Anda di halaman 1dari 7

KESEJAHYERAAN RAKYAT DALAM PANCASILA*

Prof. Dr. Muhadjır Darwin*

Pendahu luan

Hari ini 64 tahun yang lalu Pancasila lahir melalui pidato bersejarah
Sukarno di hadapan Panitia Persiapan Kemerdekaan lndonesıa. Pancasila
kemudian ditetapkan sebagaî dasar negara, dimasukkan di alinea keempat
pembukaan UUD 1945, dan dijabarkan dalam pasal-pasal dalam UUD 1945
kemudian diterjemahkan ke dalam banyak rumusan kebJjakan negara, baik
berupa undang-undang atau berbagai bentuk keputusan dan peraturan
pemerintah, pusat dan daerah. Semua kebijakan tersebut muaranya adalah
terwujudnya masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur, berdasarkan
Pancasila.
Kalimat-talimat indah d1 atas memerlukan konsistensi dar1 seluruh
elemen negara untuk mewujudkannya. Pertanyaannya adalah, apakah proses
penyelenggaraan kehidupan bernegara sekarang telah konsisten dengan
prinsip-prinsip nilai yang terkandung dalam Pancasîla dan telah pula secara
konsisten menghormati, metindungi, memfasilitasi dan memenuhi hak-hak
sosial warga bagi terwujudnya masyarakat lndonesia yang adil dan sejahtera?
lnilah pertanyaan dasar yang hendak dibahas dalam paper rîngkas ini.

Kesejahteraan Sosial: Sakralisasi, Simbolisasi Atau Implementasi?

Kesejahteraan Sosial dan Ekonomi Kerakyatan seolah menjadi kata


sakral, mantra yang diucapkan berulang-ulang ole para elit politik, apalagi
di musim kampanye pemiludan pilpres seperti sekarang ini. Semua partai
politik dan capres sibuk mengusung tema yang terkait dengan kem\skJnan
atau kesejahteraan sosial sebagai "juatan” nya, memanfaatkan simbol-
symbol ”wong cilik” seperti berkunjung ke pasar, ke sawah, mengenakan
caping atau memamerkan barang produk dalam negeri yang dikenakannya.
Di Pilpres 2009 ini konsep ”NeoliberafJsme” yan• dJanggap berfawanan
dengan konsep Ekonomi Kerakyatan dijadJkan sebagaJ senjata oleh calon
tertentu untuk menyerang calon lainnya. Pihak yang diserang pun s\buk
membela din bahwa mereka tidak seperti itu. Para politisk itu takut label
" Disampaikan dalam Kongres Pancas\la, Kerjasama Un\versitas Gadjah Mada dan Mahkamah
Konstitusi RJ, di Balai Senat Universitas Gadjah Mada, 30 he1-1 Juni 2009.
PenelitJ pada Pusat Penelitian Kependudukan dan Kebijakan UGM, dosen di Jurusan llmu
Administrai Negara Flsipol, UGM, Yogyakarta.

Konyres Pancasila 409


neolib mengancam popularitasnya, sama takutnya dengan orang di era
Soeharto jîka diberî label komunis; sama juga takutnya dengan orang
Ahmadiyah yang seolah menjadi "warga haram” di negara berdasar Pancasila
(yang seharusnya menghormati perbedaan) ini dan menjadi obyek kekerasan
setelah MUI memfatwakannya sebagai alîran sesat.
Padahal jika yang dimaksud Neolib adalah pengakuan terhadap
mekanisme pasar sebagai metode alokasi risorJs utama dan mempercayai
prîvatisasi sebagaî cara untuk meningkatkan efisiensi ekonomi, maka semua
mereka, yang menggugat atau yang tergugat, adalah juga pelaku (bahkan
pelaku utama) dari sistem ekonomi politik neoliberat yang sudah tumbuh
sejak awal pemerintahan Orde Baru.
Salah satu ciri dari masyarakat yang dikuasai oleh pasar adalah
terjadinya proses komoditifikasi yang maksimal. Di lndonesia sekarang ini
nyaris semuanya menjadi komodîtas; tidak hanya barang dan jasa yang lazim
menajdi komoditas (sepertî bahan makanan, pakaian atau kendaraan), tetapi
jabatan, suara, tubuh perempuan, sampai ayat-ayat Tuhan pun menjadi
komoditas.
Kecenderungan Indonesia kepada neolJb juga merupakan konsekuensi
dari globalisasi yang sulit dibendung. . Sepertinya sulit bagi lndonesia untuk
keluar dari jebakan pasar global yang semakin terbuka; sulit pula untuk
mencegah peran sektor swasta ketika negara mempunyai kapasitas yang
terbatas untuk mengurus semua urusan publik yang kian kompleks dan
birokrasi masih sarat korupsi dan maladministrasi.

