Anda di halaman 1dari 4

Berhala Globalisme Dan Kapitalisme Global

DR. Ir. Dimitri Mahayana, M.Eng.


Pengamat Sosial
(Dosen Jurusan Teknik Elektro ITB)

Geger harga gabah akhir-akhir ini tidak lepas dari globalisasi yang memihak dan keinginan primordial
kapitalisme Barat untuk mengakumulasikan the wealth of nations (kekayaan-kekayaan bangsa-bangsa) di
seantero dunia untuk kepentingan their nations (bangsa-bangsa mereka). Skenarionya sederhana, mekanisme
pasar bebas membuat mungkin bagi korporasi-korporasi multi nasional untuk merekayasa harga gabah turun.
Bila harga gabah turun, petani Indonesia kalang kabut. Akhirnya terpaksa sebagian dari mereka berbondong-
bondong mencari profesi lain. Di sini, berbagai Multi National Corporation yang membutuhkan tenaga kerja
murah dapat melakukan berbagai kegiatan manufakturnya di Indonesia dengan harga tenaga kerja yang
teramat murah. Karena mereka telah memiliki supply calon tenaga kerja yang tidak mempunyai lagi pilihan dan
bargaining position. Supply calon tenaga kerja dalam jumlah besar, akan mengikuti hukum kompensasi ala
David Ricardo, para tenaga kerja mau tidak mau rela menerima upah yang di bawah KHM (Kebutuhan Hidup
Minimal), hidup segan mati tak mau...

Apakah kita saat ini telah benar-benar merdeka? Dan apakah para penjajah dari Barat yang telah malang
melintang menyedot seluruh kekayaan dunia dalam lima abad terakhir ini benar-benar kini telah sadar dan
benar-benar secara hakiki menjadi orang yang paling beradab, bahkan menjadi pembela paling gigih dari Hak
Azasi Manusia ? Benarkah mereka ingin memperjuangkan liberty, equality dan egality dalam arti yang
sesungguhnya?

Pertanyaan pertama dapat dijawab dengan mudah, secara de jure kita telah lima puluh lima tahun merdeka.
Namun secara de facto, jelas kita belum merdeka untuk menentukan nasib kita sendiri. Apabila di Jepang
untuk proteksi petani dapat dibuat aturan pajak impor 400 % dari harga, kenapa untuk memperoleh pajak
impor 30 % dari harga gula saja kita mesti mengemis-ngemis dulu ke pihak asing? Bagaimana pula dengan
proteksi harga gabah, untuk kelangsungan kehidupan para petani kita?

Kini ide globalisme dengan proposisi utama globalisasi meniscayakan ketidakmungkinan kita untuk menolak
keterkaitan global, nilai-nilai global dan kepentingan global telah menjadi suatu hegemoni. Sebuah hegemoni,
menurut Antonio Gramsci, membuat pihak-pihak yang sebenarnya terjajah malahan mengakui superioritas
yang menjajah, dan secara sukarela membiarkan diri mereka dijajah. Selain itu, malahan hegemoni membuat
pihak yang terjajah mati-matian mempertahankan kepentingan para penjajah.

Ada empat serangkai yang menciptakan hegemoni kapitalisme global. Pertama, korporasi-korporasi raksasa
dunia yang kapitalis, paling tidak demikianlah menurut David C.Korten, dalam “When Corporations Rule The
World”. Dalam simbolisme agama, ini disimbolkan oleh Qarun. Kedua, para penguasa dunia, dalam hal ini
adalah Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa yang terkait. Dalam simbolisme agama, ini disimbolkan
oleh Firaun. Ketiga, para teknokrat, yakni yang telah merancang berbagai sistem globalisme untuk dan demi
kepentingan Barat. Sistem ini mengandung PBB dengan Dewan Keamanannya, yang sering bertindak sangat
tidak adil. Bandingkan misalnya masalah Kashmir yang sudah lima puluh tahun dengan referendum Timor
Timur yang baru lalu. Sistem ini juga mengandung World Bank, IMF, jaringan bank-bank besar di Barat.
Uang-uang yang dikumpulkan melewati para penindas di seluruh negara dunia ketiga melewati Bank Swiss
misalnya, akan dipinjamkan lagi menjadi utang-utang yang mengikat dan akhirnya merampas kemerdekaan
bangsa-bangsa dunia ketiga. Demikian juga uang-uang yang dikumpulkan melalui berbagi perusahaan
asuransi tingkat dunia.

