Anda di halaman 1dari 46

PANCASILA

Mana yang Pancasilais?


Warming up. Mari Diskusi!

MENURUT KAMU,
PENTINGKAH PENDIDIKAN
PANCASILA DIAJARKAN DI
PERGURUAN TINGGI?

Kalau penting, MENGAPA?


Kalau tidak, MENGAPA?
APA MASALAHNYA?
 Absennya Politik Progresif: proyek politik yang berbasis pada kelas pekerja (buruh) dan keadilan sosial. Indonesia
tidak punya kekuatan politik progresif semenjak PKI dan afiliasi politik kiri lenyap di bawah cengkeraman Orde Baru.
Setelah PKI bubar, hampir tidak ada lagi organisasi politik yang menggemakan ideologi politik berbasis kelas pekerja.
Semua partai saat ini adalah “perusahaan”, dan tidak ada politisi di sana; yang ada hanya antek-antek neo-liberal dan
investor-investor kaya.

Apa akibatnya? Kapitalisme pasar semakin menguat. Oligarki (politik mempertahankan kekayaan) mengakar. Apa yang
disebut oleh Soekarno sebagai “marhaenisme” sudah lenyap. Marhaenisme adalah sosialisme ala Indonesia.
Sosialisme memperjuangkan hak kaum buruh, proletar, dan kaum tani melarat, yang telah dimiskinkan oleh
kapitalisme, imperalisme dan kolonialisme. “Kolonialisme dan imperialisme” kata Jeremy Bentham, filsuf utilitarian
Inggris, adalah KETOLOLAN.

Menguatnya hegemoni kapitalisme di segala bidang saat ini adalah masalah bangsa. Oligarki, pemiskinan struktural,
pencaplokan lahan masyarakat adat tanpa ganti rugi, dominasi investor, dan lain-lain adalah lonceng kematian
“keadilan sosial” di Indonesia, sekaligus pertanda kapitalisme (neo-liberalisme) semakin hegemonik.

Pancasila perlu diajarkan di kampus sebagai counter-ideology melawan ideologi kapitalisme dan paradigma neo-
liberal dalam pembangunan di Indonesia sekarang ini. Ingat: Menurut Soekarno, pancasila pada dasarnya KIRI: “sosio-
nasionalisme dan sosio-demokrasi”.
• Neoliberalisme saat ini juga menembus dunia pendidikan. Pendidikan saat ini
menjadi sangat mahal, yang mengakibatkan ketimpangan antara mereka yang
bisa mengakses pendidikan tinggi dan mereka yang tidak. Data yang dirilis BPS
2023 memperlihatkan: lebih dari 60% buruh pekerja di Indonesia hanya
menamatkan SD, SMP dan SMA. Hanya sedikit yang bergelar sarjana (S1-S3).

Ketimpangan ini dampak dari semakin mahalnya biaya pendidikan. Kompas


baru-baru ini menampilkan temuan bahwa kenaikan biaya pendidikan tinggi di
Indonesia melampaui peningkatan gaji masyarakat dengan akibat banyak
orangtua semakin sulit membiayai kuliah anak mereka. Penghasilan orangtua
berijazah sarjana diperkirakan hanya mampu membiayai kuliah anak mereka
selama 6 semester atau 69,6 persen biaya kuliah. Sedangkan penghasilan
orangtua yang hanya berijazah SMA ke bawah hanya menutupi 48,4 persen
total biaya kuliah atau setara membayar 4 semester saja.

Dengan demikian, di bawah cengkeraman logika pasar, pendidikan bukan lagi


jalan mencapai KESETARAAN antarmanusia, melainkan tempat REPRODUKSI
KETIDAKSETARAAN.
• Apa akibatnya? Hampir semua universitas atau perguruan tinggi saat ini
berorientasi pada kepentingan pragmatis pasar dan ekonomi. Mahasiswa
diarahkan dan dibimbing untuk menjadi “pemenang” (the winners) dalam
persaingan pasar global. Mahasiswa dilatih untuk menjadi homo economicus-
menjadi “roda ekonomi” atau buruh perusahaan. Namun, bukankah “mencari
kerja dan hidup sejahtera secara individual” adalah tujuan pendidikan? Jika
demikian tujuan pendidikan, maka dalam 50 tahun ke depan, lembaga-lembaga
pendidikan tidak ada, karena setiap company bisa membentuk “universitasnya”
sendiri.

Itulah sebabnya, mengapa saat ini ilmu-ilmu sosial- apalagi filsafat- kurang laku
dan kurang diminati. Jenis studi sejarah dan ilmu sosial, etika, filsafat,
kewarganegaraan, termasuk mungkin Pancasila diangggap tidak penting (studi
sampingan).

Apa dampak lebih lanjutnya? Semakin banyak sarjana, bukan hanya pengangguran
meningkat, tetapi juga tingkat ketimpangan sosial justru semakin tinggi. Artinya,
pendidikan tidak punya pengaruh terhadap perjuangan humanistis untuk
mewujudkan sila kedua dan kelima pancasila: kemanusiaan dan keadilan sosial
(kesetaraan antarmanusia).
• Pancasila dimaksudkan oleh Soekarno sebagai
counter-philosophy melawan
imperialisme/kapitalisme.

