kredit Beserta Alamat Rumah.Langsung Barang Dikirim.Sangat Mudah.Aktivitas Di Dalam Internet Dapat Menjangkau Seluruh Belahan Bumi Dengan Melampaui Batas-Batas Negara.Sesuatu Yang Dalam Dunia Nyata Jauh Dari Hadapan Kita,Dalam Dunia Maya Dapat Kita Hadirkan Di Hadapan Kita. Layanan Internet Meliputi Komunikasi Langsung (E-mail,Chat), Diskusi (Usenet,News,E- mail,Milis), Sumberdaya Informasi Yang Terdistribusi (World Wibe Web Gopher)), Remote Login Dan Lalu lintas File (Telenet),FTP), Dan Aneka Layanan Lainnya. Di Antara Layanan Yang Diberikan Internet Yang Dikenal Dan Umum Dilakukan Antara Lain: 1. E-Commerce, Contoh Paling Umum Dan Kegiatan Ini Adalah Aktivitas Transaksi Perdagangan Umum Melalui Sarana Internet Dengan Memanfaatkan E-Commerce, Para Penjual (Merchant) Dapat Menjajakan Produknya Secara Lintas Negara.Transaksi Dapat Terjadi Secara Real Time Di Mana Saja,Asal Terhubung Dengan Internet.Umumnya Transaksi Melalui Sarana E-Commerce Dilakukan Melalui Sarana Suatu Situs Web Yang Dalam Hal Ini Berlaku Sebagai Macam Etalase Bagi Produk Yang Dijajakan.Dari Situs Ini Pembeli Dapat Melihat Barang Yang Ingin Dibeli,Lalu Bila Tertarik Dapat Melakukan Transaksi Dan Seterusnya. 2. E-Banking Hal Ini Diartikan Sebagai Aktivitas Perbankan Di Dunia Maya (Virtual) Melalui Saran Internet.Layanan Ini Memungkinkan Pihak Bang Dan Nasabah Bang Dapat Melakukan Berbagai Jenis Transaksi Perbankan Melalui Sarana Internet,Khususnya Via Web. Lewat Sarana Internet Seseorang Dapat Melakukan Pengecekan Saldo Tabungan,Transfer Dana Antar Rekening Hingga Melakukan Pembayaran Tagihan Dan Lain Sebagainya. 3. E-Government, Ini Bukan Merupakan Pemerintah Model Baru Yang Berbasiskan Dunia Internet,Tapi Merupakan Pemanfaatan Teknologi Internet Untuk Bidang Pemerintahan.Pemerintah Dalam Memberikan Layana Publik Dapat Menggunakan Sarana Ini.Dengan Membuat Suatu Situs Tertentu Pemerintah Dapat Memberikan Informasi Tentang Kebijakan Pemerintah Mulai Regulasi Sampai Program-Program Sehingga Daoat Diketahui Publik Yang Mengaksesnya.Dalam Kerangka Demokrasi Dan Untuk Mewujudkan Clean Government Dan Good Governance Ini Tentu Sangat Menarik Sekali. 4. E-Learning, Istilah Ini Didefinisikan Sebagai Sekolah Di Dunia Maya (Virtual). Definisi e- learning Sendiri Sesungguhnya Sangat Luas,Bahkan Sebuah Portal Informasi Tentang Suatu Tofik Juga Dalam Tercakup Dalam e-learning Ini. Namun Pada Prinsipnya Istilah Ini Ditujukan Pada Usaha Untuk Membuat TransformSi Proses Belajar Mengajar Di Sekolah Dalam Bentuk Digital Yang Dijembatani Oleh Teknologi Internet (My Personal Library Online,tt.). Kemajuan Teknologi Yang Merupakan Hasil Budaya Manusia Disamping Membawa Dampak Positif,Dalam Arti Dapat Didayagunakan Untuk Kepentingan Umat Manusia Juga Membawa Dampak Negatif Terhadap Perkembangan Manusia Dan Peradabannya.Dampak Negatif Yang Dimaksud Adalah Yang Berkaitan Dengan Dunia Kejahatan.J.E.Sahetapy Telah Menyatakan Daya Tulisannya,Bahwa Kejahatan Erat Kaitannya Dan Bahkan Menjadi Sebagian Dari Hasil Budaya Itu Sendiri.Ini Berarti Semakin Tinggi Tingkat Budaya Dan Semakin Modern Suatu Bangsa,Maka Semakin Modern Pula Kejahatan Itu Dalam Bentuk Sifat Dan Cara Pelaksanaannya (Abdul Wahid,2002:21). Salah Satu Kejahatan Yang Ditimbulkan Oleh Perkembangan Dan Kemajuan Teknologi Informasi Atau Telekomunikasi Adalah Kejahatan Yang Berkaitan Dengan Aikasi Internet.Kejahatan Ini Dalam Istilah Asing Sering Disebut Dengan Cybercrime. Barda Nawawi Arief Harus Menggunakan Istilah Tindak Pidana Mayantara Untuk Menunjuk Jenis Kejahatan Ini(Barda Nawawi Arief,2003:255). Walaupun Kejahatan Ini Belum Begitu Diketahui Secara