Anda di halaman 1dari 13

Intelektual yang

Membebaskan: Menggagas
Opsi Dekolonial Melawan
Pembangunan yang
Menindas
“Tugas politik yang nyata dalam masyarakat seperti yang kita miliki adalah untuk mengkritik
cara kerja institusi-insitusi yang tampak seperti netral dan independen, untuk mengkritik dan
menyerang institusi-institusi itu sedemikian rupa sehingga kekerasan politik yang selalu secara
samar dan terselubung mengejawantah dalam institusi-institusi itu disingkap, sehingga orang
dapat melawan mereka.”
– Michel Foucault
Pengantar
Pembangunan dalam negara demokrasi selalu akrab dengan pelbagai masalah. Konteks
perekonomian klasik yang mengusung ideologi pertumbuhan menjadi bahan mentah corak
pembangunan kapitalisme-neoliberalisme zaman sekarang. Di Indonesia, kapitalisme-
neoliberalisme mendapat tempat sejak awal rezim Orde Baru. Problem utama pembangunan
terletak pada mutualisme negara-pemodal yang menyingkirkan masyarakat lokal. Selain neo-
kolonialisme dalam bentuk ketidakbecusan pelayanan infrastruktur, masyarakat juga mengalami
penindasan oleh sistem wacana yang disodorkan penguasa. Artikel ini mau mengetengahkan
tugas dan panggilan kaum intelektual sebagai pembebas masyarakat dari penjajahan sistemik
oleh hegemoni negara-pemodal. Penulis menampilkan gerakan intelektual dalam merancang
wacana tandingan dari golongan terjajah (masyarakat/the wrong), mulai dari penyadaran,
pembangunan sistem wacana tandingan, sampai gerakan resistensi yang mendesak negara
(demokrasi) bertanggung jawab atas pembangunan masyarakat.
Pemikiran mengenai pembangunan di Indonesia mulai gencar pada tahun 1949 ketika struktur
ekonomi kolonial beralih pada ekonomi nasional dengan menasionalisasi perusahaan-perusahaan
asing.[1] Sukarno konon mencita-citakan Indonesia yang anti imperialisme internasional yang
menurutnya dikuasai negara-negara maju sebagai instrumen ekonomi, politik dan militer untuk
menaklukkan negara-negara baru. Di lain pihak, sejak 1966, Soeharto mengadakan politik pintu
terbuka bagi investasi dan bantuan dari Barat.[2] Slogan anti-imperialis menjadi tidak penting
dan dengan itu kapitalisme berkembang pesat. Tidak seperti Soekarno yang kontra neo-
imperialisme dengan mengatakan ‘go to hell with your aid’, Soeharto menganut kapitalisme
yang akhirnya menjadi mindset umum pembangunan hingga hari ini. Sejak itu, masalah-masalah
akut beriringan dengan kerja pembangunan. Celakanya, kasus-kasus pembangunan itu menjadi
biang mandeknya perkembangan masyarakat. Alienasi masyarakat menjadi domino yang
selanjutnya membuat polarisasi monadis negara-masyarakat tidak terhindarkan.
Kemelut pembangunan akibat infiltrasi logika neoliberalisme ini alhasil memunculkan gerakan
intelektual sebagai aksi oposisional. Intelektual menjadi kelompok yang resisten terhadap
problem pembangunan, lantas menggagas agensinya yang khas dalam kerangka itu. Dari
kampus-kampus, muncul intelektual yang mengembangkan cakupannya sebagai kelas penengah
antara pengambil kebijakan (negara) dengan aktor sekaligus sasaran pembangunan (masyarakat).
Tulisan ini bermaksud mengetengahkan posisi kaum intelektual dalam kerangka kerja
pembangunan di Indonesia. Posisi kaum intelektual menjadi penting untuk ditelusuri mengingat
panggilan intelektual adalah membebaskan masyarakat, dalam konteks ini menggagas opsi
dekolonial bagi praktik pembangunan mainstream yang selama ini diterima taken for
granted dalam ketakberdayaan masyarakat.
Pembangunan Sebagai Neo-kolonialisme
 Kapitalisme-Neoliberalisme: Ideologi Pemburu Rente
Teori ekonomi klasik Adam Smith yang memproposalkan filsafat ekonomi liberalisme menjadi
titik pijak teori pembangunan dan modernisasi yang lahir pasca kolonialisme. Teori
pembangunan dan modernisasi mulanya mengembangkan pemikiran bahwa keterbelakangan
negara-negara Dunia Ketiga disebabkan oleh ketidakmampuan negara membangun
industrialisasi modern yang baik. Secara historis, teori ini lahir dari kecemasan Amerika Serikat
akan luasnya pengaruh sosialisme di negara-negara baru pasca Perang Dunia II.[3] Dalam pidato
pelantikannya sebagai Presiden Amerika Serikat tanggal 20 Januari 1949, Harry Truman
menyebut negara-negara di luar Eropa Barat, dan Amerika Utara
sebagai underdeveloped. Dengan itu, Truman menginisiasi pendekatan modernisasi dalam
pembangunan Dunia Ketiga dengan pertumbuhan ekonomi pada aspek GDP/GNP sebagai
kriteria dominan.[4]
Teori pembangunan dan modernisasi pada galibnya mengusung logika pertumbuhan. Teori ini
berpandangan bahwa, agar masyarakat di negara Dunia Ketiga bisa keluar dari keterbelakangan,
perlu diusahakan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan ekonomi diukur dari sisi
pendapatan. Kemajuan diukur dengan instrumen industrialisasi. Gross National Product
(GNP) menjadi ukuran kemajuan suatu negara. Dengan itu, upaya peningkatan melalui
industrialisasi menghalalkan segala cara, termasuk merusakkan ekosistem. Masalah lainnya
adalah urbanisasi melambung tinggi sedangkan perkembangan perdesaan dianggap tidak penting,
produktivitas industri mengorbankan perlakuan manusiawi terhadap manusia (tenaga kerja), dan
kolonisasi sektor ekonomi dianggap paling penting terhadap aspek lain dalam subjek manusia.[5]
Di Indonesia skema modernisasi-kapitalisme-neoliberalisme diterjemahkan sambil dimodifikasi
oleh rezim otoriter Orde Baru dalam “Pembangunanisme”. Alih-alih mencapai pembangunan
nasional, Soeharto melancarkan praktik ‘stabilisasi keamanan nasional’, frasa yang konon sangat
menyeramkan pada zamannya. Paradigma pembangunan ini menginginkan stabilitas yang
dicapai dengan cara apapun agar pembangunan ekonomi lancar dan merata. Kebebasan absen
dan kritik adalah subversif. Padahal, pembangunan tanpa kebebasan adalah kenaifan.