“…Pancasila adalah satu alat pemersatu… bukan


saja alat memersatu untuk di atasnya kita
letakkan Negara Republik Indonesia, tetapi juga
pada hakekatnya satu alat mempersatu dalam
perjuangan kita melenyapkan segala penyakit
yang kita lawan berpuluh-puluh tahun yaitu
penyakit terutama sekali, imperalisme.”
• Krisis Nasionalisme: POST-NASIONALISME. Dua bentuk: 1) Menguatnya
partikularisme dalam bentuk politisasi identitas, radikalisme agama,
terutama gerakan khilafah (pembentukan teokrasi). Ketika Benedict
Anderson berbicara tentang bangsa Indonesia sebagai “imagined political
community”, dia optimis bahwa bangsa Indonesia akan bergerak maju
meninggalkan fanatisme pada ikatan-ikatan primordial seperti agama.
Namun, Anderson adalah seorang konstruktivis yang memandang sejarah
selalu bergerak maju. Faktanya sekarang, sejarah Indonesia sedang ditarik
mundur oleh kekuatan-kekuatan Islam radikal yang hendak membentuk
khilafah. Artinya jika Indonesia ingin maju, redam dulu gerakan-gerakan
radikal agama ini. Pancasila menjadi penting karena kelima sila itu
menjadi ide penuntun tentang relasi ideal antara agama dan negara.
Bahwa sila pertama bukan penjamin teokrasi, sebab ada empat sila
lainnya yang menjadi public reason (nalar publik=kebaikan umum)
tentang bagaimana kita menjadi “warga negara”. Sila pertama, seperti
kata Yudi Latif, adalah signal bahwa bangsa ini dibangun dan berdiri di
atas dasar moral yang kuat.
• Sebagian mahasiswa terpapar paham-paham
radikal, termasuk di NTT. Penelitian yang
dilakukan beberapa dosen dari Ledalero tahun
2019 di lima kampus di NTT, menemukan bahwa
sebanyak 20,05% dari 200-an responden
terpapar radikalisme. Dibandingkan mahasiswa
dari ilmu sosial/humaniora, mahasiswa ilmu
eksata dan kedokteran mudah disusupi paham-
paham radikal. Mengapa? Perbedaannya ada
pada paradigma teknis (instrumental intelectual)
dan paradigma humanistik (critical intellectual).
2) Menguatnya kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme itu baik. Etika
kosmopolitan digagas oleh Kant dalam bukunya, Toward Perpetual Peace.
Menurutnya, karena semua orang adalah warga kosmos atau dunia yang
bulat ini maka semua orang berhak untuk tinggal di mana saja, dan karena
itu, suatu bangsa harus terbuka untuk menerima orang-orang asing, imigran,
pendatang, non-pribumi, dan lain-lain. Kosmopolitanisme juga mendorong
solidaritas global dan kerja sama lintas negara.

Namun apa masalahnya? Ketika kosmopolitanisme menguat, ikatan-ikatan


kolektif dengan komunitas lokal dan nasional menjadi renggang.
Nasionalisme (nasionalisme sipil) memudar. Civic solidarity menjadi rapuh.
Orang-orang berdemo ketika warga Palestina ditembak Israel, namun
tetangga rumah yang berbeda agama dibenci sebagai kafir. Orang-orang
marah ketika Trump mengeluarkan ucapan rasis terhadap orang kulit hitam
Amerika, tetapi bersikap acuh tak acuh dengan ucapan rasis yang
dialamatkan kepada orang Papua. Sila ketiga Pancasila menghidupkan
kembali “nasionalisme sipil” dan solidaritas kolektif bangsa (bukan
nasionalisme identitarian) sebagai ideologi tandingan terhadap globalisasi
pasar yang didukung etika kosmpolitan.
• Krisis solidaritas: memudarnya bangsa sebagai metafor
kebersamaan warga negara. Bahasa yang menegaskan suatu
“kita” kini diganti bahasa kepentingan diri. Ungkapan “kami
bangsa Indonesia” hilang ditelan fanatisme sempit kelompok
dan ketidaksetaraan sosial-ekonomi yang makin tajam. Jika
dulu Soekarno mengidealkan kebangsaan sebagai “kehendak
hidup bersama,” (Renan), “rasa senasib” (Bauer), “persatuan
orang dan tempat” (Ki Bagoes), saat ini, kehendak hidup
bersama ditantang fanatisme mendirikan negara agama. Rasa
senasib ditantang ketidaksetaraan sosial-ekonomi yang makin
tajam. Kesatuan geopolitik ditantang oleh xenofobia, rasisme
dan anti minoritas: etnis Tionghoa yang sudah berabad-abad
tinggal di Indonesia masih dipandang sebagai pendatang;
orang Papua masih dipanggil monyet, dan lain-lain.
• Tiga Gejala penting sebagai akibat krisis solidaritas:
a) Pertama, apa yang disebut oleh Beck sebagai ciri umum masyarakat
post-modern yaitu risk society, “masyarakat resiko”. Masyarakat resiko
adalah masyarakat yang memiliki kontrol lemah terhadap mekanisme
pasar dalam birokrasi-birokrasi publik sehingga alih-alih menghasilkan
ulang solidaritas kebangsaan, demokrasi malah meningkatkan distribusi
resiko-resiko baik terhadap sesama maupun alam.
b) Kedua, pudarnya solidaritas kolektif melemahkan ketahanan nasional.
Globalisasi dengan mudah membuat kita terasing dan terbelah, seperti
memandang anggota jaringan global al-Qaeda sebagai kawan,
sementara sesama anak bangsa dari keyakinan berbeda ditatap sebagai
musuh.
c) Ketiga, tirani pasar di mana uang menjadi kode sentral seluruh interaksi
sosial kita. Uang menjadi alat pemersatu baru menggantikan bangsa,
civil society dan metafor solidaritas lainnya. Tirani pasar atau uang
dapat menghancurkan nilai-nilai dan norma moral yang penting dalam
mencirikan relasi publik kita sebagai warga negara. Tirani pasar juga
mendorong sikap permisif terhadap ketidaksetaraan.
• Indonesia adalah bangsa yang sangat plural. Perbedaan itu baik karena
memperkaya kita sebagai bangsa. Namun, kita tidak boleh melupakan
memori sejarah bahwa perbedaan mudah diperalat oleh kekuatan-
kekuatan politik sebagai modal politik (politisasi identitas) sehingga rentan
menimbulkan sentimen kebencian dan konflik. Bagaimanapun juga,
pluralitas di Indonesia sangat sensitif dan rentan terhadap konflik. Yang
menjadi perhatian tentu saja kelompok-kelompok minoritas. Kelompok
minoritas selalu menjadi objek ancaman dan korban hegemoni kelompok
mayoritas. Pancasila adalah falsafah yang menampung dan mengatasi
perbedaan, sebuah prinsip keseimbangan dan harmoni, sekaligus
melindungi kelompok-kelompok minoritas yang rentan menjadi sasaran
kebencian dan hegemoni kelompok mayoritas. Oleh karena itu, Pancasila
tidak hanya menampung prinsip-prinsip etika komunitarian (nilai-nilai
budaya dan agama yang mengikat individu-individu) tetapi juga prinsip
liberal-sekular (nilai-nilai yang mendukung kebebasan individu dan
mengamankan posisi kelompok minoritas dari ancaman dan arogansi
mayoritas).
• Dalam kaitan dengan problem konflik kepentingan
politis, Pancasila digagas oleh Soekarno sebagai
upaya integrasi politik yang mempersatukan dan
mempertemukan berbagai kelompok politik dan
kepentingan pada masa itu. Dia tidak sekadar
berpikir tentang integrasi sosial atau budaya, tetapi
suatu tempat yang lebih luas, di mana semua
kelompok politik terpenting pada masa itu
(Nasionalis, Islamis, dan Sosialis/Marxis) merasa
terwakili asasnya, identitas dan kepentingannya
(Kleden, 2020). Dalam bahasa ilmu politik, Pancasila
adalah suatu bentuk “Agregasi kepentingan politik”.
Aktualitas dan Peran Pancasila
• Pancasila adalah dasar (falsafah), pandangan hidup, ideologi
nasional (inklusif), ligatur (pengikat/pemersatu). Dkl, pancasila
adalah dasar yang memersatukan dan menuntun (pancasila sebagai
leitstar-bintang penuntun) yang dinamis dan direktif.
• Pancasila adalah sumber jati diri bangsa, kepribadian, moralitas,
dan haluan keselamatan bangsa. Itu berarti, Pancasila adalah
sebuah paham, konsepsi, visi dan cita-cita bangsa Indonesia di
tengah berbagai macam arus pemahaman, ideologi, konsep dan
nilai-nilai yang menyebar lewat proses globalisasi. Pada masa
perang dingin misalnya, liberalisme dan komunisme menjadi
ideologi dominan. Namun bangsa Indonesia mampu mengatasi
ketegangan itu sekaligus menjadi sintesis sehingga menampilkan
suatu konsep demokrasi dan kebangsaan yang berbeda sama sekali.
• Pancasila menjadi pokok moralitas dan haluan bangsa dalam beberapa hal
berikut:
a) Nilai ketuhanan/religius menjadi fundamen moral bangsa. Itu berarti,
Indonesia bukan negara sekular murni. Dalam negara sekular, agama adalah
urusan privat. Agama tidak boleh masuk ke ruang publik (privatisasi agama),
atau domestifikasi agama- “Agama tidak terlihat” (Tan, Agama Minus Nalar,
2020). Menurut Pancasila, agama memiliki peran publik sebagai “etika
sosial”. Nilai-nilai religius ditarik substansinya dan dijadikan sebagai penuntun
moralitas publik warga negara. Di sisi lain, Indonesia bukan negara agama.
Artinya, kerangka liberal-sekular tetap dibutuhkan agar pluralitas bisa
ditampung dan dihargai. Kaum minoritas di berbagai negara seperti Kristen
Koptik di Mesir, Muslim di AS, dan minoritas agama di Indonesia cenderung
memilih secular-nation state karena bentuk negara seperti inilah yang mampu
melindungi hak-hak minoritas. Kesimpulannya: Pancasila adalah public
religion, yang menolak tesis separasi maupun privatisasi, dan menerima tesis
diferensiasi. Artinya: agama dan negara tidak dipisahkan, melainkan perannya
dibedakan.
• Nilai kemanusiaan/HAM dijunjung tinggi. Secara keluar, bangsa Indonesia memiliki
komitmen kemanusiaan dalam bentuk “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan asas kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Ke dalam,
bangsa Indonesia “menghormati dan melindungi hak-hak asasi manusia, menjamin
hak warga negara.”

