Anda di halaman 1dari 8

DAMPAK GLOBALISASI TERHADAP PE RTANIAN

INDONESIA 1
Oleh : Iwan
Setiawan 2

Pendahuluan

Menghangatnya kembali diskursu s globalisasi dalam bangsa yan g aneh


ini , cukup tepat untuk direspon , karena sejatinya s truktur dan cultur bangsa
ini masih patut dipertanyakan kelayakan dan kesiapannya dala m menghadapi
globalisasi. Kenapa bangsa ini dikatakan aneh ? Karena bangsa yang secara
sah telah menyatakan keterliba tannya dalam globalisasi (baca : perdagangan
bebas) ini masih tetap tampak santai dan tidak responsif atas manuper p olitik
negara pesaing pra -globalisasi. Borok dan kelemahan bangsa yang masih
kentara disana sini, baik pada human capital, supporting inst itution , maupun
natural resources sepertinya enggan untuk dieli minasi oleh para pelaku
kebijakan .

Anehnya lagi, diskursus global isasi di Indonesia pada kenyataannya


hanya marak pada tataran wacan anya, sementara pasca legalisa si, entitas
ekonomi ini “sepi” seperti tidak mengerti atas su bstansi dan implikasi
globalisasi. Mungkinkah bangsa ini terlalu pede dengan kekayaan alamnya,
atau jangan -jangan kita ini memang terke na sindrom local community AIDS
(Stohr, 1990) . Tetapi “ Tidak ” kata para ekonom, karena sesu ngguhnya
globalisasi memberikan peluang yang sama kepada semua negara (kaya-
miskin, utara -selata n, timur -barat, dsb) untuk menjadi kuat dan kaya. Tetapi
harus ingat kata para sosiolog, bahwa globalisasi yang berpi jak di atas
kapitalisme juga berpeluang ba gi meningkatnya kesenjangan dalam relasi
dualisme tersebut.

Indonesia adalah negara kaya r aya, u ntuk itu wajar jika eksistensi nya
akan selalu menjadi pusat perh atian dan perburuan negara maj u yang miskin
sumberdaya alam. Indonesia diprediksi mampu men jadi negara terkaya Ke -5
di dunia, jika mampu menggali secara optimal dan mengatur pe ngeluarannya
(Pikiran Rakyat, 8 April 2004). Optimisme ters ebut jauh sebelumnya pun
diketahui semua negara maju, u ntuk itu mereka yang merasa te rancam akan
senantiasa menciptakan kondisi dan situasi yang tidak menduk ung ke arah itu.
Instabilitas politik dan eksploitasi s umberdaya dalam mendorong
kelangkaan akan semakin mengge jala di era globalisasi.

Indonesia adalah ladang invest asi yang potensial. Oleh karena itu neo -
kolonialisme akan senantiasa m encengkram. Jika strateginya tidak bisa
seperti Spanyol yang membabat hab is Suku Indian, atau Inggris a tas Suku
Aborigin, maka mereka akan men gandalkan TNCs dan kaum borjui s puritan
untuk menguasai Indonesia . Agar kita tidak menjadi budak , buruh, kuli, atau
“pemaklun” di negeri sendiri, maka sumbe rdaya lokal harus didorong unt uk

1 Makalah Disampaikan dalam Sem inar Interaktif Globalisasi Pe rtanian Indonesia,


Sudah Dimana? Gugatan Harga Diri Bangsa dan Nasib Petani. Bandung 10 April 2004

2 Staf Pengajar Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Unp ad

1
mengglobal. Untuk itu, kita ha rus memahami secara pasti arus pemikiran globalisasi
yang sesungguhnya, termasuk implikasi jangka pen dek dan jangka panjangnya.

