INDONESIA 1
Oleh : Iwan
Setiawan 2
Pendahuluan
Indonesia adalah negara kaya r aya, u ntuk itu wajar jika eksistensi nya
akan selalu menjadi pusat perh atian dan perburuan negara maj u yang miskin
sumberdaya alam. Indonesia diprediksi mampu men jadi negara terkaya Ke -5
di dunia, jika mampu menggali secara optimal dan mengatur pe ngeluarannya
(Pikiran Rakyat, 8 April 2004). Optimisme ters ebut jauh sebelumnya pun
diketahui semua negara maju, u ntuk itu mereka yang merasa te rancam akan
senantiasa menciptakan kondisi dan situasi yang tidak menduk ung ke arah itu.
Instabilitas politik dan eksploitasi s umberdaya dalam mendorong
kelangkaan akan semakin mengge jala di era globalisasi.
Indonesia adalah ladang invest asi yang potensial. Oleh karena itu neo -
kolonialisme akan senantiasa m encengkram. Jika strateginya tidak bisa
seperti Spanyol yang membabat hab is Suku Indian, atau Inggris a tas Suku
Aborigin, maka mereka akan men gandalkan TNCs dan kaum borjui s puritan
untuk menguasai Indonesia . Agar kita tidak menjadi budak , buruh, kuli, atau
“pemaklun” di negeri sendiri, maka sumbe rdaya lokal harus didorong unt uk
1
mengglobal. Untuk itu, kita ha rus memahami secara pasti arus pemikiran globalisasi
yang sesungguhnya, termasuk implikasi jangka pen dek dan jangka panjangnya.
Menurut Salim (1995), globalis asi mencakup lima unsur pentin g, yaitu:
1) globalisasi dalam perdagang an, yaitu dengan adanya AFTA, APEC, dan
WTO; 2) globalisasi investasi, dimana modal akan mengalir ke tempat yang
memberi bany ak keuntungan; 3) globalisasi industri, dimana suatu barang
tidak hanya diproduksi pada su atu tempat akan tetapi dibanya k tempat; 4)
globalisasi teknologi, terutam a teknologi di bidang informas i, telekomunikasi,
transportasi, dan sebagainya; dan 5) globali sasi konsumsi, dimana terjadi
peralihan dari pemenuhan kebut uhan ( needs ) kepada pemenuhan permintaan
(wants ). Dengan demikian terjadi red uksi kedaulatan ekonomi suatu negara
oleh konvensi internasional.
Anatomi Globalisasi
Imperialisme dan koloni alisme sebagai embrio Globalis asi lahir dan
dibesarkan oleh kaum borjuis d engan berbagai modus (Gold, Gl ory, Gospel),
sedangkan Globalisasi dibesark an oleh perusahaan -perusahaan raksasa
(Trans Nasional Corporations ) yang secara riil merupakan reinkarnasi kaum
borjuis yang paling diuntungkan oleh metode ekonomi tersebut . Adapun
modus nya adalah ekspansi produksi, ekspansi pa sar, dan ekspansi investasi,
yang didesakkan lewat skema perdagangan bebas dan pertumbuhan ekonomi .
Pendiriannya a dalah kebijakan free market yang mendorong swasta dan
pilihan konsumen, penghargaan atas tanggungjawab personal da n inisiatif
kewiraswastaan, dan menyingkirkan birokrasi (paras it). Karena konstruksinya
menjalar dalam iklim kapitalis me, maka wajar jika d alam dua dasa warsa
(1970 -1990) perusahaan TNCs meningka t secara menakjubkan dari 7000
menjadi 37000, dan menguasai 6 7% perdagangan dunia antar TNC s, 34,1%
total perdagangan global, dan menguasai 75% total investasi global. Secara
kelembagaan, patron -nya adalah WTO dan IMF (Word B ank), serta institusi -
institusi e konomi di tingkat regional dan nasional, dan secara politik
dipayungi oleh negara -negara maju (eks penjajah) .
Secara historis empiris, globa lisasi lahir dari k onsensus para pembela
ekonomi private terutama wakil -wakil dari perusahaan raksasa yang
menguasai dan mengontrol pasar dan ekonomi internasional ser ta memiliki
kekuasaan untuk mendominasi in formasi (media massa) dalam me mbentuk
opini publik. Konsensus ters ebut lebih dikenal dengan “ The Neoliberal
Washington Consensus ”. Pokok -pokok globalisasi meliputi: Pertama, bebaskan
perusahaan swasta dari camput tangan pemerintah (perburuhan, upah,
investasi, harga), biarkan mer eka mempunyai otoritas; Kedua, hentikan
subsidi, longgarkan dan hilang kan kebijakan proteksi, lakukan privatisasi
atas BUMN; Ketiga, hapuskan kearifan lokal, pemil ikan komunal,
kesejahteraan bersama, serahka n pengelolaan pada ahlinya (pr ivatisasi)
jangan oleh masyarakat adat (l okal) ka rena tidak efisien (Fakih, 200 1).
Globalisasi pertanian di Indo nesia memuncak pada era 1970 -an, ketika
program Revolusi Hijau ( Green Revolusion ) intens diintroduksikan. Berb agai
input luar produk dari perusah aan-perusahaan TNCs dipaksakan kep ada
petani untuk diterapkan. Punca knya tercapai tahun 1985, yait u swasem bada
beras. Setelah itu intensitas dan eskalasi pasar input luar semakin menggila
seiring dengan dikembangkannya konsepsi agribisnis.