Pembangunan pada era Orde Baru mengetengahkan suatu konstelasi politik ekonomi yang
diramaikan oleh kelompok kapitalis domestik. Politik pintu terbuka yang dicanangkan Soeharto
melahirkan maraknya pananaman modal asing sekaligus pembentukan kapitalisme domestik.
Akan tetapi, menurut Vedi R. Hadiz, infiltrasi kapitalisme global pada masa itu sama sekali tidak
menjamin masuknya perangkat institusi dan ideologi yang berkaitan dengan demokrasi liberal
seperti yang terjadi dalam masyarakat Barat.[6] Berbeda dengan gejala kapitalisme Barat yang
menumbangkan kekuasaan kaum feodal, karakteristik kapitalis domestik di Indonesia pada era
Orde Baru tampak dalam sikap politik yang sangat tidak liberal atau menyokong kekuasaan
Soeharto. Kapitalis domestik hanya mementingkan akses dan pengaruhnya pada kebijakan
negara.
Desentralisasi politik sebagai salah satu agenda reformasi 1998 ternyata
tidak menjadi solusi bagi pemerataan pembangunan. Kapitalisme bahkan
menjadi lebih garang menancapkan kakinya di daerah, sebab tidak ada
kontrol pusat seketat Soeharto. Borjuasi lokal tampil sangat feodalistik,
penguasa lokal menjamin stempel legal bagi perusahaan, sedang
perusahaan wajib memberi mahar kepada penguasa.
Optimisme Smith bahwa kapitalisme akan membawa manusia ke tanah terjanji, tempat adanya
kebebasan, kesejahteraan, dan pencerahan, berhadapan dengan kenyataan bahwa kapitalisme
diwarnai oleh kompetisi bebas yang mengorbankan masyarakat, privatisasi aset oleh pemodal,
instrumentalisasi manusia dan marginalisasi kaum miskin, alienasi masyarakat lokal, perusakan
ekosistem, dan bahaya lainnya.