Umum,Namun The Federal Bureau Of Investigation (FBI) Dalam Laporannya Mengatakan Bahwa Tindak Kejahatan Yang Dapat Dikategorikan Sebagai Cybercrime Telah Meningkat Empat Kali Lipat Sejak Tiga Tahun Belakangan Ini(Indonesia Observer 26/06/2000),Dimana Ada Tahun 1988 Saja Telah TercatatLebih Dari 480 Kasus Cybercrime Terjadi Di Amerika Serikat (Ari Juliano Gema,2000). Di Indonesia,Penyalahgunaan Jaringan Internet Sudah Mencapai Tingkat Yang Memperihatinkan.Akibatnya Indonesia Dijuluki Dunia Sebagai Negara Kriminal Internet.Karena Itu,Tak Heran,Apabila Saat Ini Pihak Luar Negeri Langsung Menolak Setiap Transaksi Di Internet Dengan Menggunakan Kartu Yang Dikeluarkan Oleh Perbankan Indonesia (Pikiran Rakyat, 2 November 2002). Pada Bulan Januari-September 2005,Pihak Kepolisian Republik Indonesia Telah Mengungkap 109 Kasus Tindak Pidana TI(Teknologi Informasi)Yang Dilakukan Oleh 124 Tersangka WNI Yang Melakukan Aksinya Di Berbagai Kota Di Indonesia (Pikiran Rakyat, 2November 2002). Dalam Data Tersebut Di Atas,Bandung Menepati Pososi Kedua Sebagai Kontributor Tersangka Pelaku Cybercrime. Selain Itu, Dalam Data Yang Sama Diungkapkan Pula,Sekitar 96%Modus Operandi Yang Digunakan Dalam 109 Kasus Tersebut Adalah Credit Card Fraud (Penipuan Dengan Kartu Kredit).Kemudian,Jumlah Korban Yang Dirugikan Oleh Kasus Tersebut Mencapai 109 Orang,Sekitar 80%Dari Korban Tersebut Warga AS (Pikiran Rakyat, 2 November 2002). Kemudahan Dan Kepraktisan Yang Telah Menjadi Brand Image Dari Aktivitas Belanja Di Internet Nampaknya Terancam Tidak Bisa Dinikmati Lagi Oleh Para Shopper Mania Yang Gemar Mengubek-Ubek "Pasar" Di Dunia Maya (Cyber). Embargo Atau Blocking Yang Dilakukan Oleh Banyak Situs BelNja Internasional Terhadap Penggunaan Internet Yang Menggunakan Nomor Internet Protocol (IP) Atau Kartu Kredit Asal Indonesia Dapat Dikatakan Sebagai Konsekuensi Logis Dari Tindakan Sekelompok Netter Asal Indonesia Tersebut (Shintia Dian Arwida,2002). Adalah Amerika Serikat yang mula-mula memprakarsai pemblokiran ini, karena banyak situasi belanja on line-nya yang merasa dirugikan. Menurut pihak Amerika, ctra internet indonesia sedang berada di titik rendah sejak masuknya teknologi ini ke tanah air. Akibat langkah Amerika tersebut, sejumlah situs transaksi on line negara-negara lain ikut- ikutan melakukan pembelokiran (Shinta Dian Arwida, 2002). Secara garis besar, kejahatan yang berkaitan dengan teknologi informasi dapat di bagi menjadi dua bagian besar. Pertama, kejahatan yang bertujuan merusaka atau menyerang sistem atau jaringan komputer. Dan kedua, kejahatan yang menggunakan komputer atau internet atau sebagai alat bantu dalam melancarkan kejahatan. Namun begitu, mengingat teknologi informasi merupakan konvergensi telekomunikasi, komputer dan media, kejahatan jenis ini berkembang menjadi luas lagi (Heru Sutadi, 2003). Dalam catatan beberapa literatur dan situs-situs yng mengetengahkan ChyberCrime, berpuluh jenis kejahatan yang berkaitan dengan dunia Cyber. Yangvmasuk dalam kategori kejahatan umum yang difasilitasi teknologi informasi antara lain penipuan kartu kredit, penipuan bursa efek, penipuan perbankan, pornografi anak, perdagangan narkoba, serta terorisme. Sedang kejahatan yang manjadi sistem dan fasilitas IT (Teknologi Informasi) sebagai sasaran di antaranya adalah denial of service attack (Ddos), defacing, cracking ataupun phreaking (Heru Sutadi, 2003). Melihat fenomena diatas timbul persoalan, apakah hukum pidana positif kita dapat menjangkau kejahatan yang terjadi di dunia Cyber atau dunia maya meningkat teknologi internet yang membentuk realitas virtual merupakan sesuatu yang sama