Tinjaun Pra xis Globalisasi

Globalisasi merupakan kontinum dari skenario idiologi dan mode


kapitalisme liberal yang embrionya telah lama dicetuskan oleh Adam Smith.
Efisiensi ( profit maxization) adalah ruhnya, revolusi industri motornya, teknologi
dan institution al finance internasional (GATT, WTO, IMF) adalah media nya,
dan imperialisme / kolonialisme awal perwujudannya . Pelaku utamanya
adalah kaum borjuis ( the big bourgeoisie ), yakni Trans National Corporation
(Althusser) . Tujuannya adalah melanggengka n dominasi dengan menghindari
modus fisik melalui hegemoni, yakni dominasi (kolonialisme) perspektif dan
ideologi yang berbasis produks i ilmu, pengetahuan , dan teknologi . Pada
perkembangannya, hegemoni berk embang dari Merkanti silme ke berbagai
aspek neo-kolonialisme (ekonomi, sosial, politik, dan budaya). Secara praktis
historis -empiris , pen -Spanyol -an Amerika merupakan dasar globalisasi tahap
pertama , lalu disusul dengan perang d ingin (globalisasi idiologi) . Sedangkan
Marshal Plan merupakan awal dari peng -Amerika -an dunia (globalisasi
ekonomi modern) .

Secara teoretis globalisasi merupakan episodis dari teori evolusi (Hegel,


Comte, Darwin , Ricardo, Mill, Malthus ) yang meyakin i bahwa masyarakat
akan berkembang dari primitive ke modern, modernisasi seluaruh bangsa
(Rostow, McClelland, Inkeles), rekayasa sosial ( social engineering ) atau Social
Darwinisme (Spencer) , pengintegrasian ekonomi nasion al kepada sistem
ekonomi global (Fakih ), pembiasan batas -batas sosial , ekon omi, idiologi,
politik, dan budaya suatu nega ra atau bangsa (Tjiptoherijant o), penghapusan
peta dunia (Naisbith, Huntingt on, dan Topler), development aid (Kruijer),
percepatan kapitalisme pasca k risis kapitalis di tahun 1930 -an (Fakih), dan
basic need strategy (Grant).

Menurut Salim (1995), globalis asi mencakup lima unsur pentin g, yaitu:
1) globalisasi dalam perdagang an, yaitu dengan adanya AFTA, APEC, dan
WTO; 2) globalisasi investasi, dimana modal akan mengalir ke tempat yang
memberi bany ak keuntungan; 3) globalisasi industri, dimana suatu barang
tidak hanya diproduksi pada su atu tempat akan tetapi dibanya k tempat; 4)
globalisasi teknologi, terutam a teknologi di bidang informas i, telekomunikasi,
transportasi, dan sebagainya; dan 5) globali sasi konsumsi, dimana terjadi
peralihan dari pemenuhan kebut uhan ( needs ) kepada pemenuhan permintaan
(wants ). Dengan demikian terjadi red uksi kedaulatan ekonomi suatu negara
oleh konvensi internasional.

Anatomi Globalisasi

Imperialisme dan koloni alisme sebagai embrio Globalis asi lahir dan
dibesarkan oleh kaum borjuis d engan berbagai modus (Gold, Gl ory, Gospel),
sedangkan Globalisasi dibesark an oleh perusahaan -perusahaan raksasa
(Trans Nasional Corporations ) yang secara riil merupakan reinkarnasi kaum
borjuis yang paling diuntungkan oleh metode ekonomi tersebut . Adapun
modus nya adalah ekspansi produksi, ekspansi pa sar, dan ekspansi investasi,
yang didesakkan lewat skema perdagangan bebas dan pertumbuhan ekonomi .
Pendiriannya a dalah kebijakan free market yang mendorong swasta dan
pilihan konsumen, penghargaan atas tanggungjawab personal da n inisiatif
kewiraswastaan, dan menyingkirkan birokrasi (paras it). Karena konstruksinya
menjalar dalam iklim kapitalis me, maka wajar jika d alam dua dasa warsa
(1970 -1990) perusahaan TNCs meningka t secara menakjubkan dari 7000
menjadi 37000, dan menguasai 6 7% perdagangan dunia antar TNC s, 34,1%
total perdagangan global, dan menguasai 75% total investasi global. Secara
kelembagaan, patron -nya adalah WTO dan IMF (Word B ank), serta institusi -
institusi e konomi di tingkat regional dan nasional, dan secara politik
dipayungi oleh negara -negara maju (eks penjajah) .

