Anda di halaman 1dari 9

TUGAS BAHASA INDONESIA

PIDATO ILMIAH
Penganugerahan Gelar Doctor Honoris Causa Dari
UNDIP

Dosen Pengampu :
Dr. M. Abdullah, M. Hum

Disusun Oleh :
Yehezkiel Dwi Putra
22030116130062

PROGRAM STUDI ILMU GIZI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2018
Assalamualaikum, Wr.Wb.

Salam sejahtera bagi kita semua,

Om Swastiastu

Namo Buddhaya

Selamat Pagi

Yang terhormat, Rektor, Senat dan Civitas Akademika Universitas Diponegoro.

Yang terhormat para menteri Kabinet Kerja dan pimpinan lembaga negara Republik
Indonesia.

Yang terhormat, anggota DPR-RI, Gubernur dan DPRD Provinsi Jawa Tengah,
Bupati dan Walikota se Provinsi Jawa Tengah, Ketua MUI Jawa Tengah dan para
alim ulama, serta rekan-rekan mahasiswa yang saya banggakan.

Rekan-rekan media, hadirin tamu undangan yang berbahagia,

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berkat perkenan-Nya
kita dapat berkumpul di Auditorium Universitas Diponegoro Semarang. Ijinkan di
awal pidato ilmiah ini, saya menyampaikan rasa terima kasih dan penghormatan
kepada Senat Universitas Diponegoro Semarang atas keputusan memberikan gelar
Doktor Honoris Causa kepada saya. Saya sangat antusias, bangga dan
sekaligus sangat bersyukur, karena gelar yang diberikan adalah dalam Bidang Politik
Pendidikan. Universitas Diponegoro telah membuat keputusan akademis yang
membuka kembali cakrawala: politik dan pendidikan adalah dua hal yang tidak
mungkin dipisahkan. Politik menghasilkan sistem pendidikan, pendidikan
mempengaruhi kehidupan politik.
Hadirin yang saya hormati,

Entitas politik terkecil adalah keluarga. Begitu pula dengan pendidikan, juga dimulai
dari dalam keluarga. Dalam politik, setiap diri, dituntut untuk mempersembahkan
seluruh pengabdian “diriku untuk orang lain”. Tat Twam Asi. Artinya, “aku adalah
engkau, engkau adalah aku”. Kata-kata tersebut mengandung pengertian filosofis,
bagaimana seharusnya kita memiliki empati dan menghayati perasaan orang lain.
Dalam politik, saya menyebutnya politik berwajah dan berjiwa kemanusiaan, yaitu
Politik humanis.

Politik sebagai alat untuk mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bagi umat
manusia. Politik sejatinya adalah jalan untuk mewakafkan hidup agar bermanfaat bagi
orang lain, bagi kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Oleh sebab itu, di dalam
berbagai kesempatan saya selalu mengingatkan, “Kebahagian kita bukan pada saat
dekat dengan kekuasaan, namun saat kita menangis dan tertawa bersama rakyat.”

Saudara-saudara

Mazhab “politik humanis” pasti berseberangan dengan mazhab politik - yang


istilahnya dipopulerkan filsuf Thomas Hobes- yaitu Homo Homini Lupus. Artinya,
manusia adalah serigala bagi manusia lain. Dalam ranah politik prakteknya dapat
dijumpai melalui perilaku para aktor politik yang menghalalkan segala cara untuk
mencapai kekuasaan. Seperti, memfitnah dan melakukan pembunuhan karakter secara
sistematis. Bahkan, mereka anggap sebuah kewajaran, lumrah dan sah-sah saja untuk
menghilangkan nyawa orang lain yang dianggap lawan atau penghalang.