sekali baru. Sementara hukum pidana kita (KUHP) adalah buatah masa lalu di mana saat dibuat belum mengenai komputer apalagi internet. Perdebatan terjadi d antara para pakar hukum. Sebagian berpendapat sesungguhnya kejahatan yang berkaitan dengan dunia Cyber, pada dasarnya adalah sam dengan kejahatan biasa. Pada prinsipnya kejahatan yang berkaitan dengan dunia Cyber adalah kejahatan Konvensional, sama dengan kejahatan yang diatur di dalam KUHP. Sebagaimana contoh pornografi credit fraud bisa dijerat dengan pasal kesusilaan, kemudian kejahatan credit card fraud dapat dibidik dengan pasal penipuan, demikian dan seterusnya. Hal yang sama juga diungkapakan oleh Kepala Direktorat Reserse (Kaditserse) pola DIY Komisari Besar Polisi Drs. Toto Sunyoto yang menyatakan bahwa dari pola perbuatan yang dilakukan para hacker memang sulit d buktikan secara fisik. Sebab mereka menggunakan bantuan alat teknologi (komputer ) sebagai media. Namun, bila dilihat dari unsur perbuatannya, mereka bisa dijerat dalam pasal 362 KUHP tentang pencurian (Barnas, 13 April 2001). Sementara sebagian yang lain berpendapat bahwa minimal perlu pembaharuan hukum pidana atau yang lebih ekstrim lagi perlu undang-undang atau peraturan tertentu yang berkaitan dengan kejahatan dunia maya (cyber). Ini dikarenakan pada kenyataanya, dengan menggunakan instrumen hukum pidana yang telah ada, ternyata kejahatan di dunia cyber atau cyber crime masih sulit untuk ditanggulangi bahkan cendrung semakin meningkat, kompleks dengan variasi modus operandinya. Berkaitan dengan hal tersebut Romli Atmasasmita mengatakan, "semakin berkembangnya dunia komunikasi melalui jasa internet dan semakin bergantungnya transaksi bisnis menggunakan jasa perbankan lewat internet, maka pengatyran Cyber Crime di indonesia sudah sangat mendesak di butuhkan" ( Komputekonline, tt.). Permasalahan secara Yuridis untuk menjerat pelaku kejahatan ini biasanya di kaitkan dengan berbagai persoalan yang berhubungan dengan beberapa karakteristik kejahatan Cyber yaitu, pertama, siapakah yang berwewenang mengatur atau membuat regulasi yang berkaitan dengan kejahatan di internet mengingat kejahatan ini melintasi batas teritorial atau borderless territory, atau bahkan bisa dikatakan di luar teritorial negara (out of thr state territory), yang pada akhirnya berkaitan dengan Yurisdiksi mana yang berhak melakukan proses peradilan. Kedua, berkaitan dengan asas legalitas yang sangat fundamental dalam hukum pidana, apakah kejahatan dalam dunia maya dapat dijerat dengan hukum pidana melalui cara penafsiran, mengingkan tersebut merupakan suatu yang sama sekali baru. Di samping berbagai persoalan lain yamg berkaitan seperti alat bukti elektronik dan sebagiannya sebagai kelanjutanya. Persoalan tersebut diatas sesungguhnya berkaitan dengan kebijakan hukum pidana (penal policy). Marc Ancel mendefinisikan kebijakan hukum pidana (penal policy) sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif(dalam hal ini hukum pidana) dirumuskan secara lebih baik (Al Wisnubroto, 1999). Sementara itu upayaperumusan hukum pidana secara lebih baik, mencangkup di dalamnya kebijakan merubah atau membuat aturan khusus (hukum pidana) yang berkaitan dengan kejahatan dunia maya. Artinya walaupun mungkin secara essensial dapat dianalogikan dengan kejahatan atau tindak pidana yang diatur dalam KUHP, namun menurut pendapat ahli, hukum pidana tidak menerima analogi. Di samping itu, juga karena karakteristik kejahatan tersebut yang berbeda maka dimungkinkan dijadikan tindak pidana tersendiri dengan aturan tersendiri pula dalam kerangka mewujudkan rumusan hukum pidana yang lebih baik.