Menurut Fakih (2001), g lobalisasi pada hakekatnya ber tumpu di atas


paham ekonomi neo-liberal. Para penganut ini per caya bahwa pertumbuhan
ekonomi akan dicapai dengan “k ompetisi bebas”. Kompetisi yan g agresif
merupakan implikasi dari trash bahwa “free market ” adalah cara yang efisien
dan tepat untuk mengalokasikan sumberdaya alam yang langka untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Ha rga yang berlaku merupakan ind ikator
apakah sumberdaya yang ada mas ih berlimpah atau sudah langka . Harga yang
tinggi berarti sinyal pos itif bagi investasi. Implikasinya, mereka berusaha keras
untuk menciptakan be rbagai kelangkaan sumberdaya d i negara dunia ketiga.
Prosesnya dilakukan me lalui invisible hand dan keluar dari
cengkraman kebijakan pemerinta h. Oleh karena itu mereka mema ndang proteksi,
subsidi, dumping, pa ham keadilan sosial, kesejahte raan bagi rakyat, kearifan
lokal dan sebagainya sebagai patologi ekonomi neo -liberal. Untuk itu mereka akan
berusaha secara la ngsung maupun tidak langsung m enghapus berbagai
kebijakan suatu negar a yang dapat merintanginya.

Secara historis empiris, globa lisasi lahir dari k onsensus para pembela
ekonomi private terutama wakil -wakil dari perusahaan raksasa yang
menguasai dan mengontrol pasar dan ekonomi internasional ser ta memiliki
kekuasaan untuk mendominasi in formasi (media massa) dalam me mbentuk
opini publik. Konsensus ters ebut lebih dikenal dengan “ The Neoliberal
Washington Consensus ”. Pokok -pokok globalisasi meliputi: Pertama, bebaskan
perusahaan swasta dari camput tangan pemerintah (perburuhan, upah,
investasi, harga), biarkan mer eka mempunyai otoritas; Kedua, hentikan
subsidi, longgarkan dan hilang kan kebijakan proteksi, lakukan privatisasi
atas BUMN; Ketiga, hapuskan kearifan lokal, pemil ikan komunal,
kesejahteraan bersama, serahka n pengelolaan pada ahlinya (pr ivatisasi)
jangan oleh masyarakat adat (l okal) ka rena tidak efisien (Fakih, 200 1).

Internasionalisasi produksi da n penguasaan ruang dalam distribusi


sebagai gejala globalisasi dip rakarsai lewat perubahan kebij akan
pembangunan nasional kearah in tegrasi dengan kebijakan internasional.
Pertanian (pangan) dan pertamb angan (bahan bakar) merupakandua sektor
yang menjadi fokus utama dari integrasi internasional, dan k arena keduanya
merupakan determinan lahirnya globalisasi. Adapun idiologi d an politik, tidak
lebih hanya sekedar pembungkus dari want yang sesungguhnya bertumpu
pada natural resources. Inti dari globalisasi sesunggu hnya tidak berbeda
dengan imperialisme atau kolon ialisme, yaitu penguasaan baha n baku
(Malthus). Menurut Adam Smith, Singer, Ar ndt, dan Becker, jalan menuju
globalisasi adalah human capital.
Globalisasi Pertanian di Dunia

Globalisasi pertanian secara k ausalistik muncul sebagai resp on atas


tesis Malthus (1766 -1834). Ini merupakan perwujudan dari idiologi
kapitalistik yang berkarakter efisien si (profit maxization ), competition for gain,
freedom, un -security, dan un-sustainability (sementara) yang eksis dalam
naungan prudence atau the invisible hand (Adam Smith) . Un-security inilah
yang mendorong revolusi indust ri, pencarian dan penakluk kan, imperialisme
atau kolonialisme di dunia, da n penemuan lewat rekayasa gene tik. Pada
dasarnya, un-security -lah yang me landasi semangat evolusi, dan social
darwinisme .