• Persaudaraan dalam bangsa sendiri: Pancasila menghendaki solidaritas kolektif yang


lebih sempit (smaller solidarity), solidaritas dengan sesama bangsa Indonesia,
melampaui segala perbedaan. Hal ini tidak berarti, kosmpolitanisme diabaikan.
Pancasila adalah titik temu antara etika solidaritas kebangsaan dan solidaritas global,
nasionalisme dan kosmopolitanisme.

• Menjunjung tinggi kedaulatan rakyat (demokrasi) melalui permusyawaratan


perwakilan. Artinya Pancasila menjamin keberlangsungan demokrasi melalui “etika
diskursus”. Menurut Habermas, etika diskursus mengandung tiga variabel kunci
Wacana: bahasa diarahkan pada asas ketepatan, kebenaran dan kejujuran. Asas
ketepatan: hubungan bahasa dengan dirinya sendiri. Asas kebenaran: hubungan
bahasa dengan realitas yang ditunjuk dalam bahasa (Lacan menyebutnya “representasi
dari yang lack”. Asas Kejujuran: hubungan bahasa dengan si penutur/pemakai bahasa.
Dengan itu, demokrasi indonesia adalah juga Demokrasi Delibaratif.
• Pancasila menjadi landasan perjuangan keadilan sosial. Di
satu sisi, Indonesia menampung gagasan keadilan liberal:
setiap warga negara memiliki hak milik dan bebas
mengembangkan usaha-usaha ekonomi. Di sisi lain, agar
kompetisi tidak menyingkirkan yang lemah, maka kompetisi
bersifat kooperatif, berlandaskan asas kekeluargaan. Dalam
hal ini, Indonesia menganut gagasan keadilan distributif yang
digagas John Rawls: setiap orang memiliki peluang yang fair
untuk mencapai posisi-posisi strategis, namun, posisi strategis
itu hanya dapat dibenarkan secara moral jika sebagian
pendapatan menguntungkan orang-orang yang paling kurang
beruntung. Teori Rawls adalah sintesis antara liberalisme
klasik dan paham sosialisme.
Historisitas dan Genealogi Pancasila:
Perdebatan Para Founders
1. Historisitas HISTORISITAS PANCASILA??
Historisitas bukanlah sejarah. Sejarah - Pancasila adalah “SEBUAH TEKS”:
adalah peristiwa masa lalu (past) yang A. Hasil diskursus dan debat (textere)- “jejak
melibatkan tokoh-tokoh tertentu, yang pikiran”, atau menggambarkan “historical
diselidiki dan ditemukan. Historisitas- being”. Pancasila digali dari bumi Indonesia tidak
menurut Heidegger- adalah suatu berarti GEOGRAFIS melainkan EKSITENSIAL,
temporalisasi searah dari masa lalu, di artinya ada jejak historis manusia (bangsa)
mana manusia menempatkan dirinya Indonesia di dalam Pancasila sebagai teks.
dalam kontinuasi (continuum) historis B. Suatu tenunan (textere) atau karya bersama.
yang bermakna, dan ini menyokong Setiap fase konseptualisasi Pancasila melibatkan
totalitas proyeksi diri manusia menuju partisipasi berbagai unsur dan golongan:
masa depan dengan isi dan makna.
nasionalis, religius dan sosialis.
Karena itu, historisitas tidak hanya
sekuensi waktu tetapi juga keadaan C. Pengertian real: Pancasila dibacakan oleh
manusia sebagai “historical being”. Soekarno, 1 juni 1945, sebagai TEKS/NASKAH
Dengan kata lain, manusia mempunyai PIDATO. Soekarno menyampaikan empat prinsip:
kodrat historis eksistensi, “gembala kebangsaan,internasionalisme/perikemanusiaan
ada”, dan memaknainya. , mufakat/demokrasi, kesejahteraan sosial,
ketuhanan yang berkebudayaan.
Pancasila=Sejarah Teks
2. Karena itu, historisitas pancasila
adalah sejarah teks. Dalam “Mengetahui sejarah redaksi ini
hermeneutika, setiap teks yang merupakan prasyarat penting untuk
diproduksi dalam kebudayaan selalu menyimak makna teks itu dalam
mempunyai semacam riwayat hidup hubungan dengan konteks penciptaan
berupa penyusunan, kodifikasi atau penyusunannya karena sering
perubahan, revisi redaksi, dan mungkin terjadi pergantian atau pertukaran
juga otorisasi teks yang terjadi dari
semantik, penambahan anotasi,
waktu ke waktu.
penyisipan bagian-bagian baru dalam
SEBAGAI TEKS, PANCASILA TIDAK „KERAMAT ATAU editing, perbaikan sintaksis, yang
KEBAL INTERPRETASI“- PANCASILA JUSTRU mengakibatkan pergeseran makna atau
DIPERLUKAN UNTUK MENGHASILKAN DISKURSUS
perubahan tekanan pada bagian teks
DAN PIKIRAN.
itu” (Kleden, 2020).
Roland Barthes: „Kematian Pengarang“-
ketika sebuah karya dihasilkan,
pengarangnya harus dianggap mati, agar
pembaca bangkit.
Jadi, PANCASILA HARUS DIPANDANG
SEBAGAI TEKS:

Sebagai teks, Pancasila butuh


interpretasi terus menerus. Itu yang
disebut Kuntowijoyo sebagai
“radikalisasi pancasila” Radikalisasi
artinya revolusi gagasan, agar pancasila
selalu selalu segar, efektif, dan menjadi
petunjuk tata kelola bangsa di tengah
perubahan zaman yang makin cepat.
Heidegger menyebut radikalisasi sebagai
“proses menuju dasar tanpa dasar”.
Artinya Pancasila adalah dasar, namun
dasar ini bukan dasar yang
fondasionalistik, melainkan dasar yang
terbuka.
Tiga Fase dan Dinamikanya
 Persatuan Nasional: Pembentukan “identitas
A. Fase Pembuahan kolektif” melampaui perbedaan suku, etnis,
“Pancasila adalah buah dari pergulatan intelektual agama dan kelas melawan musuh bersama yaitu
“kolonialisme Belanda”. Pembentukan identitas
yang panjang dalam sejarah”. kolektif pada masa kolonial tidak terlalu sulit
karena “musuh bersama” (Carl Schmitt) mudah
 Pergulatan Intelektual: Kemerdekaan Pikiran untuk diidentifikasi dan dipetakan. Di semua
Melawan Kolonialisme-imperialisme. Jauh sebelum tempat di Indonesia, “kolonialis dan imperalis
Pancasila di rumuskan oleh Soekarno, Perhimpunan Belanda” dicitrakan sebagai “musuh” sehingga
Indonesia (1924) telah merumuskan konsep tentang dilawan. Maka Di era post-kolonialisme,
sebuah “BANGSA MERDEKA” dengan empat gagasan pertanyaan yang muncul adalah “Setelah
pokok: Persatuan Nasional, Solidaritas, Non- Kolonialisme Belanda berakhir, apa yang
kooperasi, dan Kemandirian (self-help). menyatukan kita bersama sebagai bangsa?”.
Pertanyaan ini menjadi diskursus hingga saat ini,
berkenaan dengan problem disintegrasi bangsa:
 Dalam empat prinsip ini, terkandung dua pikiran
GAM (religionasionalisme), Papua Merdeka
pokok: 1) Kemerdekaan sebagai individu dan sebagai (Ethnonasionalisme), Republik Maluku Selatan
bangsa adalah hak asasi; 2) Kolonialisme- (Ethnonasionalisme).
imperialisme dalam segala bentuknya adalah
ketololan.
Jadi, persatuan nasional mengkonstruksi political
counter-signifier: “Kami bangsa Indonesia vs Mereka
penjajah”.
• Selain melalui penciptaan imajinasi tentang  Solidaritas: berarti menghapus perbedaan di
“musuh bersama”, persatuan nasional antara rakyat Indonesia dan lebih
mendorong munculnya “political identity”. mementingkan konflik-konflik kepentingan
antara pihak penjajah dan terjajah . Solidaritas
“ Identity politics is a political approach in which a dibangun di atas perasaan “senasib-
particular group of people base their political sepenanggungan” yaitu sama-sama merasa
thoughts and agenda on particular identities such sebagai korban dari kolonialisme dan
as, religion, race, ethnicity, gender, issues, and imperialisme Belanda. “Kesamaan nasib”
other determining factors. In scholarly literature, sebagai korban menyatukan imajinasi seluruh
the term remains a contested concept.” bangsa dan nusantara untuk melawan
penjajahan. Dengan demikian, solidaritas di
sini lebih sebagai sebuah “sentimen” bukan
“Politik identitas” dulu bermakna sangat signifikan
“prinsip”. Perasaan sebagai korban
dan positip: pada awal abad ke-20 (pra-1945),
menyatukan bangsa dan membentuk
politik identitas memainkan peran penting untuk
solidaritas untuk melawan kolonialisme. Baru
menyatukan masyarakat akar rumupt melawan
di era demokrasi, solidaritas adalah “prinsip
kolonialisme Belanda. Terutama, pada masa ini,
etis” yang menjadi dasar moral bangunan
gerakan-gerakan rakyat berbasis Islam sangat kuat,
demokrasi sebuah bangsa seperti Indonesia.
dan berhasil menyatukan “ummah (umat)” dalam
Jika pada solidaritas “sentimental” (pra-1945)
perjuangan melawan efek eksploitatif
belum ada rumusan bersama tentang tujuan
kolonialisme. Jadi, pre-1945: perjuangan melawan
bangsa, pada era post-kolonialisme, ada
kolonialisme dilakukan dengan memperkuat
kesadaran solidaritas dibangun atas dasar
sentimen kelompok identitas yang disebut
dan demi “tujuan bersama sebagai bangsa.
“pribumi”. Konsep “persatuan nasional”
(nasionalisme) pd masa itu dipahami dalam
konteks itu, berbeda dari makna “persatuan
nasional”/nasionalisme pada masa kini.
 Non-kooperasi/non-konformitas:
tidak mau bekerja sama dengan
penjajah, atau keharusan untuk
mencapai kemerdekaan melalui usaha
bangsa Indonesia sendiri, sebab pihak
penjajah mustahil memberikan
kemerdekaan. Prinsip “the dignity of
nation” sebetulnya sudah mulai di
sini: rasa malu jika bergantung pada
bangsa lain, rasa malu jika mengemis
kebebasan kepada orang
lain/penguasa/penjajah.