Logika pertumbuhan menjadi alasan mengapa penguasa lokal, misalnya di Kabupaten Manggarai
Barat, merasa bangga dengan begitu banyaknya turis asing yang mengunjungi Pulau Komodo,
atau berbangga dengan puluhan hotel (lima di antaranya berbintang lima) di Labuan Bajo. Sejak
tahun 1995 hingga 1997, jumlah turis asing yang mengunjungi Manggarai untuk melihat
Komodo sudah berada di angka 26.000 orang. Sejak tahun 1996, perkembangan pariwisata di
Manggarai Barat terhitung sangat pesat, bukan saja karena keberadaan Komodo, melainkan juga
oleh banyaknya destinasi wisata lain, misalnya pulau-pulau, fasilitas snorkeling dan diving, dan
lain-lain. Namun demikian, aktivitas bisnis di Labuan Bajo dikuasai oleh investasi asing,
misalnya hanya 5 dari 41 hotel dan penginapan yang dimiliki oleh warga lokal. Riset Hodgwin
menemukan bahwa hanya 17,5% pendapatan dari pengelolaan Taman Nasional Komodo yang
diperuntukkan bagi komunitas lokal.[7]
 Masyarakat dalam Moncong Neo-kolonialisme
Faktum pembangunan gaya neoliberalisme mempresentasikan suatu konfigurasi relasi bipolar;
negara dan kapitalis berkonfrontasi dengan masyarakat. Negara memiliki modal politik,
kekuasaan yang absah, dan basis massa yang mumpuni, sedangkan kapitalis memiliki modal dan
kapabilitas akumulasi modal yang tinggi. Pemodal menjadi basis finansial yang memperkaya
pemerintah, dan kekuasaan menjadi stempel legal bagi penancapan akrobatik ekonomi
kapitalistik dalam ruang negara.