Pada perkembangannya, tesis Ma lthus bersimbiosis dengan keyakinan


dan mitos efficien cy sebagai satu -satunya prinsip dasar yang har us
dipergunakan dalam pengelolaan lingkungan alam, ekonomi, dan berbangsa.
Mitos tersebut kemudian berlanjut pada mitos lain, bah wa hanya Trans
National Corporations (TNC) yang memiliki jaringan pemasar an internasional
yang sudah mapan -lah yang paling efisien, dan o leh karenanya TNC lah yang
dipercaya dan ditaklidi sebaga i pihak yang paling berhak seb agai penyedia
pangan dunia.

Meningkatnya ketakutan akan ke langkaan panga n dan bahan baku


mendorong Rockefeller dan Ford Foundations terjun ke sektor pertanian.
Melalui US Agency for Internat ional Development (USAID), pad a tahun 1960 -
an memunculkan konsep pembangu nan pertanian yang kelak menja di hantu
bagi para petani, yaitu Gr een Revolution (IPFRI, 2003). Setelah itu muncul
International Rice Research In stitute (IRRI), Center for Mai ze and Wheat
Improvement (CYMMIT), hingga P utaran Uruguay, GATT, WTO, IMF , APEC,
dan sebagainya. Secara substan sial, klaim kekuasaan atas bio diver sity dan
berbagai inovasi dituangkan da lam lembaga Hak Paten dan Hak Atas
Kekayaan Intelektual (HAKI). K laim kekuasaan pasar dilembaga kan dalam
bentuk Kartel, Standar Internasional, bahkan Undang -Undang Bio -terorisme.

Semakin kuatnyanya TNCs, maka semaki n memonopoli inovasi dan


pasar. Berbagai macam sarana p roduksi, mulai dari benih, ala t mesin
pertanian, pestisida, modal, d an kriteria pasar dimonopoli o leh TNCs melalui
undang -undang Hak Paten. Ini merupaka n skenario pemusnahan kearifan
dan sumberdaya lok al. Negara-negara dunia ketiga harus tund uk pada
mekanisme TNCs, jika ingin men embus pasar internasional. San gat sadis,
karena segalanya menjadi keter gantungan atas input luar, ini lah yang disebut
dengan “Total Konsumen”. Sekal ipun ada penyerahan proses pr oduksi,
namun tidak lantas mendudukkan petani di negara dunia ketiga menjadi
produsen, karena sifatnya hany a melakukan titah (budak) “ngo rder atau
ngemaklun” yang posisi tawarny a serba lemah dalam segala hal .

Globalisasi Pertanian di Indonesia

Genderang g lobalisasi pertanian di Indonesia sesungguhnya telah


dimulai sejak pemerintah kolonial Belanda me nerapkan kebijakan
hongitochten, yaitu cara perdagangan monopol i yang disertai dengan
penghancuran kebun -kebun/ hutan -hutan rempah penduduk yang ber ani
menyaingi monopoli perdagangan tersebut (Satari, 1999). Pad a tahun 1830
globalisasi semakin kentara de ngan diterapkannya kebijakan tanam paksa
(cultuurstelsel ). Tanah sebagai sumberdaya al am yang penting dikuasai oleh
Pemerintah Kerajaan Belanda ya ng di desa diwakili Kepala Desa d an
dipinjamkan kepada petani, dan petani harus membayarnya. Pada tahun
1870 Pemerintah Kerajaan Belan da memberlakukan Undang -Undang Agraria
(Agrarische ) sebagai pelumas masuknya mod al swasta Eropa sebagai tongga k
pertanian modern ( estate ). Rakyat pedesaan yang semula merupakan petani
mandiri berubah status menjadi buruh perkebunan, dan berakhi r di awal
abad ke 19 (VOC bangkrut) .