Albert Camus:
“The freedom is not the gift received
from the State or a leader, but a
possesion to be won everyday by
effort of each and union of all”
 Kemandirian: keharusan membangun sebuah struktur
nasional, politik, ekonomi dan hukum alternatif yang berakar
kuat dalam masyarakat pribumi dan sejajar dengan
pemerintahan kolonial. Konsep “kemandirian” berdiri di atas
gagasan filosofis bahwa “setiap bangsa memiliki otonomitas
untuk mengatur diri sendiri, membentuk perangkat
insititusional, hukum dan tujuan-tujuannya.

• Empat hal tersebut merupakan sintesis dari ideologi-ideologi


terdahulu. Ide persatuan nasional merupakan gagasan utama
dari indiche partij; ide non-kooperasi merupakan platform
politik komunis; dan kemandirian merupakan tema dari
serikat Islam. Solidaritas adalah titik pangkal dari ketiga
pikiran tersebut.
• Tan Malaka: Ide Republik
 Menulis “Naar de Republiek Indonesia”. Dia orang
pertama yg mencetuskan nama “Republik Indonesia”
(Bentuk Negara yg tidak bisa diganti). Ide republik sudah
berkembang di Barat, dengan tiga gagasan pokok: 1)
Kebebasan warga negara; 2) Common good: sebuah
bangsa didirikan karena ada tujuan bersama yang mau
dicapai; 3) Pemisahan urusan publik dan privat; agama
dan negara; politik dan iman; ayat-ayat konstitusi dan
ayat-ayat suci.
 Tan Malaka memaparkan cita-cita republik itu di
Indonesia dengan gagasan pokoknya: “sebuah republik
perlu didirikan untuk mengembalikan kekuatan sosial,
budaya, politik, dan ekonomi ke tangan rakyat setelah
mengalami penjajahan dan imperialisme Belanda dan
kapitalisme global. Ini berkaitan dengan pengaruh
Marxisme yang kuat pada Tan Malaka, sebagaimana
terbaca dalam karyanya Madilog.
 Ide Tan Malaka dipengaruhi oleh konsep res publica yang
berkembang dalam filsafat politik Barat (Rousseau,
misalnya- volonte generale) dalam pengertian bhw
Indonesia adalah hak yang harus dikembalikan pada
rakyat. Demokrasi sbg kekuasaan rakyat sudah muncul
sejak lama di Indonesia.
• 20 tahun, dalam sidang,
BPUPKI (29 September
1945), ada perdebatan:
apakah bentuk negara
Indonesia adalah monarki,
teokrasi atau republik.
Mohamad Yamin angkat
suara dan meneruskan
gagasan Malaka bahwa
“negara Indonesia bukan
negara golongan, angkatan
atas, atau negara bangsawan
melainkan negara kerakyatan
yang pemimpinnya dipilih
sendiri oleh rakyat”.
Tjokroaminoto: Sintesis Islam,
Sosialisme, dan Demokrasi
 Cokroaminoto berpandangan bahwa Islam tidak
bertentangan dengan sosialisme dan demokrasi.
Bahkan di inti ajaran Islam, ada unsur “sosialis”
dan “demokratis”. Islam yang sejati adalah Islam
yang memperjuangkan “kesetaraan” (politik dan
ekonomi) yang juga merupakan semangat
saosialisme. Oleh karena itu, Islam harus
melawan eksploitasi, ketidakadilan, penjajahan
dan imperialisme/kapitalisme. Islam yang sejati
juga menghargai “kebebasan”. Maka segala
bentuk kolonialisme yang mengekang
kebebasan harus dilawan.