Agama (khususnya Islam) telah memperingatkan; haramnya riba. Demikianlah Tuhan Yang Maha Kasih
sebenarnya melindungi ummat dan masyarakat dari penjajahan dan perbudakan dan ketergantungan, yang
merupakan sifat hakiki dan akibat langsung dari riba. Hak Kreatifitas Intelektual, - suatu hukum global baru
yang sampai diperjuangkan mati-matian oleh Bill Clinton dalam konferensi APEC di Bogor 1994- telah berubah
menjadi alat teknokrat globalisme yang kurang masuk di akal. Tempe telah dipatenkan di Amerika, sehingga
bila kita akan mengekspor tempe ke Amerika kita mesti ijin kepada yang memiliki patennya dan membayar hak
ciptanya. Demikian pula batik Pekalongan dan karya-karya seni yang demikian hebat dari Bali, - si Pulau
Dewata yang memiliki kekayaan antropologis tak terhingga. Para teknokrat ini, dalam simbolisme agama,
adalah Haman sang teknokrat.
Kelengkapan (keempat) dari empat serangkai yang menegakkan hegemoni kapitalisme global adalah para
intelektual. Dalam simbolisme agama ini adalah Bal’am, yang merupakan figur ulama yang memihak para
penindas. Dikembangkan secara besar-besaran wacana-wacana yang memandang dunia dan masyarakat
yang penuh kebinekaan ini dengan kacamata tunggal. Yakni globalisasi. Toffler, Naisbitt, Ohmae, dan banyak
pemikir lain. Globalisasi, dalam arti lenyapnya batas-batas antar negara, dianggap sebagai keniscayaan
alamiah yang tidak pernah mungkin dapat ditolak lagi. Sebagaimana air jatuh ke bumi karena ditarik gravitasi
bumi, teknologi modern, - khususnya -, teknologi informasi dan komunikasi menjebol batas-batas antar
negara. Tidak ada lagi kendali pemerintah atas segala hal di masyarakatnya. Para pemikir dan intelektual
mengeluarkan serangkaian teori-teori dan pandangan yang seolah-olah tidak memiliki alternatif lain.

Teori pertama, bahwa ekonomi global akan dan pasti akan mengatasi seluruh halangannya, baik halangan
politis, geografis dan lain-lain. Tidak mungkin sama sekali untuk memiliki ‘keragaman ekonomi’, dan berani
‘berbeda’ dengan ‘ekonomi global’. Amerika Serikat dan para pendukungnya, - melalui WTO-, menekan
seluruh negara untuk melakukan liberalisasi ekonomi. Dan mereka merasa berhak untuk marah besar kepada
Mahathir Mohammad yang menolak menandatangani kebebasan berinvestasi 100 % bagi para investor asing.
Salah satu ungkapan yang menjadi dalil bagi orang para pendukung wacana ini adalah seperti runtuhnya
tembok Berlin menunjukkan, kekuatan politik apa pun akan tunduk pada kepentingan ekonomi (global).

Teori kedua, bahwa satu-satunya sistem yang cocok bagi seluruh ummat manusia di dunia adalah sistem
pasar bebas . Pasar bebas harus direalisasikan di seluruh negara. Dipercaya bahwa bila pasar bebas ini
terjadi akan ada ‘tangan-tangan gaib’ (invisible hands) yang membuat mekanisme pasar memberikan yang
terbaik untuk masyarakat manusia di dunia. Setidaknya demikianlah konsep pasar bebas kapitalis yang
diilhami oleh ‘The Wealth of Nation’ dari Adam Smith.

