Anda di halaman 1dari 5

BURUNG GARUDA TAK LAGI BERSAYAP

PANCASILA PINCANG DI HATI RAKYAT

Oleh : Ahmad Imron1

Rasa sedih meliputi hati. Kini hanya bisa membayangkan keadaan politik
Indonesia di masa lalu, sebelum dan sesudah kemerdekaan. Saat revolusi
dikobarkan dan terjadinya orde baru yang menumbangkan rezim orde lama,
hingga saat reformasi dimulai dan ditancapkan di tanah lapang Indonesia. Semua
termaktub dalam karya buku yang ditulis oleh para pengamat politik Indonesia.

Mulai dari karya buku yang ditulis oleh Baskara T. Wardaya, Kiki Syahnakri
dan Soe Hok Gie sampai pada buku yang berjudul “Bung Karno dan Kemeja
Arrow” semuanya menerangkan tuntas dan jelas tentang mekanisme perpolitikan
di Indonesia, dari buku-buku tersebut dapat kita ketahui perpolitikan di Indonesia
tidak pernah stabil. Hal tersebut disebabkan oleh kebodohan para pemimpin yang
sering mengadopsi ideologi-ideologi sampah, produk orang-orang serakah, haus
akan kekuasaan dan hobi menjajah. Akhirnya, rakyatlah yang menjadi korban.

Mereka harus membayar mahal atas hal yang dilakukan oleh orang-orang
bodoh tadi. Perampokan, korupsi, kolusi, nepotisme dan penyalahgunaan sistem
pemerintahan sering terjadi dengan mengatasnamakan revolusi. Padahal mereka
sendiri tidak mengerti apa itu revolusi. Dari hal tersebut masih ada yang paling
menyayat hati yakni ketika mengetahui fakta bahwa putra-putri terbaik bangsa
mati konyol di tangan saudara sendiri. Semua ini tidak lepas dari kata-kata demi
negeri, revolusi, merdeka menuju Indonesia lebih baik, padahal seyogyanya
semua itu merupakan bentuk penghianatan, pemberontakan, distorsi dan taktik
licik politik.

Yang perlu kita soroti adalah akar penyebab pertengkaran antar anak bangsa
yang bersumber dari perbedaan ideologi. Ditambah dengan suasana perang dingin
yang memanas, semuanya dimotori oleh dua kekuatan besar Amerika Serikat

1
Peserta Lomba Opini

1
(dengan demokratisnya) dan Uni Soviet (dengan sosialis-komunisnya) mereka
berlomba-lomba menanamkan ideologi mereka pada anak bangsa yang
menyebabkan terjadinya perpecahan.

Kalau kita pikir-pikir, untuk apa kita menganut salah satu ideologi mereka?
dan apakah dengan mengikuti ideologi adikuasa, kita juga akan bernasib sama?
Tidak! Kita tidak akan pernah menjadi adikuasa dengan mengikuti kuasa. Kita
tahu bahwa ideologi kapitalisnya Amerika memiliki kekurangan, dan kekurangan
tersebut telah diungkapkan oleh kaum komunis.

Sama halnya dengan komunisnya Uni Soviet, juga sama-sama memiliki


kekurangan yang telah diungkapkan oleh kaum kapitalis. Dua ideologi tersebut
sama-sama memiliki kekurangan dan di antara dua negara tersebut sudah saling
mengkritisi dan kita sudah tahu dengan jelas atas semua itu. Lantas kenapa kita
masih ingin menganut dua ideologi itu? Padahal kalau kita kaji ulang tentang
ideologi itu sama halnya menganut ideologi sampah.

Sejatinya, tanpa mengadopsi dua ideologi tersebut kita bisa mencetuskan


ideologi yang menurut semua pihak di negara kita benar, netral dan yang tidak
memecahbelah. Kita buat suasana politik baru. Kita buat sistem yang belum
pernah ada di dunia ini dengan mempertimbangkan plus, minusnya dan dengan
persetujuan seluruh rakyat Indonesia. Kita buat Indonesia baru, Indonesia yang
tidak mengekor pada negeri orang. Indonesia yang mandiri dan berdiri di atas kaki
sendiri. Sebenarnya kita sudah memiliki ideologi tersebut yakni Pancasila, tapi
sayang implementasinya menggunakan prinsip keterbukaan yang kebablasan.

Sebutlah dari berbagai saran yang dilontarkan oleh para pengamat politik,
budaya, antropologi dan ilmu sosial menjadi indikator utama dalam revolusi
kebangsaan. Sebagaimana kita pandang seorang yang mempunyai kharisma tinggi
dan personal yang selalu dihormati sangat pantas jika diklaim sebagai pemikir
cerdas dan berpotensi untuk bangsa.