Dengan kondisi seperti itu, jelas bahwa masyarakat yang tidak memiliki modal apapun akan
terdepak. Bahkan, tidak jarang terjadi pemilik modal tidak hanya berkolaborasi dengan
pemerintah tetapi menjadi pemerintah itu sendiri. Negara dikuasai oleh pemerintahan kelompok
pemilik modal (oligarki). Dalam studi Foucauldian, negara yang seperti ini disebut sudah
tergovermentalisasi dalam cara kerja neoliberalisme. Negara memfasilitasi dengan begitu rapi
peredaran bebas manusia dan modal, membangun sinergi mutualistik dengan pemodal, dan
membuka ruang kompetisi bebas a la neoliberalisme yang sudah pasti menumbalkan masyarakat
di lokasi pembangunan. Karena sudah disusupi governmentalisasi neoliberalisme, negara tidak
lagi menyadari desakan untuk menjawab pertanyaan apakah pembangunan berkontribusi bagi
kesejahteraan masyarakat.
Kesibukan mengeksploitasi manusia, alam, dan kapital menutup
kemungkinan pemikiran mengenai kepelakuan (agensi) masyarakat lokal
dalam pembangunan sehingga jelas pembangunan itu tidak akan
memberikan sumbangsih bagi kesejahteraan masyarakat.
Konfigurasi model bipolar ini kemudian menimbulkan domino persoalan yang lebih runyam lagi.
Modal sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain terlokalisasi hampir secara penuh pada mutualisme
penguasa-pemilik modal, sedangkan masyarakat cuma menjadi penghuni pasif dalam ruang
negara yang sewaktu-waktu dapat dicabut dari tempatnya demi kepentingan penguasa-pemilik
modal. Pada titik ini, neo-kolonialisme mewajah dalam dominasi negara terhadap masyarakatnya
sendiri. Hegemoni negara terhadap rakyatnya sendiri sedemikian kuat sehingga tidak tersisa lagi
akses serta kapabilitas sosial, politik, dan ekonomi di kubu rakyat. Rakyat mati, demokrasi juga
mati di tangan Leviathan:
Pertama, korupsi pembangunan kerapkali terjadi dalam konspirasi oligarki pemodal dengan
pemerintah. Akibatnya, anggaran pembangunan tidak digunakan semestinya bagi kemajuan
infrastruktur yang dalam banyak hal memungkinkan kemajuan dimensi kemanusiaan. Di
Manggarai Timur, misalnya, koalisi pemerintah dengan kontraktor menghasilkan jalan aspal
yang hanya berumur dua minggu. Hal ini sedikit banyak menjelaskan kolonisasi negara atas
masyarakat dalam hal pembangunan infrastruktur.[8] Masyarakat lokal dieksklusi sebagai tumbal
neoliberalisme negara.
Kedua, hal yang lebih krusial adalah kolonisasi negara atas masyarakat melalui manipulasi sitem
nilai yang diterima sebagai taken for granted. Penjajahan corak ini menggunakan unsur-unsur
pengetahuan untuk membangun sistem wacana pembangunan yang diterima oleh
ketidakpahaman masyarakat. Pembangunan wacana dimulai dengan memviralkan logika
pertumbuhan, bahwa masyarakat harus merasa puas dengan banyaknya investor, tempat wisata,
bantuan tunai, atau besarnya GDP, tanpa menggubris dimensi kondisi pembangunan yang bebas
dan demokratis. Dalam hal ini, hegemoni negara mengondisikan pengetahuan masyarakat
tentang politik pembangunan, sehingga apa yang tampak kepada masyarakat adalah realitas
pembangunan yang sudah maju oleh jasa negara.
Hegemoni negara memanipulasi wacana pembangunan sebagai suatu pandangan dunia umum
untuk melegitimasi status quo kekuasaan penguasa.
Penjajahan ideologis tampak dalam wacana-wacana kemiskinan dan
keterbelakangan yang memantik kepekaan negara untuk membantu,
padahal kemiskinan dan keterbelakangan tersebut tidak lain diakibatkan
oleh sistem kekuasaan yang koruptif. Contoh penjajahan jenis ini adalah
Bantuan Langsung Tunai.
Keadaan kemiskinan masyarakat dianggap oleh negara sebagai ketaknormalan. Dengan itu,
negara membuat ‘penyembuhan’ dengan bantuan uang tunai. Dalam kondisi kemiskinan yang
akut, sangat sah bahwa masyarakat menerima bantuan itu. Alhasil, praktik ini membangun
wacana besar dalam masyarakat bahwa negara sangat peduli terhadap masalah rakyat serentak
menimbulkan kecanduan yang terus menerus. Akibatnya daya juang yang kritis dari masyarakat
menjadi tumpul.
Ketiga, masyarakat dijajah secara demokratis. Karena tidak diuntungkan dalam kompetisi bebas
yang didominasi oleh penguasa dan para invisible hands, masyarakat dijajah secara politik, tidak
memiliki akses politik, defisit akses dan kapabilitas ekonomi, sosial, dan kultural. Masyarakat
tidak ditempatkan pada posisi sebagai citizen yang sejati atau sebagai agen politik. Pembangunan
dalam hal ini bercorak top-down, pemerintah membangun masyarakat tanpa memedulikan
masyarakat sebagai subjek yang otonom. Pembangunan seperti ini mengolonisasi masyarakat
secara demokratis, bahwa dalam kawasan politik seseorang dianggap sebagai subjek sejauh ia
dapat mengartikulasikan kepentingannya di lingkaran seputar kekuasaan.
Penstudi demokrasi liberal di Indonesia kerap menemukan bahwa populisme Presiden Jokowi
memenangi Pemilu 2014 silam mulanya merupakan simpul akumulasi kekecewaan terhadap
kondisi negara yang menghasilkan politik akrobatik yang menubuh pada sosok mesianis. Namun
demikian, populisme Jokowi mengandung paradoks.