Globalisasi pertanian di Indo nesia memuncak pada era 1970 -an, ketika
program Revolusi Hijau ( Green Revolusion ) intens diintroduksikan. Berb agai
input luar produk dari perusah aan-perusahaan TNCs dipaksakan kep ada
petani untuk diterapkan. Punca knya tercapai tahun 1985, yait u swasem bada
beras. Setelah itu intensitas dan eskalasi pasar input luar semakin menggila
seiring dengan dikembangkannya konsepsi agribisnis.

Di penghujung abad 20, kebijak an ekonomi makro Indonesia sem akin


jelas tepolarisasi pada pertum buhan. Implikasinya, alo kasi
sumberdaya untuk pembangunan pertanian te rgeser oleh sektor
manufaktur sebagai sektor prioritas. Dengan
demik ian, pembangunan yang selayakn ya
“agriculture -led ” menjadi di dominasi oleh pemba ngunan yang bersifat
“manufacturing industries -led ”.

Meningk atnya respon negatif dari berb agai kalangan atas dampak
negatif program Revolusi Hijau tidak lantas membuat TNCs ter henti. Melalui
sosialisasi pada berbagai ruan g publik, TNCs pun dapat melan gkah dengan
mulus lewat pendekatan Agribis nis. Lewat pendekatan i nilah senyatanya TNCs
dapat dengan mudah mengin tegrasikan pasar nasional keda lam pasar
internasional yang dikuasai da n dikontrolnya. Melalui pendek atan Agribisnis
dominasi TNCs diperhalus denga n menghadirkan keragaman istil ah yang
sepertinya berbau pemerat aan, seperti Contrac Farming, Kemitraan (PIR, TRI),
Rice Estate, Corporate Farming , dan sebagainya. Dengan demik ian,
perbudakan dan pemarginalan pe tani menjadi tidak kentara. Se cara sosial
praktis, TNCs pun menjadi baki ng para petani berdasi dalam s egala hal. Ini
merupakan praktik efisiensi ya ng perlahan namun pasti akan m enyingkirkan
para petani kecil (fenomenanya dapat kita saksikan pada usahatani sayuran
di Dataran Tinggi, poultryshop , dsb)

Dampak Globalisasi Pertanian

Globalisasi secara teor etis penuh dengan tuntutan atas neg ara-negara
yang ingin (dipaksa harus) ter libat, seperti mengendurkan be a masuk,
mengendurkan proteksi, mengura ngi subsidi, memangkas regulas i ekspor -
impor, perburuhan, investasi,dan harga, serta melakukan pri vatisasi atas
perusahaan milik negara. Kondi si tersebut tidak akan banyakmembawa
produk -produk lokal ke pasar internas ional. Sekalipun perusahaan -
perusahaan TNCs dibebani tangg ungjawab sosial, namun fenomen anya tidak
akan jauh berbeda dengan pola kemitraan atau contrac farming yang pada
hakekatnya bermodus eksploitas i.
Syarat -syarat yang ditetapkan sesungg uhnya merupakan peran
gkap yang sulit ditembus oleh negar a dunia ketiga. Kecenderungann ya akan
mempercepat proses penurunan d aya saing produk lokal. Pada
perkembangnnya, segala sesuatu yang berbau lokal akan melema h dan
hilang. Mahatir (Kompas, 5 / 2/ 2004 ) berpendapat bahwa pengi ntegrasian
perekonomian dunia hanya akan membawa malapetaka bagi negara
berkembang . Itu bukan hanya merusak ekon omi lokal, tetapi juga akan
menciptakan perlambatan ekonom i, anarki ekonomi, dan kekacau an sosial
(social chaos ).

Mander, Barker, dan Korten ( 2003) menyatakan bahwa globali sasi


ekonomi justru menciptakan kon disi sebaliknya dari klaim par a
penganjurnya. Kegagalan itu ti dak hanya disuarakan oleh opos isi tetapi juga
oleh para pendukungnya. UNDP ( 1999) melaporkan bahwa ketimpa ngan antar
petani kaya dengan petani miskin semakin m eluas setelah diberlakukannya
globalisasi. Adalah sistem per dagangan dan sistem keuangan g lobal sebagai
biang keroknya. Menurut CIA, globalisasi tidak menyentuh kaum miskin,
termasuk petani gurem ( peasant ) yang jumlahnya sanga t dominan di
Indonesia.