Saat politik yang menghalalkan segala cara dijalankan, maka hukum positif
pasti dimandulkan. Pengetahuan hanya akan menjadi stempel pembenaran tindak
kekerasan. Pernyataan ilmiah digunakan sebagai legitimasi dari tindakan amoral dan
inkonstitusional. Mari kita renungkan dan tanyakan pada diri masing-masing. Politik
pendidikan seperti apa yang akan diproduksi oleh mereka yang ingin berkuasa
dengan menghalalkan segala cara? Masyarakat seperti apa yang akan lahir dari
politik pendidikan semacam itu? Tentu, kita tidak akan pernah membiarkan siasat
politik keji tersebut direproduksi di bumi Indonesia.

Hadirin yang saya hormati,

Ilmu pengetahuan yang ditanamkan melalui pendidikan, jelas tidak berdiri sendiri.
Selalu ada relasi antara ilmu pengetahuan dengan kekuasaan. Filsuf Prancis, Michel
Foucoult membongkar relasi tersebut. Ia mengatakan bahwa kekuasaan selalu
teraktualisasi melalui pengetahuan dan pengetahuan selalu memiliki efek kuasa. Di
balik ilmu pengetahuan selalu ada ideologi politik. Contohnya, sejarah kolonial
Belanda yang semakin menancapkan kekuasaannya di Hindia Belanda dengan politik
etis, yang juga dijalankan melalui bidang pendidikan.

Politik etis atau politik balas budi dimulai pada tahun 1901, yang seolah membuka
akses pendidikan bagi rakyat pribumi. Padahal, maksud politik yang sebenarnya
adalah agar kolonialisme tetap bertahan, dengan diperkuat oleh tenaga cakap pribumi
yang dibayar dengan murah.

Saudara-saudara,

Sebagai antitesa dari politik etis, kemudian lahir gerakan perlawanan rakyat Indonesia
yang lebih terorganisir. Menurut Dr. Wahidin Sudiro Husodo, salah satu cara untuk
membebaskan diri dari penjajahan adalah rakyat harus cerdas. Ia menganjurkan agar
para siswa STOVIA mendirikan organisasi yang bertujuan memajukan pendidikan
dan meninggikan martabat bangsa. Pemikiran tersebut mendorong Dr. Sutomo, Dr
Cipto Mangunkusumo dan Gunawan Mangunkusumo untuk mendirikan Budi Utomo
pada tahun 1908.
Saudara-saudara,

Saya meyakini sejarah selalu dinamis, selalu ditandai dengan perubahan. Dan,
perubahan demi perubahan dalam sejarah Indonesia dipengaruhi oleh pemikiran para
pendiri bangsa. Sejarah mengajak kita untuk tidak pasif, apalagi larut pada keadaan
yang mengekang dan membelenggu. Sejarah menuntun kita untuk berdialektika.
Dengan berani melakukan dialektika, kita akan mampu mengintervensi perjalanan
sejarah, untuk menciptakan sejarah baru peradaban. Contoh yang dapat kita tauladani
adalah dialektika sejarah Bung Karno muda. Pada tahun 1930, saat usianya sekitar 29
tahun, Bung Karno meletakkan sejarah baru dalam gerakan politik melawan penjajah
Belanda. Ia tidak tunduk pada intimidasi penjajah yang melarang pembentukan
organisasi politik, Partai Nasional Indonesia.

Di sel penjara Banceuy, Bandung, -yang sempit dan pengap-, Bung Karno menulis
pembelaan politik. Ia nyatakan pembelaan itu bukan sebagai pledoi atas nama pribadi
atau partainya. Namun, menjadi sebuah gugatan atas nama rakyat Indonesia,
Indonesia Menggugat. Bung Karno bukan hanya mengkritik pemerintah kolonial
Belanda. Gugatan ilmiah yang tajam dilontarkannya pula kepada imperialisme dan
kapitalisme internasional yang menciptakan tragedi kemanusiaan.