Jokowi tidak dapat membuktikan bahwa antagonisme bersama yang ia


bangun dulu bisa menjadi poros yang kuat bagi politik kewarganegaraan
yang aktif. Hubungan liar oligarki (negara-pemodal) menjadi produsen
sistem wacana penindasan yang baru seperti pada era Orde Baru. Alhasil,
representasi masyarakat oleh politisi hanya ilusi.
Populisme Jokowi memberi kesan partisipasi rakyat yang hiperaktif, dipandu para politisi, pakar,
dan birokrat yang serba bisa. Demokrasi liberal di Indonesia mengandung surplus representasi
tetapi tidak kontributif terhadap demokrasi substansial, yakni politik kewarganegaraan yang aktif
dalam urusan publik. Birokrasi memperlakukan masyarakat tidak lebih dari tumpukan angka
statistik untuk urusan pembangunan dan LSM hanya menjadi penghubung negara-rakyat-pasar,
tanpa meningkatkan kapasitas dan kapabilitas agensi rakyat sebagai warga negara aktif.[9]
Intelektual yang membebaskan: posisinya dalam pembangunan
 Mengenal intelektual
Konsep intelektual dalam pengertian modern dikenal luas berkat Dreyfusard (pembela Alfred
Dreyfus) sejak “Manifesto Intelektual” 1898, yang terinspirasi oleh surat terbuka Emile Zola
berisi protes terhadap Presiden Prancis, mengutuk tipu muslihat terhadap perwira artileri Prancis,
Alfred Dreyfus, yang dihukum atas tuduhan pengkhianatan dan menjadi mata-mata militer. Para
pendukung Dreyfus meneguhkan gambaran para intelektual sebagai pembela keadilan, yang
melawan kekuasaan dengan keberanian dan integritas. Namun, sebagai kelas terdidik minoritas,
Dreyfusard kerap dikucilkan dalam kehidupan intelektual arus utama, khususnya oleh tokoh-
tokoh penting di antara “dewa akademisi Prancis”.[10]
Dalam Bahasa Indonesia, kata Bahasa Inggris intellectual ditransliterasikan sebagai
cendekiawan. Intellectual sendiri secara etimologis diturunkan dari kata
Latin interlegere atau intellegere, yang berarti ‘membaca hal yang tersirat’ atau ‘memilah-milah
secara saksama’. Dalam bahasa Jerman, kata Latin itu diterjemahkan sebagai unterscheidend
innewerden (membeda-bedakan secara saksama dan menghayati dalam hati). Kata itu menunjuk
pada aktivitas memikirkan secara mendalam dan menghayati secara intensif nilai-nilai tertentu.
Dalam aktivitas ini terkandung baik ethos (nilai-nilai luhur sebagai profesi) maupun moralitas
(nilai-nilai menyangkut baik buruknya tindakan manusia). Pada dasawarsa 1860-an di Rusia
dipakai kata intelligentsia untuk menyebut satu kelompok sosial baru dalam masyarakat Rusia,
yang terdiri dari kaum terpelajar yang pernah mengenyam pendidikan formal di Eropa Barat
yang merasa terpanggil secara moral untuk mengubah sistem nilai yang berlaku dalam
masyarakat dan mengatur ulang prioritas pengembangan hidup sosial, budaya dan normatif
masyarakatnya. Usaha membarui masyarakat ini disatukan oleh solidaritas demi mewujudkan
cita-cita kemanusiaan.[11]
Intelektual adalah orang terpelajar yang senantiasa membaca, berpikir, dan menganalisis
pelbagai masalah. Aktivitas membaca yang dibarengi dengan kegiatan berpikir dan menganalisis
dalam hal ini mengandung arti yang lebih luas menyangkut derajat pembacaan kasus secara
mendalam. Nalar intelektual diaktifkan sebagai pemantik proses analisis dalam institusi
pemikiran. Selain itu, posisi duduk pemikiran adalah hal khusus yang menentukan kekhasan
intelektual. Jika kegiatan berpikir dan menganalisis adalah umum dalam setiap manusia, maka
pemikiran kritis dan analisis ilmiah yang memiliki daya transformatif menjadi kategori khas
intelektual. Ketokohan intelektual tidak terletak melulu pada kegiatan berpikir dan menganalisis
tetapi lebih jauh menyangkut daya ‘magis’ yang dilahirkan dari pemikiran-pemikiran tersebut.

Dalam konteks sosial, aktivitas intelektual rupanya tidak dapat terpikirkan


di luar relasi kekuasaan. Ukuran kekritisan seorang intelektual terletak
pada kemampuan dan komitmennya untuk melihat kejanggalan-
kejanggalan dalam praktik kekuasaan lalu berdiri sebagai oposisi atasnya.
Dalam rimba kekuasaan, intelektual bertugas menjaga marwah nilai-nilai kebenaran agar tidak
kalah dalam persaingan dengan nilai-nilai mapan kelompok penguasa yang menjajah
masyarakat. Selanjutnya, upaya emansipasi menampilkan peran politis yang lahir dari kesadaran
agensi masyarakat dalam nuansa kebebasan.