Teori ketiga, teori-teori desentralisasi, deinstitusionalisasi, dan berbagai dugaan-dugaan managerial yang
diangkan menjadi satu trend niscaya yang mesti diikuti. Otonomi perguruan tinggi misalnya, adalah satu dari
agenda desentralisasi ini. Dan apakah otonomi perguruan tinggi , yang juga merupakan permintaan langsung
pihak ‘global’ pada Indonesia, tidak malah akan mengorbankan ‘modal intelektual’ perguruan-perguruan tinggi
Indonesia di altar ketergantungan pada pihak-pihak asing yang tentu siap memberikan ‘dana-bersyarat’ pada
mereka?

Keempat serangkai ini, korporasi-korporasi raksasa dunia, para penguasa dunia (bangsa adidaya), sistem -
sistem perekayasa dunia (mulai dari Bank-Bank kelas dunia hingga Hak Kreatifitas Intelektual) maupun para
intelektual, telah berhasil mendirikan hegemoni global kapitalisme dunia. Hegemoni memiliki pengaruh yang
kuat sehingga, kita bisa melihat berbagai dampaknya dalam fraktal-fraktal kasus-kasus di bawah ini;

Hegemoni budaya, dengan segala seginya (TV, media massa dll) dapat dilihat dengan hancurnya budaya-
budaya lokal secara amat cepat. Generasi muda kita jauh lebih mengenal Michael Learns To Rock dan
Backstreet Boys ketimbang tembang Ilir-Ilir, lagu - lagu kawih Sunda, dan berbagai kebudayaan - kebudayaan
daerah kita yang memiliki nilai seni amat tinggi. Kaum Muslim Melayu kini lebih akrab dengan tulisan latin dan
bahasa Inggris, ketimbang huruf Arab-Melayu (pego) dan bahasa Arab. Gerald Celente, pendiri Trends
Research Institute, dalam bukunya ‘Trends 2000’ menjelaskan bahwa bahasa Inggris mencapai daya jangkau
yang tidak pernah dicapai oleh bahasa apa pun di dunia, dan kenyataan ini memberikan suatu kekuatan
budaya yang tidak ternilai bagi bangsa Amerika.

Hegemoni ras barat terhadap kulit berwarna, yang dapat dilihat dari banyaknya kasus perbedaan gaji yang
luar biasa antara kulit putih maupun orang asing dengan orang Indonesia asli. Kasus PAM Jaya yang cukup
merebak dengan gaji orang-orang asing di sana mencapai angka hampir duaratus juta rupiah sebulan, dan
gaji karyawan pribumi Indonesia hanya seperdelapanpuluhnya atau bahkan seperduaratusnya menunjukkan
suatu hal; dalam hegemoni ras Barat, persamaan memiliki arti ‘perbedaan gaji sampai skala ratusan untuk
pekerjaan yang nilai keahliannya hampir sama harus dapat diterima, bila orang Barat lah yang memperoleh
gaji ratusan kali orang pribumi Indonesia’.

Dalam upaya pemerintah saat ini untuk mengamankan ekonomi nasional, ada kesan pemerintah lebih fasih
untuk melayani kepentingan ‘Hegemoni ekonomi global’ yang merepresentasikan orang-orang asing
ketimbang kepentingan rakyatnya. Kekuatan ekonomi asing ikut campur menentukan kenaikan harga listrik
dan BBM. Mereka pun ikut campur dalam proteksi petani, padahal bangsa kita yang kebanyakan adalah
petani. Tidak bisakah kita mandiri? Dalam memahami diri kita sendiri? Kekuatan ekonomi kita? Kekuatan
sosial budaya kita? Tidakkah kita mesti mencontoh Malaysia dalam hal bagaimana ia dapat mempertahankan

2
dirinya dalam krisis global 1997, yang amat mungkin merupakan strategi kekuatan kapitalisme global (salah
satunya Soros) untuk menguasai seluruh ‘resources’ di seantero dunia?