Indonesia Menggugat adalah sebuah karya yang kaya akan literatur dan referensi
ilmiah. Bung Karno mensitir 60 pemikir dunia, mulai dari yang beraliran nasionalis,
marxis, hingga humanis radikal. Pisau analisa yang digunakannya adalah pemikiran
dari Mustafa Kamil, Sun Yat Sen, Naidu, Karl Kautsky, Karl Marx, Sneevliet, hingga
Jean Jaures. Menyitir satrawan August de Wit, termasuk ekonom Rudolf Hilferding,
dan sebagainya. Bung Karno mensintesakan keseluruhan pemikiran yang
dipelajarinya tersebut dalam konteks Indonesia saat itu, lengkap dengan argumentasi
dan data konkret politik, sosial, ekonomi, untuk kepentingan rakyat Indonesia.
Hal penting yang diajarkan Bung Karno ialah: boleh saja kita pelajari berbagai
pemikiran tokoh dunia, boleh saja kita mengenyam pendidikan di luar negeri, namun
jangan pernah lari dari jati diri dan karakter bangsa sendiri.

Tak heran, jika kemudian sepanjang hidupnya Bung Karno tercatat dianugerahi 26
gelar Doktor Honoris Causa. Ia diakui memiliki wawasan keilmuan yang luas dan
berkontribusi terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan. Doktor Honoris Causa
yang diterimanya antara lain dalam bidang Ilmu Teknik, Ilmu Sosial dan Politik, Ilmu
Hukum, Ilmu Sejarah, Ilmu Filsafat dan Ilmu Ushuluddin. Gelar tersebut diberikan
tidak hanya dari berbagai universitas dalam negeri, namun juga dari luar negeri,
seperti dari Columbia University (Amerika Serikat), Berlin University (Jerman),
Lomonosov University (Moscow) dan Al-Azhar University (Kairo).

Saudara-saudara,

Pada kesempatan ini saya juga ingin mengajak saudara semua untuk mendalami
kembali arsip risalah sidang BPUPKI. Dalam sidang itu, perdebatan-perdebatan
politik yang terjadi bukan adu argumentasi kosong yang apriori.

Para pendiri bangsa memiliki tradisi keilmuan yang sejalan dengan tradisi dialogis
yang kuat, musyawarah untuk mufakat. Penguasaan akan berbagai teori keilmuan,
konsep, ide dan gagasan berasal dari persemaian benih-benih nasionalisme, yang
pada akhirnya melahirkan nasionalis komplit. Begitu pula yang dapat kita baca dalam
Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945. Pidato tersebut mencerminkan penguasaan
Bung Karno atas pengetahuan nilai-nilai orisinil yang digali langsung dari bumi
Indonesia. Kontemplasinya terhadap khasanah tradisi bangsa telah mampu
melahirkan lima prinsip dasar Indonesia Merdeka, yaitu Pancasila.
Saudara-saudara,

Pancasila adalah dasar dan ideologi negara. Pancasila adalah guide to action, guide of
action, guide for action. Karena itu, politik pendidikan Indonesia tidak boleh bergeser
dan harus tetap berpijak pada Pancasila.

Pancasila merupakan satu-satunya pedoman, penuntun, cita-cita dan tujuan politik


pendidikan kita, sebab Pancasila adalah way of life bangsa Indonesia! Way of life
dalam pendidikan untuk membebaskan rakyat dari kebodohan, keterbelakangan dan
kemelaratan. Way of life dalam pendidikan untuk mewujudkan kemakmuran dan
keadilan sosial!

Hadirin yang saya hormati,

Politik pendidikan Indonesia harus merupakan suatu jalan pembebasan, yang tidak
hanya berguna untuk menghasilkan Sumber Daya Manusia yang berilmu dan
memiliki daya saing. Pendidikan dibutuhkan untuk melahirkan manusia yang
berkarakter, bersikap kritis dan memperjuangkan ilmu tidak hanya untuk ilmu.
Sehingga politik pendidikan yang berorientasi pembangunan mental dan karakter
bangsa, nation and character building, menjadi hal krusial dalam dunia pendidikan
kita.