Globalisasi cenderung menghanc urkan tatanan dan modal -modal


sosial. Meskipun gagasannya di tuangkan dalam kerangka pember dayaan
masyarakat sebagai penampakan corporate social responsibilit y TNCs, namun
hasilnya tetap tidak pernah terwujud. Menurut Pollnac (1988) dan Garkovich
(1989), menghadirkan sebuah le mbaga baru dalam suatu masyara kat dengan
maksud memotong struktur hubun gan atau jaringan (sosial, kom unikasi,
kerja) yang telah terpola atau berlangsung mapan, merupakan skenario yang
tidak mengindahkan karakterist ik sosio-budaya dan pranata lokal, dan
dengan ini kegagalan bisa terj adi. Hasil penelitian FAO atas neg ara-negara
yang mengimplementasikan kesep akatan putaran uruguay di 16 n egara
menunjukkan telah terjadinyat rend konsen trasi pertanian yang jelas
berakibat pada marginalisasi p etani kecil, meningkatnya peng angguran dan
angka kemiskinan.

Impor berbagai produk dan baha n baku pertanian kian hari kia n
meningkat. Meskipun jumlah pro duk pertanian yang diekspor dan dipasarkan
di pasar domestik jauh lebih tinggi daripada imp or, namun selisih nilainya
hanya 2 persen (Khudori, 2003) . Nilai 2 persen sesungguhnya tidak berarti,
karena jika dianalisis , nilai transaksi berjalan prod uk pertanian Indonesia itu
sesungguhny a devisit. Betapa tidak, produk pertanian yang diekspor oleh
Indonesia sesungguhnya adalah produk yang padat dengan input luar
(impor). Keunggulan produk tersebut jel as sangat bersifat kompetitif semu
(shadow competitivenes ). TNCs sebagai pihak yang pal ing tahu akan efisiensi
memandang bahwa proses produks i usahatani ( on-farm ) sangat rentan
terhadap risiko dan ketidakpas tian , untuk itu ia menerapkan stra tegi
kemitraan atau contarc farming.

Memang sebagai “pemaklun” yang sangat ketergantungan, petani


Indon esia masih merasakan keuntunga n. Sebagaimana dikatakan Evans
(1979) dan Warren (1980), nega ra ketiga bisa menikmati kemaj uan meskipun
berada dalam kondisi ketergant ungan, suatu proses yang diseb utnya sebagai
“dependent development ”. Namun keuntungan terseb ut jauh lebih rendah
dibandingkan dengan biaya dan kerugian yang harus ditanggung , seperti
gangguan kesehatan, pencemaran lingkungan, serta risiko dan ketidakpastian
lainnya.

Dampak yang paling kentara ada lah terjadinya “kemandegan inovasi” dalam
seluruh sistem agribisni s. Ini merupakan implikasi dari
ketergantungan pada produk -produk impor . Pemikiran efisiensi yang diado psi
secara mentah -mentah telah menyebabkan bangs a yang kaya akan
sumberdaya ini jatuh pada buda ya instan dan malas . Produk -produk yang
senyatanya dapat diproduksi di dalam negeri didatangkan dari luar hanya
karena alasan murah. Para pela ku importir yang sesungguhnya merupakan
perpanjangan tangan dari TNCs dapat dengan mudah mendatangka n produk -
produk dari luar karena longga rn ya regulasi ekspor -impor. Dampak
budayanya adalah melemahnya pe nghargaan atas produk -produk lokal,
sebagai akibat dari berkembang nya budaya konsumerisme yang k ebarat -
baratan ( western ). Kondisi ini jelas sangat mengu ntungkan TNCs, karena
secara perlahan ino vasi lokal tercerabut dari bud ayanya. Ini merupakan
peluang besar bagi investasi.