 Intelektual membebaskan masyarakat dalam pembangunan


Pertanyaan penting yang menjadi pokok bahasan tulisan ini adalah, bagaimana intelektual tampil
sebagai pembebas dalam konfigurasi relasi bipolar negara (oligarki) dengan masyarakat yang
dijajah? Dalam kasus pembangunan, intelektual dapat mencakup akademisi kampus,
pegiat LSM, kelompok agamawan (misalnya Gereja) dan kelompok-kelompok perjuangan
lainnya. Tugas mereka tidak lain adalah menjadi advocatus diaboli (setan pengusik) bagi negara
serentak menjadi nabi yang membebaskan masyarakat.
Kehadiran intelektual berhubungan dengan kritik-kritik yang ditujukan kepada negara yang tidak
menjalankan kekuasaan secara baik. Secara praktis, intelektual dapat membangun resistensi
terhadap malpraktik kekuasaan negara dengan melancarkan kritik di media, menyelenggarakan
aktivitas ilmiah yang menganalisis soal pembangunan, atau aksi-aksi heroik yang berani,
misalnya mengagitasi pembangkangan masyarakat sipil (civil disobedience). Pembangkangan
bisa dilakukan, misalnya dengan memblokir keluar masuknya produk neoliberal yang secara
jelas merugikan masyarakat lokal.
Dengan kapabilitasnya yang memadai untuk bernalar kritis, intelektual harus berdiri pada posisi
masyarakat yang tertindas. Kondisi keterjajahan masyarakat mesti memanggil roh intelektualis
untuk membangun gerakan dekolonial, advokasi dan resistensi counter hegemony, emansipasi,
penyadaran, dan pembebasan. Masyarakat harus dibebaskan dari selubung pembangunan yang
sarat wacana dominatif dan menimbulkan ketakberdayaan lalu menerima wacana itu
sebagai taken for granted.
Pertama, penyadaran (konsientisasi). Pembangunan kesadaran dalam diri subjek politik menurut
Paulo Freire dapat dilakukan dengan membumikan paradigma pendidikan dialogal. Bagi Freire,
pendidikan selalu memuat pesan politik.[12] Pendidikan penyadaran adalah pendidikan politik
yang menggagas agensi (kepelakuan) subjek politik sebagai warga negara. Pendidikan dialogal a
la Freire menempatkan subjek pendidik revolusioner (kaum intelektual) pada posisi yang sama
dengan subjek tertindas (masyarakat). Interaksi antara kedua golongan ini menemukan realitas
sosial yang harus diubah bersama dalam frame humanisasi yang berkelanjutan. Paradigma
dialogal menjadi kritik atas pendidikan ketertindasan yang membangun kemapanan status quo
realitas kaum tertindas. Proses penyadaran tidak boleh dilakukan secara banking yaitu transfer
pengetahuan secara membabi buta kepada masyarakat, tetapi secara revolusioner dengan
menyajikan problem yang dianalisis secara kritis.
Kedua, Proses penyadaran pada gilirannya membentuk subjek berpengetahuan yang mampu
membebaskan dirinya sendiri. Kesadaran politik masyarakat tertindas membantu mereka
menemukan wacana pembangunan yang dominatif dari negara, pembangunan yang
membodohkan, yang melempemkan kekritisan, yang menciptakan konsumen (bukan citizen).
Penyadaran oleh intelektual membawa masyarakat keluar dari logika pertumbuhan pembangunan
dan mulai membangun gerakan pembangunan partisipatif. Pemahaman bahwa ekonomi menjadi
basis bagi superstruktur politik, sosial, dan kultural mesti ditransformasi menjadi pemahaman
subjek yang integral dan proporsional.
Tugas kelompok intelektual adalah membangun civil society yang kritis dan mampu menggagas
wacana tandingan, yaitu wacana pembangunan kaum tertindas. Penguatan civil society amat
penting mengingat dengan begitu masyarakat tidak hanya menjadi konsumen produk-produk