Keberpihakan Pada Kesejahteraan Sosial

Jika dicermatJ, semua ideologi ekonomi-politik sebenarnya menjadikan


kesejahteraan sosial sebagai tujuan utama mereka. Ideologi kapitalisme
atau liberalisme dan komunisme atau sosialisme dipercaya oleh masing-
masing penganjur dan pengikutnya sebagai cara yang paling ampuh untuk
menciptakan kesejahteraan sosJal bagi semua.
Penganjur kapitat1sme percaya bahwa invisJble hand atau mekanisme
pasar merupakan instrument yang pal\ng efis\en untuk menciptakan
kesejahteraan masyarakat. Bukan suatu kebetulan jika Adam Smith memilih
judul The Weolth oj Nations untuk buku tulisannya. Para penganjur pasar
bebas tidak begitu percaya perencanaan negara sebagai metode alokasi
risoris yang efisien. Jika pun Negara harus melakukan intervensJ, hal Itu d\
lakukan hanya jika pasar mengalam\ kegagalan (karena menc\ptakan baran•
publik yang tidak mungkin disediakan oleh pasar). Tujuannya bukan

410 Kongres Pancasila


untuk menggantikan Negara, tetapi untuk menyehatkan pasar yang sakit.
Para penganut kapitalisme kurang percaya kepada negara karena para
pelaku negara tidak pernah bebas kepentingan. Mereka curiga perencanaan
negara lebJh mengedepankan kepentingan penguasa atau perencana
ketimbang kepent\ngan rakyat banyak. Munculnya arus privatisasi seperti
yang terjadJ d\ Amerika pada era Ronald Reagan atau lnggris pada era
Margaret Thatcher, adalah merupakan respon dari inefisiensi negara dalam
praktek kebijakan publik.
Sementara itu kaum kiri (sosialis, komunis, kerakyatan, atau nama-nama
lain yang satu arus) lebJh percdya kepada peran negara untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat (ada sejumlah perbedaan mendasar antar ideologi yang
dikelompokkan d1 kiri tersebut, tetapi terlalu panjang untuk didlskusikan).
Dalam pandangan mereka, pasar cenderung bisa kepada kelompok
strategis tertentu (elit ekonomi, kapitatis, borjuis atau konglomerat) dan
meminggirkan kelompok marginal (proletar, kaum miskln, buruh, petani
gurem, kelompok minoritas). "lnvisible hand" adalah mitos befaka, karena
dalam praktek kaum borjuis tersebut merupakan "visible hand" yang dengan
modal atau posisi strategis yang mereka miliki dan konspirasi yang mereka
bangun dengan penguasa, mereka dapat mendekte pasar demi kepentingan
diri dan kelompoknya. Negara dapat menggantikan atau melengkapi peran
pasar tersebut melalui undag-undang, kebijakan dan pelayanan publik, sudah
barang tentu jika negara dikuasai oleh kelompok politik yang beridiologi kiri
atau pro-rakyat.
Di literatur atau di dunia politik praktJs, perdebatan ideologi antara
poros kanan (kapitalisme, liberalisme, individualisme, ekonomi pasar
bebas) dan poros k\ri (sosialisme, komuniasme, ekonomi kerakyatan,
negara kesejahteraan), atau perdebatan antar Jdeologi yang ada d\ masing-
masing tanda kurung, telah berlangsung lama. Perdebatan lama itu telah
menghasJlkan banyak kompromi-kompromi (poros tengah). Terjadi "eksodus"
ideologi besar-besaran balk darl kirk ke kanan (fenomena Soviet dan China)
atau dari kanan ke kiri (fenomena Eropa Barat, Amerika Latin dan Asia).
Tetapi seberapa tengah variasinya banyak sekati. Amerika Ser\kat sejak
depresi ekonomi 1932 telah meninggalkan pasar bebas, tapi tetap lebih
liberal dibanding negara-negara Eropa Barat. Sistem negara kesejahteraan
yang berkembang di daratan Eropa Barat pun tidak tungga!. Pal\ng tidak
ada tiga macam bentuk negara kesejahteraan: (1) tiberal (misal: Amerika
Serikat), (2) sosial demokrat (misal: Swedia) dztn konservatif (misal: ltal1a,
Jerman). Sejumlah negara Amerika Latin mengembangkan system negara
kesejahteraan yang t\dak seluruhnya mengkop\ model Eropa Barat, karena