Dampak lainnya adalah tidak be rperannya kelembagaan -kelembagaan


pendukung pertanian lokal. Hal ini terjadi karena TNCs selak u pihak yang
kuasa, telah memasok segala ke butuha n petani (buruh) secara langsu ng. Ini
pun merupakan rangkaian dari u paya untuk mengurangi campur t angan
pemerintah. Pada kondisi seperti ini, krea tivitas dan keinovatifan
kelembagaan pendukung pertania n pemerintah malah menjadi man dul.

Pada ujungnya, glob alisasi membawa seluruh warga dunia ke situasi yang
serba spekulatif. Meningk atnya dominasi dan persaingan tidak menutup
kemungkinan akan mendorong pih ak yang lemah untuk menerapkan strategi
picik, seperti polusi dan keka cauan pasar ( market chaos ), instabi litas dan
polusi politik, penghancuran komoditas lewat p enyebaran virus secara
terencana, social chaos , dan pembentukan opini publik .

Bagaimana sikap kita? Menurut Scott (1983), suatu p erlakuan tidak adil
akan dianggap eksploitati f oleh pihak yang berada dalam kondisi rawan
subsistensi bila: 1) kerangka legitimasi atas perlakuan ters ebut memang tidak
bisa diterimanya, dan 2) terse dia alternatif status selevel atau lebih rendah
yang bisa menampungnya bila ia terpaksa meninggalkan hubungan yang
tidak adil tersebut. Celakanya, kita sudah meratif ikasi perjanjian
perdagangan bebas tersebut , lalu apa yang perlu kita lakukan?

Jika mencari perimbangan d ampak positif Globalisasi bagi negara -


negar a dunia ketiga, jelas sangat k ecil dibandingkan dengan dampa k
negatifnya. Sama seperti halny a dengan mekanisme kolonilasim e, dampak
positifnya paling banter politik etis (pe mbangunan fisik). Kalaupun dil akukan
melalui peningkatan sumberdaya manusia tidak l ebih sekedar untuk
melanggengkan dominasi power dan mengeksploitasi budaya. Te tapi yang
pasti memberi peluang yang bes ar untuk memunculkan tandingan atau
komparasinya , yaitu lokalisasi ( localism ). Menurut Collin Hines (2000) d alam
bukunya “ Localization: Th e Global Manifesto ”, globalisasi bukanlah pember ian
tuhan, artinya ia dapat dirala t ke arah teologi baru globali sasi dengan lebih
memberi tempat kepada pahan localism yang melindungi dan membangun
kembali ekonomi lokal.
Gagasan Hines yang mengetengah kan Protect the Local Globally atau
pendekatan berbasis lokalita m emang lebih memberdayakan. Nam un itu saja
tidak cukup, karena untuk meni ngkatkan daya saing produk per tanian
Indonesia di pasar domestik ma upun internasional seperti sek arang ini, perlu
disertai dengan inovasi pada sistem pembangunan pertan ian secara
keseluruhan.

Penutup

Globalisasi telah berdampak lu as pada pertanian di negara -negara dunia


ketiga. Ketimpangan, kem iskinan, dan ketergantungan pa da berbagai input
luar adalah bukti konkri tnya. Pencabutan subsidi, privatisas i
sumberdaya dan institusi pemer intah, longgarnya kran impor s ebagai
prasyarat untuk ekspor, lenyap nya berbagai sumberdaya dan bu daya lokal,
membiasnya pemberdayaan, dan m andegnya inovasi merupakan dam pak
langsung dari globali sasi. Lemahnya kondisi interna l dan kuatnya
cengkraman internasional merup akan sinergi penghancuran kear ifan lokal di
negara dunia ketiga. Keberania n dan keberdayaan berinovasi
mengembangkan sumberdaya lokal (localism ) merupakan kunci untuk
membangun kemba li jati diri bangsa. Menggloba lkan inovasi lokal merupakan
indikator keberdayaan bangsa. Wallahua’lam.

Anda mungkin juga menyukai