neoliberalisme, tetapi lebih dari itu menjadi warga negara. Kontrol regulatori negara melalui
wacana pembangunan yang tanpa disadari mendisiplinkan dan menormalisasi masyarakat
niscaya dapat dilawan dengan memahami kekuatan inti demokrasi, yaitu kuasa yang ada dalam
diri setiap subjek politik. Lebih jauh, masyarakat lokal didorong untuk resisten aktif
dengan communitiy base development, misalnya dengan membangun ekonomi pertanian skala
keluarga dalam agro-ecological farming di mana orang dapat berdaulat secara pangan dengan
mengembangkan pertanian ramah lingkungan untuk memenuhi kebutuhan komunitas mereka
sendiri.[13]
Ketiga, kesadaran masyarakat sebagai kaum tertindas di bawah wacana pembangunan yang
dominan selanjutnya membuka peluang-peluang resistensi politis dalam ruang demokrasi.
Resistensi dimungkinkan oleh keterbukaan pikiran sebagai aktor yang memerankan agensi
politik secara bebas. Penekanan pada kebebasan agensi dalam perjuangan melawan wacana
pembangunan yang hegemonik dibicarakan oleh Amartya Sen. Menurut Sen, logika
pertumbuhan akan menumpulkan daya pembangunan dalam hal kemajuan dimensi kemanusiaan.
Sen memproposalkan konsep kebebasan kepelakuan (agensi) dan mendorong masyarakat
melampaui kebebasan kesejahteraan.[14] Dengan begitu, kebebasan tidak hanya dipahami
sebagai kebebasan warga negara untuk menikmati pemberian negara, tetapi lebih jauh
memungkinkan warga melakukan sesuatu dalam kebebasan itu. Dalam hal ini, kebebasan
kesejahteraan akrab dengan pembangunan yang bercorak top-down, sedangkan kebebasan agensi
lebih cenderung ke arah pembangunan yang bottom-up. Pembangunan bottom-
up menomorsatukan kepentingan masyarakat lokal demi kemajuan bersama, bukan malah
mencampakkan mereka lebih lagi sebagai orang-orang kalah (the wrong Ranciere). Dengan
itu, communitiy base development mesti digagas dalam kerangka kerja politis melawan
pemiskinan struktural oleh negara.
Keempat, goal kerja intelektual dalam membebaskan masyarakat adalah memengaruhi
kebijakan politik negara agar berpihak pada masyarakat. Pengambil kebijakan dirorong untuk
meredefinisi pembangunan. Intelektual mesti mampu menggunakan kekuatan masyarakat
sebagai basis menekan negara yang dominatif, sebab pembangunan dalam aras demokrasi hanya
mengandaikan adanya kemampuan masyarakat sendiri. Dalam sinergi dengan pengambil
kebijakan, intelektual menjadi pemikir yang merancang paradigma pembangunan yang baru,
misalnya pariwisata sebagai leading sector di Manggarai Barat mesti mampu menggerakkan
roda ekonomi masyarakat lokal. Pembangunan harus mendorong partisipasi masyarakat, investor
asing dibatasi sesuai porsi tertentu dan harus berkomitmen membawa trickle down effect bagi
masyarakat lokal.
Penutup
Pembangunan yang menindas secara struktural memang tidak secara terang-terangan tampak.
Namun demikian, hal itu sangat berbahaya mengingat hegemoni struktural dalam hal manipulasi
sistem nilai akan memengaruhi banyak dimensi hidup manusia. Manusia akan menjadi tertindas
dalam ketidakberdayaan, meskipun hidup dalam suatu ruang publik negara demokrasi.
Hegemoni wacana pembangunan yang dominan, dalam hal ini menantang resistensi. Pada titik
ini, panggilan intelektual sebagai abdi masyarakat tidak boleh diabaikan. Intelektual adalah
pembebas yang bekerja bersama masyarakat tertindas membangun resistensi masyarakat
sebagai civil society dalam ruang demokrasi. Pembangunan yang mengangkat logika
pertumbuhan-neoliberalisme, yang berpotensi mengalienasi masyarakat harus dilawan dengan
wacana tandingan (counter hegemony).