Untuk memahami hegemoni ekonomi global ini, beberapa hal berikut dapat direnungi. Apa yang telah
dilakukan oleh orang-orang Barat selama tiga ratus tahun terakhir ini pada orang-orang Afrika? Selama
perioda 350 tahun populasi Afrika tetap tidak berkembang dalam jumlah, sedangkan populasi dunia meningkat
empat hingga lima kali. Masih terekam dalam kenangan kita, kapal-kapal yang mungkin lebih layak untuk
mengangkut binatang yang mengangkut mereka untuk diperbudak di Amerika, 15-20 % diantaranya mati di
tengah jalan. Di tambang-tambang mereka mesti bekerja amat keras , 12 hingga 16 jam sehari, sedangkan
yang selain mereka hanya 8 jam sehari. Gerakan anti perbudakan, - mungkin adalah salah satu jasa
Abraham Lincoln-, tapi mengapa gerakan ini berhasil? Ketulusan orang-orang Barat untuk mendukung gerakan
anti perbudakan hingga sekarang tidak ada lagi? perbudakan kurang dapat diterima, karena momen Revolusi
Industri membuat perbudakan tidak lagi efisien. Apakah perbudakan dihapuskan karena nilai-nilai manusiawi,
ataukah demi efisiensi, merupakan suatu hal yang masih dapat diteliti lebih lanjut dalam sejarah. Kenyataan
seorang petenis besar Barat memperoleh berbagai masalah karena beristrikan seorang kulit hitam, masih
dapat kita lihat dalam kenyataan kontemporer masa kini.

Dalam perang dunia kedua, Perancis menggunakan 200.000 tentara Afrika yang berperang di pihak Perancis.
Sedangkan orang-orang Eropa itu sendiri jarang pergi ke front-front peperangan. Kemakmuran apa yang
ditinggalkan oleh orang Eropa dan Amerika dalam era pasca-perbudakan di Afrika? Data-data (tahun 80-an)
menunjukkan, rata-rata penghasilan per kapita di negara ‘maju’ (seperti Amerika) rata-rata US $ 4,000,
sedangkan di Afrika US $ 140. Kongo misalnya, US$ 52 , bahkan Chad lebih kecil dari itu. Dalam hal
konsumsi: konsumsi besi dan baja per orang di Amerika adalah 700 kg, sedangkan di Ethiopia, -sebuah
negara yang sudah lama berperadaban-, besi dan baja hanya 2 kg per orang. Sepeninggal orang-orang Eropa
dan Amerika, Afrika tak lebih adalah dataran tandus yang dipenuhi berbagai wabah dan kelaparan. Tembaga,
berlian, emas, batu bara dan minyak Afrika pergi ke Eropa. Produk-produk industri Afrika yang baik dijual di
pasar-pasar Eropa. Sesungguhnya kegemerlapan peradaban Amerika dan Eropa berdiri di atas darah orang-
orang Afrika (juga Asia dan Amerika Latin).

Apa yang kini terjadi dalam kasus Freeport, telah 1000 trilyun rupiah lebih nilai barang tambang kita, - tanpa
‘sepeser’pun dinikmati oleh saudara kita di Irian-, telah diangkut untuk membangun peradaban Barat. Apa
yang terjadi di perusahaan, seperti sepatu Nike: tenaga kerja dibayar amat murah untuk produksi sepatu Nike,
tapi dengan aturan aneh, pabrik tidak boleh menjual langsung di pasaran nasional. Semua harus dijual
dengan harga kira-kira US $ 10 ke korporasi global Nike. Dan korporasi itu akan menjualnya ke seluruh dunia
dengan harga yang berlipat-lipat (mungkin lebih dari sepuluh kali lipat hingga dua puluh kali lipat). Berapapun
keuntungan PT Nike, - juga Michael Jordan yang memperoleh ratusan milyar bahkan trilyunan untuk
mempromosikannya-, para buruh Indonesia di JABOTABEK hanya sekedar mempertahankan kulitnya
menempel di tulang, - menerima gaji yang kurang lebih tak lebih sekedar UMR yang sangat mungkin memiliki
nilai di bawah Kebutuhan Hidup Minimal. Kini Barat telah memperluas Afrika lama mereka menjadi Afrika, Asia
dan Amerika Latin, dan karena Afrika tinggallah menjadi seonggok bangsa yang berebutan hidup di tanah
tandus, Asia menjadi pilihan yang paling empuk.