“Jika kita kaum Muslim, benar-benar memahami


dan secara sungguh-sungguh melaksanakan ajaran
Islam, kita pastilah akan menjadi para demmokrat
dan sosialis sejati.” (Cokroaminoto)
• Sama dengan Cokroaminoto, Soekarno
berpandangan bahwa pergerakan rakyat
Indonesia mempunyai tiga sifat: nasionalistis,
islamistis dan marxistis. Menurut Soekarno, dari
pengalaman banyak bangsa jajahan di Asia, tiga
hal ini bisa bekerja bersama-sama, berkolaborasi,
dan karena itu tidak perlu dipertentangkan. Islam
(agama) tidak perlu dipertentangkan dengan
Marxisme karena jika agama mengajarkan
kesetaraan antarmanusia, Marxisme juga
memperjuangkan ide kesetaraan manusia
(ekonomi) dari ketidakadilan struktural yang
disebabkan oleh kapitalisme.
• Sintesis ketiga unsur di atas lahir adalah gagasan
Soekarno tentang “sosio-nasionalisme dan sosio-
demokrasi”. Sosionasionalisme adalah semangat
kebangsaan yang menjunjung tinggi
kemanusiaan, ke dalam dan keluar. Sosio-
demokrasi adalah demokrasi yang
memperjuangkan keadilan sosial, yang
memperhatikan tidak hanya hak-hak sipil dan
politik, tetapi juga hak-hak ekonomi.
• Sumpah Pemuda: Menerobos Sekat
 Puncak fase pembuahan adalah sumpah
pemuda (28 Oktober 1938).
 Sumpah pemuda: menawarkan universalitas,
melampaui partikularitas dan eksklusivisme
kelompok.
 Visi Sumpah Pemuda: mempertautkan berbagai
macam perbedaan dalam bangsa dengan ide
persatuan (tanah air, bangsa, dan bahasa).
 Sumpah pemuda menerobos batas-batas
sentimen etno-religius, atau mengikis bahaya
etnonasionalisme atau religio-nasionalisme
dengan gagasan tentang “kewarganegaraan
yang menjamin solidaritas atas dasar kesamaan
tanah tumpah darah, bangsa dan bahasa.”
Konsep solidaritas yang ditawarkan sumpah
pemuda ini disebut “civic solidarity” atau “civic
nationalism” yang berbeda dengan “ethnic-
religio solidarity” atau “identitarian natiolism”.
B. Fase Perumusan (1 Mei-1 Juni ‘45) Meskipun begitu, perdebatan yang
menarik tidak dapat dihindarkan. Ada dua
Pertanyaan penting fase ini adalah
perdebatan menarik tentang dasar negara yang
“apa dasar negara yang ideal?” Para
patut dicatat yaitu 1) Perdebatan antara Natsir
founders mengemukakan pandangan
dan Soekarno; 2) Perdebatan antara Hatta dan
berbeda-beda: ada yang mengatakan
Soepomo.
Ketuhanan adalah fundamen; ada
yang mengajukan kemanusiaan; ada
yang mengajukan nilai persatuan; ada 1. Soekarno dan Natsir tentang posisi agama
yang mengajukan demokrasi dalam hubungan dengan negara.
permusyawaratan; ada yang
mengemukakan keadilan dan Soekarno adalah representasi kelompok
kesejahsetaraan sosial. nasionalis sekular yang memperjuangkan
pemisahan tegas antara agama dan negara.
“Secara substantif, semua prinsip Sedangkan Natsir menyampaikan aspirasi
dasar negara tersebut diterima dan kelompok muslim nasionalis yang
diusung baik oleh golongan memperjuangkan pertautan antara agama dan
kebangsaan maupun Islam.” negara sebab agama tidak hanya mengatur
hubungan antara manusia dan Tuhan tetapi
juga manusia dengan manusia dalam domain
sosial politis.
• Gagasan sekularisasi (pemisahan agama dan negara) dari Soekarno diinspirasi oleh
Kemal Ataturk di Turki. Ataturk mengganti hukum syariah dengan kode hukum
Barat, setelah lebih dahulu melebur sistem Khilafah dengan Republik Turki. Pada 3
Maret 1924, Ataturk memberlakukan UU yang berbunyi: menghapus sistem
kekhalifahan, menurunkan khalifah, dan mengasingkan bersama seluruh
keluarganya, menghapus kementerian syariah, dan menyatukan sistem pendidikan
syariah di bawah menteri pendidikan. Revolusi dari pemerintahan teokratis ke
pemerintahan sekular ini ditentang oleh kelompok yang anti-Barat yang disebut
kelompok anti-kamalis.
• Menanggapi itu, Soekarno menulis artikel „Apa Sebab Turki Memisahkan Agama
dari Negara?“ Menurut Soekarno, kebijakan Ataturk menunjukkan Turki yang
modern adalah Turki yang anti kolot, anti soal-soal lahiriah dalam hal ibadat, tetapi
tidak anti agama. Orang tetap bebas beragama dan beribadat. Jadi, bagi Soekarno,
agama dan negara perlu dipisahkan. Pemisahan agama dan negara mengandung
dua makna: 1) pemisahan ini bukan bentuk anti agama, melainkan anti dominasi
agama dalam politik; 2 pemisahan agama dan negara justru membuat agama lebih
subur dan otentik karena tidak dikendalikan oleh negara atau tidak diintervensi
kepentingan politik.
• Natsir menolak ide pemisahan agama dan negara. Menurut Natsir,
kenegaraan pada pokoknya merupakan satu bagian yang tak dapat dipisahkan
dari Islam. Yang menjadi tujuannya adalah kesempurnaan berlakunya hukum
ilahi baik yang berkenan dengan individu atau masyarakat, kehidupan setelah
mati atau kehidupan di dunia fana ini. Dengan kata lain, Natsir menganjurkan
pertautan antara agama dan negara.

• Perdebatan Soekarno dan Natsir kemudian digaungkan kembali oleh


perdebatan antara kelompok Islam liberal dan literal hingga kini. Kelompok
Islam liberal meneruskan ide pemisahan (ide pembedaan/diferensiasi) antara
agama dan negara. Tokohnya adalah Nurcholish Madjid, Ahmad Sahal, Ulil
Abshar Abdalla. Mereka memunculkan gagasan sekularisasi Islam. Sedangkan
kelompok Islam literal memperjuangkan ide Natsir tentang pertautan antara
agama (Islam) dan negara, hingga ke bentuk yang lebih radikal, seperti
mendirikan negara Islam Indonesia. Tokoh-tokohnya: Adian Husaini, Hartono
Ahmad Jaiz, Jafar Umat Thalib, dan Habib Rizieq.
Berdasarkan konsep Hegel, Muller
Perdebatan Hatta dan Soepomo menyebut empat poin dalam
konsepnya tentang negara
• Soepomo menganjurkan konsep “negara integralistik” intgralistik:
atau “sistematik negara kekeluargaan”. Yang dimaksud
negara kekeluargaan bukan “politik dinasti” melainkan a. Negara adalah ikatan erat
suatu bangsa yang berdiri di atas semangat
antara individu-individu dan
“kekeluargaan, gotong royong dan persatuan”. Menurut
Soepomo, negara integralistik sesuai dengan nilai-nilai
masyarakat, serta merangkul
kultural bangsa Indonesia yaitu kekeluargaan dan gotong semua golongan. Negara dan
royong. masyarakat melebur sebagai
satu keluarga.
• Pandangan Soepomo dipengaruhi oleh konsep b. Negara adalah kesatuan yang
integralisme Adam Muller, seorang filsuf Jerman, yang bersifat organis (sama seperti
dipengaruhi oleh Hegel dan Spinoza. Hegel berbicara sistem kekerabatan,
tentang sejarah sebagai dialektika antara tesis (kekuatan berdasarkan hubungan
modal kapital) dan antitesis (revolusi kaum buruh), dan darah).
sintesis tercapai dalam Roh Absolut yang disebut
c. Negara dan masyarakat
NEGARA. Hegel mengajukan gagasan “perfeksionisme
politik” yaitu Negara memiliki kekuasaan absolut atas mengusahakan persatuan.
individu-individu dan masyarakat. Hegel juga d. Tidak ada individu-individu,
mengajukan konsep Sittlichkeit yang bisa diterjemahkan karena semuanya sudah
sebagai “kesusilaan”. Ada tiga substansi etis: keluarga, melebur dalam negara.
masyarakat sipil dan negara. Ketiganya melebur dan satu
kesatuan.
• Namun, konsep negara integralistik/kekeluargaan tidak gampang
didamaikan dengan isu hak-hak asasi manusia, hak-hak politik
dan sipil, dan lebih khusus lagi menyangkut kebebasan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Soepomo
menolak deklarasi hak-hak asasi manusia dimasukkan ke dalam
RUU karena deklarasi itu berbasis individualisme, dan berbahaya
bagi sistem negara kekeluargaan dan gotong royong. Meski
begitu, menurut Soepomo, negara kekeluargaan tidak
mengingkari hak-hak individu. Hak individu sperti hak membela
negara, hak mendapatkan pendidikan, kebebasan memeluk
agama, dijamin. Bagi Soepomo, negara kekeluargaan
dimaksudkan mengedepankan pemenuhan kewajiban
ketimbang hak.
Argumen Mohamad Hatta
• Meskipun Hatta setuju bahwa gotong royong dan kekeluargaan harus dijaga
sebagai semangat bangsa dalam melawan individualisme, namun dia keberatan
dengan konsep negara integralistik Soepomo. Menurutnya, besar kemungkinan
negara kekeluargaan akan menjelma menjadi negara kekuasaan.