Kongres Pancasila
kemampuan ekonomi, latar belakang budaya dan sistem politik yang
berbeda.
Salah satu yang membedakan diantara mereka adalah berkenaan
denga bobot peran dari tiga institusi utama, ya\tu : keluarga, pasar dan
negara. Komibinasi peran dari ketiga institusi tersebut mempengaruhi
derajat dekomodifikasi terhadap berbagai barang dan jasa yang dibutuhkan
rakyat. Pada negara l\berat, pasar menjadi Jnstrumen utamanya dan posisi
keluarga serta negara cenderung mar•Jnal. Di sini komoditifikasi berlangsung
intens\f dan proses dekomoditifikasi, jikapun ada, berlangsung pada tingkat
yang minimal. Pada ne•ara sosial demokrat justru pasar yang mengalami
marginalisasi, sementara negara menjadJ instrumen utamanya. Hasilnya,
proses dekomoditifikasi berlangsung maksimal. Di negara konservatif
keluarga menjadi instrumen utamanya, sementara negara menjadi pelengkap
dan pasar menjadi merginal. Seperti juga pada negara sosial demokrat, di
negara konservatif ini dekomoditifikasi terjadi pada tingkat yang tinggi.
Ekonomi Pancasila yang pernah digagas oleh Prof. Mubyarto (almarhum)
dan Prof. Budiono merupakan salah satu varian dari poros tengah yang
dimaksud. Konsep ekonomi Pancasila yang ditawarkan oleh para ahli pun
cukup bervariasi. Apa yang ditawarkan oleh kedua ahli ekonomi tersebut
misalnya, tidak sanna dengan yang dJtawarkan oleh ahli lain (misalnya
Prof. Sri-Edi Swasono). Tetapi pertanyaannya adalah, bagaimana peran
negara, pasar dan keluarga harus dllatkkan dalam perspektif Pancaslla dean
bagaimana implementasi dari perspektif tersebut dalam praktek politik dan
kebijakan publik?

Perspektif Pancasi(a

Pancasila adalah dasar negara Indonesia, filsafat kenegaraan yang


menjadi basis ideology di dalam mengembangkan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan merupakan kesepakatan nasional di antara para pendiri negara
(founding fathers) ketJka mereka memproklamirkan berdJrinya negara RI.
Pancasila yang terdiri dari lima sial mengandung nilai-nilai universal yang
dibutuhkan bagi tegaknya suatu negara modern: nilai keberagaman yang
înklusîf (Ketuhanan Yang Maha Esa), humanJsme (Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab), nasionalisme (Persatuan lndoensia), demokrasi (Kerakyatan Yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan)
dan kesejahtera¿în (Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat lndonesia).
Nilai terakhir, kesejahteraan, secara implisit terdapat pada sila kelima
”Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat lndonesia”. Pada lambang Garuda

412 Kongres Pancasila


Pancasila konsep kesejahteraan digambarkan sebagai pada dan kapas. UUD
1945 versi terakhir (setelah mengalami 4 kali revisi) mempunya\ banyak
pasal yang mengatur tentang tanggun jawab negagra untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat.
Sejumlah hak dasar rakyat dirumuskan secara eksplis\t dalam
konstitusJ negara tersebut, seperti hak untuk hJdup serta
mempertahankan hidup dan kehidupannya, hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, hak mendapatkan pendidikan
dan memperoleh manfaat dari
itmupengetahuandanteknotogi,senidanbudayd,demimeningkatkankuaÜtas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusîa; hak untuk memajukan
dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa dan ne•aranya; hak atas status kewarganegaraan, hak
beı-komunikasi dan memperoleh informasi, hak kepemilikan dan memperoleh
pertJndungan atas diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan
harta benda yang d\kuasainya; hak sejahtera lahir dan batan, bertempat
tinggal, mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh
pelayanan kesehatan; hak untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama guna mencapai persamaan dan keadilan; hak atas jaminan sosial yang
memungkinkan pengembangan dırinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat; hak untuk kemerdekaan plkiran dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tîdak diperbudak dan seterusnya.
Perspekt\f hak warga tersebut sekarang telah menjadi basisJ dalam
berbagai kebijakan publik, seperti kebijakan penanggulangan kemiskinan,
kebijakan pendidikan, kebijaan kesehatan dan lain-laîn. Kebijakan
penanggulangan kemiskinan seperti tertuang dalam Strdtegi Nasional
Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) misalnya, secara eksplJsit menjadikan
hak sebagai perspektif datam penanggulangan kemiskJnan: ”Masyarakat
Indonesia back lake-laki atau perempuan memperoleh hak-hak dasar yang
menjamin harkat dan martabatnya sebagai manusia dan warga negara.” Hak-
hak tersebut harus diaktualisasıkan melaluî pencapaian sejumlah sasaran
sebagai berikut:
1. Tersedianya pangan yang bermutu dan terjangkau, serta meningkatnya
StZtfUS SIZI TütS'y'£tFBkatt, tOFUtü old ibU, bayi dan anak balita.
2. Tersedianya pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau tanpa
diskriminasi gender.
3. Tersedianya pelayanan pendidikan yang bermutu dan terjangkau tanpa
diskriminasi gender.
4. tersedJanya lapangan kerja dan berusaha, serta men\ngkatkan
kemampuan pengembangan usaha tanpa diskrim\nasi gender.