Bagaimana cara orang-orang Barat dan kekuatan hegemoni global menguasai dan merampas kedaulatan
bangsa-bangsa Dunia Ketiga? Negara-negara besar seperti Cina, India, Indonesia, Afrika Barat, Mesir jatuh
ke dalam jebakan ekonomi mereka. Statistik pada tahun 80- an menunjukkan utang negara-negara dunia
ketiga pada mereka menjapai US $ 700 milyar (kira-kira Rp 5.000 trilyun). Amerika Latin saja mencapai US $
350 milyar. Dengan bunga 10 atau 5 % saja, berapakah mereka mesti membayar ‘bunga’ hutang sebesar itu ?
Sebuah negara seperti Brasil yang memiliki utang lebih dari US $ 80 milyar, mesti membayar US $ 8 milyar
sebagai bunga per tahun bila bunganya 10 %. Maka kapan negara itu akan bisa berdiri di atas kakinya
sendiri ?

Pada tahun 1863 Tunisia meminjam 5,5 juta Franc dari perancis. Untuk sebuah kapal perang lama, kapal-
kapal dan gaji staf-stafnya Perancis men-charge 3,5 juta Franc. Kapal ini ternyata tidak pernah digunakan,
apalagi memberikan manfaat pada rakyat Tunis. Telah dicatat bahwa dalam tujuh tahun, hingga tahun 1870,
utang Tunisia mencapai 350 juta Franc. Hasilnya? Tunisia tidak mampu membayar hutang itu. Sebagai
konsekuensinya, Itali, Perancis dan Inggris membuat komisi bersama, dan setelah itu mereka ikut campur
dalam menangani ekonomi Tunisia sebagai ‘Tunisia’s economic guardian’.

Bagaimana dengan Maroko, dengan 67 million Frank mereka melakukan hal yang sama kepada Maroko.
Dicatat pula dalam sejarah, utang Mesir pada saat itu (1863-1876) berlipat tiga puluh kali. Orang-orang Barat
3
menawarkan proyek-proyek mega yang berteknologi tinggi, - yang sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dunia ketiga. Kemudian mereka menawarkan pinjaman. Dengan sistem riba yang merupakan sifat
esensial dari pinjaman ini, mereka menguasai dan mengontrol negara-negara dunia ketiga. Sungguh,
sekiranya orang-orang menolak sistem bank dengan riba ini, - sebagaimana perintah Tuhan dalam Islam-,
mereka tidak akan terjebak dalam jebakan ekonomi Barat ini. Bagaimana Soros mulai menanamkan
kapitalnya di Astra dan mungkin akan segera diikuti oleh berbagai perusahaan lain di Indonesia, - hal seperti
inilah yang diinginkan oleh Barat. Yakni mengendalikan berbagai sumber kekayaan di seantero dunia, untuk
kejayaan ras kulit putih dan lebih spesifik lagi korporasi-korporasi mereka. Semangat dan spiritnya nampak
persis dengan semangat kolonialisma. Namun kini jauh lebih lembut, tidak kentara dan jauh lebih kejam.
Hegemoni global yang telah dibangun , setidaknya saat ini, berhasil dengan gemilang.

Mungkin kita dapat belajar dari kehidupan serangga, - sebagaimana dalam AntZ dan A bug?s life. Ada sejenis
serangga yang besarnya di antara lalat dan lebah. Serangga ini pada saat bertelur mematuk sejenis ulat,
sehingga ulat tersebut pingsan. Ulat tersebut dibuat tidak mati, namun hiduppun tidak. Ketika telur-telur ini
menetas, anak-anak serangga itu ramai-ramai memakan ulat yang sedang pingsan tersebut, tanpa merasa
dosa sedikitpun, karena mereka tidak mengetahui (tidak melihat sendiri) saat ulat tersebut dipatuk. Ketika
anak-anak serangga itu sudah besar dan mau bertelur, mereka mengulangi siklus yang sama. Benarkah
bahwa kapitalisme global itu adalah sang serangga; dan benarkah bahwa kita semua di dunia ketiga adalah
ulat yang dipatuk,- yang dibuat hidup segan mati tak mau- yakni dipertahankan sebagai mediocre.