• Hatta menganjurkan liberalisme sebagai basis ideologis negara, dan mengusulkan


jaminan yang lebih tegas bagi hak berserikat, berkumpul dan berpendapat dalam
konstitusi, demi mencegah penyelewenangan kekuasaan dengan dalih negara
kekeluargaan di kemudian hari.

• Artinya: “Konsep negara kekuasaan harus diganti dengan konsep liberal yang memungkinkan
ada jarak (oposisi) antara negara dan masyarakat; ada ruang publik yaitu ruang masyarakat
warga, tempat di mana warga bebas berdiskusi tentang politik, membangun kritik terhadap
pemerintah, membentuk organisasi atau serikat, dan mengadvokasi hak-hak mereka . Rakyat
harus menjadi “musuh yang sahih” dari kekuasaan (Smith, Chantal Mouffe), yang
berarti demokrasi adalah disensus, bukan konsensus.
• Liberalisme Hatta dipengaruhi oleh pemikiran Adam Smith (demokrasi
ekonomi), J.J Rousseau dan John Locke. Smith menggagaskan konsep
“kebebasan ekonomi” yaitu gagasan bahwa ekonomi bukan urusan
negara, melainkan urusan individu. Menurutnya, kebebasan ekonomi
pertumbuhan ekonomi. Konsep ini di AS berkembang ke bentuk yang
radikal yaitu paham libertarianisme. Locke menekankan hak individu.
Negara ada untuk menjamin hak-hak individu. Gagasan Locke merupakan
dasar dari demokrasi liberal. Demokrasi liberal mengutamakan hak-hak
individu seperti hak asasi manusia, hak konstitusional dan hak partisipasi
politik. Rousseau mengedepankan gagasan “negara sebagai ungkapan
volonte generale, kehendak umum”. Kehendak umum yang dimaksud
adalah warga negara, demos. Dengan demikian, Rousseau menekankan
demokrasi. Pandangan Hatta juga dipengaruhi oleh revolusi Prancis yang
bersemboyan: liberte, egalite, fraternite.
• Dari pelbagai perdebatan tersebut, Soekarno merumuskan lima prinsip yang diterima oleh
semua golongan (Islam, nasionalis, sosialis) karena merupakan sintesis dari pandangan tiga
golongan tersebut:
1) Kebangsaan yang Indonesia: bangsa “semua buat semua”. Asas kebangsaan menolak
gagasan negara golongan, angkatan atau negara agama. Karena itu, Soekarno
menempatkan prinsip kebangsaan sebagai prinsip pertama dari lima prinsip.
2) Internasionalisme/perikemanusiaan: prinsip ini bersandar pada universalitas HAM,
kemanusiaan global, dan solidaritas global. Prinsip ini menolak chauvinisme dan
nasionalisme sempit.
3) Mufakat/demokrasi: prinsip ini menekankan deliberasi artinya segala yang menyangkut
kepentingan publik harus diselesaikan melalui dialog dan kesepakatan bersama. Gagasan
demokrasi sebagai demokrasi deliberatif (Habermas) sudah tampak dalam prinsip ini.
Tujuannya adalah mencapai konsensus (kesepakatan).
4) Kesejahteraan sosial: Prinsip ini menekankan keadilan sosial dengan mengerucut pada
“keadilan ekonomi”. Kesetaraan tidak hanya berupa kesetaraan politik (kebebasan
berpendapat, bersuara, berserikat, dan lain-lain) tetapi juga “kesetaraan ekonomi”.
Prinsip ini secara moral menuntut negara mempersempit ketimpangan sosial dan
memberi subsidi bagi orang miskin dan yatim piatu (amanat konstitusi: pelihara fakir
miskin, cerdaskan bangsa!). Prinsip ini menolak konsep “ekonomi liberal” apalagi
“libertarian” barat. Dalam wacana filsafat politik, prinsip kesejahteraan sosial ala
Soekarno ini tampak dalam konsep filsuf politik kontemporer AS, John Rawls, tentang
keadilan distributif.
5) Ketuhanan yang berkebudayaan: prinsip ini menekankan keyakinan bangsa pada Tuhan
yang Maha Esa yang berkebudayaan. Artinya, keyakinan yang mendorong budi pekerti
• Menurut Soekarno, kelima prinsip tersebut bisa disederhanakan
menjadi tiga prinsip yaitu 1) sosio-nationalisme (kebangsaan dan
kemanusiaan), 2) sosio-democracy (bukan demokrasi Barat/liberal
melainkan “demokrasi politik-ekonomi, 3) Ketuhanan yang
menghormati satu sama lain.
• Jika lima prinsip tadi hendak disatukan ke dalam satu prinsip saja,
menurut Soekarno, prinsip tunggal tersebut adalah GOTONG
ROYONG. Ketuhanan yg bergotong royong berarti: agama/iman
yang toleran terhadap yang lain; kemanusiaan yang bergotong
royong berarti menghormati martabat orang lain, bukan menjajah;
kebangsaan bergotong royong berarti bhineka tunggal ika, bukan
kebangsaan yang anti perbedaan; demokrasi berjiwa gotong royong
berarti diskursus dan konsensus, bukan dikte suara mayoritas atau
elit2 ekonomi-politik; kesejahteraan sosial yang bergotong royong
berarti partisipasi dan emansipasi dalam bidang ekonomi di bawah
prinsip kekeluargaan, bukan individualisme dan kapitalisme yang
memperlebar ketimpangan sosial dan juga bukan yang mengekang
kebebasan individu seperti pada negara-negara komunis
(liberalisme klasik vs sosialisme= teori keadilan distributif John
Rawls).
DISKUSI
Presiden Jokowi: “Kita ingin
membangun sebuah demokrasi
gotong royong. Jadi perlu saya
sampaikan bahwa di Indonesia ini
tidak ada yang namanya oposisi kaya
di negara lain. Demokrasi kita ini
adalah demokrasi gotong royong.”
(24/10/2019).
• Selain polemik tentang dasar negara, polemik lain muncul ketika prinsip terakhir
(ketuhanan yang berkebudayaan) dipindahkan ke prinsip pertama dengan
penambahan anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” (tujuh kata)– Piagam Jakarta.
• Perdebatan. Golongan Islam: penambahan tujuh kata sebagai bentuk the politics of
recognition. Alasannya: Selama zaman kolonial, Islam yg adalah agama mayoritas
terus dipinggirkan (menjadi korban, ummah) dan karena itu harus mendapat tempat
yang layak dalam Indonesia merdeka.
• Hatta dari golongan nasionalis, setuju pemindahan tersebut (dan perubahan posisi
sila-sila lainnya), namun dengan interpretasi berbeda. Menurutnya, pemindahan itu
secara simbolik merupakan bahwa “fondamen bangsa Indonesia adalah fundamen
moral; fundamen moral (ketuhanan) menjadi dasar dari prinsip-prinsip lainnya (sila
ke-2 sampai 5).
• Meskipun banyak pihak yang merasa keberatan dengan penambahan “tujuh kata”,
rumusan dengan tujuh kata itu masih bertahan sampai masa persidangan kedua yaitu
17 Juli 1945. Latuhararhary misalnya menyampaikan tanggapan yang membuat
sidang ribu karena pro-kontra tujuh kata tersebut beserta pasal-pasal yang
diturunkannya seperti “agama negara” (Islam) dan syarat-syarat seorang menjadi
Presiden (harus beragama Islam).
C. Fase Pengesahan
 Hal penting yang menjadi fokus pada fase ini adalah
kesepakatan final tentang berbagai rumusan prinsip-
prinsip dasar negara Indonesia.
 Setelah melalui berbagai macam dialog dan kompromi,
akhirnya golongan Islam dengan terbuka menerima
pencoretan “tujuh kata” dengan alasan yang sangat kuat
yaitu “demi menjaga persatuan bangsa” karena Indonesia
bukan hanya Islam. Prinsip pertama diganti menjadi
“Ketuhanan yang mahaesa”. Mohamad Hatta punya peran
penting untuk mendekati beberapa tokoh Islam dan
membicarakan alasan kenapa tujuh kata perlu dicoret.
Meskipun banyak golongan muslim yang kecewa, namun
banyak juga yang sepakat dengan pencoretan itu
mengingat Indonesia adalah negara yang plural.
 Dalam pembukaan UUD 1945, tidak ada lagi pokok pikiran
yang memberikan keistimewaan kepada penduduk yang
beragama Islam.
 Jadi, pencoretan tujuh kata itu merupakan bukti bahwa
“GOLONGAN ISLAM PADA MASA ITU ADALAH
GOLONGAN YANG MODERAT, YANG MEMIKIRKAN
KEPENTINGAN BANGSA KETIMBANG AMBISI-AMBISI
PRIMORDIAL DAN SEKTORAL AGAMA.”
Lima Sila/Prinsip pun disahkan (Pancasila):
1. Ketuhanan yang Mahaesa
2. Kemanusiaan yang Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
PEMBAGIAN TEMA DAN KELOMPOK:
1. Pancasila sebagai Fundamen Etis dan Moral Bangsa dan Problem
Korupsi.
2. Pancasila dan Ideologi/Gerakan Khilafah (Negara Islam Indonesia).
3. Pancasila dan Diskursus Sekularisasi di Indonesia (Relasi agama dan
negara).
4. Pancasila dan Keadilan Sosial (Problem Oligarki dan Neo-liberalisme).
5. Pancasila dan Krisis Lingkungan Hidup (Pancasila sebagai enviroment
Ethics).
6. Pancasila, Radikalisme dan Terorisme.
7. Pancasila dan Humanisme.
8. Pancasila dan Krsisis Nasionalisme.
9. Pancasila dan Tantangan Globalisasi
10. Pancasila dan Krisis Solidaritas.
Ketentuan Makalah:
• Sesuai dengan topik.
• Makalah ditulis secara teratur dan sistematis: Judul, nama kelompok,
abstrak, pendahuluan, pembahasan (dibagi ke dalam sub-sub pokok
bahasan), kesimpulan dan referensi. Makalah harus dilengkapi dengan
catatan referensi menggunakan body note dan daftar pustaka.
• Makalah harus ditulis dalam bahasa Indonesia yang baku.
• Hindari plagiarisme atau copy paste dari internet (berbahaya!). Plagiarisme
dapat dengan mudah dilacak lewat Turnitin.
• Makalah ditulis menggunakan Times News Roman, 12 pt, spasi 1,5, kertas
A4 (top:1,5, Left:2, Bottom:2, Right:1,5).
• Makalah berjumlah maksimal 10 halaman, minimal 7 halaman (Termasuk
daftar Pustaka).
• Paper ini harus disusun, dipresentasikan dan dikerjakan sebaik-baiknya.
Usai presentasi, berdasarkan catatan dosen dan teman-teman peserta
kuliah, paper akan direvisi dan akan menjadi tugas pengganti Ujian Akhir
Semester.
• Materi Paper: Jangan ambil dari bahan kuliah saya. Silakan mencari sendiri
sumber-sumber yang valid: buku, jurnal, prosiding seminar, dll
Tugas
Tgl 13 dan 20 tidak ada kuliah tatap muka, diganti dengan Tugas.
Topik untuk Tugas: “Pluralitas di Indonesia, Problemnya dan Peran Pancasila”.