Referensi
Budiman, Arief. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Ceunfin, Fransiskus. “Pemihakan Cendekiawan Terhadap Nilai-Nilai
Kemanusiaan”, VOX 47/2/2003.
Dale, Cypri Jehan Paju. Kuasa, Pembangunan dan Pemiskinan Sistemik. Labuan Bajo: Sunspirit
For Justice and Peace, 2013.
Denar, Benny. Mengapa Gereja Harus Tolak Tambang? Maumere: Ledalero, 2015.
Djalong, Frans, Dana Hasibuan, dan Andreas Widyanta, “Jalan Buntu Demokrasi Liberal dan
Krisis Perwakilan Politik di Indonesia: Pendekatan Kritik Ideologi”
<democracydevelopmentsecurity.org/jalan-buntu-demokrasi-liberal-dan-krisis-perwakilan-
politik-di-indonesia-pendekatan-kritik-ideologi/>, diakses 29 Maret 2018.

Fakih, Mansour. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Edisi Revisi. Yogyakarta:
Insist Press dan Pustaka Pelajar, 2009.
Hadiz, Vedi R. “Memahami Indonesia Lewat Bangkitnya Kapitalisme”, Pengantar dalam
Richard Robison. Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia. Depok: Komunitas Bambu,
2012.
Haryanto, Venansius. “Jejak Neoliberal dalam Pembangunan Pariwisata di Manggarai Barat-
Flores” islambergerak.com, <islambergerak.com/2018/02/jejak-neoliberal-dalam-pembangunan-
pariwisata-di-manggarai-barat-flores/>, diakses 27 Maret 2018.
Lukes, S. Emile Durkheim: His Life and Work. Palo Alto, CA: Stanford University Press, 1973,
dikutip Noam Chomsky. Who Rules The World. Penerj. Eka Saputra. Yogyakarta: Bentang,
2017.
Priyono, Herry. “Marginalisasi a la Neoliberal” BASIS No. 05-06, Tahun ke-53, Mei-Juni 2004.
Robison, Richard. Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia. Depok: Komunitas Bambu,
2012.
Sudiarja, A. “Pendidikan Radikal Tapi Dialogal” BASIS No. 01-02, Tahun ke-50, Januari-
Februari 2001.
Sunaryo, Etika Berbasis Kebebasan Amartya Sen. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2017.
voxntt.com. “Baru Dua Minggu Lapen di Jalur Benteng Jawa-Dampek Sudah Rusak”.
<voxntt.com/2017/10/13/ baru-dua-minggu-lapen-di-jalur-benteng-jawa-dampek-sudah-rusak/>,
diakses 27 Maret 2018.

Weinstein, Franklin B. “The Indonesian Elite’s View of The World and The Foreign Policy of
Development” Indonesia, Vol. 12. Oct., 1971.

Catatan akhir
[1] Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia (Depok: Komunitas
Bambu, 2012), hlm. 49.
[2] Franklin B. Weinstein, “The Indonesian Elite’s View of The World and The Foreign Policy
of Development” Indonesia, Vol. 12 (Oct., 1971), p. 97.
[3] Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Edisi Revisi (Yogyakarta:
Insist Press dan Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 53.
[4] Herry Priyono, “Marginalisasi a la Neoliberal” BASIS No. 05-06, Tahun ke-53, Mei-Juni
2004, hlm. 13.
[5] Benny Denar, Mengapa Gereja Harus Tolak Tambang? (Maumere: Ledalero, 2015), hlm.
46-47.
[6] Vedi R. Hadiz, Pengantar dalam Robison, op. cit., hlm. xxvi.
[7] Venansius Haryanto, “Jejak Neoliberal dalam Pembangunan Pariwisata di Manggarai Barat-
Flores” dalam islambergerak.com, <islambergerak.com/2018/02/jejak-neoliberal-dalam-
pembangunan-pariwisata-di-manggarai-barat-flores/>, diakses 27 Maret 2018.
[8] voxntt.com, <voxntt.com/2017/10/13/ baru-dua-minggu-lapen-di-jalur-benteng-jawa-
dampek-sudah-rusak/>, diakses 27 Maret 2018.
[9] Frans Djalong, Dana Hasibuan, dan Andreas Widyanta, “Jalan Buntu Demokrasi Liberal dan
Krisis Perwakilan Politik di Indonesia: Pendekatan Kritik Ideologi”
(democracydevelopmentsecurity.org/jalan-buntu-demokrasi-liberal-dan-krisis-perwakilan-
politik-di-indonesia-pendekatan-kritik-ideologi/), diakses 29 Maret 2018.
[10] S. Lukes, Emile Durkheim: His Life and Work (Palo Alto, CA: Stanford University Press,
1973), hlm. 335, dikutip Noam Chomsky, Who Rules The World, penerj. Eka Saputra
(Yogyakarta: Bentang, 2017), hlm. 1-2.
[11] Fransiskus Ceunfin, “Pemihakan Cendekiawan Terhadap Nilai-Nilai Kemanusiaan”,
VOX 47/2/2003, hlm. 62.
[12] A. Sudiarja, “Pendidikan Radikal Tapi Dialogal” BASIS No. 01-02, Tahun ke-50, Januari-
Februari 2001, hlm. 4-13.
[13] Cypri Jehan Paju Dale, Kuasa, Pembangunan dan Pemiskinan Sistemik (Labuan Bajo:
Sunspirit For Justice and Peace, 2013), hlm. 173.
[14] Sunaryo, Etika Berbasis Kebebasan Amartya Sen (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2017), hlm. 102.

Anda mungkin juga menyukai