Kapitalisme global tidak ingin membunuh Indonesia, karena mereka membutuhkan Indonesia , sebagai
sumber berbagai resource dan kemakmuran (baik tambang dan hal-hal alamiah maupun tenaga kerja
murah) dan juga sebagai pasar yang luar biasa yang bisa membeli barang-barang produk mereka. Namun
para kapitalis global juga tidak pernah akan merelakan Indonesia - dan negara dunia ketiga- menjadi semakin
kuat dan menyaingi mereka: krisis Asia yang terjadi secara amat mendadak dan terasa tidak alamiah mungkin
adalah rancangan dari para kapitalis global ini. Tengok pula kasus Jepang yang ditekan oleh Amerika hanya
karena ia melakukan proteksi terhadap ekonomi nasionalnya yang menguat terus.

Semoga para wakil rakyat (MPR) yang sedang melakukan amandemen, dapat memikirkan secara lebih bijak
perlunya membuat pasal-pasal UUD baru yang lebih terperinci, yang lebih memperhatikan wacana-wacana
globalisme dan globalisasi secara lebih luas dan tidak terjebak pada rancangan-rancangan kekuatan
ketamakan global. Proteksi pada pertanian yang membuat kita mandiri dan tidak tergantung sama sekali ke
pihak asing dalam hal makanan merupakan hal yang selayaknya dituangkan dalam UUD. Proteksi pada
kepentingan-kepentingan nasional lain: membuat pasal-pasal yang menjadi fundamen kokoh bagi ekonomi
nasional yang memihak pada yang lemah dan tidak membeo pada ideologi hegemoni pasar bebas juga
selayaknya dipertimbangkan.

Keberpihakan pada yang lemah yang merupakan spirit masyarakat beragama di Indonesia perlu diwujudkan
dalam pasal-pasal yang nyata dan jelas dan tidak ambigu: % yang jelas bagi anggaran Pendidikan,
kesanggupan pemerintah untuk menjamin biaya pendidikan masyarakat sampai tingkat tertentu, proteksi
pada sumber-sumber daya alam dengan prioritas pada penduduk setempat, proteksi pada inisiatif-inisiatif
pemberdayaan masyarakat yang benar-benar berdasar pada kepentingan masyarakat, bukan pada
kepentingan asing. MPR juga perlu memikirkan secara serius pendistribusian wewenang, sehingga semua hal
tidak tertumpu hanya pada presiden. Kompleksitas permasalahan untuk menghadapi kapitalisme global
membuat terlalu riskan menumpukannya hanya pada presiden.

Tidak ada salahnya misalnya, media massa seperti TV, Radio dan Koran langsung ada di bawah kendali
MPR. Apakah kita akan terus menjadi ‘budak-budak’ sebagaimana budak-budak Afrika dahulu, ataukah
merdeka dan dapat hidup layak sebagai bangsa yang merdeka, tergantung pada mereka,- para wakil yang
menerima amanat dari rakyat. Bila para wakil rakyat dan pemerintah kembali kepada taqwa, menegakkan
sistem yang Adil dan berpihak pada para dhu`afa dengan niat lillahi ta’ala, dan kembali pada jati diri
masyarakat kita sendiri dalam menentukan berbagai kebijakan, seraya membebaskan diri dari berhala
globalisme , insya Allah, Tuhan akan menolong bangsa kita dan membimbingnya menuju masyarakat yang
adil dan menyempurna. Dalam keadaan yang demikian rumit ini, tidak ada harapan dan daya lain bagi
bangsa kita kecuali kembali kepada Allah, seraya memohon pertolongan dan petunjuk Nya. Niscaya, akan kita
temui bahwa Allah -lah sebaik-baik penolong.

Anda mungkin juga menyukai