Meningk atnya respon negatif dari berb agai kalangan atas dampak
negatif program Revolusi Hijau tidak lantas membuat TNCs ter henti. Melalui
sosialisasi pada berbagai ruan g publik, TNCs pun dapat melan gkah dengan
mulus lewat pendekatan Agribis nis. Lewat pendekatan i nilah senyatanya TNCs
dapat dengan mudah mengin tegrasikan pasar nasional keda lam pasar
internasional yang dikuasai da n dikontrolnya. Melalui pendek atan Agribisnis
dominasi TNCs diperhalus denga n menghadirkan keragaman istil ah yang
sepertinya berbau pemerat aan, seperti Contrac Farming, Kemitraan (PIR, TRI),
Rice Estate, Corporate Farming , dan sebagainya. Dengan demik ian,
perbudakan dan pemarginalan pe tani menjadi tidak kentara. Se cara sosial
praktis, TNCs pun menjadi baki ng para petani berdasi dalam s egala hal. Ini
merupakan praktik efisiensi ya ng perlahan namun pasti akan m enyingkirkan
para petani kecil (fenomenanya dapat kita saksikan pada usahatani sayuran
di Dataran Tinggi, poultryshop , dsb)
Globalisasi secara teor etis penuh dengan tuntutan atas neg ara-negara
yang ingin (dipaksa harus) ter libat, seperti mengendurkan be a masuk,
mengendurkan proteksi, mengura ngi subsidi, memangkas regulas i ekspor -
impor, perburuhan, investasi,dan harga, serta melakukan pri vatisasi atas
perusahaan milik negara. Kondi si tersebut tidak akan banyakmembawa
produk -produk lokal ke pasar internas ional. Sekalipun perusahaan -
perusahaan TNCs dibebani tangg ungjawab sosial, namun fenomen anya tidak
akan jauh berbeda dengan pola kemitraan atau contrac farming yang pada
hakekatnya bermodus eksploitas i.
Syarat -syarat yang ditetapkan sesungg uhnya merupakan peran
gkap yang sulit ditembus oleh negar a dunia ketiga. Kecenderungann ya akan
mempercepat proses penurunan d aya saing produk lokal. Pada
perkembangnnya, segala sesuatu yang berbau lokal akan melema h dan
hilang. Mahatir (Kompas, 5 / 2/ 2004 ) berpendapat bahwa pengi ntegrasian
perekonomian dunia hanya akan membawa malapetaka bagi negara
berkembang . Itu bukan hanya merusak ekon omi lokal, tetapi juga akan
menciptakan perlambatan ekonom i, anarki ekonomi, dan kekacau an sosial
(social chaos ).
Impor berbagai produk dan baha n baku pertanian kian hari kia n
meningkat. Meskipun jumlah pro duk pertanian yang diekspor dan dipasarkan
di pasar domestik jauh lebih tinggi daripada imp or, namun selisih nilainya
hanya 2 persen (Khudori, 2003) . Nilai 2 persen sesungguhnya tidak berarti,
karena jika dianalisis , nilai transaksi berjalan prod uk pertanian Indonesia itu
sesungguhny a devisit. Betapa tidak, produk pertanian yang diekspor oleh
Indonesia sesungguhnya adalah produk yang padat dengan input luar
(impor). Keunggulan produk tersebut jel as sangat bersifat kompetitif semu
(shadow competitivenes ). TNCs sebagai pihak yang pal ing tahu akan efisiensi
memandang bahwa proses produks i usahatani ( on-farm ) sangat rentan
terhadap risiko dan ketidakpas tian , untuk itu ia menerapkan stra tegi
kemitraan atau contarc farming.
Dampak yang paling kentara ada lah terjadinya “kemandegan inovasi” dalam
seluruh sistem agribisni s. Ini merupakan implikasi dari
ketergantungan pada produk -produk impor . Pemikiran efisiensi yang diado psi
secara mentah -mentah telah menyebabkan bangs a yang kaya akan
sumberdaya ini jatuh pada buda ya instan dan malas . Produk -produk yang
senyatanya dapat diproduksi di dalam negeri didatangkan dari luar hanya
karena alasan murah. Para pela ku importir yang sesungguhnya merupakan
perpanjangan tangan dari TNCs dapat dengan mudah mendatangka n produk -
produk dari luar karena longga rn ya regulasi ekspor -impor. Dampak
budayanya adalah melemahnya pe nghargaan atas produk -produk lokal,
sebagai akibat dari berkembang nya budaya konsumerisme yang k ebarat -
baratan ( western ). Kondisi ini jelas sangat mengu ntungkan TNCs, karena
secara perlahan ino vasi lokal tercerabut dari bud ayanya. Ini merupakan
peluang besar bagi investasi.
Pada ujungnya, glob alisasi membawa seluruh warga dunia ke situasi yang
serba spekulatif. Meningk atnya dominasi dan persaingan tidak menutup
kemungkinan akan mendorong pih ak yang lemah untuk menerapkan strategi
picik, seperti polusi dan keka cauan pasar ( market chaos ), instabi litas dan
polusi politik, penghancuran komoditas lewat p enyebaran virus secara
terencana, social chaos , dan pembentukan opini publik .
Bagaimana sikap kita? Menurut Scott (1983), suatu p erlakuan tidak adil
akan dianggap eksploitati f oleh pihak yang berada dalam kondisi rawan
subsistensi bila: 1) kerangka legitimasi atas perlakuan ters ebut memang tidak
bisa diterimanya, dan 2) terse dia alternatif status selevel atau lebih rendah
yang bisa menampungnya bila ia terpaksa meninggalkan hubungan yang
tidak adil tersebut. Celakanya, kita sudah meratif ikasi perjanjian
perdagangan bebas tersebut , lalu apa yang perlu kita lakukan?
Penutup