a) Kelas dibagi ke dalam 9 kelompok (pakai pembagian kelompok yang sudah ada).
b) Buatlah diskusi dalam kelompok (tgl 13). Proses diskusi Anda, dari awal sampai akhir,
divideokan dengan durasi minimal 45 menit. Karena itu, silakan atur kelompok Anda:
ada yang bertugas sebagai pemantik (menyiapkan paper sesuai topik), yg lain MC,
moderator, notulis, penanggap, dan peserta. Keaktifan semua anggota kelompok
dalam proses diskusi (sebagaimana akan terlihat dalam video) memengaruhi nilai tugas
kelompok.
c) Hasil dan sintesis diskusi dirumuskan dalam bentuk artikel dan dikerjakan pada tgl 20.
Metodologi Artikel: Judul, pendahuluan, Isi (dibagi ke sub-sub pokok), kesimpulan,
dan daftar pustaka. Artikel dilengkapi dengan catatan kaki atau body note (tinggal
pilih). Untuk catatan kaki, ikuti model penulisan catatan kaki yang berlaku di UNWIRA
atau bisa lihat contoh di JURNAL LUMEN. Ditulis dengan huruf bebas, kertas A4, spasi
1,5, dengan panjang minimal 8 halaman. Jangan lupa mencantumkan nama anggota
kelompok dan NIM masing-masing.
d) Artikel dikumpul bersama dengan video proses diskusi pada kuliah tanggal 27
September 2023. Jadi, saya akan mendapatkan 9 video dan 9 paper dari 9 kelompok.

Terima kasih dan Selamat Bekerja!

Anda mungkin juga menyukai