Kongres 41
5. Tersedianya perumahan yang layak dan lingkungan pemukiman yang
sehat.
6. Tersedianya air bersih dan aman, dan sanitasi dasar yang baik.
7. Terjamin dan terlindunginya hak perorangan dan hak komunal atas
tanah.
8. Terbukanya akses masyarakat miskin dalam pengelotaan dan pemanfaatan
sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan.
9. Terjaminnya rasa aman dan gangguan kemanan dan tîndak kekerasan,
terutama di daerah konftik.
10. Terjaminnya partisipasi masyarakat miskJn dalam keseluruhan proses
pembangunan.

Dalam SNPK t rsr hı tr. ditegaskan bahwa upaya menghormati, metindungî,


memfasilitasi dan memenuhi hak-hak tersebut menjadi tanggungjawab
bersama, pemerintah (pusat dan daerah) dan masyarakat.
Masyarakat (indîvidu dan keluarga) harus diberdayakan agar mereka
mampu melinciungi dan memenuhi hak-hak mereka sendin. Organisasi-
organisasi blsnis dan organisasi-organJsasi sosiat juga harus mengambil
perannya. Sudah barang tentu negara berkewajıban untuk menghormati,
melindungi, memfasilitasî dan memenuhi hak-hak tersebut. Negara
(pemerintah) harus juga melakukan langkah-langkah konkrit ketika elemen-
elemen masyarakat gagal memenuhînya, atau jJka ada perılaku di masyarakat
yang melanggar hak-hak sosial warga negara.

Problem lmplementasi

Sila-sila dalam PancasJla dan Pembukaan UUD 1945 mengandung nilaî-


nilaî yang mengamanatkan kepada negara untuk mewujudkan kesejahteraan
sosial seluruh rakyat Indonesia. UUD 1945 yang telah mengalami revisi empat
kali memuat banyak pasal yang secara rinci menjamJn terpenuhi hak-hak
sosial rakyat Indonesia. Sebagai penjabaran dari UUD tersebut, telah banyak
keluar kebijakan publîk yang mengatur lebih rinci lagi tanggungjawab
negara untuk menghormati, mel\ndungi, memfasJlıtasi dan memenuhi hak-
hak rakyat tersebut.
Tetapi dalam implementasinya, negara acapkali gagal memenuhî
amanat dari dasar Negara dan konstitusi tersebut. Ada tiga institusi yang
dalam negara kesejahteraan menjadı instrumen untuk mewujudkan hak-
hak rakyat: keluarga, pasar dan negara. Di sejumlah negara yan• menganut
sistem negara kesejahteraan, peran keluarga dan negara llebîh menonjol

414 Kongres Pancasila


dibandJngkan peran pasar. Terjadi proses dekomod\tifikasi yang sangat
luas terhadap barang dan jasa yang mempunyai peran strategis terhadap
kesejahteraan sosial warga: kebutuhan makan, perumahan, kesehatan,
pendidikan dan negara secara sungguh-sungguh melindungi hak-hak sosial
warga: hak beragama (dan tidak beragama), hak bertempat tinggal dan
mencarJ nafkah, hak mendapat informasi dan sejumlah hak sosial penting
lainnya.
Apa yang terjadi di lndonesia adalah semakin jauhnya kita dari prinsip-
prinsip negara kesejahteraan dan hal ini berarti semakin diingkarinya
Pancasila dalam kehidupan bernegara. Terjad\ komodJtifikasi yang luar biasa
terhadap hajat hidup orang banyak sepertJ privatisasi pertambangan dengan
pembagian keuntungan yang kurang menguntungkan lndonesia, pelanggaran
terhadap l‹ebebasan beragama dan berkeyakinnn (ternkhir kasus Ahmadiyah),
komersialisasJ pendidikan dan pelayanan kesehatan, privatisasi Keluarga
Berencana dan sebagainya.
Dibutuhkan adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk melakukan
revitalisasJ ideologi Pancasila dan menterjemahkan ideologi tersebut dalam
kebijakan-kebijakan publik dan menerapkannya secara konsisten da\am
penyelenggaraan kehidupan bernegara.

Kongres 41

Anda mungkin juga menyukai