Sebutlah Kiyai, sosok yang jika dipikir hanya menjadi guru ngaji. Namun hal
ini tidak berhenti dalam satu sisi pemahaman saja melainkan lebih bersifat
universal. Seyogyanya kita paham makna guru hanya sebatas tenaga epngajar

2
saja, namun makna kiyai lebih spesifik lagi. Ia tidak hanya memrikan ilmu dan
pengetahuan saja, ia juga menyumbangkan nilai keabsahan untuk karakter setiap
insan. Jika guru hanya tenaga pengajar, maka kiyai adalah tenaga yang
melahirkan pemikir cerdas, beramanah dan mengerti syariat untuk semua jalan
roda kehidupan.

Sosok kiyai merupakan sosok yang cerdas, semisal dalam sebuah lembaga,
sosial dan kemasyarakatan ia dipercaya sebagai pemimpin dalam segala
problematika yang ada. Sehingga hubungan Kiyai dan sosial masyarakat tidak
dapat dipisahkan dari nilai toleransi berbangsa, berbangsa dan berbudaya.

Rekaman sejarah pun sudah kita ketahui bahwa sosok kiyai dengan santri-
santrinya menjadi bukti sejarah akan merdekanya negara Indonesia. Hal ini sangat
sakral dalam kehidupan yang secara kebangsaan dan daya sambung terhadap
negara sangat erat. Kiyai adalah sosok cerdas yang dapat melahirkan tokoh-tokoh
nasional dan tak sedikit yang berprofesi sebagai petani, pedagang dan nelayan
yang semua itu tak lepas dari perjuangan kiyai untuk mendidik para santri.

Disiplin ilmu dalam pemahaman Kiyai merupakan bagian terpenting untuk


bagaimana agar menjadikan generasi yang dinilai sebagai bentuk perubahan
bangsa dapat dijadikan tolak ukur utama dalam ketatanegaraan. Sehingga sulit
terjadi perampokan, korupsi, kolusi, nepotisme dan penyalahgunaan sistem
pemerintahan.

Berbagai kebiasaan yang tumbuh subur sejak zaman pra-kolonial hingga


pasca-kolonial masih berlangsung hingga kini, mulai dari korupsi, intoleransi
terhadap perbedaan, sifat tamak, ingin menang sendiri, cenderung menggunakan
kekerasan dalam memecahkan masalah, melecehkan hukum, dan sifat oportunis.

Sebagaimana penulis kutip dalam rekaman sejarah kemerdekaan Indonesia,


Ir. Soekarno pada sekitar tahun 1957. Saat itu Soekarno mengatakan, “…Bahwa
revolusi adalah kebudayaan, sebagaimana halnya politik”. Ucapan itu keluar dari
mulutnya setelah beberapa seniman dan sastrawan (budayawan) menghadap
presiden di Istana pada 6 Maret 1957. Di awal tahun itu tepatnya 21 Februari

3
1957, Soekarno melontarkan gagasan konsepsional yang kemudian disebut
dengan “Konsepsi Presiden Soekarno” atau “Konsepsi Presiden”.2

Oleh karena itu jika kita melihat periodisasi perkembangan peradaban


manusia saat ini semakin memburuk dan butuh untuk kembali mengangkat
martabat sosok Kiyai yang kini mulai terkikis dan seakan menjadi urutan
terbelakang sebagai sosok yang religuitas, cerdas dan paham terhadap pergolakan
zaman. Penelitian yang mengarah pada sumber sosial dan budaya mengacu
terhadap nilai kebangsaan yang digerakkan oleh pelopor kemerdekaan yakni
sosok Kiyai dan santri, patut lah kita mengapresiasi atas pemikir-pemikir cerdas
yang terjun ke ranah ilmu sosial dan budaya.

Sejauh ini kita bisa mengoreksi bagaimana pemikir cerdas yang bergerak
dalam kesejahteraan masyarakat selama orde baru berlangsung. Pemikir cerdas
tidak hanya dilihat bagaimana dia berpikir dengan baik, ia juga dilihat dengan
bagaimana ia mempunyai karakteristik menjadi pemimpin yang sudah dibaca oleh
publik.

BIODATA PENULIS

Nama Kelompok : Ahmad Imron


2
Nurani Soyomukti, Soekarno: Visi kebudayaan & Revolusi Indonesia, (Jogjakarta: Arruz Media,
2016), 147.

4
Tempat tanggal lahir : Pamekasan 30 Mei 1999
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
E-mail : maronhafdzoh@gmail.com
Motto Hidup : Kerja Keras, Kerja Ikhlas dan Kerja Cerdas
Asal Sekolah : Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa dan Sastra Arab
(STIBA)
Alamat Sekolah : Jl. Pondok Pesantren Banyuanyar, Potoan Daya
Palengaan Pamekasan Madura
Alamat Rumah : Jl. Raya Kangenan Pamekasan Madura
Judul Opini : Burung Garuda Tak Lagi Bersayap, Pancasila
Pincang di Hati Rakyat

Pamekasan, 28 Oktober 2018

3x4

(Ahmad Imron)

Anda mungkin juga menyukai