Saudara-saudara

Para pendiri bangsa sangat percaya terhadap korelasi antara pengetahuan dan politik.
Mereka percaya bahwa pembangunan sebagai wujud dari demokrasi politik dan
ekonomi, wajib berbasis pada riset dan kajian ilmiah. Science Based Policy, yang
bukan dimaknai teknokratis semata.

Pada tahun 1959 sebuah perencanaan pembangunan yang ilmiah untuk Indonesia
mulai diperkenalkan oleh Bung Karno, bernama Pola Pembangunan Nasional
Semesta Berencana. Perencanaan pembangunan tersebut merupakan hasil kerja
sekitar 600 pakar dari berbagai cabang ilmu, termasuk dari perguruan tinggi. Dalam
konteks ini, terlihat jelas bahwa ternyata politik pembangunan pun harus berbasis
pada pengetahuan.

Agar jelas tujuan, target dan sasaran, maka kebijakan pembangunan tidak boleh
berdasarkan asumsi.

Pembangunan harus dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Keilmuan yang


tetap berorientasi dan didedikasikan pada kepentingan rakyat dan bangsa sendiri,
serta berkontribusi dalam membangun tata dunia baru yang lebih berkeadilan.

Saudara-saudara,

Saya selalu memperjuangkan agar kampus menjadi center of science. Kampus tidak
hanya untuk menghasilkan tenaga ahli dan tenaga terampil bagi pembangunan.
Namun, kampus pun harus menghasilkan riset-riset yang dapat digunakan sebagai
acuan dalam keputusan politik pembangunan. Tentu saja, salah satu syarat pentingnya
adalah politik legislasi dan politik anggaran terkait riset harus menjadi prioritas,
sekaligus politik tetap negara.

Harus kita ingat, bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat menjadi negara maju,
jika tidak berfokus pada riset ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagai dasar
kebijakan pembangunan. Karena itu, saya sangat memimpikan Indonesia memiliki
Lembaga Riset Nasional, seperti yang pernah dirintis Bung Karno. Lembaga Riset
Nasional yang mengkonsolidasikan keseluruhan riset tidak hanya di lembaga riset
negara, tetapi juga swasta.

Saudara-saudara,

Di negara-negara maju, terdapat konektivitas yang kuat antara perguruan tinggi dan
lembaga riset negara. Sehingga universitas dan perguruan tinggi pada akhirnya
menjadi salah satu pilar penting, yang berkontribusi besar pada kemajuan rakyat,
bangsa dan negara. Civitas akademika bukan mereka yang duduk di menara gading.

Universitas bukan untuk menghasilkan manusia yang hanya disibukkan dengan alam
pemikiran dan ide ilmiah.

Bagi saya, ilmu hanya akan menjadi ilmu jika bermanfaat bagi kemanusiaan. Saya
berkomitmen untuk berjuang bersama civitas akademika Indonesia, termasuk yang
berada di Universitas Diponegoro untuk terus mendorong politik pendidikan yang
dapat melahirkan akademisi-akademisi organik. Akademisi yang memiliki
kegelisahan dan mampu mencari solusi ilmiah atas problematika yang dihadapi
rakyat. Inilah sebenarnya maksud yang sebenar-benarnya bahwa pengetahuan tidak
untuk pengetahuan. Pengetahuan untuk berjuang, Berjuang untuk tanah air, untuk
bangsa, dan untuk peri-kemanusiaan!

Terima kasih,

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Shalom,

Om Santi Santi Santi Om.

Yehezkiel Dwi Putra

Rujukan :
PDI Perjuangan. 2017. Pidato Ilmiah Megawati Soekarnoputri Dalam
Penganugerahan Gelar Doctor Honoris Causa Dari UNP.
Yang diakses dari :
https://www.pdiperjuangan.id/article/category/detail/287/Berita/Pidato-Ilmiah-
Megawati-Soekarnoputri-Dalam-Penganugerahan-Gelar-Doctor-Honoris-Causa-Dari-
UNP-

Anda mungkin juga menyukai